• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN LEBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN LEBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 17 TAHUN 2008

TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN LEBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI LEBAK,

Menimbang : a. bahwa untuk menyesuaikan program pembangunan yang akan dilaksanakan dalam kaitannya dengan penggunaan lahan, maka dipandang perlu merubah Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 31 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak ;

b. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Lebak dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan perlu disusun Rencana Tata Ruang Wilayah ;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan b tersebut di atas, dipandang perlu ditetapkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lebak ;

Mengingat : 1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1997 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulang Bawang dan Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3667);

3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725) ;

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831) ;

5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) ;

6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419) ; 7. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran

(2)

Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3427) ;

8. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469) ;

9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470) ;

10. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480) ;

11. Und an g-U nda ng No m or 23 Ta hu n 1 99 7 te ntan g Pe ng el ol aan Lin gku ng an Hi du p (L e mb ara n N ega ra Rep ub lik Ind one sia Ta hu n 199 7 No m or 68 , T a mb aha n Le m bar an Ne ga r a Rep ub lik In do nes ia N o mor 369 9) ;

12. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor .3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401) ;

13. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377)) ;

14. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389) ;

15. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411) ;

16. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421) ; 17. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) ;

18. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) ;

19. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438) ;

(3)

20. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444) ;

21. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33) ;

22. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258) ;

23. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1985 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3293) ;

24. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838) ;

25. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593) ;

26. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten / Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737) ;

27. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48) ;

28. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004 – 2009 ;

29. Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 36 Tahun 2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten (Lembaran Daerah Provinsi Banten Tahun 2002 Nomor 37 Seri E) ;

30. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak Nomor 12 Tahun 1988 tentang Garis Sempadan Pantai Dalam Daerah Tingkatt II Lebak (Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak Tahun 1988 Nomor 8 Seri B) ; 31. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak Nomor 2 Tahun 1989

tentang Garis Sempadan Dalam Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak (Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak Tahun 1989 Nomor 7 Seri B) ;

32. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan Partisipasi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pengelolaan Pembangunan di Kabupaten Lebak ( Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2004 Nomor 6 Seri E ) ;

(4)

Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Lebak (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2005 Nomor 7 Seri D) ;

34. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2005 tentang Rencana Umum Tata Ruang Ibu Kota Kabupaten Lebak (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2005 Nomor 12 Seri E) ;

35. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2006 Nomor 6 Seri E) ;

36. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tata Cara dan Teknik Penyusunan Produk Hukum Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2006 Nomor 13) ;

37. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 17 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2006 Nomor 17) ;

38. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2007 tentang Penetapan Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Kabupaten Lebak (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2007 Nomor 8) ;

39. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lebak (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2007 Nomor 12) ;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKY AT DAERAH KABUPATEN LEBAK dan

BUPATI LEBAK MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN LEBAK.

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Lebak.

2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Lebak. 3. Bupati adalah Bupati Lebak.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lebak.

(5)

5. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

6. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

7. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

8. Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

9. Penyelenggaraan Penataan Ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.

10. Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.

11. Pemanfaatan Ruang adalah rangkaian program dan kegiatan pelaksanaan pembangurian yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan di dalam rencana tata ruang untuk membentuk ruang.

12. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.

13. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.

14. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.

15. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten adalah Rencana Penataan Ruang Wilayah Kabupaten yang di dalamnya meliputi :

1) Rencara Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang; 2) Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung dan Budidaya;

3) Rencana Pengelolaan Kawasan Perdesaan, Perkotaan dan Tertentu; 4) Rencana Sistem Prasarana Wilayah;

5) Rencana Penatagunaan Tanah, Air, Udara, Hutan dan Sumber Daya Alam lainnya;

16. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.

17. Kawasan Budi Daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan.

18. Orde adalah kedudukan dan tingkatan suatu wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan wilayah yang berperan sebagai pusat pelayanan wilayah dalam skala pelayanan Kabupaten, pelayanan Kecamatan maupun pelayanan local yang digunakan untuk rencana pengembangan lebih lanjut yang ditetapkan berdasarkan criteria tertentu.

19. Wilayah Pengembangan (WP) adalah wilayah yang memiliki keterkaitan yang kuat antar bagian wilayah atau kawasan yang ada di dalamnya, yang akan dikembangkan menjadi suatu wilayah dengan fungsi tertentu.

20. Wilayah Pengembangan Utama merupakan wilayah yang memiliki aglomerasi (pengelompokan) kegiatan perkotaan dengan peran sebagai pusat dan pendorong pertumbuhan wilayah lainnya. 21. Wilayah Pengembangan Penunjang merupakan wilayah yang berperan sebagai daerah yang

mendukung pertumbuhan wilayah pengembangan utama.

22. Kawasan Strategis adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap lingkup ekonomi, sosial, budaya dan atau lingkungan.

23. Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah.

24. Kawasan resapan air adalah daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi yang berguna sebagai sumber air.

25. Taman Nasional ialah kawasan pelestarian alam yang didalamnya terdapat jenis-jenis tumbuhan, satwa atau ekosistem yang khas, yang dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan rekreasi.

26. Kawasan cagar budaya adalah kawasan yang merupakan lokasi atau bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi maupun bentukan geologi alami yang khas.

(6)

27. Kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam.

28. Kawasan pariwisata adalah kawasan yang memiliki potensi daya tarik wisata, baik secara alamiah maupun binaan manusia, untuk memenuhi kebutuhan rekreasi, olah raga dan pendidikan, serta secara teknik dapat dikembangkan kegiatan budi daya.

BAB II

ASAS, TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH DAERAH Bagian Kesatu

Asas Pasal 2

Penataan Ruang di Daerah diselenggarakan berdasarkan asas : 1. keterpaduan ;

2. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan ; 3. keberlanjutan ;

4. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan ; 5. keterbukaan ;

6. kebersamaan dan kemitraan ; 7. perlindungan kepentingan umum ; 8. kepastian hukum dan keadilan ; dan 9. akuntabilitas.

Bagian Kedua Tujuan Pasal 3

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah Daerah yang memenuhi kebutuhan pembangunan dengan senantiasa berwawasan lingkungan, efisien dalam alokasi, bersinergi dan dapat dijadikan acuan dalam penyusunan program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. :

Bagian Ketiga

Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Pasal 4

(1) Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ditetapkan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah.

(2) Kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten meliputi kebijakan pengembangan struktur ruang dan pola ruang.

Pasal 5

Kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang wilayah Kabupaten meliputi : 1. Pemantapan peran Kabupaten Lebak dalam konteks pengembangan Propinsi Banten;

(7)

2. Peningkatan aksesibilitas antar kota-kota regional terutama menuju Rangkasbitung dan Malingping dalam lingkup inter-regional melalui pengembangan sistem prasarana transportasi darat;

3. Pemenuhan infrastruktur pelayanan kebutuhan dasar masyarakat yang sesuai dengan kondisi dan skala pelayanannya.

Pasal 6

Kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang wilayah Kabupaten meliputi : 1. Kebijakan dan strategi pengembangan kawasan lindung;

2. Kebijakan dan strategi pengembangan kawasan budidaya. Pasal 7

Strategi Pengembangan Kawasan Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi : 1. Mempertahankan luas kawasan lindung yang telah ada;

2. Memantapkan fungsi kawasan lindung dengan mengembangkan kawasan penyangga/buffer di antara kawasan lindung dan kawasan budidaya;

3. Menetapkan kawasan berfungsi lindung yang juga mencakup perlindungan terhadap kawasan rawan bencana;

4. Meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dan LSM dalam pemanfaatan dan pengelolaan kawasan;

5. Mengembangkan masyarakat sekitar kawasan lindung dengan tujuan meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat melalui pelibatan dalam konservasi dan pembangunan serta pembagian keuntungan yang adil, termasuk dengan mengakui hukum adat atas pemanfaatan sumber daya;

6. Mengadakan desentralisasi wewenang dan meletakkan tanggung jawab lebih besar dalam pengelolaan kawasan lindung pada pemerintah daerah, masyarakat, dan LSM;

7. Memilih dan menetapkan pola ekoturisme berlandaskan masyarakat dan berdasarkan daya dukung lingkungan sebagai salah satu upaya mendapatkan sumber dana bagi upaya pelestarian; 8. Mengupayakan penciptaan koordinasi antar sektor dan instansi yang berhubungan dengan upaya perlindungan dan pengelolaan kawasan lindung agar terwujud rasa memiliki dan tanggung jawab bersama;

9. Mengendalikan, Mengarahkan, Memonitoring dan Menegakkan hukum di kawasan lindung. Pasal 8

Strategi pengembangan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b

1. Memanfaatkan ruang kawasan budidaya secara optimal sesuai dengan kemampuan daya dukung lingkungan.

2. Mengendalikan pemanfaatan ruang pada kawasan budidaya agar tidak terjadi konflik antar kegiatan/sektor.

3. Menentukan prioritas dalam penataan pemanfaatan ruang antar kegiatan budidaya, sehingga akan dapat lebih terarah dan fleksibel sesuai dengan arahan pengembangan.

4. Memanfaatkan kawasan budidaya didasarkan pada pertimbangan dan keputusan lintas sektor, dengan mempertimbangkan aspek kependudukan dan pelestarian lingkungan.

5. Menentukan dan Menegaskan kriteria dan pola pengelolaan kawasan budidaya untuk menghindari konflik dan mengoptimalkan pemanfaatan ruang.

(8)

6. Mengendalikan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang agar sesuai dengan rencana pembangunan dan rencana tata ruang.

7. Mengendalikan fungsi kawasan sesuai dengan rencana serta pembatasan intensitas kegiatan agar tidak melampaui daya dukung lingkungan.

BAB III

RENCANA STRUKTUR RUANG Bagian Kesatu

Umum Pasal 9

(1) Perencanaan struktur ruang sebagai kegiatan penyusunan rencana tata ruang menitikberatkan pada pengaturan hirarki terhadap pusat-pusat permukiman dan pusat-pusat pelayanan barang dan jasa melalui keterkaitan sistem prasarana.

(2) Perencanaan struktur ruang di Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Pengembangan Sistem Perwilayahan;

b. Pengembangan Sistem Pemukiman; c. Pengembangan Sistem Transportasi; d. Pengembangan Prasarana Wilayah Lainnya.

(3) Peta Rencana Struktur Ruang di lampikan pada lampiran 1

Bagian Kedua

Rencana Pengembangan Sistem Perwilayahan Pasal 10

Berdasarkan intensitas kegiatan, Pengembangan struktur ruang di Daerah terbagi kedalam 2 (dua) Wilayah Pengembangan, yaitu :

1. Wilayah Pengembangan Utama (WPU); 2. Wilayah Pengembangan Penunjang (WPP).

Pasal 11

(1) Kegiatan utama pada Wilayah Pengembangan Utama diarahkan untuk kegiatan ekonomi perdagangan dan jasa, pusat pemerintahan, permukiman perkotaan, industri, pertanian, kelautan dan perikanan, serta pariwisata.

(2) WPU memiliki fungsi sebagai penggerak utama roda perekonomian Daerah, dimana dengan fungsi tersebut diharapkan akan dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap perkembangan wilayah sekitarnya.

(3) WPU berdasarkan faktor lokasi dan kelengkapan sarana maupun prasarananya berfungsi sebagai pusat koleksi dan distribusi bagi wilayah sekitarnya serta menjadikan pintu gerbang interaksi bagi daerah lainnya.

(4) Wilayah Pengembangan Utama di Daerah terdiri dari 4 Wilayah yang meliputi :

a. Wilayah Pengembangan Utama Rangkasbitung, yang meliputi Kecamatan Rangkasbitung, Kecamatan Kalanganyar, Kecamatan Cibadak dan Kecamatan Warunggunung dengan pusat

(9)

pengembangan terletak di Kota Rangkasbitung; Catt : 4 Kecamatan dan tidak ada yang mengganda

b. Wilayah Pengembangan Sajira Utama Maja, meliputi Kecamatan Maja, Kecamatan Curugbitung dan Kecamatan dengan pusat pengembangan terletak di Kota Maja;

c. Wilayah Pengembangan Utama Malingping, meliputi Kecamatan Malingping, dan Kecamatan Wanasalam, Kecamatan Cijaku dengan pusat pengembangan terletak di Kota Malingping; d. Wilayah Pengembangan Utama Bayah, meliputi Kecamatan Bayah, Kecamatan Cibeber dan

Kecamatan Cilograng dengan pusat pengembangan terletak di Kota Bayah.

Pasal 12

(1) Wilayah pengembangan penunjang berperan sebagai daerah yang mendukung pertumbuhan wilayah utama dengan dominasi kegiatan ekonomi sebagai pusat produksi pertanian, peternakan, perikanan, hutan, pertambangan dan pariwisata.

(2) Wilayah pengembangan penunjang di Kabupaten Lebak terdiri dari 5 (lima) wilayah pengembangan sebagai berikut :

a. Wilayah pengembangan penunjang Cimarga, yang meliputi Kecamatan Cimarga dan Kecamatan Cikulur dengan pusat pengembangan berada di Kota Cimarga;

b. Wilayah pengembangan penunjang Cipanas, meliputi Kecamatan Cipanas, Kecamatan Sobang, Kecamatan Lebakgedong, dan Kecamatan Muncang dengan pusat pengembangan berada di Kota Cipanas ;

c. Wilayah pengembangan penunjang Leuwidamar, meliputi Kecamatan Leuwidamar, Kecamatan Cirinten, dan Kecamatan Bojongmanik dengan pusat pengembangan terletak di Kota Leuwidamar ;

d. Wilayah pengembangan penunjang Gunungkencana, meliputi Kecamatan Gunungkencana, Kecamatan Banjarsari, dan Kecamatan Cileles dengan pusat pengembangan terletak di pusat Kecamatan Gunungkencana ;

e. Wilayah pengembangan penunjang Panggarangan, meliputi Kecamatan Panggarangan, Kecamatan Cigemblong, dan Kecamatan Cihara dengan pusat pengembangan terletak di pusat Kecamatan Panggarangan.

Bagian Ketiga

Rencana Pengembangan Sistem Permukiman Pasal 13

(1) Pengembangan Sistem Pemukiman di Daerah merupakan kesatuan sistem kota-kota yang dikembangkan saling terkait dengan tingkatan fungsi kota (hierarki kota) sebagai pusat jasa pelayanan untuk melayani perkembangan berbagai usaha jasa dan kegiatan produksi baik untuk permukiman dalam wilayahnya maupun terhadap wilayah sekitarnya.

(2) Tingkat pusat-pusat pelayanan (orde) dari sistem pusat-pusat pemukiman sebagaimana pada ayat (1) dikelompokan dalam 3 tingkatan sebagai berikut :

a. PKL untuk kota dengan fungsi sebagai pusat pertumbuhan utama di Daerah dan sebagai pusat perdagangan keluar masuk Wilayah Daerah dengan skala pelayanan regional yang diarahkan di Kota Rangkasbitung, Kota Maja, Kota Malingping dan Kota Bayah ;

b. PPK untuk pusat pertumbuhan kecamatan dengan fungsi sebagai pusat pertumbuhan penunjang dan sebagai pusat-pusat produksi, koleksi dan distribusi dengan skala pelayanan lokal serta menunjang orde di atasnya yang diarahkan di Kota Cibadak, Ibukota kecamatan-kecamatan Cipanas, Gunung Kencana, Leuwidamar dan Panggarangan ;

c. PPL untuk pusat pertumbuhan kecamatan dengan fungsi sebagai pusat-pusat produksi dengan skala pelayanan lokal serta menunjang orde di atasnya yang diarahkan di Ibukota kecamatan-kecamatan Kalanganyar, Cimarga, Curugbitung, Sajira, Wanasalam, Cijaku,

(10)

Cibeber, Cilograng, Warunggunung, Cikulur, Sobang, Lebak Gedong, Muncang, Cirinten, Bojongmanik, Banjarsari, Cileles, Cigemblong, dan Cihara.

Pasal 14

(1) Pengembangan Sistem Pemukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dibagi kedalam Sistem Permukiman Perdesaan dan Sistem Permukiman Perkotaan.

(2) Sistem permukiman perdesaan di Kabupaten Lebak merupakan pusat terkonsentrasinya penduduk dengan kelengkapan fasilitas yang cukup memadai pada suatu daerah dan cenderung berada di pusat-pusat kecamatan dengan dominasi kegiatan di bidang pertanian.

(3) Sistem permukiman perkotaan merupakan suatu pusat permukiman yang diarahkan sebagai pusat pelayanan ekonomi, pemerintahan, perdagangan dan jasa untuk memenuhi kebutuhan wilayahnya sendiri maupun wilayahnya

Bagian Keempat

Rencana Pengembangan Sistem Transportasi Pasal 15

Perencanaan sistem transportasi Daerah menitikberatkan pada :

1. Fungsi Rangkasbitung, Maja, Malingping dan Bayah sebagai pusat pengembangan utama Daerah, yang memerlukan pengaturan sistem transportasi eksternal sebagai penghubung Daerah dengan wilayah sekitarnya ;

2. Pusat-pusat kecamatan sebagai pusat koleksi dan distribusi bagi lingkup kecamatannya ;

3. Keterkaitan antara pusat-pusat pertumbuhan secara hierarkis berupa sistem transportasi internal sebagai penghubung antar pusat-pusat pertumbuhan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati berdasarkan urusan yang merupakan kewenangan Daerah.

Pasal 16

Dalam rangka Pengembangan Sistem Prasarana Transportasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 12, Strategi yang diterapkan untuk sistem transportasi di Daerah berupa :

1. Pengembangan prasarana transportasi perhubungan darat yang terdiri dari jalan raya dan kereta api dan perhubungan laut khususnya bagi kebutuhan pengembangan perikanan laut serta perhubungan udara ;

2. Pengembangan jaringan jalan raya yang menghubungkan antar wilayah utara dan selatan ; 3. Pengembangan angkutan kereta api untuk angkutan masal dan angkutan barang ;

4. Mengembangkan pelabuhan ikan dan barang. Pasal 17

Berdasrakan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 630 tahun 2009, Sistem jaringan prasarana jalan di Kabupaten Lebak meliputi :

1. Jaringan Jalan Kolektor Primer yang menghubungkan kota jenjang ke dua (hirarki II) Propinsi Banten dengan kota hirarki I Kabupaten Lebak serta jalan kolektor primer yang menghubungkan kota hirarki II Propinsi Banten dengan kota hirarki II Kabupaten Lebak, berupa :

a. Rangkasbitung - Tajur - Warunggunung - Warunginen. b. Rangkasbitung - Citeras - Kopo - Maja.

c. Rangkasbitung - Sindangmulya - Kopi - Somang - Sajira - Simpang - Cipanas - Jasinga (Bogor).

d. Picung - Banjarsari - Kerta - Malingping - Panggarangan - Bayah - Cibayawak - Ciawi - Pelabuhan Ratu (Sukabumi ).

(11)

f. Cipanas - Bujal - Ciparasi -- Citorek - Ciusul - Cirotan - Warungbanten. g. Bayah - Cibeber - Warungbanten - Pelabuhan Ratu (Sukabumi).

2. Jaringan Jalan Kolektor Sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang, baik sistem perwilayahan maupun sistem kota yang menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi sekunder II di tingkat regional/nasional dengan fungsi sekunder II di tingkat Kabupaten Lebak, atau antar hirarki II di wilayah Kabupaten Lebak seperti tertera pada lampiran Peraturan Daerah ini halaman 4 – 16.

Pasal 18

(1) Sistem jaringan rel Kereta Api di Kabupaten Lebak merupakan jalur Kereta Api lintas Jakarta – Merak dengan 3 Stasiun pemberhentian, yaitu Rangkasbitung, Citeras dan Maja.

(2) Jalur Kereta Api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilalui oleh Kereta Api penumpang dan Kereta Api khusus angkutan batubara.

Bagian Kelima

Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Sumber Daya Air Pasal 19

Pengembangan Sistem Prasarana Pengairan di Daerah diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pertanian dan non pertanian melalui pemanfaatan air permukaan maupun air tanah yang tersebar di Daerah.

Pasal 20

(1) Berdasarkan Surat Keputusan Menteri 390 Tahun 2007, Sistem Jaringan Irigasi di Kabupaten Lebak terdiri dari 398 DI yang mampu mengairi sawah seluas ± 56.389 hektar sebagaimana tercantum pada Lampiran Peraturan Daerah ini pada halaman 4 – 21.

(2) Daerah Irigasi di wilayah Kabupaten Lebak meliputi :

a. Daerah Irigasi Teknis sebanyak 15 unit dengan luas sebesae 12.150 Hektar yang terletak di Kecamatan Rangkasbitung, Cimarga, Cipanas, Malingping, Panggarangan dan Cibeber; b. Daerah Irigasi Pedesaan sebanyak 383 unit seluas ± 44.239 Hektar.

Pasal 21

(1) Perencanaan Pembangunan Kawasan Dam Karian ditujukan untuk suplai air baku bagi sebagian besar kabupaten dan kota di Provinsi Banten dan DKI Jakarta serta untuk pencegahan banjir, penyediaan air minum dan untuk kepentingan irigasi teknis di Daerah.

(2) Kawasan Rencana Pembangunan Dam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) direncanakan luas daerah genangan nya sebesar ± 1.740 Ha yang terletak di :

a. Kecamatan Sajira sebanyak 8 Desa terdiri dari :  Desa Mekarsari ;

 Desa Pajagan ;  Desa Sukajaya ;  Desa Sajira ;  Desa Sajira Mekar ;  Desa Sukarame ;  Desa Sindangsari ;  Desa Calungbungur.

b. Kecamatan Maja sebanyak 1 desa yaitu Desa Sindangmulya, c. Kecamatan Rangkasbitung sebanyak 1 desa yaitu Desa Pasirtanjung d. Kecamatan Cimarga sebanyak 1 desa yaitu Desa Tambak.

(12)

Bagian Keenam

Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Energi Pasal 22

(1) Rencana Pengembangan Sistem Prasarana Energi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan wilayah utara, tengah dan selatan, serta pengembangan energi alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi di daerah terpencil.

(2) Rencana pengembangan pembangkit dan jaringan listrik disediakan mengikuti pola jaringan jalan Kabupaten, sehingga mudah untuk membuat layanan baru ke kawasan-kawasan permukiman yang mengakses ke jalan Kabupaten tersebut.

Bagian Ketujuh

Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Energi Pasal 23

Rencana Pengembangan Sistem Prasarana Telekomunikasi diarahkan untuk mengembangkan dan mengarahkan Sistem telekomunikasi yang ada dalam menunjang pengembangan hubungan antara wilayah utara, tengah dan selatan, serta dalam mendukung upaya pengembangan perekonomian daerah.

BAB IV

RENCANA POLA RUANG Bagian Kesatu

Umum Pasal 24

Secara umum rencana pemanfaatan ruang wilayah Daerah seluas ± 304.472 ha. Dibagi menjadi 2 fungsi kawasan utama, yaitu :

1) Kawasan lindung dengan luas ± 97.226 ha (31,93 %), dan

2) Kawasan budi daya (pertanian dan non pertanian) dengan luas ± 207.246 ha (68,07 %). Bagian Kedua

Rencana Pengembangan Kawasan Lindung Pasal 25

Kawasan Lindung yang berada di Daerah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 meliputi : 1. Kawasan yang memberikan perlindungan pada kawasan bawahannya ;

2. Kawasan Perlindungan Setempat ;

3. Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya ; 4. Kawasan Rawan Bencana Alam.

(13)

Pasal 26

(1) Kawasan yang memberikan perlindungan pada kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 angka 1 meliputi :

a. Kawasan hutan lindung dengan luas ± 29.975 ha (9,84 %); b. Kawasan resapan air dengan luas ± 33.870 ha (11,12 %).

(2) Perlindungan terhadap kawasan hutan lindung dilakukan untuk memelihara dan mempertahankan kawasan hutan lindung sebagai hutan dengan tutupan vegetasi tetap dengan sebaran terdapat di Kecamatan Cipanas, Kecamatan Muncang, Kecamatan Cijaku, Kecamatan Panggarangan, Kecamatan Cibeber, dan Kecamatan Bayah.

(3) Perlindungan terhadap kawasan resapan air dilakukan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu dengan sebaran kawasan resapan air terdapat di Kecamatan Lebakgedong, Kecamatan Muncang, Kecamatan Sobang, Kecamatan Bojongmanik, Kecamatan Gunungkencana, Kecamatan Cijaku, Kecamatan Cigemblong, Kecamatan Panggarangan, Kecamatan Cibeber, dan Kecamatan Bayah.

Pasal 27

Kawasan Perlindungan Setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 angka 2 di Daerah terdiri dari : 1. Sempadan pantai dengan kriteria kawasan lindung untuk kawasan sempadan pantai adalah

daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat yang terdapat di Kecamatan Wanasalam, Malingping, Panggarangan, Cihara, Bayah dan Cilograng sepanjang sekitar 91 km; 2. Sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai

buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai yang bertujuan untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai dengan kriteria 100 meter di kiri kanan sungai besar, 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar permukiman, dan 10 -15 meter samping kiri kanan sungai di kawasan permukiman ;

3. Kawasan sekitar mata air adalah kawasan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi mata air yang dilakukan untuk melindungi mata air dari kegiatan budi daya yang dapat merusak kualitas air dan kondisi fisik kawasan sekitamya, dengan kriteria sekurang-kurangnya dengan jari-jari 200 meter di sekitar mata air.

Pasal 28

Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 angka 3 di Daerah meliputi :

1. Taman Nasional, di Daerah terletak di Kecamatan Cibeber, Muncang, Lebak Gedong, Sobang dan Cipanas dengan luas ± 16.380 ha (5,38 %) ;

2. Kawasan cagar budaya, adalah cagar budaya Masyarakat Baduy dengan luas sebesar ± 5.102 ha. Kriteria kawasan lindung untuk kawasan cagar budaya adalah tempat serta ruang di sekitar bangunan bernilai budaya situs purbakala dan kawasan dengan bentukan geologi tertentu yang mempunyai manfaat tinggi untuk pengembangan ilmu pengetahuan ;

Pasal 29

Kawasan Rawan Bencana Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 angka 4 di Daerah meliputi : 1. Kawasan Rawan Bencana Gerakan Tanah, di Daerah seluas ± 1.300 ha dengan sebaran kawasan

rawan bencana alam terdapat di Kecamatan Cipanas, Kecamatan Bayah, Kecamatan Bojongmanik, Kecamatan Muncang, Kecamatan Sobang, Kecamatan Lebakgedong, dan Kecamatan Leuwidamar ;

(14)

2. Kawasan Rawan Banjir. Kawasan rawan bencana banjir sedapat mungkin tidak dipergunakan untuk permukiman, demikian pula kegiatan lain yang dapat merusak atau mempengaruhi kelancaran sistem drainase.

3. Kawasan Rawan Gelombang Pasang yang tedapat di Kecamatan Wanasalam, Malingping, Cihara, Panggarangan, Bayah dan Cilograng.

Pasal 30

Kawasan yang berfungsi hutan yang terdiri dari kawasan hutan lindung, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar mata air, kawasan taman nasional dan kawasan cagar budaya Baduy seluas 95.922 Ha atau sekitar 31,51 % dari total luas wilayah Kabupaten Lebak.

Bagian Ketiga

Rencana Pengembangan Kawasan Budidaya Pasal 31

Kawasan yang termasuk dalam kawasan budi daya di Kabupaten Lebak meliputi : 1. Kawasan pertanian ;

2. Kawasan permukiman ;

3. Kawasan industri dan perdagangan ; 4. Kawasan pertambangan ;

5. Kawasan pariwisata ; dan 6. Kawasan Ilmu Pengetahuan.

Pasal 32

(1) Kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf a adalah kawasan dengan fungsi utama pertanian, didasarkan pada kondisi alami, manusia dan buatan.

(2) Pemanfaatan ruang untuk kawasan pertanian dikelompokkan pada peruntukan pertanian lahan basah (padi sawah dan perikanan) dan pertanian lahan kering (tanaman pangan lahan kering, tanaman keras tahunan dan peternakan).

Pasal 33

(1) Kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf b adalah kawasan di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan permukiman perkotaan maupun kawasan permukiman perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal / lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

(2) Pengelolaan kawasan permukiman diarahkan pada upaya pemanfaatan ruang yang sesuai bagi kawasan permukiman dengan menyediakan lingkungan yang sehat dan aman dari bencana alam serta dapat memberikan lingkungan hidup yang sesuai bagi pengembangan masyarakat, dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

(3) Kriteria kawasan budidaya untuk kawasan permukiman adalah kawasan yang secara teknis dapat digunakan untuk permukiman yang aman dari bahaya bencana alam maupun buatan manusia dan tersedianya sumber air baku, serta memiliki akses untuk kesempatan berusaha.

(15)

Pasal 34

(1) Kawasan industri dan perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf c adalah suatu wilayah yang memiliki potensi untuk tumbuhnya pengelompokan kegiatan industri dan perdagangan.

(2) Pengelolaan zona industri dilakukan dengan memanfaatkan potensi zona industri untuk meningkatkan nilai tambah pemanfaatan ruang dalam memenuhi kebutuhan ruang bagi pengembangan kegiatan industri, dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian fungsi lingkungan hidup.

(3) Kriteria kawasan budi daya untuk zona industri adalah wilayah yang secara teknis dapat digunakan untuk kegiatan industri dan tersedianya sumber air baku yang cukup, serta tidak mengganggu kelestarian fungsi lingkungan hidup.

(4) Rencana Penetapan Kawasan Industri dan Perdagangan di Daerah terdapat di Kecamatan Maja, Kecamatan Rangkasbitung dan Kecamatan Bayah.

(5) Potensi kawasan industri terkait dengan kawasan pertambangan berada di Kecamatan Cilograng, Kecamatan Bayah, Kecamatan Bojongmanik, Kecamatan Cirinten, dan Kecamatan Cibeber.

Pasal 35

(1) Kawasan pertambangan adalah kawasan yang memiliki potensi mineral yang apabila dilakukan eksplorasi sumber daya mineral dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat, khususnya masyarakat sekitarnya, serta secara teknis dapat dilakukan kegiatan budi daya pertambangan dan tidak mengganggu kelestarian lingkungan alam / buatan.

(2) Pembudidayaan kawasan pertambangan dilakukan untuk memanfaatkan potensi sumber daya mineral, energi dan bahan galian lainnya di kawasan pertambangan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan tetap memelihara sumber daya tersebut sebagai cadangan pembangunan yang berkelanjutan dan tetap memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian fungsi lingkungan hidup.

(3) Kriteria kawasan budidaya untuk kawasan pertambangan adalah kawasan yang memiliki potensi bahan tambang bernilai tinggi dan secara teknis dapat digunakan untuk pemusatan kegiatan pertambangan, serta tidak mengganggu kelestarian fungsi lingkungan hidup.

(4) Rencana kawasan pertambangan tersebar di Kecamatan Rangkasbitung, Cimarga, Cibadak, Sajira, Cipanas, Lebakgedong, Muncang, Leuwidamar, Bojongmanik, Cirinten, Gunungkencana, Banjarsari, Malingping, Cijaku, Cigemblong, Cihara, Panggarangan, Bayah, Cilograng, Cibeber, Kalanganyar, Curugbitung , Cileles, Cikulur, dan Sobang.

(5) Pelaksanaan Pertambangan di Kabupaten Lebak dibagi kedalam dua zona, yaitu :

a. Zona layak tambang bersyarat adalah suatu wilayah yang dapat dilakukan penambangan dengan persyaratan teknologi lingkungan (keadaan muka air tanah dan lain' sebagainya) serta teknologi penambangan;

b. Zona tidak layak ditambang adalah suatu wilayah yang perlu dikonservasi mengingat fungsi alamiahnya dalam pengendalian tata air secara regional.

Pasal 36

(1) Pembudidayaan kawasan pariwisata dilakukan untuk memanfaatkan potensi wisata di kawasan pariwisata guna mendorong perkembangan pariwisata dengan tetap memperhatikan kelestarian nilai-nilai budaya, adat istiadat dan lingkungan hidup.

(2) Kawasan peruntukan pariwisata di Kabupaten Lebak terlampir pada Lampiran I Peraturan Daerah ini Tabel 5.7 halaman 5 – 37.

(16)

(3) Kriteria kawasan budidaya untuk kawasan pariwisata yang akan dikembangkan adalah :

a. Kawasan yang secara teknik dapat digunakan untuk kegiatan pariwisata, memiliki kemudahan akses serta aman dari gangguan bencana alam;

b. Kawasan yang memiliki keindahan alam dan keindahan panorama ;

c. Kawasan yang di dalamnya terdapat masyarakat dan bangunan dengan nilai kebudayaan dan sejarah yang tinggi.

(4) Kawasan pariwisata alam pantai di Daerah terdapat di wilayah selatan, pada beberapa lokasi di pantai selatan, yaitu terdapat di Kecamatan Wanasalam, Malingping, Cihara, Panggarangan, Bayah dan Cilograng.

(5) Objek dan daya tarik wisata yang ada di Daerah memiliki potensi daya tarik bagi wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara, yang dapat dikelompokan menjadi tiga satuan kawasan wisata yaitu :

a. Satuan kawasan wisata budaya, merupakan kumpulan objek dan daya tarik wisata budaya seperti tempat bersejarah, pusat kerajinan, desa wisata, pusat budaya serta pertunjukan seni dan museum ;

b. Satuan kawasan wisata alam, merupakan kumpulan obyek / daya tarik wisata alam seperti tempat istirahat, hutan wisata, olah raga, pegunungan, bumi perkemahan, wisata buru, wisata agro, wisata tirta dan wisata geologi / pertambangan ;

c. Satuan kawasan wisata bahari dan pantai, merupakan kumpulan objek dan daya tarik wisata bahari dengan kegiatan yang terfokus pada alam bahari yaitu, kegiatan rekreasi pantai dan wisata bahari.

Pasal 37

Kawasan Ilmu Pengetahuan. Kawasan Ilmu Pengetahuan diperuntukkan bagi kegiatan yang melindungi atau melestarikan budaya bangsa dan pengembangan ilmu pengetahuan. Kawasan yang diperuntukan untuk kawasan Ilmu pengetahuan terdapat di sekitar wilayah pertambangan bersyarat. Sesuai dengan lokasinya diharapkan kawasan ilmu pengetahuan yang akan dikembangkan adalah Ilmu Pengetahuan berbasis pertambangan.

BAB V

PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS DAERAH Pasal 38

(1) Pengembangan Kawasan Strategis di Daerah lebih ditekankan pada upaya untuk memacu perkembangan sektor-sektor strategis yang dapat memberi dampak positif terhadap pembangunan daerah secara keseluruhan.

(2) Kriteria umum dalam penyusunan indikasi program kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kepentingan :

c. Pertahanan dan Keamanan ; d. Pertumbuhan Ekonomi ; e. Sosial dan Budaya ;

f. Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan/atau Teknologi Tinggi dan/atau ; g. Fungsi dan Daya Dukung Lingkungan Hidup.

(3) Rencana penetapan kawasan startegis di Kabupaten Lebak meliputi :

a. Rencana Kawasan Strategis pada Wilayah Pengembangan Utama; Ibukota Rangkasbitung, Kota Maja, Kota Malingping dan Kota Bayah ;

b. Kawasan Agropolitan di Kecamatan Wanasalam ;

c. Kawasan Strategis pada sentra-sentra produksi pertanian ;

d. Kawasan Strategis Pangkalan Militer di Kecamatan Rangkasbitung, Kecamatan Cimarga dan Kecamatan Panggarangan; dan

(17)

e. Kawasan Strategis lainnya yang akan ditentukan selanjutnya sesuai dengan dinamika pembangunan di Kabupaten Lebak

(4) Penentuan Kawasan Strategis ini perlu ditindaklanjuti dengan kajian wilayah dan ditetapkan oleh Peraturan Bupati.

BAB VI

ARAH PEMANFAATAN RUANG Pasal 39

(1) Pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Lebak berpedoman pada rencana struktur ruang dan pola ruang Daerah.

(2) Pemanfaatan ruang wilayah kabupaten dilaksanakan melalui penyusunan dan pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta perkiraan pendanaannya.

(3) Perkiraan pendanaan program pemanfaatan ruang disusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 40

(1) Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) disusun berdassarkan indikasi program lima tahunan yang ditetapkan dalam Lampiran Perda, Bab 6, Tabel 6.1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

(2) Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten dan Provinsi serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

BAB VII

ARAH PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG Bagian Kesatu

Umum Pasal 41

(1) Pengendalian pemanfaatan ruang adalah suatu langkah untuk menjaga sejauh mana arahan atau kebijakan rencana tata ruang yang telah ditetapkan dapat diterapkan di lapangan.

(2) Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui proses : a. Ketentuan Umum Peraturan Zonasi ;

b. Perizinan pemanfaatan ruang ; c. Insentif dan disinsentif ;

(18)

Bagian Kedua Ketentuan Umum Peraturan Zonasi

Paragraf 1 Umum Pasal 42

(1) Ketentuan Umum Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 42 ayat (2) huruf a disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang.

(2) Ketentuan Umum Peraturan Zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang.

Pasal 43

Ketentuan umum peraturan zonasi Daerah meliputi ketentuan umum peraturan zonasi untuk struktur ruang dan pola ruang yang terdiri atas :

1. Sistem Perkotaan ;

2. Sistem Jaringan Transportasi ; 3. Sistem Jaringan Energi ;

4. Sistem Jaringan Telekomunikasi ; 5. Sistem Jaringan Sumber Daya Air ; 6. Kawasan Lindung ;

7. Kawasan Budidaya.

Paragraf 2

Ketentuan Umum Peraturan Zonasi untuk Sistem Perkotaan Pasal 44

Peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Lokal disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi berskala kabupaten/kota yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya.

Paragraf 3

Ketentuan Umum Peraturan Zonasi untuk Sistem Jaringan Transportasi Darat Pasal 45

Peraturan zonasi untuk jaringan jalan Kabupaten disusun dengan memperhatikan :

1. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan kabupaten dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi;

2. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan kabupaten; dan

3. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan kabupaten yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan.

(19)

Paragraf 4

Ketentuan Umum Peraturan Zonasi untuk Sistem Jaringan Energi Pasal 46

(1) Peraturan zonasi untuk pembangkit tenaga listrik disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang di sekitar pembangkit listrik harus memperhatikan jarak aman dari kegiatan lain.

(2) Peraturan zonasi untuk jaringan transmisi tenaga listrik disusun dengan memperhatikan ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 5

Ketentuan Umum Peraturan Zonasi untuk Sistem Jaringan Telekomunikasi Pasal 47

(1) Peraturan zonasi untuk sistem jaringan telekomunikasi disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk penempatan menara pemancar telekomunikasi yang memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan aktivitas kawasan di sekitarnya.

(2) Penetapan lokasi menara telekomunikasi selanjutnya diatur dengan Peraturan Bupati. Paragraf 6

Ketentuan Umum Peraturan Zonasi untuk Sistem Jaringan Sumber Daya Air Pasal 48

(1) Peraturan zonasi untuk sistem jaringan sumber daya air pada wilayah sungai disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan.

(2) Peraturan Zonasi untuk sistem jaringan sumber daya air diatur selanjutnya melalui Peraturan Daerah terkait.

Paragraf 7

Ketentuan Umum Peraturan Zonasi untuk Kawasan Lindung Pasal 49

(1) Peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam;

b. ketentuan pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan hutan dan tutupan vegetasi; dan

c. pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan budidaya hanya diizinkan bagi penduduk asli dengan luasan tetap, tidak mengurangi fungsi lindung kawasan, dan di bawah pengawasan ketat.

(2) Peraturan zonasi untuk kawasan resapan air disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan; dan

(20)

Pasal 50

(1) Peraturan zonasi untuk sempadan pantai disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;

b. pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi;

c. pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi pantai; d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c; dan

e. ketentuan pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis, dan estetika kawasan.

(2) Peraturan zonasi untuk sempadan sungai dan kawasan sekitar danau/waduk disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;

b. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksudkan untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air;

c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi; dan d. penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Peraturan zonasi untuk ruang terbuka hijau kota disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan rekreasi;

b. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk bangunan penunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas umum lainnya; dan

c. ketentuan pelarangan pendirian bangunan permanen selain yang dimaksud pada huruf b. (4) Peraturan zonasi untuk kawasan sempadan mata air disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; dan

b. pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap mata air. Pasal 51

(1) Peraturan zonasi untuk taman nasional dan taman nasional laut disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam;

b. pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan budidaya hanya diizinkan bagi penduduk asli di zona penyangga dengan luasan tetap, tidak mengurangi fungsi lindung kawasan, dan di bawah pengawasan ketat;

c. ketentuan pelarangan kegiatan budi daya di zona inti; dan

d. ketentuan pelarangan kegiatan budi daya yang berpotensi mengurangi tutupan vegetasi atau terumbu karang di zona penyangga.

(2) Peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan untuk penelitian, pendidikan, dan pariwisata; dan

b. ketentuan pelarangan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan.

Pasal 52

(1) Peraturan zonasi untuk kawasan rawan tanah longsor dan kawasan rawan gelombang pasang disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana; b. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk; dan

c. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum.

(2) Untuk kawasan rawan banjir, selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peraturan zonasi disusun dengan memperhatikan:

(21)

b. pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau dan pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah; dan

c. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan permukiman dan fasilitas umum penting lainnya.

Paragraf 8

Ketentuan Umum Peraturan Zonasi untuk Kawasan Budidaya Pasal 53

Peraturan zonasi untuk kawasan hutan produksi dan hutan rakyat disusun dengan memperhatikan: 1. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan neraca sumber daya kehutanan; 2. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan; dan 3. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf angka 2.

Pasal 54

Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertanian disusun dengan memperhatikan: 1. pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dengan kepadatan rendah; dan

2. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan menjadi lahan budi daya non pertanian kecuali untuk pembangunan sistem jaringan prasarana utama.

Pasal 55

Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan perikanan disusun dengan memperhatikan:

1. pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dan/atau nelayan dengan kepadatan rendah; 2. pemanfaatan ruang untuk kawasan pemijahan dan/atau kawasan sabuk hijau; dan

3. pemanfaatan sumber daya perikanan agar tidak melebihi potensi lestari. Pasal 56

Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertambangan disusun dengan memperhatikan:

1. pengaturan pendirian bangunan agar tidak mengganggu fungsi alur pelayaran yang ditetapkan peraturan perundangundangan;

2. pengaturan kawasan tambang dengan memperhatikan keseimbangan antara biaya dan manfaat serta keseimbangan antara risiko dan manfaat; dan

3. pengaturan bangunan lain di sekitar instalasi dan peralatan kegiatan pertambangan yang berpotensi menimbulkan bahaya dengan memperhatikan kepentingan daerah.

Pasal 57

Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan industri disusun dengan memperhatikan:

1. pemanfaatan ruang untuk kegiatan industri baik yang sesuai dengan kemampuan penggunaan teknologi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di wilayah sekitarnya; dan

2. pembatasan pembangunan perumahan baru sekitar kawasan peruntukan industri. Pasal 58

Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pariwisata disusun dengan memperhatikan:

1. pemanfaatan potensi alam dan budaya masyarakat sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan;

2. perlindungan terhadap situs peninggalan kebudayaan masa lampau;

3. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pariwisata; dan 4. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c.

(22)

Pasal 59

Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan permukiman disusun dengan memperhatikan:

1. penetapan tata letak bangunan yang meliputi garis sempadan bangunan, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, koefisien dasar hijau, dan ketinggian bangunan.

2. penetapan tema arsitektur bangunan;

3. penetapan kelengkapan bangunan dan lingkungan; dan

4. penetapan jenis dan syarat penggunaan bangunan yang diizinkan.

Bagian Ketiga Ketentuan Perijinan

Pasal 60

(1) Implementasi rencana tata ruang dilaksanakan melalui perijinan.

(2) Perijinan pemanfaatan ruang yang meliputi beberapa jenis perijinan diselenggarakan melalui mekanisme dan prosedur tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Bupati tersendiri.

Bagian Keempat Insentif dan Disinsentif

Pasal 61

(1) Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan indikasi arahan peraturan zonasi yang diatur dalam Peraturan Bupati.

(2) Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Bupati.

Pasal 62

(1) Pemberian Insentif dan pengenaan Disinsentif dalam pemanfaatan ruang wilayah Daerah dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat.

(2) Pemberian Insentif dan pengenaan Disinsentif dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah berdasarkan kewenangannya dengan persetujuan Bupati.

Pasal 63

(1) Insentif kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) diberikan, antara lain dalam bentuk :

a. keringanan pajak daerah ; b. pemberian kompensasi ; c. imbalan ;

d. sewa ruang ; e. urun saham ;

f. penyediaan infrastruktur ;

g. kemudahan prosedur perijinan ; dan / atau h. penghargaan.

(23)

(2) Disinsentif kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dikenakan, antara lain dalam bentuk :

a. pengenaan pajak daerah yang tinggi ; b. pembatasan penyediaan infrastruktur ; c. pengenaan kompensasi ; dan / atau d. penalti.

(3) Pemberian Insentif dan pengenaan Disinsentif dilakukan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kelima

Pengawasan, Arahan Sanksi, dan Penertiban Paragraf 1

Ketentuan Pengawasan Pasal 64

Pengawasan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf d diselenggarakan pada Kawasan Lindung, dan Kawasan Budi daya dengan proses :

1. Pelaporan dengan cara penyampaian informasi secara objektif tentang pemanfaatan ruang yang sesuai atau tidak sesuai dengan rencana tata ruang ;

2. Pemantauan melalui proses pengamatan, pengawasan, dan pemeriksaan tentang perubahan kualitas tata ruang dan perubahan lingkungan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang ; 3. Evaluasi, yaitu penulisan kemajuan pemanfaatan ruang berdasarkan tujuan rencana tata ruang

yang dikehendaki.

Pasal 65

Kegiatan pengawasan dalam pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan lindung dilakukan melalui :

1. Pemberian larangan melakukan berbagai usaha dan/atau kegiatan, kecuali berbagai usaha dan/atau kegiatan yang tidak mengganggu fungsi alam, tidak mengubah bentang alam dan ekosistem ;

2. Pengaturan berbagai usaha dan atau kegiatan yang tetap dapat mempertahankan fungsi lindung ; 3. Pencegahan berkembangnya berbagai usaha dan/atau kegiatan yang mengganggu fungsi lindung

kawasan ;

4. Pengawasan kegiatan penelitian eksplorasi mineral dan air tanah, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam, agar pelaksanaannya tetap mempertahankan fungsi lindung kawasan.

Pasal 66

Kegiatan pengawasan dalam pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan budi daya dilakukan melalui :

1. Pengkajian dampak lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan hidup dalam pengembangan berbagai usaha dan/atau kegiatan, terutama bagi kegiatan yang berskala besar ;

2. Pengawasan terhadap proses pelaksanaan kegiatan berdasarkan prosedur dan tata cara pemanfaatan ruang di kawasan budidaya agar terlaksana keserasian antar kegiatan pemanfaatan ruang di kawasan budidaya ;

3. Pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan penelitian eksplorasi mineral dan air tanah, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam di kawasan budidaya agar tetap terjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup, keamanan dan keberlanjutan usaha dan/atau kegiatan budidaya lainnya.

(24)

Paragraf 2 Arahan Sanksi

Pasal 67

Arahan sanksi merupakan acuan dalam pengenaan sanksi terhadap :

1. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur dan pola ruang di Daerah ; 2. Pelanggaran ketentuan arahan peraturan sistem zonasi Daerah ;

3. Pemanfaatan ruang tanpa ijin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten; 4. Pemanfataan ruang tidak sesuai dengan ijin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan

RTRW Kabupaten ;

5. Pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan ijin pemanfaatan ruang yang diterbitkan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah yang berwenang sesuai dengan RTRW Kabupaten ;

6. Pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum ; dan/atau

7. Pemanfaatan ruang dengan ijin yang diperoleh dengan prosedur yang tidak benar. Pasal 68

(1) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dikenakan sanksi administratif berupa :

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara kegiatan;

c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi;

e. pencabutan ijin; f. pembatalan ijin;

g. pembongkaran bangunan; h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau i. denda administratif.

(2) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf c dikenakan sanksi administratif berupa :

a. peringatan tertulis ;

b. penghentian sementara kegiatan ;

c. penghentian sementara pelayanan umum ; d. penutupan lokasi ;

e. pembongkaran bangunan ; f. pemulihan fungsi ruang ; dan/atau g. denda administratif.

Paragraf 3 Ketentuan Penertiban

Pasal 69

Penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang diselenggarakan pada Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya dalam bentuk pengenaan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik sanksi administratif, pidana, maupun perdata.

Pasal 70

(25)

1. Penerapan ketentuan-ketentuan yang berlaku tentang pengelolaan lingkungan hidup bagi berbagai usaha dan/atau kegiatan yang sudah ada di kawasan lindung ;

2. Penerapan ketentuan-ketentuan untuk mengembalikan fungsi lindung bagi kawasan lindung yang telah terganggu;

3. Penegakan peraturan yang mewajibkan dilaksanakannya kegiatan perlindungan terhadap lingkungan hidup dan rehabilitasi daerah bekas penambangan pada kawasan lindung yang dilakukan kegiatan penambangan bahan galian.

Pasal 71

Kegiatan penertiban dalarn pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan budidaya dilaksanakan dalam bentuk :

1. Apabila kegiatan pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan rencana pemanfaatan ruang, dan kegiatan tersebut dapat atau diperkirakan akan menggangu atau mengubah perwujudan struktur/pola ruang serta menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, maka kegiatan tersebut harus dihentikan dan/atau bangunan yang ada harus dibongkar yang selanjutnya disesuaikan dengan fungsi atau rencana tata ruang ;

2. Apabila kegiatan pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan rencana pemanfaatan ruang, namun kegiatan tersebut memberikan manfaat yang besar terhadap perkembangan wilayah dan kesejahteraan masyarakat setempat dan masyarakat luas, serta tidak mengganggu atau mengubah perwujudan struktur/pola ruang, dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, maka kegiatan, tersebut dapat dipertimbangkan untuk diizinkan melalui mekanisme perizinan tertentu yang telah diatur di dalam Peraturan Daerah tersendiri ;

3. Apabila kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana pemanfaatan ruang, namun luasannya menyimpang, maka kegiatan/pembangunan tersebut dihentikan. Tetapi dapat dilanjutkan apabila kegiatannya dibatasi hanya pada luasan yang ditetapkan, serta kepada penyelenggara kegiatan pemanfaatan ruang tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;

4. Apabila kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana pemanfaatan ruang tetapi persyaratan teknis menyimpang, maka kegiatan/pembangunan tersebut dihentikan sampai persyaratan teknisnya dipenuhi dan kepada penyelenggara kegiatan pemanfaatan ruang tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;

5. Apabila kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana pemanfaatan ruang, tetapi bentuk pemanfaatannya menyimpang, maka kegiatan/pembangunan tersebut dihentikan sampai ada penyesuaian bentuk pemanfaatan sesuai rencana/izin dan kepada penyelenggara kegiatan pemanfaatan ruang tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keenam

Pelaksanaan Pengawasan dan Penertiban Pemanfaatan Ruang Pasal 72

(1) Kegiatan pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Tim yang ditunjuk dan diberi kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pemantauan dan evaluasi terhadap pemanfaatan ruang dilakukan secara periodik oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah pemberi ijin atau secara insidental oleh Tim yang dibentuk untuk maksud tersebut.

(26)

(3) Hasil laporan pemantauan dan evaluasinya menjadi data dan bahan evaluasi/peninjauan kembali RTRW dan rencana-rencana di bawahnya.

BAB VIII

HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT Pasal 73

Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk : 1. mengetahui rencana tata ruang ;

2. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang ;

3. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang ;

4. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya ;

5. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan

6. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang ijin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.

Pasal 74 Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib :

1. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;

2. memanfaatkan ruang sesuai dengan ijin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; 3. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan ijin pemanfaatan ruang; dan

4. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.

Pasal 75

(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran masyarakat.

(2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui:

a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang ; b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang ; dan

c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang sebagiamana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah.

BAB IX KETENTUAN PIDANA

Pasal 76

Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan Peraturan Daerah ini diancam dengan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(27)

BAB X

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 77

(1) Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah ini, segala ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sepanjang mengenai materi yang sama menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini.

(2) Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 78

Pelaksanaan pembangunan yang telah dilaksanakan berdasarkan ketentuan tata ruang yang berlaku sebelum ditetapkannya Peraturan Daerah ini, tetap dilaksanakan sepanjang secara substansi tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP Pasal 79

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 31 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2001 Nomor 64 Seri D) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 80

Rencana struktur dan pola ruang, arah pemanfaatan ruang serta arah pengendalian pemanfaatan ruang adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 81

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lebak.

Ditetapkan di Rangkasbitung Pada tanggal 24 Desember 2008

BUPATI LEBAK,

Referensi

Dokumen terkait

BATU Kali/ UNTUK PONDASI/ rit colt rit BATU KALI/ UNTUK PONDASI BATU KALI/ UNTUK PONDASI/ RIT truck rit F.. BAHAN

tercantum dalam Lampiran Keputusan ini dan/atau tercantum pada laman Pengumuman Hasil SBMPTN 2020 Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) dinyatakan Lulus seleksi

Material yang digunakan oleh balon bawah laut yang secara teknis disebut baterai (akumulator) itu, sama seperti yang digunakan untuk menaikkan kapal yang tenggelam dari dasar

Pada hasil analisa kimia, nasi varietas IR64 memiliki kandungan kadar air yang paling tinggi (67,81%) dan nasi varietas Mentik Wangi memiliki kandungan kadar air yang paling

Sedangkan organisasi mahasiswa atau kegiatan non-akademik yang harusnya menjadi tempat pengembangan pola pikir dan karakter justru bergeser menjadi tempat berkumpul

Hal ini menunjukkan bahwa responden memiliki kesiapan komitmen utama untuk tugas dengan baik hendaknya menjunjung azas, visi dan misi pemakaian SAP berbasis akrual,

berdasarkan fakta-fakta hukum baik keterangan terdakwa dianggap sehat jasmani dan rohani tidak terdapat gangguan mental sehingga mampu mempertanggungjawabkan

Capital Adequacy Ratio (CAR) Merupakan rasio kinerja bank yang digunakan untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung