BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Minyak Atsiri
Minyak atsiri atau minyak eteris atau minyak essential oil adalah
minyak mudah menguap yang diperoleh dari tanaman dan merupakan
campuran dari senyawa-senyawa volatil. Dari 350.000 spesies tanaman yang
ada, sekitar 17.500 atau 5% spesies adalah tanaman aromatis dan sekitar 300
spesies tanaman diambil minyak atsirinya dan digunakan dalam industri
makanan, flavor dan parfum (Boelens, 1997). Minyak atsiri dapat digunakan
juga sebagai antiseptik internal dan eksternal, bahan analgesik, hemolitik atau
enzimatik, sedatif, stimulan, untuk obat sakit perut, bahan pewangi kosmetik
dan sabun (Guenther, 1987).
Minyak atsiri merupakan campuran alamiah lipofilik yang
komponennya terdiri atas turunan isoprena (Stahl, 1985). Minyak atsiri
mengandung sitral dan eugenol yang berfungsi sebagai anastetik dan
antiseptik (Dalimarta, 2005). Antiseptik adalah obat yang meniadakan atau
mencegah keadaan sepsis, zat ini dapat membunuh atau mencegah
pertumbuhan mikroorganisme (Ganiswara, 1995). Senyawa minyak atsiri
dengan konsentrasi yang tinggi akan berdifusi dan ditangkap oleh sensor
hidrofilik. Komponen hidrofilik sendiri akan mengikat molekul minyak yang
membran sel yang merupakan pelindung bagi sel rusak, maka akan
menyebabkan matinya sel mikrobia (Kusumaningrum, 2003).
2.2 Daun Salam (Syzygium polyanthum)
Tumbuhan salam adalah rempah yang biasa digunakan dalam masakan.
Daun salam biasa digunakan sebagai rempah pengharum masakan di
sejumlah negeri di Asia Tenggara, baik untuk masakan daging, ikan, sayur
mayur, dan juga nasi. Daun salam biasa dicampurkan dalam keadaan utuh,
kering atau segar, dan turut dimasak hingga makanan tersebut matang. Aroma
khas daun salam disebabkan oleh kandungan minyak atsiri yang ada
didalamnya ( Heyne, 1987). Kandungan senyawa aromatik daun salam terdiri
dari senyawa golongan seskuiterpena 25,5%, aldehida 14,5%, keton 10,9%,
asam lemak 10,9%, alkohol 9,1%, monoterpen 9,1 %, hidrokarbon alifatik
dan siklik 7,3%, ester 3,6%, diterpena 1,8 %, dan golongan lain sebanyak
Klasifikasi dari tanaman salam sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Anak kelas : Dialypetalae
Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae
Genus : Syzygium
Spesies : Syzygium polyanthum (Wight.) Walp.
(Tjitrosoepomo, 1991)
Gambar 2.1. Daun salam (Syzygium polyanthum)
Tanaman salam adalah tanaman dengan batang berkambium, tingginya
teksturnya pecah - pecah dan terlihat bersisik kasar. Daun dari tanaman ini
memiliki tangkai dengan panjang hingga 12 mm. Bunga dijumpai tumbuh
pada bagian bawah daun dan terkadang juga diketiak daun. Bunga tumbuhan
salam ini cenderung kecil, baunya harum dengan kelopak serupa mangkuk.
Daun salam mengandung tanin, minyak atsiri (salamol dan eugenol),
flavonoid (quercetin, quercitrin, myrcetin dan myrcitrin), seskuiterpen,
triterpenoid, fenol, steroid, sitral, lakton, saponin, dan karbohidrat. Oleh
badan POM, daun salam ditetapkan sebagai salah satu dari sembilan tanaman
obat unggulan yang telah diteliti atau diuji secara klinis untuk menanggulangi
masalah kesehatan tertentu (Purwati, 2004). Kandungan tanin, minyak atsiri
dan flavonoid pada daun salam menyebabkan daun salam mempunyai daya
antibakteri atau antimikroba (Wahyudi, 2005).
Hasil penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa bubuk daun salam
efektif diekstrak menggunakan etanol yang menghasilkan rendemen 11,5 %,
dengan daya hambat bakteri terhadap P.aeruginosa, Bacillus subtilis,
Staphylococcus aureus dan Escherichia Coli masing-masing adalah 6.5, 6.3,
5.0 dan 0.8 mm/mg (Muhardi, 2007).
Minyak atsiri daun salam mengandung n-kaprialdehida, 3,7 dimetil-1
oktena, n-dekanal, cis-4-dekanal, patchoulena, D-nerolidol dan kariofilena
oksida (Agusta, 2000). Kandungan minyak daun salam dari Bogor dan
Sukabumi adalah kaprilaldehid, 3,7-dimetil-1-oktena, dekanal, cis-4-dekenal,
Hasil penelitian Wartini, 2010 tentang perbedaan kandungan senyawa
volatil daun salam (eugenia polyanth wight) pada beberapa proses curing.
dapat dilihat dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1. kandungan senyawa kimia minyak atsiri daun salam dengan proses curing dan tanpa proses curing
Golongan Senyawa persen area
c0 c2 c3
Alkana Sikloheksana, dodekana, 1,99 1,91 3,2
tridekana, 1-kloro-heksadekana, heksadekana
Alkena
4,4-dimetil-1-heksena,1-nonadekena, 0,5 2,09 1,6
toluena, 1,2-dimetil benzena, 1,3-dimetil benzena
Aldehid
2,2-dimetil pentanal, oktanal,
nonanal, cis-4-dekenal, dekanal 39,61 33,78 39,23
Alkohol
Cis-3-heksena-1-ol, n-heksanol,
nerolidol 3,03 2,95 1,81
Ester Heksil asetat, heksil heksanoat, 0,97 0,48 0
monoterpen
α-osimen, β-osimen,
3,4-dimetil-2,4,6-oktatriena 34,71 47,22 43,57
Seskuiterpen
α-kopaena, aromadendrena,
α-humulen, alloaromadendrena,
β-kamigrena, β-selinena, α-
selinena, germakrena, Δ -kadidena,
α-panasinsen, karyofilena oksida
18,82 11,73 10,57
C0 = curing 0 hari, C2 = curing 2 hari, C4 = curing 4 hari
Penelitian ini menggunakan daun salam hasil curing dan diekstrak
dengan metode simultan destilasi-ekstraksi dengan pelarut n-heksana selama
2 jam. Ekstrak yang diperoleh dikeringkan dengan MgSO4 anhidrat, diuapkan
pelarutnya dengan rotari evaporator pengurangan tekanan dilanjutkan dengan
pengaliran gas N2. Ekstrak flavor daun salam yang dihasilkan dianalisis
Hasil penelitian dari Khairun Nisya Rambe, 2012 Penelitian tentang
rataan diameter zona bening ekstrak metanol daun salam (Sygyzium
polyanthum) Terhadap Bakteri Escherichia Coli dan Salmonella sp dengan
berbagai kosentrasi dapat dilihat dalam tabel 2.2.
Tabel 2.2. PengaruhPenambahan ekstrak daun salam
Konsentrasi ekstrak(% v/v)
Diameter Zona Bening
Escherichia Coli Salmonella
Kontrol 0 0
1 13,1 11,1
2 13,2 12,1
3 13,7 13,1
4 13,7 13,3
5 14,5 13,8
Hasil dari penelitian adalah ekstrak metanol dari tumbuhan daun salam
memiliki aktivitas sebagai antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri Escherichia Coli pada konsentrasi 5% sebesar 14,5 mm dan bakteri
Salmonella sebesar 13,8mm. Sementara untuk antibiotic yang digunakan
yaitu Chloramfenicol 30 μg mempunyai aktifitas antibakteri yang lebih tinggi
yaitu 22 mm untuk bakteri Escherichia coli dan 19 mm untuk bakteri
salmonella sp (Khairun Nisya, 2012).
2.3 Metode Pengambilan Minyak Atsiri
2.3.1. Destilasi
Destilasi adalah pemisahan komponen-komponen suatu campuran
dari dua jenis atau lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap. (Guenther,
Macam metode destilasi adalah:
a. Destilasi dengan air
Bahan yang akan didestilasi kontak langsung dengan air mendidih.
Bahan tersebut mengapung diatas air atau terendam secara
sempurna tergantung dari bobot jenis dan jumlah bahan. Air
dipanaskan dengan metode pemanasan yang biasa dilakukan, yaitu
dengan panas langsung, mantel uap, pipa uap melingkar tertutup,
atau dengan memakai pipa uap berlingkar terbuka dan tertutup
(Guenther, 1987).
b. Destilasi dengan air dan uap
Bahan olah diletakan diatas rak-rak atau saringan berlubang. Ketel
diisi dengan air sampai permukaan air berada tidak jauh dibawah
saringan uap yang digunakan adalah uap jenuh, bahan yang akan
didestilasi kontak langsung dengan uap tersebut (Guenther, 1987).
c. Destilasi dengan uap
Destilasi uap prinsipnya sama dengan penyulingan air dan uap,
tetapi uap yang digunakan pada penyulingan uap adalah uap
kelewat jenuh dengan tekanannya lebih dari 1 atm (Guenther,
2.3.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah jenis pemisahan satu atau beberapa bahan dari
suatu padatan atau cairan. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan minyak
atsiri dalam bahan dengan pelarut organik yang mudah menguap.
Proses ekstraksi biasanya dilakukan dalam wadah (ketel) yang disebut
”extractor”. Ekstraksi dengan pelarut organik umumnya digunakan
untuk mengekstraksi minyak atsiri yang mudah rusak oleh pemanasan
dengan uap dan air, terutama untuk mengekstrak minyak dari
bunga-bungaan misalnya bunga cempaka, melati, mawar, kenanga, lily, dan
lain-lain. Pelarut yang biasanya digunakan dalam ekstraksi yaitu:
petroleum eter, benzena, dan alkohol (Guenther, 1987).
Pembagian metode ekstraksi menurut (DitJen POM, 2000) yaitu :
a. Cara dingin
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Cairan
penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam
rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut,
karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif
di dalam sel dan di luar sel maka larutan terpekat didesak
keluar.
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru
temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan
pengembangan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi
sebenarnya terus-menerus sampai diperoleh ekstrak
(perkolat).
b. Cara Panas
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur
titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut
terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin
balik.
Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut
yang selalu baru dan yang umumnya dilakukan dengan alat
khusus sehingga terjadi ekstrak kontinu dengan jumlah
pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan
kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur
ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur
40-50 0C.
Pelarut sangat mempengaruhi proses ekstraksi (Guenther, 1987).
Pemilihan pelarut pada umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor antara
lain :
Selektivitas
Pelarut dapat melarutkan semua zat yang akan diekstrak
Titik didih pelarut
Pelarut harus mempunyai titik didih yang cukup rendah
sehingga pelarut mudah diuapkan tanpa menggunakan suhu
tinggi pada proses pemurnian dan jika diuapkan tidak
tertinggal dalam minyak.
Pelarut tidak larut dalam air
Pelarut bersifat inert sehingga tidak bereaksi dengan
komponen yang lain.
Harga pelarut semurah mungkin.
Pelarut mudah terbakar.
Pelarut minyak atau lemak yang biasa digunakan dalam proses
ekstraksi antara lain :
1. Etanol
Sering digunakan sebagi pelarut dalam laboratorium karena
mempunyai kelarutan yang relatif tinggi dan bersifat inert
sehingga tidak bereaksi dengan komponen lainnya. Etanol
memiliki titik didih yang rendah sehingga memudahkan
pemisahan minyak dari pelarutnya dalam proses distilasi.
2. n-Heksana
Merupakan pelarut yang paling ringan dalam mengangkat
minyak yang terkandung dalam biji–bijian dan mudah
menguap sehingga memudahkan untuk refluk. Pelarut ini
3. Isopropanol
Merupakan jenis pelarut polar yang memiliki massa jenis
0,789 g/ml. Pelarut ini mirip dengan ethanol yang memiliki
kelarutan yang relatif tinggi. Isopropanol memiliki titik
didih 81-82oC.
4. Etyl Asetat
Etil asetat merupakan jenis pelarut yang bersifat semi polar.
Pelarut ini memiliki titik didih yang relatif rendah yaitu
77oC sehingga memudahkan pemisahan minyak dari
pelarutnya dalam proses destilasi.
5. Aseton
Aseton larut dalam berbagai perbandingan dengan air,
etanol, dietil eter,dll. Ia sendiri juga merupakan pelarut yang
penting. Aseton digunakan untuk membuat plastik, serat,
obat-obatan, dan senyawa-senyawa kimia lainnya.
6. Metanol
Pelarut metanol merupakan pelarut yang paling banyak
digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan
alam.
2.4. Bakteri - Bakteri Pembusuk Makanan a. Salmonella typhimurium
Salmonella typhimurium merupakan bakteri gram negatif berbentuk
x 0,5-0,8 mm. Bakteri ini umumnya motil karena memiliki flagel
(Karsinah, 1994). Salmonella typhimurium termasuk dalam famili
Enterobacteriaceae dan sub famili Escherichieae. Terdapat dalam usus
besar manusia sehingga disebut bakteri enterik. Bakteri ini juga terdapat
di saluran pencernaan hewan ternak dan burung (Buckle, 1987).
Salmonellatyphimurium merupakan bakteri fakultatif aerob, dengan suhu
optimum pertumbuhan antara 35-37 C, pada pH netral. Sedangkan aw
untuk pertumbuhan optimum Salmonellatyphimurium adalah 0,99 dan aw
minimumnya sekitar 0,94. Meskipun begitu, Salmonella masih dapat
bertahan hidup pada keadaan kering untuk waktu yang lama (Ray, 2001).
Gambar 2.2. Salmonella
Genus Salmonella ini dapat dibagi lagi menjadi serotypes yang
jumlahnya lebih dari 2500. Beberapa serotypes yang dapat
mengakibatkan penyakit pada manusia adalah Salmonella Enteriditis PT4
yang banyak terdapat pada telur, kemudian S. Typhimurium dan S.
b. Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk
basil, ada yang individu (monobasil), saling berpasangan (diplobasil)
atau berkoloni membentuk rantai pendek (streptobasil), tidak membentuk
spora maupun kapsula, berdiameter ± 1,1 – 1,5 x 2,0 – 6,0 μm, dapat
bertahan hidup di medium sederhana dan memfermentasi laktosa
menghasilkan asam dan gas, kandungan G+C DNA ialah 50 ‒ 51 mol %
(Pelczar dan Chan, 1988:949).
Gambar 2.3. Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bagian dari mikrobiota normal saluran
pencernaan. Escherichia coli dapat berpindah karena adanya kegiatan
seperti dari tangan ke mulut atau dengan pemindahan pasif lewat
minuman. Escherichia coli dalam usus besar bersifat patogen jika
melebihi jumlah normalnya. Strain tertentu dapat menyebabkan
peradangan selaput perut dan usus (gastroenteritis) (Pelczar dan Chan,
1988:809-810). Escherichia coli menjadi patogen berbahaya apabila
hidup di luar usus seperti pada saluran kemih, yang dapat mengakibatkan
c. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri berbentuk bulat dengan
diameter koloni 0,5-1 mm dan tersusun dalam susunan yang bergerombol
menyerupai gambaran buah anggur. Staphylococcus aureus termasuk
dalam famili Micrococcaceae, bersifat tidak motil dan tidak membentuk
spora (Jawetz et al., 1996). Staphylococcus aureus penyebab keracunan
makanan tumbuh padabahan makanan yang mengandung karbohidrat dan
protein yang tinggi seperti telur (Fardiaz, 1993).
Gambar 2.4. Staphylococcus aureus
d. Basilus subtilis
Salah satu yang berperan dalam pembusukan daging, adalah bakteri
Basilus subtilis. Basilus subtilis termasuk dalam kingdom Bacteria,
Phylum:Firmicutes, Class: Bacilli, Order: Bacillales, Family:
Bacillaceae, Genus: Bacillus, dan Species: B. Subtilis. B. Subtilis
berbentuk batang dan merupakan bakteri gram positif yang biasa terdapat
di tanah, air, udara dan materi tumbuhan yang terdekomposisi, Basilus
Gambar 2.5. Basilus subtilis
e. Vibrio Cholerae
Vibrio cholerae adalah kuman berbentuk batang bengkok seperti
koma dan pada biakan yang sudah tua berbentuk batang lurus, Vibrio
cholerae mempunyai flagel monotrika, Vibrio cholerae termasuk bakteri
gram negatif, berukuran 2-4 mikron, tidak bersepora dan tidak berkapsul.
Bergerak aktif dengan satu flagel kutub. (Jawetz, 1991).
Gambar 2.6. Vibrio Cholerae
2.5. Uji Antibakteri
Uji antibakteri ini dilaksanakan terhadap suatu sediaan antibakteri untuk
mengetahui konsentrasi terendah dari antibakteri tersebut dalam menghambat
dilaksanakan untuk mengetahui resistensi suatu bakteri terhadap antibakteri
daun salam.
Beberapa metode uji antibakteri adalah:
1. Metode Disc Diffusion (Tes Kirby & Bauer)
Metode ini untuk menentukan aktivitas agen antibakteri. Piringan
yang berisi agen antibakteri diletakkan pada media agar yang telah
ditanami bakteri yang akan berdifusi pada media agar tersebut.
Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan
bakteri oleh agen antibakteri pada permukaan media agar.
2. Metode E-Test
Metode E-Test digunakan untuk mengestimasi MIC (Minimum
Inhibitory Concentration) yaitu konsentrasi minimal suatu agen
antibakteri untuk dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip plastik yang
mengandung agen antibakteri dari kadar terendah hingga tertinggi
dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami
bakteri. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang
ditimbulkannya yang menunjukkan kadar agen antibakteri yang
menghambat pertumbuhan bakteri pada media agar.
3. Ditch Plate Technique
Pada metode ini sampel uji berupa agen antibakteri yang diletakkan
cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan mikroba uji
(maksimum 6 macam) digoreskan ke arah parit yang berisi agen
antibakteri.
4. Cup Plate Tehnique
Metode ini serupa dengan metode Disc Diffusion, dimana dibuat
sumur pada media agar yang telah ditanami dengan bakteri dan
pada sumur tersebut diberi agen antibakteri yang akan diuji.
5. Gradient Plate Tehnique
Pada metode ini konsentrasi agen antibakteri pada media agar
secara teoritis bervariasi dari nol hingga maksimal. Media agar
dicairkan dan larutan uji ditambahkan. Campuran kemudian
dituang ke dalam cawan petri dan diletakkan dalam posisi miring.
Plate diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen
antibakteri berdifusi dan permukaan media mengering. Bakteri uji
(maksimum 6 macam) digoreskan pada arah mulai dari konsentrasi
tinggi ke rendah. Hasil diperhitungkan sebagai panjang total
pertumbuhan bakteri maksimum yang mungkin dibandingkan
dengan panjang pertumbuhan hasil goresan.
Jika:
X= panjang total pertumbuhan bakteri yang mungkin
Y= panjang pertumbuhan aktual
C= konsentrasi agen antibakteri pada total volume media
maka konsentrasi hambatan adalah [(X.Y)]:C mg/ml atau µg/ml.
Yang perlu diperhatikan adalah dari hasil perbandingan yang
didapat dari lingkungan padat dan cair, faktor difusi agen
antibakteri dapat mempengaruhi keseluruhan hasil pada media
padat.
6. Metode Dilusi Cair / Broth Dilution Test
Metode ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration).
Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran
agen antibakteri pada medium cair yang ditambahkan dengan
bakteri uji. Larutan uji agen antibakteri pada kadar terkecil yang
terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji ditetapkan
sebagai MIC. Larutan yang ditetapkan sebagai MIC tersebut
selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan
bakteri uji ataupun agen antibakteri dan diinkubasi selama 18-24
jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi
ditetapkan sebagai MIC.
7. Metode Dilusi Padat / Solid Dilution Test
Metode ini serupa dengan metode difusi cair namun menggunakan
media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi
agen antibakteri yang diuji dapat digunakan untuk menguji