• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN PNEUMONIA (Penelitian dilakukan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya) Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN PNEUMONIA (Penelitian dilakukan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya) Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA

PADA PASIEN PNEUMONIA

(Penelitian dilakukan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit

Universitas Airlangga Surabaya)

ALIN ANINDIA

DEPARTEMEN FARMASI KLINIS

(2)

STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA

PADA PASIEN PNEUMONIA

(Penelitian dilakukan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit

Universitas Airlangga Surabaya)

ALIN ANINDIA

NIM. 051211133047

DEPARTEMEN FARMASI KLINIS

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

(3)
(4)
(5)
(6)

Alhamdulillah dan Puji syukur telah saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN PNEUMONIA” dengan baik dan benar. Tugas tersebut merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.

Dalam proses penyelesaian tugas ini, pastinya saya mendapat banyak sekali bantuan dari berbagai pihak baik itu secara material dan moral. Oleh karena itu saya tidak lupa untuk menyampaikan banyak terima kasih yang sedalam – dalamnya kepada :

1. Ibu Samirah, S.Si., Apt., Sp.FRS. selaku dosen pembimbing utama dan Arief Bakhtiar, dr., Sp.P. selaku dosen pembimbing serta yang dengan sabar meluangkan waktu dan tenaganya dalam memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dorongan, serta semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Dr. Umi Athijah, M.S., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan program Sarjana S-1 Pendidikan Apoteker.

3. Ibu Dr. Budi Suprapti, M.Si., Apt. selaku Ketua Departemen Farmasi Klinis beserta para anggota dosen dan staf karyawan, yang telah memberikan kesempatan dan izin untuk dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Ibu Dra. Yulistiani, M.Si., Apt. dan Dewi Wara Shinta, S.Farm.,

(7)

memberikan kasih sayang, restu, doa, serta dukungan sehingga saya dengan lancar menempuh S-1 Pendidikan Apoteker.

6. Ibu Khoirotin Nisak, S.Farm., Apt selaku dosen wali atas segala bimbingan dan perhatian selama menjalankan program S-1 Pendidikan Apoteker.

7. Seluruh dosen dan staf pengajar Fakutas Farmasi Universitas Airlangga atas bekal ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan.

8. Seluruh karyawan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga khususnya karyawan laboratorium Farmasi Klinis atas semua bantuan tenaga dan waktu yang telah diberikan selama proses penelitian skripsi hingga usai.

9. Teman-teman tim seperjuangan skripsi (Sandra, Anisah dan Rizky) yang memberikan tenaga, waktu, ide, semangat, dorongan, dan motivasi selama pengerjaan skripsi ini.

10. Firmansyah Rachman, teman spesial di hati saya yang sampai saat ini telah menemani, menyemangati, serta mendoakan saya dalam proses penyelesaian skripsi.

11. Sahabat-sahabat saya (Marina, Sandra, Rizky, dan Risqi), terima kasih atas kebersamaannya dalam suka maupun duka, memberikan semangat, dorongan, dan motivasi selama proses penyelesaian skripsi ini.

12. Teman – teman kelas B Amoksilin (Amoksilin B12) dan Angkatan 2012, yang selama ini telah mendukung, menerima, serta menemani saya dalam suka dan duka selama awal perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

(8)

menyemangati dan mendoakan selama proses penyelesaian skripsi. 15. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung

memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih untuk semuanya, semoga sukses.

Kebenaran dan kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Semoga selalu mendapat rahmat dan ridho dari-Nya. Besar keinginan saya agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi almamater dan dunia kefarmasian tentunya.

Surabaya, 15 Agustus 2016

(9)

STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN PNEUMONIA

(Penelitian dilakukan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya)

Alin Anindia

Pneumonia adalah infeksi jaringan paru (alveoli) bersifat akut yang diakibatkan oleh inflamasi pada parenkim paru dan pemadatan eksudat pada jaringan paru. Bakteri penyebab paling umum adalah bakteri gram positif,

Streptococcus pneumoniae. Berdasarkan klinis dan epidemiologis,

pneumonia dapat dibedakan menjadi pneumonia komunitas (CAP) yang didapat di masyarakat dan pneumonia nosokomial (HAP) yang dimulai 48 jam setelah pasien dirawat di rumah sakit. Di Indonesia, Riskesdas melaporkan bahwa kejadian pneumonia mengalami peningkatan pada tahun 2007 dari 2,1% menjadi 2,7% pada tahun 2013. Sedangkan, tingkat resistensi antibiotika secara konsisten yang tertinggi adalah di Asia. Di Malaysia, pada tahun 2011 tingkat resistensi penisilin tertinggi sebesar 31,78%. Di Singapura, melaporkan tingkat tertinggi resistensi antibiotika eritromisin sebesar 52,9% dan sefuroksim sebesar 28,6%

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis profil terapi antibiotika yang diterima pasien pneumonia dan mengidentifikasi adanya Drug Related Problems yang mungkin terjadi. Penelitian dilakukan secara

prospektif-retrospektif dengan metode time limited sampling selama periode 1 Januari

2015 - 30 Juni 2016. Kriteria inklusi sampel penelitian ini adalah pasien pneumonia rawat inap baik CAP dan HAP usia ≥ 18 tahun, dengan atau tanpa komplikasi dan komorbid.

Hasil penelitian dari sampel 73 pasien menunjukkan bahwa pada pasien laki-laki lebih banyak mengalami CAP (53%) dan pada HAP lebih banyak terjadi pada pasien perempuan (60%) dengan distribusi usia tertinggi ≥ 60 tahun pada CAP dan HAP serta lama perawatan pada CAP < 7 hari dan pada HAP 7-14 hari. Gejala klinik yang sering terjadi adalah sesak napas dengan penyakit penyerta terbanyak adalah TB paru.

(10)
(11)

DRUG UTILIZATION STUDY OF ANTIBIOTICS IN PNEUMONIA PATIENT

(Study at Inpatient Unit of Airlangga University Hospital Surabaya)

Alin Anindia

Pneumonia is an acute infection of lung tissue caused by inflammation of the lung parenchyma and compaction exudate in the lung tissue, caused by Streptococcus pneumoniae. Based on the clinical and

(12)

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... iii

LEMBAR PERNYATAAN BUKAN HASIL PLAGIARISME ... iv

LEMBAR PENGESAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

RINGKASAN ... ix

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR SINGKATAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah... 5

1.3 Tujuan penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Paru ... 6

2.1.1 Anatomi Paru ... 6

(13)

2.1.4 Mekanisme Pertahanan Paru ... 10

2.2 Pneumonia... 13

2.2.1 Definisi Pneumonia ... 13

2.2.2 Epidemiologi ... 13

2.2.3 Etiologi ... 14

2.2.4 Klasifikasi ... 15

2.2.5 Patofisiologi ... 16

2.2.6 Gejala Klinik ... 17

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang ... 18

2.3 Tinjauan Tentang Terapi Pneumonia dan Evaluasi Terapi ... 19

2.3.1 Terapi Antibiotika ... 19

2.3.1.1 Tinjauan Tentang Antibiotika ... 19

2.3.1.2 Pneumonia Komunitas ... 20

2.3.1.3 Pneumonia Nosokomial... 21

2.3.1.4 Jenis dan Dosis Antibiotika Pada Pneumonia Dewasa 24 2.3.1.5 Faktor-faktor Pemilihan Antibiotika ... 25

2.3.1.6 Faktor Modifikasi ... 27

2.3.2 Terapi Suportif ... 28

2.3.3 Evaluasi Terapi ... 29

2.4 Antibiotika ... 30

2.4.1 Menghambat Sintesis Dinding Sel ... 30

2.4.1.1 Penisilin ... 30

2.4.1.2 Sefalosporin ... 34

2.4.1.3 Golongan β-laktam lain ... 38

(14)

2.4.2.1 Aminoglikosida ... 43

2.4.2.2 Tetrasiklin ... 44

2.4.2.3 Makrolida ... 46

2.4.2.4 Oksazolidinon ... 47

2.4.3 Menghambat Sintesis RNA Bakteri... 48

2.4.3.1 Sulfonamida ... 48

2.4.3.2 Fluorokuinolon... 50

2.4.3.3 Nitroimidazol ... 52

2.4.4 Kejadian Resistensi Antibiotika ... 53

2.5 Drug Utilization Study (DUS) ... 54

2.5.1 Tipe DUS ... 54

2.6 Drug Related Problems (DRP) ... 55

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL 3.1 Kerangka Konseptual ... 57

3.2 Bagan Kerangka Konseptual ... 59

3.3 Bagan Kerangka Operasional ... 60

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 61

4.2 Populasi dan Sampel ... 61

4.2.1 Populasi ... 61

4.2.2 Sampel ... 61

4.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi ... 61

4.3.1 Kriteria Inklusi ... 61

4.3.2 Kriteria Eksklusi... 62

(15)

4.6 Metode Pengambilan Sampel ... 63

4.7 Instrumen Penelitian ... 64

4.8 Tempat dan Waktu Penelitian ... 64

4.9 Prosedur Pengambilan Data ... 64

4.10 Analisis Data ... 64

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Demografi Pasien ... 65

5.2 Gejala Pneumonia ... 66

5.3 Faktor Modifikasi ... 67

5.4 Lama Perawatan ... 68

5.5 Penyakit Penyerta ... 69

5.6 Pemeriksaan Mikrobiologi ... 71

5.7 Penggunaan Antibiotika ... 72

5.8 Profil Outcome Terapi... 77

5.9 Identifikasi Drug Related Problems (DRP)... 78

BAB VI PEMBAHASAN ... 80

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ... 92

7.2 Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA... 94

(16)

Tabel Halaman

II.1 Terapi Empirik Untuk Pneumonia Komunitas ... 20

II.2 Pasien Tanpa Faktor Risiko Patogen MDR, Onset Dini dan Semua Derajat Penyakit ... 22

II.3 Pasien Dengan Onset Lanjut Atau Terdapat Faktor Risiko Patogen MDR Untuk Semua Derajat Penyakit ... 22

II.4 Dosis Antibiotika Untuk Pasien Dengan Onset Lanjut Atau Terdapat Faktor Risiko Patogen MDR ... 23

II.5 Jenis dan Dosis Antibiotika Pada Pneumonia Dewasa ... 24

II.6 Antibiotika Penisilin Untuk Terapi Pneumonia ... 33

II.7 Antibiotika Sefalosporin Untuk Terapi Pneumonia ... 37

II.8 Antibiotika Karbapenem Untuk Terapi Pneumonia ... 39

II.9 Antibiotika β-laktamase Inhibitor Untuk Terapi Pneumonia ... 40

II.10 Antibiotika Glikopeptida Untuk Terapi Pneumonia ... 42

II.11 Antibiotika Aminoglikosida Untuk Terapi Pneumonia ... 44

II.12 Antibiotika Tetrasiklin Untuk Terapi Pneumonia ... 45

II.13 Antibiotika Makrolida Untuk Terapi Pneumonia ... 47

II.14 Antibiotika Sulfonamida Untuk Terapi Pneumonia ... 50

II.15 Antibiotika Fluorokuinolon Untuk Terapi Pneumonia... 51

V.1 Penggolongan Pneumonia Berdasarkan Klinis dan Epidemiologis 65 V.2 Faktor Modifikasi Pasien Pneumonia... 68

V.3 Penyakit Penyerta Pada Pasien Pneumonia Komunitas ... 69

(17)

V.6 Kepekaan Antibiotika ... 72 V.7 Jenis Antibiotika Pasien Pneumonia ... 73 V.8 Penggunaan Antibiotika Tunggal dan Kombinasi Pasien

Pneumonia... 74 V.9 Dosis Antibiotika pada Pasien Pneumonia Komunitas... 75 V.10 Dosis Antibiotika pada Pasien Pneumonia Nosokomial ... 76 V.11 Dosis Antibiotika Pasien Pneumonia dengan Gangguan Ginjal . 76 V.12 Profil Outcome Terapi pada Pasien Pneumonia Komunitas ... 77

V.13 Profil Outcome Terapi pada Pasien Pneumonia Nosokomial ... 78

(18)

Gambar Halaman

2.1 Bagian-Bagian Saluran Pernafasan ... 8

2.2 Bagian-bagian Alveolus ... 9

2.3 Mekanisme Pertahanan Paru ... 12

2.4 Pasien Yang Gagal Dengan Terapi Empirik ... 30

3.2 Bagan Kerangka Konseptual ... 59

3.3 Bagan Kerangka Operasional ... 60

5.1 Distribusi Pasien Pneumonia Berdasarkan Jenis Kelamin ... 65

5.2 Distribusi Pasien Pneumonia Berdasarkan Usia ... 66

5.3 Gejala pada Pasien Pneumonia ... 67

(19)

APC : Antigen Presenting Cells ATS : American Thoracic Society C3 : Komplemen tipe 3

CAP : Community Acquired Pneumonia CSF : Cerebrospinal Fluid

DCFC : Decompensatio Cordis Functional Class DMND : Diabetes Melitus Nefropati Disease DMK : Dokumen Medik Kesehatan DRP : Drug Related Problems DUS : Drug Utilization Study G3 : Generasi ketiga G4 : Generasi keempat

HAP : Hospital Acquired Pneumonia HCAP : Health Care Acquired Pneumonia HHD : Hipertensi Heart Failure

ICU : Intensive Care Unit IgA : Imunoglobulin A IgM : Imunoglobulin M IgG : Imunoglobulin G IL-4 : Interleukin 4 IL-5 : Interleukin 5 IL-13 : Interleukin 13

(20)

MDR : Multi Drug Resistant

MHC I : Major Histocompatibility Complex I MHC II : Major Histocompatibility Complex II MIC : Minimum Inhibitory Concentration MODS : Multiple Organ Dysfunction Syndrome MRSA : Metichillin Resistant Staphylococcus Aureus MSSA : Metichillin Sensitive Staphylococcus Aureus PBP : Penicillin Binding Protein

PJK OMI : Penyakit Jantung Koroner Old Miocard Infarc PMN : Polimorfonuklear

PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronik

RS : Rumah Sakit

TB : Tuberkulosis

(21)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pneumonia adalah infeksi jaringan paru (alveoli) bersifat akut yang diakibatkan oleh inflamasi pada parenkim paru dan pemadatan eksudat pada jaringan paru. Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, parasit (PDPI, 2014).

Penyebab utama pneumonia pada orang dewasa adalah infeksi bakteri (Hippenstiel et al., 2006). Bakteri yang paling sering menyebabkan

pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, dan Mycobacterium tuberculosis serta bakteri atipikal, seperti Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae. Penyebab lain pneumonia selain bakteri adalah

virus dan jamur. Virus yang menyebabkan pneumonia antara lain

Respiratory Syncytial Virus (RSV), Human metapneumovirus, Parainfluenza virus tipe 1 dan 3, adenoviruses, Influenza A or B, dan rhinovirus (Scaparrotta et al., 2013).

Berdasarkan klinis dan epidemiologis pneumonia dapat dibedakan menjadi pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial. Pneumonia komunitas adalah peradangan akut pada parenkim paru yang didapat di masyarakat. Pneumonia nosokomial adalah penyakit pneumonia yang dimulai 48 jam setelah pasien dirawat di rumah sakit, yang tidak sedang mengalami inkubasi suatu infeksi saat masuk rumah sakit (PDPI, 2014).

(22)

dengan usia >50 tahun pada pria sebanyak 4,2% dan pada wanita sebanyak 3,4%. Hal ini menunjukkan bahwa risiko pneumonia pada pria lebih besar dibandingkan wanita. Di Prancis, penderita pneumonia dengan HIV sebanyak 12% (Torres et al., 2013).The Asian Network for Surveillance of Resistant Pathogens (ANSORP) melakukan studi bahwa dari 955 orang

dewasa dari delapan negara, seperti India, Jepang, Korea Selatan, China, Malaysia, Singapura, Taiwan dan Thailand mengalami CAP. Angka kematian secara keseluruhan adalah 7,3% (Ivan et al., 2013).

Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkan bahwa kejadian pneumonia sebulan terakhir mengalami peningkatan pada tahun 2007 dari 2,1% menjadi 2,7% pada tahun 2013. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) melaporkan bahwa prevalensi pneumonia dari tahun ke tahun terus meningkat, yaitu 7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007 (Anwar & Dharmayanti, 2014). Terdapat sebelas provinsi (33,3%) yang mengalami kenaikan periode prevalensi pneumonia pada tahun 2013 (Depkes RI, 2014).

Antibiotika merupakan terapi utama untuk penyakit pneumonia. Pemberian antibiotika diharapkan mampu membunuh bakteri patogen dan mencapai jaringan tempat bakteri patogen tumbuh. Penentuan antibiotika yang tepat dapat mengurangi adverse drug reactions (American Thoracic

Society, 2005; Dahlan, 2014).

(23)

Terapi antibiotika empiris yang direkomendasikan untuk pneumonia onset dini HAP tanpa faktor risiko patogen MDR digunakan β-laktam/anti β-laktamase atau sefalosporin G3 atau fluorokuinolon. Untuk pneumonia onset lanjut HAP dengan faktor ririsko patogen MDR digunakan kombinasi terapi antibiotika spektrum luas untuk mengcover MDR basil gram negatif dan untuk MRSA digunakan vankomisin(PDPI, 2003 ; PPA, 2009).

Antibiotika yang paling sering digunakan pada pasien pneumonia adalah golongan β-laktam seperti sefalosporin dan golongan fluorokuinolon (File Jr, 2002). Mekanisme kerja sefalosporin yakni menghambat pertumbuhan bakteri dengan mengganggu reaksi transpeptidase dari sintesis dinding sel bakteri. Lebih stabil terhadap bakteri β-laktamase dan karena itu mempunyai aktivitas spektrum luas. Sefalosporin terbagi dalam empat generasi, sefalosporin G1 lebih aktif terhadap bakteri gram positif dan generasi selanjutnya lebih sensitif terhadap bakteri gram negatif. Seftriakson dan seftazidim merupakan antibiotika golongan sefalosorin G3. Seftriakson dan seftazidim tidak diserap baik di saluran pencernaan sehingga harus diberikan secara parenteral. Seftriakson sebanyak 93-96% terikat pada protein plasma <70 mcg/ml. Orang dewasa dengan fungsi ginjal dan hati yang normal dengan distribusi paruh 0,12-0,7 jam dan paruh eliminasi 5,4-10,9 jam. Seftazidim lebih aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa. Terikat pada protein serum kira-kira 5-24%. Seftazidim tidak

(24)

mekanisme kerja menghambat DNA-girase pada organisme yang rentan sehingga menghambat relaksasi DNA superkoil dan meningkatkan kerusakan untai DNA. Bioavailabilitas levofloksasin 99%. Konsentrasi plasma maksimum dan minimum levofloksasin berturut-turut 6,4 μg/ml dan 0,6 μg/ml. Levofloksasin terikat pada protein serum kira-kira 24-38%. Didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh, termasuk kulit, dan paru (Rang et al., 2012).

Dalam studi di beberapa negara, tingkat resistensi antibiotika secara konsisten yang tertinggi adalah di Asia. Penelitian terbaru di Malaysia, pada tahun 2011 memperkirakan tingkat resistensi penisilin yang tertinggi sebesar 31,78%. Di Singapura, dilaporkan tingkat tertinggi resistensi antibiotika eritromisin sebesar 52,9% dan sefuroksim sebesar 28,6% (Ivan et al., 2013). Pada tahun 2003 sampai 2008 di Amerika Serikat,

dari 1300 pasien HCAP yang diteliti, 118 pasien mengalami resistensi antibiotika. Bakteri yang mengalami resistensi antara lain MRSA (Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus) sebanyak 49,2%, Pseudomonas aeruginosa sebanyak 29,5%, Streptococcus pneumoniae

sebanyak 1,5%. Adanya resistensi antibiotika merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan terapi pada penyakit infeksi seperti pada pneumonia (Karl et al., 2012).

(25)

Surabaya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang studi penggunaan antibiotika terhadap pasien pneumonia di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) Surabaya.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana pola penggunaan antibiotika pada pasien pneumonia di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) Surabaya?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengkaji pola penggunaan antibiotika pada pasien pneumonia di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) Surabaya

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengkaji pola terapi antibiotika (jenis, rute pemberian, dosis, aturan pakai, dan lama penggunaan obat) pada pasien pneumonia di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) Surabaya.

2. Mengidentifikasi Drug Related Problems (DRP) yang terjadi

setelah pemberian antibiotika meliputi kesesuaian dosis, interaksi dan efek samping antibiotika.

1.4 Manfaat Penelitian

(26)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Paru

2.1.1 Anatomi Paru

Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut dan letaknya di dalam rongga dada atau toraks. Kedua paru saling terpisah oleh mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) dan basis. Pembuluh darah paru, saraf dan pembuluh limfe memasuki paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru (Ward et al., 2010).

Paru kanan dibagi menjadi tiga lobus oleh fisura interlobularis sedangkan paru kiri dibagi menjadi dua lobus. Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronkusnya. Paru kanan dibagi menjadi 10 segmen sedangkan paru kiri dibagi menjadi 9 segmen (Ward et al., 2010).

(27)

2.1.2 Anatomi Saluran Pernafasan

Saluran penghantar udara hingga mencapai paru dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus. Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Gerakan bersilia mendorong lapisan mukus ke posterior di dalam rongga hidung dan ke superior di dalam sistem pernafasan bagian bawah menuju faring. Dari sini lapisan mukus akan tertelan atau dibatukkan keluar (Alsagaff & Mukty, 2009; Ward et al., 2010).

Bronkus utama kanan dan kiri tidak simetris. Bronkus kanan lebih pendek, lebih lebar dan merupakan kelanjutan dari trakea yang arahnya hampir vertikal. Sebaliknya, bronkus kiri lebih panjang dan lebih sempit dan merupakan kelanjutan dari trakea dengan sudut yang lebih tajam (Ward

et al., 2010).

Cabang utama bronkus kanan dan kiri membagi diri lagi menjadi bronkus lobar, bronkus segmental dan bronkus subsegmental. Kemudian percabangan ini berjalan terus menjasi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang hampir tidak mengandung alveoli. Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru (tempat pertukaran gas). Asinus terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakus alveolaris (Alsagaff & Mukty, 2009; Ward et al., 2010).

(28)

struktur yang membentuk keduanya juga serupa. Dinding alveoli yang disebut juga alveolar-capillary membrane berperan dalam pertukaran gas

dari udara ke darah (Levitzky, 2007; Alsagaff & Mukty, 2009).

Alveolar-capillary membrane merupakan tempat pertukaran gas

secara pasif. Lapisan alveolus dan endotel kapiler dihubungkan oleh jaringan interstitial yang terdiri dari jaringan elastis, retikuler, dan kolagen. Serabut yang membentuk jaringan interstitiel dapat mencegah terjadinya perluasan yang berlebihan dari alveoli serta memberi sifat elatis pada paru (Levitzky, 2007; Alsagaff & Mukty, 2009).

(29)

Gambar 2.2 Bagian-bagian Alveolus (Saladin, 2014) Keterangan : a. Bagian alveolus dan peredaran darah

b. Struktur alveolus

c. Struktur membran pernafasan 2.1.3 Fisiologi Saluran Pernafasan

(30)

kapiler paru melalui dinding alveolus yang sangat tipis (Mc Phee, 2006; Levitzky, 2007).

2.1.4 Mekanisme Pertahanan Paru

Mekanisme pertahanan utama dari saluran napas adalah epitel permukaannya yang cukup istimewa yaitu epitel respiratorius atau epitel bertingkat silindris bersilia dan bersel goblet. Epitel silindris bersilia merupakan sel yang terbanyak. Silia ini terus bergerak untuk menangkap dan mengeluarkan partikel asing. Sel goblet mukosa merupakan bagian apikal mengandung droplet khusus yang terdiri dari glikoprotein (Ward et al., 2010).

Selain itu, epitel respiratorius dilapisi oleh 5-10 μm lapisan mukus gelatinosa (fase gel) yang mengambang pada suatu lapisan cair yang sedikit lebih tipis (fase sol). Lapisan gel atau mukus dan cair atau sol mengandung mekanisme pertahanan imunitas humoral dan seluler. Lapisan gel terdiri atas glikoprotein, IgG, IgM, dan faktor komplemen. Lapisan cair terdiri atas sekresi sekrosa, laktoferin, lisozim, inhibitor sekresi leukoprotease, dan sekretorik IgA (Ward et al., 2010).

(31)

besar pada jalan napas dan memiliki sifat antijamur dan bakterisidal; bersama dengan protein antimikroba, laktoferin, peroksidase, dan defensin yang berasal dari neutrofil, enzim tersebut memberikan imunitas nonspesifik pada saluran napas (Ward et al., 2010).

IgA merupakan salah satu bagian dari sekret hidung (10% dari total protein sekret hidung). Bakteri yang sering mengadakan kolonisasi pada saluran napas atas sering mengeluarkan enzim proteolitik dan bakteri gram negatif mempunyai kemampuan untuk merusak IgA. Immunoglobulin sekretori (IgA) adalah immunoglobulin utama dalam sekresi jalan napas dan dengan IgM dan IgG mengaglutinasi dan mengopsonisasi partikel antigenik. IgA juga menahan perlekatan mikroba ke mukosa. IgA sekretori terdiri dari suatu dimer dua molekul IgA yang dihasilkan oleh sel-sel plasma (limfosit B teraktivasi) dan suatu komponen sekretori glikoprotein. Kompleks IgA sekretori kemudian dipindahkan ke permukaan luminal sel epitel dan dilepaskan ke dalam cairan bronkial (Ward et al., 2010).

Makrofag adalah fagosit mononuklear yang berada di seluruh saluran pernafasan. Bertugas sebagai penjaga di saluran napas, memberikan perlindungan terhadap mikroorganisme yang dihirup dan partikel lainnya dengan melalui fagositosis. Makrofag alveolar merupakan sel utama dalam alveoli yang berfungsi dalam pembersihan protein surfaktan dan penekanan respon imun yang tidak diperlukan dengan memproduksi sitokin anti-inflamasi seperti interleukin-10 (IL-10) dan Transforming Growth Factor β

(32)

Di dalam jaringan limfoid mukosa terdapat sel dendrit yang berasal dari sumsum tulang. Sel dendrit berfungsi sebagai Antigen Precenting Cells

(APC) dan mengirim sinyal aktivasi kepada limfosit T untuk memulai respon imun (immunostimulatory cells). Sel dendrit akan mengekspresikan

MHC II pada level yang tinggi serta MHC I dan reseptor komplemen tipe 3 (C3). Sinyal dari Th (CD4+) akan menginduksi limfosit untuk menghasilkan sitokin. Aktivasi limfosit B dibantu oleh sel Th2 (IL-4, IL-5, IL-13) serta membentuk diferensiasi sel B menjadi klon yang memproduksi antibodi berupa sekterotik IgA (Kolls, 2013).

Gambar 2.3 Mekanisme Pertahanan Paru (Mc Phee, 2006) Keterangan : A. Pertahanan imun

B. Pertahanan non imun

(33)

2.2 Pneumonia

2.2.1 Definisi Pneumonia

Pneumonia merupakan suatu penyakit infeksi pada parenkim paru yang disebabkan oleh sejumlah bakteri yang berbeda, virus parasit, atau jamur. Infeksi ini menyebabkan peradangan pada paru dan akumulasi eksudat pada jaringan paru (Mc Phee, 2006). Selain itu pneumonia juga didefinisikan sebagai peradangan parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Dahlan, 2014).

2.2.2 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, The National Nosocomial Infection Surveillance menemukan dari semua pasien dengan infeksi nosokomial

dengan ICU sebanyak 31% disebabkan oleh pneumonia. Di Eropa, sebuah studi di Italia melaporkan bahwa 9,1% dari semua pasien yang dirawat berkembang infeksi nosokomial disebabkan oleh pneumonia (Tores and Cilloniz, 2015). Sebuah penelitian di Denmark, penderita pneumonia dengan usia >50 tahun pada pria sebanyak 4,2% dan pada wanita sebanyak 3,4%. Hal ini menunjukkan bahwa risiko pneumonia pada pria lebih besar dibangdingkan wanita. Di Spanyol, penderita pneumonia dengan usia ≥65 tahun sebanyak 14% (Torres et al., 2013).

The Asian Network for Surveillance of Resistant Pathogens

(34)

negara, seperti India, Jepang, Korea Selatan, China, Malaysia, Singapura, Taiwan dan Thailand mengalami CAP. Angka kematian secara keseluruhan adalah 7,3%. Dalam studi lain dari 255 orang dewasa Asia mengalami kematian akibat pneumonia pneumokokus resisten antibiotika sebesar 13,3% dan mengalami peningkatan menjadi 31,9% (Ivan et al., 2013).

Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkan bahwa kejadian pneumonia sebulan terakhir mengalami peningkatan pada tahun 2007 dari 2,1% menjadi 2,7% pada tahun 2013. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) melaporkan bahwa prevalensi pneumonia dari tahun ke tahun terus meningkat, yaitu 7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007 (Anwar & Dharmayanti, 2014). Terdapat sebelas provinsi (33,3%) yang mengalami kenaikan periode prevalensi pneumonia pada tahun 2013 (Depkes RI, 2014).

2.2.3 Etiologi

Penyebab terbanyak pneumonia komunitas untuk pasien rawat jalan disebabkan oleh bakteri misalnya Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus Influenzae, Chlamidophila pneumoniae, dan virus respirasi. Untuk pasien rawat inap (non ICU)

disebabkan oleh bakteri misalnya Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Chlamidophila pneumoniae, Haemophilus Influenzae, Legionella spp, aspirasi, dan virus respirasi. Untuk pasien rawat ICU

(35)

influenzae, Staphylococcus aureus, Legionella spp, dan basil gram negatif

( Richard and Tracy, 2011; PDPI, 2014).

Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komunitas. Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan Multi Drug Resistance (MDR) misalnya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus Influenzae, Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) dan kuman MDR misalnya Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter spp dan Gram

positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA).

Pneumonia nosokomial yang disebabkan jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi (ATS, 2005; Blackford et al., 2015)

2.2.4 Klasifikasi

Berdasarkan klinis dan epidemiologis pneumonia dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu Pneumonia komunitas (Community Acquired Pneumoniae), Pneumonia nosokomial (Hospital Acquired Pneumoniae) (PDPI, 2014).

Pneumonia komunitas (Community Acquired Pneumoniae) adalah

peradangan akut pada parenkim paru yang didapat di masyarakat . Bakteri yang sering didapat pada pneumonia komunitas adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Mycoplasma pneumoniae, Chlamidophila pneumoniae, Staphylococcus aureus, dan Klebsiella pneumoniae, serta bakteri gram negatif lain seperti Legionella spp (Richard

(36)

Pneumonia nosokomial (Hospital Acquired Pneumoniae) adalah

penyakit pneumonia yang dimulai 48 jam setelah pasien dirawat di rumah sakit, yang tidak sedang mengalami inkubasi suatu infeksi saat masuk rumah sakit. Pneumonia nosokomial (HAP) dibagi lagi menjadi pneumonia berhubungan dengan penggunaan ventilator atau Ventilator Acquired Pneumonia (VAP) dan pneumonia yang didapat di pusat perawatan

kesehatan atau Health Care Associated Pneumoniae (HCAP). Organisme

yang paling sering menyebabkan terjadinya pneumonia nosokomial adalah

Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, MSAA (Methicillin Sensitive Staphilococcus Aureus), MRSA (Methicillin Resistant Staphilococcus Aureus), Acinetobacter spp, Klebsiella pneumoniae, dan Escherchia coli (ATS, 2005; Blackford et al., 2015).

2.2.5 Patofisiologi

(37)

Bakteri yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema dari seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian difagosit (Soedarsono, 2010).

Pada waktu terjadi proses infeksi, akan tampak 4 zona pada daerah peradangan, yaitu :

1. Zona luar : alveoli yang terisi dengan mikroorganisme dan cairan edema.

2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari sel-sel PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah.

3. Zona konsolidasi yang luas : daerah dimana terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah sel PMN yang banyak.

4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan mikroorganisme yang mati, leukosit dan makrofag alveolar.

• Hepatisasi merah : daerah perifer tempat dimana terdapat edema dan perdarahan.

• Hepatisasi abu abu : daerah konsolidasi luas. (PDT, 2005 ; Soedarsono, 2010).

2.2.6 Gejala Klinik

(38)

batuk dengan perubahan karakteristik sputum/purulen (batuk dengan dahak mukoid atau purulen yang terkadang disertai dengan darah), nyeri dada, dan sesak nafas, leukosit ≥ 10.000 atau 4.500, pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara nafas bronki dan ronki (PDPI, 2014).

Pada penderita pneumonia nosokomial ditandai dengan foto toraks, adanya terdapat infiltrat baru atau progresif, suhu tubuh > 38°C, sekret purulen, leukositosis dan gangguan imun yang dapat dijumpai gangguan kesadaran oleh hipoksia (PDPI, 2003; Dahlan, 2014).

Pada pneumonia virus ditandai dengan gejala demam, malaise, dan mialgia yang berhubungan dengan batuk kering. Dapat diperoleh bentuk manifestasi lain yang berupa infeksi paru seperti efusi pleura, pneumotoraks/hidropneumo toraks (Dahlan, 2014).

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang

(39)

pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Hal ini bertujuan untuk pra terapi dan evaluasi terapi selanjutnya. Analisis gas darah dilakukan untuk menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan oksigen (Ward et al., 2010; Dahlan,

2014).

2.3 Tinjauan Tentang Terapi Pneumonia dan Evaluasi Terapi Pengobatan pneumonia terdiri atas pemberian antibiotika dan terapi suportif (Soedarsono, 2010). Pertama kali yang harus diperhatikan pada penderita pneumonia adalah evaluasi terhadap fungsi pernafasan sebelum diberikan terapi.Terapi awal pneumonia bakterial diberikan secara empiris, dengan penggunaan antibiotika spektrum luas sebelum spesifik patogen penyebab diketahui. Setelah diberikan antibiotika spektrum sempit sesuai patogen penyebabnya, diharapkan dapat meminimalkan resistensi (Blackford et al., 2015).

2.3.1 Terapi Antibiotika

2.3.1.1 Tinjauan Tentang Antibiotika

(40)

2.3.1.2 Pneumonia Komunitas

Tabel II.1 Terapi empirik untuk Pneumonia Komunitas (Community Acquired Pneumoniae) (Richard and Tracy, 2011; PDPI,

2014)

Rawat jalan Pasien yang sebelumnya sehat atau tanpa riwayat pemakaian antibiotika 3 bulan sebelumnya

- Golongan laktam atau laktam + anti β-laktamase atau

- Makrolid baru ( klaritromisin, azitromisin) Pasien dengan komorbid atau mempunyai riwayat pemakaian antibiotika 3 bulan sebelumnya

- Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin 750 mg, moksifloksasin) atau

- Golongan β-laktam + anti β-laktamase atau - β-laktam + makrolid

Rawat inap non ICU

- Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin 750 mg, moksifloksasin) atau

- β-laktam + makrolid Rawat inap

intensif

Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas - β-laktam (sefotaksim, seftriakson, atau

(41)

Pertimbangan khusus

Bila ada faktor risiko infeksi pseudomonas

- Antipneumokokkal, antipseudomonas β-laktam (piperacilin-tazobaktam,

sefepime, imipenem atau meropenem) + levofloksasin 750 mg atau β-laktam seperti tersebut diatas + aminoglikosida dan azitromisin atau

- β-laktam seperti tersebut diatas + aminoglikosida dan antipneumokokkal Fluorokuinolon ( untuk pasien yang alergi penisilin, β-laktam diganti dengan aztreonam)

Bila curiga disertai infeksi MRSA

- Tambahkan vankomisin atau linezolid

2.3.1.3 Pneumonia Nosokomial

(42)

Tabel II.2 Pasien Tanpa Faktor Risiko Patogen MDR, Onset Dini dan Semua Derajat Penyakit (ATS, 2005; Blackford et al., 2015)

Patogen potensial Antibiotika yang digunakan 1. Streptocoocus pneumoniae

2. Haemophilus influenzae

3. MSSA

4. Antibiotika sensitif basil gram negatif enterik :

1. β-laktam + antiβ-laktamase (Amoksisilin klavulanat)

2. Sefalosporin G3 nonpseudomonal (Seftriakson, sefotaksim)

3. Kuinolon respirasi

(Levofloksasin, Moksifloksasin)

Tabel II.3 Pasien Dengan Onset Lanjut Atau Terdapat Faktor Risiko Patogen MDR Untuk Semua Derajat Penyakit (ATS, 2005; Blackford et al., 2015)

Patogen potensial Terapi Antibiotika kombinasi Patogen MDR tanpa atau dengan

patogen yang telah disebutkan diatas:

1. Pseudomonas aeruginosa

2. Klebsiella pneumoniae

3. Acinetobacter sp

(43)

4. MRSA Fluorokuinolon antipseudomonal (siprofloksasin atau levofloksasin) 2. Aminoglikosida (amikasin, gentamisin atau tobramisin) + Linesolid atau vankomisin atau Teikoplanin

Tabel II.4 Dosis Antibiotika Untuk Pasien Dengan Onset Lanjut Atau Terdapat Faktor Risiko Patogen MDR (ATS, 2005; Blackford et al., 2015)

Antibiotika Dosis

Sefalosporin antipseudomonal 1. Sefepim

2. Seftasidim 3. Sefpirom

1-2 g setiap 8 – 12 jam 2 g setiap 8 jam 1 g setiap 8 jam Karbapenem

1. Meropenem 2. Imipenem

1 g setiap 8 jam

500 mg setiap 6 jam / 1 g setiap 8 jam

Β-laktam/ penghambat β-laktamase

1. Piperasilin-tasobaktam 4,5 g setiap 6 jam Aminoglikosida

1. Gentamisin 2. Tobramisin

(44)

3. Amikasin 20 mg/kg BB/hari

Vankomisin 15 mg/kg BB/12 jam

Linesolid Teikoplanin

600mg setiap 12 jam 400mg/ hari

2.3.1.4 Jenis dan Dosis Antibiotika Pada Pneumonia Dewasa

Tabel II.5 Jenis dan Dosis Antibiotika Pada Pneumonia Dewasa (Blackford

et al., 2015)

Golongan Antibiotika

Nama Antibiotika Dosis (Dosis Total/Hari) Penisilin Ampisilin-sulbaktam

(45)

Amoksisilin/amoksisilin-Azitromisin 500 mg/hari selama Aminoglikosida Gentamisin

Tobramisin

Lainnya Vankomisin

Linezolid Klindamisin

2-3 g 1,2 g 1,8 g

2.3.1.5 Faktor-Faktor Pemilihan Antibiotika a. Faktor Pasien

(46)

b. Faktor Antibiotika

Tidak mungkin mendapatkan satu jenis antibiotika yanga ampuh untuk semua jenis kuman. Karena itu penting dipahami berbagai aspek tentang antibiotika untuk efisiensi pemakaian antibiotika. Secara praktis dipilih antibiotika yang ampuh dan secara empirik telah terbukti merupakan obat pilihan utama dalam mengatasi kuman penyebab yang paling mungkin pada pneumonia berdasarkan data antibiogram mikrobiologi dalam 6-12 bulan terakhir. Efektivitas antibiotika tergantung kepada kepekaan kuman terhadap antibiotika ini, penetrasinya ke tempat lesi infeksi, toksisitas, interaksi dengan obat lain dan reaksi pasien seperti alergi.

c. Faktor Farmakologis

Farmakokinetik antibiotika mempertimbangkan proses bakterisidal dengan Kadar Hambat Minimal (MIC) yang sama dengan Kadar Bakterisidal Minimal (KBM), dan bakteriostatik dengan KBM yang jauh lebih tinggi daripada KHM. Farmakodinamik menilai kemampuan antibiotika untuk melakukan penetrasi ke lokasi infeksi di jaringan dan keampuhannya antibiotika hingga obat ini ampuh untuk dipakai terhadap patogen penyebab. Antibiotika dengan Cmax/MIC rasio >8-10, atau AUC: MIC Ratio diatas 100, akan dapat menekan terjadinya perkembangan resistensi patogen. Hal ini penting terutama pada pengobatan pasien

(47)

2.3.1.6 Faktor Modifikasi

Dalam hal mengobati penderita pneumonia komunitas perlu diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi, yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen tertentu atau spesifik misalnya Streptococcus pneumoniae yang resisten penisilin.

a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin 1. Umur lebih dari 65 tahun

2. Memakai obat-obat golongan β-laktam selama tiga bulan terakhir 3. Pecandu alkohol

4. Penyakit gangguan kekebalan 5. Penyakit penyerta yang multipel b. Bakteri enterik Gram negatif

1. Penghuni rumah jompo

2. Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru 3. Mempunyai kelainan penyakit yang multipel 4. Riwayat pengobatan antibiotika

c. Pseudomonas aeruginosa

1. Bronkiektasis

2. Pengobatan kortikosteroid >10 mg/hari

3. Pengobatan antibiotika spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir 4. Gizi kurang

(ATS, 2001; PDPI, 2014).

(48)

diabetes, akhololisme, azotemia), perawatan di rumah sakit yang lama, koma, pemakaian obat tidur, perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi, usia lanjut, pengobatan steroid, riwayat pengobatan antibiotika, waktu operasi yang lama, sepsis, syok hemoragik, infeksi berat di luar paru dan cidera paru akut serta bronkiektasis (PDPI, 2003).

2.3.2 Terapi Suportif

Terapi suportif yang umum disesuaikan dengan kondisi pasien. Diberikan terapi O2 untuk mencapai PaO2 80 – 100 mmHg atau saturasi 95-96% berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah. Humidifikasi dengan

nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, disertai nebulizer untuk

(49)

2.3.3 Evaluasi Terapi

Setelah dilakukan terapi, pasien diharapkan mencapai outcome terapi berupa kondisi pasien mengalami perbaikan yang bisa dilihat dari data klinis, data laboratorium dan data radiologis berupa rontgen dada. Selama terapi, pasien dimonitoring berdasarkan parameter klinis yang sesuai untuk memastikan efektivitas dan keamanan regimen terapi. Pada pasien dengan pneumonia komunitas atau pneumonia dengan tingkat keparahan dari ringan sampai sedang, dilakukan evaluasi seperti frekuensi batuk, penurunan produksi sputum, dan penurunan demam, serta gejala konstitusional lainnya mulai dari malaise, mual, muntah, dan lesu (Blackford et al., 2015).

Jika pasien membutuhkan terapi oksigen tambahan, perlu dilakukan penyesuaian jumlah yang akan diberikan. Sebuah perbaikan dari gejala ini harus diamati secara bertahap dan terus-menerus. Pengamatan awal harus diamati dalam 2 hari pertama dan waktu untuk menyelesaikan pengamatan biasanya tidak lebih dari 10 hari (5 sampai 7 hari). Pada pasien dengan penyakit yang mendasari pneumonia atau substansial nosokomial atau keduanya, parameter tambahan dapat diamati, seperti melihat jumlah sel darah putih dan rontgen dada. Dilakukan pengamatan dalam waktu 2 hari setelah diberikan terapi antibiotika (Blackford et al., 2015).

(50)

kemungkinan untuk merubah terapi antibiotika dengan spektrum yang lebih luas dari terapi sebelumnya. Selain itu, penggunaan terapi antifungi harus dipertimbangkan (Blackford et al., 2015).

Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan, harus ditinjau kembali diagnosisnya, faktor-faktor pasien, obat-obat yang telah diberikan dan bakteri penyebabnya.

Gambar 2.4 Pasien Yang Gagal Dengan Terapi Empirik (PDPI, 2014)

2.4 Antibiotika

2.4.1 Menghambat Sintesis Dinding Sel 2.4.1.1 Penisilin

Antibiotika β-laktam adalah agen antimikroba yang sering digunakan. Golongan β-laktam umunya bersifat bakterisid dan sebagian besar efektif terhadap organisme gram positif dan negatif. Mekanisme kerja dari golongan ini yaitu menghambat pembentukan peptidoglikan yang

-Gagal jantung -Emboli -Keganasan -Reaksi Obat -Perdarahan

Pasien tidak respons dengan pengobatan empiris yang telah diberikan

Salah diagnosis Diagnosis sudah benar

(51)

merupakan komponen dinding sel bakteri, dengan mengganggu reaksi transpeptidasi dalam dinding sel bakteri Deck & Winston, 2015).

(1) Klasifikasi

a. Penisilin (misalnya, penisilin G)

Penisilin golongan ini paling aktif melawan bakteri gram positif, kokus gram negatif, dan anaerob yang tidak memproduksi enzim β-laktamase. Akan tetapi, penisilin ini mempunyai aktivitas rendah terhadap batang gram negatif dan rentan terhidrolisis oleh enzim β-laktamase. Penisilin G tidak stabil dalam keadaan asam sehingga digunakan secara intramuskular atau intravena (Neal, 2012; Deck & Winston, 2015).

b. Antistafilokokal penisilin (misalnya, Nafsilin)

Penisilin golongan ini resisten terhadap stafilokokal β-laktamase. Aktif terhadap stafilokokus dan streptokokus tetapi tidak aktif melawan enterokokus, bakteri anaerob dan kokus gram negatif (Deck & Winston, 2015).

c. Penisilin spektrum luas (misalnya, Ampisilin dan Penisilin antipseudomonal)

Penisilin golongan ini memiliki spektrum yang sama dengan golongan penisilin, lebih aktif terhadap bakteri gram negatif tetapi relatif rentan terhadap hidrolisis oleh enzim β-laktamase (Deck & Winston, 2015). (2) Mekanisme Kerja

Mekanisme kerjanya dengan mencegah ikatan silang ( cross-linkage) antara rantai lurus polimer peptidoglikan yang menyusun dinding

(52)

β-laktam memiliki struktur yang analog dengan substrat D-Alanil-D-Alanin bakteri dan terikat kovalen pada sisi aktif oleh Penicillin-binding proteins

(PBPs). Setelah antibiotika β-laktam terikat pada PBP, reaksi transpeptidase bakteri terhambat, sintesis peptidoglikan terhenti dan sel bakteri akan mati (Deck & Winston, 2015).

(3) Farmakokinetika

Absorbsi obat secara peroral berbeda-beda pada masing-masing penisilin, tergantung pada stabilitas terhadap asam dan ikatan protein. Absorbsi nafsilin pada saluran cerna tidak teratur, sehingga tidak cocok untuk pemberian peroral. Dikloksasilin, ampisilin, dan amoksisilin stabil terhadap asam dan relatif diabsorbsi dengan baik, menghasilkan konsentrasi serum dalam kisaran 4-8 mcg/ml setelah dosis oral 500 mg. Absorpsi sebagian besar penisilin oral (kecuali amoksisilin) terganggu oleh makanan sehingga harus diberikan setidaknya 1-2 jam sebelum atau sesudah makan. Absorpsi pada pemberian parenteral terjadi secara utuh dan cepat. Pemberian secara intravena lebih dipilih daripada rute intramuskular karena iritasi dan nyeri lokal dari injeksi intramuskular dosis besar (Deck & Winston, 2015).

(53)

penisilin berspektrum luas diekskresi lebih lambat daripada penisilin G dan mempunyai waktu paruh 1 jam (Deck & Winston, 2015).

(4) Efek Samping

Penisilin umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan tidak memiliki efek samping. Sebagian besar efek samping yang serius berhubungan dengan hipersensitivitas. Determinan antigenik adalah produk degradasi penisilin, terutama asam penisiloat dan produk dari hidrolisis yang terikat pada protein host. Ruam kulit dan demam dapat terjadi. Keadaan yang lebih serius adalah syok anafilaksis akut, yang meskipun jarang dapat berakibat fatal. Ketika diberikan secara oral, penisilin, terutama yang berspektrum luas, akan megganggu flora normal usus. Hal tersebut dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal (Rang et al., 2012).

Tabel II.6 Antibiotika Penisilin untuk Terapi Pneumonia (McEvoy, 2011) Antibiotika Dosis dan Klirens Kreatinin

Amoksisilin  Dosis: oral 875 mg tiap 12 jam atau 500 mg tiap 8 jam.

 Adjustment dosis:

- ClCR 10-30: 250 atau 500mg/12jam - ClCR <10: 250 atau 500mg/24jam Ampisilin  Dosis: oral 250 mg 4 kali sehari Dikloksasilin  Dosis oral :

(54)

Antibiotika Dosis dan Klirens Kreatinin Oksasilin  Dosis IV atau IM :

Pada infeksi ringan/sedang 250-500 mg setiap 4-6 jam. Pada infeksi berat 1 g setiap 4-4-6 jam  Adjusment dosis :

 ClCR<10 perlu dilakukan adjusment dosis dan frekuensi sesuai dengan kerusakan ginjal

2.4.1.2 Sefalosporin

Sefalosporin terbagi dalam empat generasi, berdasarkan spektrum antibakterinya. Sefalosporin generasi pertama lebih aktif terhadap bakteri gram positif dan generasi selanjutnya lebih sensitif terhadap bakteri gram negatif (Deck & Winston, 2015).

(1) Klasifikasi

a. Sefalosporin Generasi Pertama

Yang termasuk dalam generasi ini adalah sefadroksil, sefazolin, sefaleksin, sefalothin, sefapirin, dan sefradin. Obat-obat ini sangat aktif terhadap bakteri gram positif kokus seperti pneumokokus, stafilokokus dan streptokokus. Sefalosporin tidak aktif terhadap MRSA, Esherichia coli, Klebsiella pneumonia, dan Proteus mirabilis sering peka, tetapi aktivitas

terhadap Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter, Serratia mercescent, Citrobacter, dan Acinobacter lemah (Deck & Winston, 2015).

b. Sefalosporin Generasi Kedua

(55)

memiliki aktivitas terhadap bakteri anaerob. Generasi ini bersifat lebih aktif terhadap bakteri gram negatif dibanding generasi pertama dan mempunyai aktivitas terhadap bakteri anaerob. Sefuroksim dapat digunakan untuk terapi pneumonia komunitas karena sefuroksim aktif terhadap β-laktamase yang diproduksi oleh Klebsiella pneumonia, Haemophylus influenza, dan Penicillin Resistant Pneumococci (Deck & Winston, 2015).

c. Sefalosporin Generasi Ketiga

Yang termasuk dalam generasi ini adalah sefoperazon, sefotaksim, seftazidim, seftrizoksim, seftriakson, sefiksim, sefpodoksim, proksetil, sefdinir, sefditoren pivoksil, seftibuten, dan moksalaktam. Sefalosporin generasi ketiga mempunyai spektrum yang lebih luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif dibandingkan dengan sefalosporin generasi kedua. Beberapa dari golongan ini dapat menembus blood brain barrier.

Seftazidim dan sefoperazon merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga yang aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa (Deck & Winston,

2015). Seftazidim memiliki aktivitas yang sangat baik terhadap Pseudomonas dan bakteri gram negatif lainnya. Seftazidim lebih aktif secara in vitro terhadap Pseudomonas daripada piperasilin. Seftriakson memiliki aktivitas in vitro yang mirip dengan seftrizoksim dan sefotaksim (Petri and Jr, 2011).

d. Sefalosporin Generasi Keempat

(56)

aktivitas yang baik terhadap Pseudomonas aeruginosa, Enterobacteriaceae, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumoniae. Sefepim sangat

aktif terhadap Haemophilus dan Neisseria. Tidak seperti seftazidim,

sebagaimana sefepim memiliki aktivitas yang baik terhadap sebagian besar strain Penicillin Resistant Streptococci, dan mungkin digunakan untuk

pengobatan infeksi Enterobacter (Deck & Winston, 2015). (2) Mekanisme Kerja

Sefalosporin memiliki mekanisme dan aktivitas farmakologi yang sama dengan penisilin. Sefalosporin lebih stabil terhadap enzim β-laktamase dan memiliki spektrum antibakteri yang lebih luas, namun sefalosporin tidak aktif terhadap enterokokus dan Listeria monocytogenes (Neal, 2012;

Deck & Winston, 2015). (3) Efek Samping

Reaksi hipersensitivitas, sangat mirip dengan reaksi terhadap penisilin, dan mungkin terjadicross sensitivity. Sekitar 10% dari individu

hipersensitiv terhadap penisilinakan memiliki reaksi alergi terhadap sefalosporin. Nefrotoksisitastelah dilaporkan (terutama sefradine), seperti

drug-induced alcohol intolerance.Diare umum terjadi dandapat disebabkan

(57)

Tabel II.7 Antibiotika Sefalosporin untuk Terapi Pneumonia (McEvoy, 2011)

Antibiotika Dosis dan Klirens Kreatinin Sefotaksim  Dosis: IV atau IM 1 g setiap 6-8 jam

 Adjustment dosis (IV): - ClCR ≥20 : 1-2g/8jam - ClCR <20 : 0,5-1g/8jam

Sefepim  Dosis: IV 1-2 g tiap 12 jam selama 10 hari  Adjustment dosis:

- ClCR 30-60 : 500mg/24jam (dosis awal 500mg); 1g/24jam (dosis awal 1g); 2g/24jam (dosis awal 2g)

- ClCR 11-29 : 500mg/24jam (dosis awal 500mg); 500mg/24jam (dosis awal 1g); 1g/24jam (dosis awal 2g)

- ClCR <11 : 250mg/24jam (dosis awal 500mg); 250mg/24jam (dosis awal 1g); 500mg/24jam (dosis awal 2g)

Seftazidim  Dosis: 0,5-1 g tiap 8 jam

 Adjustment dosis: ClCR ≤50mL/menit dosis inisial 1 g dan dilanjutkan

- ClCR 31-50 : 1g/12jam - ClCR 16-30 : 1g/24jam - ClCR 6-15: 500mg/24jam - ClCR <5: 500mg/48jam

(58)

2.4.1.3 Golongan β-laktam lain

a. Karbapenem (misalnya, meropenem, imipenem dan ertapenem)

Mengandung cincin β-laktam yang berfusi dan sistem cincin lima anggota yang berbeda dengan penisilin karena tidak jenuh dan mengandung atom karbon sebagai pengganti atom sulfur. Golongan ini mempunyai aktivitas spektrum luas dibandingkan dengan sebagian besar antibiotika β-laktam lainnya (Petri and Jr, 2011).

Imipenem memiliki spektrum yang luas, aktif terhadap banyak basil gram negatif, termasuk Pseudomonas aeruginosa, bakteri gram positif

dan anaerob. Resisten terhadap sebagian besar laktamase kecuali metalolaktamase. Imipenem diinaktivasi oleh dehidropeptidase dalam tubuli ginjal sehingga konsentrasi dalam urin rendah. Dalam penggunaan klinik, imipenem digunakan bersama dengan inhibitor dehidropeptidase renal, yakni cilastatin (Petri and Jr, 2011).

Meropenem memiliki aktivitas in vitro mirip dengan imipenem, dengan aktivitas Pseudomonas aeruginosa tahan imipenem tetapi lebih aktif terhadap bakteri aerob gram negatif, lebih lemah terhadap bakteri gram positif. Sangat resisten terhadap enzim β-laktamase. Penggunaan dengan

meropenem menunjukkan efek terapetik yang sebanding dengan imipenem. Ertapenem lebih lemah daripada imipenem dan meropenem dalam aktifitasnya melawan Pseudomonas aeruginosa dan jenis acinetobakter

(59)

Tabel II.8 Antibiotika Karbapenem untuk Terapi Pneumonia (McEvoy, 2011)

Antibiotika Dosis dan Klirens Kreatinin

Imipenem-Cilastatin

 Dosis: IM 500 atau 750 tiap 12 jam, max 1500mg/hari

 Adjusment dosis : ClCR<20 perlu dilakukan adjusment dosis dan frekuensi sesuai dengan kerusakan ginjal

Meropenem  Dosis: 1 g tiap 8 jam  Adjustment dosis:

- ClCR >50: 1g/8jam - ClCR 26-50: 1g/12jam - ClCR 10-25: 500mg/12jam - ClCR <10: 500mg/24jam

b. Monobaktam

Obat yang memiliki cincin β-laktam monosiklik. Golongan ini relatif resisten terhadap enzim β-laktamase dan aktif terhadap batang gram negatif. Tidak aktif terhadap bakteri gram positif atau anaerob. Aztreonam adalah satu-satunya mononaktam yang tersedia di USA dan memiliki spektrum antibakteri yang menyerupai aminoglikosida. Pasien yang alergi terhadap penisilin tidak memberikan reaksi alergi terhadap aztreonam (Neal, 2012; Deck & Winston, 2015). Aztreonam hanya memiliki aktivitas terhadap bakteri gram negatif, tidak mempunyai aktivitas terhadap bakteri gram positif dan bakteri anaerob. Akan tetapi, aktivitas terhadap Enterobacteriaceae sangat baik, seperti pada Pseudomonas aeruginosa.

(60)

puncak aztreonam pada plasma rata-rata mendekati 50 μg/mL setelah dosis 1 g intramuskular (Petri and Jr, 2011).

c. β-laktamase inhibitor (misalnya, asam klavulanat, sulbaktam dan tazobaktam)

Golongan ini memiliki struktur yang menyerupai molekul β-laktam tetapi mempunyai efek antibakterinya yang sangat lemah. Merupakan inhibitor yang kuat dan bisa melindungi antibiotika golongan penisilin terhadap inaktivasi oleh enzim β-laktamase. Kombinasi penisilin-β-laktamase inhibitor diindikasikan untuk pengobatan empiris untuk infeksi akibat patogen dan infeksi gabungan antara aerob dan anaerob, misalnya pada keadaan infeksi intraabdominal (Deck & Winston, 2015).

Tabel II.9 Antibiotika β-laktamase Inhibitor untuk Terapi Pneumonia (McEvoy, 2011)

Antibiotika Dosis dan Klirens Kreatinin Amoksisilin -

klavulanat

 Dosis oral : 500 mg setiap 12 jam atau 250 mg setiap 8 jam. Untuk infeksi berat 875 mg setiap 12 jam atau 500 mg setiap 8 jam

 Adjusment dosis :

- ClCR 10-30 : 250-500 mg setiap 12 jam - ClCR<10: 250-500 mg setiap 24 jam Ampisilin -

Sulbaktam

 Dosis IV atau IM : 1.5 g (1 g ampisilindan0.5 g sulbaktam) hingga 3g (2g ampisilin dan 1g sulbaktam) diberikan secara IV setiap 6 jam  Adjusment dosis :

(61)

sulbaktam) setiap 6-8 jam.

- ClCR 15-29 : 1.5 g (1 g ampisilin dan 0.5 g sulbaktam) hingga 3g (2g ampisilin dan 1g sulbaktam) setiap 12-24 jam

Piperasilin - tazobaktam

 Dosis : IV 3.375g (3 g piperacillin dan 0.375 g tazobaktam) setiap 6 jam selama 7-10 hari. Nosokomial Pneumonia : IV 4.5g (4g piperasilin dan 0.5g tazobaktam) setiap 6 jam selama 7-14 hari; dapat dikombonasi dengan aminoglikosida.  Adjusment dosis :

- ClCR 20-40 : 2.25 g setiap 6 jam - ClCR <20 : 2.25 g setiap 8 jam

2.4.1.4 Glikopeptida (1) Mekanisme kerja

(62)

(2) Farmakokinetika

Vankomisin kurang diabsorbsi di saluran cerna dan diberikan per oral hanya untuk terapi enterokolitis akibat C. difficile yang disebabkan oleh penggunaan antibiotika berlebihan. Dosis parenteral harus diberikan secara intravena (500 mg tiap 6 jam atau 1 g tiap 12 jam). Infus intravena selama 1 jam dalam dosis 1 g menghasilkan kadar dalam darah sebesar 15-30 mcg/mL selama 1-2 jam. Obat ini didistribusikan secara luas dalam tubuh. Obat ini 90% diekskresikan melalui filtrasi glomerulus. Pada keadaan insufisiensi ginjal, dapat terjadi akumulasi vankomisin yang nyata (Deck & Winston, 2015).

(3) Efek Samping

Termasuk demam, ruam dan flebitis lokaldi tempat penyuntikan. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas dapat terjadi, dan reaksi hipersensitivitas kadang-kadang muncul (Rang et al., 2012).

Tabel II.10 Antibiotika Glikopeptida untuk Terapi Pneumonia (McEvoy, 2011)

Antibiotika Dosis dan Klirens Kreatinin

Vankomisin  Dosis IV : 500 mg setiap 6 jam atau 1 g setiap 12 jam

 Adjusment dosis :

(63)

2.4.2 Menghambat Sintesis Protein Bakteri 2.4.2.1 Aminoglikosida

(1) Mekanisme Kerja

Mekanisme kerjanya adalah aminoglikosida berikatan dengan reseptor pada subunit 30S protein ribosom bakteri. Sintesis protein ribosom dihambat oleh aminoglikosida dihambat melalui tiga cara yaitu menganggu kompleks inisiasi pembentukan peptida, menyebabkan kesalahan pembacaan mRNA yang menyebabkan penggabungan asam amino yang salah ke dalam peptida, dan menguraikan polisom menjadi monosom yang tidak berfungsi (Deck & Winston, 2015). Aminoglikosida bersifat bakterisida, aktif terhadap banyak bakteri gram negatif dan beberapa bakteri gram positif (Neal, 2012).

(2) Farmakokinetika

(64)

Tabel II.11 Antibiotika Aminoglikosida untuk Terapi Pneumonia (McEvoy, 2011)

Antibiotika Dosis dan Klirens Kreatinin

Gentamisin  Dosis: IM/IV 3-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi  Adjustment dosis :

- ClCR >60: 7mg/kg/hari - ClCR 30-60: 7mg/kg/36jam Amikasin  Dosis: IV 20 mg/kg/hari

 Adjustment dosis:

- ClCR >60: 20 mg/kg/hari - ClCR 30-60: 20 mg/kg/36jam

2.4.2.2 Tetrasiklin (1) Mekanisme Kerja

Mekanisme kerjanya adalah menghambat ikatan antara tRNA dan asam amino. Bersifat bakteriostatik dan memiliki spektrum antibakteri yang luas. Tetrasiklin berikatan secara reversibel pada subunit 30S ribosom bakteri, mencegah ikatan aminoasil-tRNA pada lokasi reseptor di kompleks mRNA ribosom yang mencegah penambahan asam amino ke peptida yang sedang terbentuk. Tetrasiklin bekerja aktif terhadap banyak bakteri gram positif, gram negatif, Chlamydia (uretritis non spesifik, trakoma,

psittakosis), rickettsia (Q-fever), mikoplasma, dan protozoa (Neal, 2012).

Doksisiklin, minosiklin, dan tigesiklin memiliki ketahanan resistensi yang lebih baik dibanding tetrasiklin lainnya (Deck & Winston, 2015).

(65)

Absorpsi doksisiklin setelah pemberian peroral adalah 95-100%. Tigesiklin oral memiliki absorpsi yang buruk maka harus diberikan melalui rute intravena. Absorpsi tetrasiklin terganggu oleh adanya makanan (kecuali doksisiklin dan minosiklin), produk susu, antasid, dan pH alkali (Deck & Winston, 2015). Dosis pemberian tetrasiklin 1-2 g sehari dalam 2-4 dosis terbagi. Durasi pengobatan biasanya 1-4 minggu (McEvoy, 2011).

(3) Efek Samping

Efek yang tidak diinginkan yang paling umum adalah gangguan saluran pencernaan (mual, muntah, dan diare). Efek ini disebabkan oleh iritasi lokal langsung di saluran cerna dan dapat ditangani degan memberikan obat bersama dengan makanan. Selain itu, tetrasiklin juga dapat merubah flora normal usus, karena golongan ini merupakan chelating agent Ca2+ , tetrasiklin dapat terdeposit pada tulang dan gigi, menyebabkan

perubahan warna dan kadang-kadang hipoplasia pada gigi dan deformitas tulang. Golongan ini sebaiknya tidak diberikan kepada anak-anak, wanita hamil atau ibu menyusui (Rang et al., 2012).

Tabel II.12 Antibiotika Tetrasiklin Untuk Terapi Pneumonia (McEvoy, 2011)

Antibiotika Dosis

Tigesiklin  Dosis inisial 100 mg, kemudian dilanjutkan dengan 50 mg setiap 12 jam, selama 5-14 hari Doksisiklin  Dosis oral : 100 mg setiap 12 jam pada hari

pertama diikuti 100 mg setiap 12-24 jam.  Dosis IV : 200 mg pada hari pertama diikuti

(66)

2.4.2.3 Makrolida

Makrolidaadalah sekelompok senyawa yang saling terkait erat dan memiliki ciri khas adanya cincin lakton makrosiklik (biasanya mengandung 14 atau 16 atom) tempat melekatnya gula deoksi (Deck & Winston, 2015). Bisa digunakan sebagai alternatif untuk penderita yang sensitif terhadap penisilin, terutama infeksi yang disebabkan oleh streptokokus, stafilokokus, pneumokokus, dan klostridia (Neal, 2012). Obat prototipe golongan ini, eritromisin, yang tersusun dari 2 gugus gula yang melekat pada cincin lakton 14-atom. Klaritromisin dan azitromisin adalah turunan semisintesis eritromisin (Deck & Winston, 2015).

Klaritromisin diturunkan dari eritromisin melalui penambahan satu gugus metil dan memiliki stabilitas asam serta absorpsi oral lebih baik daripada eritromisin. Mekanisme kerjanya sama dengan eritromisin, yakni inhibitoris atau bakterisidal. Inhibisi sintesis protein terjadi melalui ikatan dengan RNA ribosom 50S, yang mencegah reaksi translokasi aminoasil dan pembentukan kompleks inisiasi. Klaritromisin dan eritromisin hampir identik dalam hal aktivitas. Streptokokus dan stafilokokus yang resisten terhadap eritromisin juga resisten terhadap klaritromisin (Deck & Winston, 2015).

(67)

T. gondii. Azitromisin sangat aktif terhadap klamidia (Deck & Winston,

2015).

Tabel II.13 Antibiotika Makrolida untuk Terapi Pneumonia (McEvoy, 2011)

Antibiotika Dosis

Klaritromisin  Dosis:

- Tablet atau suspensi oral 250 mg tiap 12 jam selama 7 hari untuk H. influenza atau 7-14

hari untuk S. pneumoniae, C. pneumoniae

atau M. pneumonia

- Tablet extended-release 1 g 1 kali sehari

selama 7 hari Azitromisin  Dosis:

- Tablet atau suspensi oral 500 mg dosis tunggal dalam hari pertama, diikuti 250 mg tiap hari untuk hari ke-2 sampai ke-5 - Suspensi oral lepas lambat 2 g dosis tunggal - IV kemudian oral: inisiasi dengan IV 500

mg sekali sehari untuk ≥ 2 hari, kemudian sulih terapi oral 500 mg sekali sehari sampai lengkap 7-10 hari terapi.

2.4.2.4 Oksazolidinon

(68)

streptokokus akan bersifat bakterisidal. Linezolid menghambat sintesis protein dengan mencegah pembentukan kompleks ribosom yang mengawali sintesis protein. Lokasi ikatannya yang unik yaitu pada RNA ribosomal 23S pada subunit 50S, menyebabkan tidak memiliki resistensi silang dengan obat golongan lainnya (Deck & Winston, 2015).

Bioavailabilitas linezolid setelah pemberian peroral adalah 100% dan waktu paruhnya 4-6 jam. Obat ini dapat menjadi pilihan untuk terapi infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif yang resisten terhadap banyak obat. Dosis oral linezolid yakni 400 mg setiap 12 jam selama 10-14 hari (McEvoy, 2011). Efek samping yang tidak diinginkan termasuk trombositopenia, diare, mual, dan pusing (Rang et al., 2012).

2.4.3 Menghambat Sintesis RNA Bakteri 2.4.3.1 Sulfonamida

(1) Mekanisme Kerja

Mekanisme kerjanya dengan menghambat sintesis asam folat bakteri secara reversibel. Beberapa jenis bakteri membutuhkan asam para-amino benzoat (p-amino benzoic acid/PABA) dari luar untuk membentuk

(69)

Chlamydia trachomatis dan beberapa jenis protozoa (Neal, 2012; Deck &

Winston, 2015).

(2) Farmakokinetika

Kebanyakan sulfonamida diberikan secara oral (kecuali sulfalazin) dan diserap dengan baik dan terdistribusi secara luas ditubuh. Obat dapat masuk ke dalam inflammatory exudates dan menembus plasenta dan sawar

darah otak. Golongan ini dimetabolisme terutama di hati dan produk utamanya adalah turunan asetat yang tidak memiliki aktivitas antibakteri (Rang et al., 2012).

Kombinasi sulfonamida dengan penghambat dihidro folat reduktase (trimetoprim) menghasilkan aktivitas yang sinergik karena menghambat sekuensial dari asam folat. Sulfonamida jarang digunakan sebagai terapi tunggal, biasanya dalam kombinasi tetap dengan trimetroprim (sulfametoksazol-trimetroprim) yang dapat diberikan secara intravena. Obat ini aktif terhadap S.aureus dan MRSA (Deck & Winston, 2015).

(4) Efek Samping

Efek samping serius yang memerlukan terapi adalah hepatitis, reaksi hipersensitivitas (ruam termasuk Sindrom Stevens-Johnson dan

necrolysis toksik epidermal , demam, reaksi anafilaktik, depresi sumsum

Gambar

Gambar
Gambar 2.1  Bagian-Bagian Saluran Pernafasan (Saladin, 2014)
Gambar 2.2 Bagian-bagian Alveolus (Saladin, 2014)
Gambar 2.3 Mekanisme Pertahanan Paru (Mc Phee, 2006) Keterangan :  A. Pertahanan imun         B
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis bahan hukum yang digunakan dalam peneltian ini adalah analisis data kualitatif yaitu tidak menggunakan angka-angka (tidak menggunakan rumus matematika), tetapi

Terpadu (KPT) Melaksanakan penyederhanaan perizinan dan  non perizinan dari sisi jumlah, persyaratan, 

bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 dan Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 1 Tahun 2004, penetapan hasil seleksi calon

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 108 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama secara terbuka

Dengan berlakunya Peraturan ini ketentuan mengenai besaran honorarium pada Lampiran I dan II Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 034/U/2003, Surat

Bantuan Keuangan Khusus yang selanjutnya disingkat BKK adalah bantuan keuangan dari Pemerintah Kabupaten Bantul kepada Desa yang diberikan melalui APBD

[r]

Untuk  memperoleh  NUPTK  bagi  guru  dan  tenaga  kependidikan  baik  sekolah  formal  maupun