BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Deskripsi Konseptual
1. Problem Based Learning (PBL) a. Pengertian
Problem Based Learning (PBL) dalam istilah bahasa Indonesia sering diartikan dengan pembelajaran berbasis masalah.
Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2014) Problem
Based Learning (PBL) adalah model pembelajaran yang dirancang agar siswa mendapat pengetahuan penting, yang membuat mereka
mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki model belajar
sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses
pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistematik untuk
memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Problem Based Learning
(PBL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk
belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan
masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model
pembelajaran yang diawali dengan pemberian suatu masalah
dimana permasalahan tersebut merupakan permasalahan yang
nyata sehingga merangsang siswa untuk menyelesaikan masalah
tersebut untuk memperoleh pengetahuan yang baru.
b. Tujuan Problem Based Learning (PBL)
Tujuan dan hasil dari model pembelajaran berbasis masalah ini
adalah:
1) Keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah
Pembelajaran berbasis masalah ini ditujukan untuk
mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
2) Pemodelan peranan orang dewasa
Bentuk pembelajaran berbasis masalah penting
menjembatani gap antara pembelajaran sekolah formal dengan
aktivitas mental yang lebih praktis yang dijumpai di luar
sekolah. Aktivitas-aktivitas mental di luar sekolah yang dapat
dikembangkan:
(a) PBL mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas. (b) PBL memliki elemen-elemen magang. Hal ini
mendorong pengamatan dan dialog dengan yang lain
sehingga secara bertahap dapat memahami peran yang
(c) PBL melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihan sendiri, yang memungkinkan mereka
menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia
nyata.
3) Belajar pengarahan sendiri (Self Directed Learning)
Pembelajaran berbasis masalah berpusat pada siswa. Siswa
harus dapat menentukan sendiri apa yang harus dipelajari, dan
dari mana informasi diperoleh, dibawah bimbingan guru.
c. Langkah-langkah Problem Based Learning (PBL)
Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2014)
langkah-langkah yang harus dilakukan oleh guru dan siswa dalam suatu
kegiatan pada pembelajaran berbasis masalah terdiri dari 5 (lima)
langkah utama, yaitu:
Tabel 2.1 Langkah-langkah Problem Based Learning(PBL)
Fase-fase Perilaku guru
Fase 1 Memotivasi siswa untuk
terlibat aktif dalam
pemecahan masalah yang dipilih belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut Fase 3
Membimbing penyelidikan individu dan kelompok
Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan
mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah Fase 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Membantu siswa dalam
merencanakan dan
menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, model dan berbagi tugas
Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari/meminta
kelompok presentasi hasil kerja
d. Kelebihan dan kekurangan Problem Based Learning(PBL)
Menurut Nata (2009) pembelajaran berbasis masalah dinilai
memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan sebagai berikut:
1) Kelebihan pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai
berikut:
(a) Dapat membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih
relevan dengan kehidupan, khususnya dengan dunia kerja.
(b) Dapat membiasakan para siswa menghadapi dan
memecahkan masalah secara terampil, yang selanjutnya
dapat mereka gunakan pada saat menghadapi masalah yang
sesungguhnya di masyarakat.
(c) Dapat merangsang pengembangan kemampuan berpikir
secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses
pembelajaran, para siswa banyak melakukan proses mental
dengan menyoroti permasalahan dari berbagai aspek.
2) Kekurangan pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai
berikut:
(a) Sering terjadi kesulitan dalam menemukan permasalahan
yang sesuai dengan tingkat berpikir para siswa. Hal ini
terjadi, karena adanya perbedaan tingkat kemampuan
(b) Sering memerlukan waktu yang lebih banyak dibandingkan
dengan metode konvensional. Hal ini terjadi antara lain
karena dalam memcahkan masalah tersebut sering keluar
dari konteksnya atau cara pemecahannya yang kurang
efisien.
(c) Sering mengalami kesulitan dalam perubahan kebiasaan
belajar dari yang semula belajar dengan mendengar,
mencatat, dan menghafal informasi, yang disampaikan
guru, menjadi belajar dengan cara mencari data,
menganalisis, menyusun hipotesis dan memecahkannya
sendiri.
2. Teknik Scaffolding
Scaffolding diartikan kedalam bahasa Indonesia “perancah” yaitu bambu yang dipasang untuk tumpuan ketika hendak mendirikan
rumah, membuat tembok, dan sebagainya (Purwadarminta, 2007).
Menurut Trianto (2011), Scaffolding merupakan pemberian
bantuan kepada siswa selama tahap awal pembelajaran agar
memungkinkan siswa menjadi tumbuh mandiri. Bantuan yang
diberikan semakin lama semakin dikurangi dan kemudian siswa
tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera
setelah siswa dapat melakukannya tanpa bantuan orang dewasa (guru).
Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan,
menguraikan masalah kedalam langkah-langkah pemecahan, maupun
pemberian contoh dalam menyelesaikan masalah.
Menurut Hausafather dalam Bachri (2010), guru berperan sebagai
fasilitator yang memberi peluang bagi anak untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya. Guru harus memperhatikan minat
anak, menyederhanakan tugas, mengontrol, dan memotivasi anak.
Selanjutnya guru harus mencari solusi atas kemungkinan pertentangan
antara usaha anak, dan mengontrol perilaku anak, serta model suatu
Bruner mendeskripsikan Scaffolding sebagai sebuah proses dari pelajar yang dibantu untuk mengatasi masalah tertentu yang berada di
luar kapasitas perkembangannya dengan bantuan (Scaffolding) guru
atau orang yang lebih mampu.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pengertian teknik Scaffolding adalah dimana guru memberikan
bantuan kepada siswa pada tahap awal pelajaran kemudian mengurangi
bantuan tersebut dan bahkan menghilangkannya sehingga memberikan
kesempatan kepada siswa tersebut untuk mengambil alih
tanggungjawabnya.
3. Problem Based Learning(PBL) dengan teknik Scaffolding
Problem Based Leaning (PBL) dengan teknik Scaffolding merupakan salah satu model pembelajaran yang merupakan
penggabungan yaitu dalam proses pembelajaran menggunakan sintak
Problem Based Learning (PBL) dan dalam proses diskusinya menggunakan teknik Scaffolding. Dalam teknik Scaffolding siswa diberikan bantuan sedikit demi sedikit sehingga memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengambil alih tanggungjawabnya.
Berikut adalah sintak Problem Based Learning (PBL) dengan teknik Scaffolding.
Tabel 2.2 Langkah-langkah Problem Based Learning (PBL)
dengan teknik Scaffolding
Fase Problem Based Learning
(PBL)
Problem Based Learning (PBL) dengan teknik
Scaffolding terkait dengan materi yang dipelajari.
Orientasi siswa pada
masalah
a) Guru menyampaikan
tujuan pembelajaran
b) Guru memberikan
motivasi siswa yang terkait dengan materi yang dipelajari.
2 Mengorganisasi siswa
untuk belajar
a) Guru membantu siswa
Mengorganisasi siswa
untuk belajar
mendefinisikan dan
tiap kelompok terdiri dari 4 - 5 siswa.
3 Membimbing penyelidikan
individual maupun
kelompok
a) Guru mendorong siswa
untuk mengumpulkan
informasi yang sesuai, melaksanakan
belajar (Scaffolding).
d) Guru berkeliling
mengawasi proses
diskusi yang dilakukan
oleh siswa dalam
kelompok sambil
menilai proses diskusi kelompok.
4 Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya
a) Guru membantu siswa
dalam merencanakan
dan menyiapkan hasil karya yang sesuai dan berbagi tugas dengan
teman. c) Guru memanggil salah satu siswa dan siswa yang dipanggil tersebut mempresentasikan hasil
hasil belajar tentang
materi yang telah
investigasi yang telah mereka kerjakan.
4. Kemampuan Berpikir Kritis
a. Pengertian
Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang
sangat esensial untuk kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif
dalam semua aspek kehidupan lainnya. Menurut Achmad (2007)
berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau
berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang
harus diyakini dan dilakukan. Menurut Johnson (2002) berpikir
kritis merupakan sebuah proses sistematis yang memungkinkan
siswa untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan
pendapat mereka sendiri.
Menurut Glaser (Fisher, 2007) mendefinisikan berpikir
kritis sebagai: (1) suatu sikap mau berpikir secara mendalam
tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam
jangkauan pengalaman seseorang; (2) pengetehuan tentang
metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis; dan (3)
semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
berpikir kritis adalah kemampuan seseorang untuk berpikir secara
mendalam untuk mengidentifikasi, manggabungkan informasi,
menarapkan konsep, memberikan kesimpulan, dan menilai
kebenaran suatu argument dari permasalahan yang dihadapi.
b. Indikator
Menurut Ennis (Afrizon, 2012) mengungkapkan bahwa
ada 12 indikator berpikir kritis yang dikelompokkan menjadi lima
besar aktivitas sebagai berikut:
1) Memberikan penjelasan sederhana
Memfokuskan pertanyaan, menganalisis pertanyaan dan
bertanya, serta menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan
atau pernyataan.
2) Membangun keterampilan dasar
Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau
tidak dan mengamati serta mempertimbangkan suatu laporan
hasil observasi.
3) Menyimpulkan
Mendekduksi atau mempertimbangkan hasil deduksi,
meninduksi atau mempertimbangkan hasil induksi, dan
membuat serta menentukan nilai pertimbangan.
4) Memberikan penjelasan sederhana
Mengidentifikasi istilah-istilah dan definisi pertimbangan
dan juga dimensi, serta mengidentifikasi asumsi.
5) Mengatur strategi dan teknik
Menentukan tindakan dan berinteraksi dengan orang lain.
Menurut Fisher (2008) indikator kemampuan berpikir
kritis sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi
Identifikasi adalah membedakan komponen-komponen
kebingungan. Mengidentifikasi merupakan pemberian
tanda-tanda pada golongan barang-barang atau sesuatu. Dengan
identifikasi suau komponen itu dapat dikenal dan diketahui
masuk dalam golongan mana.
2) Menilai
Menilai adalah suatu tindakan mengambil suatu keputusan
terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk. Menilai merupakan
suatu kegiatan memeriksa kebenaran suatu informasi dan suatu
kegiatan yang berkaitan dengan pengambilan keputusan.
3) Menginterpretasi
Menginterpretasi merupakan kegiatan menjelaskan dan
menafsirkan fakta, data, informasi, atau peristiwa dalam tabel,
gambar, grafik, diagram, dan dapat juga menerangkan sesuatu
dengan grafik atau tabel.
4) Menganalisis
Menganalisis merupakan kegiatan menguraikan suatu
bahan (fenomena atau bahan pelajaran) ke dalam
unsur-unsurnya, kemudian menghubungkan bagian dengan bagian
dengan cara disusun dan diorganisasikan. Kemampuan ini
merupakan tingkat intelektual yang lebih tinggi daripada
pemahaman dan penerapan, karena memerlukan pemahaman isi
dan bentuk struktural materi yang dipelajari.
5) Mengemukakan pendapat atau berargumen
Pendapat merupakan suatu pemikiran atau perkiraan
tentang suatu hal. Selain itu, pendapat bisa didefinisikan
sebagai suatu alasan yang dapat dipakai untuk memperkuat atau
menolak suatu pendirian, atau gagasan. Berpendapat berarti
berdebat dengan saling mempertaruhkan atau menolak alasan
6) Mengevaluasi
Mengevaluasi merupakan kegiatan mengumpulkan
informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya
informasi tersebut digunakan untuk alternatif yang tepat dalam
mengambil keputusan, menyatakan pendapat, memberi
penilaian berdasarkan kriteria-kriteria tertentu baik kualitatif
maupun kuantitatif. Mengevaluasi merupakan tindak lanjut dari
kegiatan menilai.
7) Menyimpulkan atau menginferensi
Menyimpulkan dapat diartikan sebagai suatu keterampilan
untuk menginterpretasikan keadaan suatu objek atau peristiwa
berdasarkan fakta. Membuat kesimpulan berawal dari
pengumpulan data, kemudian melalui suatu diskusi dibuat
kesimpulan sementara berdasarkan informasi yang dimiliki
sampai batas waktu tertentu.
Sedangkan menurut Angelo (1995) bahwa ada lima
indikator dalam berpikir kritis yaitu:
1) Kemampuan menganalisis
Menurut Suryosubroto (2009) menganalisis adalah
menjabarkan sesuatu ke dalam unsur-unsur atau
bagian-bagian sedemikian rupa sehingga tampak jelas susunan yang
ada di dalamnya. Dalam penelitian ini kemampuan
menganalisis yang dimaksud adalah siswa dapat
mengidentifikasi dan memberikan alasan yang logis.
2) Kemampuan mensintesis
Menurut Suryosubroto (2009) mensintesis adalah
menyatukan unsur-unsur atau bagian-bagian sedemikian rupa
sehingga membentuk suatu keseluruhan yang utuh. Dalam
penelitian ini, kemampuan mensintesis yang dimaksud adalah
siswa dapat menggabungkan informasi yang diperoleh dari
3) Kemampuan pemecahan masalah
Keterampilan ini merupakan keterampilan aplikatif konsep
kepada beberapa pengertian baru. Keterampilan ini menuntut
siswa untuk memahami bacaan dengan kritis sehingga setelah
kegiatan membaca selesai siswa mampu menangkap beberapa
pikiran pokok bacaan, sehingga mampu mempola sebuah
konsep. Kemampuan ini bertujuan agar siswa mampu
memahami dan menerapkan konsep-konsep ke dalam
permasalahan atau ruang lingkup baru.
4) Kemampuan menyimpulkan
Kemampuan menyimpulkan menurut Afrizon (2012)
adalah kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi dan
mengamankan informasi yang diperlukan untuk
menggambarkan kesimpulan. Dalam penelitian ini,
kemampuan menyimpulkan yang dimaksud siswa dapat
memberikan kesimpulan atas suatu jawaban.
5) Kemampuan mengevaluasi
Menurut Suryosubroto (2009) mengevaluasi adalah
kemampuan untuk menetapkan nilai atau harga dari suatu
bahan dan metode komunikasi untuk tujuan-tujuan tertentu.
Dalam penelitian ini, kemampuan mengevaluasi yang
dimaksud siswa dapat menilai benar atau salah dari suatu
argumen.
Berdasarkan indikator-indikator berpikir kritis di atas
beberapa diantaranya yang berhubungan dengan pembelajaran
maka indikator kemampuan berpikir kritis yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu:
1) Kemampuan menganalisis
2) Kemampuan mensintesis
3) Kemampuan memecahkan masalah
5) Kemampuan mengevaluasi
5. Kerjasama
a. Pengertian
Kerjasama adalah kegiatan usaha yang dilakukan oleh
beberapa orang mencapai tujuan bersama. Kerjasama adalah salah
satu asas didaktik, yaitu salah satu unsur karakter yang dibangun
melalui proses pendidikan. Menurut Johnson (2006 : 164)
menyatakan bahwa kerjasama adalah sesuatu yang alami dan
dengan berkelompok dapat maju dengan baik. Setiap bagian
kelompok saling berhubungan sedemikian rupa sehingga
pengetahuan yang dimiliki seseorang akan menjadi output bagi
yang lain, dan output ini akan menjadi input yang lain lagi.
Menurut Davidson (dalam Huda, 2011 : 30) kerjasama
berarti bekerja bersama dan menghasilkan suatu pengaruh tertentu.
Secara sosial kerjasama adalah kegiatan yang dikerjakan secara
bersama-sama demi memperoleh suatu manfaat yang juga bisa
dirasakan bersama-sama. Menurut Nasution (2010 : 148) kerjasama
adalah sikap mau bekerjasama dengan individu lain untuk
menyelesaikan suatu kegiatan sehingga dapat mencapai tujuan
bersama.
Lie (2005 : 28) mengemukakan bahwa kerjasama
merupakan hal yang sangat penting dan diperlukan dalam
kelangsungan hidup manusia. Tanpa adanya kerjasama tidak akan
ada keluarga, organisasi, ataupun sekolah, khususnya tidak akan ada
proses pembelajaran di sekolah. Lebih jauh pendapat anita lie dapat
diartikan, bahwa tanpa adanya kerjasama siswa, maka proses
pembelajaran disekolah tidak akan tercapai. Melihat pentingnya
kerjasama siswa dalam pembelajaran di kelas maka sikap ini harus
dikembangkan.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, maka
yang dilakukan bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama
dengan cara menyatukan pikiran dan ide secara bersama.
b. Indikator
Menurut Johnson (2006 : 164) ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam kerjasama, yaitu:
1) Menghargai pendapat orang lain
Ketika bekerjasama kadang kita tidak bermaksud untuk
merendahkan pendapat orang lain. Namun, tanpa sadar kita
memotong pembicaraan orang lain. Dalam bekerjasama sangat
sering terjadi perbedaan sehingga harus saling menghargai
pendapat orang lain.
2) Bertindak mandiri dan dengan penuh tanggungjawab
Siswa melaksanakan masing-masing tugasnya dengan baik
sesuai dengan pembagian kerja masing-masing kelompok tanpa
harus diperintah.
3) Mengeluarkan pendapat
Pendapat dari masing-masing siswa sangat dibutuhkan
dalam bekerjasama untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Apabila setiap siswa tidak ada yang menyampaikan
pendapatnya maka suatu masalah akan sulit dipecahkan karena
tidak adanya pendapat-pendapat yang muncul. Saat
mengeluarkan pendapat setiap siswa diharapkan menjelaskan
secara rinci dan menguraikan pendapatnya apabila ada teman
yang belum jelas.
4) Kemampuan mengambil keputusan
Kemampuan mengambil keputusan dipengaruhi oleh
respon siswa terhadap apa yang ada dan terjadi disekitar kita
untuk dijadikan bahan kajian.
Isjoni (2010: 65) berpendapat bahwa dalam pembelajaran
keterampilan-keterampilan khusus. Keterampilan khusus tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Menyamakan pendapat dalam suatu kelompok sehingga
mencapai suatu kesepakatan bersama yang berguna untuk
meningkatkan hubungan kerja.
2) Menghargai kontribusi setiap anggota dalam suatu kelompok,
sehingga tidak ada anggota yang merasa tidak dianggap.
3) Mengambil giliran dan berbagi tugas. Hal ini berarti setiap
anggota kelompok bersedia menggantikan dan bersedia
mengemban tugas atau tangging jawab tertentu dalam
kelompok.
4) Berada dalam kelompok selama kegiatan kelompok
berlangsung.
5) Mengerjakan tugas yang telah menjadi tanggung jawabnya agar
tugas dapat diselesaikan tepat waktu.
6) Mendorong siswa lain untuk berpartisipasi terhadap tugas.
7) Meminta orang lain utuk berbicara dan berpartisipasi terhadap
tugas.
8) Menyelesaikan tugas tepat waktu.
9) Menghormati perbedaan individu.
Ada beberapa indikator-indikator kerjasama menurut
Davis (2006:1) sebagai berikut:
1) Tanggung jawab
Secara bersama-sama menyelesaikan pekerjaan, yaitu
dengan pemberian tanggung jawab dapat tercipta kerjasama yang
baik.
2) Saling berkontribusi
Yaitu dengan saling berkontribusi baik tenaga maupun
3) Pengerahan kemampuan secara maksimal
Yaitu dengan mengerahkan kemampuan atau
kekompakkan masing-masing anggota tim secara maksimal.
Berdasarkan beberapa pendapat yang menjelaskan
mengenai indikator kerjasama siswa, maka dapat disimpulkan bahwa
indikator kerjasama siswa antara lain:
1) Membantu anggota kelompok yang mengalami kesulitan.
2) Membantu memecahkan masalah dalam kelompok sehingga
mencapai kesepakatan.
3) Menghargai kontribusi setiap anggota kelompok.
4) Menyelesaikan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
5) Berada dalam kelompok kerja saat pembelajaran berlangsung
6. Materi Penelitian
Materi yang saya gunakan untuk uji coba dalam penelitian ini
adalah materi tentang sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV).
Standar kompetensi:
2. Memahami sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV) dan
menggunakannya dalam pemecahan masalah.
Kompetensi dasar:
2.1 Menyelesaikan sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV)
2.2 Membuat model matematika dari masalah yang berkaitan dengan
sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV)
2.3 Menyelesaikan model matematika dari masalah yang berkaitan
dengan sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV) dan
penafsirannya
Indikator:
2.1.1 Menyebutkan perbedaan persamaan linier dua variabel
(PLDV) dengan sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV)
2.1.2 Menjelaskan sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV)
2.1.3 Menentukkan akar sistem persamaan linier dua variabel
(SPLDV) dengan substitusi, eliminasi, dan gabungan serta
grafik
2.2.1 Membuat model matematika dari masalah sehari-hari yang
berkaitan dengan sistem persamaan linier dua variabel
(SPLDV)
2.3.1 Menyelesaikan matematika dari masalah sehari-hari yang
berkaitan dengan sistem persamaan linier dua variabel
(SPLDV) dan penafsirannya
2.3.2 Menyelesaikan sistem persamaan non linier dua variabel dengan
mengubah bentuk sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV)
B. Penelitian Yang Relevan
Juni Marfiah (2012) menyatakan terdapat peningkatan kemampuan
berpikir kritis siswa kelas VIII C Mts Raudlatul Huda melalui
pembelajaran PBL dengan nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis pada
siklus I sebesar 57,81, siklus II sebesar 64,96, dan pada siklus III sebesar
78,30. Selanjutnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Winda Eka Wati
(2015) bahwa model PBL dengan strategi Problem Posing dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIII A SMP Negeri
4 Satu Atap Cimanggu, dengan nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis
54,86 pada siklus I, 69,2 pada siklus II, dan 84,6 pada siklus III.
Beberapa penelitian di atas relevan untuk dijadikan rujukan dalam
penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti ingin memadukan antara model
pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dengan teknik Scaffolding
untuk meningkatkan kerjasama dan kemampuan berpikir kritis.
C. Kerangka Pikir
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan bahwa kemampuan
berpikir kritis siswa kelas VIII E SMP N 2 Rembang masih kurang baik,
maka untuk mengatasi rendahnya kemampuan berpikir kritis maka peneliti
memberikan alternatif Problem Based Learning (PBL) dengan teknik
siswa terlihat pada tahapan Problem Based Learning (PBL) dengan teknik
Scaffolding sebagai berikut:
Pada langkah 1 Problem Based Learning (PBL) dengan teknik
Scaffolding yaitu orientasi siswa pada masalah, disini guru pada waktu
apersepsi memberikan suatu masalah dan tindakan siswa disini yaitu
bertanya tentang masalah tersebut. Pertanyaan tersebut harus beralasan
yang sesuai dengan masalah yang diberikan sehingga indikator
kemampuan menganalisis dapat ditingkatkan.
Kemudian langkah ke 2 Problem Based Learning (PBL) dengan
teknik Scaffolding yaitu mengorganisasi siswa untuk belajar, guru
membagi kelompok dan menugaskan setiap kelompok belajar untuk
mengerjakan lembar kerja siswa. Tindakan siswa dalam hal ini yaitu
sebelum menyelesaikan permasalahannya setiap kelompok membutuhkan
kerjasama dengan baik untuk menyusun strategi bagaimana cara
menyelesaikan soaldengan cepat dan tepat sehingga dapat menumbuhkan
kemampuan mensintesis.
Kemudian langkah ke 3 Problem Based Learning (PBL) dengan
teknik Scaffolding yaitu membimbing penyelidikan individual maupun
kelompok, disini siswa berdiskusi mengerjakan lembar kerja siswa yang di
dalamnya siswa diberikan bantuan yang dapat memancing siswa kearah
kemandirian belajar dan melakukan penyelidikan dengan cara mencari
sumber lain untuk dapat menyelesaikan masalah sehingga dapat
meningkatkan kerjasama dan kemampuan pemecahan masalah.
Lalu pada langkah ke 4 Problem Based Learning (PBL) dengan
teknik Scaffolding yaitu mengembangkan dan menyajikan hasil karya,
pada langkah ini siswa diminta untuk mempresentasikan hasil diskusinya
dan siswa lain diminta untuk menanggapi hal-hal yang masih kurang jelas,
sehingga disini siswa dapat merangkum atau menyimpulkan sendiri materi
yang diperoleh dari tanggapan atau pertanyaan yang diajukannya atau dari
hasil presentasi temannya sehingga kemampuan menyimpulkan dapat
Langkah terakhir atau ke 5 Problem Based Learning (PBL) dengan
teknik Scaffolding yaitu menganalisis dan mengevaluasi proses
pemecahan masalah. Pada langkah ini siswa diminta guru untuk
mengerjakan soal yang diberikan oleh guru dan tidak boleh saling
membantu dan dilanjutkan mengoreksi hasil jawabannya sehingga dapat
meningkatkan kemampuan mengevaluasi.
Selain urain di atas, salah satu tujuan Problem Based Learning (PBL)
dengan teknik Scaffolding yaitu membantu siswa mengembangkan
keterampilan berpikir kritis, jelas menunjukkan adanya kaitan diantara 4
variabel tersebut. Dengan inovasi ini diharapkan pendekatan saintifiknya
lebih terlaksana dengan maksimal, karena selain menggunakan pendekatan
saintifik model ini lebih menekankan pada teknik Scaffolding. Oleh karena
itu, maka penulis menggunakan Problem Based Learning (PBL) dengan
teknik Scaffolding untuk dapat meningkatkan kerjasama dan kemampuan
berpikir kritis siswa kelas VIII E SMP N 2 Rembang.
D. Hipotesis Penelitian