• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran. 1. Pengertian Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran. 1. Pengertian Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran

1. Pengertian Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran

Menurut Jantz & McMurray (2003) emotional abuse sulit ditemukan dan mudah untuk mengingkarinya. Kekerasan fisik dan seksual memiliki ciri yang jelas, sedangkan emotional abuse menyerang harga diri seseorang. Emotional abuse sengaja dilakukan oleh orang lain untuk mengubah pandangan diri korban, dengan tujuan mengontrol diri korban. Memperlakukan secara tidak adil dengan pola konsisten yang terjadi dalam kurun waktu cukup lama, jika ini dibiarkan akan menimbulkan trauma pada korban. Emotional abuse menurut The Advocacy Center and The Domestic Abuse Project (2010) dalam Paludi (2011) adalah perilaku seseorang di dalam suatu hubungan yang bertujuan untuk mengontrol pasangan.

Emotional abuse dalam pacaran menurut Worell (2002) yaitu berbagai bentuk tekanan, agresifitas, atau trauma yang lebih bersifat psikologis dibandingkan bersifat fisik, walaupun pasangan tidak memiliki kontrol kemungkinan terjadinya emotional abuse tetap ada. Pengertian yang serupa diungkap oleh Paludi (2011) yaitu perilaku tersembunyi yang bertujuan untuk mengontrol, mendominasi dan mengisolasi. Menurut Alberta (2008) emotional abuse adalah tindakan untuk mendominasi, mengisolasi, dan emosional yang berlebihan. Di sisi lain menurut Murray (2007), emotional abuse dalam berpacaran remaja yaitu tipe kekerasan berfokus pada kontrol dan kekuatan yang paling merusak, yang dapat memicu timbulnya kekerasan fisik dan seksual. Jadi dapat disimpulkan bahwa emotional

(2)

abuse pada remaja yang berpacaran adalah kekerasan berfokus pada kontrol dan kekuatan yang dilakukan oleh remaja kepada pasangannya. Peneliti mengacu pada definisi dari Murray (2007), karena peneliti berfokus terhadap bentuk kekerasan emosional yang terlihat dari kontrol dan sumber kekuatan didalam hubungan berpacaran.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran

Menurut Gallopin dan Leigh (dalam Paludi, 2011), remaja yang menjalin hubungan berpacaran sadar akan adanya kekerasan dalam berpacaran namun cenderung tidak ditanggapi serius dan diterima. Penyebab yang mempengaruhi emotional abuse pada remaja dalam hubungan berpacaran adalah:

a. Salah satu cara untuk menyelesaikan argumen b. Hubungan yang terburu-buru

c. Sedikit pengalaman

d. Kesulitan membedakan antara cinta dan nafsu e. Tidak adanya tuntunan dari orang tua

f. Tidak ada contoh yang baik

Ditegaskan pula menurut Paludi (2011) faktor-faktor yang mempengaruhi emotional abuse dalam hubungan berpacaran adalah:

a. Pengaruh keluarga

Remaja cenderung untuk mengikuti perilaku yang dilihat di rumah serta remaja yang tumbuh dengan keluarga yang penuh kekerasan akan memiliki kecenderungan melihat kekerasan menjadi hal yang normal yang akhirnya membuat remaja mengikuti gaya orang tua dan tidak memiliki resolusi dalam menghadapi konflik. Peran saudara pun turut mempengaruhi, seperti seorang adik yang dibully oleh kakak.

(3)

b. Pengaruh teman sebaya

Walaupun individu tidak pernah mendapat kekerasan di keluarga tetapi individu tersebut mempunyai teman yang melakukan kekerasan terhadap pasangan. Invididu cenderung untuk tidak mempedulikan permasalahan tersebut. Hal itu dapat menjadi salah satu faktor pengaruh dikarenakan ketika individu melihat teman melakukan kekerasan seperti emotional abuse kepada pasangan, individu melihat perilaku teman tersebut menjadi hal yang biasa dan tidak mempermasalahkan perilaku yang dilakukan. c. Budaya

Kekerasan dalam hubungan berpacaran bisa dipengaruhi oleh faktor budaya yang menganggap kekerasan sebagai bentuk yang normal dan dapat diterima. Ada sebuah penelitian menyatakan bahwa kekerasan yang dianut dalam budaya menjadi penyebab utama dari kekerasan berpacaran remaja.

Faktor yang mempengaruhi emotional abuse dalam berpacaran remaja menurut Murray (2007) peran orang tua sebagai contoh dalam mendidik harus mampu berpikir objektif untuk mengetahui kebutuhan akan kata-kata dan perilaku yang diperlukan oleh anak karena dapat menjadi salah satu faktor yang membentuk karakteristik anak. Peneliti menyimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi emotional abuse dalam berpacaran remaja adalah adanya peranan contoh dari orang tua, yang mengacu pada Murray (2007). Dikarenakan aspek yang diungkapkan oleh Murray (2007) relevan dengan dinamika dalam penelitian ini.

3. Bentuk-Bentuk Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran

Bentuk-bentuk emotional abuse yang dialami oleh pasangan yang menjalin hubungan berpacaran menurut Paludi (2011) seperti perilaku agresif yaitu:

(4)

a. Mengintimidasi secara verbal b. Memaki

c. Mengejek dan menghina d. Mempermalukan secara sosial e. Over-protektif

f. Mengancam

Worell (2011) mengungkapkan bentuk-bentuk emotional abuse dalam berpacaran tidak berbeda jauh seperti menurut Paludi (2011) yaitu:

a. Ancaman verbal dan hinaan b. Kekerasan finansial

c. Manipulasi psikis d. Membatasi kebebasan

e. Membuat pemikiran bahwa hanya pasangan tersebut yang dapat diandalkan f. Tidak memperbolehkan keluar rumah sendiri

g. Mengkritik penampilan, keluarga dan kognitif h. Waktu untuk menelepon orang dibatasi

Menurut Alberta (2008) dalam bentuk-bentuk emotional abuse dalam hubungan berpacaran adalah:

a. Memperlakukan tanpa rasa hormat :

1) Memanggil nama, menghina, menuduh, dan mempermalukan. 2) Menyumpahi atau berteriak.

3) Mengatakan sesuatu yang kasar atau tidak sopan yang dapat membuat individu merasa malu.

(5)

b. Emosi tidak stabil :

1) Menjadi pemarah dan suasana hati menjadi liar. 2) Suasana hati yang cepat berubah.

3) Bertukar antara baik menjadi kejam.

4) Memanipulasi emosi, seperti: “jika kamu mengasihani aku, maka aku akan melakukan apapun yang kamu inginkan”.

c. Mengisolasi pasangan : 1) Menjadi posesif.

2) Tidak menginginkan pasangan untuk bersama dengan orang lain. 3) Mengatur kepada siapa dapat menghabiskan waktu atau jumlah waktu. 4) Membatasi gerak pasangan dari teman dan keluarga.

Hasil serupa diungkapkan oleh Murray (2007) bentuk kekerasan dalam berpacaran pun dikemukakan sebagai berikut:

a. Kekerasan kemarahan atau emosional: merendahkan, membuat pasangan merasa diri buruk, memanggil pasangan dengan sebutan yang buruk, membuat pasangan berpikir diri gila, menghina, membuat pasangan merasa bersalah.

b. Menggunakan status sosial: memperlakukan pasangan seperti pelayan, membuat semua keputusan, menjadi orang yang menentukan peran pria dan wanita.

c. Intimidasi: membuat takut dengan tatapan dan gerak tubuh, merusak benda-benda kesayangan, menyiksa hewan kesayangan, memamerkan senjata.

d. Menyangkal atau menyalahkan: menyepelekan kekerasan dan tidak memperdulikannya secara serius, mengatakan bahwa kekerasan itu tidak ada, melemparkan tanggung jawab atas perilaku kekerasan, mengatakan pasangan penyebab dari masalah.

(6)

e. Ancaman: membuat dan melakukan ancaman untuk melakukan sesuatu yang menyakiti pasangan, mengancam akan pergi atau melakukan bunuh diri, membuat tuduhan, membuat pasangan melakukan hal yang melanggar hukum, mengancam akan melaporkan pasangan ke polisi.

f. Tekanan teman sebaya: mengancam akan mengekspos kelemahan pasangan atau menyebarkan gosip, mengatakan kebohongan yang jahat tentang pasangan kepada kelompok.

g. Pemaksaan seksual: melakukan manipulasi atau ancaman untuk mendapatkan seks. h. Isolasi pengucilan: mengontrol kegiatan yang dilakukan, mengontrol siapa yang

ditemui dan diajak bicara, mengontrol apa yang dibaca dan mengontrol kemana pasangan pergi, membatasi keterlibatan pihak luar, menggunakan rasa cemburu untuk membenarkan tindakan.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk-bentuk dari emotional abuse dalam berpacaran remaja kekerasan kemarahan atau emosional, menggunakan status sosial, intimidasi, menyangkal atau menyalahkan, ancaman, tekanan teman sebaya pemaksaan seksual, isolasi pengucilan. Peneliti mengacu pada Murray (2007) dikarenakan, bentuk-bentuk emotional abuse dalam berpacaran remaja menurut Murray (2007) memiliki bentuk serupa yang telah diungkap oleh tokoh lain sehingga membuat bentuk-bentuk emotional abuse menjadi lebih lengkap.

B. Pola Komunikasi Dalam Keluarga 1. Pengertian Pola Komunikasi Dalam Keluarga

Menurut Friedman (1998), pola komunikasi dalam keluarga sebagai sebuah simbolik, transaksional untuk menciptakan dan mengungkapkan pengertian dalam keluarga. Setiap orang memiliki gaya komunikasinya sendiri begitu pula dengan keluarga.

(7)

Tugas dari keluarga yaitu membantu anggota keluarganya dalam memelihara lingkungan yang sehat dan mampu mengembangkan harga diri yang baik. Pola komunikasi menggambarkan nilai-nilai peran keluarga dan pengaturan kekuasaan. Komunikasi yang tidak jelas diyakini sebagai penyebab utama berfungsinya keluarga yang sangat memprihatinkan (Holman & Satir) dalam Friedman (1996).

Sedangkan menurut Koerner dan Fitzpatrick dalam Vangelisti (2004), pola komunikasi dalam keluarga adalah gambaran keluarga dalam menciptakan kestabilan dan pengembangan komunikasi antara anggota keluarga yang dapat diprediksi. Tidak dapat terhindar dari pengaruh anggota keluarga dan norma keluarga. Peneliti menyimpulkan bahwa pola komunikasi dalam keluarga adalah sebuah simbolik dari nilai-nilai peran anggota keluarga dalam menciptakan kestabilan dan pengembangan komunikasi antara anggota keluarga yang dapat diprediksi.

2. Bentuk Pola Komunikasi Dalam Keluarga

Terdapat empat pola komunikasi antar suami dan istri menurut Devito (2013) diantaranya:

a. Pola keseimbangan

Pola keseimbangan ini lebih terlihat pada teori dari pada prakteknya, tetapi ini merupakan awal yang bagus untuk melihat komunikasi pada hubungan yang penting. Komunikasi yang terjalin antara suami istri sangat terbuka, jujur, langsung dan bebas. b. Pola keseimbangan terbalik

Dalam pola keseimbangan terbalik, masing-masing anggota keluarga (suami dan istri) mempunyai orientasi diatas daerah atau wewenang yang berbeda. Masing-masing suami atau istri adalah sebagai pembuat keputusan konflik yang terjadi antara

(8)

keduanya, dianggap bukan ancaman oleh suami atau istri karena keduanya memiliki keahlian sendiri-sendiri untuk menyelesaikannya.

c. Pola pemisah tidak seimbang

Pola pemisah tidak seimbang merupakan pola komunikasi yang hanya memiliki satu anggota keluarga yang mendominasi anggota keluarga lainnya.

d. Pola Monopoli

Dalam pola monopoli ini, suami atau istri sama-sama menganggap dirinya sebagai penguasa. Keduanya lebih suka memberi nasehat dari pada berkomunikasi untuk saling bertukar pendapat.

Pengelompokan yang berbeda pada pola komunikasi dalam keluarga menurut Friedman (1998) sebagai berikut:

a. Komunikasi Fungsional Dalam Keluarga

Komunikasi fungsional dipandang sebagai kunci dari keberhasilan keluarga yang sehat dan berhasil. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang mencocokan arti, mencapai konsistensi, dan mencapai kesesuaian antara pesan yang diterima dengan yang diharapkan. Pola komunikasi memiliki pengaruh besar di dalam anggota individu. Individualisasi, belajar tentang orang lain, perkembangan dan mempertahankan harga diri, dan mampu membuat pilihan, semua tergantung pada informasi yang masuk melewati anggota keluarga. Dengan adanya keterbukaan dan kejujuran yang cukup jelas, anggota keluarga mampu mengakui kebutuhan dan emosi satu sama lain.

Faktor-faktor komunikasi fungsional dalam keluarga sebagai berikut:

a. Interaksinya menyatakan adanya suatu toleransi dan memahami ketidaksempurnaan dan individualitas anggota.

(9)

b. Dengan adanya suatu keterbukaan dan kejujuran yang cukup jelas, anggota keluarga mampu mengakui kebutuhan dan emosi satu sama lain.

c. Pola-pola komunikasi dalam sebuah keluarga fungsional menunjukkan adanya penyambutan terhadap perbedaan, dan juga penilaian minimum serta kritik yang tidak realistis.

d. Penilaian terhadap perilaku individual diharuskan oleh tekanan tuntutan sosial eksternal atau perlunya sistem keluarga atau perkembangan pribadi, melahirkan penilaian yang sehat dalam keluarga secara keseluruhan.

e. Pengiriman terhadap pesan oleh anggota keluarga kepada anggota keluarga lain jelas.

f. Penerimaan terhadap pesan yang disampaikan anggota keluarga oleh anggota keluarga jelas.

b. Pola komunikasi disfungsional

Berbeda dengan pola komunikasi disfungsional didefinisikan sebagai pengirim dan penerima isi dan perintah dari pesan yang tidak jelas atau tidak langsung atau ketidaksepadanan antara tingkat isi dan perintah dari pesan. Aspek tidak langsung dari komunikasi disfungsional mengarah kepada pesan-pesan yang ditujukan oleh orang lain. Jika penerimanya tidak berfungsi, maka akan terjadi kegagalan penerima mendengar, menggunakan diskualifikasi, memberikan respons yang tidak sesuai, gagal menggali pesan pengirim, gagal menvalidasi pesan.

Faktor-faktor yang melahirkan pola-pola komunikasi yang disfungsional adalah: a. Harga diri yang rendah dari keluarga maupun anggota, khususnya orangtua. Tiga

nilai terkait yang terus menerus menghidupkan harga diri rendah adalah pemusatan pada diri sendiri, perlunya persetujuan penuh, dan kurangnya empati.

(10)

b. Pemusatan pada diri sendiri dicirikan oleh memfokuskan pada kebutuhan sendiri, mengesampingkan kebutuhan, perasaan dan sudut pandang orang lain.

c. Kurangnya empati, keluarga yang berpusat pada diri sendiri dan tidak dapat mentoleransi perbedaan juga tidak dapat mengenal efek dari pikiran perasaan dan perilaku mereka sendiri terhadap anggota keluarga yang lain, dan juga mereka tidak dapat memahami pikiran, perasaan dan perilaku dari anggota keluarga lain. Mereka begitu menghabiskan waktu hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri sehingga mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menjadi empati.

d. Ekspresi perasaan tak jelas, dari komunikasi disfungsional yang dilakukan oleh pengirim adalah pengungkapan perasaan yang tidak jelas karena takut ditolak, pengungkapan perasaan dari pengirim diluar kebiasaan atau diungkapkan dengan suatu cara yang tidak jelas sehingga perasaan tersebut tidak dapat diketahui.

e. Kemarahan terpendam, ungkapan perasaan yang tidak jelas, pengirim merasa marah dengan penerima tetapi tidak mengungkapkan marahnya secara jelas dan bisa saja melampiaskan kepada orang lain atau barang.

f. Ekspresi menghakimi, pernyataan menghakimi selalu membawa kesan penilaian moral dimana jelas bagi penerima bahwa pengirim sedang mengevaluasi nilai dari pesan orang lain.

g. Ketidakmampuan mengungkapkan kebutuhan, pengirim yang disfungsional tidak hanya dapat mengungkapkan kebutuhannya, tetapi karena takut ditolak, maka tidak mampu mendefinisikan prilaku yang diharapkan dari penerima untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

(11)

h. Penerima disfungsional, jika penerima tidak berfungsi maka akan terjadi kegagalan komunikasi karena pesan tidak diterima sebagaimana diharapkan, mengingat kegagalan penerima mendengar.

Baumrind dan Stafford & Bayer (dalam Segrin dan Jeanne, 2011) mengemukakan tiga jenis pola komunikasi dalam keluarga dengan hubungan pola asuh.

a. Authoritative style yaitu disesuaikan dengan jenis umur anak, mengkomunikasikan kepada anak apa yang mereka butuhkan, adanya kepandaian dalam mengungkap fakta yang dilakukan oleh orang tua untuk mempertahankan kepatuhan dan kontrol, adanya negosiasi adanya perbedaan pendapat antara orang tua dan anak.

b. Permissive style yaitu orangtua menegakkan beberapa aturan, membuat beberapa tuntutan, dan memungkinkan anak untuk mengatur aktivitasnya sendiri. Orang tua ini melihat diri mereka sebagai sumber daya untuk anak daripada penegak standar. Ketika mereka mencoba untuk mencari kepatuhan dari anak, sering melalui taktik koersif bersalah atau pengalihan perhatian anak daripada melalui percakapan.

c. Authoritarian style yaitu orang tua biasanya responsif terhadap kebutuhan anak, mencegah respon verbal dari anak, dan anak tidak memiliki kemampuan untuk mengubah tuntutan orang tua. Para orang tua menggunakan hukuman untuk mengendalikan kemauan anak. Anak harus menerima kata-kata yang disampaikan orang tua.

Menurut hasil penelitian Fitzpatrick & Ritchie (dalam Segrin dan Jeanne, 2011) pola komunikasi dalam keluarga dibedakan menjadi 4 macam, yaitu:

a. Pluralistic yaitu memiliki tingkat intensitas yang tinggi dalam berkomunikasi keluarga berupa komunikasi yang terbuka dan tidak membatasi serta anggota keluarga didorong untuk berpikir secara mandiri.

(12)

b. Consensual yaitu adanya tekanan untuk menurut dengan aturan dan pendapat keluarga dalam melakukan komunikasi yang terbuka dan eksplorasi ide-ide baru. Keluarga Consensual ditandai dengan tekanan untuk menyetujui dan menuruti kepentingan saat komunikasi yang terbuka dan eksplorasi ide-ide baru, konflik dalam keluarga yang menganut pola ini menyebabkan perasaan negatif. Namun, ini tidak membahayakan kedekatan anggota karena mereka juga mencari dukungan sosial dari anggota keluarga lain dan mencoba untuk menangani konflik secara positif.

c. Laissez-Faire yaitu anggota keluarga dalam pola Laissez-Faire memiliki sedikit interaksi dan sedikit untuk mendiskusikan sejumlah topik. Keterlibatan emosional di antara anggota biasanya rendah dan anggota mencari di luar keluarga untuk hubungan emosional. Dalam pola ini anggota keluarga lebih menghindari konflik dalam keluarga. Apabila konflik terjadi, biasanya akan berjalan lancar karena anggota keluarga tidak peduli untuk mencari persetujuan atau dukungan. Dengan demikian, ada sedikit alasan untuk mengekspresikan permusuhan.

d. Protective adalah pola komunikasi yang menekankan pada kesesuaian dan ketaatan pada keluarga. Anggota keluarga pada pola ini sebagian besar menghindari konflik, tetapi terkadang melampiaskan perasaan negatif dalam konflik menjadi bermusuhan dan tidak produktif.

(13)

Jadi pola komunikasi dalam keluarga dapat dibedakan menjadi Pluralistic, Consensual, laissez faire, Protective. Peneliti mengacu pada Fitzpatrick & Ritchie (1994), dikarenakan dimensi dalam penelitian ini mengacu pada pola komunikasi dalam keluarga yang disampaikan oleh Fitzpatrick & Ritchie (1994).

3. Faktor-Faktor Pembentuk Pola Komunikasi Dalam keluarga

Menurut Sigrin dan Jeanne (2011) faktor-faktor pembentuk pola komunikasi dalam keluarga:

a. family systems theory adalah terkait dengan sistem yang diterapkan oleh keluarga. b. symbolic interaction theory adalah bentuk yang digunakan keluarga untuk berinteraksi

dengan anggota keluarganya.

c. social learning theory adalah teori tentang pembelajaran yang didapat oleh anggota keluarga yang mempengaruhi.

d. attachment theory adalah adanya pengaruh kedekatan oleh anggota keluarga. e. the dialectic perspective adalah pengaruh dari cara berbicara anggota keluarga.

Ditambahkan oleh Koerner dan Fitzpatrick dalam Vangelisti (2004) faktor-faktor pembentuk pola komunikasi dalam keluarga sebagai berikut:

a. Gaya pengasuhan

Orang tua memiliki pengaruh besar pada bagaimana keluarga berkomunikasi bukan hanya karena anak-anak model perilaku mereka, tetapi juga karena mereka bersosialisasi kepada anak-anak mereka dengan aktif mengajarkan bagaimana untuk berkomunikasi. Burleson, Delia, dan Applegate dalam Vangelisti (2004) membahas pengaruh sosialisasi dari orang tua pada gaya komunikasi anak-anak mereka dan mengidentifikasi dua strategi komunikasi yang berlawanan dari orang tua yang digunakan untuk mengatur perilaku anak.

(14)

b. Tipe pernikahan

Keluarga utuh khususnya, hubungan antara orang tua dianggap sangat penting, karena menyangkut hubungan antara orang tua dan anak-anak serta antara saudara kandung. Selain itu, anak-anak biasanya mencontoh perilaku orang tua ke orang lain. Dengan demikian, keyakinan orang tua tentang hubungan suami istri dan bagaimana mereka berkomunikasi satu sama lain memiliki pengaruh besar tentang bagaimana sebuah keluarga secara keseluruhan berkomunikasi. Selain itu, orang tua mengambil peran aktif dalam mensosialisasikan anak-anak mereka dalam hal perilaku komunikasi, penghargaan mereka untuk beberapa perilaku dan menghukum mereka untuk orang lain. Akibatnya, harus ada korelasi positif antara skema perkawinan dan keluarga serta komunikasi dengan keluarga.

Menurut Ritchie & Fitzpatrick dalam Sigrin dan Jeanne (2011) faktor pembentuk pola komunikasi dalam keluarga terdiri dari:

a. Conformity orientation adalah hubungan antara anggota keluarga yang terdapat homogenitas dalam etika, nilai dan kepercayaan.

b. Conversation orientation adalah hubungan antara anggota keluarga yang mementingkan kebebasan dalam berpendapat.

Jadi dapat disimpulkan faktor pembentuk pola komunikasi dalam keluarga dibagi menjadi dua pendekatan yaitu dilihat dari conformity orientation dan conversation orientation.

C. Hubungan Antar Variabel

Menurut Lauren (dalam Papalia, dkk, 2009) kedekatan sesama jenis akan meningkat pada remaja awal, sedangkan kedekatan lawan jenis meningkat pada remaja akhir. Membina hubungan berpacaran dalam remaja akhir, memandang lawan jenis sebagai

(15)

orang yang dicintai tanpa pamrih (Feist & Feist, 2010). Dalam hubungan berpacaran kerap diikuti adanya konflik seperti, emotional abuse, physical abuse, dan sexual abuse. Emotional abuse merupakan kekerasan yang sering terjadi dalam hubungan berpacaran dan dapat memicu adanya physical abuse dan sexual abuse.

Cara remaja memperlakukan pasangan tidak luput dari adanya pengaruh peran keluarga khususnya orang tua yang memiliki fungsi sebagai pengontrol tindakan dan pembentukan karakter anak salah satunya dalam berkomunikasi (Jantz & McMurray, 2003). Orang tua memberikan contoh langsung dan tidak langsung sehingga anak secara langsung maupun tidak langsung meniru dan membawa hal tersebut ke lingkungan. Perkembangan anak dipengaruhi oleh peran keluarga khususnya orang tua yakni berperan dalam mengontrol tindakan, pembentukan karakter serta pembentukan pola komunikasi dalam keluarga.

Setiap keluarga memiliki pola komunikasi yang berbeda-beda. Pola komunikasi dalam keluarga yang baik dapat membantu mengurangi depresi yang dialami anak remaja (Zuhri, 2009). Pola komunikasi juga dapat mempengaruhi perkembangan emosi pada anak (Setyowati, 2005). Secara langsung maupun tidak langsung pola komunikasi dalam keluarga memiliki pengaruh terhadap ada atau tidaknya emotional abuse dalam berpacaran remaja. Pola komunikasi yang cenderung buruk atau tidak sesuai dengan kebutuhan anak memiliki peluang besar dalam meningkatkan kecenderungan seseorang melakukan emotional abuse dalam berpacaran. Menurut Fitzpatrick & Ritchie (dalam Segrin dan Jeanne, 2011) pola komunikasi dalam keluarga dibagi menjadi dua dimensi yaitu dimensi Conversation Orientation dimana melihat hubungan antara anggota keluarga yang mementingkan kebebasan dalam berpendapat dan lebih berfokus pada percakapan verbal dan Conformity Orientation dimana melihat hubungan antara anggota keluarga yang

(16)

terdapat homogenitas dalam etika, nilai dan kepercayaan. Bentuk dari komunikasi dalam keluarga dibagi menjadi empat yaitu Pluralistic, Consensual, Laissez Faire, dan Protective. Pola komunikasi Pluralistic adalah anggota keluarga dalam pola komunikasi ini diberi kebebasan dalam aktif berpendapat. Pola komunikasi Consensual adalah anggota keluarga dalam pola komunikasi ini dalam komunikasi terbuka dituntut adanya tekanan untuk menyetujui pendapat, hal ini dapat menyebabkan timbulnya perasaan negatif apabila terjadi konflik keluarga. Pola komunikasi Laissez Faire adalah anggota keluarga memiliki kecenderungan yang rendah dalam tingkat kepedulian antar anggota keluarga yang dapat menurunkan resiko konflik di dalam keluarga. Sedangkan pola komunikasi Protective yaitu dalam berkomunikasi anggota keluarga ditekanan pada ketaatan dan kesesuaian biasanya keluarga dengan pola komunikasi seperti ini lebih terhindar dari konflik.

Saat anak mendapatkan pola komunikasi yang diberikan orang tua sesuai dengan kebutuhan, maka anak akan meniru dan menerapkan pola komunikasi tersebut ke dalam hubungan berpacaran. Sehingga emotional abuse yang memiliki dasar dari percakapan verbal secara langsung dipengaruhi oleh pola komunikasi dalam keluarga pada dimensi Conversation Orientation yang memiliki dasar percakapan verbal. Apabila skor pada dimensi Conversation Orientation tinggi maka tingkat emotional abuse yang dilakukan remaja dalam membina hubungan berpacaran akan rendah.

Berdasarkan tinjauan terhadap dinamika kedua variabel dalam penelitian ini, maka dapat diasumsikan mengenai adanya perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran berdasarkan pola komunikasi dalam keluarga.

(17)

Gambar 2. Ilustrasi Non Verbal Perbedaan Emotional Abuse Ditinjau pada Pola Komunikasi Keterangan

………….. : dimensi pola komunikasi dalam keluarga

: membandingkan emotional abuse pada satu pola komunikasi dengan pola komunikasi lainnya

: emotional abuse dalam masing-masing pola komunikasi : variabel yang diteliti

D. Hipotesis 1. Hipotesis Mayor

Ho : Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran berdasarkan pola komunikasi keluarga.

Ha : Terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran berdasarkan pola komunikasi keluarga.

2. Hipotesis Minor

a. Ho : Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Laissez-Faire.

Ha : Terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Laissez-Faire.

b. Ho : Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Consensual.

Pluralistic Consensual Protective Laissez Faire Emotional Abuse Conversation orientation Conformity Orientation

(18)

Ha : Terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Consensual.

c. Ho : Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Protective.

Ha : Terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Protective.

d. Ho : Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Consensual dan Protective.

Ha : Terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Consensual dan Protective.

e. Ho : Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Consensual dan Laissez-Faire. Ha : Terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Consensual dan Laissez-Faire.

f. Ho : Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Protective dan Laissez-Faire.

Ha : Terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Protectivel dan Laissez-Faire.

Gambar

Gambar 1. Ilustrasi Pola komunikasi Dalam Keluarga
Gambar 2. Ilustrasi Non Verbal Perbedaan Emotional Abuse Ditinjau pada Pola Komunikasi  Keterangan

Referensi

Dokumen terkait

Tongkat sebagai salah satu alat bantu berjalan untuk lansia masih kerap menerima adanya keluhan dari pengguna yaitu kekurangnyamanan saat digunakan.[2] Dimana tongkat tersebut

Tak hanya kanker dan tumor, hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak sambiloto mampu melawan virus HIV.. Salah satu cara menghentikan virus mematikan tersebut adalah

Menurut Varga dan Kolver (1997), kecernaan serat bukan merupakan nilai yang statis karena merupakan kompetisi antara kecepatan pencernaan itu sendiri dengan laju

Pengolahan data dimulai dari peramalan permintaan, perhitungan pengendalian persediaan aktual pada eselon manufaktur dan distributor, serta perhitungan

Pemakaian peralatan pelindung yang cocok (termasuk peralatan pelindung diri yang dirujuk dalam Bagian 8 dalam lembar data keselamatan) untuk mencegah kontaminasi terhadap kulit,

KUALITI MASA PEMBELAJARAN AKADEMIK DALAM PENDIDIKAN JASMANI: KAJIAN KES DI SEKOLAH MENENGAH DAERAH HULU LANGAT, SELANGOR.. JULISMAH

Berdasarkan hasil kegiatan penyuluhan, seluruh peserta mendengarkan pemateri dari MUI kabupaten Blitar dengan baik serta menyampaikan keluhan dan keresahan yang mereka

Berdikari Insurance akibat kurang puasnya nasabah dalam hal pelayanan, Tarif Premi yang tidak kompetitif, dan citra perusahaan birokratif yang masih melekat