• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 322008013 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 322008013 BAB III"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

10

BAB III

MEDIASI DALAM PERKARA

PERDATA.

1.1

Perdamaian sebelum Perma Nomor 1

tahun 2008.

Sebagai metode penyelesaian sengketa secara damai, mediasi mempunyai peluang yang besar untuk berkembang di Indonesia. Dengan adat ketimuran yang masih mengakar, masyarakat lebih mengutamakan tetap terjalinnya hubungan silaturahmi antar keluarga atau hubungan dengan rekan bisnis daripada keuntungan sesaat apabila timbul sengketa. Menyelesaikan sengketa di pengadilan mungkin menghasilkan keuntungan besar apabila menang, namun hubungan juga menjadi rusak.

(2)

11 musyawarah mufakat yang merupakan ruh penyelesaian sengketa masyarakat Indonesia. Musyawarah ini sama dengan esensi mediasi cara / budaya timur di mana para pihak berkompromi dan saling mengalah untuk mencapai titik temu yang menguntungkan semua pihak hingga tercapai kesepakatan.

Penyelesaian perkara secara damai sebelum dikeluarkannya Perma No.2 tahun 2003 Jo Perma No. 1 tahun 2008 sudah ada, didalamnya mengatur : (1) Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan Ketua mencoba akan mendamaikan mereka.(2) Jika perdamaian yang demikian itu dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akte) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan hukum dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.

(3)

12

130 HIR/Pasal 154 Rbg dan beberapa peraturan lainnya. Namun upaya damai yang dimaksud dalam peraturan diatas berbeda dengan mediasi sebagaimana yang berkembang sekarang.

Perdamaian yang dilaksanakan itu didasarkan pada pasal 130 HIR/ Pasal 154 Rbg dan pasal 1851 KUH Perdata. Hakim sebelum pemeriksaan perkara dilakukan harus melakukan tahap mendamaikan dan menawarkan kepada para Pihak untuk melakukan perdamaian.

(4)

13

3.2Perdamaian setelah Perma Nomor 1 tahun

2008.

Penggunaan metode perdamaian secara yuridis formal di Indonesia dimulai dalam UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan1

dengan memakai terminology perantaraan. Setelah itu mediasi marak digunakan untuk menyelesaikan sengketa di akhir tahun 1990-an. Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997 memberikan pilihan kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui mediasi, arbitrase atau pengadilan. Mediasi sebenarnya juga sudah diatur dalam Undang-Undang yaitu UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.2 Namun hanya

satu Pasal saja dalam UU tersebut yang mengatur mediasi sehingga tidak memadai untuk menyelesaikan

1 Undang-undang ini kemudian digantikan dengan UU No.2 Tahun

2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

2 Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatin

(5)

14

sengeketa. Setelah itu barulah banyak bermunculan bidang yang memakai mediasi sebagai pilihan penyelesaian sengketa, seperti perburuhan, sumber daya air, hak atas kekayaan intelektual (merk, paten, desain industri, dan rahasia dagang), jasa konstruksi, perlindungan HAM, perbankan dan asuransi. Semua produk hukum tersebut memakai istilah yang berbeda-beda, yaitu perantaraan, pilihan penyelesaian sengketa, kesepakatan atau mediasi.

(6)

15 SEMA yang hanya bersifat himbauan, tidak mengikat pengadilan untuk melaksanakannya. Latar belakang pendirian mediasi ini pengadilan bertujuan untuk mengatasi masalah tumpukan perkara di Mahkamah Agung RI, membuka kesempatan yang lebih lebar bagi para pihak untuk mendapatkan keadilan terutama untuk golongan yang lemah (vulnerable parties)seperti orang miskin dan perempuan, serta untuk mengatasi masalah korupsi di pengadilan.

(7)

16

mediasi hanya bisa digunakan untuk mendamaikan perkara perdata, dengan pengecualian beberapa kasus, yaitu perkara yang diselesaikan melalui prosedur :

Pengadilan niaga;

Pengadilan hubungan industrial;

Keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;

Keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

(8)
(9)

18

substantive, serta para pihak sendiri memutuskan apakah mereka akan setuju atau tidak.3

Karena itu, mediasi sering dinilai sebagai perluasan dari proses negosiasi. Hal ini disebabkan para pihak yang bersengketa tidak mampu menyelesaikan sengketanya sendiri sehingga menggunakan jasa pihak ketiga yang bersikap netral untuk membantu mereka mencapai suatu kesepakatan. Tidak seperti proses ajudikasi, di mana pihak ketiga menerapkan hukum terhadap fakta-fakta yang ada untuk mencapai suatu hasil, maka dalam mediasi pihak ketiga akan membantu pihak-pihak yang bertikai dengan menerapkan nilai-nilai terhadap fakta-fakta untuk mencapai hasil akhir. Nilai-nilai itu dapat meliputi hukum, rasa keadilan, kepercayaan agama, etika, moral dan lain-lain.4

Dari uraian di atas, tampak penyelesaian sengketa melalui ADR memiliki kebaikan atau

3 Garry Goodpaster, 1996, Tujuan Terhadap penyelesaian Sengketa,

dalam Seri dasar-Dasar hukum Ekonomi 2, Arbitrase di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, halaman 12-13.

4 Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia,

(10)

19 keunggulan daripada proses penyelesaian melalui ajudikasi. Penyelesaian sengketa melalui ADR jauh lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui institusi ajudikasi, dimana penyelesaian lebih cepat, biaya lebih murah, dan paling penting menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima para pihak. Para pihak dapat mengatur sendiri cara dan lamanya waktu penyelesaian sengketa dimaksud.

Di samping kelebihan – kelebihannya, institusi mediasi ini juga ada kelemahannya, diantaranya :

1. Biasa memakan waktu yang lama;

2. Mekanisme eksekusi yang sulit karena cara eksekusi putusan hanya seperti kekuatan eksekusi suatu kontrak;

3. Sangat digantungkan dari iktikad baik para pihak untuk menyelesaikan sengketanya sampai selesai; 4. Mediasi tidak akan membawa hasil yang baik,

(11)

20

5. Jika lawyer tidak dilibatkan dalam proses mediasi, kemungkinan adanya fakta-fakta hukum yang penting yang tidak disampaikan kepada mediator sehingga putusannya menjadi bias.5

1. Peran dan Fungsi Mediator Dalam Mediasi

Pada dasarnya seorang mediator berperan sebagai “penengah” yang membantu para pihak untuk

menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. Seorang mediator juga akan membantu para pihak untuk membingkai persoalan yang ada agar menjadi masalah yang perlu dihadapi secara bersama. Selain itu, guna menghasilkan kesepakatan, sekaligus seorang mediator harus membantu para pihak yang bersengketa untuk merumuskan pelbagai pilihan penyelesaian sengketanya. Tentu saja pilihan penyelesaian sengketanya harus dapat diterima dan juga dapat memuaskan kedua belah pihak. Setidaknya peran utama yang mesti dijalankan seorang mediator adalah mempertemukan

5 Munir Fuady, 2000, Arbitrase Nasionakl, Alternative Penyelesaian

(12)

21 kepentingan yang saling berbeda tersebut agar mencapai titik temu yang dapat dijadikan sebagai pangkal tolak pemecahan masalahnya.

(13)

22

banyak informasi menegnai sengketa dan persoalan-persoalan dibandingkan para pihak dan akan mampu menentukan apakah terdapat dasar-dasar bagi terwujudnya suatu perjanjian atau kesepakatan.6

Mediator juga memberikan informasi baru bagi para pihak atau sebaliknya membantu para pihak dalam menemukan cara-cara yang dapat diterima oleh kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara. Mereka dapat menawarkan penilaian yang netral dari posisi masing-masing pihak. Mereka juga dapat mengajarkan para pihak bagaimaan terlibat dalam negosiasi pemecahan masalah secara efektif, menilai alternatif-alternatif, dan menemukan pemecahan yang kreatif terhadap konflik mereka.7

Dengan demikian, seorang mediator tidak hanya bertindak sebagai penengah belaka yang hanya bertindak sebagai penyelenggara dan pemimpin diskusi, tetapi ia juga harus membantu para pihak untuk

(14)

23 mendesain menyelesaikan sengketanya sehingga dapat menghasilkan kesepakatan bersama. Dalam hal ini seorang mediator harus memiliki kemampuan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan untuk menyusun dan mengusulkan pelbagai pilihan penyelesaian masalah yang disengketakan. Kemudian, mediator ini pun akan membantu para pihak dalam menganalisis sengketa atau pilihan penyelesaiannya sehingga akhirnya dapat menemukan rumusan kesepakatan bersama sebagai solusi penyelesaian masalah yang akan ditindak lanjuti bersama pula.

2.Mediasi Yudisial (Peradilan) di Indonesia

(15)

24

sidang perkara.Dari definisi tersebut ada beberapa unsur pengertian mediasi yudisial di Indonesia yang perlu dijabarkan lebih rinci untuk dibandingkan dengan pelaksanaan di Negara lain, yaitu:

1. Proses Perdamaian (mediasi)

Dalam proses mediasi ini hakim sebagai mediator tidak memiliki kewenangan untuk memutus perkara seperti dalam sidang pengadilan (litigasi). Peran mediator dalam proses mediasi kemudian terbagi dua : apakah hanya sebagai fasilitator yang mengatur kelancaran proses mediasi (facilitative approach) atau bisa memberikan saran dan petimbangan hukum (evaluative approach). .

2. Sengketa perdata

Sesuai dengan yurisdiksi mediasi di pengadilan, maka hanya perkara perdata yang bisa dicoba untuk didamaikan.

3. Dilaksanakan di pengadilan

(16)

25 dan integritas pengadilan sesuai dengan amanat PerMA Mediasi.8

2. Mediator adalah hakim aktif

Hanya hakim yang masih bertugas yang bisa menjadi mediator, bukan hakim yang sudah pensiun seperti yang dipraktekkan di Negara lain, seperti di Amerika Serikat. Sesuai ketentuan PerMA Mediasi, pada prinsipnya hakim juga harus mengikuti pelatihan sertifikasi mediator. Namun bila belum ada, maka hakim yang belum bersertifikasi bisa menjadi mediator.9

3. Mediator bisa merupakan anggota majelis hakim pemeriksa perkara atau bukan pemeriksa perkara. Kebanyakan mediasi yang berlangsung selama pemeriksaan perkara dilakukan oleh anggota majelis hakim pemeriksa perkara. Peran ganda tersebut bisa mengganggu netralitas hakim.

(17)

26

4. Dilakukan sebelum sidang perkara atau selama pemeriksaan perkara berlangsung sebelum jatuhnya putusan majelis hakim pemeriksa perkara.

Sejak revisi PerMA Mediasi pada tahun 2008, proses mediasi di pengadilan juga dilaksanakan selama pemeriksaan perkara berlangsung, tidak hanya dilakukan sebelum sidang perkara.

(18)

27 memaksimalkan pelaksanaan mediasi yudisial di Indonesia.

a. Prosedur Penyelesaian Sengketa yang Cepat, Murah dan Sederhana

Salah satu keunggulan utama mediasi bila dibandingkan dengan proses pemeriksaan perkara (litigasi) di pengadilan adalah prosedurnya yang relative lebih cepat, murah dan sederhana. Sinergi antara kewibawaan hakim dan pengadilan serta keunggulan waktu mediasi yudisial inilah yang membuat metode ini berkembang pesat di seluruh dunia.10 Di Indonesia,

proses mediasi yudisial di pengadilan hanya berlangsung kurang lebih 2 (dua) bulan sejak penunjukan mediator sampai mencapai kesepakatan.11 Waktu ini jauh lebih

cepat disbanding proses persidangan yang menghabiskan waktu 6 (enam) bulan untuk menyelesaikan kasus di tingkat pertama (pengadilan negeri).12 Belum lagi kalau sebuah kasus mencapai

10 Chodosh. Judicial Mediation and Legal Culture 11 Pasal 13 ayat 3 PerMA No. 1 Tahun 2008

(19)

28

tingkat banding, kasasi atau peninjauan kembali, kasus tersebut dapat memakan waktu sampai 7 – 12 tahun.13

Dengan sedikitnya waktu yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa otomatis biaya yang dikeluarkan juga lebih sedikit, termasuk biaya administrasi pengadilan, jasa advokat, transportasi dan biaya lainnya. Hal ini diperkuat lagi dengan kebijakan PerMA Mediasi yang membebaskan para pihak dari biaya jasa mediator yudisial. Kecuali bila para pihak memilih mediator non hakim, maka mereka harus membayar biaya jasa sesuai tarif dan kesepakatan karena sampai saat ini belum ada standar pengenaan biaya jasa bagi mediator non-hakim yang berpraktek di pengadilan. Namun karena mediator dari berbagai kalangan profesi ini masih jarang mendapat kesempatan untuk berpraktek sebagai mediator di pengadilan, maka banyak dari mereka yang tidak mengenakan biaya atau pro-bono.14 Selain ingin

mendapatkan pengalaman memediasi di pengadilan,

13 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta,

2005, Halaman. 154

14 Abdul Syukur, Court Annexed Medition for Settling Family Disputes

(20)

29 banyak non – hakim (terutama para pensiunan pejabat) yang memang ingin mendarmabaktikan skill dan pengalaman mereka dalam menyelesaikan sengketa. Pengalaman dan prestige yang mereka peroleh juga bisa digunakan untuk modal iklan untuk mencari klien lebih banyak dan mengembangkan jaringan (networking).

(21)

30

Sesuai dengan Laporan Penelitian 2010 yang dilakukan oleh Indonesia – Australia Legal Development

Facility, kesederhanaan proses mediasi ini akan memenuhi harapan para pengguna keadilan yang menginginkan proses penyelesaian sengketa dalam bahasa yang sederhana, jelas dan tidak teknis.15 Proses

mediasi juga memenuhi penyederhanaan proses berperkara yang bertujuan untuk meningkatkan akses keadilan masyarakat dan mengurangi arus perkara ke tingkat kasasi seperti yang dicanangkan dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung RI tahun 2010 – 2035.

Efisiensi dan efektivitas metode yang dimiliki membuat mediasi semakin mendapat pengaruh dan dukungan hingga sudah dipakai sebagai bagian dari sistem peradilan di banyak Negara. Mediasi dalam sistem peradilan memberikan angin segar di tengah tersendatnya proses litigasi yang menyelesaikan perkara

15 IALDF, Memberi Keadilan Bagi Para Pnecari Keadilan (giving

(22)

31 dengan waktu lebih lama, berbiaya tinggi, dan dengan prosedur legal formal yang kompleks.

b. Kekuasan di Tangan Para Pihak

Setelah satu keunggulan utama mediasi yang menjadi pembda dengan metode penyelesaian sengketa yang lain adalah pemberian kehendak atau kekuasaan (power)

kepada para pihak untuk menentukan jalannya proses mediasi dan kesepakatan yang dihasilkan. Peletakan kekuasaan pada para pihak inilah yang membuat kesepakatan yang dihasilkan akan lebih memuaskan, bertahan lama, dan dipatuhi para pihak karena semua hal dalam proses mediasi diputuskan sendiri oleh mereka.16 Dalam mediasi, bukan pihak ketiga (hakim

atau mediator sebagai penengah) yang berhak menentukan arah, cara dan hasil akhir dari perundingan seperti di pengadilan.

Oleh karena itu mediasi juga bisa berguna untuk mengatasi masalah korupsi yang menggerogoti seluruh

16 Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaharuan Peradilan (Bluepint

(23)

32

sendi hukum di Indonesia. Hal ini dikarenakan kecil kemungkinan bagi pihak penengah untuk mempunyai kesempatan bermain curang demi kepentingannya sendiri. Bila para pihak melihat ada dugaan mediator tidak bersikap netral atau berperilaku tidak patut, maka para pihak bisa meminta mediator tersebut diganti atau mundur dari proses mediasi setiap saat apabila mereka inginkan. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar mediasi yang memberikan kebebasan bagi para pihak untuk menentukan kemauannya (principle of self-determination).

(24)

33 c. Kekuatan Eksekutorial Kesepakatan Mediasi Kekuatan selanjutnya dari proses mediasi yudisial adalah hasil akhir atau kesepakatan yang dikeluarkan dalam bentuk Akta Perdamaian oleh pengadilan mempunyai kekuatan eksekusi yang sama seperti putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht). Oleh karena itu akta perdamaian bersifat final dan mengikat (binding) yang tidak bisa diajukan upaya hukum selanjutnya, baik itu banding ke Pengadilan Tinggi ataupun kasasi ke Mahkamah Agung. Kekuatan ini berhubungan erat dan menjamin proses mediasi yang cepat, murah dan sederhana seperti telah dibahas sebelumnya. Kelebihan mediasi yudisial yang lebih final dan mengikat bila berhasil mencapai kesepakatan ini menarik banyak Negara di dunia untuk mengintegrasikan dalam sistem peradilan mereka.

(25)

34

hukum, kesepakatan ini tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Apabila salah satu pihak tidak mematuhi atau melanggar isi kesepakatan maka tidak ada kekuatan 9dari Negara yang diwakili oleh pengadilan) yang bisa memaksa pihak yang melanggar tersebut untuk melaksanakannya. Karena itulah PerMA Mediasi mencoba mengintegrasikan kekuatan eksekutorial dalam sistem peradilan dengan kesepakatan yang dihasilkan di luar pengadilan agar kesepakatan mediasi komunitas bisa mempunyai kekuatan eksekutorial. Bila para pihak berhasil mencapai kesepakatan perdamaian dengan bantuan mediator bersertifikat(cetak tebal dari penulis) di luar pengadilan, maka kesepakatan tersebut dapat diajukan ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh Akta Perdamaian resmi dari pengadilan dengan cara mengajukan gugatan.17 Akta inilah yang

mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama seperti putusan dalam proses litigasi.

(26)

35 Pengajuan gugatan ke pengadilan agar kesepakatan di luar pengadilan mempunyai kesepakatan eksekutorial harus disertai dengan kesepakatan perdamaian yang dicapai serta dokumen – dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa.18 Selain itu, ada beberapa syarat lain yang

harus dipenuhi agar kesepakatan di luar pengadilan tersebut memperoleh akte perdamaian dari pengadilan, diantaranya adalah : sesuai kehendak para pihak; tidak bertentangan dengan hukum; tidak merugikan pihak ketiga; dapat dieksekusi; dan dilandasi dengan itikad baik.19 Kebijakan dalam PerMA ini sebenarnya diadopsi

dari konsep mediasi Jepang sokketsu wakai yang memungkinkan perdamaian di luar pengadilan (community mediation) untuk mendapat pengesahan dari pengadilan.20

Namun yang menjadi pertanyaan atau mungkin menjadi kendala dari penerapan ketentuan ini adalah

18 Ibid, Ayat 2 19 Ibid, Ayat 3

20 MARI, Buku Komentar Peraturan MARI No. 10 Tahun 2008

(27)

36

Kesepakatan Perdamaian di luar pengadilan tersebut dimediasi oleh mediator yang bersertifikat. Hal ini tentunya memberatkan para pencari keadilan karena masih terbatasnya jumlah mediator yang bersertifikat. Ketentuan ini sebenarnya mendapat sambutan baik dari professional hukum dan masyarakat luas. Mereka menyatakan bahwa ketentuan ini akan membuat semakin banyak masyarakat yang mempunyai peluang untuk memperoleh keadilan (access to justice) terutama dari golongan bawah; dan kesepakatan yang dicapai akan lebih memenuhi rasa keadilan para pihak dan sesuai dengan budaya setempat. Ketentuan ini juga dapat menghasilkan dampak yang positif bagi perkembangan hukum di Indonesia, yaitu selain memenuhi asas peradilan yang cepat, murah dan sederhana, tetapi juga mulai ada pengakuan hukum terhadap penyelesaian sengketa yang berlaku di masyarakat.21

21Abdul Syukur, Community Mediation in Bali and Papua< Access to

(28)

37 Selain memberikan landasan hukum, usulan Undang – Undang Mediasi ini bertujuan menguatkan peran non –

hakim atau professional sebagai mediator di pengadilan sebagia pilihan untuk para pihak selain hakim. Apabila landasan hukum ini tersedia, maka keenganan pengadilan untuk memasukkan non-hakim ke dalam daftar mediator di pengadilan selama ini dapat teratasi dan peran non-hakim bisa diangkatkan. Selain itu, undang – undang tersebut juga mengusulkan agar mediasi tidak hanya bisa dilaksanakan di pengadilan, tetapi juga di kepolisian, kejaksaan atau departemen pemerintah lain hingga bisa menjangkau sasaran yang lebih luas. Dengan demikian undang – undang ini bisa menjadi payung hukum bagi pelaksanaan metode mediasi di berbagai bidang seperti perbankan, asuransi, perburuhan, lingkungan, dan lain-lain agar tidak tercerai berai dan saling berbenturan.

(29)

38

(30)

39 Barnes, pakar mediasi dari Universitas Hawaii – Amerika Serikat yang lebih banyak mengadakan penelitian dan mempublikasikan budaya penyelesaian sengketa di wilayah Asia – Pasifik (termasuk Indonesia), menyatakan:22

Perhaps due to the absence of a credible court sistem the musyawarah may be the most important

institution for conflict resolution in Indonesia, including

business, and “civil” disputes as well as criminal disputes.

Decisions mde though this process have strong legitimacy

in the community since all the parties have been consulted

and involved in the process. The process is a collective,

consultative decision – making one in which all parties

who consider they have an interest in a matter talk it

though until a resolution is found. Everthing that is said is

considered equally correct, nd is applied towards solving

the problem as presented to the group. One of the

assumptions as presented to the group. One of the

22 Bruce Barnes, Culture, Conflict, and Mediation in the asia pacific,

(31)

40

assumptions is the ultimate result will be consensus

(mufakat) among all present, acceptable as approprivate

by all parties.

(32)

41 Musyawarah merupakan faktor yang sangat penting untuk digunakan bagi kesuksesan pelaksanaan mediasi yudisial di Indonesia. Hakim dapat memaksimalkan ruh yang ada dalam metode ini untuk mendorong dan menyemangati pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai sesuai dengan budaya yang hidup dalam masyarakat. Hakim juga bisa meyakinkan para pihak bahwa dengan mamakai musyawarah sebagai metode penyelesaian sengketa, maka para pihak akan mendapat beberapa keuntungan, yaitu:23

Menjaga hubungan baik antar para pihak. Hal ini penting terutama dalam sengketa keluarga ataupun perkara bisnis yang lebih berorientasi keuntungan jangka panjang dibandingkan menang sesaat namun hubungan menjadi rusak;

Para pihak mempunyai kekuasaan untuk menentukan proses dan kesepakatan yang

23 Himahanto Juwana, Dispute Resolution Prcess in Indonesia, IDE

(33)

42

dihasilkan, tidak seperti di pengadilan dimana aktor utama adalah pengacara dan hakim sebagai pengambil keputusan;

Menghindari proses litigasi pengadilan yang bermusuhan (adversarial);

Metode ini lebih singkat, murah dan prosedurnya sederhana;

Sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia.

3.3Perma dan hakekat Kekuasaan Yudisial.

(34)

43 sempurna Mahkamah Agung mengeluarkan Perma nomor 2 tahun 2003 yang mengatur tentang prosedur mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung RI dan disempurnakan dengan dikeluarkannya Perma Nomor 1 tahun 2008 tentang tentang prosedur mediasi di Pengadilan.

Kata mengadili merupakan rumusan yang sederhana, namun didalamnya terkandung pengertian yang sangat mendasar, luas dan mulia, yaitu meninjau dan menetapkan suatu hal secara adil atau memberikan keadilan. Pemberian keadilan tersebut harus dilakukan secara bebas dan mandiri. Untuk dapat mewujudkan fungsi dan tugas tersebut, penyelenggaraan peradilan harus bersifat tekhnis profesional dan harus bersifat non politis serta non pertisan. Peradilan dilakukan sesuai standart profesi berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, tanpa pertimbangan-pertimbangan politis dan pengaruh kepentingan pihak-pihak.

(35)

44

dibandingkan dengan undang-undang kekuasaan kehakiman sebelumnya, sehingga untuk memperkuat dalam penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan perlu dibarengi dengan upaya membangun dan membentuk hakim yang baik dalam beberapa perspektif, diantaranya dalam perspektif intelektual, perspektif etik, perspektif hukum, perspektif kehidupan beragama, perspektif tehnis peradilan dan upaya tersedianya berbagai penunjangnya.

(36)

45 ANALISIS

Hasil penelitian yang telah dilakukan adalah bahwa Perma Nomor 1 tahun 2008 telah salah mengintepretasikan HIR Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg yaitu dalam menimbang huruf c yaitu bahwa hukum acara yang berlaku, baik pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan proses mediasi kedalam prosedur berperkara di Pengadilan, bahwa dalam hal ini Pengadilan sebagai lembaga Yudisial hanya mendorong para pihak melakukan perdamaian sendiri dan hakim hanya menganjurkan atau menyarankan proses perdamaian tersebut pada hari sidang pertama, dan apabila para pihak menyatakan tidak akan melakukan perdamaian maka sidang akan dilanjutkan, dalam hal ini Pengadilan hanya melaksanakan fungsi sebagai lembaga ajudikasi bukan sebagai lembaga mediasi.

(37)

46

mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum dan Pasal 7 ayat (1) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi bahwa didalam Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg kewajiban hakim untuk mengupayakan perdamaian dengan memberikan kesempatan untuk berdamai dan sifatnya hanya sebagai anjuran sehingga dapat dikatakan bahwa Para Pihak dipaksa untuk melakukan kewajiban mediasi sebelum perkaranya masuk keranah ajudikasi.

(38)

47 kalau tahapan mediasi ini tidak dilalui oleh pihak-pihak, maka majelis hakim juga wajib untuk menolak / tidak menerima gugatannya.

(39)

48

menjadi mediator yang bertugas aktif untuk melakukan perdamaian kepada para pihak.

Dalam Perma Nomor 1 tahun 2008 Pasal 21 ayat (1) dinyatakan bahwa Para Pihak atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus, hal ini menunjukkan bahwa perdamaian dapat dilakukan Para Pihak sampai dengan upaya hukum jadi seharusnya perdamaian dalam pemeriksaan tingkat pertama dapat atau tidak harus dilakukan dan menjadi suatu kewajiban bagi pihak-pihak yang berperkara.

A. Prinsip Kekuasaan Yudisial.

(40)

49 Amandemen).Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung RI, Badan-badan peradilan lain di bawah Mahkamah Agung (Peradilan Umum, PTUN, Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945). Penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman tersebut diserahkan kepada badan-badan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya). Akibat terlalaikannya proses mediasidalam penyelesaian suatu perkara, maka putusan akan menjadi batal demi hukum (Pasal 2 Perma No. 1 Tahun 2008). Konsekuensi pada Pasal 2 Perma No. 1 Tahun 2008, barulah dipahami sebagai landasan formildalam melakukan tahapan persidangan, sehingga setiap perkara wajib dilakukan mediasi, sementara disisi lain intisari atau “tanggungjawab rasa keadilan belum

(41)

50

pihak pengadilan bersifat pasif). Berpegang pada Pasal 7 Perma Nomor 1 Tahun 2008 yang disebutkan bahwa: (1) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Berdasarkan Pasal 7ayat (1) di atas, terdapat suatu pemahaman bahwa mediasi hanya wajibdi saat kedua belah pihak yang berperkara hadir di persidangan. Pemahaman ini muncul dengan dasar bahwa mediasi hanya logis dilaksanakan apabila kedua belah pihak berperkara hadir di persidangan.Karena hanya dalam kondisi hadirnya kedua belah pihak tersebut permufakatan dan kesepakatan perdamaian dapat dilakukan bahkan tidak disyaratkan harus dihadiri langsung oleh pihak prinsipal.Adapun kaitannya dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 adalah bersifat pengkhususan.

B.

(42)
(43)

52

keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan yudisial tertinggi di Indonesia telah melepaskan tanggung jawabnya sebagai ajudikator yang seharusnya menjalankan fungsi memeriksa, mengadili dan memutus perkara melalui Perma tentang Mediasi a quo.Faktor yang paling mendukung pelaksanaan mediasi yudisial di Indonesia adalah adanya dasar hukum yang kuat seperti yang diamanatkan dalam hukum acara perdata. Pasal 130 HIR dan 154 Rbg hukum acara tersebut dengan tegas memerintahkan hakim untuk mencoba mendamaikan perkara perdata sebelum masuk proses persidangan.

(44)

53 mediator adalah bentuk pelanggaran Undang-undang diatasnya.

C.

pakah Perma Nomor 1 tahun 2008 telah sesuai dengan hukum ?

(45)

54

(8) disebutkan Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenanangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung yang diatur dengan Undang-undang.

(46)

55 Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan yang merdeka tanpa campur tangan pihak manapun dimana hakim harus menjaga kemandiriannya, dengan menjadikan hakim sebagai mediator sesuai ketentuan Perma akan dikhawatirkan adanya pengaruh secara psikologis terhadap pihak-pihak yang berperkara maupun kemandirian hakim, karena prinsip mediasi adalah netral maka harus di carikan mediator yang netral diluar kekuasaan ajudikasi. Karena dalam mediasi apabila Hakim menjadi mediator dikawatirkan akan hilang netralitasnya jika mendengar informasi akan membahayakan kredibilitas hakim, harus mampu menjaga netralitasnya dalam proses lanjutan pemeriksaan perkara ketika proses mediasi gagal mencapai kesepakatan. Padahal dalam proses mediasi banyak sekali informasi yang diberikan oleh para pihak yang tidak jarang berisikan “senjata” untuk

(47)

56

(48)
(49)

58

(50)

Referensi

Dokumen terkait

UNP dalam melaksanakan pendidikan akademik maupun pendidikan profesional dapat membuka atau menutup Fakultas/Program Pascasarjana/jurusan dan program studi atas pertimbangan

Dari hasil penelitian tentang berat badan tikus putih yang ditimbang pada akhir penelitian diketahui bahwa kelompok kontrol (K1) dan kelompok perlakuan dengan dosis daun

Pada beberapa tahun terakhir, nilon termoplastik telah menarik perhatian sebagai bahan basis gigi tiruan karena memiliki beberapa kelebihan yaitu hasil estesis yang baik, tidak

Dalam penelitian ini, peneliti ingin mendiskripsikan bagaimana disorientasi konsumen dalam sasaran bauran komunikasi pemasaran bisa dialami oleh Singkong Keju D-9

Dipipet 10 mL lamtan standar sulfat dengan konsentrasi 20 mg/L dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 50 mL Kemudian ditambahkan 1 mL lamtan asam induk (campuran lamtan standar sulfat

Manusia yang mengalami perkembangan diri akan terus mengalami proses perubahan setiap harinya dimana perkembangan itu akan terjadi secara alamiah dari dalam diri manusia dan tidak

Dari tabel 3 dapat dilihat perbedaan nilai rata-rata skala nyeri pada ibu post seksio sesaria sebelum dan sesudah diberikan kompres panas yaitu dengan selisih 1,41.. Hasil

Sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah 50 remaja sampai dewasa (usia 17-50 tahun), yang mempunyai handphone / smartphone dan sudah pernah melakukan