BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Relevan
Penelitian mengenai pemerolehan bahasa sudah pernah dilakukan, antara lain
sebelumnya oleh Betty Utami (2013) mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Purwokerto dengan judul Pemerolehan Bahasa pada Anak Usia 3-5 Tahun di PAUD Aisyiyah Ledug Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas Tahun Pelajaran 2012-2013. Dalam penelitian Betty Utami ini penelitian menggunakan
metode deskriptif kualitatif. Sumber data adalah anak usia 3-5 tahun di PAUD
Aisyiyah Ledug Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas, datanya berupa tuturan
anak berusia 3-5 tahun di PAUD Aisiyah Ledug Kecamatan Kembaran Kabupaten
Banyumas yang mengandung komponen bahasa yaitu fonologi, morfologi, sintaksis,
dan Semantik. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pemerolehan fonologi
meliputi pemerolehan vokal, konsonan, diftong, dan gejala bahasa. Pemerolehan
morfologi meliputi afiks dan reduplikasi. Pemerolehan sintaksis meliputi pemerolehan
ujaran satu kata, ujaran dua kata, bentuk deklaratif, bentuk imperatif, bentuk
interogatif, deiksis, pronomina, dan kata-kata penyedap. Pemerolehan sintaksis
meliputi terjadinya tahap generalisasi berlebihan serta pemerolehan semantik pada
usia empat serta lima tahun yang terjadi pada tahap hipotesis generalisasi.
Penelitian tentang pemerolehan bahasa juga dilakukan oleh Agustina Saraswati
(2012) mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto dengan judul
Suatu Tinjauan Psikolinguistik. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dan prosedur pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian adalah metode simak. Dalam menganalisis peneliti menggunakan
metode padan sedangkan tahap penyajian hasil analisis data menggunakan metode
penyajian informal dan formal. Penelitian ini meliputi pemerolehan dalam bidang
fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Dari hasil yang diperoleh yaitu
pemerolehan fonologi meliputi pemerolehan vokal dan konsonan. Pemerolehan
morfologi meliputi afiks dan reduplikasi. Pemerolehan sintaksis meliputi ujaran satu
kata, ujaran dua kata, bentuk interogratif, deklaratif, bentuk imperatif, bentuk
ekslamatif, bentuk negatif, deiksis pronomina, dan kata-kata penyedap. Pemerolehan
sematik usia satu tahun, pemerolehan semantik usia 2 tahun dan pemerolehan
semantik usia 3 tahun.
Selain itu terdapat juga pada penelitian Ledy Rima Yoki, mahasiswa
Universitas Negeri Yogyakarta dengan judul Peran Orang Tua Dalam Pemerolehan Bahasa Lisan Pada Anak Tunarungu kelas 1 SD di SLB B Wiyata Dharma I Tempel Sleman Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan seberapa besar peran yang dilakukan orang tua dalam pemerolehan bahasa lisan pada
anak tunarungu kelas 1 SD di SLB B Wiyata Dharma I Tempel. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Dalam penelitian ini
peran orang tua sangatlah penting dalam pemerolehan bahasa lisan bagi anak
tunarungu.
Dari tiga penelitian yang relevan di atas terdapat beberapa perbedaan dengan
penelitian ini adalah pertama, dari segi objek penelitian. Jika dari ketiga penelitian di
-fisik, sedangkan penelitian saya berobjek pada siswa kelas 1 SD berusia 9 tahun yang
merupakan penderita tunagrahita, memiliki kemampuan intelektual dibawah rata-rata.
Kedua, data di penelitian ini diperoleh dari hasil percakapan antara peneliti dengan
siswa penderita tunagrahita, peneliti dengan guru, peneliti dengan orang tua dan
percakapan objek secara alamiah saat bermain dan saat kegiatan pembelajaran
berlangsung. Sedangkan pada penelitian relevan di atas data diperoleh dari metode
simak. Ketiga, data yang diperoleh kemudian dianalisis dari kesalahan dalam
penuturan kemudian diperbaiki.
B. Pengertian Bahasa
Bahasa sebagai sistem tanda baik lisan maupun tulisan. Bahasa juga
merupakan sistem komunikasi antar manusia. Selain itu, bahasa juga dapat dipelajari
secara teratur tergantung pada kematangan serta kesempatan belajar yang dimiliki
seseorang. Menurut Soenjono Dardjowidjojo (2012:16) bahasa adalah suatu sistem
simbol lisan yang arbitrer dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk
berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berdasarkan pada budaya yang
mereka miliki bersama. Arti arbitrer dalam uraian di atas yaitu bahwa bahasa selalu
berubah-ubah, tidak tetap, mana suka, dan sewenang-wenang. Selain bersifat arbitrer,
bahasa juga merupakan alat komunikasi pikiran manusia. Maksud dari pemikiran
tersebut yaitu munculnya konsep dengan menggunakan kata-kata berbeda, mungkin
dapat menimbulkan kekacauan dan salah pengertian sehingga hal tersebut dapat
mengganggu lancarnya komunikasi. Poespoprodjo dan Gilarso (2006:49) berpendapat
bahwa bahasa adalah laksana alat pemikiran yang kalau sungguh-sungguh kita kuasai
berpikir dengan lurus‟. Berpikir dengan lurus menuntut pemakaian kata-kata yang
tepat. Dalam hal ini bahasa merupakan sebuah sistem tanda atau lambang yang
dipakai oleh pemakai bahasa sebagai alat komunikasi, saling bercakap-cakap, bertukar
informasi, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut pendapat Chaer, (2002:30) bahasa
adalah alat verbal yang digunakan untuk berkomunikasi, sedangkan bahasa adalah
proses penyampaian informasi dan berkomunikasi.
Jadi, dalam hal ini bahasa dapat dibagi menjadi dua fungsi yang memiliki
peran penting. Fungsi pertama bahasa sebagai alat komunikasi, kedua bahasa
digunakan sebagai alat pemikiran. Komunikasi menggunakan bahasa, mampu
mengeluarkan sebuah ekspresi pada wajah yaitu ekpresi sedih, senang, dan lain
sebagainya. Dengan demikian penerima bahasa akan memahami arti dan maksud yang
akan disampaikan dari orang yang sedang berbicara. Pada intinya bahasa merupakan
proses penyampaian suatu informasi.
Selain bahasa sebagai alat komunikasi, bahasa juga memiliki beberapa ciri dan
sifat hakiki bahasa. Menurut Chaer (2012:33) mengatakan bahwa hakekat bahasa itu
terdiri dari 13 butir adalah sebagai berikut; (1) bahasa adalah sebuah sistem, (2)
bahasa adalah berwujud lambang, (3) bahasa adalah berwujud bunyi, (4) bahasa
bersifat arbitrer, (5) bahasa bermakna, (6) bahasa bersifat konvensional, (7) bahasa
bersifat unik, (8) bahasa bersifat universal, (9) bahasa bersifat produktif, (10) bahasa
itu bervariasi, (11) bahasa bersifat dinamis, (12) bahasa itu berfungsi sebagai alat
interaksi sosial, dan (13) bahasa itu merupakan identitas penuturnya. Dari tiga belas
butir hakikat di atas dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan hal yang paling penting
dalam kehidupan manusia dan bahasa digunakan oleh manusia di segala bidang
fungsi bahasa dalam kehiduapan bermasyarakat sangatlah penting. Dikarenakan
bahasa yang kita gunakan dalam masyarakat sebagai penilaian pribadi dari penutur
bahasa tersebut. Bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi haruslah bahasa yang
baik dan benar, sesuai dengan hakikatnya.
Menurut Mar‟at (2011: 19) fungsi bahasa ada dua macam yaitu (a) fungsi
bahasa yang bersifat intrapersonal (mathetik), penggunaaan bahasa untuk
memecahkan persoalan, mengambil keputusan, berfikir, mengingat dan sebagainya.
Ketika manusia memiliki masalah dalam hidupnya tidaklah mungkin masalah tersebut
akan selesai hanya dengan sebuah tindakan saja. Disini bahasa digunakan untuk
menentukan seberapa pandainya seseorang dalam memecahkan masalah dengan
berfikir yang rasional. (b) fungsi bahasa bersifat interpersonal (progmatik), yaitu
menunjukan adanya suatu pesan atau keinginan penutur, biasanya diungkapkan dalam
bentuk kalimat perintah, kalimat tanya dan kalimat berita. Fungsi bahasa bersifat
interpersonal diperlukan untuk memecahkan masalah, karena bahasa dapat
menentukan karakter orang dalam pengucapannya seperti jujur, berbohong, tulus, dan
ikhlas.
Dapat disimpulkan bahwa bahasa sebagai alat berkomunikasi untuk bercakap
dan menuangkan pikiran dengan orang lain. Bahasa juga digunakan untuk
menentukan ekspresi manusia dengan menyesuaikan keadaan. Komunikasi tidak akan
sempurna apabila ekspresi pembicara tidak diterima atau dipahami oleh lawan bicara.
Bahasa selain berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi, juga memiliki fungsi untuk
membudayakan manusia. Oleh sebab itu, fungsi dari bahasa sangatlah penting untuk
C. Psikolinguistik
Psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistik, yakni dua
bidang ilmu yang berbeda, yang masing-masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan
metode berlainan. Namun keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai objek
formalnya dan hanya materinya yang berbeda yaitu linguistik mengkaji struktur
bahasa sedangkan psikologi mengkaji prilaku bahasa atau proses berbahasa (Chaer,
2009:5). Sedangkan Menurut Dardjowidjojo (2012:7) secara rinci psikolinguistik
mempelajari empat topik: (a) komprehensi, yaitu proses-proses mental yang dilalui
oleh manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan
memahami apa yang dimaksud, (b) produksi, yakni proses-proses mental pada diri
kita yang membuat kita dapat berujar seperti yang kita ujarkan, (c) landasan biologis
serta neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa, dan (d) pemerolehan bahasa,
yaitu bagaimana anak memperoleh bahasa mereka.
Selanjutnya, Levelt (dalam Mar‟at, 2011:1) membagi psikolinguistik ke dalam
tiga bidang utama sebagai berikut; pertama, psikolinguistik umum adalah sebuah
studi pengamatan tentang bahasa dan bagaimana memproduksi bahasa serta
mempelajari proses kognitif yang mendasarinya pada waktu seseorang menggunakan
bahasa. Kedua, psikolinguistik perkembangan yaitu berbicara tentang pemerolehan
bahasa atau menceritakan tentang pemerolehan bahasa pertama atau disebut dengan
bahasa ibu, bahasa kedua, dan lain sebagainya. Misalnya bayi baru lahir sekitar enam
minggu mulai mengeluarkan bunyi dalam bentuk teriakan atau rengekan. Setelah itu
pada usia enam bulan mulai dapat berceloteh hingga sampai usia 10 bulan bayi mulai
kata apa yang didengar. Pertama diperoleh saat yaitu ketika bayi baru lahir belum
dapat berbicara. Dari tahap berceloteh kemudian mulai menguasai beberapa suku kata
dari dua suku kata dan seterusnya sampai anak tersebut berusia dewasa dan mulai
memperoleh bahasa kedua. Ketiga, psikolinguistik terapan yaitu berbicara penerapan
temuan-temuan dari sub disiplin psikolinguistik dengan bidang tertentu seperti
psikologi, linguistik dan lainnya. Maksudnya bahwa psikolinguistik dapat dihubungan
ke dalam bidang yang lainnya yaitu seperti pendidikan, linguistik, komunikasi,
sesusastraan dan lainnya. Psikolinguistik terapan dibedakan menjadi dua bagian yaitu
(a) Applied General Psycholinguistics, juga dibagi mennjadi dua bagian dalam
penerapannya yaitu bidang Normal Applied General Psycholinguistics yang
membahas pengaruh perubahan ejaan terhadap persepsi kita mengenai ciri visual dari
kata-kata. Abnormal Applied General Psycholinguistics mempelajari kesukaran
pengucapan karena memiliki gangguan bahasa seperti penderita afasia, gagap, dan lain
sebagainya karena penderita seperti itu dapat mengerti bahasa tetapi tidak dapat
mengucapkannya disebabkan mereka mengalami kerusakan dalam mengucapkan
bunyi-bunyi tertentu pada waktu berbicara. (b) Applied Develobmental
Psycholinguistics juga terbagi dalam penerapan bidang psikollinguistik yaitu Normal
Applied Developmental Psycholinguistics membicarakan antara lain bagaimana
membuat program (kurikulum) belajar membaca dan menulis, apakah lebih baik
menggunakan metode global atau metode sinensis atau mungkin ada metode yang
lain. Abnormal Applied Developmental Psycholinguistics membahas bagaimana cara
membatu anak-anak yang mengalami keterlambatan perkembangan bahasanya yang
disebabkan oleh adanya kelainan yang bersifat bawaan pada artikulasinya atau yang
Tabel 1 Ruang lingkup Ilmu Psikolinguistik yang disebabkan oleh bahasa pertama atau bahasa ibu.
Istilah pemerolehan bahasa dipakai untuk padanan istilah dalam bahasa Inggris
acquisition, yakni proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural
pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language). Istilah ini dibedakan dari pembelajaran yang merupakan padanan dari istilah dalam bahasa inggris learning.
Dalam pengertian ini proses itu dilakukan dalam tatanan yang formal, yakni belajar di
kelas dan diajar oleh guru. Dengan demikian proses dari anak yang belajar menguasai
bahasa ibunya adalah pemerolehan, sedangkan proses dari orang (umumnya dewasa) yang belajar dikelas adalah pembelajaran.
individu, dengan memperoleh bahasa atau kosakata baru, periode dari pemerolehan
bahasa terjadi sepanjang masa. Pemerolehan bahasa sangat banyak ditentukan oleh
aspek kematangan biologis, kognitif, dan modern. Pada dasarnya, manusia sejak lahir
sudah dikaruniai oleh tuhan dengan apa yang disebut sebagai bakat bahasa. Setiap
anak yang lahir dan berkembang secara normal fisik, mental, dan sosial akan mampu
menguasai sedikitnya satu bahasa. Jika anak tersebut menguasai lebih dari satu
bahasa, bahasa pertama dikuasainya itu disebut B1 atau bahasa ibu.
Menurut Achmad HP dan Alek Abdullah (2012: 107) bahwa hakikat
pemerolehan bahasa ada dua yaitu pertama, bahasa pertama berciri urutan
pemerolehannya. Istilah pertama mengacu pada perkembangan pada setiap individu.
Maka bahasa pertama yang dikuasai sebelum mereka menguasai bahasa lain disebut
dengan B1. Misalnya, Rani lahir di Jawa, ayah dan ibunya berbicara menggunakan bahasa Jawa kepada Rani dari kecil hingga dewasa, maka dapat dipastikan bahwa B1
yang diperolehnya adalah bahasa Jawa. Jika setelah dewasa Rani belajar bahasa
Indonesia, maka bahasa Indonesia disebut B2. Kedua, bahasa pertama berciri
kesempurnaan penguasaan. Misalnya, Doni lahir di Banjarnegara dan dibesarkan di kota tersebut, sedangkan ayahnya berasal dari Yogyakarta dan Ibunya berasal dari
Surabaya. Doni merupakan anak kedua dari pasangan ini, untuk bahasa di rumah
kedua orang tuanya lebih banyak menggunakan bahasa Jawa, sehingga dari kecil Doni
sudah memperoleh bahasa Jawa. Jika kondisi Doni seperti itu, kita sebagai pendengar harus menggunakan teori mendengarkan secara selektif agar terus dapat mengikuti
pembicara.
Pada umumnya seorang anak memperoleh bahasa ibunya dengan memakai
dan neurologi manusia yang sama tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang
menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan.
Dalam pemerolehan bahasa terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang universal. Selain itu bahasa memiliki tiga
komponen yakni fonologi, sintaksis, dan semantik. Namun, dari ketiga komponen
bahasa tersebut diterapkan pada penderita tunagrahita hanya memiliki dua komponen
fonologi, dan semantik. Dalam penelitian di SLB Negeri Banjarnegra pada penderita tunagrahita, peneliti mewawancarai salah satu anak dan menemukan kelemahan dalam
bahasa yaitu pada komponen fonologi, morfologi, dan semantik. Dari kesalahan
berbahasa tersebut peneliti menganalisis dan memperbaiki kesalahan dalam ujaran
penderita tunagrahita yaitu:
1. Pemerolehan Fonem
Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, membicarakan runtutan
bunyi-bunyi bahasa ini disebut fonologi yang secara etimologi terbentuk dari kata fon
yaitu bunyi dan logi yaitu ilmu (Chaer, 2003:102). Dapat kita pahami bahwa kajian yang mempelajari bunyi-bunyi ujar secara mendalam disebut dengan fonologi.
Fonologi dibedakan menjadi dua yaitu fonetik dan fonemik. Dalam tuturan penderita
tunagrahita, terdapat kesalahan bunyi ujar dari sudut pandang fonetik. Fonetik adalah
bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna pendapat Chaer (2003: 103).
Sedangkan menurut Kridalaksana (2008:63) fonetik adalah ilmu yang menyelidiki
penghasilan, penyampaian, dan penerimaan bunyi bahasa; ilmu interdisipliner
klasifikasi bunyi, unsur suprasegmental, dan silabel. Pada penderita tunagrahita
banyak sekali kesalahan bunyi-bunyi ujaran, salah satunya cabang klasifikasi bunyi.
Kesalahan bunyi ujar dalam klasifikasi bunyi terdiri dari:
a. Fonem Vokal
Vokal dalam bahasa Inggris vowel, menurut Kridalaksana (2008:257)
menyatakan vokal (vowel) merupakan bunyi bahasa yang dihasilkan dengan getaran pita suara, dan tanpa penyepitan dalam saluran suara diatas glotis. Bunyi vokal yaitu
[a, I, u, e, o, ə] dihasilkan dengan pita suara terbuka sedikit menjadi bergetar ketika
dilalui arus udara yang dipompa dari paru-paru melalui pita suara dan penyempitan
pada saluran udara diatas glotis tidak mendapat hambatan apa-apa. Bunyi vokal
semuanya bersuara, sebab dihasilkan dengan pita suara terbuka sedikit. Sehingga
bunyi yang diucapkan begitu cukup jelas jika diucapkan. Untuk memudahkan mengenali jenis vokal, dengan menggunakan denah bagan vokal dibawah ini:
Tabel 2 Bagan Vokal
Posisi lidah Depan Tengah Belakang Striktur
TBD TBD BD N
Tinggi Atas I U Tertutup
bawah L U Semi tertutup
Sedang Atas E ə O
Bawah ɛ ɔ Semi terbuka
Rendah A Α terbuka
(sumber: Achmad HP- Alek abdullah, 2012: 31)
b. Fonem Diftong
Diftong atau vokal rangkap menurut pendapat Chaer (2003:115) disebabkan
karena lidah ketika memproduksi bunyi pada bagian awalnya dan bagian akhirnya
yang bergerak, serta strukturnya. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
sebuah bunyi yang diucapkan atau diproduksi memiliki dua bunyi vokal.
Ketidaksamaan sonoritasnya dikarenakan posisi lidah ketika memproduksi bunyi
bagian awal atau akhir tidak sama. Misalya, bunyi [ai] dan [au]terdapat pada kata
cukai dan kerbau.
Berdasarkan letak atau posisi unsurnya menurut Muslich (2009:69) bunyi
diftong dibagi menjadi dua macam yaitu (a) diftong menurun (falling diphtong)
karena posisi bunyi pertama lebih tinggi dari posisis bunyi kedua, dan (b) diftong
menaik (rising diphtong) karena bunyi pertama posisinya lebih rendah dari posisi
bunyi yang kedua. Jadi diftong adalah sebuah vokal rangkap yang terdiri dari dua
huruf vokal seperti (ai, au, dan oi) yang terdapat dalam sebuah kata dalam satu suku
kata. Dengan contoh harimau ditandai dengan pengucapan bunyi yang tidak sama
serta adanya pengucapan dua bunyi vokal yang diucapkan dalam satu suku kata.
Bunyi diftong tersebut sesuai dengan bunyi ujaran yang diucapkan. Bunyi vokal
terdiri dari dua bunyi vokal yang diucapkan bersamaan.
1) Konsonan
Bunyi konsonan merupakan bunyi yang dihasilkan dengan artikulasi. Dalam bidang studi fonemik, bunyi konsonan juga disebut. Menurut Ahmad dan Alek
Abdullah (2012:30) konsonan adalah bunyi bahasa yang dihasilkan oleh aliran udara yang menemui berbagai hambatan atau penyempitan. Sedangkan Kridalaksana (2008:132) berpendapat bahwa konsonan yaitu (1) bunyi bahasa yang dihasilkan
pengertian konsonan tersebut Ahmad dan Alek Abdullah (2012:30) menurutnya ada
ciri bunyi konsonan yaitu bunyi konsonan lebih banyak ditentukan oleh sifat tempat hambatan atau penyempitan aliran udara. Terdapat beberapa ukuran untuk memerikan konsonan, yaitu titik artikulasi, posisi glotis, dan cara hambatan. Dapat disimpulkan
bahwa bunyi konsonan merupakan bunyi bahasa yang diucapkan oleh alat suara dengan bunyi yang dihasilkan hambatan-hambatan udara yang dihasilkan. Termasuk
bunyi konsonan yaitu [b], [c], [d], [f], [g], [h], [j], [k], [l], [m], [n], [p], [q], [r], [s], [t],
[v], [w], [x], [y], [z], [θ], dan []. Untuk memudahkan mengenali jenis konsonan, dengan menggunakan denah bagan konsonan dibawah ini :
Tabel 3 Bagan Konsonan
(sumber: Achmad HP- Alek abdullah, 2012: 31)
2. Komponen Morfologi
Secara etimologi morfologi berasal dari kata morf yang berarti „bentuk‟ dan
kata logi berarti „ilmu‟. Jadi secara harfiah kata morfologi berarti „ilmu mengenai
bentuk-bentuk dan pembentukan kata‟. Dari semua proses morfologi adalah
tindak pertuturan. Kajian morfologi mempunyai kaitan baik dengan fonologi maupun
sintaksis. Berkaitanya dengan fonologi jelas dengan kajian yang disebut morfonologi
atau morfofonemik yaitu ilmu yang mengkaji terjadinya perubahan fonem akibat
adanya proses morfologi, seperti munculnya fonem /y/ pada dasar hari bila diberi
sufiks -an yaitu hari + an = harian. Sebelum masuk ke morfofonemik menurut Chaer
(2003:177) gabungan dari dua bidang studi yaitu morfologi dan fonologi, atau
morfologi dan fonemik, bidang kajian morfonologi atau morfofonemik, biasanya
dibahas dalam tataran morfologi, tetapi sebenarnya lebih banyak menyangkut masalah
fonologi. Kajian ini tidak dibicarakan dalam tataran fonologi karena masalah baru
muncul dalam kajian morfologi, terutama dalam proses afiksasi, reduplikasi, dan
komposisi. Kemudian masalah morfofonemik ini terdapat hampir pada semua bahasa
yang mengenal proses-proses morfologi. Dalam proses morfemis menurut Chaer
(2003:177) terdapat empat proses yaitu:
a. Afiksasi
Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar.
Dalam proses afiksasi terlibat unsur-unsur dasar atau bentuk dasar, afiks, dan makna
gramatikal yang dihasilkan. Afiks adalah sebuah bentuk biasanya berupa morfem
terikat yang diimbuhkan pada sebuah dasar dalam proses pembentukan kata. Dalam
bahasa indonesia dikenal sebagai jenis afiks yang secara tradisional diklasifikasikan
atas: (1) Prefiks merupakan afiks yang diimbuhkan dimuka bentuk dasar yaitu dalam
bahasa indonesia misalnya mem-, di-, ber-, ke-, ter-, se-, pem-, dan pe- / ter-,
Contohnya yaitu prefiks ber- pada kata berjalan dengan kata dasar jalan, (2) Infiks
macam infiks yaitu -el-, -em-, dan –er-. Contohnya kata seruling dengan kata dasar
suling dan infiksnya –er- menjadi s-er-uling, (3) Sufiks adalah afiks yang diimbuhkan
pada posisi akhir bentuk dasar dalam bahasa indonesia misalnya –kan, i, nya, wati,
-wan, -man, -isme, -is, -an, -da, -w,. Contohnya kata bagian kata dasarnya bagi +
an,dan (4) Konfiks adalah afiks yang berupa morfem terbagi, yang bagian pertama
berposisi pada awal bentuk dasar, dan bagian bentuk ke dua berposisi pada akhir
bentuk dasar. Contohnya kata keterangan yaitu kata dasarnya terang menjadi ke
-terang-an. Sehingga proses afiksasi saat penting dalam pembentukan kalimat dalam
bercakap.
b. Reduplikasi
Reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara
keseluruhan, secara bagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi. Dalam hal ini,
reduplikasi dibedakan menjadi tiga yaitu reduplikasi penuh, seperti buku-buku (dari
dasar buku), reduplikasi sebagian seperti lelaki (dari dasar laki), dan reduplikasi dari
perubahan bunyi, seperti bolak-balik (dari dasar balik). Jadi reduplikasi merupakan
bunyi yang diucapkan secara mengulang bunyi tersebut. Pada kenyataannya bunyi
reduplikasi jarang sekali diucapkan jika tidak diperlukan sekali. Pada umumnya bunyi
reduplikasi yang sering digunakan adalah bunyi reduplikasi perubahan bunyi.
c. Komposisi
Komposisi adalah hasil dan proses penggabungan morfem dasar dengan
morfem dasar, baik yang bebas maupun yang terikat, sehingga bentuk di sebuah
terdapat dalam banyak bahasa, misalnya lalu lintas dan daya juang. Contoh: sapi kecil
atau sapi yang belum dewasa disebut anak sapi, yakni hasil penggabungan kata anak
dan kata sapi. Pada bunyi komposisi sering diucapakan atau dilafalkan untuk nama
hewan dan sebagainya. Dalam bentuk kalimat bunyi komposisi ini juga jarang
diucapkan.
3. Komponen Semantik
Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantics) berasal dari bahasa
Yunani sema (kata benda) yang berarti "tanda" atau "lambang" . Kata kerjanya adalah
semaino yang berarti "menandai" atau "melambangkan". Yang dimaksud dengan tanda
atau lambang disini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda listik (prancis : signé
linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinan Desausure (dalam chaer,
2002:2) yang terdiri dari (1) komponen mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk
bunyi bahasa dan (2) kompoen yang diartikan atau makna dari komponen yang
pertama itu. Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang; sedangkan yang
ditandai atau dilambanginya adalah suatu yang berada diluar bahasa yang lazim
disebut dengan referen atau hal yang ditunjuk. Jadi dalam tindak tutur bentuk bunyi
yang diucapkan merupakan sebuah tanda, dari bunyi yang diucapkan tersebut dan
diartikan merupakan lambang dari penuturnya. Namun menurut Chaer (2002:2) juga
mengatakan kata semantik telah disepakati sebagai istilah yang mempelajari hubungan
antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal lain yang ditandai atau bidang studi
dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu
semantik dapat diartikan sebagi ilmu tentang makna tau tentang arti, yaitu salah satu
Aminudin (2008:15) semantik yang berasal dari bahasa Yunani, mengandung makna
to signify atau yang memakai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian
“studi tentang makna” semantik merupakan bagian dari linguistik.
E. Gangguan Berbahasa
Menurut Chaer (2009:148-163) gangguan berbahasa dibagi menjadi 4 macam
yaitu gangguan berbicara, gangguan berbahasa, gangguan berfikir, dan gangguan
lingkungan sosial. Gangguan kata dasarnya‟ ganggu‟ yang berarti halangan, rintangan,
dan godaan. Sedangkan berbahasa adalah menggunakan bahasa sebagai alat untuk
berkomunikasi. Jadi gangguan berbahasa adalah sebuah permasalahan atau halangan
untuk melakukan komunikasi akibat faktor tertentu. Penderita gangguan berbahasa
yaitu di antaranya tunagrahita, tunadaksa, tunarungu, autis, stroke, dan lain
sebagainya. Pada penelitian ini subyek yang digunakan untuk penelitian dalam
gangguan bahasa yang diambil oleh peneliti yaitu pada gangguan bahasa penderita
tunagrahita.
Tunagrahita merupakan orang yang memiliki cacat pikiran, lemah daya
tangkap, dan idiot. Istilah untuk anak yang berkelainan mental subnormal dalam
beberapa referensi disebut pula dengan keterbelakangan mental (mental retardation,
MR), lemah ingatan, febleminded, mental subnormal, tnagrahita. Seseorang
dikategorikan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, jika ia memiliki tingkat
kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah normal), sehingga untuk meneliti
tugas perkembanganya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk
dalam program pendidikannya menurut Bratanata ( dalam Efendi, 2009: 88).
sangatlah kurang. Karena pembelajaran dan berbahasa yang dilakukan atau diikuti
oleh anak normal sulit dilakukan, selain itu hal yang nampak sederhana terkadang
tidak mampu dicerna dengan baik dan benar, sehingga peristiwa kebahasaan yang
biasa terjadi disekitarnya menimbulkan keanehan bagi dirinya. Dalam berbahasa anak
tunagrahita kegagalan melakukan apresiasi terhadap suatu peristiwa bahasa, kerap kali
diikuti gangguan artikulasi berbicara. Berkomunikasi yang dilakukan penderita
menggunakan struktur kalimat yang disampaikan cenderung tidak teratur (aphasia
conceptual), dari segi pengucapan sering kali terjadi omisi (pengurangan kata)
maupun distorsi (kekacauan dalam ucapan).
Kemampuan bahasa anak tunagrahita menurut Efendi (2009:99) agak berat
(mampu latih), adanya kegagalan melakukan apersepsi terhadap suatu peristiwa
bahasa, kerap kali diikuti gangguan artikulasi berbicara. Apa yang dilakukan oleh
anak normal sulit dilakukan oleh anak tunagrahita, bahkan, dalam hal yang terlihat
sederhana terkadang tidak mampu dicerna dengan baik, akibatnya peristiwa
kebahasaan yang lazim terjadi di sekitarnya menimbuklan keanehan bagi dirinya.
Pada anak tunagrahita sulit dalam hal sederhana yang dikakukan oleh anak normal
sulit dilakukan. Menurut Somantri (2007:106-108) kemampuan unteligensi anak
tunagrahita kebanyakan diukur dengan tes Stanford Binet dan Skala weschler
(WISC) yang tiga klasifikasi anak tunagrahita yaitu:
1. Tunagrahita Ringan
Tunagrahita ringan dapat disebut moon atau debil. Kelompok ini memiliki IQ
diantara 68-52 menurut Binet, sedangkan Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55.
mempunyai kemampuan untuk berkembang. Penderita tunagrahita masih dapat belajar
membaca, menulis dan berhitung sederhana. Pada penelitian ini subyek yang masuk
kedalam tunagrahita ringan adalah Naajwa Saahira Zahra.
2. Tunagrahita sedang
Anak tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51
-36 pada skala Binet dan 54-40 menurut skala weschler (WISC). Anak yang
terbelakang mental sedang bisa mencapai perkembangan MA (Mental Age) sampai
kurang lebih tujuh tahun. Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat
belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca dan berhitung walaupun
mereka masih dapat menulis secara sosial, seperti menulis namanya sendiri, alamat
rumahnya, dan lain-lain. Dalam kehidupannya tunagrahita sedang membutuhkan
pengawasan yang terus-menerus.
3. Tunagrahita berat
Kelompok tunagrahita berat sering disebut dengan idiot. Kelompok ini masih
dapat dibedakan lagi antara anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat
(severe) memiliki IQ antara 32-20 menurut skala Binet dan antara 39-25 menurut
Skala Wechler (WISC). Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ dibawah 19
menurut Skala Binet dan IQ dibawah 24 menurut Skala Weschler (WISC). Pada
penelitian ini yang merupakan tunagrahita berat yaitu salwa Najla Azahra dan Nazif
Julio Akmal. Namun untuk Nazif Julio Akmal termasuk dalam tunagrahita sangat
berat. Penderita tunagrahita berat sangat membutuhkan orang lain disampingnya,
Tabel 4. Klasifikasi anak tunagrahita berdasarkan derajat keterbelakangaannya
Level
Keterbelakangan Standford Binet IQ SkalaWescheler
Ringan 68 – 52 69 – 55
Sedang 51– 36 54 – 40
Berat 32 – 20 39– 25
Sangat Berat > 19 >24
(sumber: Soemantri, 2007:108)
Sesuai dengan klasifikasi anak tunagrahita berdasarkan derajat
keterbelakangan subyek penelitian yang akan diteliti masuk dalam golongan IQ level
keterbelakangan ringan, sedang, dan berat. Pertama, Naajwa Saahira Zahra
merupakan tunagrahita sedang, dia seperti anak normal pada umumnya namun tingkat
IQnya dibawah anak normal, mampu bercakap dengan lumayan lancar, aktif dalam
belajar, vokal belum jelas, dan baru mampu menjawab pertannyaan singkat walaupun
jawaban yang diucapkan belum sesuai apa yang ditannyakan. Kedua, Abdul Hafidz
Arrafi termasuk dalam tunagrahita ringan, termasuk anak yang pendiam, sedikit
berbicara, lebih menonjol ke aktifan, dalam hal artikulasi cukup lancar. Ketiga,
Asmia Dewisri Wulandari (Asmia) tergolong dalam cacat tunagrahita ringan,
termasuk anak yang aktif bicara, dalam pengucapan masih kurang jelas dan sedikit
pemalu. Keempat, Aisyah Nur Hidayah (Aisyah) tergolong dalam cacat tunagrahita
ringan, termasuk anak yang aktif berbicara, namun karena memiliki gangguan dalam
pita sehingga suarannya agak serak dan tidak begitu jelas. Kelima, Salwa Najla Azahra
(Salwa) tergolong dalam tunagrahita berat, dia memiliki ganguan pada pita suara
berat, sehingga dalam berbicara cukup kesusahan, dan tidak begitu mengeluarkan
bunyi ujaran saat berbicara. Keenam, Naziw Julio Akmal (Naziw) tergolong
ataupun hanya menunjuk apa yang diinginkannya.
F. Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita
Bahasa dalam perkembangan anak tunagrahita sangatlah penting, karena
fungsi bahasa yaitu sebagai alat komunikasi. Sebeb itu di sekolah Luar biasa terdapat
pelajaran khusus untuk berbahasa, biasa disebut dengan pembelajaran tematik dan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan masing-masing ketentuan disekolah. Namun di
SLB N Banjarnegara pembelajaran bahasa dilakukan pada hari jumat berfungsi untuk
melatih vokal dan kelancaran berbicara bagi penderita tunagrahita khususnya. Secara
umum perkembangan bahasa digambarkan oleh Myklebust (dalam soemantri,
2007:113) meliputi lima tahap perkembangan seperti terlihat pada gamabar berikut:
Hierarki perkembangan bahasa
(sumber Soemantri, 2007:113)
Visual receptive language reading
Auditory expressive language speaking
Auditory receptive language comprehending spoken word
Experience
1. Inner Language
Merupakan aspek bahasa pertama yang berkembang. Muncul kira-kira usia
enam bulan. Karakteristik periaku yang muncul pada tahap ini adalah pembentukan
konsep sederhana yaitu misal anak memegang apel kemudian mesdeskripsikan bentuk
apel hingga warna apel tersebut. Tahap lanjutannya pekembangan inner language
yaitu anak dapat memahami hubungan-hubungan yang lebih kompleks dan dapat
bermain dengan mainan dalam situasi yang bermakna. Contohnya menyusun prabot
didalam rumah. Bentuk paling komplek dalam perkembangan linnier language adalah
mentransformasikan pengalaman dalam simbol bahasa.
2. Receptive language
Anak-anak mulai mengerti sedikit-sedikit tentang apa yang dikatakan
dengannya. Anak mulai merespon apabila namanya dipanggil dan mulai mengerti
perintah. Menjelang kira-kira umur 4 tahun, anak lebih menguasai kemahiran
mendengar dan setelah itu proses penerimaan (receptive proses) memberikan
perluasan kepada sistem bahasa verbal. Terdapat hubungan timbal balik antara inner
language dengan receptive language. Perkembangan inner language melewati fase
pembentukan konsep-konsep sederhana menjadi tergantung kepada pemahaman dan
recetive language.
3. Expresive language
Aspek terakhir dari perkembangan bahasa adalah bahasa ekspresive
(ekspresive language). Bahasa ekspresi anak muncul pada usia kira-kira satu tahun.
memiliki hubungan timbal balik. Perkembangan kognisi anak tunagrahita mengalami
hambatan, karenanya perkembangan bahasanya juga akan terhambat. Anak
tunagrahita pada umumnya tidak bisa menggunakan kalimat majemuk, dalam
percakapan sehari-hari banyak menggunakan kalimat tunggal. Ketika anak tunagrahita
dibandingkan dengan anak normal pada CA (Cronology Age) yang sama, anak
tunagrahita mengalami gangguan artikulasi, kualitas suara, dan ritme. Selain itu anak
tunagrahita mengalami kelambanan dalam perkembangan bicara (expresive auditory
language).
Dalam perkembangan morfologi anak tunagrahita dan anak normal memiliki
MA (Mental Age) yang sama memperlihatkan level sama dalam perkembangan
morfologi. Akan tetapi dalam CA (cronologi Age) anak tunagrahita lebih rendah
dalam perkembangan morfologinya. Dalam perkembangn sintaksis dan
pembendaharaan kata, MA berkolerasi dengan kemampuan tata bahasa, sedangkan CA
berkolerasi dengan pembendaharaan kata. Ini berarti menunjukan bahwa sintaksis
memerlukan kemampuan kecerdasan yang baik. Dalam kemampuan perkembangan
bahasa berkaitan dengan kemampuan berbahasa yang disebut semantik. Anak-anak
memperlihatkan perkembangan semantik sama dengan seperti komponen lainnya.
Perkembangan vacabulary anak tunagrahita telah diteliti secara luas. Hasilnya
menunjukan bahwa anak tunagrahita lebih lamban dari pada anak normal (kata per
menit), lebih banyak menggunakan kata-kata positif, lebihsering menggunakan kata
-kata yang lebih umum, hampir tidak pernah menggunakan -kata-kata yang bersifat
khusus, tidak pernah menggunakan kata ganti, lebih sering menggunakan kata-kata