• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Dari kedua perlakuan ini selanjutnya akan dilakukan pengukuran terhadap kemampuan pengikatan kadmium dan kadar serat pangannya. Berdasarkan hasil pengukuran pada masing-masing suhu pemanggangan (140 - PENGARUH PROPORSI TEPUNG JAGUNG DAN TINGKAT SUHU PE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "C. Dari kedua perlakuan ini selanjutnya akan dilakukan pengukuran terhadap kemampuan pengikatan kadmium dan kadar serat pangannya. Berdasarkan hasil pengukuran pada masing-masing suhu pemanggangan (140 - PENGARUH PROPORSI TEPUNG JAGUNG DAN TINGKAT SUHU PE"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

40

 

persamaan Y = 1,02x - 0,07 dengan nilai R2 sebesar 0,996. Dari persamaan tersebut selanjutnya dilakukan penghitungan recovery. Berdasarkan hasil pengamatan pada Gambar 3 diketahui bahwa nilai recovery kadmium berkisar antara 74,44% sampai 97,67%. Nilai tersebut merupakan kadar kadmium yang terdeteksi dalam sampel setelah proses pengujian, dimana kadar kadmium awal yang ditambahkan adalah 100 µg. Pada sampel kontrol hanya diperoleh nilai recovery sebesar 21,48%. Hal ini menunjukkan bahwa pengikatan kadmium oleh biskuit dengan proporsi tepung jagung jauh lebih baik daripada biskuit dari tepung terigu. Nilai recovery menunjukkan seberapa besar akurasi (tingkat kepercayaan) terhadap metode yang digunakan dalam penelitian ini. Nilai

recovery tidak mencapai 100%, disebabkan karena adanya kadmium yang tertinggal pada alat ketika larutan dipindahkan.

Pada penelitian ini, digunakan dua jenis perlakuan, yaitu proporsi tepung jagung dan suhu pemanggangan biskuit jagung. Proporsi tepung jagung yang digunakan adalah 60%, 70%, dan 80%, sedangkan suhu pemanggangan yang digunakan adalah 140oC, 150oC dan 160oC. Dari kedua perlakuan ini selanjutnya akan dilakukan pengukuran terhadap kemampuan pengikatan kadmium dan kadar serat pangannya.

Berdasarkan hasil pengukuran pada masing-masing suhu pemanggangan (140oC, 150oC dan 160oC), pengaruh proporsi tepung jagung terhadap pengikatan kadmium mempunyai satu tren yang sama, yaitu semakin besar proporsi tepung jagung, total pengikatan kadmium semakin besar. Untuk fraksi soluble, semakin besar proporsi tepung jagung yang digunakan, pengikatan kadmium semakin kecil. Sebaliknya, untuk fraksi insoluble, semakin besar proporsi tepung jagung yang digunakan, maka semakin besar pula pengikatan kadmium (Gambar 5, 6, dan 7). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Park et al (2005) yang menunjukkan semakin besar konsentrasi bahan, semakin besar pula pengikatan kadmium oleh bahan. Hal ini disebabkan karena semakin besar konsentrasi bahan, semakin banyak pula serat pangan yang berperan sebagai pengikatan logam.

(2)

41

 

Pada masing-masing proporsi tepung jagung (60%, 70%, dan 80%), pengaruh suhu pemanggangan terhadap pengikatan kadmium mempunyai kecenderungan yang sama, yaitu semakin tinggi suhu pemanggangan, total pengikatan kadmium semakin besar. Untuk fraksi soluble, semakin tinggi suhu pemanggangan, pengikatan kadmium semakin kecil. Sebaliknya, untuk fraksi insoluble, semakin tinggi suhu pemanggangan yang digunakan, maka semakin besar pula pengikatan kadmium (Gambar 8, 9, dan 10). Suhu pemanggangan dimungkinkan berpengaruh terhadap komponen hemiselulosa pada serat. Menurut Anggraini (2003), hemiselulosa mempunyai sifat diantaranya adalah tidak tahan terhadap perlakuan panas, strukturnya amorf dan mudah dimasuki pelarut, dapat diekstraksi menggunakan alkali dan ikatannya lemah sehingga mudah dihidrolisis. Hemiselulosa terdiri dari dua sampai tujuh residu gula yang berbeda dan merupakan heteropolisakarida. Selain itu, komponen penyusun hemiselulosa mempunyai struktur yang bercabang dan tidak membentuk kristal (Anggraini, 2003). Adanya perlakuan panas dapat menyebabkan perubahan rantai monomer yang mengandung gugus hidroksil sehingga dapat berikatan dengan logam kadmium.

Terjadinya interaksi antara ion logam kadmium dengan serat dimungkinkan terjadi pada selulosa dan hemiselulosa pada serat jagung. Selulosa merupakan polimer rantai panjang karbohidrat polisakarida β-glukan dan gugus fungsi yang ada dalam selulosa murni, yaitu hidroksil yang membuat selulosa mempunyai afinitas terhadap gugus fungsi alkohol primer dan sekunder, serta gugus H+ sehingga dapat terjadi adsorbsi. Permukaan selulosa menjadi muatan parsial negatif ketika direaksikan dalam medium air dan terjadi proses interaksi kation-anion dengan logam (Fatoni et al., 2010). Adanya gugus hidroksil (OH-) pada selulosa dan hemiselulosa menyebabkan terjadinya sifat polar pada adsorben. Hal ini sesuai dengan pendapat Rao et al (2010), dimana serat pangan memiliki berbagai gugus fungsional seperti hidroksil, karboksil, karbonil, sulfat dan metil, maka serat pangan dapat dengan mudah mengikat logam-logam berat.

Menurut Rao et al (2010), mekanisme pengikatan logam-logam berat oleh serat pangan adalah dengan mengganti ion hidrogen yang dimiliki oleh gugus-gugus fungsional dengan ion metal. Selain itu, pengikatan logam juga dapat terjadi dengan memberikan pasangan elektron untuk membentuk senyawa kompleks dengan logam berat. Proses ini

(3)

42

 

dapat terjadi karena adanya kesamaan struktur kimia antara logam berat dengan logam esensial dan makronutrien. Logam berat memiliki elektropositifitas yang lebih tinggi, maka logam berat memiliki kecenderungan untuk berikatan dengan serat. Mekanisme pengikatan yang terjadi yaitu gugus OH- yang terikat pada permukaan selulosa dan hemiselulosa dengan ion logam yang bermuatan positif (kation).

Dilihat dari masing-masing perlakuan, hasil pengamatan pada Tabel 6, menunjukkan bahwa untuk mendapatkan pengikatan kadmium yang tinggi pada fraksi soluble, dibutuhkan proporsi tepung jagung sebesar 60%. Sedangkan untuk mendapatkan pengikatan kadmium yang tinggi pada fraksi insoluble, dibutuhkan proporsi tepung jagung yang lebih tinggi, yaitu 80%. Hal ini disebabkan karena pada fraksi tidak terlarut, semakin tinggi konsentrasi bahan, semakin tinggi pula pengikatan kadmium. Sebaliknya, pada fraksi terlarut, semakin rendah konsentrasi bahan, semakin tinggi pengikatan kadmium.

 

Selain itu, pengikatan kadmium yang tinggi pada fraksi soluble dapat diperoleh pada biskuit yang dipanggang pada suhu 140°C. Sedangkan untuk mendapat biskuit dengan pengikatan kadmium yang tinggi pada fraksi insoluble, dibutuhkan pemanggangan pada suhu 160°C. Hal ini disebabkan karena pada fraksi insoluble, semakin tinggi suhu pemanggangan, semakin tinggi pula pengikatan kadmium. Sebaliknya pada fraksi

soluble, semakin rendah suhu pemanggangan, semakin tinggi pengikatan kadmium. Dari hasil penelitian pada Tabel 6 juga dapat disimpulkan bahwa total pengikatan kadmium tertinggi diperoleh pada proporsi tepung jagung 80% dan suhu pemanggangan 160°C.

Kombinasi antara perlakuan proporsi tepung jagung dan suhu pemanggangan yang menghasilkan pengikatan kadmium tertinggi pada fraksi soluble diperoleh pada proporsi terkecil dan suhu pemanggangan terendah (Gambar 11). Sebaliknya, pengikatan kadmium paling rendah pada fraksi soluble diperoleh pada biskuit dengan proporsi tepung jagung yang besar dengan suhu pemanggangan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena semakin kecil proporsi bahan yang digunakan dan semakin rendah suhu

(4)

43

 

pemanggangan, pengikatan kadmium oleh fraksi soluble semakin tinggi, demikian pula sebaliknya.

Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa pada fraksi insoluble, pengikatan kadmium yang paling tinggi diperoleh pada kombinasi proporsi tepung jagung terbesar dengan suhu pemanggangan tertinggi. Sebaliknya, pengikatan kadmium yang paling rendah oleh fraksi insoluble dimiliki oleh proporsi bahan paling kecil dan suhu pemanggangan terendah. Pada fraksi insoluble, semakin tinggi proporsi tepung jagung dan suhu pemanggangan, pengikatan kadmium yang diperoleh semakin besar. Pada Gambar 13 menunjukkan bahwa biskuit jagung dengan total pengikatan kadmium terbesar diperoleh pada kombinasi proporsi tepung jagung terbesar dengan suhu pemanggangan tertinggi.

Pada penelitian ini juga diketahui bahwa pengikatan kadmium pada fraksi insoluble

jauh lebih besar daripada pengikatan kadmium pada fraksi soluble. Hal ini disebabkan karena kadar serat pangan tidak larut pada jagung jauh lebih besar daripada kadar serat larutnya (Suarni, 2009). Menurut Rose et al (2009), kandungan serat pangan tidak larut pada jagung terdiri atas selulosa (280 g/kg), hemiselulosa (700 g/kg) dan sebagian kecil lignin (10 g/kg) , sedangkan kadar serat larut pada jagung terdeteksi dalam jumlah kecil (2-26 g/kg).

Total pengikatan kadmium pada biskuit jagung dengan proporsi tepung jagung 80% dan suhu pemanggangan 160oC diukur sebesar 97,670µg, pengikatan pada fraksi soluble

sebesar 24,602µg dan 73,068µg pada fraksi insoluble. Jika dibandingkan dengan pengukuran pada tepung jagung, hasil tersebut mempunyai profil yang sama dengan pengikatan logam oleh tepung jagung pada konsentrasi bahan 15% dan ukuran partikel 100 mesh, dimana total pengikatan kadmium yang terukur sebesar 97,14µg. Kedua kombinasi perlakuan merupakan kombinasi yang menghasilkan pengikatan terbaik pada masing-masing penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengolahan untuk menghasilkan biskuit jagung dengan kemampuan pengikatan terbaik adalah dengan menggunakan proporsi tepung jagung 80% dan suhu pemanggangan 160oC.

(5)

44

 

Korelasi antara proporsi tepung jagung dan suhu pemanggangan terhadap pengikatan kadmium disajikan pada Tabel 7. Perlakuan proporsi tepung jagung dan suhu pemanggangan mempunyai hubungan yang sangat nyata dan berbanding terbalik terhadap pengikatan kadmium pada fraksi soluble. Peningkatan proporsi tepung dan suhu pemanggangan diikuti dengan penurunan pengikatan pada fraksi soluble. Pada fraksi insoluble, perlakuan proporsi tepung jagung dan suhu pemanggangan mempunyai hubungan yang sangat nyata dan berbanding lurus. Peningkatan proporsi tepung dan suhu pemanggangan diikuti dengan peningkatan pengikatan pada fraksi insoluble. Hal ini juga terjadi pada korelasi antara perlakuan proporsi tepung jagung dan suhu pemanggangan dengan total pengikatan kadmium. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kedua perlakuan berpengaruh terhadap pengikatan kadmium, baik pada total pengikatan kadmium, fraksi soluble, dan insoluble.

Pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran terhadap kadar serat pangan pada produk biskuit jagung. Hasil pengujian total serat pangan menunjukkan adanya variasi kadar serat pangan pada masing-masing perlakuan proporsi tepung jagung dan suhu pemanggangan. Secara umum, total serat pangan cenderung mengalami peningkatan antarperlakuan proporsi dan suhu pemanggangan meskipun besarnya peningkatan tidak signifikan (Gambar 14). Jika dibandingkan dengan kontrol, total serat pada biskuit jagung jauh lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena kadar serat tepung terigu lebih kecil daripada serat jagung. Kadar serat pangan tidak larut juga menunjukkan tren peningkatan antarperlakuan proporsi dan suhu pemanggangan. Namun, pada serat pangan larut menunjukan hasil yang bervariasi (Gambar 16).

Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan proporsi tepung jagung dan suhu pemanggangan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kadar serat pangan meskipun tampak ada peningkatan kadar serat antarperlakuan proporsi dan suhu pemanggangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Camire & Susan (1991) dimana proses pemanggangan dan ekstrusi tidak berpengaruh secara nyata terhadap total polisakarida non pati dan insoluble non polisakarida non pati pada cornmeal. Hal ini didukung oleh Palupi et al (2007), yang menyatakan bahwa proses pengolahan thermal dengan ekstrusi pada suhu 200-225oC hanya sedikit mempengaruhi kandungan serat dalam bahan pangan. Azizah & Zainon

(6)

45

 

(1997) juga berpendapat bahwa pada beberapa serealia, proses pemanggangan pada suhu 80oC selama 5 menit tidak menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap total serat pangan.

Total pengikatan kadmium mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan kadar serat pangan, meskipun kadar serat tidak mengalami peningkatan secara signifikan (Gambar 17). Hal ini dapat disebabkan karena adanya proses pemanasan dapat menyebabkan perubahan stuktur serat seperti hemiselulosa dan selulosa, sehingga gugus fungsional serat mudah berikatan dengan logam berat kadmium. Banyaknya rantai cabang menyebabkan hemiselulosa lebih mudah berubah struktur dan berikatan dengan komponen logam. Rantai cabang siloglukan pada hemiselulosa lebih mudah terhidrolisis daripada rantai utama. Selain itu, ikatan protein dan sakarida pada proses pemasakan akan membentuk melanoidin yang tidak larut, dan disebut senyawa Mailard, sehingga dapat meningkatkan kadar lignin dalam bahan pangan (Yuanita, 2006).

Selain meningkatkan keanekaragaman pangan, biskuit jagung dapat dikonsumsi sebagai sebagai makanan ringan serta bermanfaat dalam menyerap racun logam kadmium. Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan terbaik untuk menghasilkan biskuit jagung dengan kemampuan pengikatan kadmium dan kadar serat yang tinggi dapat diperoleh dengan menggunakan proporsi tepung jagung 80% dengan suhu pemanggangan 160oC. Namun, biskuit yang dipanggang pada suhu 160oC mempunyai kenampakan yang kurang baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji sensori dengan menggunakan panelis untuk mengetahui penerimaan konsumen terhadap produk biskuit tersebut. Penelitian ini masih dilakukan dalam skala laboratorium (in vitro). Sebagai bentuk pengembangan pangan fungsional, maka perlu dilakukan penelitian secara in vivo untuk mengetahui kemampuan fungsional serat dalam menyerap kadmium secara fisiologis dalam tubuh.

(7)

46

 

5.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengukuran pada biskuit jagung, dapat di ambil kesimpulan sebagai

berikut.

 Semakin besar proporsi tepung jagung, total pengikatan kadmium dan pengikatan

kadmium oleh fraksi insoluble semakin tinggi, sedangkan pengikatan kadmium oleh

fraksi soluble semakin rendah.

 Semakin tinggi suhu pemanggangan, total pengikatan kadmium dan pengikatan

kadmium oleh fraksi insoluble semakin tinggi, sedangkan pengikatan kadmium oleh

fraksi soluble semakin rendah.

 Proporsi tepung jagung dan suhu pemanggangan mempunyai hubungan yang sangat

nyata dan berbanding lurus terhadap total pengikatan kadmium dan pengikatan pada

fraksi insoluble, serta mempunyai hubungan yang sangat nyata dan berbanding

terbalik terhadap pengikatan kadmium pada fraksi soluble.

 Kombinasi perlakuan yang menghasilkan pengikatan kadmium paling tinggi adalah

proporsi tepung jagung yang besar (80%) dan suhu pemanggangan yang tinggi

(160°C), yaitu sebesar 97,67µg.

 Total pengikatan kadmium mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan

kadar serat pangan.

5.2. Saran

Beberapa saran untuk pengembangan penelitian ini antara lain sebagai berikut.

 Dalam pengembangannya sebagai pangan fungsional, perlu dilakukan penelitian

secara in vivo untuk mengetahui kemampuan pengikatan kadmium oleh biskuit

jagung secara fisiologis bagi tubuh.

 Untuk mengetahui penerimaan konsumen terhadap produk biskuit jagung, dapat

dilakukan uji sensori dengan menggunakan panelis.

(8)

   

47 

 

6.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, F. (2003). Kajian Ekstraksi dan Hidrolisis Xilan dari Tongkol Jagung (Zea Mays L). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Anonim. (2009). Industri Biskuit di Indonesia Tumbuh 8,8% Pada 2008.

http://www.data.con.co.id/mieinstan-2009biskuit.html. 12 Mei 2012.

Apriyantono, A.; D. Fardiaz; N.L.Pusspitasari; Sedarnawati dan S. Sudiyanto. (1989). Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. IPB Press. Bogor.

Association of Official Analytical Chemists (AOAC). (1995). Official Method of Analysis. AOAC Int. Washington, D.C.

Azizah, A.H. and Zainon H. (1997). Effect of processing on dietary fiber contents of selected legumes and cereals. Mal J Nutr 3 : 131-136.

Camire, M. E. and Susan I. F. (1991). Thermal Processing Effect on Dietary Fiber Composition and Hydration Capacity in Corn Meal, Oat Meal, and Potato Peels. Journal Cereal Chem 68 (6) : 645-647.

Dewan Standardisasi Nasional. (1992). SNI 01-2973-1992 tentang Mutu dan Cara Uji Biskuit.

Dewan Standardisasi Nasional. (1995). SNI 01 -3727-1995 tentang Tepung Jagung.

Dewan Standardisasi Nasional. (2011). SNI 2354.5 : 2011 tentang Cara Uji Kimia : Penentuan Kadar Logam Berat Timbal dan Kadmium pada Produk Perikanan.

De Falco; Maria; Rosaria S.; Salvatore V.; Anna S.; Bartolomeo V.; Flaminia G.; Anna C. and Vincenza L. (2010). A Preliminary Study of Cadmium Effects on the Adrenal Gland of the Lizard Podarcis sicula. The Open Zoology Journal 3: 23-29.

Ekafitri, R. (2009). Karakterisasi Tepung Lima Varietas Jagung Kuning Hibrida dan Potensinya Untuk Dibuat Mie Jagung. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Fatoni, A.; Noor H. dan Norma s. (2010). Pengaruh pH terhadap Adsorbsi Ion Logam Kadmium (II) oleh Adsorben Jerami Padi. Jurnal Kimia Milawarman 7 (5) : 59-61.

(9)

48 

 

Fitria, M. (2007). Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gracia, C. C. L.; Sugiyono dan Bambang H. (2009). Kajian Formulasi Biskuit Jagung dalam Rangka Substitusi Tepung Terigu. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 10 (1) : 32-40.

Hadi, M. N. (2007). Kajian Formulasi Lighter Biscuit Dalam Rangka Pengembangan

Produk Baru di PT Arnott’s Indonesia Bekasi. Skirpsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hartayanie, L. (1991). Perbandingan Pembentukan Enzim-Enzim Ekstraseluler

(Protease, Alfa-Amilase, dan Fosfatase Asam) oleh Rhizopus oligosporus saito R116

pada Substrat Padat di Medium Cair. Skripsi. Universitas Biologi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga.

Indriyani, A. (2007). Cookies Tepung Garut (Maranta Arundinaceae L) dengan

Pengkayaan Serat Pangan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Kartesz, J. (1999). Plants Profile. Natural Resources Conservation Service, Department of Agriculture, United States, http://plants.usda.gov/java/profile?symbol=zema. 20 Juni

2012.

Kikuchi; Yuriko; Tetsuo N.; Nami K.; Takamoto U and Kazuki O. (2002). Cadmium Concentration in Current Japanese Food and Baverages. Journal of Occupational Health 44 : 240-247.

Kimball, J.W. (1992). Biologi Jilid 1 Edisi V. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Matz, S. A. (1992). Bakery Technology and Engineering. 3rd Edition. Published by Van Nostrand Reinhold. New York.

Muchtadi, D. (2001). Sayuran Sebagai Sumber Serat Pangan Untuk Mencegah Timbulnya Penyakit Degeneratif. Jurnal Teknol dan Industri Pangan 12 (1) : 61-71.

Palupi, NS.; FR. Zakaria dan E. Prangdimurti. (2007). Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

(10)

49 

 

Park, H.J.; M. Kim; S.M. Shim and G.H. Kim. (2005). Adsorption of Cadmium and Lead by Various Cereals from Korea. Bulletin of Environment Contamination and Toxicology 74 : 470–476.

Pranoto, Y. T. (2011). Pengikatan Logam Kadmium oleh Fraksi Terlarut dan Tidak Terlarut dari Biji Jagung. Skripsi. Universitas Katolik Soegijapranata. Semarang.

Rao, K.S.; M. Mohapatra; S. Anand and P. Venkateswarlu. (2010). Review On Cadmium Removal From Aqueous Solutions. International Journal of Engineering, Science and Technology 2 (7) : 81-103.

Rose, Devin J; G. E. Inglett and S. X. Liu. (2009). Utilisation of Corn (Zeamays) Bran and Cornfiber in the Production of Food Components. J Sci Food Agricultural90 : 915– 924.

Santoso, S. (2006). SPSS Untuk Statistik Non Parametrik. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.

Suarni. (2009). Prospek Pemanfaatan Tepung Jagung Untuk Biskuit (Cookies). Jurnal Litbang Pertanian, 28 (2) : 63-71.

Suarni. (2009). Komposisi Nutrisi Jagung Menuju Hidup Sehat. Prosiding Seminar Nasional Serealia. Hal 60-68.

Widaningrum; Miskiyah dan Suismono. (2007). Bahaya Kontaminasi Logam Berat Dalam Sayuran dan Alternatif Pencegahan Cemarannya. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian 3 : 16-27.

Yuanita, L. (2006). The Effect Of Pectic Substances, Hemicellulose, Lignin And Cellulose Content To The Percentage Of Bound Iron By Dietary Fiber Macromolecules: Acidity And Length Boiling Time Variation. Indo. J. Chem. 6 (3), 332 – 337.

 

(11)

50

 

7. LAMPIRAN

Lampiran 1. Kurva Standar Kadmium

Lampiran 2. Uji Normalitas Data (Kolmogorov-Smirnov)

Normalitas Penyerapan Kadmium Sampel

Tests of Normality

.052 90 .200* .989 90 .655

.076 90 .200* .973 90 .060

.089 90 .073 .975 90 .082

Soluble Insoluble Total_Cd

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true significance. *.

Lilliefors Significance Correction a.

Normalitas Penyerapan Kadmium Kontrol

Tests of Normality

.149 30 .090 .942 30 .100

.105 30 .200* .969 30 .506

.099 30 .200* .969 30 .507

Soluble Insoluble Total

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true significance. *.

Lilliefors Significance Correction a.

 

(12)

51

 

Uji Normalitas Serat Pangan Sampel

Tests of Normality

.074 42 .200* .981 42 .689

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true significance. *.

Lilliefors Significance Correction a.

Uji Normalitas Serat Pangan Kontrol

Tests of Normality

.160 15 .200* .949 15 .506

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true significance. *.

Lilliefors Significance Correction a.

Lampiran 3. Uji Post Hoc Duncan

Post Hoc Penyerapan Kadmium Sampel

Cd

Duncana,b

30 54.4529

30 58.2974

30 61.2168

1.000 1.000 1.000

Proporsi

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 15.918. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. a.

Alpha = .05. b.

(13)

52

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 15.918. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. a.

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 13.783. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. a.

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 13.783. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. a.

Alpha = .05. b.

(14)

53

1.000 1.000 1.000

Proporsi

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 24.023. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. a.

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 24.023. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. a.

Alpha = .05. b.

Post Hoc Penyerapan Kadmium Kontrol

Soluble

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000. a.

 

(15)

54

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000. a.

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000. a.

Post Hoc Kadar Serat Pangan Sampel

Total

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 15.404. Uses Harmonic Mean Sample Size = 14.000. a.

Alpha = .05. b.

(16)

55

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 15.404. Uses Harmonic Mean Sample Size = 13.846. a.

The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 4.701. Uses Harmonic Mean Sample Size = 14.000. a.

Alpha = .05. b.

(17)

56

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 4.701. Uses Harmonic Mean Sample Size = 13.846. a.

The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 6.492. Uses Harmonic Mean Sample Size = 14.000. a.

Alpha = .05. b.

(18)

57

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 6.492. Uses Harmonic Mean Sample Size = 13.846. a.

The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.

b.

Alpha = .05. c.

Post Hoc Serat Pangan Kontrol

Larut

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000. a.

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000. a.

(19)

58

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000. a.

Lampiran 4. Korelasi Proporsi Tepung Jagung dan Suhu Pemanggangan

Terhadap Penyerapan Kadmium

Correlations

Proporsi Suhu Soluble Cd_trans

Insoluble_ trans

Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). **.

(20)

59

 

Lampiran 5. Regresi dan Korelasi Penyerapan Kadmium dan Serat Pangan

ANOVAb

184.569 1 184.569 5.857 .046a

220.578 7 31.511

405.148 8

Regression Residual Total Model 1

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Predictors: (Constant), Serat_Pangan a.

Dependent Variable: Total_Cd b.

 

Correlations

1 .675*

.046

9 9

.675* 1

.046

9 9

Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N

Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N

Serat_Pangan

Total_Cd

Serat_Pangan Total_Cd

Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). *.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengamatan kadar Biological Oxygen Demand (BOD) dalam air limbah tahu (asli) adalah 229,0 ppm.Dari seluruh variasi berat eceng gondok yang ditambahkan kedalam

Menurut (Samsinar. Anggraini Putrianti, 2015), Sistem yaitu sebagai suatu jaringan kerja prosedur yang saling berhubungan, sedangkan pendekatan sistem yang lebih

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara kecerdasan emosional dengan hasil belajar biologi siswa kelas XI IPA SMA Negeri di Kabupaten Jeneponto

Dalam Tugas Akhir ini, digunakan metode fusebox yang menganalogikan aplikasi dengan rangkaian listrik pada sehuah rumah untuk membangun sebuah perangkat lunak.. Fusebox

Dalam pembudidayaan sayuran kubis, petani menghadapi kendala yang besar seperti hama dan penyakit, terutama serangan hama ulat tritip atau Plutella xylostella yang menyerang

Selain membuat alat pengkristal air laut pengujian ini bertujuan untuk mengetahui waktu yang diperlukan untuk membuat garam dan laju pembentukan garam dalam 24 jam dari

Kegiatan demonstrasi cara dalam penelitian ini menggunakan alat peraga benda asli, dan masyarakat Desa Kalimas merupakan sasaran dari kegiatan ini, wanita tani

Setelah dilakukan pengamatan kondisi fisik atlet putri taekwondo Unit Sungai Limau Kabupaten Padang Pariaman pada hari kedua menstruasi dan pada saat tidak menstruasi dengan