• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Syamsi (1995) yang mengutip pendapat Davis, keputusan adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Syamsi (1995) yang mengutip pendapat Davis, keputusan adalah"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pengambilan Keputusan 2.1.1. Pengertian Pengambilan Keputusan

Menurut Syamsi (1995) yang mengutip pendapat Davis, keputusan adalah hasil proses pemikiran yang merupakan pemilihan satu di antara beberapa alternatif yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Suatu keputusan merupakan jawaban yang pasti terhadap suatu pertanyaan. Keputusan harus menjawab pertanyaan tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang dibicarakan dalam hubungannya dengan perencanaan. Keputusan yang baik pada dasarnya dapat digunakan untuk membuat rencana yang baik pula.

Menurut Handoko yang dikutip oleh Dahlan (2005), mengambil keputusan merupakan bagian dari proses berpikir ketika seseorang mempertimbangkan, memahami, mengingat, dan menalar tentang segala sesuatu. Sesuatu yang diputuskan akan dilakukan setelah menilai suatu keadaan, kenyataan atau peristiwa yang sedang dihadapi.

Menurut Syamsi (1995) yang mengutip pendapat Terry, pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku dari dua alternatif atau lebih. Menurut Siagian pada hakekatnya pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan sistematis terhadap hakekat suatu masalah, pengumpulan fakta-fakta dan data, penentuan yang matang dari alternatif yang dihadapi dan pengambilan tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat.

(2)

Menurut Yustina (2007) yang mengutip pendapat Eilon, dalam pengambilan keputusan, orang yang bertindak sebagai pengambil keputusan melakukan perbandingan atas beberapa alternatif, termasuk melakukan evaluasi terhadap manfaatnya. Kebanyakan dari pengambilan keputusan yang dilakukan individu berhubungan dengan penyelesaian masalah pribadi, pekerjaan, atau masalah sosial.

Menurut Robbins (2001), pengambilan keputusan adalah membuat pilihan dari antara dua alternatif atau lebih. Semua keputusan menuntut penafsiran dan evaluasi terhadap informasi. Data dan informasi diterima dari berbagai sumber, dan data itu perlu disaring, diproses dan ditafsirkan.

Pengambilan keputusan merupakan pangkal permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah, baik secara individual maupun secara kelompok, baik secara institusional maupun secara organisasional. Di samping itu, keputusan merupakan suatu yang bersifat futuristik, artinya menyangkut hari depan, masa mendatang, yang efeknya akan berlangsung cukup lama. Keputusan diambil dengan sengaja, tidak secara kebetulan, dan tidak boleh sembarangan. Masalahnya terlebih dahulu harus diketahui dan dirumuskan dengan jelas, sedangkan pemecahannya harus didasarkan pemilihan alternatif terbaik dari alternatif-alternatif yang disajikan (Syamsi, 1995).

2.1.2. Tujuan Pengambilan keputusan

Tujuan pengambilan keputusan dapat bersifat tunggal, dalam arti bahwa sekali diputuskan, tidak akan ada kaitannya dengan masalah lain. Tujuan pengambilan keputusan dapat juga bersifat ganda, dalam arti bahwa satu keputusan yang diambil

(3)

sekaligus memecahkan dua masalah atau lebih yang sifatnya kontradiktif ataupun yang tidak kontradiktif (Syamsi, 1995).

2.1.3. Komponen Pengambilan Keputusan

Menurut Syamsi (1995) yang mengutip pendapat Martin Star, menyebutkan unsur-unsur atau komponen pembuatan suatu keputusan antara lain:

1. Tujuan harus jelas dalam pengambilan keputusan.

2. Diperlukan identifikasi alternatif yang nantinya perlu dipilih salah satu yang dianggap paling tepat.

3. Memperhitungkan faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya. 4. Dibutuhkan sarana untuk mengukur hasil yang dicapai.

Keempat komponen inilah yang harus diperhatikan sehingga dalam pengambilan keputusan dapat lebih terarah.

2.1.4. Dasar dan Faktor Pengambilan Keputusan

Dasar dan teknik pengambilan keputusan menurut Terry yang dikutip oleh Syamsi (1995) adalah sebagai berikut :

1) Pengambilan keputusan berdasarkan intuisi

Keputusan yang diambil berdasarkan intuisi atau perasaan jelas lebih bersifat subjektif sehingga mudah terkena sugesti, pengaruh luar, rasa lebih suka yang satu daripada yang lain (preferences), dan faktor kejiwaan lainnya.

(4)

Keputusan yang bersifat rasional banyak berkaitan dengan pertimbangan dari segi daya guna. Masalah-masalah yang dihadapinya juga merupakan masalah-masalah yang memerlukan pemecahan yang rasional.

3) Pengambilan keputusan berdasarkan fakta

Sebaiknya pengambilan keputusan itu didukung oleh sejumlah fakta yang memadai. Istilah fakta perlu dikaitkan dengan istilah data dan informasi. Kumpulan fakta yang telah dikelompokkan secara sistematis dinamakan data, sedangkan data itu merupakan bahan mentahnya informasi. Dengan demikian, data harus diolah terlebih dahulu menjadi informasi, kemudian informasi inilah yang dijadikan dasar pengambilan keputusan.

4) Pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman

Pengalaman memang dapat dijadikan pedoman dalam penyelesaian masalah. Keputusan yang berdasarkan pengalaman sangat bermanfaat bagi pengetahuan praktis. Pengalaman dan kemampuan memprakirakan apa yang menjadi latar belakang masalah dan bagaimana arah penyelesaiannya sangat membantu dalam memudahkan pemecahan masalah.

5) Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang

Keputusan berdasarkan wewenang biasanya dilakukan oleh pimpinan organisasi dalam rangka menjalankan kegiatan demi tercapainya tujuan organisasi dengan berhasilguna dan berdayaguna.

Adapun faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan menurut Terry yang dikutip oleh Syamsi (1995) adalah sebagai berikut:

(5)

1. Hal-hal yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang emosional maupun yang rasional perlu diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.

2. Setiap keputusan nantinya harus dapat dijadikan bahan untuk mencapai tujuan. 3. Setiap keputusan janganlah hanya berorientasi pada kepentingan pribadi saja. 4. Jarang sekali ada satu pilihan yang memuaskan, oleh karena itu buatlah selalu

alternatif-alternatif tandingan.

5. Pengambilan keputusan itu merupakan tindakan mental yang kemudian harus diubah menjadi tindakan fisik.

6. Pengambilan keputusan yang efektif membutuhkan waktu yang cukup lama. 7. Diperlukan pengambilan keputusan yang praktis untuk mendapatkan hasil yang

lebih baik.

8. Setiap keputusan itu merupakan tindakan permulaan dari serangkaian mata rantai berikutnya.

2.1.5. Tingkatan Keputusan

Ada tiga tingkatan keputusan menurut Irwin D. Bross (Syamsi, 1995) yaitu : 1. Keputusan otomatis, keputusan yang berdasarkan gerak refleks atau insting.

Keputusan otomatis dibuat dengan sangat sederhana. Pada dasarnya keputusan otomatis merupakan keputusan yang bersifat biologis atau fisis. Pada umumnya keputusan ini tidak berubah atau akan disempurnakan kembali karena bukan berdasarkan pikiran atau otak.

2. Keputusan memoris, keputusan yang mendasari diri pada kemampuan mengingat akan wewenang dan tugas yang diberikan kepada yang bersangkutan. Dalam hal

(6)

ini, pengingatan kembali (memori) sangat dibutuhkan untuk kelancaran pengambilan keputusan.

3. Keputusan kognitif, keputusan yang pembuatannya berdasarkan ilmu pengetahuan, dan ini akan berhasil apabila pembuat keputusan itu memperhatikan faktor lingkungan, pengetahuan dan pengalaman.

Brinckloe yang dikutip oleh Yustina (2007) menawarkan empat tingkatan keputusan yaitu :

1. Keputusan otomatis, keputusan yang dibuat dengan sangat sederhana.

2. Keputusan berdasarkan informasi yang diharapkan, yaitu keputusan yang sedikit lebih kompeks karena informasi yang ada harus lebih dahulu dipelajari baru keputusan dibuat.

3. Keputusan berdasarkan berbagai pertimbangan, yaitu keputusan yang lebih kompleks lagi karena untuk membuat keputusan harus banyak informasi yang dikumpulkan dan dianalisis.

4. Keputusan berdasarkan ketidakpastian ganda, yaitu keputusan yang paling kompleks karena setiap informasi yang ada terdapat ketidakpastian, ruang lingkupnya luas, dan mempunyai dampak atau risiko yang besar dari suatu keputusan.

2.1.6. Proses Pengambilan Keputusan

Proses pengambilan keputusan itu meliput i: 1. Identifikasi masalah.

(7)

3. Membuat alternatif kebijakan yang nantinya akan dijadikan alternatif-alternatif keputusan, dengan memperhatikan situasi lingkungan.

4. Memilih salah satu alternatif-alternatif terbaik untuk dijadikan keputusan. 5. Melaksanakan keputusan.

6. Memantau dan mengevaluasi hasil pelaksanaan keputusan (Syamsi, 1995).

Menurut Handoko yang dikutip oleh Dahlan (2005), proses pengambilan keputusan individu atas jasa-jasa profesional berbeda-beda, tergantung dari jenis keputusan, partisipan dalam pengambilan keputusan, jenis jasa, dan beberapa faktor lainnya. Dalam upaya mengurangi ketidakpastian yang dialami dalam pembelian jasa-jasa profesional, orang cenderung untuk mencari informasi seluas-luasnya dari orang lain sebelum mengambil keputusan.

Mengacu pada pendapat Lila Engberg yang dikutip oleh Utari (2005), pengambilan keputusan terjadi apabila orang memilki sebuah pilihan di antara sejumlah alternatif. Jika tidak ada pilihan yang dipersepsikan dan dibawa ke kesadaran maka tidak ada keputusan yang akan dibuat. Dengan demikian langkah pertama yang mengarahkan kepada pengambilan keputusan adalah adanya kebutuhan untuk membuat keputusan. Di dalam banyak situasi keputusan, tanggung jawab untuk memilih antara alternatif terletak pada per orangan (individual) yang mengambil keputusan untuk kepentingannya sendiri. Pada situasi lainnya keputusan mungkin diambil oleh beberapa orang bersama-sama bertindak sebagai anggota suatu kelompok. Alasan-alasan serta faktor-faktor yang mendasari terjadinya proses pengambilan keputusan merupakan bagian terpenting dari kajian pengambilan keputusan sehingga nantinya menentukan bentuk keputusan yang diambil.

(8)

2.1.7. Teori Pengambilan Keputusan

Ada dua teori pengambilan keputusan (Syamsi, 1995) yaitu: 1. Teori Klasik

Menurut teori klasik, pengambilan keputusan haruslah bersifat rasional. Keputusan diambil dalam situasi yang serba pasti, pengambil keputusan harus memiliki informasi sepenuhnya dan menguasai permasalahannya. Teori pengambilan keputusan ini mendasarkan diri pada asumsi dari orang yang mempunyai pikiran ekonomi rasional untuk mendapatkan hasil atau manfaat yang semaksimal mungkin. Segala sesuatunya itu mengarah pada kepastian.

Kritik terhadap teori ini adalah pengambilan keputusan harus berorientasi pada ’apa yang seharusnya dilakukan’ bukan pada ’apa yang ia ingin lakukan’. Kritik berikutnya adalah kita ini tidak selalu serba mengetahui dengan pasti; ada hal-hal yang belum kita ketahui dengan pasti.

2. Teori Perilaku

Teori perilaku (behavioral theory) disebut juga administrative man theory. Teori ini mendasarkan diri pada keterbatasan kemampuan pimpinan untuk berpikir rasional penuh dalam menangani masalah. Dari informasi yang ada dan beberapa alternatif yang tersedia, maka apabila pimpinan telah merasa puas pada saru alternatif pemecahan masalah, maka alternatif itulah yang dipakainya (Syamsi, 1995).

Menurut Rogers dalam Notoatmodjo (2003), dalam memutuskan untuk mengadopsi suatu perilaku baru, di dalam diri seseorang tersebut terjadi proses sebagai berikut:

(9)

2. Minat (interest), orang mulai menaruh minat terhadap stimulus dan mencari informasi lebih banyak.

3. Penilaian (Evaluation), orang mengadakan penilaian terhadap stimulus dihubungkan dengan situasi dirinya sendiri saat ini dan masa mendatang, dan menentukan mencoba atau tidak.

4. Mencoba (Trial), orang mulai mencoba menerapkan ide-ide baru sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

5. Penerimaan (Adoption), orang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Menurut Rogers, perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku tersebut tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Green (Yustina, 2007), perilaku dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor pokok:

1. Faktor predisposisi (predisposing factors), yakni faktor pencetus timbulnya perilaku seperti pikiran dan motivasi untuk berperilaku yang meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai dan persepsi yang berhubungan dengan motivasi individu untuk berperilaku.

(10)

2. Faktor-faktor yang mendukung (enabling factors), yakni faktor yang mendukung timbulnya perilaku sehingga motivasi atau pikiran menjadi kenyataan, termasuk di dalamnya adalah lingkungan dan sumber-sumber yang ada di masyarakat. 3. Faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors), yakni

faktor yang merupakan pembentukan perilaku yang berasal dari orang yang merupakan kelompok referensi dari perilaku, seperti keluarga, teman, guru atau petugas kesehatan.

Menurut Notoatmodjo dan Sarwono (Sarwono, 1997), upaya mengubah perilaku dapat digolongkan menjadi tiga cara yaitu:

1. Menggunakan kekuasaan atau kekuatan. 2. Memberikan informasi.

3. Diskusi dan partisipasi.

Skiner dalam Notoatmodjo (2003) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons. Skinner membedakan adanya dua respons yaitu:

1. Respondents respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut

(11)

2. Operant respons atau instrumental response, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforce, karena memperkuat respons.

Sebagian besar perilaku manusia adalah operant respons. Oleh sebab itu untuk membentuk jenis respon atau perilaku perlu diciptakan adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning. Prosedur pembentukan perilaku dalam

operant conditioning ini menurut Skiner adalah sebagai berikut:

a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforce

berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.

b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud.

c. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan-tujuan sementara, mengidentifikasi reinforce atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut.

d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan maka hadiahnya diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan sering dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk maka dilakukan komponen (perilaku) yang kedua yang kemudian diberi hadiah (komponen pertama tidak memerlukan hadiah lagi). Demikian berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen

(12)

ketiga, keempat, dan selanjutnya sampai seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk.

4.

2.2. Kompensasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), kompensasi adalah ganti rugi atau pencarian kepuasan dalam suatu bidang untuk memperoleh keseimbangan dari kekecewaan dalam bidang lain atau imbalan berupa uang maupun bukan uang yang diberikan kepada karyawan dalam perusahaan atau organisasi.

Kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima para karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka (Notoatmodjo, 1998). Tujuan pemberian kompensasi adalah: 1. Menghargai prestasi kerja

2. Menjamin keadilan

3. Mempertahankan karyawan

4. Memperoleh karyawan yang bermutu 5. Pengendalian biaya

6. Memenuhi peraturan-peraturan

Proses kompensasi adalah suatu jaringan berbagai sub proses yang kompleks dengan maksud untuk memberikan balas jasa kepada karyawan bagi pelaksanaan pekerjaan dan untuk memotivasi mereka agar mencapai tingkat prestasi kerja yang diinginkan (Handoko, 2001).

Faktor-faktor yang memengaruhi sistem kompensasi antara lain: 1. Produktivitas

(13)

3. Kesediaan untuk membayar

4. Suplai dan permintaan tenaga kerja 5. Organisasi karyawan

6. Berbagai peraturan dan perundang-undangan

Pada umumnya ada tiga cara atau metode pemberian kompensasi (Notoatmodjo, 1998) antara lain:

1. Pemberian kompensasi berdasarkan satu jangka waktu tertentu.

2. Pembayaran upah atau gaji berdasarkan satuan produksi yang dihasilkan. 3. Kombinasi dari kedua cara tersebut.

2.3. Keluarga Berencana (KB)

2.3.1. Pengertian, Visi dan Misi Program Keluarga Berencana (KB)

Paradigma baru Keluarga Berencana (KB) Nasional telah diubah visinya dari mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) menjadi visi untuk mewujudkan “Keluarga Berkualitas Tahun 2015”. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Saifuddin, 2003).

Paradigma baru program Keluarga Berencana ini, menekankan pentingnya upaya menghormati hak-hak reproduksi, sebagai upaya integral dalam meningkatkan kualitas keluarga. Visi tersebut dijabarkan ke dalam 6 (enam) misi, yaitu:

(14)

2. Menggalang kemitraan dalam peningkatan kesejahteraan, kemandirian, dan ketahanan keluarga.

3. Meningkatkan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi.

4. Meningkatkan promosi, perlindungan dan upaya mewujudkan hak-hak reproduksi.

5. Meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender melalui program Keluarga Berencana.

6. Mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas sejak pembuahan dalam kandungan sampai dengan usia lanjut (Saifuddin, 2003).

2.3.2. Tujuan dan Manfaat Keluarga Berencana (KB)

Keluarga Berencana bertujuan untuk membentuk keluarga kecil sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara mengatur kelahiran anak agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Mochtar, 1998).

Adapun manfaat dari program KB adalah : 1. Untuk kepentingan orang tua

Orang tua (ayah dan ibu) yang paling bertanggung jawab atas keselamatan dirinya dan keluarganya (anak-anak), karena itu orang tua haruslah sadar akan batas-batas kemampuannya selama masa baktinya dalam memenuhi kebutuhan anak-anaknya sampai menjadi orang yang berguna. Walaupun manusia dapat mengharapkan pertolongan dan rezeki dari Tuhan Yang Maha Esa, namun mereka sebagai makhluk insan diberi akal, ilmu dan pikiran sehat, karena itu mereka wajib

(15)

memakai akal, ilmu dan pikiran sehat tersebut untuk mendapatkan jalan dan hidup yang sehat pula supaya jangan berbuat lebih kemampuan yang ada. Dengan demikian terciptalah keselamatan keluarga dan terbentuklah keluarga yang bahagia.

2. Untuk kepentingan anak-anak

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan yang harus dijunjung tinggi sebagai pemberian yang tidak ternilai harganya. Maka mengatur kelahiran merupakan salah satu cara dalam menghargai kepentingan anak. Dengan demikian orang tua mempunyai persiapan yang matang agar dapat memberikan kehidupan yang baik kepada anak-anaknya agar mereka kelak menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi orang tua dan bangsa.

3. Untuk kepentingan masyarakat

Keluarga merupakan kumpulan terpadu dari satu komunitas atau masyarakat. Kepentingan masyarakat meminta agar setiap orang tua sebagai kepala keluarga memelihara dengan baik keluarga dan anak-anaknya agar dapat membantu terlaksananya kesejahteraan seluruh komunitas sehingga secara makro telah ikut memelihara keseimbangan penduduk dan pelaksanaan pembangunan nasional. Tanpa bantuan kesungguhan keluarga-keluarga dalam menekan pertambahan penduduk dengan cepat, pembangunan tidak akan berarti. Orang tua yang menentukan jumlah anak yang ingin mereka miliki sesuai dengan kemampuanya dan tidak melupakan tanggung jawab anak-anak yang telah dilahirkan, tanggung jawab masyarakat dan Negara di mana mereka hidup dan berbakti (Mochtar, 1998).

(16)

2.3.3. Alat kontrasepsi

Kontrasepsi berasal dari kata kontra berarti ‘mencegah’ atau ‘melawan’ dan konsepsi yang berarti pertemuan antara sel telur yang matang dan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma (Wiknjosastro, 1999). Menurut Siswosudarmo (2001), pada dasarnya prinsip kerja kontrasepsi adalah meniadakan pertemuan antara sel telur (ovum) dengan sel mani (sperma).

Ada dua pembagian cara kontrasepsi yaitu : 1. Kontrasepsi Sederhana

Kontrasepsi sederhana terbagi lagi atas kontrasepsi tanpa alat dan kontrasepsi dengan alat/obat. Kontrasepsi sederhana tanpa alat dapat dilakukan dengan senggama terputus dan pantang berkala. Kontrasepsi dengan alat/obat dapat dilakukan dengan menggunakan kondom, diafragma atau cup, cream, jelly atau tablet berbusa (vaginal tablet).

2. Kontrasepsi Modern/Metode Efektif

Cara kontrasepsi ini antara lain : pil, AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim), suntikan, implant, serta metode mantap, yaitu dengan operasi tubektomi (sterilisasi pada wanita) dan vasektomi (sterilisasi pada pria) (Wiknjosastro, 1999).

(17)

1. Keefektifan teoritis, adalah kemampuan sebuah cara kontrasepsi untuk mencegah kehamilan apabila cara tersebut digunakan sebagaimana mestinya.

2. Keefektifan praktis (pemakaian), adalah keefektifan yang terlihat dalam kenyataan di lapangan setelah pemakaian jumlah besar, meliputi segala sesuatu yang memengaruhi pemakaian, seperti kesalahan, penghentian, kelalaian, dan lain-lain.

3. Keefektifan program, adalah keefektifan sebuah cara dalam sebuah program baik di tingkat lokal, propinsi, maupun nasional.

4. Keefektifan biaya (cost effectiveness), adalah perbandingan antara sebuah cara atau program dengan hasil yang diharapkan, baik berupa jumlah akseptor, jumlah yang terus memakai, efek samping, penurunan angka kesuburan, dan lain-lain (Siswosudarmo, 2001).

Tidak ada satu pun metode kontrasepsi yang aman dan efektif bagi semua klien, karena masing-masing mempunyai kesesuaian dan kecocokan individual bagi setiap klien. Namun secara umum persyaratan metode kontrasepsi ideal adalah sebagai berikut :

1. Aman, artinya tidak akan menimbulkan komplikasi berat bila digunakan.

2. Berdaya guna, artinya bila digunakan sesuai dengan aturan akan dapat mencegah terjadinya kehamilan.

3. Dapat diterima, bukan hanya oleh klien melainkan juga oleh lingkungan budaya di masyarakat.

(18)

5. Bila metode tersebut dihentikan penggunaannya, klien akan segera kembali kesuburannya (Saifuddin, 2003).

2.4. Vasektomi

2.4.1. Pengertian Vasektomi

Vasektomi berasal dari perkataan : (a) vas = vas deferen = saluran mani = saluran yang menghubungkan testis dengan urethra dan menjadi saluran untuk transpor sel mani, (b) ektomi = memotong dan mengangkat. Jadi vasektomi dalam arti yang murni berarti memotong dan mengangkat saluran vas deferens kanan dan kiri. Akan tetapi, yang dimaksud dengan vasektomi untuk KB adalah bilateral partial vasektomi, yaitu memotong sebagian kecil vas deferen kanan dan kiri masing-masing kurang daripada 1 cm. Dengan demikian vasektomi hanya menghalang-halangi transpor bibit laki-laki (spermatozoa) (Anfasa, 1982).

Vasektomi adalah prosedur klinik untuk menghentikan kapasitas reproduksi pria dengan jalan melakukan oklusi vasa deferensia sehingga alur transportasi sperma terhambat dan proses fertilisasi (penyatuan dengan ovum) tidak terjadi. Vasektomi merupakan upaya untuk menghentikan fertilitas di mana fungsi reproduksi merupakan ancaman atau gangguan terhadap kesehatan pria dan pasangannya serta melemahkan ketahanan dan kualitas keluarga (Saifuddin, 2003). Menurut Tjokronegoro (2003), vasektomi adalah cara KB yang mantap di mana saluran air mani (vas deferens) diputuskan sehingga sperma dari dalam testis tidak akan keluar bersama cairan mani lain pada saat bersetubuh.

(19)

Vasektomi adalah satu-satunya cara sterilisasi pria yang diterima sampai saat ini. Vasektomi harus dibedakan dengan kebiri (pengambilan kedua testes) karena dengan vasektomi hanya perjalanan sperma dari testis ke dunia luar yang diputus, tepatnya dengan memotong dan mengambil sebagian dari vas deferens. Seseorang yang telah menjalani vasektomi masih mengeluarkan semen tetapi bebas sel sperma (spermatozoa) dan masih memiliki keinginan berhubungan seksual (libido) secara normal, bahkan potensi dan kepuasannya pun tidak berubah. Vasektomi merupakan operasi kecil yang cukup dilakukan dengan anestesia lokal.

Apabila akseptor vasektomi ingin memiliki anak lagi, maka dapat dilakukan rekanalisasi, namun rekanalisasi tidak boleh dijadikan sebagai promosi atau daya tarik bagi akseptor dalam memilih vasektomi. Rekanalisasi adalah tersambungnya kembali saluran reproduksi. Upaya untuk menyambung kembali salurang vas deferen adalah dengan melakukan operasi kembali yang agak sulit. Oleh sebab itu, keputusan untuk menerima vasektomi harus sudah dipertimbangkan secara matang dan bukan atas desakan atau bujukan pihak lain. Penyesalan akan terjadi bila motivasi tidak datang dari klien dan keluarganya sendiri (Siswosudarmo, 2001).

2.4.2. Kelebihan dan Keterbatasan Vasektomi

Adapun kelebihan metode kontrasepsi vasektomi adalah :

1. Mudah pelaksanaanya dengan pembiusan setempat kurang lebih 15 menit. 2. Bekas operasi hanya merupakan luka yang cepat sembuh.

3. Tidak mengganggu hubungan seksual.

(20)

5. Merupakan metoda mantap (BKKBN, 2007).

Keuntungan vasektomi (Anfasa, 1982) antara lain : (1) tidak ada mortalitas (kematian), (2) morbiditas (akibat sakit) kecil sekali, (3) tidak perlu mondok di rumah sakit, (4) waktu operasi hanya 15 menit, dan dilakukan dengan pembiusan setempat, (5) sangat efektif (kemungkinan gagal tidak ada), karena dapat diperiksa kepastiannya di laboratorium, (6) tidak membutuhkan biaya yang besar.

Keterbatasan metode kontrasepsi vasektomi antara lain : 1. Harus dengan tindakan pembedahan.

2. Walaupun merupakan operasi kecil, masih dimungkinkan terjadi komplikasi seperti pendarahan dan infeksi.

3. Tidak melindungi klien dari penyakit menular seksual.

4. Masih harus menggunakan kondom selama 15 kali ejakulasi agar tidak terjadi kehamilan akibat dari sisa-sisa sperma yang terdapat di saluran vas deferens. 5. Jika istri masih menggunakan alat kontrasepsi disarankan tetap mempertahankan

selama 2 bulan sampai 3 bulan sesudah suami menjalankan vasektomi.

6. Klien perlu istirahat total selama 1 hari dan tidak bekerja selama 1 minggu (BKKBN, 2007).

2.4.3. Sejarah Vasektomi

Vasektomi untuk pertama kalinya dilakukan pada manusia oleh Harrison pada tahun 1893 di London, Inggris. Mula-mula dengan alasan medis, untuk mengobati pasien dengan indikasi hipertrofi prostat. Kemudian untuk membatasi keturunan pada mereka yang memiliki penyakit serius maupun mental (Anfasa, 1982).

(21)

Vasektomi pertama kali dikerjakan oleh seorang ahli bedah Inggris pada tahun 1893 ini adalah salah satu metode kontrasepsi mantap bagi pria dengan biaya murah, efektif, sederhana, dan aman, yaitu dengan cara memotong kedua saluran sperma (Vas Deferens) sehingga pada saat ejakulasi cairan mani yang dikeluarkan tidak lagi mengandung sperma sehingga tidak terjadi kehamilan. Vasektomi ini merupakan suatu metode kontrasepsi dengan melakukan tindakan operasi kecil yang memakan waktu operasi yang singkat yaitu 10-15 menit dan tidak memerlukan anestesi (bius) umum, cukup dengan bius lokal saja sehingga relatif lebih aman (BKKBN, 2006)

2.4.4. Syarat sebagai Peserta Vasektomi

Syarat sebagai Peserta Vasektomi antara lain :

1. Sudah merasa cukup jumlah anak dan dalam keadaan sehat. 2. Atas kehendak sendiri, mendapat persetujuan dari istri. 3. Dalam kondisi keluarga yang harmonis.

4. Pasutri dalam keadaan sehat (BKKBN, 2007).

Syarat seseorang yang menginginkan kontrasepsi mantap (kontap) antara lain: (1) harus sudah memiliki sekurang-kurangnya satu anak, meskipun kebanyakan dokter baru mau melakukan sterilisasi kalau pasangan tersebut sudah memiliki sekurang-kurangnya dua anak, (2) Faktor sosial ekonomi memengaruhi pertimbangan untuk memilih cara ini, (3) adanya perkawinan (keluarga) yang stabil, sebab perceraian setelah kontap menimbulkan penyesalan yang sangat sulit diatasi. Tidak mudah menilai kestabilan dalam rumah tangga, tetapi lamanya perkawinan dan

(22)

jumlah anak, umur suami dan istri setidaknya dapat mencerminkannya (Siswosudarmo, 2001).

Konseling harus dilakukan pada saat calon klien (pasangan) berada pada psikologis yang prima. Klien diberikan kesempatan untuk menilai keuntungan, kerugian, akibat, prosedur, dan alternatif lain dan tidak harus menentukan pilihannya pada saat itu juga (Siswosudarmo, 2001).

Informed consent adalah pernyataan klien bahwa ia menerima atau

menyetujui sebuah tindakan medis sterilisasi secara sukarela dan menyadari sepenuhnya semua resiko dan akibatnya. Konseling merupakan bagian dari proses pengambilan keputusan dan informed consent merupakan salah satu hasil akhir dari sebuah konseling. Informed consent harus ditandatangani tidak hanya oleh yang bersangkutan tetapi juga oleh pasangannya (Siswosudarmo, 2001).

Vasektomi tidak disarankan untuk :

1. Pasangan muda yang masih ingin mempunyai anak. 2. Pasangan yang kehidupan perkawinannya bermasalah. 3. Pasangan yang mengalami gangguan jiwa.

4. Pasangan yang belum yakin terhadap keinginan pasangannya.

5. Pria/suami yang menderita diabetes, kelainan jantung & pembekuan darah, hernia dan testisnya membesar dan nyeri (BKKBN, 2007).

2.5. Penelitian-Penelitian yang Mendukung

Penelitian Rahayuningtyas (1993), karakteristik akseptor Vasektomi yang berkaitan dengan penerimaan Vasektomi di Desa Kaligentong, Kecamatan Ampel

(23)

Kabupaten Boyolali antara lain : pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, jumlah anak. Berdasarkan penelitian Ambarwati (2001), bahwa kerelaan istri, pendapat suami tentang vasektomi, serta status sosial ekonomi suami di masyarakat memiliki hubungan yang bermakna dengan keikutsertaan vasektomi.

Syarat seseorang yang menginginkan kontrasepsi mantap (kontap) antara lain: (1) harus sudah memiliki sekurang-kurangnya satu anak, meskipun kebanyakan dokter baru mau melakukan sterilisasi kalau pasangan tersebut sudah memiliki sekurang-kurangnya dua anak, (2) Faktor sosial ekonomi memengaruhi pertimbangan untuk memilih cara ini, (3) adanya perkawinan (keluarga) yang stabil (BKKBN, 2006).

2.5. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian, tinjauan pustaka maka konsep penelititan ini adalah :

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Tingkatan Keputusan menggunakan vasektomi Karakteristik Akseptor Vasektomi 1. Pendidikan 2. Pekerjaan 3. Pendapatan 4. Jumlah anak 5. Pengetahuan tentang vasektomi dan 6. Dukungan istri Kompensasi

(24)

Definisi Konsep:

1. Karakteristik akseptor vasektomi adalah ciri yang dimiliki oleh suami yang menggunakan metode kontrasepsi vasektomi, yang membedakannya dengan suami lainnya, meliput i : pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak, pengetahuan tentang vasektomi, dan dukungan istri.

2. Kompensasi adalah pemberian uang sebesar Rp.150.000,- dari pemerintah untuk mendorong calon akseptor vasektomi agar sukarela memutuskan menggunakan vasektomi.

3. Tingkatan keputusan menggunakan vasektomi adalah pengambilan alternatif terbaik berdasarkan lamanya waktu berpikir dan berbagai pertimbangan yang mendorong responden memilih metode kontrasepsi vasektomi.

2.6. Hipotesis Penelitian

Ada pengaruh karakteristik akseptor vasektomi (meliputi : pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak, pengetahuan tentang vasektomi, dan dukungan istri) dan kompensasi terhadap tingkatan keputusan menggunakan vasektomi.

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dari data sebaran titik panas / titik hotspot di bawah ini, terlihat jelas adanya peningkatan titik panas / titik hotspot yang cukup tinggi di wilayah Sumatera

Rasio KPMM dan BOPO tidak berpengaruh terhadap tingkat predikat BPR yang berarti sejalan dengan Widiharto (2008) yang menyatakan bahwa rasio KPMM dan BOPO tidak memiliki

maksud dari wanprestasi itu, yaitu pengertian yang mengatakan bahwa seorang dikatakan melakukan wanprestasi bilamana “tidak memberikan prestasi sama sekali, terlambat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) terdapat pengaruh positif dan signifikan harga terhadap kepuasan konsumen Restoran Coto Paraikatte, dibuktikan dengan nilai koefisien

Fasilitas yang diperlukan dalam rantai pasok mangga gedong gincu di tingkat eksportir adalah kebun mangga sebagai pabrik yang memproduksi mangga gedong gincu, gudang

Objek penelitian ini adalah aspek kepribadian tokoh Laisa dalam novel Bidadari-Bidadari Surga karya Tere Liye yang diterbitkan oleh Penerbit Republika Jakarta

Laba periode berjalan yang didistribusikan kepada pemilik entitas induk mencapai US$43.05 juta naik 321.65% dari laba periode tahun sebelumnya yang US$10.21 juta.. Laba

Pada Sesar Runi Rev_0601, bidang yang bocor pada kesehadapan reservoar yang sama dari reservoar X1420 (Formasi Duri) dan Y2100, serta kesehadapan antar reservoar yang berbeda