• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDY ETHNOMATHEMATICS: MENGUNGKAP IDE-IDE MATEMATIS PADA ANYAMAN DAN SATUAN-SATUAN (PANJANG, LUAS, DAN VOLUME) DI MASYARAKAT KAMPUNG NAGA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDY ETHNOMATHEMATICS: MENGUNGKAP IDE-IDE MATEMATIS PADA ANYAMAN DAN SATUAN-SATUAN (PANJANG, LUAS, DAN VOLUME) DI MASYARAKAT KAMPUNG NAGA."

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika

oleh

TIA SEPTIANAWATI NIM 1006524

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

(2)

Oleh Tia Septianawati

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam

© Tia Septianawati 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Juli 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)
(4)

Vi

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Pertanyaan Penelitian ... 8

D. Tujuan Penulisan ... 9

E. Manfaat Penulisan ... 9

BAB II KAJIAN TEORI ... 11

A. Masyarakat Kampung Naga ... 11

B. Etnomatematika (Ethnomathematics) ... 17

C. Ide Matematis ... 31

D. Anyaman ... 32

E. Satuan-satuan Panjang, Luas, dan Volume ... 42

BAB III METODE PENELITIAN ... 47

A. Pendekatan Penelitian ... 47

B. Metode Penelitian ... 48

C. Desain Penelitian ... 48

(5)

vii

Tia Septianawati, 2014

E. Fokus Penelitian ... 51

F. Tempat dan Waktu Penelitian ... 51

G. Sampel Sumber Data Penelitian ... 52

H. Definisi Operasional ... 52

I. Instrumen Penelitian ... 53

J. Teknik Pengumpulan Data ... 53

K. Teknik Analisis Data ... 55

L. Uji Keabsahan Data ... 56

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 58

A. Hasil Penelitian ... 58

1. Profil Informan ... 58

2. Pemaparan Data Mengenai Gambaran Kampung Naga ... 62

3. Data Hasil Penelitian ... 67

B. Pembahasan ... 86

1. Anyaman ... 86

2. Satuan-satuan Panjang, Luas, dan Volume ... 99

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 120

A. Kesimpulan ... 120

B. Saran ... 122

DAFTAR PUSTAKA ... 123

(6)

ii

di Masyarakat Kampung Naga.

Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan hubungan timbal balik antara matematika dengan budaya. Hal ini dikarenakan dalam aktivitas budaya terdapat ide-ide matematis yang dianggap sebagai hal yang penting dalam pembelajaran matematika. Selama ini matematika dianggap sebagai sesuatu yang netral dan tidak terkait dengan budaya (culture free). Hal ini dapat dilihat dari matematika yang dipelajari di sekolah sebagai mata pelajaran yang secara umum pembelajarannya meliputi fakta-fakta, konsep, dan materi. Padahal, matematika selalu menjadi bagian dari kebudayaan manusia meski dalam bentuk yang sederhana. Indonesia dengan keragaman budayanya sudah seharusnya memasukkan nilai-nilai budaya setempat ke dalam pembelajaran matematika, agar matematika tidak dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang jauh dari realitas kehidupan. Sebuah studi yang mengkaji ide atau praktik matematika dalam ragam aktivitas budaya dikenal dengan ethnomathematics. Penelitian ini dilakukan di Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat. Pada penelitian ini diperlukan studi mendalam terhadap aktivitas menganyam dan mengukur masyarakat Kampung Naga. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode etnografi. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan prinsip-prinsip dalam etnografi, yaitu observasi, wawancara, dokumentasi, dan catatan lapangan (field note). Hasil temuan dari penelitian ini yaitu mengungkap unsur-unsur geometri yang terdapat pada anyaman yang dibuat oleh masyarakat Kampung Naga dan mengungkap satuan-satuan panjang, luas, dan volume yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat mengubah sedikit pandangan masyarakat Indonesia bahwa matematika memiliki keterhubungan dengan budaya dan menjadi salah satu masukan bagi kurikulum pembelajaran matematika di Indonesia.

Kata Kunci: Ethnomathematics, Etnografi, Masyarakat Kampung Naga,

(7)

iii Tia Septianawati, 2014

Mathematical Ideas of Woven and Units (Length, Area, and Volume) in Kampung Naga Society.

This study aims to demonstrate the interrelationship between mathematics and culture. This is because the cultural activities have mathematical ideas regarded as important in learning mathematics. Mathematics is regarded as something neutral and not associated with culture (culture-free). It can be seen from the mathematics learning process in school as a subjects which include the learning of facts, concepts, and materials. In fact, mathematics has always been a part of human culture even in a simple form. Indonesia with its cultural diversity is supposed to incorporate local cultural values into learning mathematics, so mathematics is not considered as a science that is far from the reality of life. A study that examines the idea or mathematical practices in a variety of cultural activities known as ethnomathematics. This research was conducted in Kampung Naga, Tasikmalaya, West Java. In this research, in-depth study is needed to know activity of measuring and weaving Kampung Naga society. Therefore, this study used a qualitative approach and ethnographic methods. Collecting data in this study using the principles of ethnography, such as observation, interviews, documentation, and field notes. The findings of this study uncover that geometry elements contained in the woven made by Kampung Naga society and uncover the units of length, area, and volume used by Kampung Naga society. With this research, researcher expected that the view of the people of Indonesia that mathematics has a connection to the culture can change and this research become one of the input for the learning of mathematics curriculum in Indonesia.

Keyword: Ethnomathematics, Ethnography, Kampung Naga Society, Woven,

(8)

1

A. Latar Belakang Penelitian

Hingga saat ini belum ada kesepakatan diantara para matematikawan mengenai apa yang disebut matematika. Para matematikawan memiliki definisi yang berbeda mengenai matematika. Banyaknya definisi dan beragamnya deskripsi yang berbeda mungkin disebabkan oleh matematika itu sendiri, dimana matematika termasuk salah satu disiplin ilmu yang memiliki suatu kajian yang sangat luas. Akibatnya, para matematikawan bebas mengemukakan pendapatnya mengenai matematika berdasarkan sudut pandang, kemampuan, dan pemahamannya masing-masing (Fathani, 2009:17). Salah satunya adalah pendapat dari Sumardyono (2004: 6) yang menyatakan bahwa matematika dapat dipandang sebagai produk dari pemikiran intelektual manusia dan sebagai proses berpikir. Pemikiran intelektual itu bisa didorong dari permasalahan pemikiran saja maupun permasalahan yang menyangkut kehidupan nyata sehari-hari. Pendapat ini sejalan dengan pendapat dari White yang menyatakan bahwa keselurahan dari matematika adalah truths dan realities yang merupakan bagian dari kebudayaan manusia dan menyimpulkan dengan pernyataan bahwa kebenaran matematika itu ditemukan tetapi juga dibuat oleh manusia (Gerdes, 1996: 910).

(9)

Tia Septianawati, 2014

yang dialami. Selain itu, perkembangan teknologi modern yang terjadi saat ini juga tidak luput dari peran matematika. Oleh karena itu, matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang harus dikuasai manusia, terutama oleh siswa dalam rangka mempersiapkan siswa menghadapi permasalahan di dunia nyata.

Melihat betapa pentingnya matematika untuk kehidupan manusia, maka wajarlah jika matematika dijadikan sebagai mata pelajaran yang perlu dipelajari oleh siswa Indonesia mulai dari SD, SMP, dan SMA. Tetapi, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) mengenai kemampuan literasi matematis siswa Indonesia pada tahun 2003, 2006, 2009, dan 2012 menunjukkan bahwa kemampuan literasi matematis siswa Indonesia masih rendah. Pada tahun 2003 Indonesia berada di peringkat 38 dari 40 negara, dengan rataan skor 360. Pada tahun 2006 rataan skor siswa Indonesia naik menjadi 391, yaitu peringkat 50 dari 57 negara. Pada tahun 2009 Indonesia hanya menempati peringkat 61 dari 65 negara, dengan rataan skor 371, sementara rataan skor internasional adalah 496 (Balitbang dalam Maryanti, 2012:4). Sedangkan berdasarkan PISA 2012 Results in Focus, pada tahun 2012 Indonesia menduduki peringkat ke 64 dari 65 negara dengan skor rataan 375. Hal ini menunjukkan bahwa siswa Indonesia belum menganggap matematika sebagai mata pelajaran yang penting untuk dipelajari. Sebaliknya, matematika dianggap sebagai sesuatu yang menyeramkan, tidak menarik, dan jauh dari kehidupan nyata.

Hal tersebut mungkin saja terjadi karena persepsi atau sikap guru terhadap matematika. Menurut Sumardyono (2004: 1), seorang guru haruslah memahami karakter matematika agar dapat mengambil sikap yang tepat dalam pembelajaran matematika. Pemahaman yang tidak utuh terhadap matematika sering memunculkan sikap yang kurang tepat dalam pembelajaran, bahkan memunculkan sikap negatif terhadap matematika. Diharapkan dengan pemahaman yang utuh pembelajaran dapat menjadi lebih bermakna.

(10)

bahwa “mathematics always taught in schools as a culturally free subject that involved learning supposedly universally accepted facts, concept, and content”. Matematika dipelajari di sekolah sebagai mata pelajaran yang tidak terkait dengan budaya yang secara umum pembelajarannya meliputi fakta-fakta, konsep, dan materi. Matematika juga dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang sempurna dengan kebenaran yang objektif dan dirasakan jauh dari realitas kehidupan sehari-hari.

Menurut D’Ambrosio (Gerdes, 1996: 912) pada masa sebelum dan di luar sekolah hampir semua anak di dunia telah menjadi „matherate‟ artinya, mereka mampu mengembangkan kemampuan untuk menggunakan bilangan, menghitung, dan menggunakan beberapa pola inferensi. Tetapi, seorang individu yang dengan sempurna telah mampu menggunakan bilangan, operasi, bentuk geometris, dan gagasan, ketika di sekolah dihadapkan pada pendekatan yang sama sekali baru dan formal mengenai fakta-fakta. Sebagai akibatnya, terbentuklah penyumbatan psikologis yang tumbuh sebagai penghalang antara perbedaan model-model numerik yang dipelajari di sekolah dengan pemikiran geometris yang sudah dipelajarinya dari kehidupan nyata sebelum atau di luar sekolah, sehingga tahap awal pendidikan matematika memberikan pengaruh pada anak rasa kegagalan, ketergantungan, bahkan kehilangan kemampuan matematis yang telah dimiliki pada masa pra sekolah. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran matematika di sekolah terlepas dari kehidupan nyata yang kaya akan budaya dan peradaban.

Pendapat lain yang menyatakan bahwa matematika sekolah saat ini terlepas dari budaya yaitu pendapat dari Morris Kline (Francois and Kerkhove, 2010:123) yang menyatakan bahwa:

(11)

Tia Septianawati, 2014

from its rich intellectual setting in the culture of our civilization and reduced to a series of techniques has been grossly distorted.

Menurut Morris Kline, mata pelajaran matematika dan buku matematika sekolah menyajikan sebuah rangkaian prosedur teknis yang nampak tidak bermakna. Materi tersebut seperti representasi dari subjek yang menjabarkan nama, posisi, dan fungsi dari setiap tulang dalam kerangka manusia yang merepresentasikan kehidupan, pemikiran, dan emosi yang disebut manusia. Seperti sebuah frase yang kehilangan makna atau memperoleh makna yang tidak diinginkan ketika dihapus dari konteksnya, jadi matematika dilepaskan dari kekayaan intelektual dalam lingkungan budaya dan peradaban dan direduksi menjadi rangkaian teknik yang telah sangat diselewengkan. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, wajarlah jika kebanyakan masyarakat menganggap bahwa matematika dan budaya tidak saling terkait satu sama lain.

Namun, penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara matematika dan budaya. Menurut Clements (Karnilah, 2013: 2), salah satunya dapat dilihat dari hasil pertemuan-pertemuan International Community of Mathematics Education yang menyatakan bahwa permasalahan

yang terkait dengan budaya mau tidak mau akan mengelilingi proses belajar mengajar matematika, bahkan mengelilingi pula semua bentuk-bentuk matematika (selain pendidikan matematika).

Turmudi (2012: 5) menyatakan bahwa matematika berurusan dengan gagasan (ide), matematika bukan tanda-tanda sebagai akibat dari coretan pensil, bukan kumpulan benda-benda fisik berupa segitiga, namun berupa gagasan yang direpresentasikan oleh benda-benda fisik. Sehingga, menurut Turmudi terdapat tiga sifat utama dari matematika. Pertama, matematika sebagai objek yang ditemukan dan diciptakan manusia. Kedua, matematika itu diciptakan bukan jatuh dengan sendirinya, namun muncul dari aktivitas yang objeknya telah tersedia, serta dari keperluan sains dan kehidupan keseharian. Ketiga, sekali diciptakan objek matematika memiliki sifat-sifat yang ditentukan secara baik.

(12)

pembelajarannya merupakan milik bersama seluruh umat”. Oleh karena itu, matematika selalu menjadi bagian dari kebudayaan manusia meski dalam bentuk yang sederhana. Hal ini menunjukkan bahwa matematika dan budaya saling terkait satu sama lain.

Pembelajaran matematika sekolah saat ini banyak mengadopsi dari pembelajaran matematika negara luar yang dianggap lebih maju (western). Seperti yang ditulis dalam artikel yang berjudul Budaya Pengaruhi Ilmu Matematika pada harian umum Pikiran Rakyat 14 Januari 2010, pengadopsian kurikulum ini tidaklah salah. Hanya saja, pendekatan budaya setempat dalam pembelajaran matematika perlu diterapkan juga agar penguasaan siswa lebih sempurna. Hal ini terbukti dengan negara-negara berlatar belakang budaya warisan Cunfucian seperti Singapura, Jepang, Cina, Korea, dan Hongkong yang menduduki peringkat tertinggi di dunia dalam prestasi matematika di hampir seluruh tingkat pendidikan. Menurut hemat peneliti, Indonesia dengan keragaman budayanya sudah seharusnya memasukkan nilai-nilai budaya setempat ke dalam pembelajaran matematika, agar matematika tidak dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang jauh dari realitas kehidupan. Hal ini dikarenakan dalam aktivitas budaya terdapat ide-ide matematis yang dianggap sebagai hal yang penting dalam pembelajaran matematika.

Ranah kajian yang dapat digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara budaya dan matematika yaitu etnomatematika. Borba mengemukakan bahwa “ethnomathematics as a field of knowledge intrinsically linked to a cultural group and its interest, being in this way tightly linked to its reality ... and being expressed by a language, usually different from the one used by mathematics” (Peared, 1996: 42). Etnomatematika dianggap sebagai kajian pengetahuan yang pada hakikatnya terkait dengan kelompok budaya dan kepemilikannya, yang menjadikannya terkait erat dengan realitas dan dapat diungkapkan dengan bahasa, yang biasanya berbeda dari yang digunakan oleh matematika.

(13)

Tia Septianawati, 2014

articulate and use concepts and practices which are from their culture and which

the researcher describes as mathematical” (Barton, 1996: 196). Etnomatematika

dapat dipandang sebagai suatu ranah kajian penelitian yang meneliti cara sekelompok orang pada budaya tertentu dalam memahami, mengekspresikan, dan menggunakan konsep-konsep serta praktik-praktik kebudayaannya yang digambarkan oleh peneliti sebagai sesuatu yang matematis.

Alangui (2010: 3-5) menyatakan bahwa terdapat alasan-alasan yang mendorong lahirnya etnomatematika yang meliputi alasan-alasan sejarah, budaya, sosial, politik, dan pendidikan. Alasan sosial berawal dari pandangan bahwa matematika merupakan konstruksi dari sosial dan budaya. Tetapi kenyataannya sistem pengetahuan non-Western ternyata sulit ditemukan dalam kajian-kajian ilmu pengetahuan dan teknologi. Alasan sejarah yaitu matematika sebagai hasil pemikiran Barat (Western) dipaksakan masuk ke dalam pembelajaran matematika di negara-negara jajahannya tanpa ada perubahan atau interaksi budaya. Salah satu penolakan terhadap kolonialisme tersebut yaitu adanya pengkajian terhadap sejarah matematika. Alasan budaya yaitu melihat hasil penyelidikan, dokumentasi, dan pemahaman mengenai bentuk-bentuk lain dari pengetahuan matematika yang dimiliki oleh non-Western. Alasan politik dan pendidikan, yaitu matematika dapat membantu menciptakan kondisi demokrasi dengan mengembangkan kesadaran diantara guru dan siswa tidak hanya melalui pencakupan kurikulum materi matematika sosial dan budaya yang berkaitan, tapi juga melalui cara belajar dan mengajar dengan melakukan dialog kritis secara terbuka antara guru dan siswa.

Dua alasan utama penggunaan etnomatematika dalam pendidikan, yaitu untuk mereduksi anggapan bahwa matematika itu bersifat final dan absolut (pasti) serta untuk mengilustrasikan perkembangan intelektual dari berbagai macam kebudayaan, profesi, jender, dan lain-lain (D’Ambrosio dalam Sumardyono, 2004: 22).

(14)

semangat matematika terdapat dimana-mana termasuk dalam suatu kelompok budaya tertentu seperti yang terdapat dalam arsitektur, agrikultur, permainan masyarakat, tata bahasa, olahraga, bahkan peribadatan agama. Yang dipelajari dari hal-hal tersebut adalah sifat-sifat atau bentuk-bentuk matematika di dalamnya. Oleh karena itu, budaya dapat dijadikan sebagai sumber belajar matematika dan sebagai media untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam belajar matematika. Menurut Bishop (Gerdes, 1996: 917) ethnomathematicians (para peneliti etnomatematika) mengadopsi konsep umum matematika khususnya mengenai membilang, menempatkan, mengukur, merancang, melakukan permainan, dan menjelaskan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat suatu suku. Ide-ide matematika dianggap terdapat pada aktivitas-aktivitas budaya suatu suku yang mencakup hal-hal tersebut.

Penelitian mengenai etnomatematika sangat cocok dilakukan di Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara multikultur dan multietnik yang memiliki banyak suku bangsa. Meskipun kemajuan zaman tengah terjadi, banyak etnik di Indonesia yang masih bertahan dengan memegang teguh ajaran nenek moyangnya. Salah satunya yaitu masyarakat Kampung Naga yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Masyarakat Kampung Naga sangat menjunjung tinggi adat istiadat yang telah diturunkan oleh nenek moyang dan sangat menjaga keasrian alam sekitarnya. Hal ini bisa dilihat dari bentuk bangunan dan cara hidup masyarakat Kampung Naga. Oleh karena itu, pada penelitian etnomatematika ini peneliti akan melakukan penelitian etnomatematika di Kampung Naga.

(15)

Tia Septianawati, 2014

salah satu contoh anyaman dari daun kelapa (janur) yang sering dibuat oleh masyarakat Kampung Naga yaitu sarung ketupat. Masyarakat Kampung Naga menyebut ketupat dengan kupat. Macam-macam ketupat yang ada di Kampung Naga, yaitu kupat lantéra, kupat keupeul, kupat salamet, kupat jéngkol, kupat diuk, dan kupat totombo. Ketupat-ketupat tersebut dibuat oleh masyarakat

Kampung Naga ketika akan melaksanakan upacara adat dan panen.

Selain itu, aktivitas yang sering dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga yaitu mengukur. Misalnya mengukur panjang suatu benda, mengukur panjang dan lebar tanah sebelum menghitung luasnya dan mengukur panjang, lebar, dan tebal kayu serta menghitung volumenya. Dalam aktivitas mengukur ini masyarakat Kampung Naga memang sudah menggunakan alat ukur standar, tetapi mereka juga masih menggunakan alat ukur tradisional untuk beberapa kondisi. Misalnya jika pergi ke hutan tetapi tidak membawa alat ukur standar untuk mengukur kayu, maka akan digunakan bagian-bagian tubuh (seperti tangan dan bahu) untuk mengukurnya. Dalam hal ini, masyarakat Kampung Naga menggunakan satuan-satuan ukuran panjang, luas, dan volume yang khas.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk mengungkap ide-ide matematis pada anyaman yang dibuat oleh masyarakat Kampung Naga dan mengungkap satuan-satuan panjang, luas, dan volume yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga. Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menunjukkan bahwa antara matematika dan budaya terdapat hubungan timbal balik sehingga matematika tidak lagi dianggap jauh dari realitas kehidupan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimana ide-ide matematis pada anyaman yang dibuat oleh masyarakat Kampung Naga?

(16)

C. Pertanyaan Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan pada rumusan masalah, maka ada beberapa pertanyaan penelitian yang harus dijawab. Beberapa pertanyaan penelitian tersebut adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana ide-ide matematis yang terdapat pada anyaman bambu yang dibuat oleh masyarakat Kampung Naga?

2. Bagaimana ide-ide matematis yang terdapat pada anyaman sarung ketupat yang dibuat oleh masyarakat Kampung Naga?

3. Apa saja satuan-satuan panjang, luas, dan volume yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga?

4. Bagaimana penggunaan satuan-satuan panjang, luas, dan volume oleh masyarakat Kampung Naga?

5. Bagaimana konversi satuan-satuan panjang, luas, dan volume yang digunakan masyarakat Kampung Naga ke dalam Satuan Internasional (SI)?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengungkap ide-ide matematis yang terdapat pada anyaman yang dibuat oleh masyarakat Kampung Naga.

2. Mengungkap satuan-satuan panjang, luas, dan volume yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini, yaitu:

(17)

Tia Septianawati, 2014

2. Dari segi praktik, penelitian ini dapat menjadi panduan bagi peneliti lain yang tertarik pada domain etnomatematika sebagai akibat dari hubungan timbal balik antara matematika dan budaya.

3. Dari segi isu sosial, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk merubah opini selama ini yang memandang bahwa matematika tidak ada keterkaitan sama sekali dengan budaya. Dengan berubahnya opini tersebut, diharapkan para siswa di dalam pembelajaran matematika tidak akan lagi merasa takut ketika belajar matematika dan manfaat matematika akan semakin dirasakan oleh masyarakat secara luas.

(18)

47

A. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan karena permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini terkait dengan kehidupan sosial atau masyarakat yang kompleks, holistik, dan penuh makna sehingga pengumpulan data tidak mungkin dengan pendekatan kuantitatif yang menggunakan instrumen seperti tes atau kuisioner. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Creswell (Patilima, 2011: 2-3) bahwa pendekatan kualitatif adalah sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia berdasarkan pada penciptaan gambar holistik yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam sebuah latar ilmiah.

Selain itu, alasan dipilihnya pendekatan kualitatif yaitu perspektif Barton (1996) dan Alangui (2010: 61) yang menyatakan bahwa pendekatan kualitatif memungkinkan untuk mengungkap etnomatematika. Pemilihan dan penggunaan pendekatan kualitatif pada penelitian ini juga didasarkan pada pendapat Bogdan dan Biklen (Sugiyono, 2009: 9) mengenai karakteristik penelitian kualitatif. Karakteristik penelitian kualitatif tersebut, yaitu: (1) dilakukan pada kondisi alamiah, langsung ke sumber data, dan peneliti adalah instrumen kunci; (2) penelitian kualitatif lebih bersifat deskriptif; (3) penelitian kualitatif lebih menekankan pada proses daripada produk atau outcome; (4) penelitian kualitatif melakukan analisis data secara induktif, (5) penelitian kualitatif lebih menekankan makna (data dibalik yang teramati).

(19)

Tia Septianawati, 2014

B. Metode Penelitian

Menurut Ary, et al. (2010: 29) terdapat delapan metode dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif, yaitu (1) basic interpretative studies; (2) case studies; (3) content analysis; (4) etnography; (5) grounded theory; (6) historical

studies; (7) narrative inquiry; (8) phenomenological studies.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode etnografi. Etnografi adalah penelitian mendalam tentang perilaku yang terjadi secara alami dalam suatu budaya atau kelompok sosial. Hal ini sesuai dengan pendapat Ary, et al (2010: 30) yang menyatakan bahwa “ethnography is an in-depth study of naturally occurring

behaviora within a culture or social group”. Etnografi berusaha untuk memahami

hubungan antara budaya dan perilaku, dengan budaya yang merujuk kepada keyakinan, nilai-nilai, konsep, praktek dan sikap kelompok tertentu. Hal ini berarti, peneliti memeriksa apa yang dilakukan oleh manusia dan menafsirkan mengapa mereka melakukan hal tersebut (Ary, et al 2010: 459).

Dalam penelitian ini, peneliti akan mengungkap ide-ide matematis yang terdapat pada anyaman yang dibuat oleh masyarakat Kampung Naga dan mengungkap satuan-satuan panjang, luas, dan volume yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga. Oleh karena itu, diperlukan studi mendalam terhadap aktivitas menganyam dan mengukur yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga, sehingga metode etnografi dianggap tepat untuk digunakan dalam penelitian ini.

C. Desain Penelitian

Nachmias dan Nachmias (Abdurahman, 2013: 82) mengemukakan bahwa desain penelitian adalah suatu rencana yang membimbing peneliti dalam proses pengumpulan, analisis, dan interpretasi observasi.

(20)

memasukkan pandangan partisipan (emic perspective) serta pandangan sebagai peneliti (etic perspective). Spradley (Ary, et al., 2010: 462) mengemukakan langkah-langkah penelitian etnografi, yaitu sebagai berikut.

1. Memilih sebuah proyek etnografi

Lingkup proyek ini dapat sangat bervariasi dari seluruh masalah kompleks di masyarakat atau hanya meneliti sebuah situasi sosial. Untuk seorang pemula akan lebih bijaksana apabila membatasi lingkup proyeknya untuk situasi sosial tunggal sehingga dapat diselesaikan dalam waktu yang wajar. Situasi sosial selalu memiliki tiga komponen: tempat, aktor dan aktivitas. Dalam penelitian ini peneliti memilih aktivitas menganyam dan mengukur yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga sebagai situasi sosial yang akan diteliti.

2. Melakukan wawancara etnografi

Pertanyaan dalam pikiran peneliti dijadikan sebagai panduan apa yang dilihat dan didengar dan sebagai alat pengumpul data.

3. Mengumpulkan data etnografi.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik observasi, wawancara, dokumen, dan catatan lapangan dalam mengumpulkan data.

4. Membuat catatan etnografi.

Sebuah catatan etnografi meliputi catatan lapangan, foto-foto, artefak, dan benda lain yang mendokumentasikan suasana budaya yang dipelajari.

5. Menganalisis data etnografi

Sebuah catatan lapangan selalu diikuti oleh analisis data yang mengarah ke pertanyaan- pertanyaan baru dan hipotesis baru. Jika data yang terkumpul dan catatan lapangan lebih banyak, maka analisis akan lebih banyak. Siklus tersebut akan berlanjut sampai proyek selesai.

6. Menulis etnografi.

(21)

Tia Septianawati, 2014

rinci dan nyata, tidak umum atau samar-samar, sehinga tulisan etnografi biasanya panjang dan terdiri dari beberapa halaman.

D. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2013 sampai Desember 2013. Adapun tahapan penelitian dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Analisis Pra-lapangan

Tahap ini meliputi merumuskan masalah, mengurus administrasi untuk melakukan pengamatan pendahuluan ke objek penelitian, melakukan pengamatan pendahuluan, menganalisis hasil pengamatan pendahuluan, menentukan masalah penelitian, memilih metode pendahuluan, dan sumber data. Kemudian, konsultasi kepada pembimbing, membuat proposal, mengajukan kepada koordinator skripsi, melakukan seminar, dan mengajukan surat izin penelitian dari Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) UPI. Surat perizinan tersebut kemudian diajukan kepada KOPERASI Kampung Naga dan Kantor Kepala Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya.

2. Analisis selama di Lapangan

Dalam tahap ini, peneliti melakukan penelitian dengan cara mengumpulkan data dari lapangan. Adapun tahapan kegiatan ini adalah sebagai berikut.

a. Mengumpulkan data dalam bentuk catatan lapangan dari beberapa narasumber penting berupa hasil wawancara, foto dan rekaman;

b. Mereduksi data untuk mempermudah dalam melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan;

c. Menampilkan data dalam bentuk tabel dan diagram agar dapat terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, dan dapat dengan mudah dipahami;

(22)

3. Analisis Data Keseluruhan

Pada tahap ini, penulis menyajikan hasil penelitian ke dalam bentuk karya ilmiah yang berupa skripsi. Tahapan pada kegiatan ini meliputi:

a. Pengumpulan data hasil penelitian dan studi dari berbagai sumber, seperti jurnal, prosiding, buku, majalah, surat kabar, dan internet;

b. Pengelompokkan data penilitian;

c. Penyusunan data sesuai fokus kajian permasalahan dan tujuan penelitian; d. Penganalisisan data, membahas dan mendeskripsikan temuan-temuan dari

hasil penelitian ke dalam karya ilmiah; e. Penyimpulan hasil penelitian.

E. Fokus Penelitian

Fokus penelitian dalam skripsi ini yaitu mengungkap ide-ide matematis yang terdapat pada anyaman yang dibuat oleh masyarakat Kampung Naga dan mengungkap satuan-satuan panjang, luas, dan volume yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti berfokus pada aktivitas menganyam dan aktivitas mengukur yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga.

F. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Secara spesifik, tempat yang diteliti adalah tempat-tempat dimana proses menganyam dilakukan. Proses menganyam biasanya dilakukan di beranda rumah adat di Kampung Naga. Pada penelitian ini, peneliti mengunjungi beberapa tempat pengrajin anyaman untuk menggali data melalui observasi dan wawancara tak formal. Sedangkan, untuk mengukur dilakukan di kediaman Pak Ujang dan di sawah di Kampung Naga.

(23)

Tia Septianawati, 2014

2013 dan penelitian dilakukan selama empat hari pada tanggal 5 Desember 2013 hingga 8 Desember 2013.

G. Sampel Sumber Data Penelitian

Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka dalam penelitian ini tidak menggunakan istilah populasi dan sampel. Tetapi, menurut Spradley (Sugiyono, 2009: 49) dalam pendekatan kualitatif istilah tersebut dinamakan “social situation” atau situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu tempat, pelaku, dan aktivitas yang berinteraksi secara sinergis.

Pada penelitian ini, peneliti memasuki situasi sosial, yaitu situasi menganyam dan mengukur yang dilakukan oleh masyarakat kampung Naga. Peneliti melakukan observasi dan wawancara kepada para penganyam dan kepada orang-orang yang dipandang tahu mengenai anyaman dan satuan-satuan pengukuran. Penentuan sumber data pada orang yang diwawancarai dilakukan secara purposive, yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu.

H. Definisi Operasional

1. Ethnomathematics: suatu ranah kajian penelitian yang meneliti cara

sekelompok orang pada budaya tertentu dalam memahami, mengekspresikan, dan menggunakan konsep-konsep serta praktik-praktik kebudayaannya yang digambarkan oleh peneliti sebagai sesuatu yang matematis.

2. Ide-ide matematis: segala sesuatu yang berkaitan dengan bilangan, logika, konfigurasi spasial, dan kombinasi atau susunan dalam suatu sistem dan struktur.

(24)

4. Satuan-satuan panjang, luas, dan volume: pembanding yang digunakan dalam pengukuran besaran panjang, luas, dan volume.

5. Masyarakat Kampung Naga: sekelompok masyarakat sub-etnis Sunda di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat, Indonesia.

I. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Dalam penelitian ini, peneliti merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analis, penafsir data, dan pada akhirnya peneliti menjadi pelapor data hasil penelitiannya (Moleong, 2011 : 168).

Hal ini berarti sebagai instrumen dalam penelitian ini, peneliti menentukan siapa yang tepat untuk dijadikan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menganalisis data kualitatif, dan selanjutnya menyimpulkan secara kualitatif mengapa pengrajin anyaman di Kampung Naga melakukan kegiatan-kegiatan yang memiliki ide-ide matematis dalam proses menganyamnya, menggambarkan ide-ide matematis apa saja yang terdapat pada anyaman masyarakat Kampung Naga, menggambarkan satuan-satuan panjang, luas, dan volume yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga, menggambarkan bagaimana mereka melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, hingga penggambaran apa yang terjadi antara matematika dan budaya pada konteks tersebut.

J. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu wawancara, observasi, studi dokumentasi, dan catatan lapangan.

a. Wawancara

(25)

Tia Septianawati, 2014

(Basrowi dan Suwandi, 2008: 127). Wawancara dilakukan sebagai teknik pengumpulan data dalam melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti maupun untuk melakukan penelitian lebih mendalam.

Wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah wawancara pembicaraan informal. Pada wawancara pembicaraan informal, pertanyaan yang diajukan bergantung pada pewawacara, hubungan pewawancara, dan yang diwawancarai dalam suasana yang biasa dan wajar, sedangkan pertanyaan dan jawabannya berjalan seperti pembicaraan biasa dalam kehidupan sehari-hari. Jenis wawancara ini digunakan oleh peneliti agar masyarakat Kampung Naga yang diwawancari merasa nyaman dan timbul keakraban diantara peneliti dan masyarakat Kampung Naga khususnya yang diwawancarai sehingga informasi yang dibutuhkan mudah untuk diperoleh.

Pada penelitian ini wawancara dilakukan dengan tujuan untuk menggali informasi mendalam dari subjek penelitian mengenai aktivitas menganyam dan mengukur untuk mengungkap ide-ide matematis pada anyaman yang dibuat oleh masyarakat Kampung Naga dan satuan-satuan panjang, luas, dan volume yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga.

b. Observasi

Menurut Ngalim Purwanto (Basrowi dan Suwandi, 2008: 93), observasi adalah metode atau cara-cara menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung. Observasi digunakan untuk melihat dan mengamati secara langsung keadaan di lapangan agar peneliti memperoleh gambaran yang lebih luas mengenai permasalahan yang diteliti.

Dalam penelitian ini, observasi dilakukan untuk melihat dan mengamati sendiri aktivitas menganyam dan aktivitas mengukur yang berkaitan dengan penggunaan satuan-satuan panjang, luas, dan volume.

(26)

Dokumentasi merupakan suatu cara pengumpulan data yang menghasilkan catatan-catatan penting yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, sehingga akan diperoleh data yang lengkap, sah, dan bukan berdasarkan perkiraan (Basrowi dan Suwandi, 2008: 127). Dokumen dapat berbentuk tulisan, gambar, maupun karya monumental seseorang.

Dalam penelitian ini, dokumen yang digunakan berupa benda-benda peninggalan leluhur Kampung Naga dan benda-benda hasil kerajinan tangan masyarakat Kampung Naga.

d. Catatan Lapangan

Menurut Bogdan dan Biklen (Moleong, 2011: 209), catatan lapangan adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif. Ketika berada di lapangan, peneliti membuat catatan berupa coretan-coretan singkat yang berisi kata-kata kunci, frasa, pokok-pokok isi pembicaraan atau pengamatan, dan lain-lain. Kemudian, setelah kembali ke tempat tinggal, peneliti membuat catatan lapangan.

K. Teknik Analisis Data

Menurut Bogdan dan Biklen (Moleong, 2011: 248), analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensinstesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan.

(27)

Tia Septianawati, 2014

berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Oleh karena itu, untuk mempermudah peneliti dalam menganalisis data, peneliti melakukan langkah-langkah berikut ini.

1. Reduksi data

Reduksi data bertujuan untuk mempermudah pemahaman terhadap data yang telah terkumpul dari hasil catatan lapangan dengan cara merangkum dan mengklarifikasikan sesuai masalah yang diteliti. Data yang diperoleh di lapangan selanjutnya dipilih sesuai dengan tujuan permasalahan yang ingin dicapai, yakni mengungkap ide-ide matematis pada anyaman yang dibuat oleh masyarakat Kampung Naga dan mengungkap satuan-satuan panjang, luas, dan volume yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga.

2. Penyajian Data (Display)

Data yang diperoleh disajikan dalam uraian singkat, grafik, maupun tabel agar data dapat terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, dan dapat dengan mudah dipahami.

3. Menarik Kesimpulan

Langkah ketiga yaitu menarik kesimpulan yang dilakukan dengan maksud untuk mencari makna dan penjelasan yang dilakukan terhadap data yang dikumpulkan dengan mencari hal-hal yang penting. Agar memperoleh kesimpulan yang tepat, maka kesimpulan tersebut kemudian diverifikasi selama penelitian berlangsung. Kesimpulan ini merupakan hasil kegiatan mengaitkan pertanyaan-pertanyaan penelitian dengan data yang diperoleh dilapangan.

L. Uji Keabsahan Data

(28)

Dalam uji credibility, empat teknik pemeriksaan yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut.

1. Extended fieldwork (Perpanjangan Pengamatan)

Perpanjangan pengamatan ini bertujuan untuk membangun kepercayaan para subjek terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri (Moleong, 2011). Pada tanggal 31 Oktober 2013 sampai 1 November 2013, untuk pertama kali peneliti menginap di Kampung Naga. Ketika itu, pengamatan terhadap aktivitas menganyam dan mengukur masih berada pada kawasan permukaan. Interaksi dengan keluarga Pak Ujang dan pengrajin anyaman belum banyak dilakukan. Kemudian, peneliti datang kembali untuk melakukan penelitian lebih dalam pada tanggal 5 – 8 Desember 2014.

2. Ketekunan Pengamatan

Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci (Moleong, 2011: 329). Untuk meningkatkan ketekunan pengamatan, peneliti menyikapinya dengan membekali diri dengan membaca berbagai referensi tentang anyaman di Indonesia dan dunia serta satuan-satuan panjang, luas, dan volume yang digunakan oleh masyarakat Sunda bahkan dunia. Peneliti mengamati pula secara lebih seksama dokumentasi-dokumetasi milik peneliti saat melakukan pengamatan pendahuluan. 3. Triangulasi

Dalam pengujian kredibilitas, triangulasi diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Pada penelitian ini, peneliti melakukan pengecekan data dengan tiga jenis triangulasi, yaitu triangulasi sumber (mengecek data dari berbagai sumber yang terkait), triangulasi waktu (mengecek data di waktu pagi, siang, sore, dan malam hari), dan triangulasi teknik (observasi, dokumentasi, dan wawancara).

(29)

Tia Septianawati, 2014

Teknik ini dilakukan dengan cara menyingkap hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan teman-teman sejawat. Dalam hal ini, peneliti melakukan diskusi dengan dua orang teman yang sama-sama mengambil tema penelitian etnomatematika.

Uji transferability (keteralihan) dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan cara uraian rinci (thick description), jelas, sistematis, dan dapat dipercaya, agar setiap pembaca menjadi jelas dan pembaca dapat memutuskan apakah hasil penelitian ini dapat digunakan dalam situasi lain atau tidak. Sementara itu, uji dependability (kebergantungan) dan uji confirmability (kepastian) dilakukan

(30)

120

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penelitian etnomatematika dalam ranah pendidikan dapat digunakan untuk mengungkap ide-ide yang terdapat dalam aktivitas budaya tertentu atau kelompok sosial tertentu untuk mengembangkan kurikulum matematika untuk, dengan dan oleh kelompok tersebut. Sehingga, matematika dapat memiliki bentuk yang berbeda-beda dan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat pemakainya. Hal-hal yang berhasil diungkap dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut.

1. Anyaman yang dikaji pada penelitian ini, yaitu anyaman bambu dan anyaman daun kelapa.

a. Ide-ide matematis yang mungkin diungkap yaitu mengenai unsur-unsur geometri yang terdapat pada benda anyam Kampung Naga. Unsur geometri terungkap baik dari bentuknya maupun dari pola anyaman bambu masyarakat kampung Naga. Bentuk benda anyam Kampung Naga yaitu tabung, kerucut, dan kubus. Unsur geometri yang terungkap pada pola anyaman Kampung Naga yaitu unsur simetri dan isometri. Jenis simetri yang terungkap yaitu simetri huruf H yang terdapat pada pola anyaman

cecempéh. Sedangkan, jenis isometri yang terungkap pada pola anyaman

Kampung Naga, yaitu translasi, refleksi, dan refleksi geser (glide reflection).

b. Masyarakat Kampung Naga mengenal macam-macam ketupat, yaitu kupat salamet, kupat totombo, kupat keupeul, kupat diuk, kupat lantera, dan

kupat jengkol. Ide matematis yang terungkap dari anyaman selongsong

ketupat yaitu mengenai bentuk geometri ketupat-ketupat tersebut. Kupat salamet berbetuk triangular bipyramid, kupat totombo berbentuk balok,

(31)

Tia Septianawati, 2014

triangular bipyramid, kupat lantéra berbentuk kubus, dan kupat jéngkol

berbentuk square antiprism.

2. Pada konteks satuan-satuan yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga, peneliti mengkaji mengenai satuan panjang, satuan luas, dan satuan volume masyarakat Kampung Naga.

a. Satuan panjang yang digunakan masyarakat Kampung Naga, yaitu jeungkal, deupa, dan jarak ujung tangan kanan yang direntangkan ke ujung

bahu kiri atau masyarakat Kampung Naga menyebutnya sameter. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran jeungkal, deupa dan sameter kepada 23 orang masyarakat kampung Naga. Dari hasil pengukuran tersebut diperoleh bahwa rata-rata ukuran jeungkal masyarakat Kampung Naga adalah 19,59 cm, sehingga wajar jika masyarakat Kampung Naga menganggap bahwa sajeungkal sama dengan 20 cm. Rata-rata ukuran deupa masyarakat Kampung Naga adalah 156,35 cm. Nilai rata-rata deupa

tersebut tidak terlalu jauh dari 150 cm, sehingga wajar jika masyarakat Kampung Naga menganggap bahwa sadeupa sama dengan 150 cm. Sameter menurut masyarakat Kampung Naga ditunjukkan oleh gambar

4.22. Rata-rata ukuran ujung tangan kanan yang direntangkan ke ujung bahu kiri masyarakat Kampung Naga adalah 96,70 cm. Berdasarkan rata-rata tersebut, wajarlah jika masyarakat Kampung Naga menganggap jarak ujung tangan kanan yang direntangkan ke ujung bahu kiri sama dengan 1 meter.

b. Satuan luas digunakan dalam pengukuran luas tanah. Satuan-satuan tersebut yaitu bata, bau, dan areu. Berdasarkan hasil penelitian, sabata = 14 m2, sabau = 100 bata = 1.400 m2 , dan saareu = 7 bata = 100 m2. c. Satuan volume digunakan dalam penghitungan volume kayu.

(32)

untuk tiang: Vt = p élo

 untuk kaso-kaso: Vk = (3,6 × p) dim  untuk palang dada: Vpd = (0,5 × p) élo untuk papan: Vp = (0,6 × p) élo

dengan p : panjang kayu (meter)

Selain model-model matematika di atas, terungkap pula konversi kibik, élo, dim, dan strip. Dari penelitian tersebut diperoleh 1 élo = 10 dim

= 100 strip, 1 kibik = 1 m3 = 100 élo = 1.000 dim = 1.000 dm3, dan 1 dim = 1 dm3 = 1 liter.

B. Saran

Sehubungan dengan hasil penelitian ini, peneliti bermaksud memberikan beberapa saran. Pertama, bagi pelaku budaya yaitu masyarakat Kampung Naga. Kearifan lokal Kampung Naga mengandung ide-ide matematis, misalnya unsur-unsur geometri yang terdapat pada anyaman yang dibuat oleh masyarakat Kampung Naga. Oleh karena itu, pelaku budaya atau masyarakat Kampung Naga diharapkan dapat mempertahankan budaya lokal yang terbukti mengandung ide-ide matematis tersebut.

Kedua, bagi para matematikawan penelitian ini bermaksud memberikan rekomendasi bahwa kearifan lokal masyarakat Kampung Naga mengandung ide-ide matematis yang dapat menambah khazanah keilmuan matematika, khususnya di Indonesia.

Ketiga, saran bagi peneliti etnomatematika selanjutnya yang akan mengkaji anyaman dan satuan masyarakat Kampung Naga yaitu perlu digali lebih lanjut model-model matematika yang terdapat pada anyaman. Selain itu, perlu digali lebih lanjut alasan masyarakat Kampung Naga menganggap 1 élo = 100 dim serta pengunaan élo, dim, dan strip pada pengukuran lain (selain kayu) di masyarakat Kampung Naga.

(33)

Tia Septianawati, 2014

(34)

123

Pemecahan Masalah Geometri. (Skripsi). Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Adam, A. (2011). Weaving Culture and Mathematics. (Disertasi). University of Auckland, Auckland.

Alangui, W.V. (2010). Stone Walls and Water Flows: Interrogating Cultural Practice and Mathematics. (Disetasi). University of Auckland, Auckland.

Anonim. (2013). Kampung Naga. [Online]. Tersedia di: http://id.wikipedia.org/wiki/Kampung_Naga. Diakses 20Oktober 2013.

Anonim. (2010). Budaya Pengaruhi Ilmu Matematika. Pikiran Rakyat. [Online] Tersedia di: www.pikiran-rakyat.com. Diakses 23 November 2013.

Ary, D. dkk. (2010). Introduction to Research in Education. (edisi kedelapan). USA: Weadworth Cengage Learning.

Ascher&Ascher. (1997). Ethnomathematics. Dalam A.B. Powell& M. Frankenstein (Penyunting), Ethnomathematics Challenging Eurocentrism in Mathematics Education (hlm. 25-50). Albany: State University of New York.

Basrowi&Suwandi. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.

Barton, W.D. (1996). Ethnomathematics: Exploring Cultural Diversity in Mathematics. (Disertasi). University of Auckland, Auckland.

Basuki,B. (1985). Anyaman Bambu. Jakarta: PT Penebar Swadaya.

Borba, M.C. (1997). Ethnomathematics and Education. Dalam A.B. Powell & M. Frankenstein (Penyunting), Ethnomathematics Challenging Eurocentrism in Mathematics Education (hlm. 261-272). Albany: State University of New York.

(35)

Tia Septianawati, 2014

Chahina&Kinuthia. (2013). Juxtaposing Form, Function, and Social Symbolism: An Ethnomathematical Analysis of Indigenous Technologies in the Zulu Culture. Journal of Mathematics & Culture, 7(1), hlm.1-30.

D’Ambrosio, U. (1997). Ethnomathematics and its Place in the History and

Pedagogy of Mathematics. Dalam Ethnomathematics Challenging Eurocentrism in Mathematics Education (hlm. 13-24). Albany: State University of New York.

Danadibrata.(2006). Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Fathani, A.H. (2009). Matematika: Hakikat dan Logika. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Francois, K & Kerkhove, B.V. (2010). Ethnomathematics and Philosopy of Mathematics (Education). Dalam Philosophy of Mathematics: Sociological Aspectsand Mathematical Practice (hlm. 121-154). London: College Publication.

Garha, O. (1990). Berbagai Motif Anyaman. Bandung: Angkasa.

Gerdes, P. (1996). Ethnomathematics and Mathematics Education. Dalam International Handbook of Mathematical Education (hlm. 909-943). Dordrecht: Kluwer Academic Publiser.

Karnilah, N. (2013). Study Ethnomathematics: Pengungkapan Sistem Bilangan Masyarakat Ada tBaduy. (Skripsi). Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Kusumawardhani, A. (2010). Geometri Ketupat. Jurnal Teori dan Arsitektur, 4(2), hlm. 7-11.

Lensufiie, T. (2008). Mengenal Teknik Pengawetan Kayu. Jakarta: Erlangga

Maryanti, E. (2012). “Peningkatan Literasi Matematis Siswa melalui Pendekan

Metacognitive Guidance”. Tesis pada Jurusan Pendidikan Matematika UPI

Bandung: tidak diterbitkan.

Mashadi. (2010). Satuan Sukatan dan Pembelajaran Matematika. Dalam Mashadi, Syamsudhuha, M.D.H. Gamal, & M. Imran.(Penyunting). Proceedings of the International Seminar on Mathematics and Its Usage in Other Areas. (hlm. 177- 184).

(36)

Moleong, L.J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nuraeni. (2007). Kriya Bambu Masyarakat Kampung Naga. (Skripsi). Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

OECD. (2013). PISA 2012 Results in Focus. Paris: OECD Publications.

Patilima, H. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Peard, R. (1996). Ethnomathematics. Dalam Review of Mathematics Education in Australia 1992-1995 Bill Atweh, Ed. (hlm. 41-49). Washington, D.C: ERIC Clearinghouse.

Ramelan, R. & Handayani, S. (2009). Kampung Naga, Bentuk Kearifan Lokal Arsitektur Berkelanjutan. Jurnal Ilmiah Arsitektur, 9(2), hlm. 1-14.

Rosa, M. &Orey, D. C. (2011).Ethnomathematics: The Cultural Aspects Of Mathematics. Revista Latinoamericana de Etnomatemática, 4(2). hlm. 32-54.

Rosa, M. &Orey, D. (2009). Symmetrical Freedom Quilts: The Ethnomathematics Of Ways Of Communication, Liberation, And Art. Revista Latinoamericana de Etnomatemática, 2(2). hlm.52-75.

Savitri, M. H. (2011). Kajian tentang Nilai-nilai Budaya Adat Kampung Naga dan Dikaitkan dengan Ketaatan Masyarakat dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan. (Skripsi). Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Soegiono, S. (1974).Kerajinan Bambu. Jakarta: CV Permata.

Sudjono&Dewi.(2007). Pengurangan Emisi CO2 dari Pembangunan Rumah Berdasarkan Komponen Lingkungan Pendukung Rumah dan Kehidupan di Kampung Naga. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. 18(1), hlm.65-80.

Suganda,H. (2006). Kampung Naga Mempertahankan Tradisi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

Sugiyono.(2009).Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sumardyono (2004). Karakteristik Matematika dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Depdiknas.

(37)

Tia Septianawati, 2014

Syah, M. (2008).Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Talanquer,V. &Sarmiento,G. (2002). One Foot = One Cenxocpalli: Measuring in the Pre-Hispanic World. Science Scope,25(7). hlm. 12-17.

Tocharman, M. (2009). Melestarikan Budaya Kriya Anyam. Makalah pada Workshop Anyaman dan Gerabah di Museum Sribaduga, Bandung.

Turmudi. (2012). Matematika: Landasan Filosofis, Didaktis, dan Pedagogis Pembelajaran Matematika untuk Siswa Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam Kementrian Agama RI.

Wibawa, P.J.S. (2010). Perancangan Buku Motif Anyaman Rajapolah sebagai Media Pengenalan Budaya Lokal. Laporan Pengantar Tugas Akhir pada Fakultas Desain Unikom. Bandung: tidak diterbitkan.

Wibowo, A.S. (2012). Arsitektur Vernakuler dalam Perubahan: Kajian terhadap Arsitektur Kampung Naga, Jawa Barat. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI, ITB, hlm. 53-58.

Referensi

Dokumen terkait

Perancangan dan pembuatan rangkaian ini menggunakan Mikrokontroler AT89C52, dengan mengandalkan TXD (Port 3.1) dan RDX (Port 3.0) akan menghasilkan komunikasi serial

Sinyal posisi input yang dipicu oleh rangkaian osilator yakni gelombang sinus kemudian ditransmisikan ke primer LVDT yang menjadi tegangan input untuk sensor LVDT

Mulia Keramik Indahraya Cikarang, kontrol otomatis ini memberikan suatu jawaban atas permasalahan yang ada, yaitu salah satunya pada sistem hidrolik mesin press. Dengan

Standar Perawatan Berkala PT.ASTRA HONDA MOTOR .... Schedule Perawatan Berbasis

Gambar 2.3 Teknik Dasar dalam Proactive Maintenance untuk Memperpanjang Umur Peralatan

Medan : Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan: Lembaga Penelitian Universitas

mereka sehingga remaja saat ini tidak bisa menilai dengan cepat apa yang salah dan apa

Response : Ohh, rumah ku dekat nya ke bidan tapi aku nggak mau bawa anakku berobat kesana, aku lebih percayalah obat- obat yang alami ini apalagi untuk anak