• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor risiko rinitis akibat kerja oleh pajanan polusi udara pada polisi lalu lintas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Faktor-faktor risiko rinitis akibat kerja oleh pajanan polusi udara pada polisi lalu lintas"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

Faktor-faktor risiko rinitis akibat kerja oleh pajanan polusi udara

pada polisi lalu lintas

Diah Yamini Darsika, Made Tjekeg, Made Sudipta, Luh Made Ratnawati Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Sanglah Denpasar

Bali - Indonesia

ABSTRAK

Latar belakang: Polusi udara merupakan zat iritan dengan berat molekul rendah yang terdiri dari beberapa campuran gas diantaranya ozon, nitrogen dioksida, partikel debu, sulfur dioksida yang dapat menyebabkan gangguan fungsi saluran napas atas berupa rinitis dengan gejala seperti hidung tersumbat, ingus serta lendir belakang hidung. Polisi lalu lintas merupakan kelompok yang berisiko terhadap dampak yang ditimbulkan oleh polusi udara. Tujuan: Mengetahui faktor-faktor risiko yang terkait dengan rinitis akibat

kerja (RAK) akibat pajanan polusi udara. Metode: Deskriptif analitik dengan pendekatan studi potong lintang

pada 56 orang polisi lalu lintas di wilayah Poltabes Denpasar. Teknik pengambilan sampel dengan

consecutive sampling, dikerjakan pada bulan Maret 2009. Dilakukan anamnesis, rinoskopi anterior, PNIF dan uji tusuk kulit. Analisis data dengan uji Pearson Chi square dan uji t. Hasil: Tidak ditemukan hubungan bermakna antara faktor riwayat atopi dan kebiasaan merokok dengan kejadian RAK. Masa kerja lebih dari atau sama dengan delapan tahun memiliki hubungan bermakna terhadap timbulnya RAK yang disebabkan

pajanan polusi udara (p=0,002). Kesimpulan: Polisi lalu lintas yang telah bekerja selama delapan tahun lebih

rentan terkena RAK akibat pajanan polusi udara.

Kata kunci: polusi udara,polisi lalu lintas, rinitis akibat kerja

ABSTRACT

Background: Air pollution is irritant substances with low molecular weight that consisted of some mixture of gases including ozone, nitrogen dioxide, particles of dust, sulfur dioxide which can cause airway function disturbances over form of rhinitis with symptoms such as nasal congestion, runny nose and post nasal drip. Traffic policemen are at risk to the impact caused by pollutants. Purpose: To know the risk factors associated with occupational rhinitis due to air pollution exposure. Methods: Descriptive analytical methods with cross-sectional study on subjects 56 traffic policemen in the Poltabes Denpasar’s area. It uses the consecutive sampling on March 2009. Anamnesis, anterior rhinoscopy, PNIF and skin prick test was performed. Pearson Chi square test and t test were employed to analyze the data. Result: We found no relationship between history of allergy and smoking with the incidence of occupational rhinitis. The subjects who had worked for eight years or more, had a significant relationship with the incidence of occupational

(2)

2

rhinitis (p=0.002). Conclusion: The policemen with over eight years working period is more prone to occupational rhinitis due to air pollution exposure.

Key words: air pollution, traffic police, occupational rhinitis

Alamat korespondensi: Diah Yamini Darsika, Bagian THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah. Jl. Diponegoro Denpasar-Bali. E-mail: diahyamini@yahoo.com

PENDAHULUAN

Pencemaran udara saat ini merupakan masalah utama kesehatan lingkungan di daerah perkotaan yang padat penduduk, padat lalu lintas dan tingkat pembangunan industri yang tinggi. Kendaraan bermotor merupakan penyumbang polusi udara terbesar yang mengandung partikel padat, sulfur dioksida, nitrogen dioksida, ozon, dan lain-lain. Aktivitas penduduk kota Denpasar di sektor transportasi mengalami peningkatan tajam ditandai dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor. Pada tahun 2002, belum menembus angka 600.000 unit, namun tahun 2007 meningkat menjadi 1.731.600 unit. Sedangkan pengukuran kualitas udara di Bali didapatkan konsentrasi debu di kota Denpasar melampaui standar baku mutu lingkungan yang ditetapkan, yaitu 368,99 µg/Nm3. Begitu pula kadar gas CO, SO2 dan NO2 diukur pada

beberapa ruas jalan kota Denpasar menunjukkan kadar tertinggi dibandingkan pengukuran di kabupaten lain di Bali.1

Studi di berbagai negara diantaranya Thailand dan Italia melaporkan bahwa polusi udara memberikan dampak peningkatan keluhan saluran napas pada individu yang

terpajan dibandingkan dengan yang tidak terpajan. Studi yang dilakukan terhadap polisi lalu lintas di Thailand didapatkan prevalensi keluhan rinitis sebesar 17,8%, sedangkan prevalensi keluhan saluran napas atas terhadap polisi lalu lintas di Italia melalui investigasi selama lima tahun, didapatkan sebesar 28% dengan usia rata-rata 39 tahun dan masa dinas rata-rata 11 tahun.2,3 Studi kohort selama delapan tahun yang dilaporkan Amin,4 mempelajari hubungan antara polusi udara, rokok dan alfa-1-antitripsin mendapatkan dampak negatif dari debu akan muncul setelah terpajan paling sedikit empat tahun.

Polusi udara merupakan zat iritan yang menyebabkan rangsangan terhadap serabut sensoris dari percabangan nervus V. Pengaktifan beberapa neurotransmiter peptida pada sistem persarafan saluran napas menimbulkan vasodilatasi, ekstravasasi plasma atau edema neurogenik, hipersekresi, serta kontraksi otot polos yang menimbulkan keluhan klinis seperti bersin, rinorea, hidung tersumbat, ingus belakang hidung, rasa menyengat atau terbakar dan gangguan penghidu.5

Komponen polusi udara juga dapat mencetuskan keluhan alergi pada saluran

(3)

3 napas melalui beberapa faktor, diantaranya

interaksi komponen polusi udara dengan serbuk sari akan meningkatkan pengeluaran karakter antigen serbuk sari tersebut, sehingga menjadi alergen termodifikasi. Selain itu, komponen polusi khususnya ozon, partikel debu, sulfur dioksida memiliki efek inflamasi pada jalan napas yang akan meningkatkan permeabilitas membran, sehingga mempermudah penetrasi alergen pada membran mukus dan mempermudah terjadinya interaksi dengan sel sistem imun. Sedangkan partikel asap di sel telah ditunjukkan memiliki efek peningkatan produksi IgE secara langsung.6

Definisi rinitis akibat kerja/RAK menurut EAACI Task Force on occupational rhinitis 2009 adalah inflamasi hidung baik bersifat persisten atau sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin, rinore, gatal dan atau gangguan aliran udara hidung dan atau hipersekresi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja.7

Polisi lalu lintas, sopir dan pekerja di jalan raya merupakan kelompok yang berisiko terhadap dampak yang ditimbulkan oleh polusi udara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang terkait dengan rinitis akibat kerja oleh pajanan polusi udara pada polisi lalu lintas.

METODE

Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk mengetahui hubungan antara

faktor-faktor risiko RAK yang disebabkan pajanan polusi udara, dan dilaksanakan pada bulan Maret 2009. Penelitian ini dilakukan terhadap 56 polisi lalu lintas Poltabes Denpasar, yang dalam empat tahun terakhir terus-menerus bertugas di lapangan selama delapan jam per hari. Sampel dipilih secara consecutive sampling, yaitu semua populasi yang bersedia ikut serta dalam penelitian dan memenuhi kriteria penelitian, yaitu tidak dalam pengobatan dengan antihistamin generasi I dalam waktu 3–4 hari, generasi II dalam waktu 7–10 hari dan atau kortikosteroid oral dalam waktu empat minggu, tidak ada infeksi akut yang ditandai dengan suhu badan lebih dari 37°C dan tidak dalam pengaruh obat antipiretik. Tidak ada sekret purulen di kavum nasi dari hasil pemeriksaan rinoskopi anterior.

Pada semua subjek dilakukan anamnesis tentang keluhan klinis, riwayat personil dan keluarga yang mencakup riwayat atopi dan merokok, dilanjutkan pemeriksaan rinoskopi anterior untuk mengetahui gambaran kavum nasi, mukosa hidung, ada tidaknya sekresi hidung, serta pemeriksaan orofaring untuk melihat sekret belakang hidung. Lima puluh enam subjek yang memenuhi kriteria selanjutnya diperiksa aliran udara hidung dengan menggunakan nasal peak flow meter (in check peak nasal inspiratory flow meter; Clement Clarke International Ltd, UK) setelah sebelumnya diberikan penjelasan tata cara penggunannya. Inspirasi dilakukan sebanyak tiga kali pada masing-masing subjek dan hasil

(4)

4 210.00 180.00 150.00 120.0 0 90.00 60.00 30.00 Rerata PNIF I 14 12 10 8 6 4 2 0 F r e k u e n s i Mean = 116.0119 Std. Dev. = 33.10479 N = 56

yang dipilih adalah nilai yang tertinggi. Pemeriksaan PNIF ini dilakukan sebelum berdinas dan delapan jam setelah berdinas. Hasil dikatakan positif RAK apabila terdapat penurunan aliran udara sebesar lebih atau sama dengan 20% dari baseline yang diambil sebelum subjek berdinas.

RAK ditetapkan bila terdapat dua atau lebih gejala rinitis berupa: bersin-bersin, hidung beringus, hidung tersumbat atau ingus belakang hidung yang timbul atau memberat pada saat bekerja dan hilang atau berkurang pada saat pulang kerja atau pada saat libur dan terdapat penurunan aliran udara ≥20% dengan pemeriksaan PNIF pada awal dan akhir berdinas. Selanjutnya pada subjek yang positif RAK ini, dilakukan pemeriksaan uji tusuk kulit untuk menentukan RAK atopi dan RAK nonatopi.

Semua data yang terkumpul diolah secara deskriptif dengan menghitung persentase RAK. Analisis dilakukan untuk menguji hubungan antara RAK dengan masa kerja, usia, riwayat atopi dan merokok dengan menggunakan program SPSS 13.0 dan Win PEPI. Hasil analisis memperlihatkan nilai rasio prevalensi risiko, interval kepercayaan 95%, serta nilai p. Untuk menunjukkan adanya hubungan bermakna dengan RAK ditandai dengan nilai p<0,05 dengan uji Pearson Chi square dan uji t.

HASIL

Prevalensi dan karakteristik subjek

Prevalensi RAK didapatkan sebesar 28,6%, yaitu 16 dari 56 subjek yang diperiksa. Dari 16 subjek RAK positif tersebut dilakukan pemeriksaan uji tusuk kulit, didapatkan RAK atopi 10 subjek (62,5%) dan RAK nonatopi sebanyak 6 subjek (37,5%). Kejadian RAK terbanyak adalah pada pria sebesar 15 dari 16 subjek (93,8%), sedangkan pada wanita hanya 1 dari 16 subjek (6,2%). Berdasarkan usia, kejadian RAK terbanyak pada usia kurang dari 40 tahun, yaitu 9 subjek (56,3%). Kejadian RAK dengan masa kerja lebih dari atau sama dengan delapan tahun lebih banyak dibandingkan dengan masa kerja kurang dari delapan tahun, yaitu sebesar 62,5%. Berdasarkan riwayat atopi, kejadian RAK terbanyak adalah pada subjek dengan riwayat atopi negatif, yaitu 13 dari 16 subjek (81,2%). Berdasarkan riwayat merokok, kejadian RAK terbanyak ditemukan pada bukan perokok, yaitu sebanyak 11 dari 16 subjek (68,7%).

Distribusi PNIF I dan PNIF II

Rerata PNIF I adalah 116,0 ± 33,1 dengan hasil uji distribusi normal. Untuk kelompok RAK nilai rerata PNIF I yang didapat sebelum bekerja: 141,8 ± 39,7 dengan koefisien variasi tiga kali pengukuran 20,2%.

(5)

5 Gambar 1. Grafik distribusi berdasarkan PNIF I

Rerata PNIF II adalah 110,6 ± 35,8 dengan hasil uji distribusi normal. Untuk kelompok RAK nilai rerata PNIF II yang didapat setelah delapan jam bekerja: 102,5 ± 33,9 dengan koefisien variasi tiga kali pengukuran 23,0%.

Gambar 2. Grafik distribusi berdasarkan PNIF II

Keluhan klinis

Keluhan intranasal terbanyak pada 16 kasus kelompok RAK berupa hidung tersumbat sebesar 10 kasus (62,5%), keluhan bersin 8 kasus (50,0%), dan hidung beringus 7

kasus (43,8%), sedangkan pada 40 kasus kelompok tanpa RAK yang terbanyak adalah keluhan ekstranasal berupa radang tenggorok sebesar 22 kasus (55,0%), kelelahan 20 kasus (50,0%) dan mulut kering 18 kasus (45,0%). Analisis dengan menggunakan uji t menunjukkan hubungan bermakna antara gejala klinis dan RAK (p=0,04).

Pemeriksaan rinoskopi anterior

Pada 16 kasus kelompok RAK temuan rinoskopi anterior terbanyak berupa hipertrofi konka inferior pada 10 kasus (62,5%), kavum nasi sempit pada 8 kasus (50,0%) dan konka inferior pucat pada 7 kasus (43,8%). Pada 40 kasus kelompok tanpa RAK yang terbanyak ditemukan konka inferior pucat, yaitu pada 16 kasus (40,0%), hipertrofi konka inferior pada 9 kasus (22,5%) dan kavum nasi sempit pada 8 kasus (20,0%). Analisis statistik dengan uji t tidak dijumpai hubungan bermakna antara temuan pemeriksaan rinoskopi anterior dengan timbulnya RAK (p=0,14).

Hubungan berbagai faktor risiko dengan terjadinya RAK

Tabel 1. Hubungan berbagai faktor risiko dengan terjadinya RAK RAK Faktor Ya Tidak n=16 n=40 RP IK 95% p Usia 1,5 0,6-3,4 0,35 <40 th 9 (56,3%) 17 (42,5%) ≥40 th 7 (43,7%) 23 (57,5%) Masa kerja 3,5 1,6-29,6 0.002 <8 th 6 (37,5%) 32 (80,0%) 210.00 180.00 150.00 120.00 90.00 60.00 30.00 Rerata PNIF II 14 12 10 8 6 4 2 0 F r e k u e n s i Mean = 110.6548 Std. Dev. = 35.89783 N = 56

(6)

6 ≥8 th 10 (62,5%) 8 (20,0%) R. Atopi 0,6 2-1,9 0,39 Positif 3 (18,8%) 12 (30,0%) Negatif 13 ( 81,2%) 28 (70,0%) Merokok 0,6 0,1-2,4 0,43 Perokok 5 (31,3%) 17 (42,5%) Bukan Perokok 11 (68,7%) 23 (57,5%)

Adanya kecenderungan peningkatan risiko RAK pada usia kurang dari 40 tahun dibandingkan dengan usia lebih dari atau sama dengan 40 tahun, walaupun secara statistik tidak bermakna. Masa kerja lebih dari atau sama dengan delapan tahun, berisiko timbulnya RAK. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara riwayat atopi dan merokok dengan kejadian RAK.

DISKUSI

Terdapat hubungan yang erat antara keluhan klinis dengan timbulnya RAK (p=0,04), dengan rasio prevalensi menunjukkan keluhan klinis intranasal lebih berisiko terjadi pada kelompok RAK daripada kelompok tanpa RAK. Polusi udara merupakan zat iritan yang mengandung gas nitrogen dioksida, sulfur dioksida, ozon, partikel debu, karbon monoksida yang menyebabkan rangsangan terhadap serabut sensoris dari percabangan n.V yang menimbulkan vasodilatasi, ekstravasasi plasma atau edema neurogenik, hipersekresi, serta kontraksi otot polos yang menimbulkan keluhan klinis seperti bersin, rinorea, hidung tersumbat, ingus belakang hidung, rasa

menyengat atau terbakar dan gangguan penghidu.5,8,9

Gambaran rinoskopi anterior terbanyak berupa hipertrofi konka inferior, yaitu sebesar 62,5%. Hal ini disebabkan karena proses inflamasi yang berlanjut akan menyebabkan kerusakan jaringan berupa pelepasan epitel yang rusak, penebalan jaringan membran basalis mukosa, hiperplasia dan hipertrofi kelenjar mukosa, edema submukosa dan infiltrasi sel radang. Apabila pajanan berlangsung terus, kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel, sehingga kepekaan jalan napas akan meningkat baik terhadap alergen maupun bukan alergen.10

Terdapat 16 kasus (28,6%) RAK positif yang ditandai dengan penurunan PNIF lebih dari 20%. Hidung merupakan target potensial pajanan polusi udara yang akan menimbulkan iritasi mukosa hidung, perubahan resistensi aliran udara dan perubahan pada bersihan mukosilia. PNIF atau peak nasal inspiratory flow meter buatan Clement Clark ltd, merupakan alat untuk mengukur derajat aliran udara hidung dengan menghitung besarnya kecepatan aliran udara dalam satuan liter per menit. Sampai saat ini belum ada kriteria yang

(7)

7 baku mengenai persentase derajat penurunan

aliran udara pada obstruksi hidung.11 Eire12 pada penelitiannya menggunakan kriteria RAK dengan penurunan PNIF sebesar 20% dari nilai baseline yang diukur setelah delapan jam bekerja dibandingkan dengan nilai PNIF sebelum bekerja.

Cho13 dalam studinya mendapatkan reprodusibilitas PNIF dengan koefisien variasi 10,1%, yang artinya jika pemeriksaan dilakukan secara berulang-ulang hanya memberikan variasi sebesar 10,1%. Pada penelitian ini, koefisien variasi tiga kali pengukuran untuk kelompok RAK pada PNIF I sebesar 20,2% dan PNIF II sebesar 23,0%. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan variabilitas nilai PNIF diantaranya karena nilai PNIF tergantung pada kemampuan subjek saat menghirup dan menghembuskan napas, pemasangan masker hidung yang tidak tepat, kurang koordinasi atau karena terjadi kolaps dinding lateral hidung ketika menghirup napas.14,15

Hubungan usia dengan RAK didapatkan kecenderungan meningkatnya risiko usia kurang dari 40 tahun untuk mengalami RAK, dibandingkan dengan kelompok usia lebih dari atau sama dengan 40 tahun sekalipun secara statistik tidak bermakna (RP=1,5, IK 95%=0,6–3,4, p=0,35). Hal ini disebabkan karena polusi udara merupakan bahan iritan yang menyebabkan sensitivitas pada serabut sensoris tipe C yang merupakan percabangan n.V, sehingga reaksi yang terjadi tidak

tergantung pada kadar IgE yang akan mengalami penurunan setelah usia 40 tahun.8,9

Dijumpai risiko kejadian RAK lebih tinggi pada kelompok masa kerja lebih dari atau sama dengan delapan tahun dibandingkan dengan kelompok masa kerja kurang dari

delapan tahun. (RP=3,5 IK 95%=1,6–29,6,

p=0,002). Jadi, semakin lama masa kerja semakin tinggi risiko terjadinya RAK. Sarin9 menyatakan adanya pajanan kronis yang menahun terhadap zat iritan di udara akan meningkatkan prevalensi alergi dan hiperesponsif mukosa hidung, baik terhadap alergen atau zat iritan. Amin4 melaporkan dampak negatif dari polutan debu akan jelas setelah terpajan paling sedikit empat tahun.

Dari 16 kasus RAK, didapatkan 3 subjek (18,8%) dengan riwayat atopi positif dan 13 subjek (81,2%) riwayat atopi negatif. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara riwayat atopi dengan risiko terjadinya RAK (RP=0,6, IK 95%=0,2–1,9,

p=0,39). Hal ini disebabkan karena polusi udara merupakan pajanan iritan multipel yang menimbulkan reaksi pada saluran napas melalui mekanisme nonimunologi seluler atau sel T dan melalui pelepasan neuropeptida dari ujung saraf eferen yang mengaktifkan sel mast dan menimbulkan inflamasi neurogenik.16

Tidak ditemukan hubungan antara faktor risiko merokok terhadap kejadian RAK (RP=0,6, IK 95%=0,1–2,4, p=0,43). Penelitian terhadap polisi lalu lintas di Bangkok, didapatkan hasil statistik yang tidak signifikan

(8)

8 antara timbulnya keluhan pada saluran napas

dengan status merokok, ditandai dengan odds ratio 1,1 (IK 95%=1,0–1,2) pada polisi lalu lintas yang tidak pernah merokok.17

Pada penelitian ini ditemukan keluhan klinis yang menonjol pada kelompok RAK, yaitu keluhan intranasal diantaranya berupa keluhan hidung tersumbat, hidung beringus dan bersin. Masa kerja ≥8 tahun merupakan faktor risiko kejadian RAK, sehingga diperlukan tindakan perlindungan, pencegahan dan pengobatan agar tidak terjadi komplikasi dan bertambah beratnya penyakit dengan penggunaan masker, pemberian antioksidan berupa diet atau suplemen yang mengandung vitamin, mineral dan asam amino, serta dilakukan mutasi personil secara berkala. Agar hasil penelitian lebih representatif perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan kelompok kontrol dan dengan jumlah sampel yang lebih besar.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Laporan kegiatan analisis kualitas

udara di povinsi Bali. Pemerintah provinsi

Bali Badan Pengendalian Dampak

Lingkungan Daerah, 2007.

2. Wongsurakiat P, Nana A, Maranetra KN, et al.

Respiratory symptoms and pulmonary

function of traffic policemen in Thonburi. Chot Mai Het Thang Phaet 1999; 82:434-46.

3. DeToni A, Filon Larese F, Finotto L.

Respiratory diseases in a group of traffic police officers: results of a 5-year follow up. G Ital Med Lav Ergon 2005; 27(3):380-2.

4. Amin M. Penyakit paru obstruktif menahun:

polusi udara, rokok dan alfa-1-antitripsin. Edisi ke-1. Surabaya: Airlangga University Press; 1996. h. 53-131.

5. Shusterman D. Toxicology of nasal irritants. Curr Allergy Asthma Rep 2003; 3:258-65.

6. Parnia S, Brown JL, Frew AJ. The role of

pollutants in allergic sensitization and the development of asthma. Allergy 2002; 57(12):1111-7.

7. Moscato G, Vandenplas J, Malo L, Castano R,

Walusiak J, et al. EAACI position paper on occupational rhinitis. Respiratory Res 2009; 10:16.

8. Meggs WJ. Neurogenic inflammation and

sensitivity to environmental chemical. Environ Health Perspect 1993; 101:234-8.

9. Sarin S, Undem B, Sanico A, Togias A. The role of the nervous system in rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2006; 118:999-1014.

10. Vignola AM, Gagliardo R, Guerrera D,

Chiappara G. New evidence of inflammation in asthma. Thorax 2000; 55(suppl2):59-60. 11. Clement Clark International. Introduction to

in-check nasal [homepage on the internet]. c2006 [updated 2007 Dec 21; cited 2008 Jul

17]. Available from:

http://www.clementclarke.com/products/peak_ flow/index.html.

12. Eire MA, Pineda F, Losada S V, Cuesta CG, Villalva MM. Occupational rhinitis and

asthma due to cedroarana (cedrelinga

catenaeformis ducke) wood dust allergy. J Investig Allergol Clin Immunol 2006; 16(6):385-7.

13. Cho SI, Hauser R, Christiani DC.

Reproducitibility of nasal peak inspiratory flow among healthy adults: assesment of

(9)

9

epidemiologic utility. Chest 1997; 112:1547-53.

14. Nathan RA, Eccles R, Howarth PH, Steinsva

SK, Alkis Togias A. Objective monitoring of nasal patency and nasal physiology in rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2005; 115:442-59. 15. Willing S, San Pedro M, Munt P, Fitzpatrick

MF. The acute impact of continuous positive airway pressure on nasal resistance: a

randomized controlled. Comparison J Appl Physiol 2007; 102:1214-9.

16. Baratawidjaya KG, Rengganis I. Alergi dasar.

Edisi ke-1. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 233-63.

17. Boudoung D, Wanida J, Karita K. Particulate air polution and chronic respiratory symptom among traffic policemen in Bangkok. Arch Environ Health 2003; 58:201-7.

Gambar

Gambar 1. Grafik distribusi berdasarkan PNIF I

Referensi

Dokumen terkait

Guru pamong yang membimbing praktikan selama PPL adalah Suhartini, S. Kualitasnya sangat baik, beliau memberikan bimbingan dan pengarahan. Selain itu, beliau juga memberikan

Penelitian berjudul ANALISIS DAYA TARIK IKLAN DAN EFEKTIVITAS IKLAN TESTIMONIAL JAMU TETES SOMAN (Studi Di Kelurahan Panjang, Kecamatan Ambarawa) ini memiliki

• Fasilit at or menj elaskan bagaimana sulit nya bagi pendengar unt uk bisa menyimak dan mencer it akan kembali semua inf or masi yang diber ikan penyiar.. Oleh kar ena it u sangat

Jumlah kasus kematian bayi di Kota Bekasi selama kurun waktu tahun 2009-2011 cenderung mengalami fluktuasi dimana pada tahun 2009 angka kematian bayi per 1000 kelahiran adalah

faktor yang mempengaruhi harga saham diantaranya adalah, proyeksi laba per lembar saham, tingkat resiko dari proyeksi laba, proporsi hutang perusahaan terhadap ekuitas, kebijakan

Untuk nilai ruang pejalan kaki sebesar 178,423 m²/ orang adalah termasuk pada kategori tingkat pelayanan ”A” ,dimana pada tingkat pelayanan ini arus bebas un-

Naga Bonar :&#34;Namaku Naga Bonar,Aku anak Lubuk Bakam yang dulunya mencopet saja kerjanya,kemudian diangkatlah aku jadi jenderal.Si Lukman yang kasih aku

Jika pada Beauvoir transendensi sepenuhnya adalah usaha manusia (secara khusus perempuan) untuk keluar dari belenggu budaya patriarki lewat tiga strategi yang ditawarkannya,