• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Hakikat Sikap Tanggung Jawab dalam Belajar a. Konsep Sikap - BAB II Agi Ahmad G.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "1. Hakikat Sikap Tanggung Jawab dalam Belajar a. Konsep Sikap - BAB II Agi Ahmad G."

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORETIK

A. Deskripsi Konseptual

Deskripsi konseptual merupakan bagian dari laporan penelitian yang berisi berbagai konsep teori yang relevan dengan tema penelitian. Isi dari deskripsi konseptual merupakan kajian berbagai teori yang relevan dengan varibel penelitian baik variabel bebas maupun varibel terikat. Pada penelitian ini deskripsi konseptual meliputi hakikat sikap tanggung jawab, hakikat menganalisis teks cerpen, dan hakikat metode discovery learning. Berikut diuraikan masing-masing deskripsi konseptual dalam penelitian ini.

1. Hakikat Sikap Tanggung Jawab dalam Belajar

a. Konsep Sikap

(2)

dindikasikan memiliki sikap tidak menyukai dalam arti sikapnya negatif atau unfavorable.

(3)

keteraturan tertentu dalm perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan preisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.

Selain itu, diungkapkan pula berbagai pandangan ahli yang berdasarkan pendekatan yang mereka anut. Pendekatan pertama adalah memandang sikap sebagai kombinasi reaksi afektif, perilaku, dan kognitif terhadap suatu objek Ketiga komponen tersebut secara bersama mengorganisasikan sikap individu. Pendekatan ini dikenal dengan nama skema triadik yang disebut juga pendekatan tricomponent. Pendektan kedua memandang perlu membatasi konsep sikap hanya pada aspek afektif saja (single component). Defenisi yang mereka ajukan mengatakan bahwa sikap tidak lain adalah afek atau penilian positif atau negatif terhadap suatu objek (Azwar, 2013: 7). Berikut peneliti gambarkan skema triadik dalam bagan di bawah ini

Bagan 2.1

Konsepsi Skema Triadik Sikap

STIMULI

(4)

Katz, Stotland, Smith (dalam Azwar, 2013: 6) menganggap bahwa konsepsi respons-respons sikap yang bersikap kognitif, afektif, dankonatif sebagaimana dalam skema triadik di atas bukan sekedar cara kalisifkasi defenisi sikap melainkan suatu telaah yang lebih mendalam.

Inferensi atau penyimpulan mengenai sikap harus didasarkan pada suatu fenomena yang diamati dan dapat diukur. Fenomena ini berupa respons terhadap objek sikap dalam berbagai bentuk. Rosenberg dan Hovlan (dalam Azwar, 2013: 20) melakukan analisis terhadap berbagai respons yang dapat dijadikan dasar penyimpulan sikap dari perilaku, yang hasilnya disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 2.1 Respon Sikap

Tipe Respon Kategori Respon

Kognitif Afektif Konatif

Verbal Pernyataan

Non-verbal Reaksi perseptual terhadap objek

Respons yang Digunakan untuk Penyimpulan Sikap (Azwar, 2013: 20)

b. Konsep Tanggung Jawabdalam Belajar

(5)

pendahuluan bahwa tugas utama manusia itu adalah beribadah kepada Allah. Ibadah dalam hal ini bukan semata bentuk ritual dalam menyembah Allah melainkan meliputi segala bentuk tingkah laku manusia. Langgulung (1995: 4) mengungkapkan ayat yang selalu dibaca umat Islam dalam beribadah, “Sesungguhnya sembahyangku, ibadat hajiku, hidupku, dan matiku semuanya adalah untuk Allah.” Jadi ibadah dalam arti luas meliputi seluruh gerak gerik manusia. Ibadah dalam pengertian yang luas inilah tujuan manusia diciptakan, atau tujuan hidup manusia.

(6)

Sejalan dengan hal tersebut Agustian (2001: 90) menyatakan “Tanggung jawab, adalah wujud pengabdian manusia dan zikir kepada sifat Allah, Al Wakiil.” Makna kata Al Wakiil dalam hal tersebut adalah Maha Pemanggul Amanat. Tirtorahardjo dan Sulo (2005:4) yang menyatakan bahwa wujud sifat hakikat manusia yang dikemukakan oleh faham eksistensialisme adalah: (1) kemampuan menyadari diri; (2) kemampuan bereksistensi; (3) kata hati (conscience of man); (4) moral; (5) tanggung jawab; (6) rasa kebebasan; (7) kewajiban dan hak; dan (8) kemampuan menghayati kebahagiaan.

Sejalan dengan pendapat di atas Kemendiknas (dalam Wardoyo, 2013: 95) yang mengungkapkan bahwa tanggung jawab adalah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula Tirtarahardja dan Sulo (2005: 8) menyatakan bahwa tanggung jawab diartikan sebagai keberanian untuk menentukan sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan sehingga sanksi apa pun yang dituntutkan (oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh norma-norma agama) diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan.

(7)

terhadap situasi hari, yang memerlukan beberapa jenis keputusan yang bersifat moral”. Wuryanano (2007) menyatakan, “Tanggung jawab adalah siap menerima kewajiban atau tugas”.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa tanggung jawab merupakan potensi manusia yang telah Tuhan titipkan dalam diri manusia sesuai dengan salah satu nama-Nya yaitu Al Wakiil. Keberadaan sifat tersebut merupakan sebuah amanah yang harus diemban oleh manusia. Kemampuan manusia dalam menanggung dan melaksanakan semua amanah tersebut merupakan sebuah tanggung jawab. Bentuk tanggung jawab ini pun diikuti dengan sikap penuh kerelaan diri dalam menerima sangsi dengan penuh sadar apabila melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan yang seharusnya. Jadi tanggung jawab merupakan sebuah kemampuan seorang manusia dalam melaksanakan amanah yang telah ditugaskannya dengan penuh kesadaran. Dalam hal ini diketahui bahwa bentuk tanggung jawab tercermin dengan terlebih dahulu adanya sebuah stimulus atau pemberi sebuah tugas kepada manusia untuk dilaksanakan. Kemampuan manusia dalam melaksanakan tugas itulah yang disebut tanggung jawab.

(8)

c. Jenis-Jenis Tanggung Jawab

Tanggung jawab berdasarkan wujudnya terdiri dari: (1) tanggung jawab kepada diri sendiri, (2) tanggung jawab kepada masyarakat, dan (3) tanggung jawab kepada Tuhan (Tirtorahardjo, 2005: 8). Berikut penjelasan dari ketiga jenis tanggung jawab berdasarkan wujudnya.

1) Tanggung jawab kepada diri sendiri

Hakikat manusia sebagai makhluk individu yang mempunyai kepribadian yang utuh, dalam bertingkah laku, dalam menentukan perasaan, dalam menentukan keinginannya, dan dalam menuntut hak-haknya. Namun, sebagai individu yang baik maka harus berani menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang mendalam.

2) Tanggung jawab kepada masyarakat

Selain hakikat manusia sebagai makhluk individu, manusia juga sebagai makhluk sosial yang berada di tengah-tengah masyarakat dan tidak mungkin untuk hidup sendiri. Oleh karena itu, manusia dalam berpikir, bertindak, berbicara dan segala aktivitasnya, manusia terikat oleh masyarakat, lingkungan dan negara. Selain itu, segala tingkah laku ataupun perbuatannya harus dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat. Tanggung jawab kepada masyarakat juga menanggung tuntutan-tuntutan berupa sanksi-sanksi dan norma-norma sosial, misalnya seperti cemoohan masyarakat, hukuman penjara, dan lain-lain.

3) Tanggung jawab kepada Tuhan

(9)

manusia wajib mengabdi kepadanya dan juga menanggung tuntutan norma-norma agama serta melakukan kewajibannya terhadap Tuhan YME. Sebagai bentuk perilaku bertanggung jawab kepada Tuhan misalnya yaitu mempunyai perasaan berdosa dan terkutuk.

Berdasarkan penjelasan tentang jenis-jenis tanggung jawab tersebut, maka tanggung jawab belajar siswa termasuk dalam jenis tanggung jawab kepada diri sendiri. Artinya, siswa tersebut harus bisa menanggung kata hatinya untuk bersedia melakukan kewajibannya sebagai siswa yaitu belajar. Siswa tersebut harus bisa berkomitmen untuk membiasakan diri dalam belajar dengan baik dan disiplin.

d. Ciri-Ciri Sikap Tanggung Jawab

Samani dan Haryanto (2013: 51) mengungkapkan bahwa tanggung jawab itu meliputi melakukan tugas dengan sepenuh hati, bekerja dengan etos kerja yang tinggi, berusaha keras untuk mencapai prestasi terbaik (giving the best), mampu mengontrol diri dan mengatasi stres, berdisiplin diri, akuntabel terhadap pilihan dan keputusan yang diambil.

Wulandari (dalam Ulfa, 2014: 25) mengungkapkan bahwa secara umum siswa yang bertanggung jawab terhadap belajar dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut.

(10)

2) Selalu berusaha menghasilkan sesuatu tanpa rasa lelah dan putus asa. 3) Selalu berpikiran positif disetiap kesempatan dan dalam situasi apapun. 4) Tidak pernah menyalahkan orang lain atas kesalahan yang telah diperbuatnya.

Lebih lanjut Adiwiyato (dalam Astuti, 2005:27) mengungkapkan bahwa ciri-ciri tanggung jawab antara lain sebagai berikut.

1) Melakukan tugas rutin tanpa harus diberi tahu. 2) Dapat menjelaskan apa yang dilakukannya. 3) Tidak menyalahkan orang lain yang berlebihan. 4) Mampu menentukan pilihan dari beberapa alternatif. 5) Bisa bermain atau bekerja sendiri dengan senang hati.

6) Bisa membuat keputusan yang berbeda dari keputusan orang lain dalam kelompoknya.

7) Punya beberapa saran atau minat yang ia tekuni. 8) Menghormati dan menghargai aturan.

9) Dapat berkonsentrasi pada tugas-tugas yang rumit. 10) Mengerjakan apa yang dikatakannya akan dilakukan.

11) Mengakui kesalahan tanpa mengajukan alasan yang dibuat-buat.

(11)

pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain dan tidak merasa terbebani akan tanggung jawabnya itu.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut disusun indikator dari sikap tanggung jawab kaitannya dengan pembelajaran menganalisis teks cerpen antara lain yaitu: (1) melaksanakan tugas yang diberikan guru, (2) memberikan alasan dalam menentukan bagian-bagian unsur interinsik cerpen, (3) tidak bekerja sama ketika dilaksanakan tes individu, (4) melakukan tugas sendiri dengan senang hati, (5) ketika belajar kelompok dapat membuat keputusan yang berbeda dari teman kelompoknya, (6) mempunyai minat untuk menganalisis cerpen, (7) menghormati dan menghargai skenario pembelajaran, dan (8) dapat konsentrasi dalam setiap suasana belajar.

Dari beberapa indikator tersebut yang erat kaitannya dengan pembelajaran menganalisis teks cerpen peneliti simpulkan sebagai berikut.

1) Melaksanakan tugas yang diberikan guru

Dalam sebuah pembelajaran guru senantiasa memberikan tugas yang harus dilakukan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang memiliki sikap tanggung jawab senantiasa akan selalu melakukan tugas yang diberikan guru yang berkaitan dengan pembelajaran.

2) Memberikan alasan logis dalam menentukan bagian-bagian analisis teks cerpen.

(12)

jawabannya. Kehadiran alasan siswa dalam menjawab tersebut merupakan sebuah cerminan dari sikap tanggung jawab atas pernyataannya.

3) Tidak bekerja sama ketika dilaksanakan tes individu.

Sebagai upaya mengetahui kemempuan siswa dalam hasil pembelajaran. Guru akan melakukan sebuah tes individu untuk mengetahui kemampuan tiap individu di dalam kelas. Siswa yang memiliki sikap tanggung jawab akan melakukan tugas tersebut dengan tidak kerja sama dengan siswa yang lainnya. 4) Melakukan tugas sendiri dengan senang hati.

Dalam mengerjakan tugas individu siswa yang benar-benar memiliki rasa tanggung jawab akan melaksanakan tugas tersebut dengan senang hati. Artinya, keseriusan, semangat dan disiplin dalam melaksanakan tugas akan terlihat dari sikap siswa yang bertanggung jawab.

5) Ketika belajar kelompok dapat membuat keputusan yang berbeda dari teman kelompoknya.

Sikap tanggung jawab atas tugas yang diberikan oleh guru akan terlihat juga dari cara pandang siswa terhadap meteri pelajaran yang menunjukkan antusiasmenya dengan cara berani berpendapat yang berbeda dengan siswa yang lain dalam kelompoknya.

6) Mempunyai minat untuk menganalisis cerpen.

(13)

7) Menghormati dan menghargai prosedur pembelajaran.

Sebuah pembelajaran telah dirancang oleh guru sedimikian rupa supaya dapat mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang memiliki sikap tanggung jawab tentunya akan mengikuti langkah-langkah tersebut sebagaimana yang diarahkan oleh guru.

8) Berkonsentrasi dalam setiap suasana belajar.

Sikap tanggung jawab juga dapat terlihat dari cara belajar siswa yang mampu berkonsentrasi dengan suasan belajar. Konsentrasi ini tidak akan timbul begitu saja tanpa dia sadar akan makna pembelajaran yang merasa itu yang harus dia laksanakan sehingga siswa tersebut terlihat memiliki sikap tanggung jawab.

2. Hakikat Menganalisis Teks Cerpen

a. Pengertian Cerpen

(14)

Cerita pendek adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fisik dalam aspeknya yang terkecil. Kependekan sebuah cerita pendek bukan karena bentuknya yang jauh lebih pendek dari novel, tetapi karena aspek masalahnya yang sangat dibatasi. Dengan pembatas ini maka sebuah masalah akan tergambarkan jauh lebih jelas dan jauh lebih mengesankan bagi pembaca. Kesan yang ditinggalkan oleh sebuah cerita pendek harus tajam dan dalam, sehingga sekali membacanya kita tidak akan mudah lupa.

Pendapat lain tentang pendefinisian cerpen berdasarkan pada keududukan cerpen di dalam genre serta berdasarkan isi yang terkandung di dalamnya. Pandangan ini diungkapkan Bahrudin dkk. (2006:14) yang menyatakan bahwa cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Dalam cerpen dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan. Dari pendapat tersebut dapat diketahui cerpen merupakan bagian dari prosa fiksi yang berisi tentang berbagai kejadian atau peristiwa yang berdampak emotif bagi pembaca.

Cara pandang lain terhadap cerpen didasarkan pada batasan jumlah kata yang digunakan. Hal ini dikemukakan Notosusanto (dalam Tarigan, 1984:176),“Cerita pendek adalah cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri.” Walaupun demikian batasan tersebut bukanlah hal yang baku dan selamanya berlaku, hal itu merupakan batasan yang ditujukan untuk memperkirakan jumlah kata dan halaman. Sebab pada kenyataan bisa saja sebuah cerpen kurang atau lebih dari jumlah yang telah ditentukan tersebut.

(15)

Tarigan, 1984:176) yang menyatakan bahwa singkat dan lengkap atau brevity with completeness adalah sifat-sifat pokok cerita pendek.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas peneliti menyimpulkan batasan-batasan cerpen sebagai berikut.

1) Cerpen merupakan salah satu genre sastra yang berbentuk prosa. 2) Cerpen berupa karangan dalam bentuk tulisan.

3) Isi cerpen menyajikan sebuah kisah, peristiwa yang mampu memberi dampak emotif bagi pembaca.

4) Waktu yang dibutuhkan untuk membaca cerpen tidak lama.

5) Unsur pembangun yang ada di dalam cerpen bersifat terbatas namun disajikan dengan lengkap dan jelas.

Jadi, cerita pendek dapat dikatakan sebagai sebuah karya prosa fiksi yang disajikan dalam bentuk bahasa tulis. Didalamnya disuguhkan sepenggal cerita tentang sebuah peritiwa yang melibatkan melibatkan konflik seorang tokoh yang diuraikan dengan cara-cara terbatas namun lengkap dan jelas, sehinggacerita tersebut mampu memberikan dampak emotif bagi pembaca.

b. Ciri-Ciri Cerpen

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa dalam pendefinisian cerpen terdapat beberapa pandangan para ahli yang memberikan pengertian berdasarkan cara pandangnya tersendiri. Oleh sebab itu, untuk mengenali lebih jelas lagi tentang cerpen berikut peneliti paparkan ciri-ciri cerpen.

(16)

1) Plot cerpen pada umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir, maka konflik yang dibangun dan klimaks yang akan diperoleh pun bersifat tunggal pula.

2) Cerpen hanya berisi satu tema.

3) Jumlah tokoh dalam cerpen lebih terbatas.

4) Latar yang digunakan dalam cerpen hanya memerlukan pelukisan secara garis besar saja, atau bahkan hanya secara implisit, asal telah mampu memberikan suasana tertentu yang dimaksud.

Selanjutnya Sumardjo (2001: 84) mengemukakan pula bahwa ciri khas cerpen sebagai berikut.

1) Cerita pendek hanya memiliki satu arti, satu krisis, dan satu efek untuk pembacanya.

2) Pengarang cerpen hanya ingin mengemukakan suatu hal secara tajam. 3) Cerpen menuntut penggunaan bahasa yang ekonomis.

Berdasarkan pendapat tersebut dalam memberikan pandangan terhadap ciri cerpen terjadi kembali keragaman dari para ahli dalam memeparkan ciri-ciri cerpen tersebut. Akan tetapi, kalau ditinjau dari esensi ciri-ciri-ciri-ciri cerita pendek yang disajikan di atas. Peneliti memandang terdapat kesamaan yaitu sama-sama menyoroti unsur yang membangun cerita pendek yang terbatas.

c. Jenis-Jenis Cerpen

(17)

yang dia amati. Cara pandang pengarang terhadap objek tulisan antara satu dengan yang lainnya pasti berbeda.Hal ini mempengaruhi keberadaan cerpen yang beragam. Untuk mengetahui perbedaan antara cerpen yang satu dengan yang lainnya, berikut ini peneliti kemukakan jenis-jenis cerpen berdasarkan pendapat para ahli.

Tarigan (1984: 178 ) membagi cerita pendek ke dalam dua bagian sebagai berikut.

1) Berdasarkan jumlah kata

Berdasarkan jumlah kata yang dikandungnya, dapatlah dibedakan dua jenis cerita pendek, yaitu cerpen yang pendek (short story) dan cerpen yang panjang (long story).

2) Berdasarkan nilai sastra

Berdasarkan nilai sastra, cerita pendek dibagi dua, yaitu cerpen sastra dan cerpen hiburan. Cerpen sastra adalah cerpen yang benar-benar bernilai sastra, sedangkan cerpen hiburan adalah cerpen yang tidak bernilai sastra, tetapi lebih ditujukan untuk menghibur saja.

Berbeda dengan Tarigan, Sumardjo (1984: 70–71) menggolongkan bahwa cerita pendek menurut unsur-unsur fiksi yang ditemukannya sebagi berikut.

1) Cerita Pendek watak

(18)

Jadi, watak dalam cerita pendek ini jelas statis, sebab pengarang tak memiliki kesempatan untuk mengembangkan watak tertentu.

2) Cerita Pendek Plot

Cerita pendek ini merupakan cerita pendek yang menekankan terjadinya suatu peristiwa yang amat mengesankan.

3) Cerita Pendek Tematis

Cerita pendek ini menekankan pada unsur tema atau permasalahan yang biasanya cukup berat untuk dipikirkan. Pembahasan masalah dalam cerita pendek ini sangat dominan sehingga kadang melupakan tugasnya untuk memberikan cerita pembacanya.

4) Cerita Pendek Suasana

Cerita pendek ini seolah-olah tak ada ceritanya, namun dapat membawa pembaca terbius oleh suasana yang digambarkan pengarangnya.

5) Cerita Pendek Setting

Dalam cerita pendek jenis ini pengarang lebih banyak menguraikan latar belakang tempat terjadinya cerita.

(19)

d. Cerpen Sebagai Teks

Cerpen sebagai sebuah karya prosa fiksi yang disajikan melalui bahasa tulis. Memosisikan dirinya sebagai sebuah karya yang lengkap, dalam arti cerpen dapat dikatakan sebagai sebuah teks sebab bahasa sebagai media utama cerita dituangkan dalam bahasa tulis yang disusun menjadi sebuah teks. Hal ini sejalan dengan Mahsun (2013) yang menyatakan bahwa dari sudut pandang teori semiotika sosial, teks merupakan suatu proses sosial yang mengandung konteks situasi tertentu dan berorientasi pada suatu tujuan sosial. Sementara itu, proses sosial akan dapat berlangsung jika ada sarana komunikasi yang disebut bahasa. Dengan demikian, proses sosial akan merefleksikan diri menjadi bahasa dalam konteks situasi tertentu sesuai tujuan proses sosial yang hendak dicapai. Bahasa yang muncul berdasarkan konteks situasi inilah yang menghasilkan register atau bahasa sebagai teks. Konteks yang melatarbelakangi kehadiran suatu teks, yaitu konteks budaya (yang di dalamnya ada nilai dan norma kultural yang akan mengejawantahkan diri melalui proses sosial) dan konteks situasi yang di dalamnya terdapat pesan yang hendak dikomunikasikan (medan/field), pelaku yang dituju (pelibat/tenor), dan format bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan itu (sarana/mode).

(20)

tujuan dalam suatu kegiatan sosial komunikatif dintentukan oleh konteks situasi yang dihadapi.

Keberadaan konteks situasi pemakai bahasa dalam muatan proses sosial mengakibatkan keberagaman jenis teks yang muncul. Proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan selalu memiliki muatan nilai atau norma kultural. Mahsun (2013) menyatakan nilai-nilai atau norma-norma kultural yang direalisasikan dalam suatu proses sosial itulah yang disebut genre. Satu genre dapat muncul dalam berbagai jenis teks.

Anderson (dalam Priyanti, 2014: 66) “Teks dapat dikelompokkan menjadi dua kategori besar (genre), yaitu genre sastra dan genre faktual.”Genre sastra bertujuan untuk mengajuk emosi dan imajinasi pembaca/penyimak.Genre sastra membuat pembaca/penyimak tertawa, menangis, dan merfleksi diri/menyucikan diri (katarsis).Genre sastra dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu teks naratif (cerpen, novel) puitik, dan dramatik.Teks naratif bertujuan untuk menceritakan sesuatu.

(21)

Chatman mengungkapkan bahwa menurut pandangan strukturalisme, unsur fiksi (juga disebut: teks naratif ‘narative text’), dapat dibedakan ke dalam unsur cerita (story, content) dan wacana (discource, expression). Pembedaan tersebut ada kemiripannya dengan pembedaan tradisional yang berupa unsur bentuk dan isi.Pandangan bahwa teks naratif merupakan sebuah fakta semiotik (ilmu tentang tanda) menurut pandangan Chatman yang mendasarkan diri pada teori Saussure dan Hjemlet menambah rincian pada aspek substansi (substance, inti masalah) dan bentuk (form). Dengan demikian, unsur teks naratif itu sebagai fakta semiotik terdiri dari unsur: substansi isi (substance of content), bentuk isi (form of content), substansi ekspresi (substance of exspresion) dan bentuk ekspresi (form of expresioni) (Nurgiyantoro, 2012: 26-27).

Berdasarkan pendapat di atas peneliti memandang cerpen termasuk ke dalam sebuah teks naratif karena kehadiran cerpen sebagai sebuah karya sastra yang dituangkan oleh pengarang melalui bahasa tulis yang menceritakan sebuah kisah. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh sebuah situasi proses sosial seorang pengarang yang di dalamnya mengandung berbagai konteks. Konteks yang terkandung dalam cerita pendek meliputi konteks budaya sebagai sebuah proses interaksi sosial yang menggunakan bahasa dan konteks situasi yang di dalamnya terdapat pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca memalui sebuah cerita.

e. Analisis Teks Cerpen

(22)

berdasarkan cara penuangan bahasa sebagai media utamanya. Salah satu karya sastra yang termasuk ke dalam genre tersebut adalah cerpen yang merupakan bagian dari prosa fiksi.

Cerpen merupakan sebuah karya sastra sering dianggap sebagai sebuah karangan yang bersifat hayalan yang bertujuan untuk hiburan semata. Pandangan tersebut tentunya kurang tepat. Sebab seorang pengarang tidak mungkin mampu membuat sebuah karya sastra apabila hanya bermodal imajinasi semata. Dalam membuat sebuah karya, imajinasi pengarang diperoleh dari pengalaman-pengalam nyata yang didapatkan dalam kehidupan. Baik itu berupa pengalaman pribadi yang dialaminya ataupun pengalaman orang lain yang diperolehnya melalui pengamatannya. Dengan kata lain tidak mungkin pengarang memperoleh imajinasi begitu saja tanpa adanya pengalaman dalam kehidupan nyata. Hal ini sejalan denganAbidin (2012: 208) yang menyatakan bahwa sastra merupakan karangan faktual imajinatif yang bersifat menyenangkan dan bermanfaat yang disusun pengarang dengan menggunakan bahasa sebagai media utamanya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, sastra merupakan aspek penting yang harus diajarkan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Sebab dalam sebuah karya sastra terdapat hal-hal yang dapat diambil pelajaran untuk kehidupan karena karya sastra bersifat faktual imajinatif. Selain itu juga keterkaitan sastra dengan mata pelajaran bahasa Indonesia sebab media utama sastra adalah bahasa.

(23)

kesesuaian dengan karakteristik dan perkembangan siswa. Hal ini pula dikemukakan Rahmanto (dalam Abidin, 2012: 221), “Minimalnya karya sastra yang akan diajarkan di sekolah harus memenuhi tiga kriteria yakni bahasa, psikologi, dan latar belakang budaya.”

Kehadiran cerpen memberikan banyak manfaat diantaranya sebagai sarana hiburan, pembelajaran. Sebagai sebuah media pembelajaran karya sastra tidak cukup hanya dijadikan sebagai bahan hiburan. Sebab di dalam sebuah cerpen tertuang berbagai nilai-nilai yang positif yang mampu memberikan pembelajaran kepada pembaca. Sejalan dengan hal tersebut Abidin (2012: 211) menyatakan “Karya sastra tidak hanya sekedar untuk dinikmati, tetapi perlu juga dimengerti, dihayati, dan ditafsirkan.”

Proses memahami, menghayatidan menafsirkan isi sebuah cerpen ini ditujukan agar pembaca mampu menggali makna, pesan dan nilai-nilai positif yang disampaikan pengarang melalui sebuah cerita. Seorang pembaca terlebih dahulu melakukan kegiatan memahami cerpen dengan kegiatan membaca. Proses membaca dilakukan dengan serius dan keadaan batin yang gembira serta larut terhadap isi cerita. Kenney (dalam Pujiharto, 2012:23) menyatakan bahwa setelah melakukan pembacaan dengan cermat terhadap karya fiksi, seorang pembaca akan melanjutkan dengan melakukan analisis terhadapnya dengan cara mengidentifikasi bagian-bagian yang membangun karya fiksi itu.

(24)

komponen penciptaan karya sastra tersebut dapat dipilah ke dalam dua kelompok yang pertama komponen yang ada di luar karya yaitu pengarang dan yang kedua komponen yang ada di dalam karya sastra tersebut yaitu bahasa, isi, dan struktur karya sastra (Abidin, 2012: 208).

Pujiharto (2012: 24) menyatakan, “Di dalam melakukan analisis terhadapnya, karya fiksi pun perlu dipilah-pilah ke dalam bagian-bagiannya. Adapun bagian-bagian itu meliputi elemen fakta-fakta, sarana-sarana, dan makna (tema) cerita.” Penggolongan bagian-bagian tersebut penulis pandang masih sejalan dan dapat dikategorikan ke dalam komponen isi yang berada di dalam sebuah karya. Hal ini mengindikasikan bahwa komponen yang dijadikan bahan dalam menganalisis teks cerpen adalah komponen yang berada di dalam karya tersebut yang meliputi struktur, isi, dan bahasanya. Berikut peneliti uraikan bagian-bagain cerpen tersebut.

1) Struktur

Kosasih (2014: 113) mengungkapkan bahwa bagian-bagian umum struktur cerita pendek secara umum dibentuk oleh (1) bagian pengenalan cerita, (2) penanjakan menuju konflik, (3) puncak konflik, (4) penurunan, dan (5) penyelesaian. Bagian-bagian ini ada yang menyebutnya dengan istilah abstrak, orientasi, komplikasi, evaluasi, resolusi, dan koda.

a) Abstrak

(25)

abstrak yang bersifat opsional tersebut penulis pandang bukan menjadi bagian tetap dalam melakukan analisis struktur cerpen. Abstrak dapat dengan sendirinya pembaca buat tanpa harus ada dalam setiap cerpen. Misalnya seorang yang akan menentukan tema cerpen pastilah dia sudah mampu menyimpulkan isi cerpen sehingga memahami dengan benar gagasan pokok cerpen yang dibacanya.

b) Orientasi (Bagian pengenalan cerita)

Orientasi atau pengenalan cerita, baik itu berkenaan dengan penokohan ataupun bibit-bibit masalah yang dialaminya (Kosasih, 2014: 113). Dalam tahapan ini masalah yang dialami tokoh diceritakan dari mulai muncul masalah sampai ke masalah menjadi rumit atau bagian penanjakan menuju konflik.

c) Komplikasi (Puncak konflik)

Komplikasi atau puncak konflik, yakni bagian cerpen yang menceritakan puncak masalah yang dialami tokoh utama (Kosasih, 2014: 114). Dalam tahap ini ketegangan konflik yang dialami si tokoh mengalami puncaknya.

d) Evaluasi (Penurunan)

(26)

e) Resolusi (Penyelesaian)

Resolusi merupakan tahap penyelesaian akhir dari seluruh rangkaian cerita (Kosasih, 2014: 115). Pada tahap ini konflik yang dialami si tokoh berakhir. Pembaca sudah mengetahui bagaimana akhir ceritanya.

f) Koda

Koda merupakan komentar akhir terhadap kesluruhan isi cerita atau diisi dengan kesimpulan tentang hal-hal yang dialami tokoh utama kemudian (Kosasih, 2014: 115).

Berikut peneliti tuangkan struktur teks cerpen dalam bagan di bawah ini.

Bagan 2.2: Struktur Umum Cerpen (Kosasih, 2014: 116)

Bagian-bagian ini merupakan bagian umum. Artinya sangat mungkin keberadaan cerpen tidak memiliki struktur seperti di atas. Hal ini terkait dengan kreativitas dan kebebasan yang dimiliki setiap penulis (Kosasih, 2014: 116).

2) Isi Cerita Pendek

Komponen yang terkandung di dalam isi teks cerpen disebut dengan unsur interinsik cerpen. Nurgiyantoro (2000: 23) menyatakan bahwa unsur interinsik

Orien-tasi

Kompli-kasi

Evaluasi

Resolusi

(27)

adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur interinsik dapat dibagi menjadi tema, alur, tokoh dan penokohan, latar/setting, sudut pandang, amanat. Berikut peneliti uraikan bagian-bagian isi teks cerpen.

a) Tema

Tema merupakan hal penting dari sebuah cerita. Berdasarkan tema sebuah cerita dapat dibangun. Pengembangan segala unsur cerita semua bersumber dari tema. Hal ini sejalan dengan Tarigan (1984: 125) yang menyatakan bahwa tema merupakan hal yang paling penting dalam seluruh cerita.

Lalu apakah tema itu? Telah banyak pendapat dari para ahli mengenai tema. Menurut Suwardjo dan Saini (1991:56), ”Tema adalah ide sebuah cerita.”Aminudin (1987:79) menyatakan,“Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.” Sukirno (2009: 68) menyatakan “Tema adalah makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita yang hendak diperjuangkan dalam cerita.”

(28)

tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan yang utama dari suatu karya sastra.”

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa yang di maksud tema adalah sebuah ide atau gagasan cerita yang menjadi dasar atau pangkal tolak pengarang ketika membangun sebuah cerita yang bersumber dari pandangan pengarang terhadap kehidupan. Tema tersebut terkandung dalam keseluruhan isi cerita.

b) Alur

Dalam sebuah cerpen pengarang menyajikan cerita tersebut yang terdiri atas rangkaian peristiwa yang menjadi satu cerita. Rangkaian peristiwa dalam sebuah cerpen dikenal dengan istilah plot atau alur. Kedua istilah tersebut sudah umum disepadankan atau disamakan maksudnya untuk menunjukkan bagaimana peristiwa itu dipaparkan sehingga menjadi kesatuan cerita yang utuh. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat para ahli mengenai plot dan alur.

Alur adalah rangkaian cerita yang bersifat kronologis, dibangun oleh urutan waktu. Mungkin juga dibentuk oleh urutan keruangan atau spasial. Berdasarkan hal itu, kemudian dikenal adanya alur progresif atau alur maju. Dalam hal ini cerita bergerak runtut dari awal hingga akhir cerita (dari peristiwa A-B-C, dst). Ada pula cerita yang bergerak dari akhir cerita menuju awal (flash back: peristiwa C-B-A) (Kosasih, 2014: 120).

(29)

Abidin 2003:13) menyatakan “Plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.” Alam (dalam Nurgiyantoro, 2000:113) menyatakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian hanya dihubungkan secara sebab akibat peristiwa yang satu disebakan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Sukada (1985:70) yang mengatakan bahwa plot merupakan serangkaian kejadian yang saling berkaitan, yang didalamnya terdapat konflik atau problem yang diselesaikan.

Keberadaan alur dalam sebuah cerita memiliki urutan tertentu. Sukirno (2009: 65) menyatakan bahwa alur cerita jika dilihat dari urutan peristiwanya terdiri atas bagian awal, tengah, dan akhir. Lebih terinci lagi terdiri atas eksposisi, konflik, klimaks, peleraian, dan penyelesaian.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa alur dapat dikatan sama dengan plotyang merupakanurutan kejadian atau peristiwa-peristiwa yang ada di dalam sebuah cerpen. Plot dalam keberadaanya membahas hubungan kausalitas atau sebab akibat terjadinya cerita, bukan hanya semata kaitan antara satu peristiwa dengan peristiwa lain. Hanya pada dasarnya plot dan alur membahasa tentang rangkaian cerita yang ada di dalam sebuah cerpen baik pada bagian awal, tengah dan akhir.

c) Tokoh dan Penokohan

(30)

mampu menjalin suatu cerita,” Jones (dalam Nurgiyantoro, 2000: 165) mengungkapkan bahwa penokohan adalah pelukisan/gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Keberadaan tokoh dalam cerpen memeiliki peran yang berbeda-beda sesuai dengan cerita yang dihadirkan oleh pengarang. Hal ini sejalan dengan Aminudin (1987: 79) yang menyatakan bahwa tokoh yang terdapat suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorangg tokoh yang memiliki peranan penting dalam satu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculunnya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu.

Lebih lanjut Aminudin (1987: 79) mengatakan bahwa Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut penokohan.

Sesuai pendapat tersebut tokoh dan penokohan merupakan hal yang berbeda tetapi ada pada satu unsur. Tokoh ditujukan kepada pelaku dalam cerpen sedangkan penokohan ditujukan kepada karakter atau segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat yang ada dalam diri seorang tokoh dalam menjalankan perannya.

(31)

cerpen tersebut, baik itu nama tokoh ataupun kata ganti peengarang “aku”. Berbeda halnya dengan penokohan, untuk mengenal penokohan dari seorang tokoh pembaca perlu mengkaji beberapa hal yang menunjukkan penokohan pelaku tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung.

Nurgiyantoro (2000:194) mengungkapkan bahwa teknik penelitian sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain yang berhubungan dengan jati diri tokoh dapat dibedakan ke dalam dua cara atau teknik.

1) Teknik analitik atau langsung, yaitu pelukisan tokoh cerita dengan memberikandeskripsi, uraian atau penjelasan secara langsung.

2) Teknik dramatik, yaitu yang dilakukan secara tidak langsung, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh.

(32)

d) Latar atau Setting

Dalam sebuah cerita disamping adanya seorang tokoh diceritakan dalam sebuah suasana tertentu. Baik itu waktu, tempat, atau susana peristiwa terjadinya sebuah cerita yang demikian itu disebut dengan latar atau setting. Hal ini sejalan dengan Sayuti (2000:126) yang menyatakan “Latar atau setting dapat disebut sebagai landasan tumpu, yakni lingkungan tempat peristiwa terjadi.” Sejalan dengan pendapat tersebut Abram (dalam Nurgiyantoro, 2000:216) mengemu-kakan, “Latar atau setting yang disebut landas tumpu, menyarankan pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.”

Hal senada tertuang dalam KBBI (2007:643) dinyatakan bahwa latar adalah keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Begitu pun Brooks (dalam Tarigan, 2003:136) mengungkapkan “Latar adalah latar belakang fisik, unsur tempat dan ruang, dalam suatu cerita.”

Latar memiliki fungsi dalam mengembangkan atau mendukung kehadiran sebuah cerita. Salah satu fungsi latar atau seting adalah membangun atmosfir suasana cerita. Hal ini sejalan dengan Aminudin (1987:67) yang menyatakan “Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi leksikal dan fungsi psikologis.

(33)

sehingga memberikan dampak psikologis maupun pemaknaan cerita bagi pembaca.

e) Sudut Pandang

Dalam memaparkan sebuah cerita pengarang memiliki cara tersendiri memandang objek ceritanya menentukan titik penceritaan tersebut berdasarkan cara pandang yang peneliti anggap baik sesuai dengan tujuan penelitian cerpennya.Hal ini sebagaimana dikemukakan Kusmini dan Abidin (2003: 45) yang menyatakan bahwa sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa yang menceritakan, atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Dengan demikian sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, dan siasat yang secara sengaja dipillih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.

Selain itu Esten (dalam Kusmini dan Abididin, 2003:45) menyatakan “Sudut pandang adalah suatu titik pengisahan yang menentukan sebagai siapa pengarang dalam ceritanya, sehingga ada relasi antara siapa pengarang dengan ceritanya.” Lebih singkat lagi Sutuwijaya dan Rukmini (dalam Kusmini dan Abididin 2003:46) menyatakan ”Sudut pandang adalah cara pengarang menempatkan diri terhadap cerita.”

(34)

ekplisit memakai kata ganti dia, ia, atau nama orang. Dalam pola ini pengarang tidak terlibat dalam cerita baik secara langsung maupun tidak langsung.

f) Amanat

Amanat merupakan pesan yang ingin disampaiakan pengarang kepada pembaca melalui sebuah cerpen. Melalui pesan nilai-nilai positif tentang kehidupan yang menjadi sumber inspirasi peneliti dituangkan. Pesan atau amanat tidak begitu saja dijelaskan oleh pengarang, akan tetapi tersirat dari seluruh isi cerpen. Kosasih (2014: 123) manyatakan “Dalam cerpen, terkandung pula amanat atau pesan-pesan.Amanat suatu cerpen selalu berkaitann dengan temanya.”Sementara itu, Nurgiyantoro (1994: 320) menyatakan bahwa moral merupakan suatu hal yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca yang merupakan penggambaran makna yang terkandung di dalam sebuah cerita.Moral ini dalam karya sastra dipandang sebagai amanat, pesan, message.

3) Bahasa Cerita Pendek

(35)

dan akan menjadi hal menarik jika cara penyampaian bahasa seorang pengarang berbeda dengan yang lainnya.

Sayuti (2000:173) mengungkapkan bahwa gaya adalah orangnya: gaya pengarang adalah suara-suara pribadi pengarang yang terekam dalam karyanya. Secara sederhana, gaya dapat didefinisikan sebagai cara pemakaian bahasa yang spesifik oleh seorang pengarang. Pendapat lain dikemukakan Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2000:276) “Gaya adalah cara pengungkapan bahasa dala prosa, atau bagiamana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan.”

Aminudin (1987:72) mengungkapkan bahwa gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.

Tjahyono (1988: 151) menyatakan bahwa gaya sesungguhnya merupakan perwujudan pribadi pengarangnya, sehingga masing-masing pengarang memiliki gaya tersendiri yang disebabkan oleh pilihan kata dari masing-masing pengarang, tataan kata dan kalimatnya, cara mengungkapkan masalah yang ditampilkan.

3. Hakikat Metode Discovery Learning

(36)

motivasi, belajar, dan berpikir, Bruner menganggap manusia sebagai pemproses, pemikir, dan pencipta informasi. Lebih lanjut Dahar (2014) mengungkapkan bahwa hal yang terpenting bagi Bruner dalam belajar ialah bagaimana orang memilih, mempertahankan, dan mentransformasi informasi secara aktif, dan inilah menurut Bruner inti belajar.

Dalam pandangan belajar sebagai proses kognitif, Bruner (dalam Dahar, 2014: 77) mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses itu ialah: (1) memperoleh informasi baru; (2) transformasi informasi; dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan.

Salah satu model instruktusional kognitif yang sangat berpengaruh dari Jerome Burner (1966) yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap bahwa belajar penemuan (discovery learning) sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik (Dahar, 2014: 79). Sejalan dengan pernyataan tersebut Sani (2014: 97) menyatakan “Pembelajaran discovery merupakan metode pembelajaran kognitif yang menuntut guru lebih kreatif menciptakan situasi yang dapat membuat peserta didik belajar aktif menemukan pengetahuan sendiri.”

(37)

Selanjutnya, Bruner (dalam Depdiknas, 2014: 40) mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep. Teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Tujuan dalam Discovery Learning menurut Bruner adalah hendaklah guru memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist, historin, atau ahli matematika. Dan melalui kegiatan tersebut siswa akan menguasainya, menerapkannya, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.

Pada Discovery Learning materi yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi peserta didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorganisasi atau membentuk (kontruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir. Bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan (Kemendikbud, 2014: 40).

a. Pengertian Metode Discovery Learning

(38)

penyingkapan) didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila siswa disajikan materi pembelajaran yang masih bersifat belum tuntas atau belum lengkap sehingga menuntut siswa menyingkapkan beberapa informasi yang diperlukan untuk melengkapi materi ajar tersebut (Abidin, 2014: 175).

Depdiknas (2014: 40 ) menyatakan, “Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui, masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru.” Selanjutnya, Dahar (2014: 83) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran penemuan bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan saja. Tujuan belajar sebenarnya ialah untuk memeproleh pengetahuan dengan cara yang dapat melatih kemampuan intelektual para siswa serta merangsang keingintahuan mereka dan memotivasi kemampuan mereka.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa yang dimaksud metode discovery kearning adalah langkah-langkah pembelajaran yang mengarahkan siswa supaya menemukan jawaban sendiri atas masalah dalam pembelajaran yang telah guru siapkan supaya siswa termotivasi keingintahuannya dan terlatih kemampuan intelektualnya.

b. Peran Guru Dalam Metode Discovery Learning

Bruner (dalam Dahar, 2014: 83) menyatakan

(39)

Dahar menjelaskan bahwa dalam belajar penemuan, siswa mendapat kebebasan sampai batas-batas tertentu untuk menyelidiki secara perorangan atau dalam satu tanya jawab dengan guru atau oleh guru dan/atau siswa-siswa lain untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru atau oleh guru dan siswa bersama-sama.

Berdasarkan hal tersebut, peran guru dalam metode discovery tidaklah kaku. Guru tidak begitu saja melepaskan siswa sendiri mengahadapi kesulitannya. Guru juga bisa dijadikan sebagai tempat siswa bertanya. Dalam metode discovery siswa juga masih dibatasi kebebasan-kebebasannya dalam batas tertentu. Dalam menerapkan metode Discoveri Learning ada beberapa catatan yang harus diperhatikan guru sebagai berikut.

1) Selama proses pengumpulan data guru mengamati kegiatan siswa. 2) Selama proses pengumpulan data guru membimbing siswa dalam

mengamati pengumpulan data. Proses pembimbingan ini ditujukan agar guru mengetahui kesulitan yang dihadapi siswa dan memberikan solusi kepada siswa secara tepat berdasarkan kesulitan yang mereka hadapi. 3) Dalam proses pembelajaran, guru hendaknya bersedia dijadikan tempat

bertanya para siswa selama pertanyaan tersebut bukan merujuk langsung pada konsep yang sedang siswa teliti.

4) Selama proses pembelajaran guru harus secara intens membangkitkan motivasi belajar siswa.

5) Proses penilaian yang harus dilakukan guru ketika menerapkan metode pembelajaran ini hendaknya merupakan penilaian otentik baik yang merujuk pada proses maupun hasil pembelajaran (Abidin, 2014: 179). Selain itu, Dahar (2014: 83) mengungkapkan bahwa dalam belajar penemuan, guru berperan antara lain sebagai berikut.

1) Guru merencanakan pelajaran sedemikian rupa sehingga pelajaran terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki oleh para siswa.

(40)

3) Selain hal-hal yang tersebut di atas, guru juga harus memperhatikan tiga cara penyajian enaktif, ikonik, dan simbolis.

4) Bila siswa memecahkan masalah dilaboratorium atau secara teoretis, guru hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor.

5) Menilai hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar penemuan.

Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat peneliti simpulkan peran guru dalam metode discovery learning adalah sebagai berikut.

1) Guru sebagai desainer, artinya guru harus mampu merancang sebuah pembelajaran dan menghadirkan masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki siswa.

2) Guru sebagai fasilitator, artinya guru harus menyajikan materi pelajaran yang dibutuhkan siswa.

3) Guru sebagai supervisor, artinya guru harus mampu membimbing jika siswa dalam kesulitan, dengan cara mengarahkan supaya siswa menemukan solusi atas masalahnya.

4) Guru sebagi observer, artinya guru terus memperhatikan aktivitas siswa dalam pembelajaran selama siswa mengumpulakn data yang dibutuhkannya dan menilai semua aktivitas dan hasil belajar siswa.

c. Langkah-langkah Metode Discovery Learning

Pembelajaran dengan metode discovery akan efektif jika terjadi hal-hal sebagai berikut.

1) Proses belajar dibuat secara terstruktur dengan hati-hati.

(41)

3) Guru memberikan dukungan yang dibutuhkan siswa untuk melakukan penyelidikan (Westwood dalam Sani, 2014: 98).

Untuk memudahkan peneliti dalam melaksanakan penelitian dengan menggunakan metode discovery learning. Berikut ini peneliti paparkan langkah-langkah dalam mengaplikasikan model discovery learning di kelas. Pelaksanaan metode discovery learning di kelas, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar secara umum sebagai berikut.

a) Stimulation (Stimulasi/pemberian rangsangan)

Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya dan timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan, anjuran, membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dengan demikian seorang guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus kepada siswa agar tujuan mengaktfikan siswa untuk mengeksplorasi dapat tercapai.

b) ProblemStatement (pernyataan/identifikasi masalah)

(42)

c) Data Collection (pengumpulan data)

Pada saat peserta didik melakukan eksperimen atau ekplorasi, guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan informsi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis. Data dapat diperoleh melalui membaca literatur, mengamatai objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebaginya.

d) Data Processing (pengolahan data)

Menurut Syah (dalam Kemendikbud, 2014) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya lalu ditafsirkan.

e) Verification (pembuktian)

Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang telah ditetapkan, dihubungkan dengan hasil data processing. Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada.

f) Generalitation (menarik kesimpulan/generalisasi)

(43)

d. Keunggulan Metode Discovery Learning

Penggunaan Discovery Learning, ingin mengubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran teacher oriented ke student oriented. Mengubah modus ekspository siswa hanya menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus discovery siswa menemukan informasi sendiri (Kemendikbud, 2014: 40).

Pengetahuan yang diperoleh siswa melalui pembelajaran penemuan menunjukkan beberapa kelebihan. Pertama, pengetahuan itu bertahan lama atau lama diingat atau lebih mudah diingat bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara lain. Kedua, hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada hasil belajar lainnya. Ketiga, secara menyeluruh belejar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemempuan untuk berpikir secara bebas. Belajar penemuan membangkitkan keingintahuan siswa, memberi motivasi untuk bekerja terus sampai menemukan jawaban-jawaban. Pendekatan ini dapat mengajarkan keterampilan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain dan meminta para siswa untuk menganalisis dan memanipulasi informasi, tidak hanya menerima saja (Dahar, 2014: 80).

Berdasarkn pendapat tersebut di atas peneliti menyimpulkan bahwa metode discovery learning memiliki keunggulan sebagai berikut.

1) Siswa lebih aktif dalam melaksanakan pembelajaran.

2) Siswa mengontruksikan sendiri pengetahuannya sehingga akan lebih berdampak panjang bagi ingatannya.

(44)

4) Membangkitkan motivasi belajar dan rasa keingintahuan siswa untuk terus belajar mencari jawaban atas masalahnya.

5) Melatih siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapinya secara individu.

B. Penelitian Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian Widiadnyana dkk.(e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA, Volume 4 Tahun 2014) yang berjudul “Pengaruh Model Discovery Learning Terhadap Pemahaman Konsep IPA dan Sikap Ilmiah Siswa SMP.” Penelitian yang dilakukan oleh Widiadnyana dkk merupakan penelitian yang relevan dengan penulis karena pada penelitian tersebut menggunakan model Dicovery Learning sebagai variable bebas atau yang memberikan pengaruh terhadap varibael terikat. Hanya saja dalam penelitian Widiadnyana dkk.dilaksanakan pada siswa SMP pada mata pelajaran IPA sementara yang peneliti lakukan adalah pada siswa SMK pada pelajaran menganalisis teks cerpen serta pengaruhnya terhadap sikap tanggung jawab siswa.

(45)

Penelitian Putrayasa dkk. (Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD, Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) yang berjudulPengaruh Model

Pembelajaran Discovery Learning dan Minat Belajar Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa. Penelitian yang dilakukan Putrayasa memiliki relevansi dengan penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu sama-sama mengujicobakan model discovery learning dalam pembelajaran. Hanya dalam penelitian Putrayasa pengujicobaan model discovery learning diiringi dengan pengaruh minat belajar siswa pada pembelajaran IPA. Sementara peneliti akan mengujicobakan metode discovery learning terhadap sikap tanggung jawab dan kemampuan menganalisis cerpen.

Berdasarkan hasil analisis data penelitian Putrayasa dkk.diperoleh perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model discovery learning dan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pembelajaran konvensional.Terdapat juga interaksi antara model pembelajaran dan minat terhadap hasil belajar IPA siswa.Berdasarkan minat juga terdapat perbedaan hasil belajar yang mengikuti pembelajaran dengan model discovery learning dengan pembelajaran siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional.Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa model discovery learning berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa. Hal ini menguatkan bahwa model pembelajaran discovery learning yang akan peneliti terapkan berdampak positif terhadap hasil belajar siswa.

(46)

Menganalisis Cerpen dengan Metode Discovery Dan Metode Kooperatif”. Penelitian yang dilakukan Nirmawan merupakan penelitian deskriptif yang mengungkapkan perbedaan antara pembelajaran menganalisis cerpen yang menggunakan metode discovery learning dengan metode kooperatif. Penelitian tersebut dilakukan dengan tujuan mengubah cara pembelajaran yang hanya bersifat teroretis atau memberikan pemahaman teori berupa hafalan kepada siswa kea rah pembelajaran siswa aktif. Hal ini sejalan dengan cara pandang penulis bahwa pembelajaran cerpen bukan semata untuk menhapal teori akan tetapi menghayati, mengapresiasi sebuah karya sehingga memperoleh nilai positif dari pembelajaran tersebut.

Penelitian Pratiwiberupa artikel penelitian (2014) yang berjudul “Pengaruh Penggunaan Model Discovery Learning dengan Pendekatan Saintifik TerhadapKeterampilan Berpikir Kritis Siswa SMA.” Penelitian yang dilakukan Pratiwi memiliki relevansi bahwa dalam penelitian Pratiwi mengujicobakan model discovery learning sebagai variabel bebas dipadukan pendekatan saintifik sebagai variabel antara terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.

(47)

pembelajaran bahasa Indonesia khususnya pembelajaran cerpen karena sesuai dengan paradigma pendidikan abad 21 ini. Hal ini juga menjadi fokus peneliti dalam melaksanakan penelitian dengan penggunaan metode discovery learning.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan di atas metode discovery learning telah berhasil memberikan hasil pembelajaran yang baik. Hanya penerapan metode tersebut sebagain besar dilakukan dalam penelitian mata pelajaran matematika dan IPA.Hasil penelitian teserbut peneliti jadikan acuan dalam melaksanakan penelitian menganalisi teks cerpen baik dari segi aspek hasil belajar maupun sikap tanggung jawab siswa.Hal ini juga yang menjadi pembeda dengan penelitian sebelumnya bahwa penelitian yang peneliti lakukan mengarah terhadap hasil belajar menganalisis cerpen sekaligus sikap tanggung jawab siswa, dengan metode penelitian eksperimen.

C. Kerangka Pikir

Kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah penting.Kerangka berfikir merupakan sintesa tentang hubungan antar variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan (Sugiyono, 2012: 60). Variabel penelitian ini adalah metode discovery learning, sikap tanggung jawab, dan kemampuan menganalisis cerpen..

(48)

hanya berorientasi terhadap hafalan pun memberikan dampak negatif jangka panjang bahwa sikap siswa kurang dibekali untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Pembelajar yang demikian sudah semestinya ditinggalkan karena tuntutan pendidikan dewasa ini bukan hanya sebatas kepada kemampuan segi kognitif saja akan tetapi sudah harus memperhatikan aspek lain seperti sikap, keterampilan yang menjadi potensi siswa yang harus dikembangkan.

Pembelajaran dewasa ini juga tidak hanya semata ditujukan untuk aspek kognitif saja akan tetapi terhadap sikap. Pendidikan karakter yang didengungkan akhir-akhir ini mengisyaratkan bahwa sikap merupakan salah satu kompetensi yang harus ditingkatkan siswa.Salah satu sikap yang harus dibangun dari siswa adalah sikap tanggung jawab yang merupakan suatu sifat yang ada dalam diri seseorang.Sifat tersebut apabila muncul akan melahirkan sikap berani, penuh kesadaran menjalankan segala sesuatu yang menjadi tugasnya dan siap menerima sanksi apabila terjadi ketidaksesuaian dalam melaksanakan tugas tersebut.Visualisasi diri dalam sikap tanggung jawab akan tercermin ketika siswa melaksanakan sebuah kegiatan yang dalam hal ini adalah pembelajaran. Pemunculan sikap tanggung jawab tersebut dapat ditumbuhkan atau dipengaruhi oleh sebuah metode pembelajaran yang mampu mendorong siswa bertanggung jawab.

(49)

pencipta informasi. Inti belajar yang terpenting ialah cara orang memilih, mempertahankan, dan mentransformasikan informasi secara aktif. Keberadaan metode discovery learning sebagai salah satu solusi yang dapat mengarahkan siswa lebih aktif dalam melaksanakan pembelajaran. Hal ini telah diketahui berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti yang mengungkapkan bahwa discovery learning berhasil meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, hasil belajar siswa, berpikir kritis, siswa lebih aktif belajar. Discovery learningjuga menciptakan pembelajaran yang lebih inovatif karena siswa mampu belajar secara mandiri dengan proses belajar dengan menemukan sendiri. Jadi apabila metode discovery learning digunakan dalam sebuah pembelajaran akan memberikan pengaruh terhadap sikap tanggung jawab dan kemampuan menganalisis cerpen.

Kerangka pikir metode disecovery learning dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut.

Bagan 2.3

Kerangka Pikir Pembelajaran dengan Metode Discovery Learning

(50)

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pikir di atas, hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Metode discovery learning berpengaruh positif terhadap sikap tanggung jawab.

Gambar

Tabel 2.1 Respon Sikap

Referensi

Dokumen terkait

Siswa yang mampu meregulasi diri dalam belajar akan membuat perencanaan dan melakukan kontrol terhadap tujuan personal yang dicapai, memiliki motivasi dan mampu

Lillesand and Kiefer (1990), berpendapat bahwa penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data

Hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pajanan asap rokok berperan sebagai faktor risiko OME yang diyakini terjadi melalui mekanisme

Pengujian kronik dari sedimen terkontaminasi dan pengukuran konsentrasi logam berat dapat digunakan untuk menilai kesehatan suatu perairan. Hasil bioassay sedimen

dengan ini diumumkan Hasil Pelelangan Pascakualifikasi Secara Elektronik terhadap paket pekerjaan tersebut di atas dengan hasil sebagai berikut :.. TELAGA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui p erbedaan persepsi guru terhadap sertifikasi ditinjau dari: tingkat pendidikan, status guru, dan masa kerja guru.. Data dikumpulkan dengan

Penelitian yang diajukan dalam skema Hibah Penelitian di Fakultas Teknik Universitas Pancasila (FTUP) ini memfokuskan pada pengembangan proses manufaktur komposit

Sehingga tidak selalu paritas merupakan penyebab dari terjadinya ruptur perineum spontan pada primigravida, karena ruptur perineum spontan bisa terjadi juga oleh faktor