• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekaristi sebagai upaya meningkatkan motivasi pelayanan para katekis di Paroki Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Ekaristi sebagai upaya meningkatkan motivasi pelayanan para katekis di Paroki Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

i

EKARISTI SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI PELAYANAN PARA KATEKIS DI PAROKI SANTO YUSUP

BINTARAN, YOGYAKARTA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Benedikta Ganda Anggraeni

NIM: 131124040

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

(5)

v MOTTO

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dan permohonan dengan ucapan syukur”

(6)
(7)
(8)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “EKARISTI SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI PELAYANAN PARA KATEKIS DI PAROKI ST. YUSUP BINTARAN, YOGYAKARTA”. Penulis memilih judul ini berdasarkan pengamatan dan pengalaman katekis terlibat di dalam kegiatan katekese di paroki Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta. Penulis mendapatkan kesan bahwa katekis perlu untuk lebih bersemangat di dalam melayani umat. Kenyataan ini menunjukkan motivasi pelayanan katekis belum sungguh-sungguh menjiwai karya pelayanannya. Katekis masih mengalami semangat yang pasang-surut terlebih dalam kehadiran, keterlibatan dan keaktifan di dalam kegiatan berkatekese. Bertitik tolak dari persoalan ini, maka skripsi ini dimaksudkan sebagai sumbangan pemikiran bagi peningkatan semangat pelayanan katekis di Bintaran.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana meningkatkan motivasi pelayanan katekis dengan menghayati dan memperdalam makna Ekaristi di dalam karya pelayanan mereka. Menanggapi hal tersebut, penulis menggunakan studi pustaka guna membantu para katekis untuk lebih memperdalam makna Ekaristi dan jati diri seorang katekis. Di samping itu, penulis juga melakukan penelitian berupa penyebaran kuesioner dan wawancara terhadap para katekis guna memperoleh gambaran sejauhmana Ekaristi telah memotivasi katekis di paroki St Yusup Bintaran. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa para katekis ternyata telah memaknai dan termotivasi oleh makna Ekaristi di dalam karya pelayanannya. Namun penulis meragukan hal tersebut sebab bertolak dari pengalaman, penulis mendapatkan kesan bahwa para katekis menjawab menurut pemahaman mengenai makna Ekaristi bukan berdasarkan fakta.

(9)

ix catechetical activities in the parish of Saint Yusup Bintaran, Yogyakarta. The author gets the impression that catechists need to be more enthusiastic in serving the people. This fact shows that the motivation of catechist services has not really inspired their ministry. Catechists still experience the ups and downs of enthusiasm, especially in the presence, involvement and catechetical activities. Starting from this problem, this thesis is intended as a contribution to the thought of increasing the spirit of catechist service in the Bintaran.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat kasih dan penyertaan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul EKARISTI SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI PELAYANAN PARA KATEKIS DI PAROKI ST. YUSUP BINTARAN,

YOGYAKARTA.

Skripsi ini ditulis sebagai bentuk perhatian penulis sebagai calon katekis terhadap perkembangan karya pelayanan katekis di paroki di masa mendatang. Sebagai calon katekis dan anggota karya pewartaan di paroki St Yusup Bintaran, penulis melihat semangat pelayanan katekis masih mengalami pasang-surut. Hal ini mengakibatkan pelayanan katekis kurang maksimal dan tidak mengalami perkembangan. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini dimaksudkan sebagai sumbangan pemikiran bagi paroki St Yusup Bintaran untuk lebih memperdalam makna Ekaristi sebagai upaya meningkatkan motivasi karya pelayanan katekis.

Penulis menyadari dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini penulis dengan sepenuh hati mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Dr. B.Agus Rukiyanto S. J, selaku Ketua Program Studi PAK, yang telah memberikan izin bagi penulis untuk mengerjakan tugas akhir ini mulai dari awal penyusunan hingga selesai.

(11)

xi

dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran, memberi masukan-masukan dan kritikan-kritikan sehingga penulis dapat semakin termotivasi dalam menuangkan gagasan-gagasan dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

3. Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd selaku dosen penguji II sekaligus dosen pembimbing akademik yang penuh kesabaran dan perhatian memberikan dukungan dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini

4. Cecilia Paulina Sianipar, S.Pd., M.Si., MM.Ed selaku dosen penguji III yang telah bersedia meluangkan waktu dan bersedia menjadi dosen penguji pada pertanggungjawaban skripsi ini.

5. Segenap dosen dan staf karyawan Prodi PAK, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam studi maupun penulisan skripsi ini.

6. Rm Stefanus Heruyanto Dwiatmojo, Pr selaku Pastor Paroki St Yusup Bintaran Yogyakarta yang telah memberi ijin untuk melakukan penelitian terhadap para katekis di paroki ini.

7. Bapak Yosaphat Sudarmo Karyadi, selaku DPP bidang Pewartaan, Bapak FX. Ari Raharta, selaku katekis Bintaran dan Bapak Prisnanto Aribowo selaku seksi LitBang paroki Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta, yang telah membantu penulis mendapatkan informasi dan data paroki guna penulisan skripsi ini.

(12)
(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii A. Latar Belakang Penulisan Skripsi ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5 A. Makna Perayaan Ekaristi bagi Umat Beriman Kristiani ... 8

1. Pokok-pokok Perayaan Ekaristi ... 9

a. Kenangan akan sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus ... 10

b. Perayaan perjamuan syukur ... 12

c. Kesatuan dengan Allah dan Gereja ... 13

(14)

xiv

a. Ekaristi sebagai sumber dan puncak seluruh hidup Kristiani ... 16

b. Ekaristi sebagai Sakramen Cinta: undangan untuk tinggal di dalam Kristus... 19

c. Ekaristi sebagai kekuatan berbagi ... 21

B. Sosok Katekis ... 23

1. Identitas Katekis... 24

2. Panggilan Menjadi Katekis ... 27

2. Spiritualitas Katekis ... 29

a. Keterbukaan terhadap Allah Tritunggal ... 29

b. Keterbukaan terhadap Gereja ... 30

c. Keterbukaan terhadap dunia ... 32

d. Keutuhan dan keaslian hidup ... 33

e. Semangat misioner ... 33

f. Devosi kepada Bunda Maria ... 34

3. Karya Pelayanan Katekis ... 35

a. Karya pelayanan katekis dalam tugas pewartaan (Kerygma) ... 35

b. Karya pelayanan katekis dalam bidang liturgi (Liturgia) ... 36

c. Karya pelayanan katekis dalam persaudaraan (Koinonia) ... 37

d. Karya pelayanan katekis dalam bidang pelayanan (Diakonia) ... 38

C. Ekaristi Menjadi Motivasi Katekis dalam Karya Pelayanan ... 39

BAB III PENELITIAN TENTANG SEJAUHMANA EKARISTI MEMOTIVASI PELAYANAN PARA KATEKIS DI PAROKI ST. YUSUP BINTARAN, YOGYAKARTA A. Gambaran Umum Paroki St Yusup Bintaran, Yogyakarta ... 44

1. Sejarah Gereja Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta ... 44

2. Visi dan Misi Paroki St Yusup Bintaran, Yogyakarta ... 48

a. Visi Paroki St Yusup Bintaran, Yogyakarta ... 48

b. Misi Paroki St Yusup Bintaran, Yogyakarta ... 48

3. Letak dan Batas Geografis Paroki St Yusup Bintaran, Yogyakarta ... 50

4. Jumlah dan Pembagian Lingkungan, Wilayah dalam Paroki Santo Yusup Bintaran... 50

(15)

xv

a. Jumlah umat di paroki St Yusup Bintaran, Yogyakarta ... 52

b. Suku umat di paroki St Yusup Bintaran, Yogyakarta ... 52

c. Kekhasan paroki St Yusup Bintaran, Yogyakarta ... 53

6. Gambaran Singkat Kehidupan Katekis di Bintaran ... 53

B. Penelitian tentang Sejauhmana Ekaristi Meningkatkan Motivasi Karya Pelayanan Katekis di Paroki St Yusup Bintaran, Yogyakarta ... 54

1. Persiapan Penelitian ... 55

a. Latar belakang penelitian ... 55

b. Tujuan penelitian ... 56

c. Jenis penelitian ... 57

d. Instrument pengumpulan data ... 57

e. Responden penelitian... 58

f. Tempat dan alokasi waktu ... 58

g. Variabel penelitian ... 58

h. Tabel kisi-kisi ... 59

2. Laporan Hasil Penelitian ... 59

a. Laporan hasil kuesioner ... 60

b. Laporan hasil wawancara ... 71

3. Pembahasan Hasil Penelitian tentang Penghayatan Ekaristi Para Katekis ... 73

a. Identitas responden ... 73

b. Hasil kuesioner tentang penghayatan Ekaristi para katekis ... 75

c. Hasil wawancara mengenai harapan katekis untuk dapat menghayati Ekaristi ... 78

C. Kesimpulan Hasil Penelitian ... 80

BAB IV REKOLEKSI PENGAYAAN (ENRICHMENT) DAN PEMBERDAYAAN (ENPOWERMENT) MAKNA EKARISTI DENGAN MODEL BERBAGI PENGALAMAN SEBAGAI USAHA UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI PELAYANAN PARA KATEKIS DI PAROKI SANTO YUSUP BINTARAN, YOGYAKARTA A Rekoleksi Pengayaan (enrichment) dan Pemberdayaan (empowerment) Makna Ekaristi dengan Model Berbagi Pengalaman ... 82

(16)

xvi

2. Tujuan Katekese Rekoleksi... 84

3. Waktu, Tempat, dan Peserta ... 84

B. Rekoleksi Pengayaan (enrichment) dan Pemberdayaan (empowerment) Makna Ekaristi dengan Model Berbagi Pengalaman sebagai Usaha untuk Meningkatkan Motivasi Pelayanan Para Katekis di Paroki Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta ... 85

1. Latar Belakang Kegiatan ... 85

2. Rumusan Tema dan Tujuan Kegiatan ... 86

3. Gambaran Kegiatan ... 86

4. Sarana ... 87

5. Metode ... 88

6. Sumber Bahan ... 88

4. Matriks Program Rekoleksi ... 89

5. Contoh Satuan Pertemuan ... 93

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 104

B. Saran... 105 LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Permohonan Ijin Penelitian (1) Lampiran 2 : Surat Keterangan Selesai Penelitian (2)

Lampiran 3 : Data Paroki (3)

Lampiran 4 : Struktur Jumlah Jiwa di Keluarga (4)

Lampiran 5 : Suku Bangsa (6)

Lampiran 6 : Keterlibatan Sosial Umat (8) Lampiran 7 : Jenis Kelamin Umat Berdasarkan Usia (9)

Lampiran 8 : Kuesioner Tertutup (11)

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kisi-kisi ... 59 Tabel 2 Identitas Responden ... 60 Tabel 3 Makna Ekaristi untuk Para Katekis ... 62 Tabel 4 Faktor Pendukung yang Mempengaruhi Penghayatan Ekaristi dalam

Karya Pelayan Para Katekis di Paroki Santo Yusup Bintaran,

Yogyakarta ... 67 Tabel 5 Faktor Penghambat yang Mempengaruhi Penghayatan Ekaristi

(18)

xviii

EG : Evangelii Gaudium, Anjuran Apostolik Paus Fransiskus tentang

Pewartaan Injil di Dunia Dewasa ini, 24 November 2013

EN : Evangelii Nuntiandi, Anjuran Apostolik Paus Paulus VI tentang

Pewartaan Injil di Dunia Modern, 8 Desember 1975

SC : Sacrosanctum Concillium, Konstitusi tentang Liturgo Suci Konsili

Vatikan II. 4 Desember 1963

KGK : Katekismus Gereja Katolik, uraian tentang ajaran iman dan moral Gereja Katolik, 22 Juni 1992

KHK : Kitab Hukum Kanonik, susunan atau kodifikasi peraturan kanonik dalam Gereja Katolik, 25 Januari 1983

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang

Gereja, 21 November 1964

Singkatan Lain

CEP : The Congregation for the Evangelization of Peoples, Kongregasi

Evangelisasi untuk Bangsa-bangsa, menerbitkan buku Pedoman Untuk Katekis, 5 Juni 1997

DPP : Dewan Pastoral Paroki KAS : Keuskupan Agung Semarang KomKat : Komisi Kateketik

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Komisi Kateketik KAS (2016: 33) Gereja Katolik itu bersifat kerygmatis dan missioner. Sejak semula Tuhan Yesus memanggil mereka yang dikehendaki-Nya serta untuk diutus-Nya mewartakan Injil (Mrk 3:13). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pewartaan memiliki peranan penting dalam perkembangan kehidupan Gereja. Kehidupan Gereja tidak dapat dipisahkan dari pewartaan karena keduanya ada untuk saling melengkapi dan memiliki keterkaitan erat satu dengan yang lain. Gereja hadir untuk mewartakan Injil dan melalui kegiatan pewartaan Injil ini, Gereja lahir dan tetap hidup, tumbuh dan berkembang hingga sampai saat ini.

(20)

Berkat Sakramen Baptis yang telah diterima, setiap anggota umat Allah menjadi murid yang missioner (EG, 120). Setiap pribadi yang telah dibaptis, apapun kedudukannya dalam Gereja, dipanggil dan diutus menjadi subjek pewartaan yang memiliki tugas untuk membawa orang lain kepada Kristus, supaya orang-orang terlahir kembali berkat sabda Allah (1 Ptr 1:23). Hal tersebut disampaikan Yesus dalam amanat Agung-Nya sebelum Ia terangkat ke sorga, “Pergilah dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, dan Anak dan Roh Kudus dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat 28:20). Akan tetapi, tidak semua hal dalam pewartaan dapat dilaksanakan oleh semua awam. Katekis adalah awam yang terpanggil untuk secara khusus mengambil tugas dalam berkatekese.

Peristiwa Pentakosta menjadi jejak para rasul dalam menjalankan amanat Agung Yesus untuk mewartakan Injil. Berkat karya Roh Kudus, karya pewartaan para rasul membuahkan hasil yang melimpah; banyak orang dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Setelah dibaptis, mereka menunjukkan sikap-sikap iman dengan tetap bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Mereka juga selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa (Kis 2:41-47). Dengan demikian, tentunya mereka membutuhkan orang-orang (pewarta) yang mampu menjadi penerus pelayanan para rasul sehingga umat mendapatkan penyegaran iman dan semakin diperteguh.

(21)

perutusan-Nya (Komisi Kateketik KAS, 2016: 33). Seorang katekis juga dipanggil untuk tinggal bersama Yesus sebagai Sang Sumber yang hendak diwartakan. Ekaristi menjadi saat dimana kita diundang oleh Yesus sendiri untuk tinggal bersama Dia dan membangun kualitas relasi dengan-Nya. Dengan demikian karya pewartaan yang dikerjakan para katekis merupakan ekspresi atas pengalaman hidupnya bersama dengan-Nya bukan sekedar teori mengenai pengetahuan akan sosok Yesus Kristus.

Indra Sanjaya (2011: 54) menegaskan seorang katekis :

membagikan pengalaman pribadi akan Allah yang mencintai manusia dengan segala dinamikanya merupakan unsur penting yang harus mendapat perhatian oleh siapa pun yang mau menjadi pewarta Kabar Sukacita dengan demikian, membina relasi dengan pribadi Tuhan menjadi kewajiban bagi kita semua (katekis)

Penegasan tersebut menekankan pentingnya relasi seorang katekis dengan pribadi Allah, sebab yang hendak ditawarkan dalam pewartaan adalah pribadi Yesus, wujud cinta Allah kepada manusia. Pengenalan katekis akan pribadi Yesus adalah pengalaman yang dibagikan dalam pewartaan. Ekaristi merupakan cara bagi katekis untuk mengenal Sang Pribadi itu sekaligus Ekaristi menjadi tempat untuk menimba kekuatan dari Allah Sang Sumber pewartaan itu sendiri. Melaluinya, kekuatan Gereja sebagai sakramen penyelamatan sangat besar. Dimana kita disatukan dengan Tritunggal Maha Kudus. Tubuh dan Darah-Nya menjadi jaminan kekal bagi kita yang mengambil bagian pada perjamuan Paskah Kristus, yang dihadirkan dalam Ekaristi Kudus.

(22)

Menyatunya seorang katekis dengan Ekaristi menunjukkan seorang katekis tersebut siap untuk dibentuk. Dibentuk yang berarti mau diperkembangkan dan dijiwai oleh Ekaristi sehingga sungguh menjadi hidupnya, yang menantangnya untuk berbagi hidup dan memberikan diri dalam pelayanan di dunia.

Paroki St. Yusup Bintaran Yogyakarta merupakan Gereja Jawa pertama yang diperuntukkan bagi orang-orang pribumi di Yogyakarta. Salah satu pelopor pembangunan Gereja ini adalah seorang katekis pribumi yaitu bapak Dawoed (Komsos Paroki Santo Yusup Bintaran, hlm 4). Maka dapat dikatakan bahwa semangat pelayanan katekis awam untuk ambil bagian di dalam memperkembangkan Gereja telah tampak sejak awal pembangunan Gereja Bintaran. Hal ini bertolak belakang dengan semangat pelayanan katekis saat ini yang mengalami pasang surut. Dalam sebuah wawancara bapak Ari Raharta (23 September 2017), salah satu katekis di paroki ini mengatakan paroki ini memiliki 15 orang katekis yang aktif baik dalam kegiatan menggereja maupun berpastoral. Keaktifan mereka juga sering kali naik-turun, membuat beberapa katekis merangkap tugas dalam memberikan pelayanan yang bersifat rutin seperti menjadi pendamping para calon penerima sakramen inisiasi. Sebagai seorang pewarta, keterlibatan mereka juga masih dirasa kurang dalam kegiatan persiapan pembekalan Adven, pra Paskah, BKSN dsb. Maka perlu adanya regenerasi terutama dari kaum muda dalam karya pelayanan ini

(23)

Ekaristi sebagai Upaya Meningkatkan Motivasi Para Katekis dalam Karya

Pelayanannya di Paroki St. Yusup Bintaran, Yogyakarta”.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apa makna Ekaristi bagi pelayanan para katekis?

2. Seberapa besar Ekaristi telah memotivasi pelayanan para katekis di paroki Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta?

3. Usaha apa yang perlu dilakukan agar Ekaristi dapat meningkatkan motivasi pelayanan para katekis di paroki St. Yusup Bintaran?

C.Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Menjelaskan makna Ekaristi bagi pelayanan para katekis

2. Mengetahui seberapa besar Ekaristi telah memotivasi pelayanan para katekis di paroki St. Yusup Bintaran, Yogyakarta

3. Menguraikan usaha yang perlu dilakukan agar Ekaristi dapat meningkatkan motivasi pelayanan para katekis di paroki St. Yusup Bintaran

D.Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi Katekis :

(24)

Mereka untuk semakin bersemangat dalam melaksanakan pelayanan mereka secara total.

2. Bagi Paroki

Penulisan ini dapat menjadi masukan bagi paroki untuk memberikan pendampingan bagi katekis agar mampu menyadari dan menghayati makna Ekaristi dalam karya pelayanannya

3. Bagi Penulis

Sebagai calon katekis, penulis semakin menyadari makna Ekaristi sebagai sumber kekuatan dalam melaksanakan tugas pewartaan sehingga penulis semakin dimantapkan untuk menjadi seorang katekis

E.Metode Penulisan

Dalam penyusunan Skripsi ini, penulis menggunakan metode deskripsi yang analitis. Dalam metode ini, penulis akan memusatkan perhatian kepada masalah sebagaimana ditemukan di dalam penelitian, kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulan. Penulis akan menjelaskan makna Ekaristi dan sosok katekis dengan menggunakan studi pustaka. Selanjutnya, penulis menggunakan penelitian kualitatif yang terdiri dari kuesioner tertutup dan wawancara terstruktur bersama para katekis dengan panduan beberapa pertanyaan penuntun yang bertujuan untuk memperoleh gambaran nyata tentang “Ekaristi sebagai Upaya Meningkatkan

(25)

F. Sistematika Penulisan

Judul skripsi yang dipilih adalah Ekaristi sebagai Upaya Meningkatkan Motivasi Pelayanan Para Katekis di Paroki St. Yusup Bintaran, Yogyakarta. Secara keseluruhan skripsi ini dibagi ke dalam empat bab. Adapun perinciannya sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II memaparkan secara umum pengertian dan makna Ekaristi bagi umat Kristiani, yang terdiri dari pokok-pokok perayaan Ekaristi dan makna Ekaristi bagi umat dalam kehidupan sehari-hari, kemudian dilanjutkan dengan pemaparan mengenai sosok katekis yang terdiri dari identitas katekis, panggilan katekis, spiritualitas katekis dan karya pelayanan katekis.

Bab III berisi gambaran umum mengenai paroki St Yusup Bintaran, Yogyakarta dan pembahasan hasil penelitian tentang sejauhmana Ekaristi memotivasi pelayanan para katekis di paroki St. Yusup Bintaran, Yogyakarta.

Bab IV menyampaikan rekoleksi pengayaan (enrichment) dan pemberdayaan (empowerment) tentang makna Ekaristi dengan model berbagi pengalaman sebagai usaha untuk meningkatkan motivasi pelayanan para katekis di paroki Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta.

(26)

BAB II

EKARISTI MENJADI MOTIVASI KATEKIS

DALAM MENGEMBAN TUGAS PELAYANANNYA

Pada Bab II ini, penulis akan memaparkan tentang Ekaristi secara umum dan pelayanan para katekis. Bab ini akan dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian pertama akan menjelaskan tentang makna Ekaristi yang meliputi pokok-pokok Ekaristi dan makna Ekaristi dalam kehidupan sehari-hari. Bagian kedua menjelaskan sosok katekis yang meliputi identitas katekis, panggilan menjadi Katekis, Spiritualitas Katekis dan Karya Pelayanan Katekis. Bagian ketiga menjelaskan bagaimana Ekaristi menjadi Motivasi dalam Karya Pelayanan Katekis.

A.Makna Ekaristi bagi Umat Beriman Kristiani

Secara kodrati manusia memiliki kerinduan yang selalu melekat yaitu keterbukaan batin pada pengalaman akan Allah (Martasudjita, 2012: 14). Dapat dikatakan bahwa hidup manusia adalah sebuah pencarian untuk dapat berjumpa dan tinggal bersama Allah. Namun demikian, untuk dapat mencapainya diperlukan tindakan aktif dari manusia yaitu pengalaman dan perjuangan di dalam hidupnya. Seperti diungkapkan dalam Injil Yohanes “Marilah, dan kamu akan

melihat” (Yoh 1:39). Allah berkehendak agar manusia dengan akal budi

(27)

Tujuan hidup manusia adalah Allah, namun manusia tidak boleh lupa bahwa kehidupan merupakan anugerah yang patut disyukuri. Salah satu bentuk syukur manusia adalah dengan berdoa. Doa merupakan ungkapan syukur sekaligus memberikan kekuatan bagi aktivitas hidup sehari-harinya. Doa-doa tersebut pantaslah dihunjukkan ke hadapan Allah melalui Ekaristi. Sebab, Ekaristi menjadi sumber kehidupan yang menjanjikan pemenuhan atas kehausan dan dambaan hati setiap umat beriman Kristiani (Martasudjita, 2000: 36).

Pada bagian ini penulis akan menjelaskan mengenai makna Ekaristi secara umum yaitu bagi umat beriman Kristiani. Selanjutnya penulis akan membahas mengenai sosok katekis secara khusus. Meskipun katekis merupakan bagian dari umat beriman namun makna Ekaristi di sini ditempatkan di dalam konteks untuk meningkatkan spiritualitas katekis.

1. Pokok-pokok Perayaan Ekaristi

Istilah Ekaristi berasal dari bahasa Yunani eucharistia yang berarti puji -syukur. Kata eucharistia adalah sebuah kata benda yang berasal dari kata kerja bahasa Yunani eucharitein yang berarti memuji dan mengucap syukur (Martasudjita, 2005: 28). Istilah Ekaristi ini menekankan aspek isi yang mau dirayakan yaitu makna Ekaristi sebagai puji syukur. Ungkapan syukur atas karya penyelamatan Allah yang dikerjakan oleh Yesus Kristus. Istilah Ekaristi dikenal juga dengan istilah “Misa”. Misa berasal dari rumus pembubaran “Ite missa est”

(28)

Pokok-pokok utama di dalam perayaan Ekaristi adalah umat mengenangkan sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus dan merayakan perjamuan syukur atas anugerah dan cinta Allah kepada manusia, serta sebagai sarana yang menyatukan umat dengan Allah dan Gereja.

a. Kenangan umat akan sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus

Kenangan merupakan suatu peristiwa penting di masa lalu yang mempunyai daya memurnikan dan menyembuhkan serta mengerakkan kehidupan saat ini. Seringkali manusia cenderung untuk melupakan kenangan pahit karena dinilai menyakitkan dan mengganggu aktivitas saat ini dan hanya mengingat kenangan-kenangan manis saja. Tetapi, Ekaristi justru ingin mengajarkan kepada umat-Nya untuk berani menghadapi kegelapan masa lampau dengan harapan yang dilandaskan pada kemenangan kasih Allah yang nyata dalam diri Yesus yang wafat dan bangkit (Martasudjita, 2011: 69-70).

Memoria (kenangan- Bahasa Latin) atau anamnese (Bahasa Yunani) dalam

(29)

perayaan Ekaristi dikenang atau dihadirkan dalam rangka Gereja, melalui dan bersama dengan Gereja-Nya dalam rupa lambang, yaitu roti dan anggur.

Ekaristi merupakan kenangan akan sengsara dan wafat Kristus yang merupakan pengurbanan dan persembahan diri Yesus Kristus kepada Bapa dan demi umat-Nya. Yesus berkurban dan mempersembahkan seluruh hidup-Nya karena Ia mencintai Bapa-Nya dan kita manusia. Namun demikian, cinta yang ditunjukkan oleh Yesus melebihi kualitas cinta pada manusia. Yesus rela sengsara dan wafat di kayu salib tidak hanya untuk orang-orang tertentu tetapi juga musuh-musuh yang membenci-Nya agar mereka selamat dan berdamai kembali dengan Allah (Martasudjita, 2000: 26). Darah Kristus mendamaikan Allah dan umat manusia sehingga terciptalah tata relasi yang baru antara Allah dan umat manusia (Martasudjita, 2005: 232).

Kenangan akan sengsara dan wafat Kristus dapat membantu kita untuk memberi makna kepada pengalaman hidup kita di dunia saat ini. Dunia ini penuh dengan kesengsaraan karena berbagai pengkhianatan yang dilakukan manusia. Pengkhianatan tersebut berupa nafsu akan kuasa dan harta yang menjadikan orang melupakan Allah dalam hidupnya. Kebahagiaan semu itu menjadikan manusia saling membenci dan menganggap satu dengan lainnya sebagai saingan dan musuh. Dalam perjamuan terakhir, Yesus mengubah pengkhianatan yang Ia alami menjadi pemberian diri yang membarui kehidupan. Pengkhianatan menghancurkan kehidupan namun pemberian diri-Nya memberikan kehidupan (Martasudjita, 2011: 70-72).

(30)

segala hal yang membelenggu manusia: keinginan dan kebutuhan yang menjauhkan umat dari Allah dan orang-orang di sekitarnya (Grun, 1998: 81). Kebangkitan berarti suatu kemenangan akan kematian yang menjauhkan umat dari Allah. Namun, kebangkitan Yesus memberikan umat harapan baru bahwa Allah senantiasa menyertai dan menunggu mereka kembali pada-Nya. Kristus mengundang umat-Nya untuk menanggalkan hidup lama dan melepas topeng dari wajahnya: segala keinginan diri sendiri, ambisi, sikap iri hati, dendam, kebencian, curiga, serta segala hal yang menghambat kemerdekaan batin umat agar memperoleh kedamaian hati.

b. Perayaan perjamuan syukur

Sifat dan bentuk dasar Ekaristi adalah perayaan puji syukur. Kata puji syukur berasal dari tradisi biblis yakni kata berakah (dari kata kerja barekh-Ibrani atau eucharistein-Yunani), yang menunjuk doa pujian kepada Allah Bapa sebagai ungkapan syukur atas tindakan-Nya dalam diri Yesus Kristus yang mengagumkan bagi umat-Nya terutama wafat dan kebangkitan-Nya. Tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh Yesus di masa lampau, oleh doa pujian dihadirkan sebagai karya penyelamatan-Nya saat ini sehingga umat ikut mengalami karya Allah ini sekaligus memohonkan pemenuhannya di masa yang akan datang (Martasudjita, 2005: 343).

(31)

Bersyukur sekaligus mengenang karya penebusan Tuhan yang kini hadir dalam hidup kita serta membawanya kepada pengharapan dan penyerahan diri kepada Allah yang mahabaik

Wibowo Ardhi (1993: 11) mengatakan Ekaristi sebagai perayaan syukur tidak berarti Ekaristi sebagai ungkapan terimakasih atas apa yang kita terima tetapi lebih kepada pernyataan kagum sekaligus hormat penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Ungkapan ini meliputi syukur atas karunia dari Allah bagi manusia yang tidak terkatakan (2Kor 9:15) dan syukur atas sikap dasariah manusia di hadapan Allah yaitu bergantung pada kebaikan Allah (Rm 1:21). Jacobs (1996: 30) menjelaskan syukur sebagai sikap dasariah manusia berarti kita mengakui bahwa segala sesuatu yang kita miliki dan yang membuat kita hidup berasal dari Allah dan ditopang oleh Allah.

c. Kesatuan dengan Allah dan Gereja

Gereja adalah sebuah komunitas iman dan sebagai konsekuensinya tindakan merayakan Ekaristi merupakan perayaan komunitas yang keberadaannya bergantung pada komunitas Kristiani yang ada (Osborne, 2008: 170). Maka, kesatuan Gereja terletak pada sikap saling mengasihi antar umat di dalam komunitas tersebut. Sebab tidak ada Ekaristi dalam komunitas yang anggotanya tidak saling mengasihi. Perpecahan di dalam komunitas menyelewengkan realitas Ekaristi sesungguhnya (Osborne, 2008: 39).

(32)

orang tidak mempunyai hubungan dengan orang yang berada di sampingnya, akan tetapi bersama-sama mencoba saling mengenal dan membentuk persatuan umat yang mengarah kepada pujian dan kebaktian terhadap Allah.

Kesatuan iman yang dimaksud adalah kesatuan yang diwujudkan dalam persekutuanpersaudaraan antara umat beriman yang hidup bersama dalam daerah atau negara yang sama. Kesatuan tidak sama dengan keseragaman. Lebih tepatnya kesatuan dalam perbedaan seperti yang diungkapkan dalam semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tetap satu jua). Kesatuan Gereja dalam bentuk persekutuan (communio) terarah kepada kesatuan semua orang yang “berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni”. Tuntutan zaman dan

tantangan-tantangan di dalam hidup bermasyarakat menjadi dorongan kuat untuk menggalang kesatuan iman dalam menghadapi tugas bersama (Iman Katolik, 1996: 346).

Madya Utama (Jurnal Teologi, Vol 03, No 1, hal 76) mengungkapkan kesatuan Gereja dalam persekutuan persaudaraan (communion) adalah cara hidup jemaat Kristiani yang diwarnai oleh semangat cinta kasih, kesediaan untuk berbagi, saling mendukung dan memberikan kesempatan untuk berkembang, serta saling menerima keunikan masing-masing anggota. Setiap anggota saling memperhatikan sehingga tidak ada anggota yang berkekurangan merupakan ciri persatuan Gereja yang ditunjukkan dengan persekutuan persaudaraan.

(33)

(Martasudjita, 2011: 17). Ekaristi menjadikan setiap pribadi menjadi manusia baru yaitu transformasi dalam Yesus Kristus, di mana manusia diubah oleh Yesus Kristus menyerupai diri-Nya. Kemanusiaan baru inilah yang membentuk persaudaraan di antara umat beriman. Persaudaraan yang mengesampingkan perbedaan-perbedaan sosial dan berhimpun sebagai sesama saudara yang mempunyai jati diri sebagai anak-anak Allah yang menantikan perjumpaan dengan Allah.

Kesatuan dengan Allah menunjukkan bahwa di dalam Ekaristi kita berjumpa dan berkomunikasi dengan Allah. Komunikasi yang terjadi antara Allah dan umat-Nya adalah komunikasi secara dialogal (Martasudjita, 2000: 46). Allah berbicara kepada umat-Nya lewat sabda-Nya pada saat Kitab Suci dibacakan sedangkan umat mendengarkan dan menanggapi sabda-Nya. Ekaristi mengundang kita untuk mendengarkan Allah, menerima dan membiarkan sabda membarui hidup kita dan membuka diri akan rencana dan kehendak-Nya sehingga kita dapat membawanya dalam keseharian kita.

Sebagaimana perjamuan mengakrabkan satu dengan yang lainnya, demikian perjamuan Ekaristi mengakrabkan kita dengan Allah. Ekaristi adalah persatuan dengan Kristus dan melalui Kristus, kita disatukan dengan Allah Bapa dan Roh Kudus. Persatuan kita dengan Kristus ditandai dengan Komuni kudus. Di mana di dalam komuni kudus: Allah hadir menjadi santapan bagi umat-Nya dan membentuk satu Tubuh dengan-Nya. Kesatuan mesra inilah yang dikehendaki oleh Allah (KGK 1331).

(34)

berada dalam hubungan dengan Allah. Hubungan dengan Allah diungkapkan dalam relasi dengan sesama. Hal tersebut menyatakan bahwa keduanya adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Panggilan Kristen adalah hidup menurut hubungan tersebut, sehingga semua umat beriman berada dalam satu persekutuan dan persaudaraan dengan sesama, semua menjadi satu tubuh (1 Yoh 1:3).

Kita perlu berada di antara orang-orang yang telah mengalami kasih Allah untuk dapat berjumpa dengan Allah. Sebab, di dalam kesendirian, kita tidak akan pernah mengalami perjumpaan dengan Allah. Lingkungan dimana kita berada sangatlah berpengaruh dalam hidup kita. Ketika kita berada di tengah-tengah umat beriman yang mengucap syukur, berbagi pengalaman iman dan saling menguatkan, di sanalah kita mengalami karya Allah yang memberi kedamaian lewat Gereja, maka persatuan kita dengan Gereja menjadi wujud persatuan kita dengan Allah.

2. Makna Ekaristi bagi Umat dalam Kehidupan Sehari-hari

a. Ekaristi sebagai sumber dan puncak seluruh hidup Kristiani

(35)

Madya Utama (Jurnal Teologi, Vol 03, No 1, hal. 78) mengungkapkan Ekaristi sebagai sumber seluruh hidup Kristiani sebab Ekaristi menjadi sumber kekuatan untuk melaksanakan iman yang telah dirayakan dalam Ekaristi ke dalam hidup sehari-hari. Ekaristi sebagai puncak bukan berarti Ekaristi sebagai tujuan akhir melainkan langkah awal untuk bertindak lebih lanjut. Dengan demikian, Ekaristi menjadi dasar yang menggerakkan umat untuk bertindak merealisasikan Ekaristi dalam hidup sehari-hari. Ekaristi sesungguhnya adalah Ekaristi yang hidup di tengah kehidupan sehari-hari umat beriman yang ditunjukkan dengan terwujudnya nilai-nilai Ekaristi yakni iman yang teguh, persaudaraan dengan umat dan masyarakat serta jiwa pelayanannya. Tujuan dari kehidupan Gereja adalah diwujudkannya Kerajaan Allah, yang oleh Yesus Kristus telah dimulai di dunia, untuk selanjutnya disebarluaskan, hingga akhirnya disempurnakan oleh-Nya pula pada akhir zaman (LG 9).

Sebagai sumber, Ekaristi juga menjadi medan untuk pengungkapan iman kita masing-masing yang mengambil bagian dalam iman Gereja. Ekaristi memberi daya dorong kepada komunitas untuk membuat sebuah komitmen yang akan benar-benar dilaksanakan guna membangun masyarakat yang adil dan penuh semangat persaudaraan (Jurnal Teologi 03, No 1, hlm. 78). Komitmen yang dibangun menghantarkan umat untuk senantiasa memberikan perhatian dan kepeduliannya kepada mereka yang membutuhkan. Sebagai sumber, Ekaristi menjadi daya gerak umat untuk bertindak sesuatu yang tentunya menjadi tolok ukur untuk menilai otentisitas Ekaristi yang kita rayakan.

(36)

Ekaristi merupakan rangkuman seluruh pengungkapan iman Gereja sebab Ekaristi merupakan sakramen paling pokok dan penting sedangkan sakramen lainnya menjadi persiapan atau konsekuensi dari perayaan Ekaristi. Sakramen baptis, sakramen penguatan dan sakramen tobat menjadi persiapan bagi mereka yang berkehendak untuk disatukan menjadi anggota umat Allah dan akhirnya layak untuk ikut serta merayakan Ekaristi. Sedangkan, sakramen imamat, sakramen perkawinan maupun sakramen pengurapan orang sakit menjadi konsekuensi dari perayaan Ekaristi. Melalui Ekaristi relasi umat dengan Allah dapat terus diperbarui dan perubahan hidup yang dialaminya (berkeluarga atau ditahbiskan) semakin dikuatkan dan tetap dalam kebersamaan dengan-Nya, sedangkan untuk pengurapan orang sakit sebagai penyerahan diri umat agar dapat disatukan dengan Allah dalam kematiannya (Jacobs, 1996: 31-33).

Konsili Vatikan II dalam konstitusi tentang liturgi suci “Sacrosanctum

Concilium” (SC 9) menyatakan bahwa liturgi Gereja khususnya perayaan Ekaristi

merupakan puncak kehidupan Gereja “sebab tujuan dari semua usaha kerasulan

adalah supaya semua orang yang melalui iman dan pembaptisan menjadi anak-anak Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah di tengah Gereja, ikut serta dalam korban dan menyantap perjamuan Tuhan”.

Kesatuan Gereja berpola pada kehidupan Allah Tritunggal, Allah yang selalu mengalirkan kehidupan-Nya sendiri secara berlimpah-limpah dengan cinta

(Jurnal Teologi 03, No 1, hlm. 76).

(37)

mereka jumpai dalam perjalanan hidupnya. Setiap umat yang merayakan Ekaristi terdorong untuk selalu mengusahakan nilai-nilai Injil di dalam hidupnya baik di dalam keluarga, masyarakat, maupun di tengah dunia. Dengan begitu, Ekaristi bukan sekedar perayaan melainkan hidup di dalam keseharian yang kongkret sehingga layak dipersembahkan kepada Allah (Jurnal Teologi, Vol 03, No 1, hal. 79).

Ekaristi sungguh menjadi sumber dan puncak dapat dilihat dari buah-buah mereka yang merayakan Ekaristi. Mereka yang merayakan sungguh mengupayakan agar hidup mereka sungguh sebuah persekutuan (communion). Sebagai sebuah communio mereka sungguh mengupayakan terwujudnya Ekaristi sebagai sakramen cinta kasih, lambang kesatuan dan ikatan cintakasih (SC 47). Di samping itu, mereka juga mengusahakan kedewasaan iman mereka yang ditunjukkan dengan keterlibatan aktif mereka dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, menjunjung tinggi hukum serta hak-hak asasi manusia (Jurnal

Teologi, Vol 03, No 01, hal. 79).

(38)

menjelma menjadi manusia dan sekaligus menjadi sumber dan pemenuhan cinta manusia.

Cinta pada hakikatnya selalu mengarah pada pertemuan, perjumpaan, kebersamaan (Martasudjita, 2000: 32). Cinta Allah menginginkan adanya perjumpaan dengan manusia ciptaan-Nya. Hal tersebut diwujudkan dengan kehadiran Kristus yang nyata, Allah yang hadir dalam hidup manusia dalam rupa roti dan anggur yang menjadi santapan rohani umat-Nya (Martasudjita, 2000: 30). Allah menghendaki lebih dari sekedar perjumpaan yaitu mengundang kesatuan dengan manusia “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia” (Yoh 6: 56).

Dalam perayaan Ekaristi, kita diundang Allah untuk tinggal di dalamNya: saat Allah mengumpulkan umat-Nya (Ritus Pembuka), saat Dia bersabda dan mengobarkan hati kita (Liturgi Sabda), saat Dia memberikan diri dan hidup-Nya agar bersatu dan tinggal dengan kita (Liturgi Ekaristi), dan saat Dia mengutus kita untuk kembali ke perjuangan hidup sehari-hari dalam berkat-Nya (Martasudjita, 2012: 16)

Tinggal di dalam Kristus berarti umat menanggapi undangan Allah yang menginginkan setiap pribadi untuk dapat berpikir, merasakan dan menghidupi serta mengalami sendiri apa yang menjadi misteri pribadi dan hidup Kristus sendiri (Martasudjita, 2012: 21). Dengan menyelami hidup Kristus Yesus, umat semakin mengenal dan mencintai-Nya sehingga membawanya pada perutusan untuk berbuat sesuatu secara konkret bagi orang lain, menghadirkan apa yang dialami dalam perayaan Ekaristi.

(39)

umat hidup dengan membawa Kristus dan menjadi wajah Kristus bagi orang lain (Martasudjita, 2000: 30). Ekaristi memberi ruang bagi umat untuk membiarkan Allah berbincang-bincang dengannya sehingga kehidupan sehari-hari menjadi tempat bagi umat untuk mengaktualisasikan Kristus yang penuh cinta. Hal tersebut dapat dilakukan umat dengan senantiasa berpihak pada kaum lemah, mengunjungi orang sakit dan terutama peka dan peduli akan kebutuhan orang lain. Musakabe (2009: 12) mengungkapkan kembali pandangan Thomas Aquinas mengenai perayaan Ekaristi sebagai sakramen cinta, “Ia menyatakan cinta, ia menghasilkan cinta”. Dalam perayaan Ekaristi tergambar cinta Allah bagi

manusia. Dengan tinggal di dalam-Nya, cinta Allah menyatu dalam dirinya. Hati dan pikiran umat menjadi hati dan pikiran Allah, yang menggerakkan untuk melaksanakan kehendak Allah. Ekaristi menjadi semangat yang memotivasi umat untuk dapat melakukan perbuatan cinta dengan hati gembira.

c. Ekaristi sebagai kekuatan berbagi

(40)

wafat dan kebangkitan-Nya manusia yang berdosa ditebus dan beroleh jalan masuk ke Allah sendiri. Dengan kata lain, wafat dan kebangkitan Kristus berarti peristiwa dimana kita boleh ambil bagian dalam hidup Allah sendiri dan memperoleh hidup Ilahi yang dibagikan-Nya (Martasudjita, 2016: 122-123).

Yesus membagikan diri-Nya sebagai roti hidup agar orang bisa mengalami hidup dalam Allah yang adalah kasih seperti diri-Nya. Kehadiran Yesus ke dunia adalah agar manusia hidup dalam kelimpahan. Namun, kenyataannya tidak semua orang mengalami hidup berkelimpahan. Sebagaimana Yesus yang adalah roti hidup yang berpihak pada kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel (KLMTD) yang memberikan diri-Nya, setiap orang dipanggil untuk menjadi jembatan bagi mereka untuk mencapai hidup berkelimpahan (Edi Mulyono, 2012: 66).

(41)

B. Sosok Katekis

Konsili Vatikan II mengeluarkan dekrit penting tentang kerasulan awam

(Apostolicam Actuositatem), yang menjadi tonggak sejarah bagi Gereja dalam

memahami dunia secara baru. Dekrit ini memberikan penyegaran dan pembaharuan bagi Gereja dan menjadi langkah awal keterlibatan kaum awam dalam kehidupan Gereja. Gereja tak lagi dipahami sebagai kesatuan organisatoris dan bersifat yuridis, tetapi Gereja sebagai paguyuban umat beriman akan Yesus Kristus (Prasetya, 2007: 15). Sebagai paguyuban umat beriman, panggilan kaum awam dalam mengambil tugas imamat Kristus sebagai imam, raja dan nabi dapat diaktualisasikan secara kongkret dalam hidup menggereja saat ini. Salah satu upaya untuk mengambil bagian dalam tugas ini yaitu dengan menanggapi panggilannya sebagai katekis.

Kata katekis berasal dari kata dasar katechein yang mempunyai arti: mnegkomunikasikan, membagikan informasi, mengajarkan hal-hal berkaitan dengan iman (Indra Sanjaya, 2011: 16). Katekis ialah kaum awam yang terlibat dalam kegiatan membagikan atau mewartakan Kabar Gembira, sebagai wujud partisipasi mereka dalam tugas Gereja dengan membagikan dan mendampingi serta memperkembangkan atau mendewasakan iman umat baik di dalam lingkup sekolah maupun di dalam lingkup paroki.

Seorang katekis seharusnya adalah umat beriman Kristiani awam yang dibina dengan semestinya dan unggul dalam kehidupan Kristiani, di bawah bimbingan seorang misionaris yaitu pastor atau awam yang dianggap mampu mendampingi, mereka itu membaktikan diri untuk menyampaikan ajaran Injil serta mengatur pelaksanaan-pelaksanaan liturgi dan karya amal kasih (KHK. Kan 785).

(42)

berarti lebih mengenal kehidupan Kristiani lebih dalam atau kehidupannya sungguh mencerminkan sosok orang Kristiani. Sosok Kristiani yang ditunjukkan seorang katekis di antaranya kualitas positif yang tampak dalam kesalehannya dan kehidupannya sehari-hari, mempunyai jiwa merasul dan semangat missioner, memiliki jiwa pelayanan, dan relasi yang baik dengan orang lain (CEP 1997: 42).

Katekis adalah mereka yang berada di tengah-tengah umat beriman berhadapan langsung dengan segala problematika yang sedang dihadapi oleh umat beriman. Merekalah yang langsung mengajar dan mendengar keluh-kesah umat. Katekis hadir sebagai perpanjangan diri Allah yang hadir dalam setiap pribadi yang merindukan hidup Ilahi. Umat membutuhkan pewarta agar setiap hati semakin tersapa oleh bisikan Allah yang murah hati. Maka dapat dikatakan bahwa mereka adalah ujung tombak/ di posisi terdepan dalam Gereja (Indra Sanjaya, 2011: 11).

1. Identitas Katekis

Hasil Pertemuan Nasional Katekis se-Indonesia (2005) yang diadakan di Wisma Samadi Klender-Jakarta mengkategorikan identitas katekis sebagai berikut:

a. Dari segi waktu untuk berkarya, dapat kita jumpai katekis full time, katekis

part time, katekis kontrak, dan katekis sukarelawan (Kotan, 2005: 143).

1) Katekis full time

(43)

utamanya (Kotan, 2005: 14). Biasanya katekis fulltime adalah mereka yang berkarya dalam bidang pewartaan atau katekese secara total dan diangkat secara resmi baik oleh pemerintah atau keuskupan menjadi katekis di sekolah, paroki, LSM, atau di Komisi Keuskupan.

2) Katekis part time

Katekis part time merupakan kaum awam yang sebagian waktunya digunakan untuk berkarya sebagai katekis. Mereka adalah para katekis yang memiliki pekerjaan lain namun terpanggil untuk mengambil bagian dalam karya pewartaan ini. Maka, sumber penghasilannya tidak sepenuhnya berasal dari profesinya sebagai katekis. Biasanya katekis ini dikenal sebagai tenaga honorer (Kotan, 2005: 143).

3) Katekis kontrak

Katekis kontrak ialah kaum awam yang mengabdikan dirinya menjadi katekis dalam kontrak kurun waktu tertentu. Setelah masa kontraknya habis, katekis dapat memperbarui atau tidaknya bergantung pada kebijakan instansi terkait (Kotan, 2005: 143). Katekis ini biasanya diangkat oleh instansi tertentu baik keuskupan, paroki atau pemeritah daerah dikarenakan kekurangan tenaga atau menjadi guru bantu (guru agama) dalam batas waktu tertentu.

4) Katekis sukarelawan

(44)

waktu. Mereka biasanya merupakan kaum awam yang aktif dalam kegiatan Gereja dan memiliki pengetahuan lebih seputar hal-hal yang berkaitan dengan iman Katolik. Sebagai sukarelawan, mereka berkarya atas niat sendiri tanpa mengharapkan pamrih dan diakomodir oleh lembaga terkait (Kotan, 2005: 143).

b. Dari segi pendidikan, katekis di Gereja Indonesia dikategorikan ke dalam dua bentuk yaitu: akademis dan non akademis.

1) Katekis akademis

Katekis akademis ialah katekis yang berbasis pada pendidikan formal kateketik, pastoral, filsafat/teologi (Kotan, 2005: 143). Mereka adalah kaum awam yang mengkhususkan diri mendalami katekese dan memiliki pengetahuan yang luas mengenai agama lewat dunia pendidikan .

2) Katekis non-akademis

Katekis non akademis adalah katekis yang tidak memiliki dasar pendidikan formal kateketik, pastoral, filsafat/teologi (Kotan, 2005: 143). Biasanya, mereka di sebut katekis sukarela yang membantu tugas pelayanan pastoral di sekolah atau paroki yang kekurangan tenaga pastoral. Meskipun demikian, ada dari mereka yang memiliki sertifikat dari kursus atau pelatihan menjadi katekis.

(45)

potensinya serta menjadi seorang kolabolator yang mau bekerjasama dengan berbagai pihak berkaitan (Kotan, 2005: 152).

2. Panggilan Katekis

Kitab Hukum Kanonik (KHK 776) menyebutkan katekis utama adalah Pastor Paroki yang dibantu oleh para klerus, tarekat hidup bakti dan serikat hidup kerasulan, serta orang beriman awam Kristiani. Konferensi Waligereja Indonesia (1996: 390) menggambarkan para katekis ialah mereka baik pria maupun wanita, yang dijiwai semangat merasul dan dengan banyak jerih payah memberi bantuan istimewa dan sungguh perlu demi penyebarluasan iman Gereja. Dari gambaran katekis tersebut dapat dinyatakan bahwa katekis adalah mereka yang mau ambil bagian dalam karya pewartaan Kristus baik awam maupun religius, namun demikian religius merupakan mereka yang secara khusus memberikan dirinya dalam karya misinya. Panggilan kaum awam bukan sekedar sebagai penganti imam, melainkan mendapat legitimasi langsung berupa surat izin secara resmi yang diberikan oleh pastor menjadi saksi Kristus dalam komunitas tersebut (CEP, 1997: 17)

Penulis akan membahas mengenai panggilan menjadi katekis awam. Sebagaimana diungkapkan dalam CEP bahwa katekis awam memiliki panggilan yang bersifat khusus yaitu untuk tugas berkatekese, dan umum, untuk bekerja sama dalam pelayanan kerasulan apa saja yang berguna untuk membangun Gereja (CEP, 1997: 15).

(46)

setempat, untuk memperkenalkan Kristus, dicintai dan diikuti oleh mereka yang belum mengenal-Nya dan oleh kaum beriman itu sendiri (CEP, 1997: 17). Ditegaskan kembali bahwa Katekis merupakan panggilan khusus dan istimewa karena diutus oleh Allah sendiri serta mendapat penugasan dari Gereja, terutama dalam mission canonica dari Gereja, terlebih dalam karya pewartaan Gereja untuk memperkenalkan, menumbuhkan, dan mengembangkan iman umat baik di sekolah dan dalam komunitas basis, baik secara territorial maupun kategorial.

Kaum awam melaksanakan tugasnya sebagai nabi juga melalui penginjilan, yakni pewartaan Kristus, yang disampaikan dengan kesaksian hidup dan kata-kata. Pewartaan yang dijalankan oleh kaum awam ini memperoleh ciri yang khas dan daya guna yang istimewa justru karena dijalankan dalam keadaan-keadaan biasa dunia ini (LG 35).

Keistimewaan kaum awam dalam panggilan menjadi katekis terletak pada karya pewartaannya, dimana seluruh hidupnya menjadi sarana pewartaan, mulai dari kepribadiannya sehari-hari, kehidupan berrumahtangga, kehidupan sosial-bermasyarakat maupun hidup menggerejanya menjadi cermin wajah Kristus bagi orang lain. Seorang katekis mewartakan Kabar Gembira lewat kata dan kata-kata yang baik menghasilkan berkat. Namun demikian, apabila seorang katekis mewartakan Injil hanya dengan kata-kata, tetapi bertolakbelakang atau tak diwujudkan dalam tindakan, iman akan kering dan mati. Sebab, iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak 2:26). Mereka tinggal di tengah umat dan dipanggil oleh Allah, untuk dijiwai semangat Kristiani menjadi terang dan garam di tengah dunia.

(47)

makin dewasa. Katekis menjadi perpanjangan diri Allah yang hendak hadir dalam setiap pribadi yang merindukan hidup Ilahi (Komisi Kateketik KAS, 2016: 45).

3. Spiritualitas Katekis

Seorang katekis harus memiliki spiritualitas yang mendalam yakni mereka harus hidup di dalam Roh agar kegiatan yang dilakukannya dapat berjalan dengan lancar dan penuh dedikasi. Spiritualitas tersebut yang akan membantu mereka untuk memperbaharui diri terus-menerus dalam identitas khusus mereka (CEP, 1997: 22).

Adapun spiritualitas yang perlu dimiliki seorang katekis adalah: a. Keterbukaan terhadap Allah Tritunggal

Dalam mewartakan Kabar Gembira, katekis diharapkan menyadari sepenuhnya bahwa dasar pertama dan utama kegiatan ini adalah Roh Kudus. Dia hadir dan berkarya tidak hanya dalam diri katekis tetapi juga pendengar yang hadir (Prasetya, 2007: 44). Roh Kudus yang menerangi pikiran untuk membantunya memahami sabda Tuhan dan membuka hati menerima sabda dengan cinta dan mampu untuk mempraktekkannya (CEP, 1997: 24). Oleh karena itu, seorang katekis harus memiliki sikap rendah hati dalam mewartakan Sabda Tuhan sebab karya Roh Kuduslah yang bekerja dalam dirinya dan yang diwartakan adalah Pribadi Yesus Kristus bukan dirinya sendiri.

(48)

berbicara hanya tentang sabda yang didengarnya dari Bapa. Melalui keterbukaan katekis akan Allah Tritunggal berarti katekis membiarkan dirinya digerakkan oleh sikap batin yang membiarkan dirinya dibentuk dan diubah oleh karya Roh Kudus menjadi saksi Kristus yang berani serta menjadi pewarta sabda ynag cemerlang (CEP, 1997: 24).

Spiritualitas yang bersumber pada Allah Tritunggal menghantarkan katekis kepada sikap tanggungjawab dan dedikasi terhadap tugas dan panggilannya. Sebab katekis dijiwai oleh sikap batin untuk selalu membangun persekutuan dengan Kristus, sehingga menghantarkan katekis menjadi wajah kasih Kristus yang nyata bagi orang lain. Intimitas tersebut dapat dibangun lewat doa, penerimaan sakramen-sakramen (khususnya sakramen Ekaristi), membaca dan merenungkan Kitab Suci, menghidupi devosi yang telah disediakan Gereja, dan sebagainya (Prasetya, 2007: 44).

b. Keterbukaan terhadap Gereja

Katekis juga merupakan anggota Gereja. Tugas dan panggilan katekis berasal dari tugas Gereja. Gereja hadir untuk mewartakan Injil dan katekis berperan membantu memperkembangkan kehidupan Gereja. Maka, segala kegiatan para katekis tidak lepas dari kegiatan gerejawi. Keterbukaan katekis terhadap Gereja dibutuhkan agar Gereja sebagai sakramen keselamatan universal, mampu menghidupi misterinya dan rahmatnya yang berlipat ganda agar diperkaya dan menjadi tanda yang kelihatan bagi masyarakat (CEP, 1997: 24).

(49)

sebab keberadaan katekis tidak dapat dilepaskan dari seluruh reksa pastoral paroki yakni seluruh pihak yang berkaitan dengan bidang katekese: pastor paroki, dewan pastoral paroki dan antar katekisnya sendiri (Prasetya, 2007: 49). Katekis perlu membangun sikap komitmen dan kerjasama dengan semua pihak untuk mewartakan dan memperjuangkan Kabar Gembira. Agar Sabda yang telah dipercayakan kepada Gereja dipelihara dengan setia, dan dengan bantuan Roh Kudus, pemahaman Gereja diperdalam dan kemudian dapat diwartakan kepada seluruh dunia (CEP, 1997: 24). Melalui keterbukaan ini, katekis sungguh dapat merealisasikan Kabar Gembira yang datang untuk semua orang, hal tersebut tampak dari kegembiraan katekis dan seluruh reksa pastoral dalam bekerjasama menghadirkan Kabar Gembira di tengah umat.

(50)

c. Keterbukaan terhadap dunia

Para katekis dipanggil untuk bekerja di dunia dan untuk dunia, tanpa sepenuhnya menjadi milik dunia (Yoh 17:14-21). Katekis adalah bagian dari dunia dan bersentuhan langsung dengannya, maka seorang katekis tidak terlepas dari segala problematika yang dihadapi dunia, sebab mereka bersentuhan langsung dengan dunia. Oleh karena itu katekis dipanggil untuk menjadi saksi Kristus bagi dunia. Bersama Yesus, kita dipanggil untuk menjadi roti yang dibagi-bagi dibagi-bagi kehidupan dunia. Sebagaimana Yesus berkata “kamu harus memberi

mereka makan” (Mat 14:16), Katekis diajak untuk senantiasa memperhatikan kebutuhan dunia. Pewartaan yang sesungguhnya adalah kesaksian hidup katekis itu sendiri bagi dunia. Melalui keterbukaan katekis terhadap dunia, diharapkan katekis mampu membawa pengharapan kepada dunia. Pewartaan katekis tidak melulu tentang sabda Tuhan melainkan sabda Tuhan yang relevan dan konstektual terhadap kebutuhan hidup saat ini.

(51)

Keterbukaan terhadap dunia ingin menekankan seorang katekis harus terlibat penuh di dalam kehidupan bermasyarakat termasuk persoalan-persoalan yang ada di sekitarnya. Tantangan inilah yang menuntut katekis untuk dapat bersikap kritis dan kreatif. Di sinilah peranan katekis untuk dapat mengaktualisasikan dari apa yang ia wartakan atau menjadi saksi iman. Katekis berperan untuk memberi harapan baru dan bersama kaum hierakhi Gereja menemukan jawaban atas kebutuhan umat tersebut sehingga nilai-nilai Kristiani yaitu keadilan, kejujuran, kedamaian dapat hidup di tengah masyarakat.

d. Keutuhan dan keaslian hidup

Keutuhan dan keaslian hidup katekis terkait dengan keselarasan antara ajarannya dan tindakannya. Karya katekis melibatkan seluruh hidupnya. Maka, seorang katekis dituntut sebelum ia mewartakan sabda, ia harus menjadikan sabda itu miliknya sendiri dan menghayatinya (CEP, 1997: 26). Sebab Pengalaman pribadinya akan Allah menjadi unsur utama menentukan kualitas pewartaannya. Seorang katekis mampu mewartakan kasih Allah dikarenakan ia sendiri pernah mengalami kasih Allah itu sendiri yaitu dibimbing dan diselamatkan. Dengan demikian, keutuhan dan keaslian hidup dibutuhkan bagi seorang katekis agar mampu meneguhkan pesan yang telah ia sampaikan.

e. Semangat misioner

“Mari ikutlah Aku dan kamu akan kujadikan penjala manusia” (Mrk, 1:17).

(52)

berkomitmen yang sama untuk ikut serta terlibat dalam mewujudnyatakan rencana keselamatan Allah (Indra Sanjaya, 2011: 30). Oleh karena itu, seorang katekis harus mempunyai semangat kerasulan yang tinggi, berani dan semangat mewartakan Injil (CEP, 1997: 28), sekalipun resikonya mengalami penolakan dan diabaikan. Walaupun demikian, seorang katekis mempunyai keyakinan bahwa Kristus senantiasa menyertainya.

f. Devosi kepada Bunda Maria

Spiritualitas katekis akan diperkaya oleh devosi yang mendalam kepada Bunda Tuhan. Mereka harus merasakan kehadiran dan kesaksian akan kesucian yang tulus dari Bunda Maria. Mereka akan menemukan model sederhana dan efektif bagi dirinya dan orang lain. Sosok ibu sekaligus murid pertama Yesus yang memberikan keteladanan mengenai kasih ibu yang harus membangkitkan semangat semua orang yang ikut ambil bagian dalam karya kerasulan Gereja demi membawa umat manusia pada hidup yang baru (CEP, 1997: 30).

Keteladanan dari bunda Maria dapat menjadi sikap dasar katekis dalam membentuk spiritualitas yang mendalam. Bunda Maria membiarkan dirinya dibimbing Roh Kudus dalam peziarahan iman yang ditentukan untuk melayani dan menghasilkan buah (EG, art 287). Ketaatan iman dan kekudusan Maria sampai di kaki salib Kristus inilah menjadi semangat yang mendorong para katekis untuk taat sampai akhirnya, bahkan ketika “tidak ada dasar untuk

berharap” (Rm 4:18). Di dalam mewartakan kabar baik tentu kita akan

(53)

yang sanggup mengenali jejak-jejak Roh Kudus dalam peristiwa-peristiwa besar maupun kecil (EG, art 288) dengan senantiasa menjawab “sesungguhnya aku ini

hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanMu” (Luk 1:38).

4. Karya Pelayanan Katekis

Katekis harus memahami karya-karya pelayanannya terlebih dahulu agar mampu mewartakan Yesus Kristus dengan baik terutama bagi orang yang belum beriman maupun orang yang sudah beriman kepada-Nya. Berikut akan dijelaskan karya pelayanan katekis tersebut:

a. Karya pelayanan katekis dalam tugas pewartaan (Kerygma)

Salah satu bentuk keterlibatan katekis dalam karya tugas pewartaan dan penginjilan membawa kabar baik kepada semua orang dan melalui pengaruh injil merubah umat manusia dari dalam dan membuatnya menjadi baru (EN, 18). Keikutsertaan katekis dalam bidang pewartaan ini berarti ikut ambil bagian dalam kenabian Kristus. Mewartakan Yesus Kristus yang berarti mewartakan kabar gembira bagi semua orang secara berkesinambungan dari tahap pengajaran sampai tahap pendewasaan sehingga mereka merasa terbantu untuk semakin mengenal, mencintai dan mengimani Yesus Kristus (Prasetya, 2007: 33).

(54)

Allah, menumbuhkan semangat menghayati hidup berdasarkan semangat Injili, dan semakin mengenal Yesus lebih mendalam.

Tugas pewartaan adalah mengaktualisasi apa yang disampaikan oleh Allah dalam Kristus yang diwartakan para rasul. Pewartaan bukan hanya sekedar menyampaikan informasi namun sungguh-sungguh menghadirkan Allah yang penuh kasih. Kesungguhan dalam menghadirkan Allah tampak dalam seluruh hidup katekis mulai dari kehidupannya, tutur katanya hingga tingkah lakunya, semuanya itu juga bagian dalam pewartaan. Namun secara khusus, pewartaan dapat dilakukan seorang katekis dengan menjadi fasilitator dalam tugas pendalaman iman, pendalaman Kitab Suci, menjadi pengajar agama dengan mendampingi para siswa dalam menemukan makna hidupnya dalam terang Injil, dan mendampingi para calon inisiasi agar siap menjadi anggota Gereja secara penuh.

b. Karya pelayanan katekis dalam bidang liturgi (Liturgia)

(55)

Liturgi di dalam Ekaristi menjadi kekuatan dan dorongan bagi perjuangan dan kegiatan sehari-hari serta karya pelayanan katekis. Kekuatan dan jiwa kehidupan yang mereka alami dalam doa dan liturgi memancar pada perjuangan hidup mereka, yang tampak dalam sikap pasrah dan tenang dalam menghadapi aneka kesulitan hidup sehari-hari. Sebab, katekis senantiasa mempersembahkan dan mempercayakan segala suka-duka kehidupan dan karyanya kepada Allah.

Keterlibatan aktif katekis dalam pelayanan di bidang liturgi menjadi perwujudan dari keterlibatan katekis dalam tugas imamat Kristus. Partisipasi tersebut dapat diwujudkan dengan memimpin ibadat sabda/doa bersama dengan ujub doa tertentu atau menjadi prodiakon pada perayaan Ekaristi serta dapat pula bekerjasama dengan tim liturgi dalam menciptakan kelancaran pelaksanaan perayaan Ekaristi seperti menyusun panduan misa, membantu memilih lagu sesuai dengan tahun liturgi, mengenalkan simbol-simbol dalam perayaan Ekaristi dan tata cara mengikuti perayaan Ekaristi kepada umat sehingga umat dapat memahami dan menghayati perayaan Ekaristi dengan khusuk dan khidmat.

c. Karya pelayanan katekis dalam bidang persaudaraan (Koinonia)

(56)

sebagai saudara. Oleh karena itu, hubungan dengan Allah tidak dapat dipisahkan dengan hubungan antar pribadi manusia yaitu satu persekutuan dan persaudaraan dengan sesama, semua menjadi satu tubuh (1Kor 12:12-13).

d. Karya pelayanan katekis dalam bidang pelayanan (Diakonia)

Dasar pelayanan dalam Gereja adalah semangat pelayanan Kristus sendiri. Barang siapa menyatakan diri murid, ia wajib hidup sama seperti hidup Kristus. Yesus, sang kepala Gereja memberikan teladan dengan menyembuhkan, memperhatikan orang-orang kecil dan mengampuni dosa, “Ia datang bukan untuk dilayani melainkan melayani” (Mrk 10:45). Dan kematian-Nya di kayu salib merupakan puncak pelayanannya yang total demi keselamatan manusia (Ardhysubagyo, 1987:30).

Yesus menghendaki seorang katekis selalu bersikap sebagai pelayan. Yesus menyuruh para murid-Nya selalu bersikap “yang paling rendah dari semua dan sebagai pelayan dari semua” (Mrk 9:35). Yesus sendiri memberi teladan dan menerangkan bahwa demikianlah kehendak Bapa. Menjadi pelayan adalah sikap iman yang radikal. Sebab hukum kedua yaitu cinta kepada sesama oleh Yesus disebut sama dengan hukum pertama yaitu cinta kepada Allah (Mat 12:37) (Iman Katolik, 1996: 451).

(57)

terjadi di sekitarnya. Kalau demikian Gereja tidak dapat menampilkan dirinya sebagai “garam dan terang dunia” (Mat 5:13-16).

Bentuk pelayanan katekis mengutamakan keberpihakan kepada kaum miskin dan tertindas. Hal ini menunjukkan kita mengambil bagian dalam sengsara dan penderitaan Kristus, yang tetap senasib dengan semua orang yang menderita. Dalam usaha pelayanan katekis kepada kaum miskin yang menjadi pokok pelayanan adalah harkat, martabat dan harga diri, bukan kemajuan-kemajuan dan bantuan spiritual/sosial yang hanya sarana (Iman Katolik, 1996: 451).

C.Ekaristi Meningkatkan Motivasi Katekis dalam Karya Pelayanannya

Motivasi adalah suatu tenaga atau faktor yang terdapat di dalam diri manusia, yang menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan tingkah lakunya (Handoko, 1992: 9). Motivasi memiliki kekuatan menggerakkan seseorang untuk bertindak secara total terhadap apa yang menjadi tujuannya. Kekuatan motivasi pada setiap orang berbeda-beda, yang berdampak pada kinerja atau totalitas pelayanannya. Maka, seorang katekis perlu memiliki motivasi yang kuat agar semangat pelayanannya sungguh menunjukkan sukacita Injil yang diwartakannya.

(58)

jalan katekis supaya mau membuka diri dan bertumbuh di dalam Kristus serta mengandalkan Kistus turut serta berkarya dalam karya pelayanan.

Katekis merupakan perpanjangan tangan Kristus yang mewartakan Kerajaan Allah di dunia. Mengandalkan berarti katekis menjadikan Kristus sebagai sumber dan pusat karya pelayanannya. Dengan demikian, karya pelayanan katekis semakin bertumbuh dan berbuah banyak, yang artinya meneguhkan imannya sendiri dan meneguhkan iman umat, seperti yang dikatakan Yesus dalam sabda-Nya “Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan aku di dalam dia, ia akan berbuah banyak, sebab di luar Aku, kamu tidak dapat berbuah apa-apa” (Yoh 15:4-5). Karya pelayanan dan kegiatan pribadi katekis merupakan kualitas kedalaman relasinya dengan Allah. Katekis merupakan saksi iman dimana segala sukacita dan dukacita yang ia terima selama menjalani karya pelayanannya, baik dalam Gereja maupun masyarakat, sebagai perutusan katekis adalah buah dari dalam, yaitu buah dari perjumpaan dan kesatuan katekis dengan Kristus teristimewa yang dialami dalam Ekaristi (Martasudjita, 2012: 149).

(59)

bersama-Nya dalam arah yang ditunjukkan-bersama-Nya agar menghasilkan tangkapan yang berlimpah ruah (Mintara Sufiyanta, 2009: 4-7).

Dalam menebarkan jalanya, katekis perlu memiliki sikap dan semangat melayani seperti Yesus Kristus (Prasetya, 2007: 47). Di dalam perjamuan terakhir, Yesus membasuh kaki para murid-Nya. Ia sebagai Tuhan dan Guru mengambil peran seperti seorang hamba yang mau membasuh kaki mereka (Yoh 13:13-15). Yesus mewujudnyatakan di dalam diri-Nya apa yang diharapkan tumbuh di dalam diri para murid, yaitu kerendahan hati dan pelayanan. Tujuan Yesus memberi teladan kepada para murid-Nya agar para murid juga berbuat demikian. Namun, Yesus menghendaki para murid memiliki spriritualitas pelayanan yang sama dengan melakukan apa yang Yesus lakukan bukan soal meniru tindakan-Nya sebagaimana Ia membasuh kaki para murid (Eko Riyadi, 2011: 306).

(60)
(61)

BAB III

PENELITIAN TENTANG SEJAUHMANA EKARISTI MEMOTIVASI

PELAYANAN PARA KATEKIS DI PAROKI SANTO YUSUP BINTARAN

YOGYAKARTA

Ekaristi bagi katekis dimaksudkan supaya menjadi daya penggerak yang memotivasi karya pelayanannya di tengah umat. Dengan memahami dan menghayati Ekaristi, katekis digerakkan dan dituntun oleh Roh Kudus untuk menemukan kehendak Tuhan dalam karya dan hidupnya, membantu memperkembangan kualitas hidupnya ke arah yang lebih baik, dan juga memotivasi dalam karya pelayanannya. Kualitas hidup katekis yang diperkembangkan dan disuburkan oleh Ekaristi menghantarkannya untuk semakin hidup dalam kehendak Allah. Efek dari hidup dalam kehendak Allah dan Ekaristi menghasilkan kesatuan, kegembiraan yang mendalam, sikap penuh semangat dan membuat katekis terdorong untuk menyebarkan dan memperluas cinta yang dialami dalam karya pelayanannya.

(62)

dan misi paroki Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta. Pokok bahasan kedua mengenai penelitian tentang sejauhmana Ekaristi meningkatkan motivasi pelayanan para katekis di paroki Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta, meliputi persiapan penelitan, laporan dan pembahasan hasil penelitian menurut masing-masing variabel dan kesimpulan penelitian.

A. Gambaran Umum Paroki Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta

1. Sejarah Gereja Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta

Pada tahun 1930-an, jumlah umat Katolik Jawa di Yogyakarta semakin banyak. Namun demikian, mereka mengalami ketidaknyamanan dalam mengikuti upacara perayaan keagamaan di bangunan model baru (asing). Mereka tidak terbiasa dan merasa tidak nyaman duduk di bangku karena masih mengenakan kain tradisional baik pria maupun wanita, sehingga jauh lebih sreg (nyaman) jika bisa duduk bersimpuh di lantai (Komsos Paroki Santo Yusup Bintaran, hlm 3).

(63)

sedangkan 26 orang lainnya merupakan warga Eropa. Hal ini menggambarkan bahwa gereja Bintaran sungguh menjadi “Gereja Katolik Jawa dan pertama di Yogyakarta” (Komsos Paroki Santo Yusup Bintaran, hlm 4-5).

Gereja Bintaran ini mempunyai bentuk bangunan yang unik, khas dan langka yaitu satu-satunya di Indonesia dan hanya memiliki induk di Belanda. Bangunan ini dirancang oleh seorang Belanda bernama J.H. Van Oten B.N.A dan dilaksanakan pembuatannya oleh Holandsche Beton Maatschappij, kemudian diresmikan pada 8 April 1934 oleh Yang Mulia Provicaris Romo A. Th. Van Hoof, SJ. Sebelumnya telah ditunjuk Pastor Paroki pertama, yaitu A.A.C.M. de Kuyper SJ (1933-1936) dibantu romo Albertus Soegijapranata, SJ (1933-1940). Mereka berdua sudah dipercaya memegang paroki Bintaran sejak tanggal 12 Oktober 1933, satu tahun sebelum bangunan gereja diresmikan penggunaannya (Komsos Paroki Santo Yusup Bintaran, hlm 4).

Tahun 1936 romo de Kuyper pindah ke Magelang, secara otomatis romo Soegijapranata menjadi Pastor Paroki. Hal ini langsung dikukuhkan setahun kemudian didampingi oleh romo B.Th. Hagdorn. SJ. Salah satu karya monumental romo Albertus Soegijapranata, SJ di Bintaran adalah memunculkan pengelompokan umat dalam model Kring (sekarang lingkungan). kegiatan ini diharapkan menjadi salah satu sarana keterlibatan sosial Gereja. Selain itu, kegiatan media masa berupa majalah berbahasa Jawa Swaratama juga dipelopori olehnya (Komsos Paroki Santo Yusup Bintaran, hlm 4 dan 7).

Gambar

Tabel 3 Makna Ekaristi untuk Para Katekis .........................................................
Tabel 1. Kisi-kisi
Tabel 2 Identitas Responden
tabel yang terdiri dari makna Ekaristi menurut para katekis di paroki Santo Yusup
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sex-ratio orangutan pada saat lahir adalah 55% jantan, dengan jarak kelahiran (interbirth interval) minimal mencapai 5 tahun (dalam kondisi baik) dan maksimal (kondisi buruk)

rendah meskipun node pada level yang lebih rendah tersebut memiliki nilai heuristik yang lebih baik, lain halnya dengan metode best-first search ini. „ Pada metode best-first

bullying. Untuk memperoleh informasi mengenai penyebab terjadinya bullying di SD Negeri 3 Manggung, peneliti melakukan serangkaian wawancara mendalam dengan kepala sekolah,

Selanjutnya banyaknya pemesanan, harga grosir, dan harga eceran optimal ditentukan untuk memaksimumkan keuntungan berdasarkan model terintegrasi dan terpisah serta

sungai-sungai yang berhulu yang ada di se- kitar Gunung Merapi. Lahar-lahar tersebut memiliki sortasi atau perbedaan ukuran butir yang beragam. Adanya perbedaan sebaran

Peranan baktri asidogenik pada pembutan biogas sangatlah penting karena bakteri tersebut dapat mengubah gula sederhana menjadi asam organik yang selanjutnya

- Jaminan Perorangan ( personal securities ) yaitu kredit yang jaminannya berupa sesorang atau badan sebagai pihak ketiga yang.. bertindak sebagai

Film dokumenter juga menjadi salah satu solusi dalam menyampaikan kembali makna dan ajaran pendidikan Ki Hadjar Dewantara sehingga dapat memberi informasi lebih