• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI DAN FAKTOR RESIKO TERJADINYA TINEA PEDIS PADA PEKERJA PABRIK TEKSTIL JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PREVALENSI DAN FAKTOR RESIKO TERJADINYA TINEA PEDIS PADA PEKERJA PABRIK TEKSTIL JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI DAN FAKTOR RESIKO TERJADINYA TINEA PEDIS PADA PEKERJA PABRIK TEKSTIL

JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

Diajukan untuk memenuhi tugas dan persyaratan dalam menempuh Program Pendidikan Sarjana Fakultas Kedokteran

MUHAMMAD BAIHAQY IBNU HAKIM 22010110110133

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO 2013

(2)

LEMBAR PENGESAHAN JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA KTI

PREVALENSI DAN FAKTOR RESIKO TERJADINYA TINEA PEDIS PADA PEKERJA PABRIK TEKSTIL

Disusun oleh

MUHAMMAD BAIHAQY IBNU HAKIM 22010110110133

Telah disetujui

Semarang, Juli 2014

Pembimbing 1 Pembimbing 2

dr. Asih Budiastuti, SpKK (K) dr. Helmia Farida, SpA, MKes 19600407 198703 2 001 19661213 200112 2 001

Ketua Penguji Penguji

dr. Buwono Puruhito, SpKK dr. Endang Sri Lestari, PhD 19760625 200812 1 002 19661016 199702 2 001

(3)

PREVALENSI DAN FAKTOR RESIKO TERJADINYA TINEA PEDIS PADA PEKERJA PABRIK TEKSTIL

Muhammad Baihaqy Ibnu Hakim*, Asih Budiastuti**, Helmia Farida***

ABSTRAK

Latar belakang: Tinea pedis merupakan dermatofitosis pada telapak kaki yang memiliki prevalensi 10% di seluruh dunia. Pekerja pabrik tekstil bagian pencelupan diperkirakan memiliki risiko lebih tinggi terkena Tinea pedis.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian dan faktor risiko Tinea pedis pada pekerja pabrik tekstil.

Metode: Penelitian yang bersifat belah lintang dilakukan pada 34 pekerja pabrik tekstil PT. Batamtex sebagai subjek penelitian pada bulan Juni 2014. Diagnosis Tinea pedis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis residen ilmu kesehatan kulit dan kelamin. Data diambil dengan kuesioner meliputi hygiene perorangan, durasi terpapar air per hari, dan masa kerja di bagian pencelupan. Analisa data menggunakan uji regresi logistik dengan tingkat kemaknaan p < 0,05 ; Interval Kepercayaan 95%.

Hasil: Angka kejadian Tinea pedis pada pekerja pabrik tekstil 29,5%. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa hygiene perorangan yang buruk RP = 32 (C.I. = 2 – 503) p = 0,001, dan masa kerja di bagian pencelupan yang lama merupakan faktor risiko Tinea pedis RP = 19 (C.I. = 1,4 – 255) p = 0,002.

Simpulan: Tingkat hygiene perorangan buruk dan masa kerja di bagian pencelupan yang lama merupakan faktor risiko Tinea pedis.

Kata kunci: Tinea pedis, faktor risiko, hygiene, masa kerja di bagian pencelupan.

* Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

** Staf Pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

*** Staf Pengajar Bagian Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

(4)

PREVALENCE AND RISK FACTORS FOR TINEA PEDIS IN TEXTILE INDUSTRY WORKERS

ABSTRACT

Background: Tinea pedis, a dermatophytosis of the feet has prevalence of 10%

worldwide. Dyeing division of textile industry workers are estimated to have higher risk of suffering from Tinea pedis. This study aims to determine the prevalence and risk factors of Tinea pedis in textile industry workers.

Methods: A cross-sectional study was carried among 34 textile industry workers of PT. Batamtex as research samples in June 2014. Tinea pedis diagnosis was established by dermatology resident’s clinical examination. The data were collected from questionnaire that included personal hygiene, water exposure duration each day, and working time at dyeing division. The data were analyzed using logistic regression test with statistical significance p < 0,05 ; confidence interval 95%.

Results: The prevalence of Tinea pedis in textile industry workers was 29,5%.

Multivariate analysis resulted that poor personal hygiene RP = 32 (C.I. = 2 – 503) p = 0,001 and long working time at dyeing division were risk factors for Tinea pedis RP = 19 (C.I. = 1,4 – 255) p = 0,002.

Conclusion: Poor personal hygiene and long working time at dyeing division were risk factors for Tinea pedis.

Key words: Tinea pedis, risk factors, hygiene, working time at dyeing division.

(5)

PENDAHULUAN

Lingkungan kerja merupakan tempat yang potensial mempengaruhi kesehatan pekerja. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan pekerja antara lain faktor fisik, faktor kimia, dan faktor biologis. Lingkungan kerja ataupun jenis pekerjaan dapat menyebabkan penyakit akibat kerja.1

Industri tekstil Indonesia termasuk dalam 10 eksportir tekstil terbesar di dunia.2 Banyaknya industri ini tentu diiringi dengan banyaknya pekerja pada pabrik tekstil tersebut.

Salah satu infeksi kulit pada sela jari kaki dan telapak kaki yangdisebabkan oleh jamur atau yang lebih dikenal sebagai tinea pedis atau Athlete’s foot maupun ringworm of the foot.3 Tinea pedis disebabkan oleh Trichophyton rubrum yang sering memberikan kelainan menahun.4,5,6,7 Tinea pedis sering menyerang orang dewasa yang bekerja ditempat basah seperti tukang cuci, petani atau orang yang setiap hari harus memakai sepatu tertutup misalnya tentara.4,7,8 Selain karena pemakaian sepatu tertutup untuk waktu yang lama, bertambahnya kelembaban karena keringat, pecahnya kulit karena mekanis, tingkat kebersihan perorangan, dan paparan terhadap jamur merupakan faktor risiko yang menyebabkan terjadinya tinea pedis.9,10 Kondisi lingkungan yang lembab dan panas di sela-sela jari kaki karena pemakaian sepatu dan kaus kaki, juga akan merangsang tumbuhnya jamur.4 Keadaan sosial ekonomi serta kurangnya kebersihan memegang peranan yang penting pada infeksi jamur, yaitu insiden penyakit jamur lebih sering terjadi pada sosial ekonomi rendah.8 Hal ini berkaitan dengan status gizi yang mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang terhadap penyakit.8

Saat ini diketahui bahwa angka kejadian (prevalensi) tinea pedis di seluruh dunia mencapai angka yang cukup tinggi yakni 10%.11 Penelitian-penelitian terdahulu tentang kejadian tinea pedis di kota Semarang pada kelompok kerja tertentu menunjukkan bahwa angka kejadian tinea pedis termasuk tinggi.

Penelitian yang dilakukan oleh TM Sri Redjeki Soekandar pada tahun 2004 menyebutkan bahwa pemakaian sepatu boot merupakan faktor resiko terjadinya tinea pedis dan didapatkan angka kejadian tinea pedis sebesar 24,35% di Asrama Brimob Semarang.9 Penelitian Ratna Dian Kurniawati tahun 2006 menyatakan

(6)

angka kejadian tinea pedis sebesar 46,4% pada pemulung di TPA Jatibarang Semarang.10

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data prevalensi dan apa saja faktor resiko terjadinya tinea pedis pada pekerja pabrik tekstil.

METODE

Rancangan penelitian pada penelitian ini menggunakan pendekatan belah lintang. Penelitian ini dilaksanakan di PT. Batamtex, Ungaran pada bulan Juli 2014. Subjek penelitian dipilih dengan metode purposive sampling. Data didapat dari diagnosis yang ditegakkan oleh residen PPDS Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNDIP serta kuesioner yang telah dilakukan uji validasi pakar dan uji reliabilitas.

Didapatkan 34 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Dengan kriteria inklusi yakni pekerja pabrik tekstil yang bekerja di bagian pencelupan dan bagian pengeringan pada PT. Batamtex, telah bekerja dalam kurun waktu lebih dari satu bulan pada PT. Batamtex, Ungaran serta bersedia mengikuti penelitian.

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah durasi terpapar air, lama masa kerja dan hygiene perorangan dengan variabel tergantung adalah infeksi tinea pedis.

Analisis data dilakukan menggunakan uji chi-square atau fisher dan dilanjutkan menggunakan uji regresi logistik.

HASIL

Karakteristik Responden

Hasil penelitian terhadap pekerja pabrik tekstil PT. Batamtex, Ungaran diperoleh karakteristik subjek penelitian yang dapat dilihat pada tabel 1.

Ditemukan 10 sampel penelitian yang terdiagnosis tinea pedis.

Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian

Karakteristik Nilai tengah N (%) Umur (tahun)

Jenis Kelamin - Laki-Laki - Perempuan

42,32 (SD 7,48) -

-

26 (76,5%) 8 (23,5%)

(7)

Durasi terpapar air per hari (jam) - Sebentar (< 5,9)

- Lama (≥ 6)

Lama bekerja di bagian pencelupan (bulan) - Sebentar (< 8,9)

- lama (≥ 9) Skor hygiene

- Baik (≥ 15) - Buruk (< 14,9) Infeksi Tinea pedis

- Positif (+) - Negatif (-)

3,55 (SD 1,21) - - 6,44 (SD 4,62)

- -

15,73 (SD 2,39) -

- - -

30 (88%) 4 (12%) 22 (65%) 12 (35%) 24 (71%) 10 (29%) 10 (29%)

24 71%) Hubungan antara durasi terpapar air dan tinea pedis

Dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan titik potong optimum ROC.

Didapatkan titik potong optimum ROC sebesar 6 jam per hari. Empat pekerja dikategorikan “durasi panjang” dimana 3 diantaranya terdiagnosis tinea pedis dan 30 pekerja dikategorikan “durasi pendek” dimana 7 diantaranya terdiagnosis tinea pedis.

Tabel 2. Hubungan antara durasi terpapar air dan tinea pedis

Durasi terpapar Air Tinea Pedis Nilai p Tinea Pedis (+) Tinea Pedis (-)

Lebih dari 6 jam / hari 3 (75%) 1 (25%) 0,067

Kurang dari 6 jam / hari 7 (23,3%) 23 (76,7%)

Total 10 (100%) 24 (100%)

Hubungan antara lama masa kerja dan tinea pedis

Dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan titik potong optimum ROC.

Didapatkan titik potong optimum ROC sebesar 9 bulan. Dua belas pekerja dikategorikan “lama” dimana 8 diantaranya terdiagnosis tinea pedis dan 22 pekerja dikategorikan “durasi pendek” dimana 2 diantaranya terdiagnosis tinea pedis.

(8)

Tabel 3. Hubungan antara lama masa kerja dan tinea pedis

Lama Masa Kerja Tinea Pedis Nilai p

Tinea Pedis (+) Tinea Pedis (-)

Lebih dari 9 bulan 8 (66,7%) 4 (33,3%) 0,001

Kurang dari 9 bulan 2 (9,1%) 20 (90,9%)

Total 10 (100%) 24 (100%)

Hubungan antara tingkat hygiene perorangan dan Tinea pedis

Dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan titik potong optimum ROC.

Didapatkan titik potong optimum ROC yakni 15. Sepuluh pekerja dikategorikan

“hygiene buruk” dimana 7 diantaranya terdiagnosis tinea pedis dan 24 pekerja dikategorikan “hygiene baik” dimana 3 diantaranya terdiagnosis tinea pedis.

Tabel 4. Hubungan antara tingkat hygiene perorangan dan tinea pedis

Hygiene Perorangan Tinea Pedis Nilai p

Tinea Pedis (+) Tinea Pedis (-)

Hygiene Buruk < 14,9 7 (70%) 3 (30%) 0,002

Hygiene Baik > 15 3 (12,5%) 21 (87,5%)

Total 10 (100%) 24 (100%)

Hasil data pada penelitian ini dianalisis menggunakan uji chi-square dan dilanjutkan menggunakan uji regresi logistik. Didapatkan nilai p = 0,067 pada durasi terpapar air, p = 0,001 pada lama masa kerja dan p = 0,002 pada hygiene perorangan (p < 0,2) yang memenuhi syarat untuk dilanjutkan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik.

Tabel 5. Analisis multivariat

Exp(B) 95% C.I for Exp(B) Lower - Upper

Sig

Durasi terpapar air 21,267 0,56 - 809,32 0,100

Lama masa kerja 31,763 2,0 - 503,39 0,014

Hygiene perorangan 18,831 1,39 - 255,36 0,027

Constant 0,015 - 0,003

(9)

Berdasarkan hasil analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik didapatkan bahwa lama masa kerja dan hygiene perorangan merupakan faktor resiko terjadinya tinea pedis. Dengan rasio prevalen sebesar 31,7 pada lama masa kerja yang berarti pekerja pabrik tekstil yang bekerja di bagian pencelupan dalam waktu yang lama 31,76 kali lebih berisiko terinfeksi tinea pedis dibandingkan yang bekerja dalam waktu sebentar RP = 31,76 (C.I. = 2,0 – 503,39) p = 0,001.

Didapatkan rasio prevalen sebesar 18,831 pada hygiene perorangan yang berarti pekerja pabrik dengan hygiene buruk 18,83 kali lebih berisiko terinfeksi tinea pedis dibandingkan dengan hygiene baik RP = 18,83 (C.I. = 1,39 – 255,36) p = 0,002.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian membuktikan bahwa insidensi tinea pedis pada pekerja pabrik tekstil bagian pencelupan cukup tinggi dibanding populasi umum pada daerah tropis. Penelitian juga membuktikan lama masa kerja dan hygiene perorangan merupakan faktor risiko tinea pedis. Lama masa kerja yang diasumsikan sebagai akumulasi paparan air dan durasi pemakaian sepatu tertutup berhubungan terhadap tinea pedis. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh peneliti terdahulu dalam Dermatofitosis Superfisialis oleh perdoski (2001).4 Selain itu, hasil penelitian sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ratna Dian Kurniawati pada tahun 2006 bahwa hygiene perorangan merupakan faktor risiko kejadian tinea pedis.10 Pentingnya menjaga hygiene perorangan merupakan salah satu bentuk pencegahan terhadap tinea pedis seperti yang dikemukakan oleh Vikas Kumar dkk (2011).12

Terdapat data yang menunjukkan bahwa kategori yang kurang berisiko terinfeksi tinea pedis pada lama masa kerja dan hygiene perorangan ternyata memiliki sampel yang terdiagnosis positif tinea pedis, meskipun lama masa kerja dan hygiene perorangan terbukti sebagai faktor risiko tinea pedis. Ditemukan 2 subjek penelitian yang terdiagnosis tinea pedis pada lama masa kerja kurang dari 9 bulan dan 3 subjek penelitian yang terdiagnosis tinea pedis pada hygiene perorangan yang baik. Hal ini terjadi karena tingkat kelembapan kaki, sumber air

(10)

yang digunakan, dan status imunitas mempengaruhi kejadian tinea pedis pada kepustakaan namun tidak diteliti dalam penelitian ini sehingga menjadi variabel perancu.

Dalam penelitian yang dilakukan TM Sri Redjeki Soekandar (2004) dan Ratna Dian Kurniawati (2006), dinyatakan bahwa pemakaian sepatu tertutup untuk waktu yang lama, bertambahnya tingkat kelembapan karena keringat dan paparan terhadap jamur merupakan faktor risiko yang menyebabkan terjadinya tinea pedis.10 Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa terdapatnya sampel penelitian yang terdiagnosis positif pada kategori yang kurang berisiko terinfeksi tinea pedis adalah karena walaupun masa kerja pada bagian pencelupan terhitung dalam waktu sebentar ataupun menjaga hygiene perorangan dengan baik tetapi memiliki tingkat kelembapan daerah kaki yang tinggi, maka akan tetap terinfeksi tinea pedis. Hal ini dikarenakan pekerjaan sebagai pekerja pabrik tekstil bagian pencelupan diwajibkan memakai sepatu kedap air dengan durasi yang cukup panjang selama jam kerjanya yang menyebabkan meningkatnya kelembapan pada daerah kaki.

Kelemahan pada penelitian ini adalah tidak dilakukan penelitian pada variabel lain seperti sumber air yang digunakan, status gizi serta status imunitas.

Sumber air yang digunakan dapat menjadi media reservoir jamur seperti yang dikemukakan oleh Siregar (2005) bahwa penularan infeksi jamur seperti tinea pedis secara tidak langsung dapat melalui tanaman, barang-barang, tanah, hingga air yang terkontaminasi spora jamur.8 Sumber air tidak menjadi variabel yang diteliti pada penelitian ini dikarenakan peneliti yang tidak mendapat izin untuk melihat serta memeriksa tempat kerja pekerja pabrik tekstil bagian pencelupan PT.

Batamtex, Ungaran.

Faktor dari host seperti status imunitas memiliki peran penting yakni mempengaruhi respon seseorang terhadap infeksi dermatofita.11 Kondisi seperti diabetes dan HIV/AIDS yang melemahkan fungsi imunitas tubuh seseorang telah terbukti menjadikan seseorang lebih berisiko terinfeksi dermatofita. Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk menentukan status imunitas seseorang. Status

(11)

imunitas tidak diteliti pada penelitian ini dikarenakan keterbatasan alat dan kemampuan peneliti.

Selain itu, penelitian ini hanya terbatas pada satu pabrik tekstil yang mungkin terdapat perbedaan dengan pabrik lain dalam hal kebijakan perusahaan dan pengawasan terhadap keselamatan kerja.

Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini telah melalui uji validasi pakar sehingga memiliki daya diskriminasi yang tinggi dan dapat dijadikan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.

Data kuesioner menunjukkan bahwa pekerja PT. Batamtex sebagian besar mendapat skor yang buruk pada kebersihan yang terkait dengan pekerjaan, terutama pada pertanyaan seputar banyaknya sepatu yang dimiliki, kebiasaan pemakaian sepatu dan kebiasaan mencuci sepatu. Sembilan dari 10 pekerja pabrik tekstil yang terdiagnosis tinea pedis hanya memiliki satu pasang sepatu kedap air dan 8 pekerja tidak mengganti sepatu setiap harinya.

Berdasarkan penelitian ini, diharapkan adanya pengawasan yang lebih dari pihak pabrik tekstil terhadap kesehatan pekerjanya dengan memberikan edukasi tentang pentingnya hygiene perorangan, karena penelitian ini membuktikan bahwa hygiene perorangan yang buruk meningkatkan resiko tinea pedis. Dokter perusahaan hendaknya melakukan pemeriksaan kesehatan kulit kaki pekerja bagian pencelupan secara berkala dan menyediakan obat untuk tinea pedis dalam jumlah cukup.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Hygiene perorangan dan lama masa kerja merupakan faktor risiko dari tinea pedis. Durasi terpapar air bukan merupakan faktor risiko tinea pedis.

Saran

Perlunya edukasi pada para penderita tinea pedis dan orang-orang yang beresiko menderita tinea pedis tentang pencegahan dan penatalaksanaan yang baik dan benar, mengingat angka kejadian penyakit jamur kulit di Indonesia termasuk tinggi. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut pada kelompok kerja lain yang

(12)

berisiko terkena tinea pedis atau dermatofitosis lainnya, seperti TNI dan pemulung dikarenakan pemakaian alas kaki kedap air dengan durasi yang lama.

Perlu diadakan penelitian terhadap kejadian tinea pada bagian tubuh yang lain, mengingat agen penyebab tinea pedis juga dapat menyebabkan infeksi pada bagian tubuh selain telapak kaki.

UCAPAN TERIMA KASIH

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada dr. Asih Budiastuti, Sp.KK (K) dan dr. Helmia Farida, Sp.A, M.Kes atas bimbingan dan saran dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Buwono Puruhito, Sp.KK selaku ketua penguji dan dr. Endang Sri Lestari, Ph.D selaku penguji, serta pihak-pihak lain yang telah membantu dalam penelitian ini hingga dapat terlaksana dengan baik.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

1. Malaka T. Kesehatan kerja dan penyakit akibat kerja. Proceeding Seminar dan Muker I IDKI. Jakarta: pengurus pusat Ikatan Dokter Kesehatan Kerja Indonesia; 1994.

2. World Trade Organization. Leading exporters and importers of textiles.

c2010. Available at : http://www.wto.org/.

3. Makatutu HA, Manginsengi M. Diagonsis dan penatalaksanaan dermatomikosis: Tinea pedis. Jakarta: balai penerbit FKUI; 1992.

4. Perdoski. Dermatofitosis superfisialis. Jakarta: balai penerbit FKUI; 2001.

5. Hafeez ZH. The pattern of tinea pedis in 90 patients in the San Fransisco Bay Area. Departement of dermatology research. University of California.

2002. Available from: Japanese Society for Contact Dermatitis.

6. Yi-Cheng S. A prospective epidemiological study on tinea pedis and onychomycosis in Hongkong. Departement of health. Yaumatei. 2006.

Available from Chinese Medical Journal.

7. Courtney MR. Tinea pedis. c2013. Available at : http://www.emedicine.medscape.com/.

8. Siregar. Penyakit jamur kulit. Palembang; 2005.

9. Soekandar TM. Angka kejadian dan pola jamur penyebab tinea pedis di asrama Brimob Semarang. Semarang : Ilmu kesehatan kulit dan kelamin FK Undip; 2004.

10. Kurniawati RD. Faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian tinea pedis pada pemulung di TPA Jatibarang Semarang. Semarang (Indonesia) : Ilmu Kesehatan Lingkungan Universitas Diponegoro; 2006.

11. Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffel D, Wolff K.

Fitzpatrick's dermatology in general medicine. USA: Mc Graw-Hill Companies; 2012.

12. Kumar V, Tilak R, Prakash P, et al. Tinea pedis- an update. Banaras Hindu University. India. 2011. Available from Asian Journal of Medical Sciences.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa pemberian teknik spa kaki lebih efektif menurunkan nyeri kaki dibandingkan senam kaki pada penyandang diabetes

Operasionalisasi kebijakan-kebijakan tersebut tidak dapat dilepaskan dari tersedianya data dan informasi yang lengkap, akurat dan mutakhir terkait bidang kefarmasian dan

inilah yang akan digunakan sebagai instrumen final untuk mengukur.

melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik).Pembelajarantematik memiliki ciri khas, antara lain: 1)Pengalaman dan kegiatan belajar relevan dengan tingkat

Dengan surat ini, kami selaku pengurus FKMB Semarang memberitahukan bahwa akan diadakan Kegiatan Malam Keakraban (MAKRAB) antar anggota FKMB Semarang, yang akan dilaksanakan

Pada buku bagian batang bawah dari ruas tumbuh daun pelepah yang.. membalut ruas sampai buku bagian atas

Hasil hipotesis menunjukkan bahwa t hitung lebih besar dari t tabel maka, dapat dinyatakan Ha diterima dan Ho ditolak, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya perbedaan

 Di dalam hal mengekspor barang ke perusahaan yang termasuk di dalam daftar tersebut, perlu memperoleh izin dari Menteri METI, kecuali secara nyata dapat dibuktikan barang tersebut