• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 312009052 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 312009052 BAB III"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Pertimbangan Hakim Sejalan Menurut Pendekatan Teori Kualifikasi Lex Causae

1. Pentingnya Lex Causae pada penyelesaian sengketa HPI

Pada dasarnya kualifikasi lex causae merupakan lex fori yang diperluas. Dikatakan lex fori yang diperluas karena di dalamnya

menggali kaedah-kaedah yang lebih relevan dengan kasus/ perkara berdasarkan sistem hukum tertentu. Urgensi lex fori yang diperluas yaitu

dalam hal ini lex causae sebab suatu alasan bahwa sistem hukum tertentu belum lengkap atau bahkan tidak ada klasifikasi sistem yang tepat untuk menyelesaikan perkara dalam sistem hukum intern. Oleh

karena itu kualifikasi lex causae menjadi pilihan yang tepat sebagai sistem yang dipilih/ ditunjuk karena dianggap masih lebih bisa

mengakomodir fakta-fakta hukum suatu perkara. Argumen selanjutnya adalah bahwa ketika terjadi suatu kekosongan hukum maka hakim tidak dapat terikat secara kaku pada konsep lex fori saja, sebab harus dilihat

pula cakupan peristiwa/ hubungan hukum yang sejenis dari suatu sistem hukum lain.1 Pada kasus ini, hakim melakukan analogi dari peristiwa/ hubungan hukum sebagaimana dalam pertimbangannya terdapat beberapa contoh kasus yang dijadikan kasus pendukung terhadap

argumentasi dalam menentukan lex causae.

1

(2)

Penyelesaian suatu perkara Hukum Perdata Internasional (HPI)

dengan kata lain disebut juga suatu penyelesaian hukum perselisihan. Dalam konsep penyelesaian hukum perselisahan, hal demikian

melibatkan pranata hukum yang disebut titik taut dan kualifikasi. Dengan demikian, dapat dicermati tujuan penggunaan metode ini ialah tidak lain untuk menentukan hukum yang seharusnya berlaku atas suatu

perkara tertentu, itulah yang dinamakan lex causae.2

Seperti halnya yang telah penulis ungkapkan sebelumnya, bahwa

dalam suatu perkara HPI akan selalu bersinggungan dengan adanya unsur asing (foreign elements). Oleh sebabnya, forum yang menghadapi suatu perkara tidak dapat mengabaikan kemungkinan-kemungkinan

yaitu salah satunya bahwa lex fori bukanlah satu-satunya sistem hukum yang otomatis harus diberlakukan dalam penyelesaian perkara. Ada

kebutuhan untuk menentukan sistem hukum manakah di antara sistem-sistem hukum yang relevan, dan yang seharusnya atau bahkan yang lebih tepat untuk diberlakukan dalam penyelesaian perkara HPI.

Kebutuhan inilah yang memberi arti pentingnya lex causae.

2. Hasil kualifikasi terhadap Perkara

Ketika melihat cara berpikir hakim dalam menyelesaikan perkara,

dapat dilihat pula bagaimana alur pendekatan yang digunakannya. Perlu disadari bahwa sebagaimana hakekat HPI sebagai kaidah penunjuk maka di dalamnya memuat titik taut apa yang harus digunakan sebagai titik

2

(3)

taut penentu dalam rangka menetapkan hukum yang akan diberlakukan.

Dengan penentuan seperti itu baik melalui titik taut penentu dapat dipahami pendekatan kualifikasi seperti apa yang dipegang hakim.

Tahap kualifikasi tentunya merupakan bagian dari sebuah sistem prosedur penyelesaian perkara. Oleh karena itu, untuk membahas lebih lanjut mengenai pendekatan kualifikasi yang digunakan hakim maka

sebagai suatu sistem, akan dibahas juga prosedur penyelesaian perkaranya3.

Digambarkan secara sederhana, langkah pertama dari langkah umum penyelesaian yakni menyusun kasus posisi dari perkara. Pada tahap ini, dikumpulkan semua fakta dan informasi yang relevan

(melakukan kualifikasi fakta) dan kemudian disusun ke dalam suatu urutan kejadian yang sistematis. Kasus ini kurang lebih kasus posisinya

ialah sebagai berikut:

 Kasus menyangkut Kartika Thahir dan Pertamina (Pertambangan

Minyak dan Gas Bumi Negara). Kartika WN Indonesia,

Pertamina merupakan perusahaan negara Republik Indonesia.

 Kartika Thahir dianggap memiliki uang dari H. achmad Tahir

(suaminya) yang diduga merupakan hasil suap ketika suaminya memegang jabatan di Pertamina.

 Uang tersebut (objek sengketa) terdapat di Singapura dalam hal

ini Bank Sumitomo.

3

(4)

 Pertamina mengklaim uang tersebut sebagai uang negara karena

dianggap merupakan hasil suap.

 Kartika melakukan gugatan di Pengadilan Singapura (Court of

Appeal). Gugatan lahir sehubungan juga dengan putusan

sebelumnya di Pengadilan Singapura (High Court).

Kemudian, langkah berikutnya ialah menentukan ada tidaknya

peristiwa hukum perselisihan. Langkah ini berdasarkan langkah sebelumnya yaitu ketika dikumpulkan fakta dan informasi yang relevan

yang telah disusun secara sistematis. Berdasarkan fakta-fakta dalam kasus tersebut ditentukan apakah terdapat fakta yang mempertautkan perkara dengan lebih dari satu sistem hukum/ kaidah hukum/ peraturan

(“mencari titik-titik taut primer”). Ketika perkara tersebut memiliki titik

taut primer, maka barulah timbul kebutuhan untuk menyelesaikan

perkara dengan menggunakan metode pendekatan HPI. Penentuan titik taut primer dapat dilihat jika adanya unsur asing (foreign elements) dalam perkara. Dari gambaran singkat kasus posisi, maka bisa dikatakan

terdapat unsur asing. Para pihak dari Indonesia, namun objek sengketanya maupun forumnya di Singapura.

Selanjutnya, menentukan masalah hukum utama yang muncul dalam perkara. Dalam tahap ini biasanya ditentukan pokok

gugatan/permohonan, pokok yang dipersengketakan oleh para pihak, hubungan hukum yang mengikat para pihak, dan seterusnya. Dari penentuan masalah hukum utama ini, akan dapat ditemukan atau

(5)

kasus ini masalah hukumnya ialah ketika beberapa deposit ACU Kartika

Ratna Thahir dianggap hasil suap. Pertamina sebagai badan usaha milik negara Indonesia mengklaim uang dalam deposit tersebut.

Lalu, langkah untuk menentukan titik taut sekunder dari perkara. Dari perkara yang dihadapi harus dicari fakta penentu untuk menunjuk hukum yang menyelesaikan perkara. Dalam kasus ini, perkara antara

Kartika Ratna Thahir dengan Pertamina di mana objek sengketanya di Singapura. Di sinilah tahap yang nantinya akan berbicara mengenai

pendekatan kualifikasi yang dilakukan hakim terhadap perkara. Penulis menyatakan bahwa pendekatan kualifikasi yang digunakan hakim ialah

model pendekatan kualifikasi Lex Causae. Pada dasarnya, putusan hakim untuk menentukan hukum yang tepat sebagai lex causae berangkat dari Rule 201 ayat (1) jo ayat (2) poin c, di mana menyatakan:

Rule 201 ayat (1) “the obligation to restore the benefit of an enrichment

obtained at another person‟s is governed by the proper law of the

obligation.”; ayat (2) poin c “if it arises in any other circumstances, its

proper law is the law of the country where the enrichment occurs”.

Intinya, menggambarkan bahwa hukum yang pantas untuk diterapkan

pada perkara bersangkutan adalah hukum di mana „memperkaya‟ itu

terjadi. Dalam hal ini terjadi di Singapura (bank cabang Singapura).

Ketika menggunakan Rule 201 sebagai acuan, ditemukan bahwa hakim tidak mengutamakan kedaulatan forumnya sebagai hukum yang harus digunakan dalam penyelesaian perkara. Penggunaan ketentuan tersebut

(6)

causae lepas dari apakah ketika diterapkan ujung-ujungnya akan

menunjuk hukum dari forum itu sendiri. Jalan berpikir seperti ini berbanding jauh dengan prinsip yang dipegang ketika menggunakan

pendekatan kualifikasi lex fori yang mana hakim secara langsung menetapkan sistem hukum forumnya yang harus dipakai dalam menyelesaikan perkara tanpa memperkatikan apakah sistem hukum

asing lain yang lebih pantas. Secara tersirat, melalui Rule 201, hakim tidak serta merta menentukan penggunaan hukum forumnya namun

membuka pintu bagi sistem hukum lain untuk diterapkan.

Proses berikutnya yang merupakan tahap akhir yaitu penyelesaian

kasus. Tahapan terakhir ini ialah dengan menjawab isu-isu hukum dalam perkara. Pada putusan yang menjadi unit amatan penulis terdapat 4 (empat) isu hukum, yaitu 1) apakah harus ada klaim kepemilikan; 2)

apakah deposito adalah hasil suap; 3) hukum manakah yang mengatur

(the governing law); dan 4) apakah klaim pertamina merupakan hal

terkait kepemilikan. Jawaban dari isu pertama apakah harus ada klaim kepemilikan, bahwa Pertamina harus menunjukkan bahwa mereka memiliki klaim kepemilikan terhadap uang-uang itu. di bawah sistem

hukum yang mengatur klaim tersebut. Isu kedua mengenai apakah deposito adalah hasil suap, jawabannya ialah semua 17 deposit ACU

(7)

uang tersebut bukan terkait klaim kepemilikan (proprietary claim) tetapi

klaim perseorangan (personal claim).

B. Penentuan lex causae sebagai The Proper Law/ The Governing Law Dalam hal penentuan hukum yang tepat untuk diberlakukan sebagai

lex causae, maka hakim memiliki dasar dan acuan. Dasar dan acuan tersebut

menjadi salah satu yang utama pada alur berpikir hakim untuk menentukan

lex causae. Berangkat dari dasar tersebut, hakim bisa membangun sebuah

konstruksi argumentasi untuk menjadi bahan pertimbangan dalam

menentukan hukum yang akan diberlakukan

Doktrin Rule 201 yang dimunculkan Dicey & Morris merupakan

persoalan pokok ketika hakim membangun argumentasi. Rule 201 digunakan sebagai fondasi dasar dalam menentukan lex causae. Oleh karena itu, akan dibahas lebih jauh mengenai Rule 201 serta kaitannya pula dengan

penentuan lex causae.

1. Rule 201 Dicey & Morris on the Conflict of Laws (12th Ed. 1993)

Kaedah yang terkandung dalam Rule 201 merupakan salah satu argumen yang penting dalam menentukan dan menjawab isu hukum mana yang akan berlaku pada perkara ini. Bunyi dari Rule 201 adalah

sebagai berikut. Rule 201

1) The obligation to restore the benefit of an enrichment obtained at

another person‟s expense is governed by the proper law of the

obligation.

(8)

a. If the obligation arises in connection with a contract, its proper

law is the proper law of the contract;

b. If it arises in connection with a transaction concerning an

immovable (land), its proper law is the law of the country where

the immovable is situated (lex situs);

c. If it arises in any other circumstances, its proper law is the law

of the country where the enrichment occurs.

Melalui Rule 201 akan dapat ditentukan mana hukum yang pantas

diberlakukan. Terdapat beberapa kategori yang bisa ditarik dari Rule 201 sehubungan dengan situasi dan kondisi di mana hukum yang berlaku akan berbeda ketika latar belakang sebuah kontrak atau transaksi itu

berbeda. Misalnya Pasal 2 poin (a), menyebutkan bahwa hukum yang pantas diberlakukan adalah hukum yang tepat dari konrak ketika

kewajiban timbul sehubungan dengan kontrak. Pasal 2 poin (b), hukum yang tepat ialah hukum negara di mana benda tak bergerak itu terletak

(lex situs) jika transaksi mengenai sebuah benda tak bergerak (misalnya:

tanah). Kemudian, Pasal 2 poin (c) yaitu bahwa hukum yang tepat adalah hukum hukum negara di mana tindakan memperkaya diri itu

terjadi, hal ini berlaku saat muncul dalam keadaan lain (in any other

circumstances). Namun, perlu juga diingat bahwa argumen yang

digunakan dalam menentukan lex causae bukan hanya Rule 201. Kaedah tersebut hanya salah satu dari sekian justifikasi yang memang menjadi hal paling penting untuk diperhatikan. Dalam hal ini, tentunya

(9)

hakim terkait perkara. Pada putusan jelas dikemukakan bahwa Rule 201

yang mana akan memberikan bimbingan/ pedoman (guidance) pada the

applicable law dalam hal ganti-rugian (restitusi) bahwa akan

menegaskan hukum yang tepat untuk diberlakukan terkait dengan perjanjian (obligation). Dengan demikian, melihat betapa pentingnya kaedah dalam Rule 201 maka pada subjudul berikutnya akan dibahas

mengenai keterhubungannya dengan bagaimana penentuan lex causae.

a. Keterkaitan Rule 201 dengan penentuan Lex Causae

Sebelumnya telah dibahas mengenai isi dari Rule 201 berkaitan dengan suatu justifikasi dalam penentuan lex causae pada perkara

terkait. Di sini akan dijelaskan bagaimana keterkaitan Rule 201 sehingga digunakan sebagai acuan dalam menentukan hukum yang diberlakukan. Jelas perihal paling utama yaitu kaitannya dengan

penentuan lex causae bahwa dalam Rule 201 terdapat kaedah yang berhubungan dengan ganti kerugian dalam hal akan menegaskan

hukum yang tepat untuk digunakan (lex causae) dilihat dari perbuatan hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud ialah mengenai isi dari Rule 201, apakah itu mengenai kewajiban yang timbul dari

kontrak, mengenai benda tak bergerak, atau terkait perbuatan hukum yang timbul dalam situasi dan kondisi yang lain (in any other

circumstances).

b. Ruang lingkup (skopa) Rule 201 Pasal (2) poin (a)

(10)

proper law of the contract”, merupakan salah satu hal pokok yang

perlu dijelaskan. Penjelasan yang nantinya akan memberikan gambaran tepat tidaknya jika digunakan sebagai acuan dalam

penentuan lex causae. Dalam hal ini akan digambarkan skopa kaedah pada Rule 201 (2) (a) yang adalah batasan sehingga disandingkan dengan kesesuaian berkaitan dengan perkara khususnya perbuatan

hukum di dalamnya. Pada putusan yang bersangkutan dinyatakan ruang lingkup/ skopa/ batasan Rule 201 (2) (a) menurut Dicey &

Morris bahwa:

Although the obligation to restore an unjust benefit does not arise from a

contract, it may, and very frequently does, arise in connection with a

contract. This is the case where a party seeks to recover money paid

pursuant to an ineffective contract, eg by reason of a total failure of

consideration or as a repayment of money paid under an illegal contract or

where he claims a quantum meruit for work done or services rendered

under a contract which turned out to be void. In all these and similar

cases, it is submitted that the existence and the scope of the obligation to

restore the benefit are governed by the law which governs the contract, or

by what would have been the governing law of the contract, if it had been

validly concluded.4

Berangkat dari pernyataan tersebut, juga argumen dalam putusan, jelas tidak mungkin untuk mengatakan bahwa pengembalian hasil suap termasuk dalam kategori pengembalian uang yang terbayarkan

4

(11)

menurut sebuah kontrak yang tidak efektif (ineffective contract) atau

dalam hal ini menyangkut kasus bersangkutan.

2. Kasus-kasus Pendukung (precedent/ yurisprudensi) menentukan lex causae

Di dalam putusan, terdapat pula beberapa kasus yang dalam hal ini

dijadikan justifikasi atau argumen-argumen pendukung dalam rangka menentukan lex causae. Kasus-kasus yang dimaksud juga berkaitan

dengan penguatan terhadap penafsiran Rule 201 yang tidak lain dan tidak bukan merupakan acuan utama dalam penentuan sistem hukum manakah yang akan diberlakukan. Kasus-kasus pendukung tersebut

adalah sebagai berikut.

a. T Mahesan s/o Thambiah v Malaysia Government Officers’ Co -operative Housing Society Ltd5

Dalam kasus ini, pada pokoknya menyatakan bahwa terkait dengan agen/ representasi dari sebuah institusi yang telah disuap, prinsipnya

adalah, seperti terhadap penyuap (the briber) dan yang diberi suap

(the agent bribed), memiliki 2 (dua) solusi yang berbeda. Pertama,

mungkin pengembalian suap sebagai money had and received, kemudian yang kedua, mungkin memulihkan kembali kerugian

karena sebuah penipuan (fraud), di mana dapat memulihkan sejumlah kerugian yang sebenarnya sebagai akibat dari keterlibatan dalam transaksi yang mana suap itu diberikan.

5

(12)

Pada prinsipnya, hak untuk memulihkan/ memperoleh kembali

jumlah dari hasil suap dari agen tidak tergantung pada kerugian yang terjadi sebagai hasil dari tindakan atau kelakuan si agen. Akan tetapi,

pemberian suap yang telah diperlakukan dalam equity as

constructive fraud sebagai bagian dari pemberi dan di mana itu telah

diberikan sehubungan dengan kontrak/perjanjian di antara pelaku

utama (the principal) dan si penyuap, pelaku utama berhak untuk membatalkan kontrak.

b. Bagnall v Carlton and Mayor, Alderman and Burgesses of the Borough of Salford v Lever6

Kewajiban (liability) dari pemberi suap terhadap pelaku utama/

pihak atas kerugian dibayarkan olehnya sebagai akibat dari keterlibatan dalam kontrak yang mana suap yang telah diberikan

merupakan pengembangan rasional dari hak pendahulunya untuk pembatalan kontrak menurut prinsip equity.

Dari kasus tersebut maupan kasus sebelumnya, jelas dalam putusan

bahwa dasar dari klaim pada faktanya itu equity dianggap pemberian dari suap sebagai penipuan yang terkonstruksi sebagai bagian dari

pemberi, dan seperti agen yang disuap merupakan bagian integral dari sebuah penyuapan (bribery), ini berarti bahwa penerimaan suap

adalah sama penipuan yang terkonstruksi pada bagian dari agen yang disuap. Sehingga dalam pandangan hakim bahwa klaim yang dimaksud dalam kasus ini adalah equity. Maka dari itu, argumen

6

(13)

demikian juga merupakan penguatan atas pertimbangan dari putusan

hakim sebelumnya.

c. Trustee of the Property of the Bankrupt v D Pennelier & Co Ltd7 Fakta hukumnya adalah demikian: “There, an action for money had and received was brought by the trustee in bankruptcy to recover,

inter alia, moneys paid out by the bankrupt‟s agent to the defendant

(a French company) after the date of the receiving order. The main

question was whether leave to serve the writ out of jurisdiction under

O 11 of the English RSC should be granted. The arguments before

the court raised, inter alia, the question whether such a claim fell

within what is now the English RSC O 11 r 1(1)(d) on the basis that

the quasi-contractual obligation of the French company to restore

the payments to the trustee fell to be treated as “made” in England

and therefore governed by English law. Sir Nicolas

Browne-Wilkinson V-C did not regard such obligation as made or arising in

England, notwithstanding the fact that payment in that case was

made pursuant to a contract between the bankrupt and the French

company. He held that r 201(2)(c) in Dicey & Morris was “sound in

principle” and applied it. He said, at p 495:

As at present advised, I am of the view that quasi-contractual

obligations of this kind arise from the receipt of the money. I find

(14)

obligation to repay arises in connection with a contract or an

immoveable, the proper law of the quasi-contract is the law of

the country where the enrichment occurs. This accords with the

American Restatement and seems to me to be sound in principle.

Berangkat dari kasus ini, suatu kaedah yang ditemukan ialah kecuali dalam kasus di mana kewajiban untuk membayar timbul sehubungan dengan kontrak atau benda tidak bergerak (immovable), hukum yang

tepat dari kuasi-kontrak adalah hukum negara di mana pengayaan

entitled to the moneys in the ACU account with the defendants. One

of the issues raised was: what law governed the plaintiffs‟ claim to

the money?9

Terkait kasus ini, jawaban dari sebuah pertanyaan sehubungan

(15)

e. El Ajou v Dollar Land Holdings plc10

There, the plaintiffs owned substantial funds and securities which

were under the control of an investment manager in Geneva who had

been bribed to invest the moneys in fraudulent share selling schemes

operated by three Canadian companies. The proceeds of the

fraudulent share selling schemes were channelled through various

countries, Geneva, Gibraltar, Panama and back through Geneva

from which some were invested in a company, DLH, in London. The

plaintiffs, on discovering the fraud, brought an action against DLH

to recover the money which the latter had received, alleging that

DLH received it with knowledge that it represented the proceeds of

fraud. One of the arguments raised by counsel for DLH was that the

plaintiffs‟ claim depended on the continuing subsistence of his

equitable title to the money and this could not be established where

the money had passed through the hands of recipients in civil law

jurisdictions which did not recognize the concept of equitable

ownership. Millett J rejected this argument and said at p 736:

(16)

203(2)(c), and Chase Manhattan Bank NA v Israel-British Bank

(London) Ltd [1979] 3 All ER 1025, [1981] Ch 105. Whatever

money or property DLH received was received by it in England

and, accordingly, the plaintiffs‟ claim falls to be governed by

English law, including principles of equity.

Pada pokoknya, bertimbangan dari Millet J mengatakan hukum yang berlaku atas klaim-klaim tersebut adalah hukum di mana tergugat

menerima uang.

Berdasar pada beberapa contoh kasus di atas, maka dapat disimpulkan beberapa poin pokok yakni terkait penyuapan yang mana

menjadi klaim Pertamina terhadap Kartika Thahir, kemudian terkait the

governing law/ the proper law atau dalam hal ini lex causae yang mana

hukum yang diberlakukan adalah hukum di mana enrichment terjadi.

C. Hukum Singapura (Singapore Law) merupakan lex causae (The Proper Law/ The Governing Law)

1. Konflik antara sistem hukum Singapura dan sistem hukum Indonesia

Hakekat hukum perdata internasional (conflict of laws) telah diketahui bersama ialah penunjukan. Penunjukan dimaksud dalam

rangka mencarai solusi penyelesaian ketika terdapat unsur asing (foreign

element) dalam suatu perkara. Artinya, ketika berbicara mengenai

conflict of laws maka sebenarnya berbicara pula adanya lebih dari 1

(satu) sistem hukum yang membutuhkan kepastian nantinya hukum mana yang akan diberlakukan sebagai lex causae. Dalam hal ini, pada

(17)

Negara (Pertamina), Suit No: CA 204/ 1992, terdapat 2 (dua) sistem hukum

yang berbeda yang mana para hakim dengan pertimbangannya dalam memutuskan harus menentukan hukum mana yang berlaku khususnya

terkait klaim Pertamina. Sistem hukum yang dimaksud ialah sistem hukum Singapura dan sistem hukum Indonesia.

Menjawab sebuah pertanyaan bahwa mengapa terkait beberapa

sistem hukum yang berbeda, dalam kasus ini terdapat beberapa perbuatan hukum yang dilakukan baik itu hubungannya dengan hukum

Singapura maupun hukum Indonesia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam kasus ini Pertamina mengklaim akun deposit Kartika Tahir yang dianggap hasil suap. Akun deposit yang dimaksud

berada pada salah satu bank cabang Singapura yang bernama Sumitomo Bank Ltd. Dalam hal ini, isu substantif terkait hukum yang akan

diberlakukan bukan hanya mengenai hukum Singapura sehubungan dengan deposit di bank cabang Singapura, tetapi juga hukum Indonesia berkaitan dengan aksi penyuapan (bribery) dan aktivitas melawan

hukum Gen Thahir ketika dia menjabat di Pertamina. Oleh sebab itulah maka terjadi suatu konflik sistem hukum antara Singapura dan

(18)

2. Penentuan Hukum Singapura sebagai lex causae berdasarkan Rule 201 Pasal (2) poin (c)

Seperti halnya yang telah dibahas mengenai penentuan lex causae,

acuan atau pedoman utama dalam menentukannya adalah melalui kaedah yang terdapat di dalam Rule 201. Pada sub-pokok bahasan ini Penulis akan lebih mengerucutkan pembahasan agar lebih terfokus yaitu

seputar Rule 201 Pasal (2) poin (c). Fokus yang diarahkan ini karena memperhatikan peran kaedah tersebut adalah sangat penting ketika

ditentukan bahwa hukum Singapura yang akhirnya menjadi lex causae.

Rule 201 Pasal (1) jo Pasal (2) poin (c) menyatakan bahwa: “The

obligation to restore the benefit of an enrichment obtained at another

person‟s expense is governed by the proper law of the obligation; The

proper law of the obligation is (semble) determined as follows: If it

arises in any other circumstances, its proper law is the law of the

country where the enrichment occurs”. Pada Rule 201 sebetulnya

terdapat kaidah lainnya yaitu ketika kewajiban timbul berhubungan

dengan kontrak (in connection with a contract), kemudian ketika transaksi melibatkan suatu benda tak bergerak (immovable). Penentuan

hukum Singapura tidak berdasarkan kedua kaedah lainnya itu dikarenakan, pertama, kewajiban tidak timbul sehubungan dengan

(19)

Argumen berikutnya mengapa hukum Singapura yang ditentukan

sebagai lex causae (the proper law/ the governing law), bahwa

enrichment terjadi di Singapura. Sumitomo Bank Ltd yang merupakan

cabang bank Singapura menjadi tempat 17 ACU deposit Kartika Thahir,

yang mana Singapura merupakan negara yang secara aktif “digunakan”

sebagai pusat pengumpulan hasil suap. Justifikasi bahwa hukum yang

diberlakukan adalah di mana enrichment terjadi juga dapat dilihat pada pembahasan sebelumnya mengenai kasus-kasus pendukung sehingga

ditentukannya lex causae. Dengan demikian, ketika melihat penerapan kaedah tersebut maka, penentuan hukum Singapura sebagai lex causae berdasarkan pada lex locus actus (tempat perbuatan dilakukan. Baca:

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Data kuantitatif skor penilaian yang diperoleh dari hasil pengisian angket ahli media pembelajaran, ahli materi bidang studi, dan siswa. dianalisis dengan acuan

melalui wawancara sebagai acuan untuk membuat desain produk yang sesuai?. dengan kebutuhan di mana tujuannya adalah untuk memanfaatkan

pokokJpokok=pertanyaannya=yang=menjadi=acuan= wawancara= terlampir= dan= lebih= bebas= bila= dibandingkan= dengan= wawancara= terstrukturK= qujuan= dari= wawancara= ini= adalah=

Secara garis besar sistem ini terdiri dari sebuah mikrokontroler yang mengolah data masukan dari RTC, kemudian masukan tadi digunakan sebagai jadwal acuan dalam

Perancangan tersebut meliputi perancangan mekanik robot, board utama mikrokontroler ATmega8, driver motor utama, driver motor lengan packbot dan untai yang lainnya

Percobaan dilakukan dengan menyusun rangkaian seperti pada gambar 3.8, dengan mengasumsikan penguatan yang dihasilkan sebesar tiga kali kemudian nilai resistor penyusunnya

faktor utama penyebab gizi buruk dan gizi kurang tidak dapat. diberlakukan secara universal terhadap seluruh wilayah

Halaman lihat data karyawan akan digunakan untuk melihat data karyawan, dan tampilan yang dibutuhkan adalah.  Label search dan combobox search sebagai acuan pemilihan