• Tidak ada hasil yang ditemukan

as-si>ratu an-nabawiyyatu Juz 2, karya Abu Muhammad Abdul Malik Ibn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "as-si>ratu an-nabawiyyatu Juz 2, karya Abu Muhammad Abdul Malik Ibn"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

STRATEGI PENERJEMAHAN DALAM MENERJEMAHKAN TEKS PIAGAM MADINAH

Penelitian ini mengambil objek material berupa teks asli PM dalam buku “as-Si>ratu an-Nabawiyyatu” Juz 2, karya Abu Muhammad ‘Abdul Malik Ibn Hisyam, terbitan Da>rul-Chadi>ts–Kairo tahun 2006, yang diterjemahkan oleh Zainal Abidin Ahmad dalam bukunya “Piagam Madinah –Konstitusi Tertulis Pertama di Dunia” terbitan Pustaka Al-Kautsar tahun 2014. Objek material kemudian dikelompokkan menjadi 85 data yang merupakan kalimat. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai strategi-strategi penerjemahan yang diterapkan penerjemah dalam menerjemahkan teks PM.

Menurut Nababan (2007: 49), penerjemah menggunakan strategi pada saat analisis teks BSu untuk membongkar dan memahami amanat dan pesan yang hendak dikomunikasikan oleh penulis TSu. Contoh nyata adalah pada saat membandingkan makna utama dengan makna sekunder, yaitu pada saat mencari hubungan konseptual dan mencari informasi untuk membantu memahami sebuah kata, frasa, hingga kalimat pada TSu. Sementara pada saat penyusunan ulang amanat dan pesan, penerjemah menerjemahkan ulang, dan menghindari kata yang dekat dengan BSu atau dengan lain terjemahan kata literal.

Adapun pada teks PM ini, penerjemah telah menerapkan strategi penerjemahan struktural dan strategi penerjemahan semantis sebanyak 458 kali. Strategi yang diterapkan berulang dan hampir sama di setiap data. Namun

(2)

terkadang penerjemah menggunakan strategi yang berbeda untuk dua teks atau lebih yang memiliki pesan yang sama.

Penerapan strategi penerjemahan oleh penerjemah teks PM terdiri dari dua bagian besar, yakni strategi penerjemahan struktural dan strategi penerjemahan semantis. Adapun penerapan strategi penerjemahan struktural memiliki porsi lebih sedikit, yakni 24%. Sedangkan penerapan strategi penerjemahan semantis menempati porsi hingga 76% pada data. Hal ini dapat disimpulkan bahwa di dalam menerjemahkan, penerjemah teks PM lebih mementingkan aspek semantis atau makna dalam BSa agar dapat berterima dan terbaca oleh masyarakat BSa. Prosentase dari penerapan kedua strategi tersebut dapat dilihat pada diagram 2.1. di bawah ini.

Diagram 2.1. Strategi Penerjemahan Piagam Madinah

Strategi penerjemahan menurut Suryawinata (2003) terbagi menjadi dua macam strategi, yakni strategi struktural dan strategi semantis. Adapun strategi struktural terdiri dari tiga macam, yakni strategi penambahan, strategi pengurangan, dan strategi transposisi. Sedangkan strategi semantis terdiri dari sembilan strategi, yakni strategi pungutan, strategi padanan budaya, strategi

24%

76%

Strategi Penerjemahan

Strategi Struktural Strategi Semantis

(3)

deskripsi dan analisis komponensial, strategi sinonim, strategi terjemahan resmi, strategi penyusutan dan perluasan, strategi penambahan, strategi penghapusan, dan terakhir strategi modulasi. Berikut tabel 2.1. mengenai strategi-strategi penerjemahan yang diterapkan penerjemah dalam menerjemahkan teks PM.

No Jenis Strategi Penerjemahan Jumlah

Item(*) Prosentase (%) A. Strategi Struktural 1. Penambahan 9 1,91 2. Pengurangan 17 3,60 3. Transposisi 83 17,62 B. Strategi Semantis 1. Pungutan 44 9,34 2. Padanan Budaya 14 2,97 3.1. Padanan Deskriptif 14 2,97 3.2. Analisis Komponensial 23 4,88 4. Sinonim 36 7,64 5. Terjemahan Resmi 0 0 6.1. Penyusutan 2 0,42 6.2. Perluasan 51 10,82 7. Penambahan 83 17,62 8. Penghapusan 81 17,19 9. Modulasi 1 0,21 Total 458 100

(*) Data yang sering muncul

Tabel 2.1. Strategi Penerjemahan Teks PM

Pada tabel 2.1. di atas, strategi penerjemahan struktural-transposisi dan strategi penerjemahan semantis-penambahan memiliki jumlah data terbanyak dalam penerapannya pada data BSa, yaitu 83 data (17,62%). Pemakaian kedua strategi tersebut menjadi dominan karena banyak data yang mengalami pergeseran

(4)

bentuk struktur BSu dan diberikan informasi tambahan oleh penerjemah sebagai usaha untuk menjadikan pesan BSu tersampaikan lebih baik.

Akan tetapi strategi penerjemahan semantis-terjemahan resmi menempati posisi terendah dalam penerapannya pada data, yakni 0%. Hal ini menunjukkan bahwa strategi terjemahan resmi tidak dipakai oleh penerjemah dalam menerjemahkan teks PM. Di dalam teks PM pun tidak ditemukan singkatan atau istilah teknis dari BSu yang kemudian telah dibakukan dalam bahasa Indonesia. Sehingga menjadikan strategi terjemahan resmi tidak dipilih penerjemah dalam mengalihpesankan BSu ke dalam BSa pada teks PM.

Sebagaimana yang telah disebutkan pada Bab I sejauh pengamatan peneliti, 14 prosedur penerjemahan Newmark (1988) memiliki kesamaan fungsi dengan 10 strategi penerjemahan Suryawinata (2003) Penjelasan data yang menerapkan strategi-strategi penerjemahan tersebut adalah sebagai berikut.

A. Strategi Penerjemahan Struktural

Strategi penerjemahan jenis pertama adalah strategi penerjemahan struktural. Suryawinata (2003: 67) menjelaskan mengenai strategi penerjemahan struktural sebagai strategi yang diterapkan penerjemah berkaitan dengan struktur kalimat. Strategi ini bersifat wajib dilakukan karena kalau tidak hasil terjemahannya akan tidak berterima secara struktural di dalam BSa. Struktural yang dimaksud adalah struktur gramatikal BSa yang berlaku pada masyarakatnya. Adapun penerjemah teks PM dengan dengan menerapkan strategi ini, menyesuaikan struktur gramatikal BSu (bahasa Arab) dengan struktur gramatikal BSa (bahasa Indonesia).

(5)

Adapun pada data yang dimiliki, penerapan strategi penerjemahan struktural memiliki prosentase 24% atau sebanyak 109 kali diterapkan. Penerapan strategi struktural pada data terbagi menjadi tiga macam, yaitu (1) strategi penambahan sebanyak 9 data (1,91%), (2) strategi pengurangan sebanyak 17 data (3,60%), dan (3) strategi transposisi sebanyak 83 data (17,62%). Adapun penjelasan mengenai tiga macam strategi tersebut dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini.

1. Strategi Penambahan

Strategi penambahan adalah strategi yang menambahkan kata-kata dalam BSa karena struktur BSa menghendaki seperti itu (Suryawinata, 2003: 67-68). Pada data penelitian telah ditemukan 9 kali penerapan strategi penambahan yang dilakukan secara alamiah dengan memperhatikan struktur BSa. Adapun contoh penerapan strategi ini dapat dilihat pada data 1 berikut.

(1) BSu:

ٌ ةَدِحاَوٌَنْيِنِمْؤُمـلاٌَمْلِسٌَّنِإٌَو

Wa inna silmal-mu’mini>na wa>chidatun (Hisyam, 2006: 369). BSa:

Perdamaian dari orang-orang yang beriman adalah satu (Ahmad, 2014: 16).

Pada data 1 di atas, penerjemah menerapkan penambahan secara alamiah dalam menjelaskan kata “

ٌ ةَدِحاَو

” wa>chidatun yang berkududukan sebagai khabar charf inna (nomina penjelas partikel inna). Penambahan tersebut berupa kata keterangan “adalah” sebagai penjelas dari “

ٌ ةَدِحاَو

” wa>chidatun yang diterjemahkan secara harfiah, yaitu “satu”. Di dalam KBBI (2008: 10) kata “adalah” memiliki pengertian sebagai kata untuk menegaskan hubungan subjek dan predikat yang bersifat penjelasan. Sehingga penambahan kata “adalah” pada struktur BSa data 1 di atas merupakan bentuk penegasan yang menghubungkan “

ٌِللاٌةَّمِذ

” dzimmatu’l-La>hi sebagai ismu inna

(6)

(nomina partikel inna) dengan khabar inna (penjelas partikel inna) yaitu kata “

ٌ ةَدِحاَو

” wa>chidatun.

Ni’mah (1988: 39) menjelaskan bahwa khabar charf inna yakni setiap khabar -nomina penjelas- untuk mubtada` -nomina yang dijelaskan- dapat dimasuki charf inna wa akhawa>tuha> (partikel inna wa akhawa>tuha>) dan khabar inna selalu marfu’ (dhammah).

Adapun Cantarino (1925: 106) berpendapat bahwa kata benda klausa setelah charf inna (partikel inna) dapat ditempatkan pada awal susunan gramatika kemudian diikuti ide klausanya. Namun komponen charf inna (partikel inna) akan hilang karena pendekatan pada kata keterangan di dalam kalimat BSa. Maka dapat disimpulkan bahwa penambahan kata “adalah” pada data 1 di atas merupakan penambahan yang diperlukan penerjemah untuk menjadikan terjemahan lebih terbaca.

Penambahan kata pada teks BSa berbahasa Arab banyak terjadi pada susunan kalimat nominal atau dalam sintaksis Arab disebut “

ةيمسإٌ ةلمج

jumlah ismiyyah. Penambahan kata yang diberikan adalah sebagai bentuk penjelas dalam kalimat BSa.

Adapun penerjemah telah menerapkan penambahan pada susunan gramatika BSa teks PM berupa kata “dan, adalah, yaitu, saling”. Penerapan kata “adalah” terdiri dari 7 data. Sedangkan penerapan kata “dan”, “yaitu” dan “saling” hanya diterapkan pada satu data saja. Penambahan keempat kata ini merupakan suatu keharusan dalam teks BSa untuk terjemahan BSu yang lebih terbaca.

(7)

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah menerapkan strategi struktural-penambahan dengan mempertimbangkan kedudukan kata tersebut di dalam BSu dan BSa. Penambahan ini dilakukan sebagai bentuk keharusan dan keberterimaan makna dari segi pola penyusunan gramatikal pada BSa.

2. Strategi Pengurangan

Strategi pengurangan adalah strategi yang mengurangi elemen struktural di dalam teks BSa. Elemen struktural itu berupa kata, frasa, klausa, dan kalimat. Strategi ini pun diterapkan karena struktur BSa menghendaki adanya pengurangan elemen struktural pada BSu (Suryawinata, 2003: 68). Pada data penelitian telah ditemukan sebanyak 17 kali penerapan strategi pengurangan ini. Adapun penerapan strategi ini dapat dilihat pada data 2 berikut.

(2) BSu:

ٌِلْوُـتْقَمـلاٌٌ يِلَوٌيَضْرَـيٌْنَأٌ َّلَِّإٌِهِبٌ دَّوُـقٌٌُهَّنِإَفٌٍةَنِّـيَـبٌْنَعٌ ًلًْتَـقٌاًنِمْؤُمٌَطَبَتْعاٌِنَمٌٌُهٌَّنِإٌَو

Wa inna mani‘-tabatha mu’minan qatlan ‘an bayyinatin fa innahu quwwadun bihi illa an yardha waliyyul-maqtu>li (Hisyam, 2006: 369).

BSa:

Barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum mati atasnya, kecuali wali (keluarga yang berhak) dari si korban bersedia dan rela menerima ganti kerugian (Ahmad, 2014: 17).

Pada data 2 di atas, penerjemah telah menerapkan strategi pengurangan pada partikel “

ٌْنَأ

” an yang memiliki makna “untuk” (Al-Maurid, 2006: 106) pada frasa “

يَضْرَـيٌ ْنَأ

an yardha yang diterjemahkan menjadi “bersedia dan rela menerima ganti kerugian”. Pengurangan yang dilakukan penerjemah pada gramatika BSu adalah merupakan suatu keharusan. Hal itu

(8)

terjadi karena bila partikel “

ٌْنَأ

” an tetap diterjemahkan maka terjemahan akan menjadi kurang efisien, yaitu “wali dari si korban untuk bersedia dan rela menerima ganti rugi”. Sehingga pengurangan pada partikel “

ٌْنَأ

” an dilakukan agar informasi dalam terjemahan BSa dapat tersampaikan secara efisien.

Adapun penerjemah telah menerapkan pengurangan pada 3 partikel Arab pada teks PM ini. Partikel pertama adalah “

ٌْنَأ

” an terdiri dari satu data. Partikel kedua, yaitu “

ٌِل

li memiliki 9 data dan partikel ketiga, yaitu “

ىَلَع

” ‘ala memiliki 6 data. Pengurangan ketiga partikel tersebut dalam terjemahan bahasa Indonesia dibahas oleh Suparno (2005: 153-154) dengan berpendapat bahwa partikel Arab berupa “

ٌٌْنَأٌ،ٌىَلَعٌ،ٌ ِل

” li, ‘ala, an yang memiliki makna bersama berupa “untuk, bagi, kepada, dan atas” adalah merupakan partikel Arab yang dipakai untuk suatu penegasan tujuan. Namun penerapan ketiga macam partikel ini dapat dihapus pada terjemahannya.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah dalam menerapkan strategi struktural-pengurangan memiliki pertimbangan dalam penyusunan gramatika BSa. Pengurangan yang terjadi menjadi suatu keharusan karena keberadaan kata yang dikurangi tersebut tidak memiliki andil besar jika tetap diterjemahkan dalam teks BSa.

3. Strategi Transposisi

Strategi ini menjadikan penerjemah mengubah struktur asli BSu di dalam kalimat BSa untuk mencapai efek yang padan. Tipe pertama, yaitu perubahan dari bentuk jamak menjadi bentuk tunggal. Sedangkan tipe kedua, yaitu pergeseran bentuk yang diperlukan ketika struktur gramatika teks BSu tidak sesuai pada teks BSa. Tipe kedua ini dapat berupa pergeseran pada

(9)

posisi kata sifat atau pada pengubahan kalimat secara keseluruhan (Newmark, 1988: 85; Suryawinata, 2003: 68). Pada data telah ditemukan sebanyak 83 data yang menggunakan strategi ini.

a. Transposisi Bentuk Jamak Menjadi Bentuk Tunggal

Strategi transposisi bentuk tunggal menjadi bentuk jamak diterapkan penerjemah dalam menerjemahkan teks PM, seperti pada contoh data 3 berikut ini.

(3) BSu:

ٌِّرِبلاٌَعَمٌ،ِةَفْـيِحَّصلاٌِهِذَهٌِلْهَِلأٌاَمٌِلْثِمٌىَلَعٌ،ْمِهِسُفْـنَأٌَوٌْمِهْيِلاَوَمٌ،ِسْوَلأاٌَدْوُهَـيٌَّنِإٌَو

ٌِةَفْـيِحَّصلاٌِهِذَهٌِلْهَأٌْنِمٌِنِسْحُمـلا

Wa inna Yahu>dal-Ausi mawa>li>him wa anfusihim ‘ala mitsli ma> li ahli hadzihi’sh-shachi>fati ma‘al-birril-muchsini min ahli hadzihi’sh-shaci>fati (Hisyam, 2006: 370).

BSa:

Kaum Yahudi dari Aus dan segala sekutu serta simpatisan mereka mempunyai kewajiban yang sama dengan segala peserta piagam untuk kebaikan (perdamaian) itu (Ahmad, 2014: 24).

Pada data 3 di atas, penerjemah telah menerapkan strategi transposisi pada tiga bagian. Bagian pertama, “

مِهِسُفْـنَأٌ َوٌ ْمِهْيِلاَوَمٌ ِسْوَلأاٌ َدْوُهَـيٌ َّنِإ

ٌ

” inna Yahu>dal-Ausi mawa>li>him wa anfusihim yang diterjemahkan menjadi “kaum Yahudi dari Aus dan segala sekutu serta simpatisan mereka”. Pada bagian ini telah terjadi pergeseran pada bentuk frasa “

ٌْمِهْيِلاَوَم

” mawa>li>him dan “

ٌْمه

سُفْـنَأ

” anfusuhum. Dalam kamus Al-Munawwir (1977: 1583) kata “

ٌَيلاَوَم

” mawa>liya adalah bentuk jamak dari “

ىلوم

” maula> memiliki makna “tuan/ hamba/ pengikut”. Adapun kata “

ٌُسُفْـنَأ

” anfusu adalah bentuk jamak dari “

سفن

” nafsun yang dalam kamus Al-Munawwir (1977: 1446) memiliki makna “jiwa/ ruh”. Kedua frasa ini diterjemahkan dengan menggeser bentuk jamak menjadi bentuk tunggal, yaitu “segala sekutu” dan “simpatisan mereka”.

(10)

Selain transposisi bentuk jamak menjadi bentuk tunggal, pada data 3 di atas juga terdapat transposisi tipe kedua. Transposisi tipe kedua ini mengubah struktur BSu yang tidak sesuai dengan struktur BSa. seperti pada frasa “

ٌِةَفْـيِحَّصلاٌِهِذَهٌ ِلْهَِلأٌاَمٌ ِلْثِمٌىَلَع

ٌ

” ala mitsli ma> li ahli hadzihi’sh-shachi>fati yang diterjemahkan menjadi “mempunyai kewajiban yang sama dengan segala peserta piagam”. Pada bagian ini, telah terjadi pergeseran bentuk frasa nomina ke dalam verba adjektiva, yaitu “

اَمٌ ِلْثِمٌىَلَع

‘ala mitsli ma> menjadi “mempunyai kewajiban yang sama”. Apabila komponen frasa nomina tersebut dipecah, maka akan didapat dua partikel dan satu nomina. Dua partikel berupa “

ىَلَع

” ‘ala yang memiliki arti “di atas” dan “

اَم

” ma> yang memiliki arti “apa, apapun”. Satu nomina tersebut berupa “

لْثِم

mitslu yang memiliki arti “seperti”. Apabila diterjemahkan secara harfiah, maka ketiga komponen tersebut memiliki arti yang rancu, yaitu “di atas seperti apapun”. Sehingga penerjemah menerapkan pergeseran bentuk BSu dengan mengubahnya menjadi “mempunyai kewajiban yang sama”.

Selanjutnya transposisi pada frasa “

ٌِةَفْـيِحَّصلاٌِهِذَهٌ ِلْهَأٌ ْنِمٌِنِسْحُمـلاٌ ِّرِبلاٌَعَم

” ma‘al-birril-muchsini min ahli hadzihi’sh-shaci>fati yang diterjemahkan menjadi “untuk kebaikan (perdamaian) itu”. Pada bagian ini, telah terjadi penghapusan dalam teks BSu yang tidak diterjemahkan ke dalam BSa. Penghapusan itu dilakukan pada “

ٌِةَفْـيِحَّصلاٌِهِذَه

ٌ

لْهَأ

” ahlu hadzihi’sh-shaci>fati dan “

نِسْحُمـلا

” al-muchsinu, sehingga terjadi pergeseran bentuk pada BSa. Pergeseran bentuk itu terjadi pada klausa “

ٌِنِسْحُمـلاٌ ٌِّرِبلاٌ َعَم

” ma‘al-birril-muchsini yang terjemahannya lebih dikhususkan pada kata “

ٌ ربلا

al-birru sehingga menjadi bentuk nomina “kebaikan (perdamaian)”.

(11)

b. Transposisi Struktur BSu yang Tidak Sesuai dengan Struktur BSa

Tipe kedua dari strategi transposisi adalah mengubah struktur BSu yang tidak sesuai dengan struktur BSa. Penerjemah teks PM menggunakan transposisi tipe dua ini dengan mengubah elemen struktural berupa kalimat, klausa, dan frasa. Contoh data yang menggunakan strategi transposisi tipe dua ini dapat dilihat pada data 4 berikut.

(4) BSu:

ٌِهِذَهٌيِفٌاَمٌىَقْـتَأٌىَلَعٌَللاٌَّنِإٌَو

ه رَـبَأٌَوٌِةَفْـيِحَّصلا

Wa inna’l-La>ha ‘ala atqa ma> fi hadzihi’sh-shachi>fati wa abarrihi (Hisyam, 2006: 370).

BSa:

Allah berpegang teguh kepada piagam ini dan orang-orang yang setia padanya (Ahmad, 2014: 23).

Pada data 4 di atas, penerjemah telah menerapkan pergeseran bentuk pada frasa “

ىَقْـتَأٌ ىَلَع

” ‘ala atqa yang diterjemahkan menjadi “berpegang teguh” dengan menjadikan “Allah” sebagai subjek dari ism tafhdil/ nomina superlatif “

ىَقْـتَأ

” atqa. Pada susunan gramatika BSu dalam data 4 di atas, kedudukan nomina “

ٌَللا

” Alla>hu adalah sebagai ismu inna (nomina partikel inna) yang menjadikan klausa “

ٌُهَّرَـبَأٌَوٌِةَفْـيِحَّصلاٌِهِذَهٌيِفٌاَمٌىَقْـتَأٌىَلَع

” ‘ala atqa ma> fi hadzihi’sh-shachi>fati wa abarrahu sebagai khabar inna (penjelas partikel inna). Maka apabila pergeseran bentuk pada data ini menyandarkan subjek dari frasa “

ىَقْـتَأٌ ىَلَع

”‘ala atqa kepada nomina “

ٌَللا

” Alla>hu akan tidak berterima. Hal itu karena ism tafhdil/ nomina superlatif “

ىَقْـتَأ

” atqa ditujukan kepada

ةفيحصلاٌلهأ

ahlu a‘sh-shachiifati –orang-orang yang termasuk dalam piagam perjanjian ini. Sehingga pergeseran bentuk dari verba aktif menjadi bentuk nomina adalah kurang tepat karena menjadikan subjek pada data 4 di

(12)

-atas kembali pada “Allah” yang merupakan ismu inna (nomina partikel inna) bukan termasuk dalam khabar inna (penjelas partikel inna).

Adapun bentuk pergeseran lain adalah pada bentuk ism tafhdil/ nomina superlatif pada klausa “

ٌ رَـبه

ٌَأ

abarruhu yang diterjemahkan menjadi “orang-orang yang setia padanya”. Klausa ini sama seperti ism tafhdil/ nomina superlatif “

ىَقْـتَأ

” atqa yang ditujukan kepada

ةفيحصلاٌلهأ

ahlu a‘sh-shachiifati –orang-orang yang termasuk dalam piagam perjanjian ini.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam menerapkan strategi tranposisi, penerjemah memperhitungkan keadaan gramatika BSa. Pergeseran tersebut lebih mementingkan keberterimaan dan kesesuaian struktural pada BSa. Sehingga membuat penerjemah menerapkan pergeseran bentuk struktural BSu untuk disepadankan pada bentuk struktural BSa supaya hasil terjemahan tidak kaku. Akan tetapi, peneliti menemukan bentuk transposisi yang kurang tepat dalam terjemahan teks PM ini seperti pada contoh data 4 di atas.

B. Strategi Penerjemahan Semantis

Strategi penerjemahan jenis kedua adalah strategi penerjemahan semantis. Suryawinata (2003: 70) menjelaskan mengenai strategi penerjemahan semantis sebagai strategi yang berkaitan dengan makna kata atau kalimat yang sedang diterjemahkan. Penerapan strategi ini merupakan pertimbangan dari penerjemah dalam membawa kata atau kalimat BSu ke dalam BSa.

Di dalam menerjemahkan teks PM, penerjemah juga mempertimbangkan sisi semantis teks BSa (bahasa Indonesia) dengan menerapkan strategi penerjemahan semantis ini.

(13)

Adapun pada data yang dimiliki, penerapan strategi penerjemahan semantis memiliki prosentase hingga 76% atau diterapkan sebanyak 349 kali. Penerapan strategi semantis pada data terbagi menjadi 9 bagian, yaitu (1) strategi pungutan atau prosedur naturalization (naturalisasi) dan transference (transferensi) sebanyak 44 data (9,34%), (2) strategi padanan budaya atau prosedur cultural equivalent (padanan budaya) dan translation label (terjemahan label) sebanyak 14 data (2,97%), (3) strategi padanan deskriptif dan analisis komponensial atau prosedur descriptive equivalent (padanan deskriptif) dan componential analysis (analisis komponensial) sebanyak 37 data (7,85%), (4) strategi sinonim atau prosedur synonym (sinonim) dan functional equivalent (padanan fungsi) sebanyak 36 data (7,64%), (5) strategi terjemahan resmi atau prosedur recognized translation (terjemahan resmi) sebanyak 0 data (0%), (6) strategi penyusutan dan perluasan atau prosedur reduction and expansion (penyusutan dan perluasan) sebanyak 53 data (11,25%), (7) strategi penambahan atau prosedur notes, addition, and glosses (catatan, penambahan, dan pengurangan) dan paraprhrase (parafrase) sebanyak 83 data (17,62%), (8) strategi pengurangan atau prosedur notes, addition, and glosses (catatan, penambahan, dan pengurangan) dan compensation (kompensasi) sebanyak 81 data (17,19%), dan (9) strategi modulasi atau prosedur modulation (modulasi) sebanyak 1 data (0,21%). Adapun penjelasan mengenai sembilan bagian tersebut dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini.

1. Strategi Pungutan

Strategi pungutan atau prosedur naturalisasi adalah strategi penerjemahan yang membawa kata BSu ke dalam teks BSa. Strategi ini

(14)

adalah usaha menstranfer pesan BSu dengan mengadopsi kata BSu untuk dirubah menjadi bentuk kata yang padan pada BSa (Newmark, 1988: 82; Suryawinata, 2003: 70).

Suryawinata (2003: 71) menambahkan bahwa strategi pungutan dapat mencakup transliterasi dan naturalisasi. Transliterasi yang dimaksud adalah strategi penerjemahan yang mempertahankan kata BSu secara utuh, baik bunyi maupun tulisan. Sedangkan naturalisasi adalah kelanjutan dari transliterasi yang menjadikan pungutan kata BSu tersebut disesuaikan pengucapan dan penulisannya dengan aturan bahasa BSa.

Adapun pungutan yang terjadi adalah pada tingkatan kata atau frasa yang berhubungan dengan nama orang, nama tempat, nama majalah, nama koran, nama jurnal, nama gelar, nama lembaga, dan istilah-istilah pengetahuan yang belum ada di BSu (Newmark, 1988: 82; Suryawinata, 2003: 71). Sehingga menjadikan strategi pungutan ini pun dapat dikatakan sebagai prosedur transferensi karena mencoba mentransferensi kata pada BSu dengan tetap mempertahankan budaya negeri –tempat asal– BSu sebagai bentuk penghargaan terhadap kata BSu tersebut. Sebagaimana yang diterapkan penerjemah dengan menggunakan strategi pungutan pada teks PM. Adapun penerapan strategi pungutan ini dapat dilihat pada data 5 berikut.

(5) BSu:

ٌَهٌَذ

ٌِكٌا

ٌَت

ٌ با

ٌٌِم

ٌْنٌ

ٌُمـ

ٌَح

ٌَّم

ٌٍدٌ

ٌَّنلا

ٌِب

ٌ يٌ

ٌَص

ٌَّل

ٌُللاٌى

ٌٌَع

ٌَلٌْيٌِه

ٌٌَوٌ

ٌَسٌَّل

ٌَم،

ٌٌَـبٌْي

ٌَنٌ

لاـ

ٌُمٌْؤ

ٌِمٌِنٌْي

ٌَنٌ

ٌَولاـ

ٌُم

ٌْسٌِل

ٌِمٌْي

ٌَنٌ

ٌِم

ٌْنٌ

ٌُـقٌَرٌْي

ٌٍش

ٌ

ٌَوٌ

ٌَـيٌْثٌِر

ٌَب

،ٌ

ٌَوٌَم

ٌْنٌ

ٌَتٌِبٌَع

ٌُهٌْم

،ٌ

ٌَـفٌَل

ٌِح

ٌِبٌق

ٌِه

ٌْم،

ٌٌَوٌ

ٌَج

ٌَها

ٌَدٌ

ٌَمٌَع

ٌُهٌْم

،

Hadza> kita>bun min Muchammadin a’n-nabiyya Shalla’l-La>hu ‘alaihi wa Sallama baina al-mu>’mini>na wa al-muslimi>na min Quraisyin wa Yatsribin wa man tabi‘ahum falachiqa bihim wa ja>hada ma‘ahum (Hisyam, 2006: 368).

(15)

BSa:

Inilah piagam tertulis dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dikalangan orang-orang yang beriman dan memeluk Islam(yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka, mempersatukan diri dan berjuang bersama mereka (Ahmad, 2014: 12).

Pada data 5 di atas, penerjemah telah menerapkan strategi pungutan pada 4 bagian. Pungutan atau naturalisasi yang dilakukan adalah naturalisasi pada nama orang, yakni nama seorang nabi, yaitu “

ٌ دَّمَحُم

” Muhachammadun yang diterjemahkan menjadi “Muhammad”. Kedua, naturalisasi pada nama kabilah, yakni “

ش

ٌُـقٌَرٌْي

Quraisyun yang diterjemahkan menjadi “Quraisy”. Ketiga, naturalisasi pada nama tempat “

ٌَب

ٌَـيٌْثٌِر

Yatsriba yang diterjemahkan menjadi “Yatsrib”. Keempat, naturalisasi pada gelar seseorang, yaitu “

ٌَم

ٌَسٌَّل

ٌ

ٌٌَو

ٌَلٌْيٌِه

ٌٌَع

ٌُللاٌ ى

ٌَّل

ٌَص

” Shalla’l-La>hu ‘alaihi wa Sallama yang diterjemahkan menjadi “Shallallahu Alaihi wa Sallam” dan “

ٌ ي

ٌِب

ٌَّنلا

a’n-nabiyyu yang diterjemahkan menjadi “Nabi”.

Keempat bagian BSu yang telah diterjemahkan sesuai aslinya ini merupakan terjemahan istilah budaya yang bisa dicek keberterimaannya di dalam masyarakat BSa. Sebagaimana pada pungutan gelar Nabi Muhammad, yaitu “Shallallahu Alaihi wa Sallam” telah lama melesap menjadi istilah budaya di masyarakat BSa (masyarakat Indonesia) dengan singkatan “Saw”. Begitu pula dengan pungutan pada nama seseorang, nama kabilah, dan nama tempat yang merupakan pungutan lazim dalam masyarakat BSa. Ketiga jenis pungutan ini sudah termasuk pada terjemahan pungutan yang secara alamiah terjadi karena padanan BSa (bahasa Indonesia) membolehkan adanya terjemahan pungutan tanpa perlu dirubah lagi.

(16)

Pungutan kata BSu ke dalam BSa pada teks PM terjadi pada 3 jenis pungutan. Jenis pertama, yakni pungutan pada nama seseorang atau kabilah. Pada jenis pertama ini terdapat sebanyak 17 macam pungutan yang dilakukan secara berulang, yaitu pada kata “

ٌ ِللا

(Allah),

ٌٍش

ٌُـقٌَرٌْي

(Quraisy),

ٌ دَّمَحُم

(Muhammad),

ٌٍفْوَعٌ ْوُـنَـب

(Bani Auf),

ٌٍةَدِعاَسٌ ْوُـنَـب

(Banu Sa’idah),

ٌِثِراَحلاٌ ْوُـنَـب

(Bani Al-Harts),

ٌْمَشُجٌ ْوُـنَـب

(Bani Jusyam),

ٌِراَّجَّنلاٌ ْوُـنَـب

(Bani Najjar),

ٌِتْيِبَّنلاٌْوُـنَـب

(Bani An-Nabit),

ٌٍفْوَعٌ ْنِبٌ ْوُرْمَع

(Bani Amr bin Auf),

ٌِسْوَلأاٌ ْوُـنَـب

(Bani Al-Aus),

ٌَدْوُهَـي

(Yahudi),

ٌَةَنْفَج

(Jafnah),

ٌَةَبَلْعَـث

(Tsa’labah), dan

ٌِةَبْيَط شلاٌيِنَب

(Bani Syuthaibah),

ٌَنْوُرِجاَهُمـلا

(Muhajirin), dan

ٌَنْيِمِلْسُمـلا

(Muslimin)”.

Jenis kedua, yakni pungutan pada gelar atau sebutan. Pada jenis pungutan ini, terdapat sebanyak 8 macam pungutan pada beberapa data. Sebelas macam kata pungutan tersebut adalah “

ٌَم

ٌَسٌَّل

ٌ

ٌٌَو

ٌَلٌْيٌِه

ٌٌَع

ٌُللاٌى

ٌَّل

ٌَص

(

Shallallahu Alaihi wa Sallam),

ٌِّي

ٌِب

ٌَّنلا

(Nabi),

اًرِفاَك

(seorang yang kafir),

ٌ كِرْشُم

(musyrik),

ٌ يِلَو

(wali),

ٌِرِخلآاٌ ِمْوَـيلا

(Hari Akhir),

ٌِةَماَيِقلاٌَمْوَـي

(Hari Kiamat),dan

ٌٍمِـلاَظ

: orang-orang yang zalim”. Adapun jenis ketiga, yakni pungutan pada nama tempat yang hanya terdapat satu macam. Nama tempat tersebut adalah “

ٌَب

ٌَـيٌْثٌِر

(Yatsrib)”.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah menerapkan strategi pungutan pada tiga jenis bagian di dalam menerjemahkan teks PM. Strategi pungutan ini dilakukan untuk mendapatkan terjemahan yang natural karena bertepatan dengan gelar atau sebutan seseorang, nama seseorang atau kabilah, dan nama tempat.

2. Strategi Padanan Budaya

Strategi padanan budaya adalah strategi yang diterapkan penerjemah dengan menggunakan kata budaya dalam BSa untuk mengganti kata budaya

(17)

dalam BSu. Hal ini disebabkan karena budaya dari suatu bahasa dengan budaya dari bahasa yang lain memungkinkan adanya perbedaan makna. (Newmark, 1988: 83; Suryawinata, 2003: 72). Adapun contoh penerapan dapat dilihat pada data 6 berikut.

(6) BSu:

ٌْيِدْفُـتٌٍةَفِئاَطٌ لُكٌَو

ٌَـيِناَع

ٌَنْيِنِمْؤُمـلاٌَنْيَـبٌِطْسِقلاٌَوٌ ِفْوُرْعَمـلاِبٌاَه

Wa kullu tha>i’fatin tufdi> ‘a>niyaha> bil-ma’ru>fi wa qisthi baina al-mu’mini>na (Hisyam, 2006: 368).

BSa:

Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama uang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang yang beriman (Ahmad, 2014: 13).

Pada data 6 di atas, penerjemah telah menerapkan strategi padanan budaya dalam menerjemahkan kata “

ةَفِئاَط

” tha>ifatun yang diterjemahkan menjadi “keluarga”. Kata “

ةَفِئاَط

” tha>ifatun merupakan istilah prosedural yang dipilih oleh Nabi Muhammad Saw dalam teks PM yang merujuk pada kelompok masyarakat yang tinggal di kota Madinah. Sebagaimana Newmark (1988: 99) menjelaskan bahwa Organisations, Customs, Activities, Procedures, and Concepts (Organisasi, Adat-istiadat, Aktivitas, Prosedur, dan Konsep) termasuk dalam pembagian kata yang berkonotasi budaya yang dapat dilihat dari pemakaiannya pada teks BSu.

Pada kamus Al-Munawwir (1997: 872) arti dari “

ةَفِئاَط

” tha>ifatun memiliki makna “kelompok orang”. Penerjemah menerapkan penyepadanan istilah budaya “

ةَفِئاَط

” tha>ifatun pada BSu dengan diterjemahkan menjadi “keluarga”. Namun usaha penyepadanan istilah budaya yang dilakukan menjadi kurang berterima karena sesungguhnya teks BSu ini berupa teks piagam perjanjian yang berarti perjanjian antara satu atau dua kelompok atau

(18)

perseorangan. Sedangkan pada teks-teks BSu sebelumnya telah disebutkan beberapa kabilah yang ikut dalam perjanjian PM ini. Maka alangkah baiknya untuk menerjemahkan kata “

ةَفِئا

ٌَط

” tha>ifatun tetap menjadi “kabilah”.

Dari keempat belas data yang menggunakan strategi padanan budaya ini, penerjemah menerapkan padanan pada 3 istilah budaya BSu. Empat istilah BSu itu adalah “

ٌ ةَفِئاَط

(keluarga/tha>ifah),

ٌِللا

ٌ

ٌُةَّمِذ

(jaminan Allah),

ٌِللا

ٌ

ٌُلْوُسَر

(utusannya/ pesuruh Allah).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah menerapkan strategi padanan budaya dengan menyepadankan tiga istilah budaya BSu yang terdapat pada teks PM. Adapaun istilah budaya yang terdapat pada teks PM ini bersifat prosedural.

3. Strategi Padanan Deskriptif dan Strategi Analisis Komponensial

Strategi padanan deskriptif adalah strategi yang dilakukan penerjemah untuk mendeskripsikan makna atau fungsi dari kata BSu. Deskripsi dan fungsi adalah dua bagian yang amat perlu penjelasan, terlebih pada penerjemahan. Dan strategi ini biasanya memiliki glosarium atau catatan kaki sebagai penjelasan lebih lanjut terkait kata BSu yang dipungut (Newmark, 1988: 83-84; Suryawinata, 2003: 73). Pada data telah ditemukan sebanyak 14 data yang menggunakan strategi ini. Adapun contoh penerapan strategi ini dapat dilihat pada data 7 berikut.

(7) BSu:

ٌٍشْيَرُـقٌْنِمٌَنْوُرِجاَهُمـلا

ٌ

ٌَـقاَعَـتَـيٌْمِهِتَعْـبَرٌىَلَع

ٌ ِفوُرْعَمـلاِبٌْمُهَـيِناَعٌَنْوُدْفُـيٌْمُهٌَوٌ،ْمُهَـنْـيَـبٌَنْوُل

،َنْيِنِمْؤُمـلاٌَنْيَـبٌِطْسِقلاٌَو

al-Muha>jiru>na min Quraisyin ‘ala rab‘atihim yata‘a>qalu>na bainahum, wa hum yufdu>na ‘a>niyahum bil-ma‘ru>fi wal-qisthi bainal-mu’mini>na (Hisyam, 2006: 368).

(19)

KaumMuhajirin dari Quraisy tetap mempunyai hak asli (former condition) mereka; yaitu saling tanggung-menanggung membayar dan menerima uang tebusan darah (diyat) di antara mereka (karena suatu pembunuhan), dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang beriman (Ahmad, 2014: 12).

Pada data 7 di atas, penerjemah telah menerapkan strategi padanan deskriptif dalam menjelaskan frasa “

ٌْمه

تَعْـبَر

rab‘atuhum yang diterjemahkan menjadi “hak asli (former condition) mereka” dan frasa “

ٌْمُهَـيِناَع

”‘a>niyahum yang diterjemahkan menjadi “uang tebusan darah (diyat)”. Penerjemah menerapkan penjabaran atau deskripsi singkat pada BSa. Deskripsi dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat BSa mengenai istilah asing yang terpakai pada BSu. Frasa “

ٌْمه

تَعْـبَر

ٌ

” rab‘atuhum diambil dari kata dasar “

ٌُة

ٌَعْـبَر

ٌ

rab‘atun dalam Al-Munawwir (1997: 467) memiliki makna harfiah “kotak/ rumah”. Sedangkan frasa “

ٌْمُهَـيِناَع

ٌ

”‘a>niyahum diambil dari kata dasar “

ٌَيِناَع

ٌ

”‘a>niya dalam Al-Munawwir (1997: 980) memiliki makna harfiah “tawanan/ darah yang mengalir”.

Kedua istilah BSu tersebut dipadankan dalam BSa dengan cara mendeskripsikan istilah BSu dengan penjelasan singkat. Dalam hal ini, penerjemah mendeskripsikan istilah BSu secara langsung yakni di dalam kalimat tanpa membuat footnote/ catatan kaki. Lalu setelah penerjemah mendeskripsikannya, ia memberikan istilah asing sesuai dengan pungutan dari istilah BSu tersebut. Sebagaimana pada contoh lain pada istilah “

ىلولأاٌ مهلق

اعم

” ma‘aqiluhumul-’u>la> yang diterjemahkan menjadi “uang tebusan darah (diyat)” (Ahmad, 2014: 13). Penerjemah memberikan pungutan istilah BSu setelah menjabarkan maksud dari istilah tersebut.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa deskripsi atau penjabaran yang diberikan penerjemah pada beberapa istilah budaya BSu

(20)

dilakukan berdasarkan versi penerjemah. Hal ini terjadi karena penerjemah memiliki pengetahuan lebih mengenai maksud pesan BSu pada teks PM ini.

Strategi kedua, strategi analisis komponensial adalah strategi yang memisahkan unit leksikal menjadi jenis komponen-komponen terkecilnya, bisa saja satu menjadi dua, tiga, atau empat macam terjemahan. (Newmark, 1988: 90; Suryawinata, 2003: 73). Adapun contoh dapat dilihat pada data 8 berikut. Pada data telah ditemukan sebanyak 23 data yang menggunakan strategi ini. Penerapan strategi ini dapat dilihat pada contoh data berikut.

(8) BSu:

ٌَّنِإٌَو

ٌُهٌ

ٌُهَّنِإَفٌٍةَنِّـيَـبٌْنَعٌ ًلًْتَـقٌاًنِمْؤُمٌَطَبَتْعاٌِنَم

ٌ

ٌ يِلَوٌيَضْرَـيٌْنَأٌ َّلَِّإٌِهِبٌ دَّوُـق

ٌ

ٌِلْوُـتْقَمـلا

Wa inna mani‘-tabatha mu’minan qatlan ‘an bayyinatin fa innahu quwwadun bihi illa an yardha (Hisyam, 2006: 369).

BSa:

Barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum mati atasnya, kecuali wali (keluarga yang berhak) dari si korban bersedia dan rela menerima ganti kerugian (Ahmad, 2014: 17).

Pada data 8 di atas, penerjemah telah menerapkan strategi analisis komponensial pada dua tempat. Pertama adalah pada fi‘il mudha>ri‘ (verba yang menyatakan sedang berlangsung) “

يَضْرَـي

” yardha yang diterjemahkan menjadi “bersedia dan rela menerima ganti kerugian”. Verba “

يَضْرَـي

” yardha yang berasal dari kata “

ىَضْرَـي

ٌ

-

ٌ َيِضَر

” radhiya -yardha bermakna “senang, suka, dan rela” (Al-Munawwir , 1997: 505).

Pada data 8 di atas, penerjemah memecah komponen verba “

يَضْرَـي

” yardha dengan beberapa komponen lain dalam BSa. Dalam hal ini, penerjemah menambahkan kata “bersedia” dan keterangan “menerima ganti rugi”. Kata “bersedia” sebagai bentuk kata yang sejenis dengan maksud verba

(21)

يَضْرَـي

” yardha yakni “rela/ bersedia”. Adapun keterangan “menerima ganti rugi” merupakan penjelas dari tujuan “rela dan bersedia” di dalam pesan BSu.

Kedua adalah pada frasa

“هِبٌ دَّوُـق”

quwwadun bihi yang diterjemahkan dengan bentuk penjabaran makna menjadi “harus dihukum mati atasnya”. Bila melihat arti harfiah dalam kamus Al-Munawwir (1997: 1169) dari kata

“دَّوُـق

quwwadun adalah “tuntutan”. Namun nomina tersebut disepadankan dengan “hukuman mati” sebagaimana penjelasan yang diberikan penerjemah pada data 8 di atas.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah dalam menerapkan strategi analisis komponensial juga menerapkan penambahan makna dalam BSa. Sebagaimana yang diterapkan pada verba “

يَضْرَـي

” yardha. Selain itu, tambahan komponen makna dalam BSa yang diterapkan penerjemah dalam teks PM ini adalah dengan menyepadankan komponen lain sebagai pengganti lalu menambahkan makna setelahnya. Sebagaimana yang diterapkan pada frasa

“هِبٌ دَّوُـق”

quwwadun bihi.

4. Strategi Sinonim

Strategi sinonim adalah strategi yang diterapkan penerjemah sebagai pengganti strategi analisis komponensial yang dirasa mengganggu alur kalimat BSa. Strategi ini memberikan pendekatan pada terjemahan kata BSu akan tetapi tidak sempurna (Newmark, 1988: 84; Suryawinata, 2003: 73).

Adapun strategi sinonim ini memiliki kesamaan fungsi dengan prosedur padanan fungsional, yaitu penerjemah menerjemahkan kata pada BSu dengan padanan yang fungsional/ sesuai kegunaannya –kata yang memiliki makna sama. (Newmark, 1988: 83). Pada data telah ditemukan

(22)

sebanyak 36 data yang menggunakan strategi ini. Adapun penerapan itu dapat dilihat pada pembahasaan di data 9 berikut ini.

(9) BSu:

ٌْهَأٌَنْيَـبٌَناَكٌاَمٌُهَّنِإٌَو

ٌَيٌٍراَجِتْشاٌِوَأٌ ٍثَدَحٌْنِمٌِةَفْـيِحَّصلاٌِهِذَهٌِل

ٌىَلِإٌُهَّدَرَمٌَّنِإَفٌ،ُهَداَسَفٌُفاَخ

ٌَوٌَّزَعٌِللا

ٌ

ٌَمَّلَسٌَوٌِهْيَلَعٌللاٌىَّلَصٌِللاٌ ِلْوُسَرٌٍدَّمَحُمٌىَلِإٌَوٌ،َّلَج

Wa innahu ma> ka>na baina ahli hadzihi’sh-shachi>fati min chadatsin awisytija>rin yakha>fu fasa>dahu, fa inna maraddahu ila’l-La>hi ‘Azza wa Jalla wa ila Muchammadin Rasu>lu’l-La>hi Shalla’l-La>hu ‘alaihi wa Sallam (Hisyam, 2006: 370).

BSa:

Setiap kali terjadi suatu peristiwa di antara peserta piagam ini, atau terjadi pertengkaran, harus segera dilaporkan dan diserahkan penyelesaiannya menurut (hukum) Allah dan (kebijaksanaan) utusannya Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam (Ahmad, 2014: 22).

Pada data 9 di atas, penerjemah menerapkan sinkronisasi pada tiga bentuk nomina dalam BSu. Bentuk pertama adalah kata “

راَجِتْشا

” isytija>ru yang diterjemahkan sebagai “pertengkaran”. Di dalam kamus Al-Munawwir (1997: 694), kata “

راَجِتْشا

” isytija>ru dari asal kata “

ٌُرِجَتْشَي

ٌ

-

ٌَرَجَتْشِا

” isytajara-yasytajiru yang bermakna “Maju ke depan”. Bentuk kedua adalah kata “

ةَفْـيِحَّصلا

” a’sh-shachi>fatu yang diterjemahkan menjadi “piagam”. Di dalam kamus Al-Munawwir (1997: 765), kata “

ةَفْـيِحَّصلا

” a’sh-shachi>fatu bermakna “Lembaran”. Adapun bentuk ketiga adalah kata “

لْهَأ

” ahlu yang diterjemahkan menjadi “peserta”. Di dalam kamus Al-Munawwir (1997: 46) kata “

لْهَأ

” ahlu bermakna “keluarga”.

Penerjemah telah menerapkan pendekatan kata BSu dengan kata BSa yang memiliki makna yang hampir mendekati. Dalam ketiga bentuk yang sudah disebutkan di atas, penerjemah tidak menggunakan arti leksikal dari dalam kamus BSa. Akan tetapi penerjemah menerapkan padanan fungsional yang mendekati maksud penulis BSu agar pesan tersampaikan dengan baik.

(23)

Adapun Newmark (1988: 84) menegaskan bahwa sinonim adalah menerapkan suatu pertimbangan dengan memperhatikan tiap bagian pada teks BSu yang akan diterjemahkan.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebelum penerjemah menerapkan strategi sinonim ini, ia sudah lebih dahulu mengetahui makna leksikal di dalam kamus BSa. Kemudian penerjemah menerapkan pertimbangan antara menggunakan makna leksikal atau menggantinya dengan makna lain yang mendekati maksud pesan BSu. Dalam hal ini, penerjemah mengambil langkah dengan memilih makna lain yang mendekati pesan BSu dengan tujuan untuk memahamkan pembaca terkait kata yang ia terjemahkan tanpa perlu penjabaran lebih lanjut terkait kata tersebut.

5. Strategi Terjemahan Resmi

Strategi terjemahan resmi (Recognized Translation) adalah strategi yang menerjemahkan teks BSu dengan melihat kebakuan yang ada pada teks BSa. Apabila teks BSa berupa bahasa Indonesia, penerjemah dapat melihat kebakuan bahasa pada “Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing” yang dikeluarkan oleh Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Depdikbud R.I (Suryawinata, 2003: 74) dan atau dapat mengecek secara online di www.kateglo.com., yang berisikan data lengkap kata baku bahasa Indonesia.

Pada data penelitian, tidak ditemukan data dengan kualifikasi sesuai dengan strategi terjemahan resmi. Hal ini menunjukkan bahwa strategi terjemahan resmi tidak dipakai oleh penerjemah dalam menerjemahkan teks PM. Di dalam teks PM pun tidak ditemukan singkatan atau istilah teknis dari

(24)

BSu yang kemudian telah dibakukan dalam bahasa Indonesia. Sehingga menjadikan strategi terjemahan resmi tidak dipilih penerjemah dalam mengalihpesankan BSu ke dalam BSa pada teks PM.

6. Strategi Penyusutan dan Strategi Perluasan

Newmark (1988: 90) dan Suryawinata (2003: 74) menjelaskan bahwa di dalam menerjemahkan, penerjemah dapat melakukan strategi penyusutan (Reduction) dan strategi perluasan (expansion) terhadap kata BSu. Strategi penyusutan (Reduction) adalah strategi yang berusaha menyusutkan komponen kata BSu. Sedangkan strategi perluasan (expansion) adalah strategi yang memperluas kata BSu di dalam BSa. Pada data telah ditemukan sebanyak 2 data yang menggunakan strategi penyusutan dan 51 data yang menggunakan strategi perluasan. Adapun data yang menggunakan strategi penyusutan dapat dilihat pada contoh data 10 berikut.

(10) BSu:

ٌِهِمَوْـقَأٌَوٌٍيْدَهٌِنَسْحَأٌىَلَعٌَنْيِقَّتُمـلاٌَنْيِنِمْؤُمـلاٌَّنِإٌَو

Wa innal-mu’mini>nal-muttaqi>na ‘ala achsani hadyin wa aqwamihi (Hisyam, 2006: 369).

BSa:

Setiap orang beriman yang bertakwa harus berteguh hati atas jalan yang baik dan kuat (Ahmad, 2014: 17).

Pada data 10 di atas, penerjemah menerapkan strategi penyusutan pada frasa adjektiva “

ٌَنْيِقَّتُمـلاٌ َنْيِنِمْؤُمـلا

” /al-mu’mini>nal-muttaqi>na/ yang diterjemahkan menjadi “Orang beriman yang bertakwa”. Pola frasa adjektiva dalam bahasa Arab disebut sebagai “

تعنٌوٌتوعنم

” man‘u>t wa na‘tun “yang disifati dan mensifati”. Nomina pertama “

ٌَنْيِنِمْؤُمـلا

” al-mu’mini>na merupakan man‘u>t (yang disifati) sedangkan nomina kedua “

ٌَنْيِقَّتُمـلا

” al-muttaqi>na merupakan na‘tun (sifat) yaitu yang mensifati nomina pertama. Apabila

(25)

diterjemahkan secara terpisah menjadi “orang-orang yang beriman” dan “orang-orang yang bertakwa”. Kedua nomina tersebut adalah kata sifat yang dapat diringkas terjemahannya menjadi “orang-orang yang beriman dan bertakwa”.

Pada data 10 di atas, penerjemah telah menerapkan penyusutan pada bentuk jamak menjadi tunggal “orang”. Dalam fenomena seperti ini, penyusutan bentuk jamak pada jamak mudzakkar sali>m (bentuk jamak maskulin yang sempurna/ salim) adalah kurang berterima karena akan memberikan asumsi bahwa subjek yang dimaksud adalah hanya seorang. Penerjemah kemudian memberi tambahan “setiap” sebagai pengganti bentuk jamak frasa adjektiva “

ٌَنْيِقَّتُمـلاٌ َن

ٌْيِنِمْؤُمـلا

” al-mu’mini>nal-muttaqi>na. Dalam hal ini Ramlan (1981: 65) menjelaskan tentang kata penghubung “setiap, setiap kali, dan tiap kali” adalah kata penghubung untuk menyatakan bahwa apa yang dinyatakan pada klausa inti dan klausa bawahan terjadi bersama-sama. Sehingga pemilihan kata “setiap” untuk menyusutkan bentuk jamak menjadi plural kurang tepat karena itu tidak sesuai dengan fungsi katanya sebagai kata penghubung.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah telah menerapkan strategi penyusutan pada pola frasa adjektiva BSu. Strategi ini diterapkan penerjemah sebanyak dua kali dalam pola BSu yang sama, yakni frasa adjektiva “

ٌَنْيِقَّتُمـلاٌَنْيِنِمْؤُمـلا

ٌ

” al-mu’mini>nal-muttaqi>na.

Adapun contoh data yang menggunakan strategi perluasan dapat dilihat pada penjelasan data 11 berikut ini.

(26)

(11) BSu:

ٌَّنِإٌَو

ٌ

ٌ ةَّمُأٌ ٍفْوَعٌْيِنَبٌَدْوُهَـي

ٌ

ٌَنْيِنِمْؤُمـلاٌَعَم

Wa inna Yahu>da Bani ‘Aufin ummatun ma‘al-mu’mini>na (Hisyam, 2006: 369).

BSa:

Kaum Yahudi dari suku Bani Auf adalah satu bangsa-negara (ummah) dengan warga yang beriman (Ahmad, 2014: 18).

Pada data 11 di atas, penerjemahkan menerapkan strategi perluasan pada tiga bagian. Bagian pertama pada kata “

ٌَدْوُهَـي

”Yahu>da yang diterjemahkan dengan menambahkan kata “kaum”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Sugono, 2008: 233) kata “kaum” memiliki makna “bangsa, golongan, barisan, dan keluarga”. Sehingga penambahan kata “kaum” menjadi tepat sebagai strategi perluasan yang diterapkan penerjemah untuk menunjukkan bahwa “Yahudi” merupakan suatu golongan tertentu yang termasuk dalam salah satu kelompok yang tersebut dalam PM ini.

Bagian kedua adalah perluasan makna pada frasa “

ٌٍفْوَعٌ ْيِنَب

” Bani> ‘Aufin yang diterjemahkan menjadi “Suku Bani Auf”. Perluasan makna tersebut terletak pada kata tambahan “suku”. Dalam KBBI (2008: 473) “suku” memiliki makna “bangsa, keluarga, dan marga” yang memiliki bentuk dan referensi yang sama. Akan tetapi, bentuk perluasan ini termasuk berlebihan karena pada kata BSu sudah tersebut kata “

ٌْيِنَب

bani dengan makna yang sama dengan kata “suku”.

Selanjutnya bagian ketiga pada kata “

ٌَنْيِنِمْؤُمـلا

” al-mu’mini>na yang diterjemahkan menjadi “warga yang beriman”. Penerjemah dalam memperluas makna kata “

ٌَنْيِنِمْؤُمـلا

” al-mu’mini>na memiliki tiga varian terjemahan. Ketiga varian ini terdapat pada 7 data. Varian pertama adalah diterjemahkan sebagai “orang-orang yang beriman” (Ahmad, 2014: 15) dengan memperluas maknanya dengan bentuk kata berulang “orang”. Varian

(27)

kedua adalah diterjemahkan sebagai “kaum yang beriman” (Ahmad, 2014: 18 dan 23) dengan memperluas maknanya dengan makna plural “kaum” untuk mewakilkan bentuk jamak “orang-orang”. Adapun varian ketiga adalah diterjemahkan sebagai “warga negara yang beriman” (Ahmad, 2014: 17, 18, dan 22) dengan memperluas maknanya pada cakupan “warga negara” untuk menerjemahkan pesan BSu sebagai sebuah piagam perjanjian antar masyarakat yang termasuk sebagai warga negara Kota Madinah pada saat itu. Akan tetapi, kata “

ٌَنْيِنِمْؤُمـلا

” al-mu’mini>na dapat diganti dengan istilah kata “mukmin”. penerapan istilah kata tersebut lebih umum dan baku sesuai dengan KBBI (2008: 330) daripada diterjemahkan sebagai “orang-orang yang beriman” yang sangat jarang terpakai dalam literatur masyarakat BSa.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah menerapkan perluasan makna dengan menambahkan kata tambahan yang masih berhubungan dengan kata yang diperluas dalam BSa. Penambahan dilakukan dengan mempertimbangkan kejelasan makna BSa.

7. Strategi Penambahan

Strategi penambahan pada strategi semantis ini dilakukan berdasarkan pertimbangan kejelasan makna. Informasi tambahan pada terjemahan didasarkan pada versi penerjemah. Hal ini dilakukan karena alasan budaya untuk dapat membedakan budaya BSu dan BSa, atau alasan teknis yang berkaitan dengan topik, atau alasan bahasa yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut (Newmark, 1988: 91; Suryawinata, 2003: 74).

Strategi semantis-penambahan memiliki kesamaan fungsi dengan prosedur parafrase, yaitu dalam hal pengungkapan makna tetapi tidak

(28)

merubahnya. Newmark (1988: 90) menjelaskan bahwa prosedur parafrase adalah amplifikasi atau penjelasan mengenai makna dari segmen teks BSu. Pada data telah ditemukan 83 data yang menggunakan strategi ini. Adapun data yang menggunakan strategi ini dapat dilihat pada contoh data 12 berikut.

(12) BSu:

اًسْفَـنٌ َلٌََّوٌٍشْيَرُقِلٌ ًلَّاَمٌ كِرْشُمٌُرْـيِجُيٌ َلٌَُّهَّنِإٌ و

Wa innahu laa yuji>ru musyrikun ma>lan liquraisyin wa la> nafsan (Hisyam, 2006: 369).

BSa:

Perlindungan yang diberikan oleh seorang yang tidak beriman (musyrik) terhadap harta dan jiwa seorang musuh Quraisy tidaklah diakui (Ahmad, 2014: 17).

Pada data 12 di atas, penerjemah telah menerapkan penambahan informasi pada tiga bagian, “yang diberikan oleh”, “seorang musuh”, dan “tidaklah diakui”. Dalam kamus Al-Munawwir (1997: 222) kata “

ٌُرْـيِجُي

” yuji>ru memiliki asal kata “

ٌُرْـيِجُي

ٌ

-

ٌَراَج

” ja>ra–yuji>ru artinya “menyimpang, melindungi”. Adapun penerjemah menerjemahkannya sebagai bentuk nomina bukan verba, yaitu “perlindungan” dan menambahkan secara semantis keterangan “yang diberikan oleh” setelahnya. Penambahan ini kurang diperlukan dalam BSa karena dalam BSu sudah disebutkan fa>‘il (subjek) dengan jelas, sehingga penerjemah hanya perlu merekonstruksi ulang penyusunan gramatika BSu tanpa perlu memberikan tambahan informasi.

Penambahan selanjutnya terjadi dalam menjelaskan frasa “

ٌٍشْيَرُقِل

li quraisyin menjadi “terhadap seorang musuk Quraisy”. Penerjemah menambahkan keterangan “seorang musuh” yang dalam BSu tidak ditemukan. Penambahan informasi ini tidak merubah makna namun juga tidak diperlukan terjadi dalam BSa.

(29)

Penerjemah juga menambahkan keterangan “diakui” untuk menerjemahkan partikel “

ٌَلَّ

” la> yang bermakna harfiah “tidak”. Ni‘mah (1988: 161) menjelaskan bahwa partikel “

ٌَلَّ

” la> memiliki dua karakter berbeda bila bersambung dengan fi‘il (kata kerja). Partikel “

ٌَلَّ

” la> dapat berupa sebagai charf nafyi (partikel peniadaan) atau sebagai charf jazm/ la> a’n-na>hiyah (partikel larangan). Adapun pola penyusunan pada data di 13 di atas adalah jumlah fi‘liyah (kalimat verba) dengan charf nafyi karena kata verba setelahnya tidak mengalami kedudukan majzum (disukunkan). Sehingga, akan lebih tepat bila diartikan sebagai “tidak boleh” agar selaras dengan bentuk verba setelahnya “

ٌُرْـيِجُي

” yuji>ru, sehingga menjadi “orang musyrik tidak boleh melindungi”.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam menerapkan strategi penambahan, penerjemah banyak menambahkan keterangan informasi yang dalam BSu adalah implisit menjadi eksplisit dalam BSa. Tapi penambahan yang diberikan merupakan versi penerjemah dan beberapa di antara penambahan tersebut sebenarnya tidak diperlukan.

8. Strategi Penghapusan

Strategi penghapusan adalah strategi yang menghapus kata atau bagian teks BSu di dalam teks BSa. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa kata atau bagian teks BSu itu dirasa tidak penting untuk diterjemahkan (Suryawinata, 2003: 75). Pada data ditemukan sebanyak 81 data yang menggunakan strategi ini. Penerapan strategi ini dapat dilihat pada data 13 berikut.

(30)

(13) BSu:

ٌِهْيِفٌْمُتْفَلَـتْخاٌاَمْهَمٌْمُكَّنِإٌَو

ٌ

ٌ دَرَمٌُهَّنِإَفٌ،ٍءْيَشٌْنِم

ٌَوٌَّزَعٌِللاٌىَلِإٌُه

ٌىَّلَصٌٍدَّمَحُمٌىَلِإٌَوٌ، لَج

ٌَمَّلَسٌَوٌِهْيَلَعٌُللا

Wa innakum mahmakh-talaftum fi>hi min syai’in fa innahu maraddahu ila’l-La>hi ‘azza wa jalla wa ila muchammadin Shalla’l-La>hu ‘alaihi wa sallama (Hisyam, 2006: 369).

BSa:

Apabila timbul perbedaan pendapat di antara kamu dalam suatu soal, kembalikanlah penyelesaiannya kepada (hukum) Allah dan (keputusan) Muhammad (Ahmad, 2014: 18).

Pada data 13 di atas, penerjemah telah menerapkan penghapusan kata pada lima bagian. Bagian pertama adalah kata sambung partikel “

ٌَو

wawu “dan”

.

Begian kedua, yakni “

ٌْمُكَّنِإ

innakum

sesungguhnya kalian”. Bagian ketiga, yakni “

ٌُهَّنِإَف

fa innahu “maka sesungguhnya ia”. Menurut Suparno (2005: 28) mengenai ketiga bagian ini (

ٌَو , ٌْمُكَّنِإ ,

dan

ٌُهَّنِإَف

) adalah merupakan charf (partikel) yang tidak mempengaruhi makna apabila tidak diterjemahkan. Maka pilihan penerjemah untuk menghapus ketiga bagian ini menjadi tepat karena alasan efektivitas kalimat.

Cantarino (1925: 20-23) menjelaskan mengenai partikel Fa’ “ءاف” yang disebut sebagai "partikel klasifikasi". Sebagai partikel klasifikasi, partikel Fa’ “ءاف” memiliki koordinasi yang bersinambungan antara kalimat dan ide pembangun pada kalimat. Partikel Fa’ “ءاف” menyiratkan pengaturan dalam cerita yang dapat diterjemahkan dengan mengekspresikan perkembangan dan pengaturan yang sama secara berurutan, misalnya, "jadi", "sehingga", "demikian", dsb. Partikel Fa’ “ءاف” dapat berupa kata sambung yang menghubungkan sebab dan akibat antar dua kalimat BSu. Maka penghapusan partikel Fa’ “ءاف” pada kata “

ٌُهَّنِإَف

fa innahu dalam data 13 menjadikan pesan BSu berubah dari kalimat pernyataan menjadi kalimat perintah, yaitu pada kata selanjutnya “

ٌُه دَرَم

maradduhu “kembalikanlah”. Penghapusan ini

(31)

seharusnya tidak dilakukan karena pada dasarnya, data 13 memiliki dua kalimat yang menyatakan sebab dan akibat dari suatu keadaan.

Adapun dua bagian lain yang juga dihapus adalah berupa gelar atau sebutan, yaitu “

ٌ لجٌ وٌ زع

” (‘Azza wa Jalla/ Swt) dan “

ٌَمَّلَسٌ َوٌ ِهْيَلَعٌُللاٌ ىَّلَص

” (Shalawat dan Salam kepadanya/ Saw). Kedua gelar ini dihapus dalam kalimat BSa sehingga menjadikan nama “Allah” dan nama “Muhammad” diterjemahkan tanpa ada penyebutan gelar. Kedua penghapusan ini menjadi kurang berterima karena dalam teks BSu telah disebutkan gelar keduanya. Sedangkan dalam masyarakat BSa, penyebutan kedua gelar tersebut sudah merupakan suatu kebiasaan.

Dari penjelasan mengenai data 13 di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi penghapusan yang dilakukan penerjemah memiliki kelemahan. Pilihan untuk menghapus beberapa kata dalam BSu masih kurang tepat dan menjadikan terjemahan yang dihasilkan kurang berterima. Akan tetapi strategi penghapusan yang dilakukan tidak sampai mengganggu pesan BSu yang telah disampaikan secara baik oleh penerjemah.

9. Strategi Modulasi

Strategi modulasi adalah strategi untuk menerjemahkan frasa, klausa, atau kalimat dengan menerjemahkan pesan BSu dari sudut pandang yang berbeda (Suryawinata, 2003: 75). Adapun Newmark (1988: 88-89) menjelaskan bahwa modulasi adalah moncoba untuk memberi definisi dengan sudut pandang atau perspektif yang berbeda. Kategori modulasi yang dimaksud oleh Newmark (1988), yaitu “negated contrary” (meniadakan

(32)

perlawanan). Pada data ditemukan satu data yang memakai strategi ini, berikut penjelasannya. (14) BSu :

ٌِهْيَلَعٌْمُهَـيِدْيَأٌَّنِإٌَو

ٌ

ٌُدَلَوٌَناَكٌْوَلٌَوٌ،اًعْـيِمَج

ٌ

ٌِهِدَحَأ

ٌْم

Wa inna aidiyahum ‘alaihi jami>‘an wa law ka>na waladu achadihim (Hisyam, 2006: 369).

BSa:

Kebulatan persatuan mereka terhadap orang-orang yang bersalah merupakan tangan yang satu, walaupun terhadap anak-anak mereka sendiri (Ahmad, 2014: 15).

Pada data 14 di atas, penerjemah memaknai kalimat ini dengan sudut pandang yang berbeda pada tiga bagian, yaitu frasa “

ٌْمُهَـيِدْيَأ

aidiyahum menjadi “tangan yang satu”, frasa “

ٌِهْيَلَع

‘alaihi menjadi “terhadap orang-orang yang bersalah”, dan kata “

اًعْـيِمَج

” jami>an menjadi “kebulatan persatuan”.

Persepektif penerjemah mengenai terjemahan “tangan yang satu” menekankan pada terjemahan harfiah yakni “tangan” yang dimiliki para peserta PM untuk saling menjadi “satu” sebagaimana maksud terjemahan tersebut. Lalu penerjemah memberikan hasil terjemahan “tangan yang satu” di akhir kalimat BSa dan mengedepankan terjemahan kata “

اًعْـيِمَج

” jami>an yaitu “kebulatan persatuan” di awal kalimat.

Adapun penulis BSu pada data 14 ini menjadikan kata “

ٌْمُهَـيِدْيَأ

aidiyahum yaitu “persatuan mereka” sebagai fa‘i>l (subjek) kalimat dan kata

اًعْـيِمَج

” jami>an yaitu “menyeluruh/ semua” sebagai maf‘ul (kata keterangan) pada dari kata “

ٌْمُهَـيِدْيَأ

aidiyahum. Menerjemahkan dengan cara mengedepankan maf‘ul dalam bahasa Arab adalah suatu pilihan untuk memudahkan pemahaman teks BSa sebagaimana yang dilakukan penerjemah pada data 14 ini. Sehingga apabila diterjemahkan menjadi “setiap orang harus

(33)

bersedia dalam menentang perbuatan salah tersebut” untuk tetap pada penekanan kata (perspektif) yang sama dengan penulis BSu.

Selanjutnya penerjemah menerapkan eksploitasi dalam menerjemahkan frasa “

ٌِهْيَلَع

‘alaihi yaitu pada dhamir muttashil (pronomina yang menempel pada kata) “ ُهـــ” hu yang memiliki arti “-nya (kepemilikan untuk laki-laki)”. Pronomina ini diterjemahkan menjadi “orang-orang yang bersalah” secara eksplisit oleh penerjemah. Terjemahan pronomina “ ُهـــ” hu ini memiliki hubungan dengan kalimat sebelumnya, yaitu “

ٌَنْيِقَّتُمـلاٌَنْيِنِمْؤُمـلاٌَّنِإٌَو

ٌَأٌ،ٍمْلُظٌَةَعْـيِسَدٌىَغَـتْـباٌِوَأٌ،ْمُهْـنِمٌىَغَـبٌْنَمٌىَلَع

،َنْيِنِمْؤُمـلاٌَنْيَـبٌٍداَسَفٌْوَأٌ،ٍناَوْدُعٌْوَأٌ،ٍمْثِإٌْو

”Wa innal-mu’mini>nal-muttaqi>na ‘ala man bagha minhum, awibtagha dasi>’ata zhulmin, aw itsmin, aw ‘udwa>nin, aw fasa>din bainal-mu’mini>na (Hisyam, 2006: 369) yang diterjemahkan sebagai “segenap orang-orang beriman yang bertakwa harus menentang setiap orang yang berbuat kesalahan, melanggar ketertiban, penipuan, permusuhan atau pengacauan di kalangan masyarakat orang-orang yang beriman” (Ahmad, 2014: 15). Dalam data 14 ini, penerjemah lebih menekankan pada “orang-orang yang bersalah” bukan pada “perbuatan buruk”.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah telah menerapkan strategi modulasi bebas pada data 14. Strategi modulasi bebas yang diterapkan penerjemah adalah merubah suduh pandang penulis BSu bukan berdasarkan susunan gramatika BSu akan tetapi berdasarkan pilihan untuk mencari padanan yang tepat dalam menerjemahkan data 14 ini.

Gambar

Diagram 2.1. Strategi Penerjemahan Piagam Madinah
Tabel 2.1. Strategi Penerjemahan Teks PM

Referensi

Dokumen terkait

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa lama waktu penggilingan berbanding terbalik dengan kadar zat besi dalam ampas sari kedelai sehingga semakin lama digiling maka zat besi

Discretionary accruals adalah komponen akrual yang berada dalam kebijakan manajemen, artinya manajer memberikan intervensinya dalam proses pelaporan keuangan,

Bentuk buaya pada karya ini seperti buaya pada umumnya, memiliki kaki, memiliki mulut yang panjang lengkap dengan giginya, dan juga memiliki ekor panjang.. Namun

Menyusun kubus menyerupai stupa, digunakan untuk , mengenalkan warna mengenalkan jumlah motorik halus konsentrasi Harga Rp.45.000,- Menara Balok Digunakan untuk :

Dedak yang digunakan sebagai bahan baku untuk produksi pakan ternak.. adalah dedak padi dan dedak gandum.Penggunaan dedak gandum

Pengakuan dan pengukuran obligasi yang diterapkan, telah sesuai dengan PSAK 55 (Revisi) 2014 yaitu dengan cara mengukur sebesar nilai wajar yang berlaku, apabila tidak dapat

Dari gambar 2 pada konsentrasi substrat tepung sorghum 10 % dengan konsentrasi enzim alphaamylase yang sama 200 U/gr pada kondisi operasi reaksi likuifikasi suhu 80 o C pH

 Ketikkan pilih salah satu pada pilihan menu pull down atau ketikkan pada penilaian 1,2,3, dan seterunya pada kolom yang tersedia (Tidak boleh kosong).  Klik pada