BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Pertimbangan Hakim Sejalan Menurut Pendekatan Teori Kualifikasi Lex Causae
1. Pentingnya Lex Causae pada penyelesaian sengketa HPI
Pada dasarnya kualifikasi lex causae merupakan lex fori yang diperluas. Dikatakan lex fori yang diperluas karena di dalamnya
menggali kaedah-kaedah yang lebih relevan dengan kasus/ perkara berdasarkan sistem hukum tertentu. Urgensi lex fori yang diperluas yaitu
dalam hal ini lex causae sebab suatu alasan bahwa sistem hukum tertentu belum lengkap atau bahkan tidak ada klasifikasi sistem yang tepat untuk menyelesaikan perkara dalam sistem hukum intern. Oleh
karena itu kualifikasi lex causae menjadi pilihan yang tepat sebagai sistem yang dipilih/ ditunjuk karena dianggap masih lebih bisa
mengakomodir fakta-fakta hukum suatu perkara. Argumen selanjutnya adalah bahwa ketika terjadi suatu kekosongan hukum maka hakim tidak dapat terikat secara kaku pada konsep lex fori saja, sebab harus dilihat
pula cakupan peristiwa/ hubungan hukum yang sejenis dari suatu sistem hukum lain.1 Pada kasus ini, hakim melakukan analogi dari peristiwa/ hubungan hukum sebagaimana dalam pertimbangannya terdapat beberapa contoh kasus yang dijadikan kasus pendukung terhadap
argumentasi dalam menentukan lex causae.
1
Penyelesaian suatu perkara Hukum Perdata Internasional (HPI)
dengan kata lain disebut juga suatu penyelesaian hukum perselisihan. Dalam konsep penyelesaian hukum perselisahan, hal demikian
melibatkan pranata hukum yang disebut titik taut dan kualifikasi. Dengan demikian, dapat dicermati tujuan penggunaan metode ini ialah tidak lain untuk menentukan hukum yang seharusnya berlaku atas suatu
perkara tertentu, itulah yang dinamakan lex causae.2
Seperti halnya yang telah penulis ungkapkan sebelumnya, bahwa
dalam suatu perkara HPI akan selalu bersinggungan dengan adanya unsur asing (foreign elements). Oleh sebabnya, forum yang menghadapi suatu perkara tidak dapat mengabaikan kemungkinan-kemungkinan
yaitu salah satunya bahwa lex fori bukanlah satu-satunya sistem hukum yang otomatis harus diberlakukan dalam penyelesaian perkara. Ada
kebutuhan untuk menentukan sistem hukum manakah di antara sistem-sistem hukum yang relevan, dan yang seharusnya atau bahkan yang lebih tepat untuk diberlakukan dalam penyelesaian perkara HPI.
Kebutuhan inilah yang memberi arti pentingnya lex causae.
2. Hasil kualifikasi terhadap Perkara
Ketika melihat cara berpikir hakim dalam menyelesaikan perkara,
dapat dilihat pula bagaimana alur pendekatan yang digunakannya. Perlu disadari bahwa sebagaimana hakekat HPI sebagai kaidah penunjuk maka di dalamnya memuat titik taut apa yang harus digunakan sebagai titik
2
taut penentu dalam rangka menetapkan hukum yang akan diberlakukan.
Dengan penentuan seperti itu baik melalui titik taut penentu dapat dipahami pendekatan kualifikasi seperti apa yang dipegang hakim.
Tahap kualifikasi tentunya merupakan bagian dari sebuah sistem prosedur penyelesaian perkara. Oleh karena itu, untuk membahas lebih lanjut mengenai pendekatan kualifikasi yang digunakan hakim maka
sebagai suatu sistem, akan dibahas juga prosedur penyelesaian perkaranya3.
Digambarkan secara sederhana, langkah pertama dari langkah umum penyelesaian yakni menyusun kasus posisi dari perkara. Pada tahap ini, dikumpulkan semua fakta dan informasi yang relevan
(melakukan kualifikasi fakta) dan kemudian disusun ke dalam suatu urutan kejadian yang sistematis. Kasus ini kurang lebih kasus posisinya
ialah sebagai berikut:
Kasus menyangkut Kartika Thahir dan Pertamina (Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi Negara). Kartika WN Indonesia,
Pertamina merupakan perusahaan negara Republik Indonesia.
Kartika Thahir dianggap memiliki uang dari H. achmad Tahir
(suaminya) yang diduga merupakan hasil suap ketika suaminya memegang jabatan di Pertamina.
Uang tersebut (objek sengketa) terdapat di Singapura dalam hal
ini Bank Sumitomo.
3
Pertamina mengklaim uang tersebut sebagai uang negara karena
dianggap merupakan hasil suap.
Kartika melakukan gugatan di Pengadilan Singapura (Court of
Appeal). Gugatan lahir sehubungan juga dengan putusan
sebelumnya di Pengadilan Singapura (High Court).
Kemudian, langkah berikutnya ialah menentukan ada tidaknya
peristiwa hukum perselisihan. Langkah ini berdasarkan langkah sebelumnya yaitu ketika dikumpulkan fakta dan informasi yang relevan
yang telah disusun secara sistematis. Berdasarkan fakta-fakta dalam kasus tersebut ditentukan apakah terdapat fakta yang mempertautkan perkara dengan lebih dari satu sistem hukum/ kaidah hukum/ peraturan
(“mencari titik-titik taut primer”). Ketika perkara tersebut memiliki titik
taut primer, maka barulah timbul kebutuhan untuk menyelesaikan
perkara dengan menggunakan metode pendekatan HPI. Penentuan titik taut primer dapat dilihat jika adanya unsur asing (foreign elements) dalam perkara. Dari gambaran singkat kasus posisi, maka bisa dikatakan
terdapat unsur asing. Para pihak dari Indonesia, namun objek sengketanya maupun forumnya di Singapura.
Selanjutnya, menentukan masalah hukum utama yang muncul dalam perkara. Dalam tahap ini biasanya ditentukan pokok
gugatan/permohonan, pokok yang dipersengketakan oleh para pihak, hubungan hukum yang mengikat para pihak, dan seterusnya. Dari penentuan masalah hukum utama ini, akan dapat ditemukan atau
kasus ini masalah hukumnya ialah ketika beberapa deposit ACU Kartika
Ratna Thahir dianggap hasil suap. Pertamina sebagai badan usaha milik negara Indonesia mengklaim uang dalam deposit tersebut.
Lalu, langkah untuk menentukan titik taut sekunder dari perkara. Dari perkara yang dihadapi harus dicari fakta penentu untuk menunjuk hukum yang menyelesaikan perkara. Dalam kasus ini, perkara antara
Kartika Ratna Thahir dengan Pertamina di mana objek sengketanya di Singapura. Di sinilah tahap yang nantinya akan berbicara mengenai
pendekatan kualifikasi yang dilakukan hakim terhadap perkara. Penulis menyatakan bahwa pendekatan kualifikasi yang digunakan hakim ialah
model pendekatan kualifikasi Lex Causae. Pada dasarnya, putusan hakim untuk menentukan hukum yang tepat sebagai lex causae berangkat dari Rule 201 ayat (1) jo ayat (2) poin c, di mana menyatakan:
Rule 201 ayat (1) “the obligation to restore the benefit of an enrichment
obtained at another person‟s is governed by the proper law of the
obligation.”; ayat (2) poin c “if it arises in any other circumstances, its
proper law is the law of the country where the enrichment occurs”.
Intinya, menggambarkan bahwa hukum yang pantas untuk diterapkan
pada perkara bersangkutan adalah hukum di mana „memperkaya‟ itu
terjadi. Dalam hal ini terjadi di Singapura (bank cabang Singapura).
Ketika menggunakan Rule 201 sebagai acuan, ditemukan bahwa hakim tidak mengutamakan kedaulatan forumnya sebagai hukum yang harus digunakan dalam penyelesaian perkara. Penggunaan ketentuan tersebut
causae lepas dari apakah ketika diterapkan ujung-ujungnya akan
menunjuk hukum dari forum itu sendiri. Jalan berpikir seperti ini berbanding jauh dengan prinsip yang dipegang ketika menggunakan
pendekatan kualifikasi lex fori yang mana hakim secara langsung menetapkan sistem hukum forumnya yang harus dipakai dalam menyelesaikan perkara tanpa memperkatikan apakah sistem hukum
asing lain yang lebih pantas. Secara tersirat, melalui Rule 201, hakim tidak serta merta menentukan penggunaan hukum forumnya namun
membuka pintu bagi sistem hukum lain untuk diterapkan.
Proses berikutnya yang merupakan tahap akhir yaitu penyelesaian
kasus. Tahapan terakhir ini ialah dengan menjawab isu-isu hukum dalam perkara. Pada putusan yang menjadi unit amatan penulis terdapat 4 (empat) isu hukum, yaitu 1) apakah harus ada klaim kepemilikan; 2)
apakah deposito adalah hasil suap; 3) hukum manakah yang mengatur
(the governing law); dan 4) apakah klaim pertamina merupakan hal
terkait kepemilikan. Jawaban dari isu pertama apakah harus ada klaim kepemilikan, bahwa Pertamina harus menunjukkan bahwa mereka memiliki klaim kepemilikan terhadap uang-uang itu. di bawah sistem
hukum yang mengatur klaim tersebut. Isu kedua mengenai apakah deposito adalah hasil suap, jawabannya ialah semua 17 deposit ACU
uang tersebut bukan terkait klaim kepemilikan (proprietary claim) tetapi
klaim perseorangan (personal claim).
B. Penentuan lex causae sebagai The Proper Law/ The Governing Law Dalam hal penentuan hukum yang tepat untuk diberlakukan sebagai
lex causae, maka hakim memiliki dasar dan acuan. Dasar dan acuan tersebut
menjadi salah satu yang utama pada alur berpikir hakim untuk menentukan
lex causae. Berangkat dari dasar tersebut, hakim bisa membangun sebuah
konstruksi argumentasi untuk menjadi bahan pertimbangan dalam
menentukan hukum yang akan diberlakukan
Doktrin Rule 201 yang dimunculkan Dicey & Morris merupakan
persoalan pokok ketika hakim membangun argumentasi. Rule 201 digunakan sebagai fondasi dasar dalam menentukan lex causae. Oleh karena itu, akan dibahas lebih jauh mengenai Rule 201 serta kaitannya pula dengan
penentuan lex causae.
1. Rule 201 – Dicey & Morris on the Conflict of Laws (12th Ed. 1993)
Kaedah yang terkandung dalam Rule 201 merupakan salah satu argumen yang penting dalam menentukan dan menjawab isu hukum mana yang akan berlaku pada perkara ini. Bunyi dari Rule 201 adalah
sebagai berikut. Rule 201
1) The obligation to restore the benefit of an enrichment obtained at
another person‟s expense is governed by the proper law of the
obligation.
a. If the obligation arises in connection with a contract, its proper
law is the proper law of the contract;
b. If it arises in connection with a transaction concerning an
immovable (land), its proper law is the law of the country where
the immovable is situated (lex situs);
c. If it arises in any other circumstances, its proper law is the law
of the country where the enrichment occurs.
Melalui Rule 201 akan dapat ditentukan mana hukum yang pantas
diberlakukan. Terdapat beberapa kategori yang bisa ditarik dari Rule 201 sehubungan dengan situasi dan kondisi di mana hukum yang berlaku akan berbeda ketika latar belakang sebuah kontrak atau transaksi itu
berbeda. Misalnya Pasal 2 poin (a), menyebutkan bahwa hukum yang pantas diberlakukan adalah hukum yang tepat dari konrak ketika
kewajiban timbul sehubungan dengan kontrak. Pasal 2 poin (b), hukum yang tepat ialah hukum negara di mana benda tak bergerak itu terletak
(lex situs) jika transaksi mengenai sebuah benda tak bergerak (misalnya:
tanah). Kemudian, Pasal 2 poin (c) yaitu bahwa hukum yang tepat adalah hukum hukum negara di mana tindakan memperkaya diri itu
terjadi, hal ini berlaku saat muncul dalam keadaan lain (in any other
circumstances). Namun, perlu juga diingat bahwa argumen yang
digunakan dalam menentukan lex causae bukan hanya Rule 201. Kaedah tersebut hanya salah satu dari sekian justifikasi yang memang menjadi hal paling penting untuk diperhatikan. Dalam hal ini, tentunya
hakim terkait perkara. Pada putusan jelas dikemukakan bahwa Rule 201
yang mana akan memberikan bimbingan/ pedoman (guidance) pada the
applicable law dalam hal ganti-rugian (restitusi) bahwa akan
menegaskan hukum yang tepat untuk diberlakukan terkait dengan perjanjian (obligation). Dengan demikian, melihat betapa pentingnya kaedah dalam Rule 201 maka pada subjudul berikutnya akan dibahas
mengenai keterhubungannya dengan bagaimana penentuan lex causae.
a. Keterkaitan Rule 201 dengan penentuan Lex Causae
Sebelumnya telah dibahas mengenai isi dari Rule 201 berkaitan dengan suatu justifikasi dalam penentuan lex causae pada perkara
terkait. Di sini akan dijelaskan bagaimana keterkaitan Rule 201 sehingga digunakan sebagai acuan dalam menentukan hukum yang diberlakukan. Jelas perihal paling utama yaitu kaitannya dengan
penentuan lex causae bahwa dalam Rule 201 terdapat kaedah yang berhubungan dengan ganti kerugian dalam hal akan menegaskan
hukum yang tepat untuk digunakan (lex causae) dilihat dari perbuatan hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud ialah mengenai isi dari Rule 201, apakah itu mengenai kewajiban yang timbul dari
kontrak, mengenai benda tak bergerak, atau terkait perbuatan hukum yang timbul dalam situasi dan kondisi yang lain (in any other
circumstances).
b. Ruang lingkup (skopa) Rule 201 Pasal (2) poin (a)
proper law of the contract”, merupakan salah satu hal pokok yang
perlu dijelaskan. Penjelasan yang nantinya akan memberikan gambaran tepat tidaknya jika digunakan sebagai acuan dalam
penentuan lex causae. Dalam hal ini akan digambarkan skopa kaedah pada Rule 201 (2) (a) yang adalah batasan sehingga disandingkan dengan kesesuaian berkaitan dengan perkara khususnya perbuatan
hukum di dalamnya. Pada putusan yang bersangkutan dinyatakan ruang lingkup/ skopa/ batasan Rule 201 (2) (a) menurut Dicey &
Morris bahwa:
Although the obligation to restore an unjust benefit does not arise from a
contract, it may, and very frequently does, arise in connection with a
contract. This is the case where a party seeks to recover money paid
pursuant to an ineffective contract, eg by reason of a total failure of
consideration or as a repayment of money paid under an illegal contract or
where he claims a quantum meruit for work done or services rendered
under a contract which turned out to be void. In all these and similar
cases, it is submitted that the existence and the scope of the obligation to
restore the benefit are governed by the law which governs the contract, or
by what would have been the governing law of the contract, if it had been
validly concluded.4
Berangkat dari pernyataan tersebut, juga argumen dalam putusan, jelas tidak mungkin untuk mengatakan bahwa pengembalian hasil suap termasuk dalam kategori pengembalian uang yang terbayarkan
4
menurut sebuah kontrak yang tidak efektif (ineffective contract) atau
dalam hal ini menyangkut kasus bersangkutan.
2. Kasus-kasus Pendukung (precedent/ yurisprudensi) menentukan lex causae
Di dalam putusan, terdapat pula beberapa kasus yang dalam hal ini
dijadikan justifikasi atau argumen-argumen pendukung dalam rangka menentukan lex causae. Kasus-kasus yang dimaksud juga berkaitan
dengan penguatan terhadap penafsiran Rule 201 yang tidak lain dan tidak bukan merupakan acuan utama dalam penentuan sistem hukum manakah yang akan diberlakukan. Kasus-kasus pendukung tersebut
adalah sebagai berikut.
a. T Mahesan s/o Thambiah v Malaysia Government Officers’ Co -operative Housing Society Ltd5
Dalam kasus ini, pada pokoknya menyatakan bahwa terkait dengan agen/ representasi dari sebuah institusi yang telah disuap, prinsipnya
adalah, seperti terhadap penyuap (the briber) dan yang diberi suap
(the agent bribed), memiliki 2 (dua) solusi yang berbeda. Pertama,
mungkin pengembalian suap sebagai money had and received, kemudian yang kedua, mungkin memulihkan kembali kerugian
karena sebuah penipuan (fraud), di mana dapat memulihkan sejumlah kerugian yang sebenarnya sebagai akibat dari keterlibatan dalam transaksi yang mana suap itu diberikan.
5
Pada prinsipnya, hak untuk memulihkan/ memperoleh kembali
jumlah dari hasil suap dari agen tidak tergantung pada kerugian yang terjadi sebagai hasil dari tindakan atau kelakuan si agen. Akan tetapi,
pemberian suap yang telah diperlakukan dalam equity as
constructive fraud sebagai bagian dari pemberi dan di mana itu telah
diberikan sehubungan dengan kontrak/perjanjian di antara pelaku
utama (the principal) dan si penyuap, pelaku utama berhak untuk membatalkan kontrak.
b. Bagnall v Carlton and Mayor, Alderman and Burgesses of the Borough of Salford v Lever6
Kewajiban (liability) dari pemberi suap terhadap pelaku utama/
pihak atas kerugian dibayarkan olehnya sebagai akibat dari keterlibatan dalam kontrak yang mana suap yang telah diberikan
merupakan pengembangan rasional dari hak pendahulunya untuk pembatalan kontrak menurut prinsip equity.
Dari kasus tersebut maupan kasus sebelumnya, jelas dalam putusan
bahwa dasar dari klaim pada faktanya itu equity dianggap pemberian dari suap sebagai penipuan yang terkonstruksi sebagai bagian dari
pemberi, dan seperti agen yang disuap merupakan bagian integral dari sebuah penyuapan (bribery), ini berarti bahwa penerimaan suap
adalah sama penipuan yang terkonstruksi pada bagian dari agen yang disuap. Sehingga dalam pandangan hakim bahwa klaim yang dimaksud dalam kasus ini adalah equity. Maka dari itu, argumen
6
demikian juga merupakan penguatan atas pertimbangan dari putusan
hakim sebelumnya.
c. Trustee of the Property of the Bankrupt v D Pennelier & Co Ltd7 Fakta hukumnya adalah demikian: “There, an action for money had and received was brought by the trustee in bankruptcy to recover,
inter alia, moneys paid out by the bankrupt‟s agent to the defendant
(a French company) after the date of the receiving order. The main
question was whether leave to serve the writ out of jurisdiction under
O 11 of the English RSC should be granted. The arguments before
the court raised, inter alia, the question whether such a claim fell
within what is now the English RSC O 11 r 1(1)(d) on the basis that
the quasi-contractual obligation of the French company to restore
the payments to the trustee fell to be treated as “made” in England
and therefore governed by English law. Sir Nicolas
Browne-Wilkinson V-C did not regard such obligation as made or arising in
England, notwithstanding the fact that payment in that case was
made pursuant to a contract between the bankrupt and the French
company. He held that r 201(2)(c) in Dicey & Morris was “sound in
principle” and applied it. He said, at p 495:
As at present advised, I am of the view that quasi-contractual
obligations of this kind arise from the receipt of the money. I find
obligation to repay arises in connection with a contract or an
immoveable, the proper law of the quasi-contract is the law of
the country where the enrichment occurs. This accords with the
American Restatement and seems to me to be sound in principle.
Berangkat dari kasus ini, suatu kaedah yang ditemukan ialah kecuali dalam kasus di mana kewajiban untuk membayar timbul sehubungan dengan kontrak atau benda tidak bergerak (immovable), hukum yang
tepat dari kuasi-kontrak adalah hukum negara di mana pengayaan
entitled to the moneys in the ACU account with the defendants. One
of the issues raised was: what law governed the plaintiffs‟ claim to
the money?9
Terkait kasus ini, jawaban dari sebuah pertanyaan sehubungan
e. El Ajou v Dollar Land Holdings plc10
There, the plaintiffs owned substantial funds and securities which
were under the control of an investment manager in Geneva who had
been bribed to invest the moneys in fraudulent share selling schemes
operated by three Canadian companies. The proceeds of the
fraudulent share selling schemes were channelled through various
countries, Geneva, Gibraltar, Panama and back through Geneva
from which some were invested in a company, DLH, in London. The
plaintiffs, on discovering the fraud, brought an action against DLH
to recover the money which the latter had received, alleging that
DLH received it with knowledge that it represented the proceeds of
fraud. One of the arguments raised by counsel for DLH was that the
plaintiffs‟ claim depended on the continuing subsistence of his
equitable title to the money and this could not be established where
the money had passed through the hands of recipients in civil law
jurisdictions which did not recognize the concept of equitable
ownership. Millett J rejected this argument and said at p 736:
203(2)(c), and Chase Manhattan Bank NA v Israel-British Bank
(London) Ltd [1979] 3 All ER 1025, [1981] Ch 105. Whatever
money or property DLH received was received by it in England
and, accordingly, the plaintiffs‟ claim falls to be governed by
English law, including principles of equity.
Pada pokoknya, bertimbangan dari Millet J mengatakan hukum yang berlaku atas klaim-klaim tersebut adalah hukum di mana tergugat
menerima uang.
Berdasar pada beberapa contoh kasus di atas, maka dapat disimpulkan beberapa poin pokok yakni terkait penyuapan yang mana
menjadi klaim Pertamina terhadap Kartika Thahir, kemudian terkait the
governing law/ the proper law atau dalam hal ini lex causae yang mana
hukum yang diberlakukan adalah hukum di mana enrichment terjadi.
C. Hukum Singapura (Singapore Law) merupakan lex causae (The Proper Law/ The Governing Law)
1. Konflik antara sistem hukum Singapura dan sistem hukum Indonesia
Hakekat hukum perdata internasional (conflict of laws) telah diketahui bersama ialah penunjukan. Penunjukan dimaksud dalam
rangka mencarai solusi penyelesaian ketika terdapat unsur asing (foreign
element) dalam suatu perkara. Artinya, ketika berbicara mengenai
conflict of laws maka sebenarnya berbicara pula adanya lebih dari 1
(satu) sistem hukum yang membutuhkan kepastian nantinya hukum mana yang akan diberlakukan sebagai lex causae. Dalam hal ini, pada
Negara (Pertamina), Suit No: CA 204/ 1992, terdapat 2 (dua) sistem hukum
yang berbeda yang mana para hakim dengan pertimbangannya dalam memutuskan harus menentukan hukum mana yang berlaku khususnya
terkait klaim Pertamina. Sistem hukum yang dimaksud ialah sistem hukum Singapura dan sistem hukum Indonesia.
Menjawab sebuah pertanyaan bahwa mengapa terkait beberapa
sistem hukum yang berbeda, dalam kasus ini terdapat beberapa perbuatan hukum yang dilakukan baik itu hubungannya dengan hukum
Singapura maupun hukum Indonesia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam kasus ini Pertamina mengklaim akun deposit Kartika Tahir yang dianggap hasil suap. Akun deposit yang dimaksud
berada pada salah satu bank cabang Singapura yang bernama Sumitomo Bank Ltd. Dalam hal ini, isu substantif terkait hukum yang akan
diberlakukan bukan hanya mengenai hukum Singapura sehubungan dengan deposit di bank cabang Singapura, tetapi juga hukum Indonesia berkaitan dengan aksi penyuapan (bribery) dan aktivitas melawan
hukum Gen Thahir ketika dia menjabat di Pertamina. Oleh sebab itulah maka terjadi suatu konflik sistem hukum antara Singapura dan
2. Penentuan Hukum Singapura sebagai lex causae berdasarkan Rule 201 Pasal (2) poin (c)
Seperti halnya yang telah dibahas mengenai penentuan lex causae,
acuan atau pedoman utama dalam menentukannya adalah melalui kaedah yang terdapat di dalam Rule 201. Pada sub-pokok bahasan ini Penulis akan lebih mengerucutkan pembahasan agar lebih terfokus yaitu
seputar Rule 201 Pasal (2) poin (c). Fokus yang diarahkan ini karena memperhatikan peran kaedah tersebut adalah sangat penting ketika
ditentukan bahwa hukum Singapura yang akhirnya menjadi lex causae.
Rule 201 Pasal (1) jo Pasal (2) poin (c) menyatakan bahwa: “The
obligation to restore the benefit of an enrichment obtained at another
person‟s expense is governed by the proper law of the obligation; The
proper law of the obligation is (semble) determined as follows: If it
arises in any other circumstances, its proper law is the law of the
country where the enrichment occurs”. Pada Rule 201 sebetulnya
terdapat kaidah lainnya yaitu ketika kewajiban timbul berhubungan
dengan kontrak (in connection with a contract), kemudian ketika transaksi melibatkan suatu benda tak bergerak (immovable). Penentuan
hukum Singapura tidak berdasarkan kedua kaedah lainnya itu dikarenakan, pertama, kewajiban tidak timbul sehubungan dengan
Argumen berikutnya mengapa hukum Singapura yang ditentukan
sebagai lex causae (the proper law/ the governing law), bahwa
enrichment terjadi di Singapura. Sumitomo Bank Ltd yang merupakan
cabang bank Singapura menjadi tempat 17 ACU deposit Kartika Thahir,
yang mana Singapura merupakan negara yang secara aktif “digunakan”
sebagai pusat pengumpulan hasil suap. Justifikasi bahwa hukum yang
diberlakukan adalah di mana enrichment terjadi juga dapat dilihat pada pembahasan sebelumnya mengenai kasus-kasus pendukung sehingga
ditentukannya lex causae. Dengan demikian, ketika melihat penerapan kaedah tersebut maka, penentuan hukum Singapura sebagai lex causae berdasarkan pada lex locus actus (tempat perbuatan dilakukan. Baca: