ANALISIS YURIDIS TENTANG UANG PANAI
(Studi Perbandingan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat Bugis)
Skripsi ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh : ANDI YUSRI 4512060106
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BOSOWA
MAKASSAR 2017
PERSETUJUAN PEMBIMBING Usulan Penelitian dan penulisan Hukum Mahasiswa
Nama : Andi Yusri
Nomor Stambuk : 4512060106 Program Studi : Ilmu Hukum
Minat : Hukum perdata
Nomor pendaftaran judul : 119/pdt/FH/unibos/XI/2016 Tanggal pendaftaran judul : 16 November 2016
Judul Skripsi : ANALISIS YURIDIS TENTANG UANG PANAI (Studi Perbandingan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat Bugis) Telah diperiksa dan diperbaiki untuk dimajukan dalam ujian skripsi mahasiswa program strata satu (S-1)
Makassar,
Pembimbing I
Dr. Baso Madiong, SH.,MH
Pembimbing II
Zulkifli Makkarawu, SH.,MH
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu-ilmu hukum Dekan Fakultas Hukum
Dr. Ruslan Renggong, SH., MH
ii
PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI
Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Bosowa menerangkan bahwa:
Nama : Andi Yusri
Nomor Stambuk : 4512060106 Program Studi : Ilmu Hukum
Minat : Hukum perdata
Nomor pendaftaran judul : 119/pdt/FH/unibos/XI/2016 Tanggal pendaftaran judul : 16 November 2016
Judul Skripsi : ANALISIS YURIDIS TENTANG UANG PANAI (Studi Perbandingan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat Bugis) Telah disetujui skripsinya untuk diajukan dalam ujian skripsi mahasiswa program strata satu (S1).
Makassar, 3 Maret 2017
Ketua Program Studi Ilmu-ilmu hukum Dekan Fakultas Hukum
Dr. Ruslan Renggong, SH., MH
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji penulis haturkan kehadirat Allah swt yang atas segala rahmat, nikmat, hidayah, dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan studinya serta skripsi ini.
Shalawat serta salam tetap terlimpah kepada Nabi Muhammad saw yang telah menjadi suri tauladan serta menunjukkan manusia pada jalan kebenaran menggapai ridhaNya, beserta keluarganya, sahabatnya, dan kepada seluruh umuat Islam di seluruh dunia.
Terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua, bapak tercinta Alm A.marzuki yang menjadi penyemangat hidup serta mama tercinta Hamina yang telah melahirkan dan dengan penuh kasih membesarkan,mendidik penulis dan motivator terbesar penulis serta tetap setia membantu pada setiap kesusahan penulis. Terima kasih atas segala doa, nasehat, pengorbanan, cinta dan kasih sayang kepada penulis selama ini. Semoga Allah swt memberikan kemampuan lebih kepada penulis untuk membalas semua jasa yang telah kalian berikan. Amin.
Kepada saudara/i tersayang A.asmar,A.rasida,A.asri yang juga menjadi kakak dan menjadi panutan penulis terima kasih atas semua dukungannya selama ini kepada penulis. Dan seluruh keluarga besar penulis ucapkan terima kasih atas dukungannya.
Pada akhirnya skripsi yang merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan studi strata 1 ini dapat terselesaikan. Dengan segala keterbatasan penulis, maka terselesaikanlah skripsi ini dengan judul
v
“Analisis Yuridis tentang Uang Panai (studi perbandingan Menurut hukum islam dan hukum adat bugis”.
Selama dalam masa studi hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan studi dan skripsinya banyak pihak-pihak yang membantu penulis. Pada kesempatan ini,perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Ruslan Renggong, SH., MH selaku Dekan Universitas Bosowa Makassar beserta dosen-dosen atas bimbingan, arahan, waktu dan ilmu yang diberikan kepada penulis dalam proses perkuliahan sampai sekarang, semoga Allah ST senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya untuk kita semua.
2. Bapak Dr. Baso Madiong, SH., MH selaku pembimbing I dan Bapak Zulkifli MAkkawaru, SH., MH Selaku pembimbing II. Atas bimbingan, arahan dan waktu kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah ST senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya untuk bapak.
3. Bapak Prof. Dr. H.A.Muh. Arfah Pattenreng, SH., MH dan Bapak H.
Hamzah Taba, SH., MH Selaku Tim Penguji atas masukan dan saran- saran yang diberikan kepada penulis.
4. Segenap Civitas akademik Fakultas Hukum Universitas Bosowa yang telah memberikan masukan, didikan serta bantuannya dalam penyusunan administrasi akademik ini.
vi
5. Bapak Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Liliriaja Kabupaten Soppeng Syehe, S.Ag, staff Kantor Urusan Agama Kecamatan Patalassang Kabupaten Gowa, Andi Rasyid selaku salah satu Tokoh Adat Kabupaten Soppeng yang telah meluangkan waktunya memberikan informasi dalam membantu kelancaran penelitian dalam penulisan skripsi ini.
6. Pihak-pihak yang telah membantu penulis selama masa studinya yang tidak dapat disebutkan satu-per satu. Terima kasih atas semua bantuannya baik moril maupun materill, semoga penulis diberi kesempatan untuk membalas jasa-jasa kalian dan semoga Allah SWT memberkahi kita semua di setiap langkah kehidupan kita. Amin.
Dengan kesadaran penuh, skripsi ini tentunya masih banyak kekurangan-kekurangan yang perlu dikoreksi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini member manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengembangan wawasan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum keperdataan.
Makassar, 5 Maret 2017
Andi Yusri
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI... iii
PENERIMAAN DAN PENGESAHAN... iv
KATA PENGANTAR... v
DAFTAR ISI ... viii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar belakang masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 9
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9
1.4 Metode Penelitian ... 10
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 13
2.1 Pengertian Uang Panai ... 13
2.2 Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam... 18
2.3 Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Adat ... 22
2.4 Tujuan, Rukun dan Syarat Perkawinan ... 28
2.5 Sejarah Uang Panai Dalam Perkawinan Adat Bugis Makassar ... 36
2.6 Pengertian Sompa dan Mahar, serta Perbedaannya dengan Uang Panai ... 38
2.7 Jumlah Uang Panai ... 46
2.8 Jumlah uang mahar ... 47
viii
2.9 Pelaksanaan Pemberian Uang Panai... 47 2.10 Pelaksanaan Pemberian Mahar ... 49 BAB 3 PEMBAHASAN ... 52
3.1 Kedudukan Hukum Uang Panai Menurut Hukum Islam Dan Hukum Adat Bugis ... 52 3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi dan Dampak Tingginya
Jumlah Uang Panai dalam perkawinan Adat Suku Bugis .... 71 BAB 4 PENUTUP ... 83
4.1 Kesimpulan ... 83 4.2 Saran ... 85 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
Eksistensi manusia hingga saat ini berawal dari diturunkannya Adam sebagai manusia pertama dimuka bumi ini yang kemudian diturunkanya pula Hawa sebagai pasangan dari Adam yang selanjutnya menghasilkan keturunan-keturunannya.
Hakikat manusia yaitu melangsungkan kehidupannya secara terus- menerus yang kemudian menghasilkan keturunan dari generasi kegenerasi. Maka dengan hakikat tersebut manusia hidup berpasang- pasangan yang kemudian membentuk suatu keluarga.
Salah satu yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya adalah tahapan penyatuan untuk menghasilkan keturunannya yang disebut sebagai pernikahan. Hal ini dikarenakan manusia adalah mahluk paling mulia yang diciptakan-Nya,sebab manusia selain memiliki nafsu manusia juga dilengkapi dengan akal pikiran sehingga layaknyalah manusia melakukan perkawinan secara beradab.
Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman suku, adat, budaya dan agama sehingga menjadikan pelaksanaan perkawinan sangat bervariasi baik syarat maupun prosesinya sebagaimana peran adat dan agama pun sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan perkawinan tersebut, selain itu perkawinan juga diatur dalam beberapa ketentuan perundang-undangan baik dalam KUH Perdata ,maupun dalam
peraturan perkawinan campuran. Kondisi ini menyebabkan terjadi nya keberagaman pelaksanaan pengaturan perkawinan.
Pemerintah Republik Indonesia mensahkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, namun di dalam undang-undang tersebut tidaklah mengatur secara lengkap mengenai perkawinan ini, khususnya tentang teknis perkawinan (dalam hal ini yang dimaksud yaitu tentang tatacara upacara pelaksanaan perkawinan) karena undang-undang tidak mampu mencakup seluruh proses perkawinan yang berbeda-beda dan beragam dari setiap masing-masing daerah sesuai suku dan budaya yang berlaku di daerah tersebut. melainkan aturan teknis tersebut diserahkan kepada masyarakat untuk melaksankannya sesuai dengan hukum adat yang berlaku didaerah tersebut.
Tak terkecuali kita yang berada di Sulawesi-selatan Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Sistem Perkawinan di Sulawesi-selatan sangat kental dengan adat Bugis dan dikenal sebagai salah satu sistem perkawinan yang kompleks karena mempunyai rangkaian prosesi yang sangat panjang dan syarat-syarat yang sangat ketat ini tidak lepas dari budaya malu yang berlaku di suku Bugis yang disebut Budaya Siri‟.
Dan yang akan kami bahas dalam penelitian kami yaitu mengenai Doe‟ menre‟ / doe‟Panai (doe‟ balanja) atau lebih dikenal dengan Uang Panai, Uang Panai adalah besaran uang pinangan (uang panai) yang
akan dipenuhi atau dibayarkan pihak laki-laki ke pihak perempuan sebelum melangkah ke prosesi perkawinan.
Namun dari zaman ke zaman budaya ini teradaptasi terus kebawah lapisan Kasta masyarakat bahkan pada perkembangannya sampe saat ini syarat ini tidak hanya berlaku pada keluarga kerajaan saja namun berlaku secara menyeluruh dan menjadi prasyarat mutlak lelaki untuk ingin meminang seorang perempuan bahkan berlaku pula bagi lelaki yang bukan dari suku Bugis atau kata lain dari luar Sulawesi-Selatan yang ingin meminang seorang perempuan yang berasal dari suku Bugis.
Besaran Uang Panai yang berlaku saat ini dipengaruhi oleh status sosial yang melekat pada orang yang akan melaksanakan pernikahan baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan, tingkat pendidikan, strata sosial, faktor kekayaan, faktor popularitas, dan apalagi jika orang tersebut berketurunan ningrat atau darah biru, semakin tinggi derajat semua status tersebut maka akan semakin tinggi pula permintaan uang panai nya, tidak jarang banyak lamaran yang akhirnya dibatalkan karena tidak terpenuhinya permintaan uang panai tersebut
Bahkan hal persyaratan utamanya atau menjadi pembahasan pertama pada pelamaran sebelum melangsungkan perkawinan adalah besaran “Uang Panai” (uang pinangan),uang panai atau uang pinangan adalah uang yang harus diberikan, calon mempelai laki-laki ke pada calon mempelai perempuan. Uang panai ini seringkali di maknai dengan keliru karena di anggap atau dipersamakan dengan mahar, padahal uang panai
tersebut berbeda dengan mahar. Kedudukannya sebagai uang adat yang terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak keluarga mempelai. Uang panai juga akan semakin berat ketika keluarga mempelai perempuan meminta Sompa (harta tidak bergerak seperti sawah dan kebun), Erang-erang (asesoris resepsi pernikahan).
Pembayaran uang panai ini dapat dilakukan pada saat lamaran telah diterima atau penentuan hari perkawinan atau pada saat appanai balanja (hari memberikan uang belanja), ataupun pada saat akad nikah akan dilangsungkan. Adapula yang melakukan pembayaran sekaligus dan ada yang melakukan pembayaran sebagian dan di selesaikan pada saat akad nikah akan dilangsungkan.
Tetapi jika melihat realitas yang ada, arti uang panai ini sudah bergeser dari maksud sebenarnya, uang panai sudah menjadi ajang gengsi untuk memperlihatkan kemampuan ekonomi secara berlebihan, tak jarang untuk memenuhi permintaan uang panai tersebut maka calon mempelai pria harus rela berutang, karena apabila prasyarat uang panai tersebut tidak terpenuhi akan dianggap sebagai malu atau “Siri‟” (rasa malu atau merasa harga diri dipermalukan). Bahkan tak jarang permintaan Uang Panai dianggap sebagai senjata penolakan pihak perempuan bagi pihak laki-laki yang datang meminang jika pihak laki-laki tersebut tidak di restui oleh orang tua pihak perempuan dengan modus meminta Uang Panai yang setinggi-tingginya yang mereka anggap bahwa laki-laki yang
bermaksud meminang tersebut tidak mampu memenuhi permintaan uang Panai tersebut.
Unsur pokok suatu perkawinan adalah calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali yang melangsungkan akad dengan calon suami, dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah, serta Ijab dan Qabul.
Sedangkan Mahar dalam agama Islam dinilai dengan menggunakan nilai uang sebagai acuan, hal ini disebabkan karena mahar merupakan harta dan bukan semata-mata sebagai sebuah simbol. Wanita dapat meminta mahar dalam bentuk harta dengan nilai nominal tertentu seperti uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, atau benda berharga lainnya. Mahar juga dapat berupa Al-Qur'an serta seperangkat alat shalat.
Agama Islam mengizinkan mahar diberikan oleh pihak laki-laki dalam bentuk apa saja (cincin dari besi, sebutir kurma, atau pun jasa), namun demikian mempelai wanita sebagai pihak penerima memiliki hak penuh untuk menerima ataupun menolak mahar tersebut.
Perkawinan adat dalam suku Bugis disebut pa‟bungtingang.Upacara pa‟bungtingang banyak dipengaruhi oleh ritual- ritual sakral dengan tujuan agar perkawinan berjalan dengan lancar dan pernikahannya mendapat berkah dari Tuhan.
Sebelum prosesi pa‟bungtingang dilakukan, terdapat beberapa tahap yang harus dilalui oleh calon mempelai laki-laki. Diantaranya adalah A‟jagang-jagang/Ma‟manu-manu, A‟suro/Massuro, dan Appa‟nasa/Patenre
Ada. A‟jagang-jagang adalah penyelidikan secara diam-diam oleh pihak calon mempelai pria untuk mengetahui latar belakang pihak calon mempelai wanita. A‟suro/...adalah acara pinangan secara resmi pihak calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita.Appa‟nasa/...yaitu menentukan hari pernikahan. Selain penentuan hari perkawinan, juga disepakati besarnya mas kawin dan uang belanja. Uang belanja dalam suku Bugis biasa disebut Uang Panai.
Saat ini, pemahaman sebagian besar masyarakat suku Bugis tentang pengertian mahar dan Uang Panai masih banyak yang keliru.
Masih ada segelintir orang yang menyamakan kedudukan mahar dan Uang Panai, namun adapula yang membedakannya.
Dalam adat perkawinan Bugis, terdapat dua istilah yaitu sompa dan dui‟menre‟ (Bugis) atau uang panai/doe‟ balanja(Makassar).Sompa atau mahar adalah pemberian berupa uang atau harta dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai syarat sahnya pernikahan menurut ajaran Islam. Sedangkan dui‟menre‟ atau uang panai/doe‟balanja adalah
“uang belanja” yang harus diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta pernikahan.
Pengertian dari sompa atau mahar dengan uang panai memang hampir mirip, yaitu sama-sama merupakan kewajiban.Namun kedua hal ini sebenarnya berbeda Tujuan. Sompa atau mahar merupakan kewajiban
yang ada dalam Islam, sedangkan Uang Panai merupakan tradisi adat masyarakat Bugis.
Kenyataannya Uang Panai yang diberikan kepada keluarga calon mempelai perempuan jumlahnya lebih banyak daripada jumlah mahar.
Terkadang, karena tingginya jumlah uang panai yang dipatok keluarga calon mempelai perempuan justru menimbulkan masalah. Diantaranya, banyak pemuda yang gagal menikah karena tidak dapat menyanggupi jumlah Uang Panai. Bahkan yang lebih parah, tak jarang pasangan tersebut malah kawin lari atau masyarakat suku Bugis menyebutnya silariang.
Penyebab tingginya jumlah Uang Panai yang ditentukan oleh keluarga calon mempelai perempuan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah status sosial calon isteri serta tinggi rendahnya jenjang pendidikan calon isteri.
Dalam hal ini, jumlah Uang Panai yang merupakan kewajiban adat masyarakat Bugis dapat mencapai ratusan juta rupiah. Sebaliknya mahar yang merupakan kewajiban dalam Islam tidak dipermasalahkan Jumlahnya tergantung kerelaan calon suami, namun tetap sebagai kewajiban yang harus dipenuhi dalam perkawinan Adat masyarakat Bugis.
Dalam tradisi masyarakat Bugis-Makassar, uang panai merupakan prasyarat utama di mana calon mempelai laki-laki memberikan sejumlah uang kepada calon mempelai perempuan. Uang ini akan digunakan untuk
belanja keperluan mempelai wanita mengadakan pesta pernikahan (http://tribuntimur.com/, diakses tanggal 01 desember 2016).
Beberapa pekan yang lalu, jauh dari ujung barat Indonesia, tepatnya di Aceh, seorang pria menikahi perempuan pujaan hatinya hanya dengan mahar segelas air putih. Setelah mengucap ijab kabul, sang mempelai perempuan langsung meminum segelas air putih sebagai mahar pernikahannya hingga habis.
Bergeser ke Pulau Jawa, tepatnya di Lamongan seorang pria menikah dengan mahar bacaan Al quran surat Ar Rahman. Sekejap bacaan Al quran yang didengungkan sang mempelai pria membuat bulu kudu tamu yang hadir merinding. Sungguh pemandangan yang sulit kita temui di Sulawesi Selatan.
Parahnya, budaya uang panai kerap dijadikan sisi bisnis atau suatu euforia dalam membesarkan nama keluarga sehingga terkadang dalam suatu hajatan pernikahan, besaran uang panai di dalamnya terkadang nilainya diluar angka rasionalitas.Data yang dihimpun, nilai tertinggi uang panai di Sulsel sebelumnya dipegang Kabupaten Bulukumba dengan besaran Rp 500 juta. Namun nilai itu akhirnya terlampaui setelah Kabupaten Pinrang mencetak rekor uang panai sebesar Rp 599 juta.
Rekor ini ditorehkan dalam pernikahan keluarga besar Baramuli Pinrang yaitu Jaya Baramuli yang mempersunting Andi RahmaniarIdrus,pesta pernikahannya yang telah dilangsungkan Senin, 18 Juli 2016, di Halaman
Masjid Agung Al-Munawir Pinrang (http://lintasterkini.com/17/07/2016, diakses tanggal 01 desember 2016).
Pada hakikatnya, dalam hukum perkawinan Islam tidak ada kewajiban untuk memberikan Uang Panai.Kewajiban yang ada dalam perkawinan Islam hanya memberikan mahar kepada calon istri. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menulis skripsi yang berjudul “ANALISIS YURIDIS TENTANG UANG PANAI (study perbandingan menurut hukum Islam dan hukum adat dan hukum adat Bugis)”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana kedudukan hukum Uang Panai Menurut hukum Islam dan hukum adat Bugis ?
b. Faktor–Faktor apakah yang mempengaruhi Dan Dampak Tingginya Jumlah Uang Panai dalam perkawinan Adat Suku Bugis?
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui kedudukan hukum Uang Panai Menurut hukum Islam dan hukum adat Bugis.
b. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi Dan Dampak Tingginya Jumlah Uang Panai dalam perkawinan Adat Suku Bugis.
Kegunaan penelitian meliputi:
a. Kegunaan Teoritis: penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan bagi penelitian selanjutnya dan dapat pula dijadikan bahan masukan dalam memahami tentang perihal pemberian Uang Panai dalam perkawinan Adat Suku Bugis.
b. Kegunaan Praktis: Sebagai tambahan wawasan pengetahuan tentang mahar dan Uang Panai, di tinjau dari segi hukum Islam dan hukum adat. Serta dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat suku Bugis pada khususnya dalam pelaksanaan perkawinan adat tentang uang panai.
1.4. Metode Penelitian a. Pendekatan masalah
1) Tehnik Sosiologis
Data yang berkaitan dengan perihal pemberian Uang panai dalam perkawinan adat suku Bugis.
2) Tehnik Yuridis
Data mengenai tinjauan hukum Islam dan hukum adat Bugis tentang Uang Panai dalam perkawinan adat suku Bugis.
b. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data dan informasi yang akurat, berkaitan dengan permasalahan dan pembahasan penulisan skripsi ini, maka lokasi penelitian adalah di wilayah Masyarakat
Kabupaten Gowa (mewaikili suku Bugis makassar) Dan Kabupaten Soppeng (mewakili suku Bugis).
c. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Data Primer
Data yang diperoleh langsung dari responden dalam hal ini, aparatur Kantor Urusan Agama (KUA), pegawai pencatat nikah, Penghulu, tokoh agama atau tokoh adat (orang yang dituakan), serta pihak yang terkait dengan objek yang diteliti.
b. Data Sekunder
Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan mempelajari buku-buku literature, peraturan perundang-undangan, artikel, dan lain-lain yang berhubungan dengan objek penelitian.
d. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu Metode penelitian wawancara yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara. Selain itu, penulis juga melakukan penelaan
terhadap artikel-artikel yang dianggap m empunyai kaitan atau hubungan yang dapat membantu penulis.
e. Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis menganalisis data tersebut dengan menggunakan metode analisis deskriptif yaitu suatu analisis yang bertujuan untuk memberi deskripsi mengenai keadaan atau fenomena secara mendalam dari semua aspek.
Metode analisis ini bertujuan mengetahui deskripsi perihal pemberian Uang Panai dalam perkawinan adat suku Bugis Masyarakat yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan hukum Islam dan hukum adat dan hukum adat .Kemudian data tersebut diuji dengan ketentuan yang ada dan yang sesuai dengan hukum Islam dan hukum adat. Hasil penelitian dan pengujian tersebut disimpulkan dalam bentuk deskripsi sebagai hasil pemecahan permasalahan yang ada sesuai dengan rumusan masalah yang telah dibatasi dalam penelitian ini.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Uang panai
Uang panai atau uang belanja merupakan sejumlah uang yang wajib dibayarkan oleh calon mempelai laki-laki dimana jumlah atau nominalnya sangat bervariasi tergantung pada kasta dan tingkat strata sosial seorang wanita. Pemberian uang panai terlebih dahulu melalui kesepakatan antara kedua belah pihak.
Simbolik Uang Panai atau Appanai belanja adalah Simbolik untuk warga masyarakat Sulawesi Selatan khususnya untuk suku Makassar- Bugis. Sejarah uang panai dulunya bermakna uang belanja untuk keluarga perempuan. Adanya kesepakatan uang panai itu terjadi karena adanya pembicaraan dari pihak keluarga laki-laki dan perempuan.
Masyarakat suku Bugis-Makassar, uang panai dalam pernikahan adalah keharusan sebelum melangsungkan pernikahan. Uang panai adalah sejumlah uang yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita yang akan digunakan untuk keperluan mengadakan pesta pernikahan dan belanja pernikahan lainnya. Uang panai ini tidak terhitung sebagai mahar penikahan melainkan sebagai uang adat namun terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak atau keluarga,Dan merupakan bentuk penghargaan dan realitas penghormatan terhadap norma dan strata sosial.
Di mata masyarakat Bugis, semakin tinggi pendidikan seorang perempuan maka semakin tinggi pula uang panainnya. Bahkan persoalan uang panai ini tak jarang menjadi penghambat kaum pria menunda niatnya untuk melamar sang perempuan. Padahal menikah adalah hal yang baik.“Bukankah seharusnya niat yang baik itu dimudahkan saja”.
Jika melihat realitas yang ada saat ini, arti dari uang panai ini sudah bergeser dari arti yang sebenarnya. Uang panai sudah menjadi ajang gengsi atau pamer kekayaan, padahal yang kaya itu bukan mempelai laki- lakinya tetapi yang kaya adalah orang tua si lelaki.
Uang panai bukan lagi menjadi maskawin melain candu dalam sebuah pernikahan. Apakah dilarang, tentu tidak. Namun uang panai kerap menjadi momok bagi pemuda yang akan menikahi gadis Bugis- Makassar sebab jumlahnya seringkali mencekik.
Tidak jarang pula, uang panai dijadikan sebagai ajang pembuktian keseriusan oleh pihak mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki.
Bukti keseriusan itu terjawab ketika berapa pun besarnya uang panai yang diminta oleh pihak mempelai perempuan, tanpa berpikir panjang, pihak laki-laki langsung menyetujuinya. Padahal dalam Al quran dan hadits, jelas dikatakan bahwa mahar atau uang panai jangan sampai menjadi beban dan penghambat. “Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” [ QS. An-Nisa : 4 ], “Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah rahimnya.” [Hr. Ahmad, Ibnu
Hibban dal al-Hakim]. Semua kembali ke individu masing-masing, ketika ada niat yang kuat, selalu dibukakan jalan. Tradisi ini bukanlah sebagai media untuk mempertontonkan siapa yang „mahal‟ siapa yang „murah‟.
Melainkan dari tradisi ini kita belajar bahwa untuk mendapatkan sesuatu, harus berusaha dan bekerja keras untuk memenuhinya.
Tapi sebenarnya jika kita melihat realitas yang ada, arti dari uang panai ini sudah bergeser dari arti yang sebenarnya. Uang panai sudah menjadi ajang gengsi atau pamer kekayaan. Tak jarang untuk memenuhi jumlah permintaan uang panai tersebut, calon mempelai pria bahkan harus berhutang.
Dalam setiap peristiwa perkawinan yang terjadi diberbagai suku bangsa, hampir selalu ada pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, sebagai syarat untuk melaksanakan perkawinan. Pemberian itu dimana-mana mempunyai corak setempat, yang disebutkan perbedaan susunan jujur, pengaruh bedanya kelas, cara mengumpulkan dan membagi-bagi jujur itu dan perbedaan dalam banyak keadaan-keadaan lain lagi. pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan dalam perkawinan suku Bugis- Makassar.
Disamping bentuk dan sifatnya yang berbeda-beda juga mempunyai istilah yang berlainan. Adapun istilah-istilah tersebut adalah mahar/mas kawin (sompa/Bugis, sundrang/Makassar), uang belanja (doi balanca/Bugis, doe balanja/Makassar), hadiah atau erang-erang yang
terdiri atas leko‟ ca‟di dan leko‟ lompo, dan lain-lain.
Mahar dalam hukum perkawinan Islam merupakan satu rukun perkawinan, perkawinan tidak sah bila laki-laki (calon suami) tidak memberi mahar atau mas kawin.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasa Pasal 1 ayat (d) memberikan definisi tentang mahar, yaitu :
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita baik berbentu barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Pada Pasal 30 KHI juga diatur bahwa :
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Mahar atau shadaq dalam hukum perkawinan Islam merupakan suatu kewajiban yang harus dibayarkan oleh seorang pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Hukum pemberian mahar ini adalah wajib.
Benda atau uang pemberian ini adalah mutlak milik perempuan. Mahar adalah hak eksklusif perempuan dan hak finansial yang sah yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun yang hendak melangsungkan perkawinan.
Firman Allah SWT :
“Berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kamu kawin) sebagai pemberian yang wajib” (Q.S. an-nisa‟ :4)
Tampak dalam uraian diatas bahwa mahar atau sompa/sunrang adalah merupakan pemberian wajib dari suami kepada istrinya.
Olehnya itu, mahar adalah hak milik perempuan, bukan milik orang tuanya
sebagai imbalan bagi orang tua karena telah membesarkannya. Mahar merupakan syarat sahnya suatu perkawinan dan tidak di perbolehkan mengadakan persetujuan untuk meniadakannya.
Besar kecilnya mas kawin itu tentu berbeda-beda pada berbagai suku. Kadang-kadang besar kecilnya harus ditetapkan secara berunding antara kedua belah pihak yang bersangkutan, dan sesuai dengan kedudukan, kepandaian, kecantikan, dan umur dari perempuan yang dilamar. Pada hakekatnya arti mas kawin itu disamping sebagai harta pengganti juga mempunyai fungsi lain yang bercampur pada arti ini.
Berbagai adat istiadat yang berkaitan dengan pembayaran mas kawin pada setiap suku di Indonesia sudah tidak jelas lagi artinya.istilah dari mas kawin itu dalam beberapa bahasa di Indonesia artinya harta pemberian. Kata Nias beuli niha, kata Batak Toba pangoli, boli, bohur;
kata weli di Ambon; kata patuku di Bali; kata tukon di Jawa; yang semuanya mengandung arti beli. Namun jika dikaji lebih dalam, mas kawin sama sekali bukan sebagai harta pembelian.
Salah satu syarat dan rukun yang harus dipenuhi dalam perkawinan (menurut hukum Islam) adalah adanya mahar (mas kawin) atau sompa/sunrang yang biasanya berupa tanah. Dalam tradisi suku Bugis-Makassar, Hal tersebut diperluas dengan tidak hanya membayar mahar atau mas kawin akan tetapi terkadang ditambah dengan harta pemberian (tambahan) lainnya yang biasa di sebut uang panai.
2.2 Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah:
melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah (Soemiati,1982 : 8)
Ada banyak perbedaan pendapat mengenai pengertian perkawinan. Tetapi perbedaan pendapat ini sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu dengan yang lain.
Nikah atau ziwaj dalam Bahasa Arab diartikan dengan kawin.
Kalimat nikah atau tazwih diartikan dengan perkawinan. Abdurrahman Al- Jarizi dalam kitabnya Al-Fiqh „AlaMazahibil Arba‟ah menyebutkan ada 3 macam makna nikah, yaitu: (Djamaan Nur,1993:1-4)
a. Makna lughawi atau makna menurut bahasa Menurut bahasa nikah adalah: “bersenggama atau bercampur.” Selanjutnya dikatakan:
“terjadinya perkawinan antara kayu-kayu apabila kayu-kayu itu saling condong dan bercampur satu dengan yang lain.”
Dalam pengertian majaz orang menyebut nikah sebagai akad, sebab akad adalah sebab bolehnya bersenggama.
b. Makna ushuli atau makna menurut syar‟i
Para ulama berbeda pendapat tentang makna ushuli dan makna syar‟Iini.Pendapat pertama menyatakan bahwa nikah arti hakikatnya adalah watha‟ (bersenggama).
Dalam pengertian majaz nikah adalah akad. Bila menemui kalimat nikah dalam Al-Qur‟an atau hadist itu berarti watha‟ atau bersenggama (apabila tidak ditunjukkan lain). Pengertian ini dapat dijumpai dalam Al-Qur‟an surat An-Nisaa‟ ayat 22 dan surat Al- Baqarah ayat 230.
Pendapat kedua mengatakan bahwa makna hakikat dari nikah adalah akad, sedangkan arti majaznya adalah watha‟.Pengertian ini adalah kebalikan dari pengertian menurut makna lughawi (menurut bahasa).
Pengertian pendapat ini dapat dijumpai dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 230.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa makna hakikat dari nikah adalah musytarak atau gabungan dari pengertian akad dan watha‟.Sebab untuk pemakaian syara‟ nikah kadang-kadang makna watha‟.
c. Makna Fiqh (menurut ahli Fiqh)
Nikah menurut ahli fiqhberarti :akad nikah yang ditetapkan oleh syara‟ bahwa seseorang suami dapat memanfaatkan dan bersenang- senang dengan kehormatan seorang istri dan seluruh tubuhnya.
Berdasarkan pendapat para Imam Madzhab, pengertian nikah adalah sebagai berikut:
Golongan Hanafiah mendefinisikan nikah nikah itu adalah akad yang memfaedahkan memiliki, bersenang-senang dengan sengaja.
Golongan Asy-Syafi‟iyah mendefinisikan nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha‟ dengan lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya.
Golongan Malikiyah mendefinisikan nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan watha‟, bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh nikah dengannya.
Golongan Hanabilah mendefinisikan nikah adalah akad dengan mempergunakan lafaz nikah atau tazwij guna membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama zaman dahulu memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk berhubungan yang semula dilarang.Mereka tidak memperhatikan tujuan, akibat atau pengaruh nikah tersebut terhadap hak dan kewajiban suami istri yang timbul.
Para ulama mutaakhirin, dalam mendefinisikan nikah telah memasukkan unsur hak dan kewajiban suami istri kedalam pengertian nikah. Muhammad Abu Ishrah mendefinisikan nikah sebagai akad
yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara laki-laki dan perempuan dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban masing-masing (Ibid, 3).
Dari pengertian ini berarti perkawinan mengandung aspek akibat hukum yaitu saling mendapat hak dan kewajiban, serta bertujuan mengadakan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong.
Oleh karena perkawinan termasuk dalam pelaksanaan syari‟at agama, maka di dalamnya terkandung tujuan dan maksud. Maksud dan tujuan itu adalah mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Rumusan pengertian perkawinan tersebut, didasarkan pada sudut pandang agama Islam, karena perkawinan disebut juga nikah.
Disamping itu ternyata untuk menghalalkan hubungan kelamin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan diridhoi oleh Allah SWT.
Kaitannya dengan pengertian tersebut, Undang-undang No 1 tahun 1974 pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 Tentang Perkawinan).
Kemudian dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam dan hukum adat pasal 2 menyebutkan bawah perkawinan menurut hukum Islam dan hukum adat adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqongholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam Pasal 1).
Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian perkawinan, akan tetapi dari semua rumusan yang telah dikemukakan ada satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu bahwa nikah itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Perjanjian di sini bukan sembarang perjanjian seperti perjanjian jual-beli, perjanjian pinjam uang, perjanjian kerja atau sewa-menyewa, akan tetapi perjanjian dalam nikah adalah merupakan perjanjian yang suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Suci di sini dilihat dari segi keagamaannya dari suatu perkawinan.
2.3 Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Adat
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita. Sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut perempuan dan laki-laki bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga- keluarga mereka masing-masing.
Bahkan dalam hukum adat diyakini bahwa perkawinan bukan saja merupakan peristiwa penting bagi mereka yang hidup, tetapi juga merupakan peristiwa penting bagi leluhur mereka yang telah tiada. Arwah- arwah leluhur kedua belah pihak diharapkan juga merestui kelangsungan rumah tangga mereka akan lebih rukun dan bahagia.
Oleh karena perkawinan mempunyai arti yang demikian pentingnya, maka pelaksanaannya senantiasa dimulai dan seterusnya disertai dengan berbagai-bagai upacara lengkap dengan sesajen- sesajennya.Ini semua barangkali dapat dinamakan takhayul, tetapi ternyata sampai sekarang hal-hal itu masih sangat meresap pada kepercayaan sebagian besar rakyat Indonesia dan oleh karenanya juga masih tetap dilakukan di mana-mana.
Pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami istri, harta bersama kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan kekeluargaan, serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.
Begitu juga menyangkut kewajiban menaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan-Nya maupun
hubungan manusia dengan manusia dalam pergaulan hidup agar selamat didunia dan di akhirat.
Oleh karenanya, Imam Sudiyat mengatakan bahwa perkawinan dalam hukum adat merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, biasa merupakan urusan pribadi bergantung susunan masyarakat. Demikian pula di ketengahkan oleh TeerHaar menyatakan bahwa perkawinan adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat, dan urusan pribadi. Dan begitu pula menyangkut urusan keagamaan sebagaimana dikemukakan oleh Van Vollenhoven bahwa dalam hukum adat banyak lembaga-lembaga hukum dan kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan tatanan dunia luar dan diatas kemampuan manusia (http://bloghukumumum.blogspot.co.id/, diakses pada tanggal 01 Desember 2016).
Perkawinan dalam arti Perikatan Adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan “rasa senak” (hubungan anak-anak, bujang gadis) dan
“rasa Tuha” (hubungan orang tua keluarga dari pada calon suami istri).Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua termaksud anggota keluarga, kerabat menurut hukum adat setempat yaitu dengan pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan,
keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terlibat dalam perkawinan.
Hazairin mengemukakan bahwa ada tiga buah rentetan yang merupakan perbuatan magis muncul ketika terjadinya peristiwa perkawinan itu, yakni yang bertujuan menjamin ketenangan (koelte), kebahagiaan (welvaart), dan kesuburan (vruchbaarheid) (Dewi Wulansari, op.cit., 2010:48).
A. Van Gennep, seorang ahli sosiologi Perancis menamakan semua upacara-upacara itu “rites de passage” (upacara-upacara peralihan). Upacara-upacara peralihan yang melambangkan peralihan atau perubahan status dari mempelai berdua; dari tadinya hidup terpisah, setelah melampaui upacara-upacara dimaksud menjadi hidup bersatu dalam suatu kehidupan bersama sebagai suami-istri; semula mereka masing-masing merupakan seorang warga keluarga orang tua mereka masing-masing, setelah melampaui upacara-upacara yang bersangkutan mereka berdua merupakan keluarga sendiri, suatu keluarga baru yang berdiri sendiri dan mereka pimpin sendiri.
Menurut M.M.Djojodigoeno hubungan suami istri setelah perkawinan ini bukan saja merupakan suatu hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak akan tetapi juga merupakan suatu paguyuban. Paguyuban ini adalah paguyuban hidup yang menjadi pokokajang kehidupan suami istri selanjutnya beserta anak-anaknya yang lazim disebut “somah”, istilah Jawa yang artinya keluarga. Dalam somah
ini terjadi hubungan antara suami dan istri sedemikian rapatnya, sehingga dalam pandangan orang Jawa merka itu disebut “suatu ketunggalan”
(Dewi Wulansari, Loc.cit., 2010:48).
Menurut hukum adat di Indonesia perkawinan itu dalam beberapa bentuk dan sistem.Diantaranya perkawinan yang bersistem patrilinial, matrilineal, parental, dan campuran.Maka bentuk-bentuk perkawinan yang berlaku berbeda pula, diantaranya bentuk perkawinan jujur, perkawinan semenda, perkawinan bebas, dan perkawinan campuran.
Dalam hal perkawinan, di Indonesia terdapat banyak perbedaan.
Ada yang bersifat patrilinial, matrilineal, parental, dan campuran. Dari sini juga terdapat bentuk-bentuk perkawinan yang berbeda pula. Adapun bentuk-bentuk perkawinan yang ada dalam masyarakat adat di Indonesia ini antara lain(SuriyamanMustariPide. 2009:155-163)
a. Perkawinan jujur
Perkawinan jujur atau jelasnya perkawinan dengan pemberian (pembayaran) uang (barang) jujur, pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat yang mempertahankan garis keturunan bapak (lelaki) (Gayo, Batak, Nias, Lampung, Bali, Timor, Maluku). Pemberian uang/barang jujur dilakukan oleh pihak kerabat (marga,suku) calon suami kepada pihak kerabat calon istri, sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai perempuan keluar dari kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk ke dalam persekutuan hukum suaminya.
b. Perkawinan Semenda
Perkawinan semenda pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang matrilineal, dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu (wanita), merupakan kebalikan dari bentuk perkawinan jujur. Dalam perkawinan semenda, calon mempelai laki- laki dan kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak perempuan malahan sebagai mana berlaku di Minangkabau berlaku adat pelamaran dari pihak wanita kepada pihak pria.
c. Perkawinan Bebas
Bentuk perkawinan ini pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang bersifat parental (keroangtuaan), seperti berlaku di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, Kalimantan, dan Sulawesi, dan di kalangan masyarakat Indonesia yang modern, dimana kaum keluarga atau kerabat tidak banyak lagi campur tangan dalam keluarga/rumah tangga.
d. Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan yang terjadi di antara suami dan istri yang berbeda suku bangsa, adat budaya, dan atau berbeda agama yang dianut.Undang- undang Perkawinan nasional tidak mengatur hal yang demikian, yang diatur hanyalah perkawinan antara suami dan istri yang berbeda kewarganegaraan sebagai mana yang dinyatakan dalam pasal 57 UU No. 1 1974.
e. Perkawinan Lari
Perkawinan lari dapat terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat, tetapi yang terbanyak berlaku adalah di kalangan masyarakat Batak, lampung, Bali, Bugis/Makassar, Maluku. Didaerah-daerah tersebut walaupun kawin lari itu merupakan pelanggaran adat,
Namun terdapat tata tertib cara menyelesaikannya.
Sesungguhnya perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan melainkan merupakan system pelamaran, oleh karena dari kejadian perkawinan lari itu dapat berlaku bentuk perkawinan jujur, semenda atau bebas/mandiri, tergantung pada keadaan dan perundingan kedua pihak.
2.4 Tujuan, Rukun dan Syarat Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtra, dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga; sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih saying antar anggota keluarga (Abd.RahmanGhazaly. 2003:22).
Rumusan tujuan perkawinan di atas dapat diperinci sebagai berikut:
a. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan.
b. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih.
c. Memperoleh keturunan yang sah.
Dari uraian di atas, Imam Al-Ghazali dalam Ihyanya tentang faedah melangsungkan perkawinan membaginya kedalam lima tujuan, yaitu:
(Dewi Wulansari 2010:24)
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Sulaiman Al-Mufarraj, dalam bukunya Bekal Pernikahan menjelaskan bahwa ada 15 tujuan perkawinan yaitu: (Tihami dan Sohari Sahrani. 2009:18-19)
1. Sebagai ibadah dan mendekatkan diri pada Allah SWT. Nikah juga dalam rangka taat kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya;
2. Untuk „iffah (menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang; ihsan membentengi diri) dan mubadho‟ah bias melakukan hubungan intim);
3. Memperbanyak umat Muhammad Saw;
4. Menyempurnakan Agama;
5. Menikah termasuk sunnahnya para utusan Allah;
6. Melahirkan anak yang dapat memintakan pertolongan Allah untuk ayah dan ibu mereka saat masuk surge;
7. Menjaga masyarakat dari keburukan, runtuhnya moral, perzinaan, dan lain sebagainya;
8. Legalitas untuk melakukan hubungan intim, menciptakan tanggung jawab bagi suami dalam memimpin rumah tangga, member nafkah dan membantu istri di rumah;
9. Mempertemukan tali keluarga yang berbeda sehingga memperkokoh lingkaran keluarga;
10. Saling mengenal dan menyayangi;
11. Menjadikan ketenagan kecintaan dalam jiwa suami dan istri;
12. Sebagai pilar untuk membangun rumah tangga Islam yang sesuai dengan ajaran-Nya terkadang bagi orang yang tidak menghiraukan kalimat Allah SWT. maka tujuan nikahnya akan menyimpang;
13. Suatu tanda kebesaran Allah SWT. kita melihat orang yang sudah menikah, awalnya mereka tidak saling mengenal satu sama lainnya, tetapi, dengan melangsungkan tali pernikahan hubungan keduanya bias saling mengenal dan sekaligus mengasihi;
14. Memperbanyak keturunan umat Islam dan menyemarakkan bumi melalui proses pernikahan;
15. Untuk mengikuti panggilan iffah dan menjaga pandangan kepada hal- hal yang diharamkan.
Abd.Rahman Ghazaly dalam bukunya menuliskan bahwa antara rukun dan syarat perkawinan terdapat perbedaan di dalam pengertiannya.
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu‟ dan takbiratul ihram untuk shalat.Atau adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan (Abd.Rahman Ghazaly.2003:45-64).
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat.Atau menurut Islam, calon pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama Islam.
a. Rukun perkawinan
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:
1) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
2) Adanya wali dari pihak calon pengantin perempuan.
3) Adanya dua orang saksi.
4) Sighatakad nikah, yaitu ijab Kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak perempuan, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
5) Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat:
Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:
- Wali dari pihak perempuan,
- Mahar (maskawin), - Calon pengantin laki-laki, - Calon pengantin perempuan, - Sighatakad nikah.
Imam Syafi‟I berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:
- Calon pengantin laki-laki, - Calon pengantin perempuan, - Wali,
- Dua orang saksi, - Sighatakad nikah.
Menurut ulama Hanafiyah(ulama), rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja (yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki). Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun nikah ini ada empat, yaitu:
- Sighat ijab dan qabul),
- Calon pengantin perempuan, - Calon pengantin laki-laki,
- Wali dari pihak calon pengantin perempuan.
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun seperti terlihat di bawah ini.
Rukun perkawinan:
- Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan, yakni mempelai laki-laki dan mempelai perempuan,
- Adanya wali,
- Adanya dua orang saksi,
- Dilakukan dengan sighat tertentu.
b. Syarat Sahnya Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua:
1) Calon mempelai perempuannya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang yang haram dinikahi, baik karena haram untuk dinikah sementara maupun untuk selama-lamanya.
2) Akad nikahnya dihadiri para saksi.
Secara rinci, masing-masing rukun diatas akan dijelaskan syarat-syaratnya sebagai berikut:
a) Syarat-syarat kedua mempelai 1. Syarat-syarat pengantin pria
Syariat Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama, yaitu:
a) Calon suami beragama Islam
b) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki c) Orangnya diketahui dan tertentu
d) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri
e) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya
f) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu
g) Tidak sedang melakukan ihram
h) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
i) Tidak sedang mempunyai istri empat
2. Syarat-syarat pengantin calon pengantin perempuan a) Beragama Islam atau ahli Kitab
b) Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci) c) Wanita itu tentu orangnya
d) Halal bagi calon suami
e) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam „iddah
f) Tidak dipaksa/ikhtiya
g) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah 3. Syarat-syarat Ijab Kabul
1) Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan Kabul dengan lisan
2) Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya, sedangkan Kabul dilakukan oleh mempelai laki- laki atau wakilnya
3) Ijab dan Kabul dilakukan di dalam satu majelis, dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan Kabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan Kabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak orang tua dan dua orang saksi
4) Lafazh yang digunakan untuk akad nikah adalah lafazh nikah atau tazwij, yang terjemahannya adalah kawin dan nikah.
4. Syarat-syarat wali
Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal dan adil (tidak fasik).
5. Syarat-syarat saksi
1) Berakal, bukan orang gila 2) Baligh, bukan anak-anak
3) Merdeka, bukan budak 4) Islam
5) Kedua orang saksi itu mendengar
2.5 Sejarah Uang Panai Dalam Perkawinan Adat Bugis Makassar Simbolik Uang Panai atau uang panai adalah simbolik untuk warga masyarakat Sulawesi Selatan khususnya untuk suku Bugis (http://amrianihamzah.blogspot.co.id/2014/12/uang-panai.html, diakses pada tanggal 01 Desember 2016).
Sejarah awal uang panai bermula pada masa kerajaan Gowa-Tallo dan Bone. Apabila ada seorang laki-laki yang ingin meminang perempuan keluarga bangsawan atau keturunan raja maka mempelai laki-laki harus mempersiapkan sajian berupa Uang Panai, sompa, dan erang-erang yang megah untuk membuktikan kemampuan laki-laki dalam memberikan kemakmuran kepada istri dan anaknya kelak. Namun, dari zaman ke zaman adat Uang Panai mulai beradaptasi terus kebawah lapisan kasta masyarakat bahkan pada perkembangannya saat ini dijadikan syarat mutlak dalam adat pernikahan Bugis-Makassar-Mandar (http://budaya- indonesia.org/Adat-uang-panai-dalam-pernikahan-Mandar/, diakses pada tanggal 01 Desember 2016).
Orang Makassar adalah penduduk asli dari daerah sekitar kota Makassar dan wilayah sekitarnya. Bahasa yang digunakan oleh orang Makassar dinamakan bahasa mangkasara‟.Adat pemberian uang panai diadopsi dari adat perkawinan suku Bugis asli. Uang panai bermakna
pemberian uang dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon mempelai wanita dengan tujuan sebagai penghormatan.(http://akulebihdariyangkautau.blogspot.com,di akses tanggal 05 desember 2016)
Penghormatan yang dimaksudkan disini adalah rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada wanita yang ingin dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui uang panai tersebut.
Pemberian uang panai yang dilakukan pada masyarakat Bugis Makassar tidak jauh berbeda dengan uang panai yang ada pada masyarakat Bugis asli, yaitu sama-sama statusnya sebagai pemberian wajib ketika akan melangsungkan perkawinan. Sehingga kemungkinan besar sejarah adanya pemberian uang panai pada masyarakat Bugis Makassar dibawa oleh suku Bugis asli yang berimigrasi ke kota Makassar.
Fungsi uang panai yang diberikan secara ekonomis membawa pergeseran kekayaan karena uang panai yang diberikan mempunyai nilai tinggi. Secara sosial wanita mempunyai kedudukan yang tinggi dan dihormati. Secara keseluruhan uang panai merupakan hadiah yang diberikan calon mempelai laki-laki kepada calon istrinya untuk memenuhi keperluan perkawinan.
2.6 Pengertian Sompa dan Mahar serta Perbedaannya dengan Uang Panai
Budaya perkawinan pada tiap-tiap daerah tentu memiliki perbedaan dan memiliki keunikan yang sangat menarik untuk dibahas.Karena yang terjadi dalam perkawinan bukan hanya tentang menyatukan dua orang yang saling mencintai, tetapi lebih dari itu ada nilai-nilai yang patut dipertimbangkan dalam perkawinan seperti status sosial, ekonomi, serta nilai budaya.
Inti dari perkawinan Bugis adalah kaidah tentang pembayaran resmi sejumlah mahar oleh mempelai laki-laki kepada orang tua pengantin perempuan sebagai lambang status sosial pihak pengantin wanita.
Berhubung karena perkawinan pertama selalu diliputi dengan manusia kesetaraan status sosial, nilai mahar yang diserahkan juga menjadi suatu indikator untuk melihat status sosial pengantin wanita (Susan Bolyard Miliar.2009:9).
Di Sulawesi Selatan, dalam adat perkawinannya ada dua hal yang merupakan bagian dari mahar atau maskawin yang sepertinya telah menjadi khas dalam perkawinan yang akan diadakan yaitu uang naik atau oleh masyarakat Bugis Makassar disebut sompa atau sunreng dan dui‟menre‟ (Bugis) atau uang panai/doibalanja(Makassar).
Seperti yang telah dijelaskan di atas, Mahar adalah pemberian wajib yang diberikan kepada calon mempelai perempuan oleh calon
mempelai laki-laki baik berupa barang maupun jasa ketika dilangsungkan akad nikah sebagai syarat sah nya suatu pernikahan.
Sompasecaraharafiah berarti “persembahan” yang sekarang disimbolkan dengan sejumlah uang rella‟ (yakni rial, mata uang Portugis yang sebelumnya berlaku, antara lain di Malaka). Rella‟ di tetapkan sesuai status perempuan dan akan menjadi hak miliknya (Christian Pelras.2006:180).
Sompa dinyatakan dalam sejumlah nilai perlambang tukar tertentu yang tidak berlaku lagi secara nominal dan tidak mempunyai nilai yang dapat dibanding dengan nilai uang yang sekarang.Besaran ini sudah ditentukan jumlahnya secara adat, berdasarkan derajat tertentu, sesuai garis keturunan si calon mempelai perempuan.Di sini penting diingat bahwa calon mempelai perempuan tidak pernah menerima mahar yang lebih rendah dari jumlah yang dulu diterima ibunya. Bagi kebanyakan orang, hal ini tidak begitu dipermasalahkan, karena mereka biasanya menerima mahar status orang kebanyakan yang sama nilainya.
Namundemikian, bagi kalangan bangsawan dan orang terpandang, mereka sangat memerhatikan besaran jumlah uang serahan ini, karena menjadi symbol perpanjangan status sosial mereka. Oleh sebab itu, mahar selalu diumumkan dan dibayarkan lunas dalam upacara akad nikah (Susan Boliyard.2009:6).
Di jaman lampau, sompa atau sunreng menurut derajat sosial si gadis yang dipinang itu, diperhitungkan dengan amat teliti, karena sangat
menyangkut tentang status sosial keluarga.Garis-garis besar perhitungan sompa/sunreng juga diikuti sampai sekarang, walaupun tidak seteliti di masa dahulu.Adapun tingkat sompa/sunreng agak berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Adapun di Tana Bugis, yang berlaku di TellumpoccoE (Bone, Wajo, dan Soppeng), yang menjadi pola ikutan bagi semua negeri-negeri Bugis (Mattulada.1995:47).
Sedangkan Uang Panai atau uang panai adalah “uang antaran”
pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan untuk digunakan melaksanakan pesta perkawinan. Besarnya Uang Panai ditentukan oleh keluarga perempuan (Christian Pelras.2006:56).
Secara sepintas, ketiga istilah tersebut di atas memang memiliki pengertian yang hampir sama, yaitu ketiganya sama-sama merupakan kewajiban. Namun, jika dilihat dari sejarah yang melatarbelakanginya, pengertian ketiga istilah tersebut jelas berbeda.
Pemberian Mahar diserahkan sesuai dengan kemampuan dan kerelaan yang bersangkutan yang telah ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas dan tanpa paksaan dari pihak mana pun.Sedangkan sompa dan Uang Panai sebetulnya berbeda dengan Mahar dalam ajaran Islam.
Sompaitu bertingkat-tingkat, sesuai dengan derajat sosial darigadis yang di pinang.Sompa itu biasanya dihitung dengan nilai rella‟ (real), dahulu dihitung dengan nilai nominal F. 2,- (dua gulden zaman Hindia Belanda). Beberapa kejadian terakhir, 1 real diberi nominal Rp.100,-
sampai Rp.150,-. Maskawin yang diberi nilai nominal menurut harga real dapat saja terdiri atas sebidang tanah, sawah, kebun, atau benda-benda pusaka lainnya (Mattulada.1995:69).
Lain halnya dengan Uang Panai yaitu uang yang diberikan kepada keluarga pihak perempuan untuk melaksanakan pesta perkawinan.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Mahar atau mas kawin adalah kewajiban dalam tradisi Islam, sedangkan sompa/sunrengdan Uang Panai/uang panaiadalah kewajiban menurutadat kepercayaan masyarakat setempat. Ketiga istilah tersebut tidak hanya berbeda dari segi pengertian saja, akan tetapi berbeda pula dalam hal jumlah, kegunaan dan pemegang ketiganya.
Jumlah uang mahar biasanya hanya berkisar Rp.10.000 sampai jutaan. Mahar untuk saat ini biasanya lebih mengutamakan aset sepertiemas dan tanah (http://budaya-indonesia.org/Adat-uang-panai- dalam-pernikahan-Mandar/, diakses tanggal 01 desember 2016).Sedangkan untuksompa, tingkatan dan jumlahnya adalah sebagai berikut (Mattulada.1995.47-48):
a. Sompabocco, diberikan kepada raja-raja perempuan (Bone, Wajo, dan Soppeng) yang memegang kekuasaan kerajaan. Jumlah sunreng, 14 katidoi lama. Nilai nominal 1 kayidoi lama = 88 real + 8 oang + 8 doi‟.
Bersama itu diserahkan pula seorang ata dan seekor kerbau.
b. Sompaana‟bocco, diberikan kepada putri-putri (darah penuh) dari tiga Raja Tellumpocco atau bangsawan tinggi lainnya. Jumlah maharnya ialah 7 katidoi‟ lama.
c. Sompakati, diberikan kepada putri raja-raja bawahan. Jumlahnya 1 katidoi‟ lama atau 88 real + 8 oang + 8 doi‟ lama. Bersama itu seorang ata.
d. Sompaana‟mattola, diberikan kepada putri-putri ana‟mattola.
Jumlahnya 3 katidoi‟ lama.
e. Sompaana‟rajeng, diberikan kepada anak-anak rajengg. Jumlah maharnya 2 katidoi‟lama.
f. Sompacera‟sawi, untuk puti-putri ana‟sawi (Wajo), kira-kira sama dengan putri-putri anakarungsipue (Bone), jumlah maharnya satu katidoi‟lama.
g. Sompa tau deceng, unutk puteri-puteri tau maredeka, golongan tau deceng, jumlah maharnya ½ katidoi‟ lama.
h. Sompa tau sama‟, untuk puteri-puteri to maradekagolongantau-sama‟, jumlah maharnya ¼ katidoi‟ lama.
Sedangkan untuk Uang Panaijumlahnya lebih tinggi daripada jumlah mahar.Saat ini biasanya jumlah uang panai berkisar antara 20 sehingga ratusan juta tergantung kesepakatan dari kedua belah pihak pada saat negosiasi.
Tolok ukur tingginya Uang Panaidisebabkan beberapa faktor, seperti (http://budaya-indonesia.org/Adat-uang-panai-dalam-pernikahan- Mandar/):
1. Status sosial keluarga perempuan apa ia dari keluarga bangsawan atau tidak. Namun, untuk sekarang faktor ini sudah tidak terlalu diperhatikan lagi.
2. Status ekonomi keluarga pihak perempuan, semakin kaya calon mempelai semakin tinggi pula uang panai yang dipatok.
3. Jenjang pendidikan, besar kecilnya uang panai sangat terpengaruh jenjang pendidikan calon istri, apabila pendidikannya hanya tingkat Sekolah Dasar maka semakin kecil pula uang panai yang dipatok begitu pula sebaliknya jika calon istri lulusan sarjana maka semakin tinggi pula jumlah nominal uang panai.
4. Kondisi fisik calon istri. Yang dimaksud ialah paras yang cantik, tinggi badan, dan kulit putih. Semua faktor ini tetap salingberhubungan, bisa saja calon istri tidak memiliki paras yang cantik tapi kondisi ekonomi yang kaya, tetap saja uang panaiakan tetap tinggi.
Mahar dan sompa dipegang oleh istri dan menjadi hak mutlak bagi dirinya sendiri.Uang Panaidipegang oleh orang tua istri untuk membiayai semua kebutuhan jalannya resepsi pernikahan.Tetapi, sebagian masyarakat Bugis Makassar memandang bahwa nilai kewajiban dalam
adat lebih tinggi daripada nilai kewajiban dalam syariat Islam.Padahal, seharusnya mereka lebih mengedepankan nilai kewajiban syariat Islam daripada nilai kewajiban menurut adat.
Dewasa ini, interpretasi yang muncul dalam pemahaman sebagian orang Bugis Makassar tentang pengertian mahar masih banyak yang keliru.Dalam adat perkawinan mereka, terdapat dua istilah yaitu sompa dan Uang Panai (Bugis) atau uang panai/doibalanja (Makassar).Sompa atau mahar adalah pemberian berupa uang atau harta dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai syarat sahnya pernikahan menurut ajaran Islam. Sedangkan Uang Panai atau uang panai/doibalanjaadalah
“uang antaran” yang harus diserahkan oleh pihakkeluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta pernikahan.(www.melayuonline.com di akses tanggal 05 Desember 2016)
Adapun pengertian uang jujuran adalah uang yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita sebagai pemberian ketika akan melangsungkan perkawinan selain mahar. Adat pemberian uang jujuran menganut sistem patrilineal yang menggunakan system perkawinanjujur . Jujur dalam system patrilineal bermakna pemberian uang dan barang dari kelompok kerabat calonmempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita dengan tujuan memasukkan wanita yang dinikahi kedalam gens suaminya, demikian pula anak-anaknya.
Fungsi uang jujuran yang diberikan secara ekonomis membawa pergeseran kekayaan karena uang jujuran yang diberikan mempunyai nilai tinggi.Secara sosial wanita mempunyai kedudukan yang tinggi dan dihormati.Secara keseluruhan uang jujuranmerupakan hadiah yang diberikan calon mempelai laki-laki kepada calon istrinya sebagai keperluan perkawinan dan rumah tangga.fungsi lain dari uang jujuran tersebut adalah sebagai imbalan atau ganti terhadap jerih payah orang tua membesarkan anaknya.
Secara sepintas, ketiga istilah tersebut di atas memang memiliki pengertian dan makna yang sama, yaitu ketiganya sama-sama merupakan kewajiban. Namun, jika dilihat dari sejarah yang melatarbelakanginya, pengertian ketiga istilah tersebut jelas berbeda.Sompa atau yang lebih dikenal dengan mas kawin/mahar adalah kewajiban dalam tradisi Islam, sedangkan Uang Panai atau uang panai dan uang jujuran adalah kewajiban menurut adat masyarakat setempat.
Mahar, uang jujuran dan uang panai tidak hanya berbeda dari segi pengertian saja, akan tetapi berbeda pula dalam hal kegunaan dan pemegang ketiganya.
Mahar dipegang oleh istri dan menjadi hak mutlak bagi dirinya sendiri, uang panaidipegang oleh orang tua istri dan digunakan untuk membiayaisemua kebutuhan jalannya resepsi pernikahan, sedangkan uang jujuran dipegang oleh orang tuanya akan tetapi sang anak akan tetap mendapatkan sebagian dari jujurantersebut. Tetapi, sebagian orang
Bugis Makassar memandang bahwanilai kewajiban dalam adat lebih tinggi daripada nilai kewajiban dalam syariat Islam.Sejatinya sebagai salah satu masyarakat yang dikenal paling kuat identitas keIslamannya di Nusantara, seharusnya mereka lebih mementingkan nilai kewajiban syariat Islam daripada kewajiban menurut adat.Kewajiban mahar dalam syariat Islam merupakan syarat sah dalam perkawinan, sedangkan kewajiban memberikan uang panai menurut adat, terutama dalam halpenentuan jumlah uang panai, merupakan konstruksi dari masyarakat itu sendiri.
2.7 Jumlah Uang Panai
Uang panai yang diberikan oleh calon suami jumlahnya lebih banyak dari pada mahar. Adapun kisaran jumlah uang panai dimulai dari 25 juta, 30, 50 dan bahkan ratusan juta rupiah. Hal ini dapat dilihat ketika proses negosiasi yang dilakukan oleh utusan pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan dalam menentukan kesanggupan pihak laki- laki untuk membayar sejumlah uang panai yang telah dipatok oleh pihak keluarga perempuan.
Terkadang karena tingginya uang panai yang dipatok oleh pihak keluarga calon istri, sehingga dalam kenyataannya banyak pemuda yang gagal menikah karena ketidakmampuannya memenuhi “uang panai” yang dipatok, sementara pemuda dan si gadis telah lama menjalin hubungan yang serius. Dari sinilah terkadang muncul apa yang disebut silariang atau kawin lari