• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA A."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Kemampuan pemecahan masalah menjadi salah satu tujuan utama dalam belajar matematika adalah untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika yang kompleks dan luas sehingga kemampuan pemecahan masalah mempunyai arti penting dalam studi matematika untuk menghasilkan hasil belajar yang lebih baik. Menurut Hertiavi dkk (2010) kemampuan pemecahan masalah adalah kecakapan menerapkan pengetahuan yang diperoleh sebelumya ke dalam situasi yang belum dikenal. Tujuan dalam pembelajaran matematika yaitu melatih cara berpikir dan bernalar, mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, serta mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan ide-ide melalui lisan, tulisan, gambar, grafik, peta, diagram, dan sebagainya .Pemecahan masalah matematis merupakan suatu upaya dalam membangun pengetahuan matematika siswa dalam mengembangkan ide-ide matematika yaitu meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menerapkan solusi yang telah diperoleh.

Kemampuan pemecahan masalah sangat penting dimiliki oleh setiap siswa karena menurutBranca (Sumartini 2016), yaitu : (1) Kemampuan menyelesaikan masalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika. (2) Penyelesaian masalah yang meliputi metode, prosedur dan strategi merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika . (3) Penyelesaian masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika.

(2)

Menurut Astutiani dkk (2019) Ada beberapa karakteristik pemecahan masalah dalam matematika, yaitu :

1. Strategi yang tepat diperlukan dalam memecahkan masalah;

2. Memiliki pengetahuan penting dalam menghasilkan solusi yang salah;

3. Tingkat keterampilan dalam pemecahan masalah yang benar-benar mempengaruhi akurasi dan kesesuaian hasil yang diperoleh dalam melakukan pemecahan masalah;

4. Pemecahan masalah tidak didasarkan pada memori yang dimiliki;

5. Setiap masalah memiliki strategi yang unik;

6. Berbagai pendekatan harus dipelajari dan dipahami untuk menghasilkan pemecahan masalah yang tepat dan sesuai harapan;

7. Pengetahuan dan keterampilan dalam menerapkan konsep matematika dan prinsip-prinsip yang telah dipelajari benar-benar membantu untuk memecahkan masalah.

Langkah-langkah siswa dalam melakukan pemecahan masalah seperti yang diungkapkan oleh Polya ( Zakiah dkk, 2019) yang terdiri dari: (1) memahami masalah; siswa mengidentifikasi informasi yang terdapat dalam soal dan yang ditanyakan; (2) menyusun rencana; siswa menghubungkan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan informasi yang terdapat dalam soal dan yang ditanyakan dalam soal; (3) melaksanakan rencana; siswa melakukan penghitungan/komputasi; dan (4) mengecek kembali; siswa melakukan koreksi ulang tentang menyelesaikan masalah yang diperoleh.

(3)

Menurut Sri Wardhani (2010) dalam proses pemecahan masalah, langkah – langkah dapat dilakukan secara urut walaupun kadangkala terdapat langkah – langkah yang tidak harus urut, terutama dalam pemecahan masalah yang sulit.

Sebagai berikut.

a. Langkah 1 : Memahami masalah, langkah ini sangat menekankan kesuksesan memperoleh solusi masalah. Langkah ini melibatkan pendalaman situasi masalah, melakukan pemilahan fakta – fakta menentukan hubungan diantara fakta – fakta dan membuat formulasi pertanyaan masalah. Setiap masalah yang ditulis, bahkan yang paling mudah sekalipun harus dibaca berulang kali dan informasi yang terdapat dalam masalah dipelajari dengan seksama. Biasanya siswa harus menyatakan kembali masalah dalam bahasanya sendiri.

b. Langkah 2 : Membuat rencana pemecahan masalah, langkah ini perlu dilakukan dengan percaya diri ketika masalah sudah dapat dipahami. Rencana solusi dibangun dengan mempertimbangkan struktur masalah dan pertanyaan yang harus djawab. Jika masalah tersebut adalah masalah rutin dengan tugas menulis kalimat matematika terbuka, maka perlu dilakukan penerjemah masalah menjadi bahasa matematika. Jika masalah yang dihadapi adalah masalah nonrutin, maka suatu rencana perlu dibuat, bahkan kadang strategi baru perlu digambarkan.

c. Langkah 3: Melaksanakan rencana pemecahan masalah, untuk mencari solusi yang tepat, rencana yang sudah dibuat dalam langkah harus dilaksanakan dengan hati – hati. Untuk melalui, estimasi solusi yang dibuat sangat perlu. Diagram, tabel, atau urutan dibangun secara seksama sehingga si pemecah masalah tidak akan bingung. Tabel digunakan jika perlu. Jika solusi memerlukan komputasi,

(4)

kebanyakan individu akan menggunakan kalkulator untuk menghitung 5 daripada menghitung dengan kertas dan pensil dan mengurangi kekhawatiran yang sering terjadi dalam pemecahan masalah. Jika muncul ketidakkonsistenan ketika melaksanakan rencana, proses harus ditelaah ulang untuk mencari sumber kesulitan masalah

d. Langkah 4 : Melihat (mengecek) kembali selama langkah ini berlangsung, solusi masalah harus dipertimbangkan. Perhitungan harus dicek kembali. Melakukan pengecekan dapat melibatkan pemecahan yang mendeterminasi akurasi dari komputasi dengan menghitung ulang. Jika membuat estimasi, maka bandingkan dengan solusi. Solusi harus tetap cocok terhadap akar masalah meskipun kelihatan tidak beralasan. Bagian penting dari langkah ini adalah ekstensi. Ini melibatkan pencarian alternatif pemecahan masalah.

Di dalam proses penyelesian masalah siswa diharapkan mampu menerapkan aturan-aturan matematika yang telah dipelajari sebelumnya dan digunakan secara benar dalam proses penyelesaian masalah dengan menggunakan langkah-langkah yang telah ditentukan dalam proses penyelesain masalah sehingga tujuan dari pembelajaran matematika tercapai.

Menurut Branca (Roebyanto dan Harmini 2017) menyatakan bahwa terdapat tiga interprestasi umum mengenai pemecahan masalah, yaitu 1) pemecahan masalah sebagai tujuan (goal) yang menekankan pada aspek mengapa matematika di ajarkan. Hal ini berarti bahwa pemecahan masalah bebas dari materi khusus. Sasaran utama yang ingin dicapai adalah bagaimana cara memecahkan suatu masalah matematika; 2) pemecahan masalah sebagai proses (process)

(5)

diartikan sebagai kegiatan yang aktif. Dalam hal ini penekanan utamanya terletak pada metode, strategi atau prosedur yang digunakan siswa dalam menyelesaikan masalah hingga mereka menemukan jawaban; dan 3) pemecahan masalah sebagai keterampilan (basic skill) menyangkut dua hal yaitu (a) keterampilan umum yang harus dimiliki siswa untuk keperluan evaluasi dan (b) keterampilan minimum yang diperlukan siswa agar dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dari pembahasan diatas pada penelitian ini, kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang dimaksud adalah kemampuan siswa dalam memecahakan soal matematis dengan bertujuan untuk melatih cara berfikir, bernalar dan mampu mengkomunikasikan ide-ide dalam menyelesaikna masalah matematis sehingga menghasilkan hasil belajar yang lebih baik dengan memperhatikan tahapan-tahapan pemecahan masalah yang dikemukakan Polya yaitu siswa mengidentifikasi informasi yang terdapat dalam soal dan yang ditanyakan, siswa menghubungkan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan informasi yang terdapat dalam soal dan yang ditanyakan dalam soal, siswa melakukan penghitungan/komputasi, siswa melakukan koreksi ulang tentang menyelesaikan masalah yang diperoleh. Adapun indikator pemecahan masalah yang digunakan dalam penelitian ini seperti yang dikemukakan oleh Polya (Winarti, 2017) yaitu : 1) memahami masalah; 2) menyusun strategi atau rencana penyelesaian; 3) menyelesaikan permasalahan sesuai rencana yang telah dibuat, dan 4) memeriksa kembali jawaban.

B. Self-Confidence

Self-confidence (percaya diri) adalah keyakinan pada kemampuan dan penilaian diri sendiri dalam melakukan tugas dan memilih perlakuan yang efektif.

(6)

Sedangkan kepercayaan diri adalah persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri yang memfokuskan kemampuannya dan motivasinya untuk di presentasikan dalam kegiatan sesuai dengan yang ditugaskan. Kepercayaan diri adalah sikap positif seseorang yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang sedang dihadapi. Namun, bukan berarti seseorang kompeten dalam melakukan segala sesuaru seorang diri. Hendriana dkk (2014) menyatakan bahwa istilah percaya diri memiliki keterkaitan dengan persepsi siswa terhadap dirinya sendiri untuk belajar matematika, berkomunikasi dengan orang lain, dan persepsinya dalam menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Ramdan dkk (2018) menyebutkan bahwa self-confidence mampu mendukung motivasi dan kesuksesan siswa dalam belajar matematika, siswa akan cenderung memahami, menemukan, dan memperjuangkan masalah matematika yang dihadapinya untuk solusi yang dihadapkan, melalui kerja kelompok atau diskusi self-confidence dapat dikembangkan, siswa dituntut untuk mampu mengeksplorasi dan menemukan sendiri konsep-konsep matematika yang sedang dipelajarinya.

Fauziah dkk (2018) menyatakan bahwa self-confidence dapat berkembang dengan interaksi sosial juga pembelajaran bersifat rasional serta realistik dimana self confidence memberikan pengaruh untuk siswa yang belajar matematika dimana

siswa akan memperjuangkan keinginannya dalam meraih prestasi dan ini mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.

Beberapa ciri-ciri seseorang yang memiliki self-confidence dalam dirinya adalah tidak mementingkan diri sendiri, memiliki rasa toleransi, memiliki ambisi,

(7)

tidak memerlukan dukungan dari orang lain dalam menyelesaikan pekerjaannya, sederhana, optimis, memiliki tanggung jawab pada apa yang dikerjakannya, selalu gembira. Kebalikan dari yang dijelaskan di atas ada beberapa ciri seseorang yang memiliki self-confidence rendah adalah perfeksionis, selalu menilai hal secara negatif, putus asa serta kurang semangat, memiliki pemikiran yang dangkal, selalu cemas, merasa dirinya menjadi korban.

Menghargai diri sendiri merupakan hal yang paling penting dalam menumbuhkan keyakinan pada diri. Percaya diri akan kemampuan sendiri, percaya akan kelebihan dan kekuarangan diri sendiri. Dan individu yang mempunyai keyakinan pada diri sendiri akhirnya akan mampu menghargai dirinya sendiri secara positif.

Parsons, Croft & Harrison (Noviyana dkk 2019) membedakan self-confidence dalam tiga domain yaitu :

1. Percaya pada matematika secara keseluruhan, maksudnya adalah kepercayaan seseorang terhadap matematika dan ketika seseorang kurang percaya diri dengan matematika mungkin dia akan mengatakan ‘saya tidak memiliki kemampuan dalam matematika’.

2. Kepercayaan pada topik, maksudnya adalah kepercayaan seseorang terhadap beberapa topik matematika saja.

3. Kepercayaan pada pengaplikasian, maksudnya adalah kepercayaan diri seseorang untuk menerapkan matematika pada lingkungan dan kehidupannya.

Indikator self-confidence seperti yang diungkapkan oleh Fauziah dkk (2018) diantaranya :

(8)

a. Percaya kemampuan diri sendiri

b. Bertindak mandiri untuk mengambil keputusan c. Konsep dalam diri yang positif

d. Berani untuk mengungkapkan pendapat

Indikator percaya diri siswa menurut Kemendikbud (2014) yakni : 1. Berpendapat atau melakukan kegiatan tanpa ragu-ragu.

2. Mampu membuat keputusan dengan cepat.

3. Tidak mudah putus asa.

4. Tidak canggung dalam bertindak.

5. Berani presentasi di depan kelas.

6. Berani berpendapat, bertanya, atau menjawab pertanyaan.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa self- confidence (percaya diri) merupakan adanya sikap yakin akan kemampuannya diri

sendiri untuk berprilaku sesuai dengan yang diharapkannya sebagai suatu perasaan yang yakin pada tindakan yang dilakukannya, bertanggung jawab terhadap tindakannya dan teguh pendirian. Kepercayaan diri sangat penting untuk menumbuhkan keberanian dalam membuat sebuah keputusan, presentasi, berpendapat, berfikir, bertanya ketika ada yang kurang dimengerti dan bertindak tanpa harus menunggu keputusan atau pendapat dari orang lain sehingga mampu menghargai kemampuan diri sendiri secara positif. Adapun indikator self- confidence yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang dikemukakan oleh Fauziah dkk (2018) diantaranya percaya kemampuan diri sendiri, bertindak mandiri

(9)

dalam mengambil keputusan, memiliki konsep diri yang positif, dan berani mengemukakan pendapat.

C. Keterkaitan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Self-Confidence

Kemampuan pemecahan masalah sangatlah penting dimiliki oleh siswa karena merupakan kemampuan dasar dalam proses pembelajaran dan merupakan salah satu dari tujuan pembelajajaran, begitu pula self-confidence merupakan kepercayaan diri terhadap kemampuannya dan selalu optimis, pantang menyerah, memiliki rasa tanggung jawab, selalu semangat dalam menyelesaikan tantangan baru, dan berani untuk mempresentasikan ide-ide dalam proses memecahkan suatu masalah.

Keduanya memiliki peranan penting antara satu sama lain, tanpa rasa percaya diri siswa akan merasa ragu dan selau berfikir negatif terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan suatu masalah dan selalu takut untuk mencobah ha-hal baru, malu untuk bertanya kepada guru ketika tidak memahami masalah yang membuat siswa cenderung pasif dalam proses pembelajaran yang akan mengakibatkan siswa tidak mampu untuk memecahkan suatu masalah. karena keduanya memiliki pengaruh yang baik bagi tercapainya tujuan pembelajaran matematika. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Ramdan dkk (2018) dalam penelitiannya dimana adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara self-confidence dan kemampuan pemecahan masalah matematis. Hal ini berarti self-confidence yang mencakup aspek-aspek yang ada di dalamnya dapat dijadikan sebagai prediktor untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis, semakin tinggi self- confidence maka siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik, sebaliknya apabila semakin rendah kepercayaan diri siswa, maka siswa memiliki

(10)

kemampuan pemecahan masalah yang kurang baik. Menurut Fauziah dkk (2018) menyebutkan bahwa data hasil perhitungan pada uji korelasi dan uji signifikansi diperoleh bahwa adanya hubungan signifikan antara self-confidence terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis.

Berdasarkan penjelasan diatas adanya keterkaitan antara self-confidence dan kemampuan pemecahan masalah dimana keduanya sangat berperan penting dalam ketercapain tujuan pembelajaran matematika. Ketika self-confidence siswa tinggi maka siswa akan mampu dalam memecahkan masalah, begitu pula jika siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah yang tinggi siswa akan merasa percaya diri atas kemampuannya dan selalu optimis serta berfikir positif. Maka jika kemapuan pemecahan masalah dan self-confidence siswa tinggi akan mencapai hasil belajar yang tinggi.

D. Model Realistic Mathematic Education (RME)

Model Realistic Mathematic Education (RME) atau pendidikan metamatika realistis adalah suatu teori tentang pembelajaran matematika yang salah satu pendekatan pembelajarannya menggunakan konteks “dunia nyata” Fatthurrohman (Nasir dkk 2019). Dengan menggunakan Model Realistic Mathematic Education (RME) dalam kegiatan belajar mengajar siswa diberikan kesempatan untuk mempelajari dan memahami konsep matematika, siswa diarahkan untuk membentuk pengetahuannya dalam menyelesaikan suatu masalah matematis dalam keadaan nyata berdasarkan pengalaman yang telah mereka alami sebelumnya.

Dalam Lestari (2015) model Realistic Mathematic Education adalah pendidikan matematika yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan

(11)

pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realitas dan pengalaman siswa digunakan sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal yang dapat mendorong aktivitas penyelesaian masalah, mengorganisasi pokok persoalan. Realistic Mathematic Education (RME) mencerminkan suatu pandangan tentang matematika sebagai sebuah subject matter, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika seharusnya diajarkan. Dalam Susanti dan Nurfitiyanti (2018) model Realistic Mathematic Education merupakan pendekatan pembelajaran yang memiliki ciri-ciri

menggunakan masalah kontekstual, menggunakan model, menggunakan hasil dan kontruksi siswa sendiri, pembelajaran yang terfokus pada siswa dan terjadi interaksi antara siswa dan guru. Menurut Nasir dkk (2019) Realistic Mathematic Education (RME) adalah cara mengajar dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menyelidiki dan memahami konsep matematika melalui suatu masalah dalam situasi yang nyata, dalam pembelajaran ini peserta didik diajak untuk membentuk pengetahuannya sendiri berdasarkan pengalaman yang telah mereka dapatkan atau alami sebelumnya, dalam model Realistic Mathematic Education (RME) peserta didik akan lebih berperan dalam pembelajaran dimana dia akan menyangkut pautkan apa yang ada didunia nyata sesuai dengan materi pembelajaran sehingga peserta didik akan mudah memahami maksud dari pembelajaran tersebut.Model Realistic Mathematic Education (RME) ini merupakan pendekatan pembelajaran

yang memiliki ciri-ciri menggunakan masalah kontekstual, menggunakan model, menggunakan hasil, dan kontruksi siswa sendiri, pembelajaran terfokus pada siswa dan terjadi interaksi antara siswa dan guru (Susanti dan Nurfitriyanti, 2018).

(12)

Maulana (Amaliyah 2020) mengemukakan beberapa karakteristik model Realistic Mathematic Education (RME) yaitu:

a. Penerapan model pembelajaran matematika realistik menggunakan masalah kontekstual, dan bersumber dari peristiwa nyata yang terdapat di kehidupan sehari-hari.

b. Selama kegiatan pembelajaran matematika realistik, siswa aktif melakukan kegiatan belajar dalam memahami simbol-simbol matematika yang abstrak.

c. Siswa dijadikan sebagai subjek belajar.

d. Proses pembelajaran matematika realistik dilakukan secara interaktif.

e. Matematika memiliki konsep yang saling berkaitan.

Adapun langkah-langkah model Realistic Mathematic Education (RME) yaitu memahami permasalahan kontekstual, menyelesaikan permasalahan kontekstual, membandingkan dan mendiskusikan jawaban tersebut, menarik kesimpulan berupa materi.

Menurut Lestari (2015) ada enam prinsip yang tercermin dalam tahapan pembelajaran, yaitu :

1. Aktivitas

Siswa mempelajari matematika melalui aktivitas doing, yaitu dengan mengerjakan masalah-masalah yang didesain secara khusus. Siswa diperlakukan sebagai partisipan aktif dalam keseluruhan proses pendidikan sehingga mereka mampu mengembangkan sejumlah mathematical tools yang kedalaman dan lika-likunya betul-betul dihayati.

(13)

2. Realitas

Siswa mampu mengaplikasikan matematika untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pada tahap ini, pembelajaran dipandang suatu sumber untuk belajar matematika yang dikaitkan dengan realitas kehidupan sehari-hari

3. Pemahaman

Tahapan pemahaman mulai dari pengembangan kemampuan menemukan solusi informal yang berkaitan dengan konteks, menemukan rumus dan skema, sampai dengan menemukan prinsip-prinsip yang keterkaitan.

4. Intertwinement

Siswa memiliki kesempatan untuk menyelesaikan masalah matematika yang kaya akan konteks dengan menerapkan beberapa konsep, rumus, prinsip, serta pemahaman secara terpadu dan saling berkaitan.

5. Interaksi

Siswa diberikan kesempatan untuk melakukan sharing pengalaman, strategi penyelesaian, atau temuan lainnya. Interaksi memungkinkan siswa untuk melakukan refleksi yang pada akhirnya akan mendorong mereka mendapatkan pemahaman yang lebih tinggi dari sebelumnya

6. Bimbingan

Bimbingan dilakukan melalui kegiatan guided reinvention, yaitu dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mencoba menemukan sendiri prinsip, konsep, atau rumus-rumus matematika melalui kegiatan pembelajaran yang secara spesifik dirancang oleh guru.

(14)

Berdasarkan penjelasan diatas Realistic Mathematic Education (RME) adalah model pembelajaran dengan menggunakan konteks realistis atau dengan menggunakan pengalaman kehidupan sehari-hari yang akan membentuk pengetahuan dalam menyelesaikan masalah. Dengan menggunakan Realistic Mathematic Education (RME) siswa akan diberikan kesempatan untuk

mengkontruksi sendiri proses dari penyelesaian masalah. Dengan menerapkan model Realistic Mathematic Education (RME) siswa akan lebih mandiri dalam mempelajari dan memahami konsep matematika sehingga mampu menemukan solusi dan jawaban dari suatu masalah matematis. Adapun langkah-langkah model Realistic Mathematic Education (RME) yaitu memahami permasalahan

kontekstual, menyelesaikan permasalahan kontekstual, membandingkan dan mendiskusikan jawaban tersebut, menarik kesimpulan berupa materi.

E. Pembelajaran Ekspositori

Pembelajaran ekspositori merupakan strategi pembelajaran yang dilakukan guru dalam menyampaikan atau menjelaskan materi pembelajaran kepada siswa dengan cara ceramah dan diskusi. Pembelajaran ekspositori merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher centered approach).

Menurut Safriadi (2017) metode ekspositori adalah metode pembelajaran yang digunakan dengan memberikan keterangan terlebih dahulu definisi, prinsip dan konsep materi pelajaran serta memberikan contoh-contoh latihan pemecahan masalah dalam bentuk ceramah, demonstrasi, tanya jawab dan penugasan. Siswa mengikuti pola yang ditetapkan oleh guru secara cermat. Penggunaan metode

(15)

ekspositori merupakan metode pembelajaran mengarah kepada tersampaikannya isi pelajaran kepada siswa secara langsung. Safriadi (2017) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa karakteristik strategi pembelajaran ekspositori, yaitu:

a. Strategi pembelajaran ekspositori dapat dilakukan dengan cara menyampaikan materi pelajaran secara verbal, artinya bertutur secara lisan merupakan alat utama dalam melakukan strategi ekspositori, oleh karena itu sering orang mengatakan metode ceramah.

b. Biasanya materi pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang sudah jadi, sudah terstruktur seperti data atau fakta, konsepkonsep tertentu yang harus dihafal sehingga tidak menuntut siswa untuk berpikir ulang.

c. Tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri.

Artinya, setelah proses pembelajaran berakhir siswa diharapkan dapat memahami dengan benar dan siswa dapat mengungkapkan kembali materi yang telah diuraikan itu.

Gurusinga dan Sibarani (dalam Ariani. T. 2017) langkah-langkah penerapan strategi pembelajaran ekspositori adalah

1. Persiapan merupakan tahap awal kunci dari strategi pembelajaran ekspositori, tujuannya adalah membangkitkan motivasi dan minat siswa untuk belajar, merangsang dan menggugah rasa ingin tahu siswa, menciptakan suasana dan iklim pembelajaran yang terbuka dan menyenangkan bagi siswa agar siswa merasa tertarik dengan situasi belajar, penyajian merupakan langkah penyampaian materi pelajaran dari guru kepada siswa atau sekelompok siswa yang sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan dari awal.

(16)

2. Korelasi merupakan hubungan antara materi pelajaran dengan pengalaman siswa atau dengan hal-hal lain yang memungkinkan siswadapat menangkap keterkaitannya dalam struktur pengetahuan yang dimilikinya.

3. Menyimpulkan tahapan untuk memahami inti dari materi pelajaran yang telah dipaparkan. Dalam strategi pembelajaran ekspositori melalui langkah menyimpulkan siswa akan dapat mengambil intisari dari proses penyajian dan memberi keyakinan kepada siswa tentang kebenaran sesuatu paparan.

4. Mengaplikasikan merupakan langkah yang sangat penting dalam strategi pembelajaran ekspositori sebab guru akan dapat mengumpulkan informasi tentang penguasaan materi siswa tehnik yang biasa dilakukan pada langkah ini adalah memberikan tes yang sesuai dengan materi yang telah diajarkan.

Berdasarkan uraian di atas pembelajaran ekspositori merupakan pembelajaran yang berpusat kepada guru, dimana dalam kegiatan pembelajaran guru akan menyampaikan materi kepada siswa dengan ceramah, tanya jawab dan memberikan contoh latihan untuk menyelesaikan masalah. Siswa akan mengikuti alur penyelesaian masalah yang telah ditetapkan oleh guru. Adapun langah-langkah dalam pembelajaran ekspositori menurut Gurusinga dan Sibarani (Ariani 2017) adalah (1)persiapan merupakan tahap awal kunci dari strategi pembelajaran ekspositori, (2)korelasi merupakan hubungan antara materi pelajaran dengan pengalaman siswa atau dengan hal-hal lain yang memungkinkan siswa dapat menangkap keterkaitannya dalam struktur pengetahuan yang dimilikinya, (3) menyimpulkan tahapan untuk memahami inti dari materi pelajaran yang telah dipaparkan, (4) mengaplikasikan merupakan langkah yang sangat penting

(17)

sebab guru akan dapat mengumpulkan informasi tentang penguasaan materi siswa tehnik yang biasa dilakukan pada langkah ini adalah memberikan tes yang sesuai dengan materi yang telah diajarkan

F. Penelitian yang Relevan

Penilitian yang pernah dilakukan dengan model Realistic Mathematics Education (RME) adalah penelitian yang dilakukan oleh Sri Susanti dan Maya

Nurfitriyanti (2018) dengan judul “ Pengaruh Model Realistic Mathematics Education (RME) terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika” di SMP

Negeri 154 Jakarta, Jakarta Selatan. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa rata-rata hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas eksperimen yang diajarkan dengan model pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) lebih tinggi dibandingkan rata-rata siswa kelas kontrol yang

diajarkan menggunakan model pembelajaran ekspositori. Dari hasil tes yang diberikan dapat terlihat siswa yang diajarkan menggunakan model Realistic Mathematics Education (RME) lebih cakap dalam menyusun kalimat untuk menjawab soal.

Penilitian yang pernah dilakukan dengan model Realistic Mathematics Education (RME) adalah penelitian yang dilakukan oleh Dedi Ahmad Syaputra, Dini Nurani, dan Reza Umami (2020) dengan judulpengaruh model Realistic Mathematic Education (RME) Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dalam menggunakan Soal Cerita pada Kelas VII SMP Negeri 1 Sei Kepayang”. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa adanya perbedaan kemampuan pemecahan

(18)

masalah pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dimana kelas eksperimen lebih aktif dan mampu menyelesaikan soal-soal latihan dibandingkan siswa kelas kontrol.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tentang model Realistic Mathematics Education (RME) peneliti akan meneliti kemampuan pemecahan masalah

matematis menggunakan model Realistic Mathematics Education (RME) dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

G. Kerangka Berfikir

Dalam upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan self- confidence matematis siswa untuk meningkatkan kualitas mengajar, maka

diperlukan model pembelajaran yang tepat. Dengan menggunakan model pembelajaran yang sesuai adalah hal yang sangat penting bagi pendidik untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar . Maka dari itu pengajar berupaya memberikan suatu motivasi kepada siswa agar siswa lebih aktif, kreatif, percaya diri dalam memecahkan masalah matematis dalam kegiatan pembelajaran dan menumbuhkan semangat belajar siswa. Kegiatan belajar akan efektif dan kondusif sehingga tercapainya tujuan pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut pendidik menjadi peranan penting dalam ketercapaiannya tujuan pembelajaran, dengan memilih model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi kurikulum yang ada dan pencapaian ketuntasan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dan kepercayaan diri matematis siswa .

Namun dalam kegiatan pembelajaran masih menggunakan model pembelajaran ekspositori dimana kegiatan belajar yang berfokus kepada guru, siswa hanya menerima materi dari guru. Dalam penelitian ini akan digunakan salah satu model

(19)

pembelajarn yang mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa adalah model Realistic Mathematic Education (RME). Model pembelajaran tersebut dilaksanakan dengan menempatkan realitas kehidupan sehari-hari dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah- masalah realistik diguanakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pegetahuan matematika formal yang dapat mendorong aktivitas penyelesaian masalah, mencari masalah, dan mengorganisasi pokok persoalan dimana kegiatan pembelajaran berfokus kepada siswa. Dengan menggunakan dua kelas yang berbeda, kelas pertama menggunakan model Realistic Mathematic Education (RME) dan kelas kedua menggunakan model pembelajaran awal yaitu

model pembelajaran ekspositori. Dengan menerapkan kedua model di kelas yang berbeda, apakah akan ada peningkatan dalam kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dan self-confidence siswa pada kelas yang menggunakan model Realistic Mathematic Education (RME) dibandingkan kelas yang menggunakan pebelajaran ekspositori.

Rendahnya Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis Siswa

Diagram 2.1 Kerangka Berfikir

Hasil belajar meningkat

Self-Confidence tinggi Model

Realistic Mathematic Education (RME) Rendahnya Self-

Confidence Siswa

(20)

H. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian ini adalah :

Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis dan Self-Confidence siswa yang pembelajarannya menggunakan model Realistic Mathematics Education (RME) lebih baik dibanding menggunakan pembelajaran Ekspositori.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian diketahui temperatur maksimum sebesar 58,4 o C, nilai maksimum dari rata–rata efisiensi kolektor sebesar 0,825 %, dan efisiensi sistem sebesar 35,907

Space Function Nett Area Occupancy Ruang Serbaguna Tempat untuk melakukan kegiatan tertentu yang membutuhkan ruang luas Luasan sebesar 200 m 2 dengan jumlah pelaku

Jadi komunikasi interpersonal menurut peneliti adalah proses berkomunikasi antara dua orang, yaitu antara orang tua dan anak pengguna gadget aktif dengan maksud

Dengan melihat keadaan wilayah Desa Bobolio yang begitu dekat dengan laut, maka hal itu dijadikan sebagai kesempatan untuk mengais rejeki.Hal ini tentu saja sejalan apa yang

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap tingkat kualitas hidup dan strategi coping yang digunakan berdasarkan

serum yang dihubungkan dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa terdapat kecenderungan peningkatan kadar continine

Penelitian ini membuktikan bahwa personal financial need tidak berpengaruh terhadap financial statement fraud (FRAUD). Kepemilikan manajerial yang rendah

Diharapkan lembaga keuangan dapat mewakili industri-industri lain dan penelitian ini dilakukan pada periode 2016 sampai periode 2018 karena pada sepuluh tahun terkhir