• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI DESKRIPTIF KECEMASAN SISWA SMP DALAM MENGHADAPI MATA PELAJARAN MATEMATIKA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STUDI DESKRIPTIF KECEMASAN SISWA SMP DALAM MENGHADAPI MATA PELAJARAN MATEMATIKA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI DESKRIPTIF KECEMASAN SISWA SMP DALAM MENGHADAPI MATA PELAJARAN MATEMATIKA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh

Veronica Puspitaningrum Suparjo NIM : 029114060

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

AKU BELAJAR

Aku belajar bahwa tidak selamanya hidup itu indah Kadang Tuhan mengijinkanku melalui derita Tetapi aku tahu bahwa ia tidak pernah meninggalkanku

Sebab itu aku menikmati hidup ini dengan bersyukur

Aku belajar bahwa tidak semua yang aku harapkan menjadi kenyataan Kadang Tuhan membelokkan rencanaku

Tetapi aku tahu bahwa itu lebih baik daripada yang aku rencanakan Sebab itu aku belajar menerima semua itu dengan suka cita

Aku belajar cobaan itu pasti datang dalam hidupku Aku tidak mungkin berkata: tidak Tuhan

Karena aku tahu bahwa semua itu tidak melampaui kekuatanku Sebab itu aku belajar menghadapinya dengan sabar

Aku belajar bahwa tidak ada kejadian yang harus disesali dan ditangisi Karena rencana-NYA indah bagiku

Karena itu aku belajar bersyukur dan bersuka cita dalam segala hal

Karena dengan bersyukur dan bersuka cita semua itu menyehatkan jiwaku dan hidupku

Inilah yang kudapatkan dari setiap perkataan Bapa di surga

(5)

K a n k use ra hk a n se m ua pe rgum ula nk u pa da -M u Y e sus K a rna k ut a hu pa st i se m ua nya k a n ja di inda h pa da w a k t unya

Karya tulis ini kupersembahkan untuk:

 Bapa Di Surga, Bunda Maria, dan Santo Yusuf

 Bapak Ibuku tercinta, yang selalu mencintai dan mendukungku

 Kakak-kakakku tersayang, yang selalu menyayangi dan

mendukungku

 Seseorang yang kukasihi, yang selalu mengasihi dan mendukungku

 Sahabat-sahabatku terkasih, yang selalu setia menemaniku dalam

suka dan duka

 Orang-orang yang hadir dalam hidupku yang menyayangiku dengan

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis

ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah

disebutkan dalam kutipan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta,

(7)

STUDI DESKRIPTIF KECEMASAN SISWA SMP DALAM MENGHADAPI MATA PELAJARAN MATEMATIKA

ABSTRAK

Veronica Puspitaningrum Suparjo Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma 2007

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk memberikan gambaran tingkat kecemasan pada siswa SMP dalam menghadapi mata pelajaran matematika. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif-kuantitatif yaitu penelitian yang memberikan gambaran berdasarkan analisis skor jawaban subjek pada skala sebagaimana adanya. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penyebaran skala, yaitu skala kecemasan dalam menghadapi mata pelajaran matematika. Data yang diperoleh dari skala kecemasan dalam menghadapi mata pelajaran matematika kemudian diolah dengan menggunakan komputer program SPSS for windows 13.0.

(8)

DESCRIPTIVE STUDY ON THE ANXIETY OF THE STUDENTS OF THE STATE JUNIOR HIGH SCHOOL IN UNDERTAKING

MATHEMATIC LESSONS ABSTRACT

Veronica Puspitaningrum Suparjo Psychology Faculty

Sanata Dharma University Yogyakarta

2007

The purpose of this research is to give descriptions of the anxiety level experienced by the students of the State Junior High School in undertaking mathematic lessons. This research is the descriptive-quantitative, that is a research that provides a general description derived from an analysis of subject answer scores at the prevailing questionaire. The data gathering method used in this research of the anxiety questionaire is the questionaire measuring anxiety levels of the students in undertaking mathematic lessons. The data derived from the anxiety questionaire were then processed using a computer program called SPSS for windows 13.0.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas

limpahan berkat, rahmat, dan kasih-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Studi Deskriptif Kecemasan Siswa SMP dalam Menghadapi Mata Pelajaran Matematika.” Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan

bantuan dari berbagai pihak, baik berupa moral, material maupun spiritual. Oleh

karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada:

1. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah berkenan memberikan ijin

dan dukungan untuk melakukan penelitian.

2. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si., selaku Kepala Program Studi

Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah berkenan

membantu dan memberikan dukungan dalam penulisan skripsi ini.

3. Ibu Titik Kristiani, S.Psi., selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah

memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan selama penulis belajar di

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

4. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi., selaku dosen Pembimbing Akademik

(10)

meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing, mengarahkan,

memberikan masukan, saran, dan dukungan selama proses penulisan skripsi

ini.

5. Dosen penguji skripsi: Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. & Ibu MM.

Nimas Eki S., S.Psi., Psi., M.Si., yang telah memberikan kritik, saran, serta

masukan dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini menjadi lebih

sempurna.

6. Dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang

telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan selama penulis belajar di

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

7. Mbak Nanik, mas Gandung, mas Doni, mas Muji, dan pak Gik yang telah

memberikan pelayanan yang baik kepada penulis selama ini.

8. Bapak Drs. Tri Wibowo, selaku Kepala SMP Negeri 2 Wedi yang telah

memberikan ijin untuk melakukan penelitian di SMP Negeri 2 Wedi .

9. Ibu Atik, selaku guru BK yang telah membantu peneliti selama pelaksanaan

try out penelitian dan penelitian di SMP Negeri 2 Wedi.

10. Kedua orang tuaku yang selalu menyayangiku, Bapak Agustinus Supardjo dan

Ibu Agnes Martini, maturnuwun sanget untuk cinta, doa, dukungan, perhatian, nasehat, dan kasih sayang, yang tak pernah habis untukku.

11. Kakakku tersayang, Monica Puspaningsih (mbak Monic) dan mas Nata,

trimakasih banyak untuk cinta, kasih sayang, perhatian, doa, dan dukungannya

(11)

12. Seorang yang kukasihi, Helarius Wisnugroho (mas Wisnu “Becak”), nggak

ada kata yang lain yang bisa adek ucapkan selain trimakasih banyak untuk

cinta, kasih sayang, doa, perhatian, pengertian, dan suport yang selalu ada

untukku. Trimakasih kau buat hidupku menjadi lebih bermakna dan berwarna.

Semoga semua akan menjadi indah pada waktunya.

13. Mas-masku, mas Aji dan mas Gatot yang selalu menyayangiku, mendukungku

dan tidak pernah lelah membantuku dan menyemangatiku. Trimakasih banyak

atas doa, bantuan-bantuan dan suportnya selama ini sehingga skripsi ini bisa

selesai.

14. Sahabat-sahabatku, Asih, mas Nano, Aning, dan Wiwin. Trimakasih banyak

untuk persahabatan dan persaudaraan kita selama ini. Trimakasih atas bantuan,

doa, saran, masukan, dan dukungan untukku. Trimakasih kalian tetap

menemaniku, mensuportku dan memberikan keceriaan di saat-saat letihku.

Teman-temanku, Wiwib & Rusman. Trimakasih ya untuk semua . . .

15. Almarhum budhe Marni, trimakasih untuk doa dan pengertian untukku ketika

masih sugeng. Pakdhe sulis, trimakasih untuk perhatian dan doanya. Pakdhe dan budhe semuanya, maturnuwun untuk doa dan pangestu-nya untukku. 16. Bulik Tantik dan Om Tomo, trimakasih untuk doa dan kasih sayangnya. Buat

dek Erwin, dek Nita dan dek Wahyu, trimakasih ya untuk doa dan suportnya...

17. Om Tarno dan bulik Sri, trimakasih untuk doa dan kasih sayang untukku. Buat

adek-adekku tersayang Dewo-Dewi, kalian sumber penghiburanku di saat-saat

(12)

18. Keluarga mbak Indras, mas Pal, si kecil Kueta dan baby Keke, trimakasih untuk perhatian dan suportnya untukku.

19. Sepupu-sepupuku, mbak Dian, dek Fandi, dek Elsa, Nina, Nono, Joko, Catur,

Tri (kapan nyusul, he...), dan Alek. Trimakasih untuk doa dan dukungannya

untukku.

20. Keluarga mbak Rini, mas Agus dan si kecil Pandu. Trimakasih untuk doa dan

dukungannya untukku.

21. Anak-anak kos Sekar Ayu, Gilang, Titis, Tami, Evi, Siska, Rika, Ririn, Lia

“Liul”, dek Embik, Tyas, Ika, Putri, Mia, Lia, Watik, Meta, dan Endar.

Trimakasih atas doa dan dukungan untukku. Trimakasih atas hari-hari indah

selama aku kos di Sekar Ayu. Trimakasih aku masih boleh singgah di Sekar

Ayu, meskipun aku udah nggak kos lagi.

22. Anak-anak Psikologi 2002, Ria & mbak Diah (tanpa kalian...nggak tahu deh

apa jadinya...he..., thengkyu banget ya kalian membantuku mengambil keputusan penting dalam hidupku), Obed (teman seperjuanganku dulu,

he...thengkyu ya buat semua...), Lita & Mita (Akhirnya Pak Adi memperjuangkan kita kan...makasih banget ya buat semua...), Prima (makasih

banget aku boleh ngeprint tempatmu waktu itu), Sari, Bona, Roni, Dhesta,

Weda, Thea, Ian, Wiwi, Tisa, Tina, Winda, Siska, Ina, mas Adi, Dedy, Tanti,

Nopek, Ajeng, Nining, Yanti, Barjo, Wawan, Arba, Ntrik, Rio, Lisna, Irna,

Vincent, Suko, Vista, Trisa, Neri, Sutri, Iput, Dewi, Hera, Astria, Nanut, Lia,

dan semua yang mengenal aku. Trimakasih untuk kebersamaan kita selama

(13)

Buat teman-temanku yang belum lulus, tetap bersabar, tetap berjuang, tetap

semangat dan Never give up!Cayoo...!!

23. Teman-teman Psikologi angkatan 2001 dan 2003, mbak Rosita, mbak Ita,

mbak Deasy, Adi, Pati, Kris, mbak Ajeng, mas Budi (Mbut), mas Aris, Didi,

Rachel, dan Dani, trimakasih udah mau berbagi pengalaman, trimakasih untuk

masukan dan dukungannya selama ini.

24. Teman-teman SMP-ku, Nita dan Vinda, akhirnya aku menyusul kalian.

Trimakasih untuk doa dan dukungannya untukku.

25. Teman-temanku Mudika Gereja Santa Perawan Maria Bunda Kristus Wedi,

Teguh, Arif ”Galempong”, Andi “Todung”, Rio, Komar, Heru “Emprit”,

Indah, Buyut, Santo “Jenggot”, dan semuanya yang mengenal aku, trimakasih

untuk doa, perhatian, kasih sayang, dan dukungan untukku selama aku di

Mudika.

26. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu yang telah

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……….i

HALAMAN PERSETUJUAN……….ii

HALAMAN PENGESAHAN………..………..…iii

MOTTO………..iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………...v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...vi

ABSTRAK……...………...………...vii

ABSTRACT...viii

KATA PENGANTAR...ix

DAFTAR ISI…...………...xiv

DAFTAR TABEL...xvii

DAFTAR LAMPIRAN...xviii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...1

B. Rumusan Masalah………..………....7

C. Tujuan Penelitian………...…...7

D. Manfaat Penelitian………...…...7

BAB II. DASAR TEORI A. Kecemasan 1. Pengertian kecemasan………...10

(15)

3. Faktor-faktor penyebab kecemasan……….……...16

4. Macam-macam kecemasan………...17

5. Fungsi kecemasan………..21

B. Siswa SMP 1. Pengertian siswa SMP sebagai remaja awal…………...22

2. Ciri-ciri siswa SMP sebagai remaja awal…………...24

3. Karakteristik perkembangan siswa SMP sebagai remaja awal………...30

C. Pelajaran Matematika SMP………...36

D. Kecemasan Siswa SMP dalam Menghadapi Mata Pelajaran Matematika……...37

BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian………...42

B. Variabel Penelitian………...42

C. Definisi Operasional………...43

D. Subjek Penelitian………...43

E. Metode Pengumpulan Data………...44

F. Pertanggungjawaban Mutu Alat Ukur 1. Validitas………...………...47

2. Seleksi Item………...48

2. Reliabilitas……...………...50

(16)

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Orientasi Kancah dan Persiapan Penelitian

1. Orientasi kancah...53

2. Persiapan penelitian...53

3. Uji coba penelitian...54

B. Pelaksanaan Penelitian...55

C. Hasil penelitian 1. Deskripsi rata-rata kecemasan siswa SMP dalam menghadapi mata pelajaran matematika...56

2. Kategorisasi tingkat kecemasan siswa SMP dalam menghadapi mata pelajaran matematika...57

3. Hasil analisis tambahan a. Deskripsi rata-rata nilai rapor siswa SMP pada mata pelajaran matematika semester lalu...58

b. Kategori rata-rata nilai rapor mata pelajaran matematika pada siswa SMP semester lalu...59

4. Pembahasan...60

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan...63

B. Saran...63

DAFTAR PUSTAKA...66

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Blue Print Skala Kecemasan Siswa SMP dalam Menghadapi Mata

Pelajaran Matematika

Tabel 2 Sebaran Item Skala Kecemasan Siswa SMP dalam Menghadapi Mata

Pelajaran Matematika setelah Uji Coba

Tabel 3 Sebaran Item Skala Kecemasan Siswa SMP dalam Menghadapi Mata

Pelajaran Matematika setelah Uji Coba yang Sudah Diperbaiki

Tabel 4 Descriptive Statistic

Tabel 5 Norma Kategorisasi

Tabel 6 Norma Kategorisasi Kecemasan Siswa SMP dalam Menghadapi Mata

Pelajaran Matematika

Tabel 7 Kategori Kecemasan Siswa SMP dalam Menghadapi Mata Pelajaran

Matematika

Tabel 8 Descriptive Statistic

Tabel 9 Kategori Rata-rata Nilai Rapor Mata Pelajaran Matematika Pada Siswa

SMP Semester Lalu

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Skala Uji Coba Penelitian

2. Data Uji Coba Penelitian

3. Skala Penelitian

4. Data Penelitian

5. Out Put

6. Surat Ijin Penelitian

(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan salah satu ilmu yang sangat penting dalam

dan untuk hidup manusia. Banyak hal-hal di sekitar manusia yang selalu

berhubungan dengan matematika. Sebagai contoh: menghitung volume benda,

menghitung luas bangun ruang, menghitung panjang, menghitung lebar, dan

masih banyak lagi (Setyono, 2006).

Kurun waktu belakangan ini, peran matematika dalam kehidupan

manusia sudah tidak dapat diragukan lagi. Banyak sekali cabang ilmu

pengetahuan yang didasari oleh matematika. Tanpa bantuan matematika

tampaknya tidak mungkin dicapai kemajuan yang begitu pesat dalam bidang

ilmu pengetahuan alam, teknologi, komputer, dan berbagai bidang yang lain.

Dari sini tampak bahwa matematika sangat berperan bagi kehidupan manusia

dan setiap orang yang mempunyai pengetahuan matematika akan

mendapatkan keuntungan dari padanya (Sujono dalam Wijayanti, 2000).

Konsep dasar matematika yang benar, yang diajarkan kepada

seorang anak, haruslah benar dan kuat, karena ilmu ini demikian penting.

Paling tidak, hitungan dasar yang melibatkan penjumlahan, pengurangan,

perkalian, dan pembagian harus dikuasai dengan sempurna (Setyono, 2006).

(20)

prestasi belajar matematikanya pada pendidikan formal mengingat pentingnya

ilmu tersebut.

Pada kenyataannya, banyak orang mengeluh ketika mempelajari

matematika di bangku sekolah formal. Matematika merupakan sesuatu yang

membuat muka pucat, sakit perut, atau badan gemetar dan berkeringat dingin.

Matematika dianggap sebagai sesuatu yang begitu menakutkan (Setyono,

2006).

Sampai saat ini masih saja terdengar tentang sukarnya siswa

menguasai materi matematika. Keluhan ini tidak hanya di jenjang pendidikan

dasar sampai pendidikan menengah, tetapi juga pada jenjang pendidikan yang

lebih tinggi. Salah satu indikator sukarnya siswa menguasai materi

matematika, dapat dilihat dari rendahnya prestasi matematika yang diperoleh

(Santoso, 1995). Sebagai contoh, hal tersebut dapat dilihat dari hasil Ujian

Akhir Nasional (UAN) tahun 2003/2004 pada SMP Negeri Menteng Jakarta,

di mana dari total siswa kelas 3 sebanyak 280 pelajar, 19 di antaranya tidak

lulus karena nilai UAN-nya di bawah 4,01. Sebanyak 14 orang tidak lulus

dalam mata pelajaran Matematika, 2 orang dalam mata pelajaran Bahasa

Inggris, dan 2 orang dalam pelajaran Bahasa Indonesia (www. Kompas. co. id,

2004).

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak siswa yang

kurang berminat terhadap matematika. Matematika merupakan pelajaran yang

menakutkan. Jam-jam pelajaran matematika dirasakan sebagai neraka bagi

(21)

gelisah, was-was, cemas, yang pada gilirannya nanti perasaan-perasaan

tersebut dapat mempengaruhi dan menyebabkan rendahnya prestasi belajar

matematika (Santoso, 1995).

Hal serupa juga disampaikan oleh Sujono (dalam Wijayanti, 2000),

bahwa ternyata sampai sekarang masih banyak siswa yang beranggapan

bahwa matematika merupakan pelajaran yang sukar, untuk mempelajarinya

diperlukan kemauan, kemampuan, dan kecerdasan tertentu. Oleh karena itu,

banyak siswa yang takut terhadap matematika dan sejauh mungkin akan

berusaha menghindari bilangan dan operasi-operasi bilangan. Menurut

Buchory (dalam Kompas, 2007), pendidikan matematika sampai sekarang

masih dianggap momok alias menakutkan.

Mengapa pada tingkat SMP dan SMU matematika dan ilmu eksata

lainnya menjadi momok yang menakutkan? Selama ini ada beberapa anggapan

yang dipegang turun-temurun dan masih tetap dianggap sebagai satu-satunya

cara mengajar. Inilah beberapa anggapan tersebut: pertama, siswa dianggap

sebagai penerima pasif informasi dan guru dianggap sebagai sumber

pengetahuan. Kedua, para murid dianggap sebagai kertas kosong yang siap

untuk ditulisi. Mereka datang, duduk manis, dan hanya mendengarkan guru

menyampaikan informasi. Pada anggapan pertama dan kedua, jika informasi

yang masuk tidak sesuai dengan “operating system” yang dimiliki seorang siswa, informasi tersebut akan ditolak. Jika dipaksakan, kemungkinan akan

(22)

menimbulkan perasaan tertekan. Kondisi inilah yang disebut sebagai

kecemasan.

Ketiga, Matematika merupakan suatu pelajaran yang dipelajari

dengan “hapalan”. Anggapan tersebut terjadi karena beratnya beban

kurikulum yang ada di Indonesia. Guru cenderung mengejar target kurikulum

yang dibebankan. Akibatnya patokan yang digunakan bukan penguasaan

murid atas suatu materi tetapi berpatokan pada selesai atau tidaknya suatu

materi diajarkan. Hal tersebut membuat siswa menjadi merasa terbebani untuk

menguasai materi yang diajarkan guru, sehingga memungkinkan timbulnya

kecemasan dalam diri siswa.

Keempat, siswa yang berbuat kesalahan cenderung akan dihukum.

Hukuman/ancaman tersebut juga digunakan untuk menghilangkan perilaku

yang tidak diinginkan. Adanya hukuman yang diberikan kepada para siswa

akan menimbulkan suatu trauma yang mendalam. Dalam jangka pendek

efeknya tidak terasa, tetapi dalam jangka panjang, hal itu menimbulkan

kerusakan pada “operating system” yang sulit dideteksi. Guru yang memberikan hukuman pada siswa yang salah dalam mengerjakan soal akan

menghambat pembelajaran matematika. Hal ini membuat para siswa

kemungkinan akan merasa cemas dalam menghadapi mata pelajaran

matematika.

Kelima, nilai bagus diidentikkan dengan “pintar” dan nilai jelek

diidentikkan dengan “bodoh”. Nilai merupakan suatu umpan balik bagi guru

(23)

belum dikuasai oleh siswa, bukan untuk mendeskripsikan seorang siswa pintar

atau bodoh. Anggapan guru yang demikian, membuat siswa kemungkinan

merasa cemas jika mendapatkan nilai jelek karena siswa akan dianggap bodoh.

Keenam, cara pemecahan soal harus sesuai dengan cara yang

diajarkan oleh guru, jika tidak siswa dianggap tidak menurut dan jawabannya

disalahkan walaupun jawabannya benar (Setyono, 2006). Anggapan tersebut

membuat siswa merasa tidak bisa mengembangkan kreativitasnya, karena cara

pemecahan soal harus sesuai dengan cara yang diajarkan oleh “guru”, jika

tidak, siswa dianggap tidak menurut dan jawabannya disalahkan walaupun

jawabannya benar. Kondisi ini memungkinkan siswa merasa tertekan,

sehingga menimbulkan kecemasan dalam dirinya.

Hal-hal di atas merupakan cara penyampaian pelajaran matematika

yang memungkinkan timbulnya kecemasan pada siswa dalam menghadapi

mata pelajaran matematika. Kecemasan (anxiety) adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir pada seseorang yang mengeluhkan bahwa

sesuatu yang buruk akan segera terjadi (Nevid, Rathus, & Greene, 2005).

Selain itu, kecemasan didefinisikan sebagai manifestasi dari berbagai proses

emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami

tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik) (Daradjat, 1985).

Siswa yang mengalami kecemasan terhadap matematika akan menunjukkan

berbagai tanggapan emosional bila mereka dihadapkan kepada

masalah-masalah yang berkaitan dengan bilangan. Tanggapan emosional ini meliputi

(24)

serta Supratiknya (1995), aspek fisik, indikatornya: sulit bernafas, jantung

berdebar keras, dan pusing; gangguan pencernaan, gangguan tidur, gangguan

makan dan ekspresi wajah. Aspek mental, indikatornya: afektif dan kognitif.

Aspek perilaku, indikatornya: menghindar, melekat dan dependen, terguncang

serta melakukan gerakan-gerakan neurotik.

Penelitian ini penting untuk dilakukan, karena kecemasan siswa

dalam menghadapi mata pelajaran matematika mempengaruhi prestasi belajar

matematika. Hal ini diungkapkan oleh Santoso (1995), bahwa ada korelasi

negatif yang signifikan antara tingkat kecemasan dan prestasi belajar

matematika. Ini berarti semakin tinggi tingkat kecemasan siswa, semakin

rendah prestasi belajar matematikanya, begitu pula sebaliknya.

Dewasa ini, pembelajaran matematika di beberapa sekolah telah

menggunakan pendekatan siswa aktif. Selain itu, menggunakan pendekatan

pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL), dengan ciri bahwa pembahasan setiap konsep atau prinsip matematika sebisa mungkin

dikaitkan dengan atau diberi pengantar hal-hal yang berkaitan dengan

kehidupan nyata sehari-hari (kontekstual). Pembahasan materi juga disertai

gambar ilustrasi atau foto terpilih dan juga contoh-contoh yang aktual

(Tazudin, dkk, 2005). Pada kenyataannya, prestasi matematika sampai

sekarang masih rendah. Sebagai contoh, dari hasil uji coba Ujian Nasional

(UN) di Kudus pada 43 buah SMP, hanya 4 buah SMP yang dinyatakan lolos

(25)

dinyatakan gagal. Hal tersebut dikarenakan rendahnya nilai pada 6 mata

pelajaran yang diujikan terutama matematika (www. Kompas. co. id, 2005).

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah

siswa masih cemas kendati telah ada cara penyampaian pelajaran yang

menarik termasuk dalam mata pelajaran matematika. Berdasarkan latar

belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tingkat kecemasan

pada siswa, khususnya siswa SMP dalam menghadapi mata pelajaran

matematika.

B. Rumusan masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini: Bagaimana gambaran

tingkat kecemasan pada siswa SMP dalam menghadapi mata pelajaran

matematika?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tingkat

kecemasan pada siswa SMP dalam menghadapi mata pelajaran matematika.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat praktis

a. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tingkat

kecemasan pada siswa dalam menghadapi mata pelajaran matematika,

(26)

kualitas pengelolaan kelas dalam mendayagunakan potensi kelas

berupa pemberian kesempatan yang seluas-luasnya pada setiap

personal untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang kreatif dan terarah

sehingga waktu dan dana yang tersedia dapat dimanfaatkan secara

efisien untuk melakukan kegiatan-kegiatan kelas yang berkaitan

dengan kurikulum dan perkembangan siswa.

b. Bagi Sekolah, hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tingkat

kecemasan pada siswa dalam menghadapi mata pelajaran matematika,

sehingga pihak sekolah dapat melakukan usaha-usaha untuk

mengurangi tingkat kecemasan siswa dalam menghadapi mata

pelajaran matematika, misalnya menambah kegiatan-kegiatan yang

dapat meningkatkan bakat dan ketrampilan siswa dengan harapan agar

prestasi belajar matematika meningkat.

2. Manfaat teoritis

a. Bagi perkembangan Psikologi Pendidikan, hasil penelitian ini dapat

menjadi salah satu acuan atau referensi dalam mengembangkan studi

lebih lanjut mengenai tingkat kecemasan pada siswa SMP dalam

menghadapi mata pelajaran matematika.

b. Bagi perkembangan Psikologi Perkembangan, hasil penelitian ini dapat

menjadi salah satu acuan atau referensi dalam mengembangkan studi

lebih lanjut mengenai remaja, khususnya mengenai tingkat kecemasan

(27)

c. Bagi penelitian selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat

menjadi salah satu bahan referensi atau sumber informasi dalam

mengembangkan penelitian selanjutnya terutama tentang kecemasan

yang dialami siswa SMP, khususnya dalam menghadapi mata pelajaran

(28)

BAB II DASAR TEORI

A. Kecemasan

1. Pengertian kecemasan

Kecemasan (anxiety) adalah keadaan emosi yang tidak menyenangkan yang meliputi: interpretasi subjektif dan rangsangan

fisiologis. Reaksi badan secara fisiologis, dapat dicontohkan: bernafas

lebih cepat, muka menjadi merah, jantung berdebar-debar, dan berkeringat

(Ollendick dalam Clerq, 1994).

Anxietas/kecemasan (anxiety) adalah suatu keadaan khawatir pada seseorang yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera

terjadi (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Banyak hal yang harus

dicemaskan, misalnya: kesehatan, relasi sosial, ujian, dan kondisi

lingkungan. Hal-hal tersebut merupakan beberapa hal yang dapat menjadi

sumber kecemasan. Sedikit cemas mengenai aspek-aspek hidup tersebut

merupakan hal yang normal, bahkan adaptif. Kecemasan merupakan

respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi

abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau

bila sepertinya datang tanpa ada penyebabnya, yaitu: bila bukan

merupakan respon terhadap perubahan lingkungan. Dalam bentuk yang

(29)

Menurut Daradjat (1985), kecemasan adalah manifestasi dari

berbagai proses emosi yang bercampur baur. Proses emosi ini terjadi

ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan

pertentangan batin (konflik).

Menurut Hall & Lindzey; Wiley & Sons (dalam Supratiknya,

1993), kecemasan adalah suatu keadaan tegangan yang merupakan suatu

dorongan, seperti lapar dan seks. Keadaan tegangan ini tidak timbul dari

kondisi-kondisi jaringan di dalam tubuh, tetapi ditimbulkan oleh

sebab-sebab dari luar.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan

bahwa kecemasan adalah suatu keadaan emosi yang tidak menyenangkan

yang merupakan respon terhadap suatu ancaman dan menimbulkan

perasaan tertekan dan tegang.

2. Aspek kecemasan

Supratiknya (1995), mengungkapkan beberapa hal yang

merupakan simptom-simptom (gejala-gejala) kecemasan.

Simptom-simptom tersebut terdiri atas:

a. Senantiasa diliputi ketegangan, rasa was-was, dan keresahan yang

bersifat tak menentu (diffuse uneasiness).

b. Terlalu peka (mudah tersinggung) dalam pergaulan, sering merasa

tidak mampu, minder, depresi, dan serba sedih.

(30)

d. Rasa tegang menjadikan yang bersangkutan selalu bersikap

tegang-lamban, bereaksi secara berlebihan terhadap rangsangan yang datang

secara tiba-tiba atau yang tak diharapkan, dan selalu melakukan

gerakan-gerakan neurotik tertentu, seperti: mematah-matahkan buku

jari, mendehem, dan sebagainya.

e. Sering mengeluh bahwa ototnya tegang, khususnya pada leher dan

sekitar bagian atas bahu, mengalami diare ringan yang kronik, sering

buang air kecil, dan menderita gangguan tidur berupa insomnia dan

mimpi buruk.

f. Mengeluarkan banyak keringat dan telapak tangannya sering basah.

g. Sering berdebar-debar dan tekanan darahnya tinggi.

h. Sering mengalami gangguan pernafasan dan berdebar-debar tanpa

sebab yang jelas.

i. Sering mengalami “anxiety attacks” atau tiba-tiba cemas tanpa ada pemicunya yang jelas. Gejala-gejalanya dapat berupa: berdebar-debar,

sulit bernafas, berkeringat, pingsan, badan terasa dingin,

terkencing-kencing, atau sakit perut.

Kecemasan terdiri dari begitu banyak ciri fisik, kognisi, dan

perilaku (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Ciri-ciri tersebut terdiri atas:

a. Fisik, meliputi: kegelisahan, kegugupan; tangan atau anggota tubuh

yang bergetar atau gemetar; sensasi dari pita ketat yang mengikat di

(31)

berkeringat; telapak tangan yang berkeringat; pening atau pingsan;

mulut atau kerongkongan terasa kering; sulit berbicara; sulit bernafas;

bernafas pendek; jantung yang berdebar keras atau berdetak kencang;

suara yang bergetar; jari-jari atau anggota tubuh yang menjadi dingin;

pusing; merasa lemas atau mati rasa; sulit menelan; kerongkongan

terasa tersekat; leher atau punggung terasa kaku; sensasi seperti

tercekik atau tertahan; tangan yang dingin dan lembab; terdapat

gangguan sakit perut atau mual; panas dingin; sering buang air kecil;

wajah terasa memerah; diare; dan merasa sensitif atau “mudah marah”.

b. Behavioral (perilaku), meliputi: perilaku menghindar; perilaku melekat dan dependen; dan perilaku terguncang.

c. Kognitif, meliputi: khawatir tentang sesuatu; perasaan terganggu atau

ketakutan atau aprehensi terhadap sesuatu yang terjadi di masa depan;

keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi, tanpa

ada penjelasan yang jelas; terpaku pada sensasi ketubuhan; sangat

waspada terhadap sensasi ketubuhan; merasa terancam oleh orang atau

peristiwa yang normalnya hanya sedikit atau tidak mendapat perhatian;

ketakutan akan kehilangan kontrol; ketakutan akan ketidakmampuan

untuk mengatasi masalah; berpikir bahwa dunia mengalami

keruntuhan; berpikir bahwa semuanya tidak lagi bisa dikendalikan;

berpikir bahwa semuanya terasa sangat membingungkan tanpa bisa

diatasi; khawatir terhadap hal-hal yang sepele; berpikir tentang hal

(32)

bisa kabur dari keramaian, kalau tidak pasti akan pingsan; pikiran

terasa bercampur aduk atau kebingungan; tidak mampu menghilangkan

pikiran-pikiran terganggu; berpikir akan segera mati, meskipun dokter

tidak menemukan sesuatu yang salah secara medis; khawatir akan

ditinggal sendirian; sulit berkonsentrasi atau memfokuskan pikiran.

Daradjat (1985), mengemukakan beberapa gejala kecemasan.

Gejala-gejala kecemasan tersebut terdiri atas:

a. Gejala fisik, antara lain: ujung-ujung jari terasa dingin, pencernaan

tidak teratur, pukulan jantung cepat, keringat bercucuran, tidur tidak

nyenyak, nafsu makan hilang, kepala pusing, dan nafas sesak.

b. Gejala mental, antara lain: sangat takut, merasa akan ditimpa bahaya

atau kecelakaan, tidak bisa memusatkan perhatian, tidak berdaya atau

rendah diri, hilang kepercayaan pada diri, tidak tenteram, dan ingin lari

dari kenyataan hidup.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan

ada 3 (tiga) macam aspek kecemasan, antara lain: fisik, mental, dan

perilaku.

a. Fisik. Indikator aspek fisik, antara lain:

1) Sulit bernafas, jantung yang berdebar keras, jari-jari atau anggota

(33)

2) Gangguan pencernaan: pencernaan tidak teratur, terdapat gangguan

sakit perut atau mual, sering buang air kecil, diare.

3) Gangguan tidur: tidur tidak nyenyak, menderita gangguan tidur

berupa insomnia dan mimpi buruk.

4) Gangguan makan: nafsu makan hilang.

5) Ekspresi wajah: kegelisahan, kegugupan, wajah terasa memerah.

b. Mental. Indikator aspek mental, antara lain:

1) Afektif: senantiasa diliputi ketegangan, rasa was-was (khawatir),

keresahan yang bersifat tak menentu (diffuse uneasiness), terlalu peka (mudah tersinggung) dalam pergaulan, minder, serba sedih,

ketakutan terhadap sesuatu yang terjadi di masa depan, ketakutan

akan kehilangan kontrol, ketakutan akan ketidakmampuan untuk

mengatasi masalah, ingin lari dari kenyataan hidup, dan serba takut

salah.

2) Kognitif: sulit berkonsentrasi, sulit mengambil keputusan,

keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi

tanpa ada penjelasan yang jelas, berpikir bahwa semuanya tidak

lagi bisa dikendalikan, berpikir bahwa semuanya terasa sangat

membingungkan tanpa bisa diatasi, berpikir tentang hal

(34)

harus bisa kabur dari keramaian kalau tidak pasti akan pingsan,

tidak mampu menghilangkan pikiran-pikiran terganggu.

c. Perilaku. Indikator aspek perilaku, antara lain:

1) Menghindar, misalnya: meninggalkan kelas.

2) Melekat dan dependen, misalnya: mencontek.

3) Terguncang, misalnya: sangat terkejut dan tercengang

4) Melakukan gerakan-gerakan neurotik, misalnya:

mematah-matahkan buku jari dan mendehem.

3. Faktor-faktor penyebab kecemasan

Ada beberapa penyebab timbulnya kecemasan. Menurut

Daradjat (1985) sebab-sebab timbulnya kecemasan, antara lain: akibat

tidak terpenuhinya keinginan-keinginan seksual, yaitu karena merasa diri

(fisik) kurang, karena pengaruh pendidikan waktu masih kecil, atau sering

terjadi frustasi karena tidak tercapainya sesuatu yang diingini baik material

maupun sosial. Mungkin pula akibat dari rasa tidak berdaya, tidak ada rasa

kekeluargaan, dan sebagainya.

Menurut Kresch & Qrutch (dalam Hartanti & Dwijanti, 1997),

timbulnya kecemasan disebabkan karena kurangnya pengalaman dalam

menghadapi berbagai kemungkinan yang membuat individu kurang siap

menghadapi situasi baru. Sumber-sumber kecemasan terdiri dari dua

(35)

a. Faktor internal

Kecemasan berasal dari dalam individu, misalnya: perasaan

tidak mampu, tidak percaya diri, perasaan bersalah, dan rendah diri.

Faktor internal ini pada umumnya sangat dipengaruhi oleh

pikiran-pikiran negatif dan tidak rasional.

b. Faktor eksternal

Kecemasan berasal dari luar individu, dapat berupa:

penolakan sosial, kritikan dari orang lain, beban tugas atau kerja yang

berlebihan, maupun hal-hal lain yang dianggap mengancam.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan dapat

ditimbulkan oleh dua faktor. Faktor-faktor tersebut, antara lain: internal

dan eksternal.

4. Macam-macam kecemasan

Freud membedakan tiga macam kecemasan, yaitu: kecemasan

realitas, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral (Hall & Lindzey;

Wiley & Sons dalam Supratiknya, 1993).

a. Kecemasan realitas, yaitu: rasa takut akan bahaya-bahaya nyata di

dunia luar; kedua tipe kecemasan lain berasal dari kecemasan realitas

ini. Kecemasan pada mata pelajaran matematika dapat dimasukkan

pada macam kecemasan ini, karena siswa SMP dihadapkan pada suatu

kenyataan (realita) yang dapat menimbulkan perasaan tertekan dan

(36)

b. Kecemasan neurotik, yaitu: rasa takut jangan-jangan insting-insting

akan lepas dari kendali dan menyebabkan sang pribadi berbuat sesuatu

yang bisa membuatnya dihukum. Kecemasan neurotik bukanlah

ketakutan terhadap insting-insting itu sendiri melainkan ketakutan

terhadap hukuman yang mungkin terjadi jika suatu insting dipuaskan.

c. Kecemasan moral, yaitu: rasa takut terhadap suara hati. Orang-orang

yang superegonya berkembang dengan baik cenderung merasa

bersalah jika mereka melakukan atau bahkan berpikir untuk melakukan

sesuatu yang bertentangan dengan norma moral di mana mereka

dibesarkan. Mereka disebut mendengarkan bisikan suara hati.

Kecemasan moral juga mempunyai dasar dalam realitas di mana di

masa lampau sang pribadi pernah mendapat hukuman karena

melanggar norma moral dan bisa dihukum lagi.

Menurut Daradjat (1985), ada bermacam-macam kecemasan,

antara lain:

a. Kecemasan yang timbul akibat melihat dan mengetahui ada bahaya

yang mengancam dirinya. Cemas tersebut lebih dekat dengan rasa

takut, karena sumbernya jelas terlihat dalam pikiran. Contoh: saat akan

menyeberang jalan, terlihat mobil berlari kencang seakan-akan hendak

menabraknya.

b. Kecemasan yang berupa penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk,

(37)

1) Kecemasan yang umum. Pada kecemasan ini, orang merasa cemas

yang kurang jelas, tidak tentu, dan tidak ada hubungannya dengan

apa-apa serta mempengaruhi keseluruhan diri pribadi.

2) Kecemasan dalam bentuk takut akan benda-benda atau hal-hal

tertentu, contoh: takut melihat darah, serangga, binatang-binatang

kecil, tempat yang tinggi, dan orang ramai.

3) Kecemasan dalam bentuk ancaman, yaitu: kecemasan yang

menyertai gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa. Orang merasa

cemas karena menyangka akan terjadi sesuatu yang tidak

menyenangkan, sehingga ia merasa terancam oleh sesuatu itu.

Kecemasan dalam menghadapi mata pelajaran matematika dapat

digolongkan pada macam kecemasan ini, karena dalam hal ini mata

pelajaran matematika dianggap sebagai ancaman. Siswa merasa

cemas karena mereka menyangka akan terjadi sesuatu yang tidak

menyenangkan dalam menghadapi mata pelajaran matematika,

sehingga mereka merasa terancam oleh mata pelajaran matematika.

c. Kecemasan karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan

hal-hal yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani.

Kecemasan ini sering pula menyertai gejala-gejala gangguan jiwa,

yang kadang-kadang terlihat dalam bentuk yang umum.

Berdasarkan kondisi kecemasan, kecemasan digambarkan

(38)

dalam Clerq, 1994). State anxiety adalah reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi tertentu, yang dirasakan sebagai suatu ancaman. State anxiety beragam dalam hal intensitas dan waktu (contoh: mengikuti ujian, terbang, kencan pertama, dan lain-lain). Keadaan ini ditentukan oleh

perasaan ketegangan yang subjektif.

Trait anxiety menunjuk pada ciri atau sifat seseorang yang cukup stabil yang mengarahkan seseorang untuk menginterpretasikan

suatu keadaan sebagai ancaman yang disebut dengan “anxiety proneness”

(kecenderungan akan kecemasan). Orang tersebut cenderung untuk

merasakan berbagai macam keadaan sebagai keadaan yang

membahayakan atau mengancam dan cenderung untuk menanggapi

dengan reaksi kecemasan. Trait anxiety dilihat sebagai bentuk kecemasan kronis (Spielberger dalam Clerq, 1994). Sebagai contoh: seorang anak

dengan sifat kecemasan yang kuat akan bereaksi lebih sering dan dengan

intensitas yang lebih tinggi terhadap berbagai situasi.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan dalam

menghadapi mata pelajaran matematika dapat digolongkan dalam

kecemasan realitas, kecemasan dalam bentuk ancaman, dan state anxiety. Kecemasan dalam menghadapi mata pelajaran matematika digolongkan

sebagai kecemasan realitas, karena siswa dihadapkan pada suatu realitas,

yaitu dalam menghadapi mata pelajaran matematika, di mana realitas ini

dapat menimbulkan perasaan tertekan dan tegang. Kecemasan pada mata

(39)

karena siswa menyangka akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan

dalam menghadapi mata pelajaran matematika dan hal tersebut membuat

mereka terancam. Kecemasan yang dialami seorang siswa dalam

menghadapi mata pelajaran matematika dapat digolongkan ke dalam state anxiety, karena reaksi emosi tersebut hanya bersifat sementara dan timbul pada situasi tertentu yang dirasakan sebagai suatu ancaman. Ancaman

yang dimaksud di sini yaitu dalam menghadapi mata pelajaran

matematika.

5. Fungsi kecemasan

Fungsi kecemasan yaitu memperingatkan sang pribadi akan

adanya bahaya yang merupakan isyarat bagi ego bahwa kalau tidak

dilakukan tindakan-tindakan tepat, maka bahaya itu akan meningkat

sampai ego dikalahkan. Menurut Hall & Lindzey; Wiley & Sons (dalam

Supratiknya, 1993) kecemasan akan memotivasikan sang pribadi untuk

melakukan sesuatu. Sang pribadi bisa lari dari daerah yang mengancam,

menghalangi impuls yang membahayakan atau menuruti suara hati.

Kecemasan juga merupakan pendorong, seperti halnya lapar

dan seks. Apabila kecemasan timbul, hal ini akan mendorong seseorang

untuk melakukan sesuatu supaya tegangan dapat direduksikan atau

dihilangkan (Soeryobroto, 1982).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi kecemasan

(40)

isyarat bagi ego, di mana jika tidak dilakukan tindakan-tindakan tepat,

maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan. Selain itu,

mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu supaya tegangan dapat

direduksikan atau dihilangkan.

B. Siswa SMP

1. Pengertian siswa SMP sebagai remaja awal

Siswa SMP pada umumnya berusia 12 sampai 15 tahun. Usia

ini dapat digolongkan dalam masa remaja, khususnya remaja awal

(Monks, 2004). Istilah remaja (adolescence) sendiri berasal dari kata Latin

adolescere (kata bendanya adolescentia, artinya: remaja) yang berarti “tumbuh’ atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 1991). Istilah

adolescence, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh

Piaget (dalam Hurlock, 1991), bahwa secara psikologis, masa remaja

merupakan usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa,

di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih

tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya

dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai

banyak aspek afektif yang kurang lebih berhubungan dengan masa puber.

Perubahan intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini

(41)

dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode

perkembangan ini.

Santrock (2003) mengartikan remaja (adolescence) sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang

mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional. Perubahan

biologis, kognitif, dan sosial emosional yang terjadi berkisar dari

perkembangan fungsi seksual, proses berpikir abstrak sampai pada

kemandirian.

Calon (dalam Monks, dkk, 2004) juga mengungkapkan bahwa

masa remaja menunjukkan sifat-sifat masa transisi atau peralihan dengan

jelas, karena remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak

lagi memiliki status kanak-kanak. Remaja berada dalam status interim

sebagai akibat dari posisi yang sebagian diberikan oleh orang tua dan

sebagian lagi diperoleh melalui usaha sendiri yang selanjutnya

memberikan prestise tertentu padanya. Status interim berhubungan dengan masa peralihan yang timbul sesudah pemasakan seksual (pubertas). Masa

peralihan tersebut diperlukan untuk mempelajari bahwa remaja mampu

memikul tanggung jawabnya nanti dalam masa dewasa. Makin maju

masyarakatnya makin sukar tugas remaja untuk mempelajari tanggung

jawab ini. Suatu pendidikan yang emansipatoris akan berusaha untuk

(42)

Masa remaja berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun,

dengan pembagian sebagai berikut: usia 12 sampai 15 tahun merupakan

masa remaja awal, usia 15 sampai 18 tahun merupakan masa remaja

pertengahan, dan usia 18 sampai 21 tahun merupakan masa remaja akhir

(Monks, 2004). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa SMP

dapat digolongkan dalam kategori remaja awal, di mana usianya berkisar

antara 12 sampai 15 tahun. Masa ini merupakan masa perkembangan

transisi atau peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup

perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional.

2. Ciri-ciri siswa SMP sebagai remaja awal

Siswa SMP yang termasuk masa remaja awal ini mempunyai

ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan

sesudahnya (Hurlock, 1991). Ciri-ciri yang khas pada masa ini akan

mendasari timbulnya kecemasan pada diri remaja, dalam penelitian ini

khususnya kecemasan dalam menghadapi mata pelajaran matematika.

Ciri-ciri tersebut akan diterangkan secara singkat di bawah ini:

a. Masa remaja sebagai periode peralihan

Pada masa ini, apa yang telah terjadi sebelumnya akan

meninggalkan bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan

datang. Osterrieth (dalam Hurlock, 1991) menjelaskan bahwa struktur

(43)

perubahan fisik yang terjadi selama tahun awal masa remaja

mempengaruhi tingkat perilaku individu.

Menurut Santrock (2003), masa remaja adalah masa

perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang

mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional.

Perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional yang terjadi

berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses berpikir abstrak

sampai pada kemandirian.

Hal serupa diungkapkan oleh Calon (dalam Monks, dkk,

2004) bahwa masa remaja menunjukkan sifat-sifat masa peralihan

dengan jelas, karena remaja belum memperoleh status orang dewasa

tetapi tidak lagi memiliki status kanak-kanak. Remaja berada dalam

status interim sebagai akibat dari posisi yang sebagian diberikan oleh orang tua dan sebagian lagi diperoleh melalui usaha sendiri yang

selanjutnya memberikan prestise tertentu padanya. Hal ini membuat status remaja tidak jelas, sehingga terdapat keraguan akan peran yang

harus dilakukan (Hurlock, 1991).

Masa peralihan tersebut diperlukan untuk mempelajari

bahwa remaja mampu memikul tanggung jawabnya nanti dalam masa

dewasa. Makin maju masyarakatnya makin sukar tugas remaja untuk

mempelajari tanggung jawab ini. Suatu pendidikan yang emansipatoris

(44)

remaja dituntut harus “meninggalkan segala sesuatu yang bersifat

kekanak-kanakan” dan mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk

menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan.

Pada periode peralihan ini, dimungkinkan siswa SMP

sebagai remaja awal mengalami kecemasan, dalam penelitian ini

khususnya kecemasan dalam menghadapi mata pelajaran matematika.

Kecemasan-kecemasan yang mungkin timbul dapat disebabkan oleh:

pertama, karena pengalaman masa lalu remaja mempengaruhi apa

yang terjadi saat ini dan yang akan datang. Kedua, makin sukarnya

tugas remaja untuk mempelajari tanggung jawab dalam masa dewasa.

b. Masa remaja sebagai periode perubahan

Adanya perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan

oleh kelompok sosial, menimbulkan masalah baru bagi remaja. Bagi

remaja awal, masalah baru yang timbul lebih banyak dan lebih sulit

diselesaikan dibandingkan masalah yang dihadapi sebelumnya. Remaja

akan tetap merasa ditimbuni masalah, sampai ia sendiri mampu

menyelesaikannya sendiri.

Selain itu, sebagian besar remaja bersikap ambivalen

terhadap setiap perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut

kebebasan, tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan

akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk dapat mengatasi

(45)

Pada periode ini, dimungkinkan siswa SMP mengalami

kecemasan. Hal ini dilatarbelakangi oleh timbulnya masalah baru, di

mana masalah yang timbul ini lebih banyak dan lebih sulit diselesaikan

dibandingkan masalah yang sebelumnya pernah dialami. Selain itu,

sikap yang ambivalen yaitu keinginan untuk mendapatkan kebebasan

dan adanya ketakutan untuk bertanggung jawab akan akibatnya serta

meragukan kemampuan mereka untuk mengatasi tanggung jawab

tersebut.

c. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik

oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Ada dua alasan adanya

kesulitan tersebut. Pertama, kebanyakan remaja tidak berpengalaman

dalam mengatasi masalah karena masalah mereka sebagian

diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru sepanjang masa

kanak-kanak. Kedua, karena para remaja merasa diri mereka mandiri,

sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak

bantuan orang tua dan guru-guru (Hurlock, 1991).

Alasan-alasan tersebut memungkinkan siswa SMP

mengalami kecemasan. Hal ini disebabkan karena mereka merasa

mandiri, ingin menyelesaikan masalahnya sendiri dan menolak

bantuan orang lain terutama orang tua dan guru-guru mereka, padahal

(46)

dalam mengatasi masalah karena sepanjang masa kanak-kanak orang

tua dan guru-guru selalu terlibat dalam mengatasi masalah mereka.

d. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Majeres (dalam Hurlock, 1991), mengungkapkan bahwa

banyak anggapan populer tentang remaja yang sebagian besar bersifat

negatif. Stereotip budaya menganggap bahwa remaja merupakan

anak-anak yang tidak rapi, tidak dapat dipercaya, cenderung merusak, dan

berperilaku merusak. Anggapan ini menyebabkan orang dewasa yang

harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja takut

bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku

remaja yang normal.

Stereotip populer ini mempengaruhi konsep diri dan sikap

remaja terhadap dirinya sendiri. Menurut Anthony (dalam Hurlock,

1991), penerimaan stereotip ini dan meyakini bahwa orang dewasa

mempunyai pandangan yang buruk tentang mereka membuat peralihan

ke masa dewasa menjadi sulit.

Stereotip populer terhadap diri remaja yang bersifat negatif

ini mempengaruhi konsep diri remaja menjadi negatif pula, misalnya

mereka menjadi memiliki citra diri seperti anggapan orang-orang

dewasa terhadap mereka. Hal ini dimungkinkan menimbulkan

(47)

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya

remaja, khususnya remaja awal memiliki potensi untuk mengalami

kecemasan. Hal ini terlihat dari beberapa ciri yang khas pada masa remaja,

antara lain: pertama, masa remaja sebagai periode peralihan. Pada masa

ini, pengalaman masa lalu remaja mempengaruhi apa yang terjadi saat ini

dan yang akan datang. Selain itu, makin sukarnya tugas remaja untuk

mempelajari tanggung jawab dalam masa dewasa.

Kedua, masa remaja sebagai periode perubahan. Pada masa ini

remaja menghadapi masalah baru yang lebih banyak dan lebih sulit

diselesaikan dibandingkan masalah yang sebelumnya pernah dialami.

Selain itu, remaja memiliki sikap yang ambivalen di mana di satu sisi

remaja ingin mendapatkan kebebasan, sedangkan di sisi lain ada ketakutan

untuk bertanggung jawab akan akibatnya. Mereka juga meragukan

kemampuan mereka untuk mengatasi tanggung jawab tersebut.

Ketiga, masa remaja sebagai usia bermasalah. Pada masa ini

mereka merasa mandiri, ingin menyelesaikan masalahnya sendiri dan

menolak bantuan orang lain terutama orang tua dan guru-guru mereka,

padahal sebenarnya sebagian besar dari mereka tidak memiliki

pengalaman dalam mengatasi masalah karena sepanjang masa

kanak-kanak orang tua dan guru-guru selalu terlibat dalam mengatasi masalah

mereka. Keempat, masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan.

(48)

mereka tidak rapi, tidak bisa dipercaya, cenderung merusak, dan

berperilaku merusak.

3. Karakteristik perkembangan siswa SMP sebagai remaja awal

Siswa SMP sebagai remaja awal memiliki beberapa

karakteristik perkembangan (Santrock, 2003). Karakteristik-karakteristik

tersebut dapat melatarbelakangi seorang siswa SMP mengalami

kecemasan, dalam penelitian ini khususnya kecemasan dalam menghadapi

mata pelajaran matematika. Karakteristik-karakteristik tersebut, antara

lain:

a. Perkembangan kognitif

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2003), remaja berada

pada tahap pemikiran operasional formal. Menurut Piaget, tahap

operasional formal (formal operational stage) merupakan tahap keempat dan terakhir dari tahap perkembangan kognitif, yang muncul

sekitar usia 11 sampai 15 tahun. Secara lebih nyata, pemikiran

operasional formal bersifat lebih abstrak daripada pemikiran

operasional konkret. Remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman nyata

dan konkret sebagai landasan berpikirnya. Mereka mampu

membayangkan situasi rekaan dan kejadian yang semata-mata berupa

kemungkinan hipotesis ataupun proporsi abstrak, dan mencoba

(49)

Remaja yang normal seharusnya mampu membayangkan

situasi rekaan dan kejadian yang semata-mata berupa kemungkinan

hipotesis ataupun proporsi abstrak, dan mengolahnya dengan

pemikiran logis pada tahap ini. Bagi remaja yang belum mampu, dapat

menimbulkan kecemasan dalam dirinya.

b. Perkembangan sosial emosional

1) Konflik orang tua-remaja

Masa awal remaja merupakan waktu di mana konflik

orang tua-remaja meningkat lebih dari konflik orang tua-anak

(Montemayor & Steinberg dalam Santrock, 2003). Peningkatan ini

bisa terjadi karena beberapa faktor yang melibatkan pendewasaan

remaja dan pendewasaan orang tua, meliputi: perubahan biologis

pubertas, perubahan kognitif termasuk peningkatan idealisme dan

penalaran logis, perubahan sosial yang berpusat pada kebebasan

dan jati diri, harapan yang tak tercapai, dan perubahan fisik,

kognitif, dan sosial orang tua sehubungan dengan usia paruh baya

(Laursen & Ferreira dalam Santrock, 2003). Adanya konflik antara

orang tua-remaja ini memungkinkan timbulnya kecemasan, baik

(50)

2) Otonomi dan keterikatan

Pada awal masa remaja, sebagian besar individu tidak

mempunyai pengetahuan untuk membuat keputusan yang tepat

atau dewasa pada semua sisi kehidupan. Hal ini bisa menimbulkan

kecemasan bagi remaja. Bersamaan dengan mendesaknya remaja

untuk mendapatkan otonomi, orang dewasa yang bijaksana

melepaskan kendali di bidang mana remaja dapat membuat

keputusan yang pantas dan terus mendampingi remaja pada bidang

di mana pengetahuan remaja lebih terbatas. Secara bertahap,

remaja akan memperoleh kemampuan untuk membuat keputusan

yang dewasa sendiri.

Di sisi lain, keterikatan yang aman pada masa bayi

merupakan pokok bagi perkembangan kecakapan sosial (Bowlby &

Ainsworth dalam Santrock, 2003). Keterikatan yang aman

diteorikan sebagai landasan penting bagi perkembangan psikologis

berikutnya pada masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa sedangkan

keterikatan tak aman diteorikan berkaitan dengan kesulitan

berhubungan dan masalah-masalah perkembangan selanjutnya.

Keterikatan pada orang tua selama masa remaja dapat

memiliki fungsi adaptif untuk menyediakan dasar rasa aman di

mana remaja dapat mengeksplorasi dan menguasai lingkungan baru

serta dunia sosial yang semakin luas dalam kondisi psikologi yang

(51)

Keterikatan yang aman dengan orang tua dapat membantu remaja

dari kecemasan dan kemungkinkan perasaan tertekan atau

ketegangan emosi yang berkaitan dengan transisi dari masa

kanak-kanak menuju dewasa. Keterikatan yang tidak aman dengan orang

tua akan menimbulkan kecemasan dan perasaan tertekan pada diri

remaja.

3) Teman sebaya

a) Fungsi kelompok teman sebaya

Teman sebaya adalah individu yang tingkat,

kematangan, dan umurnya kurang lebih sama. Teman sebaya

menyediakan sarana untuk perbandingan secara sosial dan

sumber informasi tentang dunia di luar keluarga. Hubungan

teman sebaya diperlukan untuk perkembangan sosial yang

normal pada masa remaja. Ketidakmampuan remaja untuk

“masuk” ke dalam suatu lingkungan sosial pada masa

kanak-kanak atau masa remaja dihubungkan dengan berbagai masalah

dan gangguan (Santrock, 2003). Salah satunya menimbulkan

kecemasan pada remaja.

b) Popularitas, pengabaian, dan penolakan teman sebaya

Kemampuan mendengar, komunikasi yang efektif,

(52)

perhatian kepada orang lain, serta memiliki rasa percaya diri

tapi tidak menjadi sombong, merupakan kriteria dari

popularitas di antara teman sebaya. Remaja yang diabaikan

mendapatkan perhatian yang sedikit dari teman sebaya mereka,

sementara mereka yang ditolak tidak begitu disukai oleh teman

sebaya mereka. Pada remaja yang ditolak akan berisiko

terhadap masalah perkembangan mereka (Santrock, 2003). Hal

ini dapat menimbulkan kecemasan pada remaja.

4) Kelompok remaja

Kelompok berfungsi untuk memenuhi kebutuhan

pribadi remaja, memberi penghargaan kepada mereka, memberikan

informasi, menaikkan harga diri mereka dan memberikan identitas

kepada mereka. Ada hal yang dipandang berperan penting dalam

usaha remaja untuk mempertahankan harga diri dan perkembangan

identitasnya, yaitu klik (Coleman & Erikson dalam Santrock,

2003). Klik merupakan kelompok dengan jumlah yang lebih kecil,

yang melibatkan keakraban yang lebih besar di antara anggota dan

lebih kohesif daripada kerumunan, tetapi klik memiliki ukuran

yang lebih besar dan tingkat keakraban yang lebih rendah daripada

persahabatan.

Remaja yang tidak memiliki kelompok tidak memiliki

(53)

penghargaan kepada mereka, untuk memberikan informasi,

menaikkan harga diri mereka dan memberikan identitas kepada

mereka. Hal ini memungkinkan timbulnya kecemasan pada diri

remaja.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang remaja

pada dasarnya memiliki karakteristik-karakteristik perkembangan tertentu,

di mana ada beberapa karakteristik yang dapat memungkinkan seorang

remaja mengalami kecemasan. Karakteristik-karakteristik tersebut, antara

lain: pertama, perkembangan kognitif, di mana remaja mampu

membayangkan situasi rekaan dan kejadian yang semata-mata berupa

kemungkinan hipotesis ataupun proporsi abstrak, dan mengolahnya

dengan pemikiran logis pada tahap ini. Bagi remaja yang belum mampu,

dapat menimbulkan kecemasan di dalam dirinya.

Kedua, perkembangan sosial emosional, di mana pada tahap ini

ada beberapa hal yang penting yang dapat menimbulkan kecemasan pada

remaja, antara lain: terjadi konflik antara orang tua-remaja, sebagian besar

remaja tidak mempunyai pengetahuan untuk membuat keputusan yang

tepat pada semua sisi kehidupan, dan adanya keterikatan yang tidak aman

dengan orang tua. Selain itu, ketidakmampuan remaja untuk “masuk” ke

dalam suatu lingkungan sosial pada masa kanak-kanak atau masa remaja

dapat menimbulkan masalah dan gangguan, misalnya kecemasan. Remaja

sering menganggap popularitas, pengabaian, dan penolakan teman sebaya

(54)

masalah perkembangan mereka yaitu menimbulkan kecemasan pada

remaja. Selain itu, remaja yang tidak memiliki kelompok tidak memiliki

media untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka, untuk memberi

penghargaan kepada mereka, memberikan informasi, menaikkan harga diri

mereka dan memberikan identitas kepada mereka. Hal ini memungkinkan

timbulnya kecemasan pada diri remaja.

C. Pelajaran Matematika SMP

Matematika adalah ilmu yang memiliki hitungan dasar

penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian (Setyono, 2005). Pada

dasarnya materi-materi mata pelajaran matematika tingkat SMP menuntut

siswa agar mampu membayangkan situasi rekaan dan kejadian yang

semata-mata berupa kemungkinan hipotesis ataupun proporsi abstrak. Selain itu,

diharapkan mereka dapat mengolahnya dengan pemikiran logis untuk dapat

mempelajarinya. Menurut Piaget, kemampuan-kemampuan tersebut berada

pada tahap pemikiran operasional formal (Santrock, 2003). Pada tingkat SMP

ini mereka diharapkan mampu menyusun rencana pemecahan masalah dan

secara sistematis menguji cara-cara yang dipikirkannya. Selain itu, siswa SMP

diharapkan dapat mengembangkan hipotesis atau memperkirakan cara

pemecahan masalah, seperti halnya suatu persamaan aljabar.

Berbeda pada tingkat SD, seorang anak berada pada tahap

pemikiran operasional konkret, di mana diharapkan siswa mampu untuk

(55)

selama nalar dapat diterapkan pada suatu kejadian khusus atau konkret. Selain

itu, pada tahap ini diharapkan siswa mampu mengenali bahwa panjang,

jumlah, masa, kuantitas, luas, berat, dan isi suatu objek dan substansi tidak

berubah meski ada perubahan pada penampilannya. Pada usia SD juga

menuntut penalaran pemilahan kelas, yaitu menuntut anak agar secara

sistematis mengelompokkan objek-objek ke dalam serangkaian kelas dan sub

kelas.

D. Kecemasan Siswa SMP dalam Menghadapi Mata Pelajaran Matematika Sebagai remaja awal, siswa SMP memiliki beberapa ciri dan

karakteristik tertentu yang membedakannya dengan periode-periode

perkembangan sebelum dan sesudahnya (Hurlock, 1991). Usia mereka

biasanya berkisar antara 12 sampai 15 tahun. Ciri-ciri dan karakteristik yang

khas ini akan mendasari timbulnya kecemasan dalam diri remaja. Berikut ini

akan disebutkan berbagai dinamika kecemasan dalam menghadapi mata

pelajaran matematika pada siswa SMP.

Pertama, masa remaja sebagai periode peralihan. Pada masa ini,

apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang

terjadi sekarang dan yang akan datang. Demikian halnya jika seseorang

mempelajari mata pelajaran matematika. Peletakan dasar matematika ketika

anak berumur 5-8 tahun sangatlah penting. Seorang anak dengan pengetahuan

dasar yang kuat akan dengan mudah memahami instruksi matematika pada

(56)

pada anak usia dini, sangat berpengaruh terhadap keseluruhan proses

mempelajari matematika di tahun-tahun berikutnya. Jika konsep dasar yang

diletakkan kurang kuat atau anak mendapatkan kesan buruk pada perkenalan

pertamanya dengan matematika, maka tahap berikutnya akan menjadi

masa-masa sulit dan penuh perjuangan (Setyono, 2006).

Hal tersebut dapat dicontohkan pada pengalaman seorang anak saat

duduk di bangku SD sewaktu pelajaran Matematika. Anak itu pernah

dipermalukan di depan kelas oleh gurunya karena tidak bisa mengerjakan soal

hitungan di papan tulis. Dia dihukum di depan teman-teman sekelasnya dan

gurunya mengatakan agar teman-temannya jangan meniru kebodohan

temannya tersebut, kemudian dia diminta berdiri dengan satu kaki sambil

kedua tangannya memegang telinga secara bersilangan.

Sejak peristiwa itu, matematika menjadi sesuatu yang menakutkan

bagi anak tersebut. Hari-hari berikutnya menjadi hari-hari yang penuh tekanan

mental. Setiap mata pelajaran matematika dimulai, doanya hanya satu yaitu

agar pelajaran tersebut cepat selesai dan gurunya cepat keluar dari kelas.

Trauma itu menutup dirinya untuk mempelajari matematika. Hal ini akan

menimbulkan kecemasan dalam diri anak tersebut dalam menghadapi mata

pelajaran matematika. Dapat disimpulkan bahwa adanya pengalaman buruk

dengan matematika di masa lalu akan menimbulkan kecemasan dalam

menghadapi mata pelajaran matematika pada saat siswa berada pada tingkat

SMP. Hal ini dikarenakan siswa SMP termasuk dalam kategori remaja awal,

Gambar

Tabel 1
Tabel 3
Tabel 4
       Tabel 5
+2

Referensi

Dokumen terkait

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah

Peserta yang telah melakukan pendaftaran akan dihubungi oleh pihak panitia pada tanggal 5 Oktober 2016 untuk konfirmasi.. Formulir pendaftaran dapat diambil di sekretariat

ANALISIS KALIMAT ELIPSIS BAHASA JERMAN DALAM ROMAN TRÄUME WOHNEN ÜBERALL KARYA CAROLIN PHILIPPS DAN PADANANNYA.. DALAM