PENDIDIKAN TAREKAT PERSPEKTIF KH. ACHMAD
ASRORI AL-ISHAQY DAN RELEVANSINYA TERHADAP
TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister Dalam Program Studi
Pendidikan Agama Islam
Oleh:
Nashiruddin
NIM. F03214032
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
▸ Baca selengkapnya: gus niko putra kyai asrori
(2)(3)(4)(5)(6)
ABSTRAK Nama : Nashiruddin
Judul tesis : Pendidikan Tarekat Perspektif KH. Achmad Asrori Al-Ishaqi dan Relevansinya Terhadap Tujuan Pendidikan Nasional Tahun : 2016
Kehidupan di zaman modern seringkali dibuai dengan pola hidup glamor. Akibatnya hati mudah terjankit penyakit batin dan semakin hampa dari ketenangan. Oleh karena itu, dibutuhkan dokter yang ahli di bidangnya untuk menanganinya permasalahan tersebut. Dokter dalam hal ini adalah ulama sufi yang berpredikat guru tarekat. KH. Achmad Asrori al-Ishaqi merupakan salah satu guru tarekat yang ajarannya sedang berkembang saat ini. Namun, masih terdapat sebagian oknum yang menganggap bahwa pola hidup terekat menghambat kreativitas seseorang, karena di dalamnya mengajarkan menjauhkan diri dari urusan duniawi, yang hal itu tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang berbunyi “Mengembangkan Kreativitas”. Berdasarkan uraian tersebut, dipandang urgen untuk meneliti tentang pendidikan tarekat yang dipimpin KH. Achmad Asrori, tentang tujuan pendidikan nasinal, dan tentang relevansi pendidikan tarekat KH. Achmad Asrori terhadap tujuan pendidikan nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pendidikan tarekat perspektif KH. Achmad Asrori, tujuan pendidikan nasional, dan relevansi pendidikan tarekat perspektif KH. Achmad Asrori terhadap tujuan pendidikan nasional. Pendekatan atau metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Library Research (penelitian kepustakaan). Karena data akan digali dari data kepustakaan yaitu, buku-buku karya KH. Achmad Asrori, buku-buku tentang tujuan pendidikan, dan data lain yang mendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa esensi Pendidikan tarekat perspektif KH. Achmad Asrori al-Ishaqi adalah pendidikan akhlak atau karkter melalui penyempurnaan adab dengan barometer prilaku s{u>fiyyah yang menggunakan metode praktis, yaitu, pengamalan dhikir atau wirid dalam bimbingan guru murshid yang ada ikatan rohani melalui
muba>ya’ah untuk membersihkan penyakit hati agar dapat wusu>l kepada Allah Swt. Adapun tujuan pendidikan nasional yang ingin dicapai adalah mengembangkan potensi warga negara Indonesia seutuhnya hingga menjadi manusia yang paripurna (al-Insan al-kamil) baik dari segi material z{a>h{iriyyah
maupun sisi ba>t{iniyyah. Sedangkan relevansi pendidikan tarekat KH. Achmad Asrori terhadap tujuan pendidikan nasional adalah bahwa pendidikan tarekat tersebut turut membentuk warga negara Indonesia yang paripurna melalui perbaikan dari segi mental spritualnya.
DAFTAR ISI SAMPUL
PERNYATAAN KEASLIAN ...i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ...iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ...iv
MOTTO ...v
ABSTRAK ...vi
UCAPAN TERIMA KASIH ...vii
DAFTAR ISI ...xi
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1
B. Identifikasi Masalah ...4
C. Rumusan Masalah...6
D. Tujuan Penelitian ...6
E. Manfaat Penelitian ...6
F. Kerangka Teoritik ...7
G. Penelitian Terdahulu ...11
H. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian ...15
2. Pendekatan Penelitian ...15\
3. Sumber Data ...16
4. Metode Pengumpulan Data ...17
5. Teknik analisis data ...17
6. Uji keabsahan data ...18
I. Sistematika Pembahasan ...19
BAB II: LANDASAN TEORI A. Pendidikan Tarekat Menurut Para Ahli 1. Pengertia Tarekat ...21
2. Tujuan Pendidikan Tarekat...27
3. Manfaat Pendidikan Tarekat ...28
4. Prinsip Pendidikan Tarekat...31
5. Muba>ya’ah (Ikatan Salik – Murshid) ...36
6. Sejarah Pendidikan Tarekat ...38
B. Tujuan Pendidikan Nasional 1. Pengertian Pendidikan Nasional...45
2. Dasar Rumusan Tujuan Pendidikan Nasional...46
3. Fungsi Tujuan Pendidikan Nasional...48
4. Tujuan Pendidikan Nasional...48
2. Tujuan Kurikuler ...54
BAB III>. PENDIDIKAN TAREKAT PERSPEKTIF KH. ACHMAD ASRORI 1. Profil KH. Achmad Asrori Al-ishaqy a. Latar Belakang Keluarga ...56
b. Latar belakang Pendidikan ...58
c. Kiprah di Masyarakat 1) Murshid Tarekat a) Talqin Sebagai Murshid ...59
b) Silsilah tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah al-Uthmaniyah (TQNU) ...62
c) Sejarah TQNU ...63
2) Pengasuh Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah a) Sejarah Singkat Pendirian PP. Al Fithrah ...65
b) Kekhasan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah ...66
c) Visi Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah ...67
d) Misi Pesantren Assalafi Al Fithrah ...69
3) Pendiri Jama’ah Al Khidmah ...69
d. Karya-karya Tulisan ...71
2. Pendidikan Tarekat KH. Achmad Asrori al-ishaqy a. Pengertian Tarekat...78
b. Tujuan Tarekat ...80
c. Manfaat Tarekat ...82
d. Prinsip-prinsip Tarekat 1) Prinsip Mubaya’ah ...85
a) Kriteria Guru Murshid ...88
b) Kriteria Murid/Salik Tarekat ...91
2) Prinsip Adab ...95
a) Adab Salik Kepada Allah ...96
b) Adab Salik Kepada Rasulullah ...97
c) Adab Salik Kepada Guru Murshid ...98
d) Adab Salik Kepada Dirinya Sendiri ...100
e) Adab Salik Kepada Sesama Muslim ...100
f) Adab Salik Dalam Berdhikir ...103
e. Amaliah/Wirid Dalam Tarekat Al-Qadiriyah Wa Al-Naqsbandiyah Al-Uthmaniyah ...106
f. Majlis Khususi/Majlis Khataman ... 108
2. Tinjauan Tujuan Tarekat ...117
3. Tinjauan Prinsip Tarekat. B. Tinjauan Dasar Tujuan Pendidikan ...119
C. Tinjauan Filosofis ...121
D. Tinjauan Sosiologis ...123
E. Tinjauan Tujuan Pendidikan Nasional 1. Tinjauan Secara Nasional ...126
2. Tinjauan Secara Institusional ...137
3. Tinjauan Secara Kurikuler ...138
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ...140
B. Implikasi Teoritik ...141
C. Keterbatasan Studi ...142
D. Rekomendasi ...143
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangKehidupan di era modern ini seringkali terbuai dengan situasi
keglamoran; hidup dalam sikap sekuler yang mengakibatkan kehampaan
spiritual; dan meninggalkan ajaran-ajaran agama. Akibat dari itu, dalam
kehidupan masyarakat sering dijumpai orang yang merasa gelisah, tidak
percaya diri, stres, dan kehilangan pegangan hidup.
Bodenhausen dalam jurnal Psychological Science memaparkan bahwa
orang yang hidupnya dikelilingi oleh barang-barang mewah, mulai dari mobil,
barang elektronik, hingga perhiasan ternyata lebih rentan terhadap serangan
depresi dan kecemasan berlebihan. Hal ini berbeda dengan orang yang
memiliki kehidupan jauh dari kemewahan.1
Realitanya, disadari atau tidak, seseorang itu banyak yang mengidap
penyakit secara komplikasi, baik penyakit z{a>hiriyyah{ maupun penyakit
ba>t{iniyyah, yang tidak mampu mengobati dan menyembuhkannya sendiri,
meskipun dirinya mahir serta alim dalam berbagai macam literatur kesehatan.
Oleh karena itu, ia tentunya butuh dokter yang spesialis pula untuk
mencermati, menganalisa, dan mengobati penyakit yang dideritanya. Dokter
spesialis penyakit batin adalah ulma sufi yang disebut guru tarekat.
Ada beberapa jenis penyakit batin yang sulit dihindari oleh seseorang
yaitu: Pertama, Penyakit jiwa, yakni sifat keterikatan atau ketergantungan
2
pada shahwat jasmani, misalnya makanan lezat, minuman, pakaian,
kendaraan, tempat tinggal, istri dan hal-hal mewah yang lain. Kedua,
Penyakit hati, yaitu keterkaitan atau ketergantungan pada shahwat
(keinginan) hati. Seperti, suka dan ambisi jabatan, kepemimpinan dan
kemuliaan, sombong, hasud, menggrutu, dan sifat-sifat keistimewaan yang
lain. Ketiga, Penyakit ruh, yaitu keterkaitan atau ketergantungan pada
bagian-bagian yang bersifat kepentingan atau ambisi yang sangat samar,
bahkan saking samarnya, penyakit tersebut justru dianggap suatu keinginan
yang mulia. Seperti, ingin karomah, maqam, imbalan gedung mewah di Surga
dan bidadarinya, serta yang lain.
Penyakit-penyakit tersebut sangat berbahaya, bahkan lebih bahaya
daripada penyakit lahiriyah atau penyakit jasmani. Karena penyakit batin
mengakibatkan kehancuran kebahagiaan abadi, yaitu kebahagiaan akhirat.
Oleh karena itu, menurut Al-Ghazali, “Fard{u ‘ain hukumnya bersama atau
berguru kepada s{ufi untuk mengobatkan penyakit hatinya. Karena seseorang
tidak mungkin terhindar dari cacat batin, penyakit hati dan sakit rohani
kecuali para Nabi.”
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah menyatakan, "Jika ingin berguru kapada
seseorang, ia harus meneliti terlebih dahulu, apakah orang itu termasuk ahli dhikir ataukah orang yang lalai, dan apakah putusannya berdasarkan hawa
nafsu atau wahyu (Alquran dan Hadith). jika putusannya berdasarkan hawa
nafsu dan tergolong orang lalai, maka jangan dijadikan guru."(2)
3
Berbicara tentang tarekat, menurut KH. Said Aqil, tarekat ada dua
macam dalam pandangan NU, yaitu Tarekat Mu’tabarah (sesuai ajaran
syari’at) dan tarekat Ghairu Mu’tabarah (dianggap menyimpang dari
syari’at). Di Indonesia sedikitnya ada 45 aliran tarekat yang mu’tabarah.3 Di
sisi lain terdapat sebagian oknum yang menganggap bahwa kehidupan tarekat
termasuk mengkebiri kreativitas seseorang. Karena di dalamnya diajarkan
menjauh dari urusan duniawi, padahal dalam kehidupan dunia seseorang
seharusnya kreativ agar kehidupannya berkembang, sebagaimana salah satu
tujuan pendidikan di Indonesia adalah menjadi orang yang kreativ.
Di Surabaya, telah lahir seorang ulama sufi yang karismatik, yaitu
KH. Achmad Asrori al-Ishaqy. Ia seorang murshid (guru spritual) tarekat
al-Qa>diriyyah wa al-Naqshabandiyyah al-Uthma>niyyah. Tongkat estafet
kemurshidan itu diterimanya langsung dari murshid sebelumnya, yaitu KH.
Muhammad Uthman al-Ishaqy, yang sekaligus adalah Ayahnya sendiri.
Selain sebagi Murshid Tarekat, KH. Achmad Asrori al-ishaqy juga
Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya serta
Pembina Perkumpulan Jama’ah Al Khidmah, yaitu suatu komunitas yang mempunyai rutinitas keagamaan bercirikhas tasawuf, yakni majlis dhikir dan
maulid serta majlis taklim yang jumlah anggotanya mencapai ratusan ribu yang tersebar hampir di seluruh daerah Indonesia, Malaysia, Singapura,
Thailand, dan kota Makkah.
3Hafiz, “Indonesia Negara Dengan Aliran Tarekat Terbanyak Di Dunia”, dalam
4
Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah sebagai center tempat
pendidikannya juga semakin berkembang, baik pembangunan secara fisik
maupun manajerial kependidikannya. Saat ini, selain berdiri di Surabaya,
telah berdiri pula di beberapa daerah Indonesia. yaitu, Al Fithrah Malang, Al
Fithrah Semarang Jawa Tengah, Al Fithrah Indramayu Jawa Barat, dan di
beberapa daerah lain yang masih dalam proses pembangunan.4
Aktivitas ketasawufannya yang merupakan sebagai pelengkap dan
penyempurna dari amaliah tarekatnya semakin hari mengalami
perkembangan yang cukup signifikan, baik yang bersifat akademik ataupun
non akademik. Hal tersebut merupakan indikator bahwa pemikirannya cukup
berpengaruh di masyarakat. Dengan demikian, ajarannya sedikit banyak akan
memengaruhi perkembangan pendidikan di Indonesia ini, terutama jika
pendidikan yang dibawanya itu relevan dengan visi misi atau tujuan
pendidikan nasional.
Atas dasar uraian di atas, pemikiran dan ajaran KH. Achmad Asrori
al-ishaqy tentang pendidikan tarekat dipandang urgen untuk diteliti dan
dideskripsikan untuk melengkapi hazanah akademik islam. B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan terkait KH.
Achmad Asrori al-ishaqy yang dapat diidentifikasi ialah sebegai berikut:
5
1. KH. Achmad Asrori al-ishaqy sebagai murshid. Guru spritual
tarekat-bertanggung jawab untuk membimbing murid-muridnya agar menjadi
orang sempurna di sisi Allah Swt., melalui tata cara dan tata tertib
ketarekatan.
2. KH. Achmad Asrori al-ishaqy sebagai pendiri dan pengasuh Pondok
Pesantren. Pimpinan lembaga pendidikan bertanggung jawab
mengembangkan pendidikan baik dari sisi kualitasnya, mutu
kurikulumnya, dan dari sisi pembiayaannya. Dalam hal ini tentunya butuh
keterampilan di bidang manajerial.
3. KH. Achmad Asrori al-ishaqy sebagai penggagas dan pimpinan
perkumpulan Jama’ah Al khidmah. Pimpinan organisasi sosial keagamaan
yang cukup besar, tentunya harus ahli dan luwes di bidang manajerial dan
organisasi kemasyarakatan.
Tiga aspek peran KH. Achmad Asrori al-ishaqy tersebut, merupakan
variabel yang dapat menjadi obyek penelitian secara terpisah. Karena
masing-masing aspek dari ketiganya ditangani dan dikembangkan dengan menajemen
dan administrasi tersendiri. Tetapi walaupun demikian, subtansi ajarannya
sama-sama berorientasi kepada ajaran tasawuf. Namun karena keterbatasan
waktu dan lainnya, dalam penelitian ini difokuskan pada salah satu dari tiga aspek tersebut, yaitu tentang pendidikan tarekatnya. Kemudian diangkat
dengan judul “Pendidikan Tarekat Perspektif KH. Achmad Asrori al-Ishaqy
6
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan
masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana Pendidikan Tarekat Perspektif KH. Achmad Asrori al-Ishaqy?
2. Bagaimana Tujuan Pendidikan Nasional?
3. Bagaimana Pendidikan Tarekat Perspektif KH. Achmad Asrori Al-Ishaqy
dan Relevansinya Terhadap Tujuan Pendidikan Nasional?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan Pendidikan Tarekat perspektif KH. Achmad
Asrori al-ishaqy
2. Untuk mendeskripsikan Tujuan Pendidikan Nasional
3. Untuk mendeskripsikan Pendidikan Tarekat perspektif KH. Achmad
Asrori al-ishaqy dan Relevansinya terhadap Tujuan Pendidikan Nasional
E. Kegunaan Penelitian
1. Secara teoritis
a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
keilmuan khususnya dalam disiplin ilmu pendidikan Tarekat.
b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam
penelitian berikutnya khususnya dalam disiplin ilmu pendidikan
Tarekat.
7
a. Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu sumber
pengetahuan bagi masyarakat luas sebagai pegangan hidup sehari-hari
b. Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu sumber ilmu
pengetahuan bagi masyarakat luas untuk memecahkan permasalahan,
khususnya tentang Pendidikan Tarekat.
F. Kerangka Teoritik
1. Pendidikan Tarekat
Tarekat merupakan perjalanan hati yang dilakukan oleh salik (orang
yang menempuh jalan ibadah kepada Allah Swt) dalam upayanya menempuh
tahapan-tahapan dan menerobos tingkatan-tingkatan nafsu serta mendaki
maqomat dan ahwal.
Abu Abas Bin Ataillah mengatakan, “Karakter hawa nafsu itu selalu
menggiring pada moralitas yang buruk, sedangkan seorang hamba
diperintahkan agar senantiasa beradab dengan adab yang mulia. Jadi, hakikat
keduanya selalu bertentangan. Oleh karena itu, jika dirinya dibiarkan dalam
kendali hawa nafsu, maka ia akan selalu dalam kerusakan. Karena itulah
seseorang perlu peranan seorang guru murshid yang akan menuntun dan membimbing, sehingga bisa terbebas dari bahaya atau penyakit yang selalu
mengancam dalam perjalanannya.
Termasuk moralitas yang tidak baik adalah karakter yang lebih tajam
melihat aib orang lain daripada menemukan kekurangan dirinya sendiri.
Akibatnya penyakit yang dideritanya sulit disembuhkan. Menurut
8
melakukan empat hal. Pertama, berguru kepada orang yang ahli atau spesialis
di bidang aib jiwa. Kedua, menganalisa dan menghindari hal-hal yang samar
yang dapat merusak jiwa. Ketiga, pasrah penuh kepada gurunya dalam
penanganannya. Keempat, mengikuti isharat dan bimbingannya dalam semua
line mujah{adahnya.5 Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa beribadah
kepada Allah Swt., caranya perlu atas bimbingan seorang guru yang ahli, agar
menunjukkan kekurangannya dan menuntun pada yang lebih baik dan
sempurna, sebagaimana pernyataan Abu Yazid Al-Busthomi, "Barang siapa
tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan".6
Imam Syaikh Ali Khawash mengatakan, “Janganlah menempuh suatu
jalan yang tidak engkau ketahui tampa guru pembimbing, karena hal yang
demikian itu akan menjerumuskanmu pada lembah kehancuran.”7
Allah Swt berfirman,
ٌﺔَﻨَﺴَﺣ ٌةَﻮْﺳُأ ِﻪﱠﻠﻟا ِلﻮُﺳَر ﻲِﻓ ْﻢُﻜَﻟ َنﺎَﻛ ْﺪَﻘَﻟ
َﺮِﺧﻵا َمْﻮَـﻴْﻟاَو َﻪﱠﻠﻟا ﻮُﺟْﺮَـﻳ َنﺎَﻛ ﻦَﻤﱢﻟ
اًﺮﻴِﺜَﻛ َﻪﱠﻠﻟا َﺮَﻛَذَو
Benar-benar telah terdapat pada diri Rasulullah Saw contoh yang baik bagi orang yang mengaharapkan rido Allah dan selamat di hari akhir, serta senantiasa berdhikir kepada Allah Swt.
َنﻮُﻠَﻤْﻌَـﺗ ْﻢُﺘﻨُﻛ ﺎَﻤِﺑ ﻢُﻜُﺌﱢﺒَـﻧُﺄَﻓ ْﻢُﻜُﻌِﺟْﺮَﻣ ﱠﻲَﻟِإ ﱠﻢُﺛ ﱠﻲَﻟِإ َبﺎَﻧَأ ْﻦَﻣ َﻞﻴِﺒَﺳ ْﻊِﺒﱠﺗاَو
Ikutilah jalan orang yang kembali kepadaku, kemudian hanya kepadaku kamu kembali, lalu akan aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. QS. Lukman:15
Dengan demikian, berguru kepada guru (Murshid) yang dapat
membimbing membersihkan hati dari penyakit-penyakit yang dapat
5 Al-ghazali, Ihya’ Ulum Al-Din vol 3 (Surabaya: Darl al-Nashr, tt), 55. 6Achmad Asrori, Al-Muntakhobat, 236.
9
mengalangi ma’rifat pada Allah Swt itu merupakan keharusan. ia akan
mengantarkan dan menghindarkan dari ketergelinciran keyakinan dan hal-hal
yang membahayakan dirinya. Karena guru murshid itu sendiri telah
menempuh jalan di bawah bimbingan guru murshid sebelumnya, yang silsilah
keguruannya tersambung sampai pada Tabi’in, pada Sahabat, pada Rasulullah
Saw, ia berguru kepada Malaikat Jibril, dari Allah Swt.8
2. Relevansi
Relevansi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah kalimat
yang mengandung arti keterikatan sesuatu dengan perkara lain baik
bersifat menyempurnakan, mendukung atau mengkeritik. Dengan
demikian, yang dimaksud relevansi dalam kontek ini adalah hubungan
pendidikan tarekat perspektif KH. Achmad Asrori al-ishaqy terhadap
tujuan pendidikan nasionanl. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt dalam
surat al-Nisa’,
ْﻢُﻜْﻨِﻣ ِﺮْﻣَْﻷا ﻲِﻟوُأَو َلﻮُﺳﱠﺮﻟا اﻮُﻌﻴِﻃَأَو َﻪﱠﻠﻟا اﻮُﻌﻴِﻃَأ اﻮُﻨَﻣآ َﻦﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَأ ﺎَﻳ
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu.9
Rasulullah Saw juga menjelaskan dengan sabdanya, yaitu,
ِﺻ
ْـﻨ َﻔ
ِنﺎ
ِﻣ
َﻦ
ﱠﻨﻟا
ِسﺎ
ِإ
َذ
َﺻ ا
َﻠ
َﺤ
َﺻ ﺎ
َﻠ
َﺢ
ﱠﻨﻟا
ُسﺎ
َو ِإ
َذ
َﻓ ا
َﺴ
َﺪ
َﻓ ا
َﺴ
َﺪ
ﱠﻨﻟا
ُسﺎ
ْﻟا
ُﻌ َﻠ
َﻤ
ُءﺎ
َو
ُْﻷا
َﻣ َاﺮ
ُء
Dua golongan ummat manusia jika keduanya baik maka kehidupan manusia lainnya juga baik, dan jika kedua golongan itu rusak, rusaklah manusia yang lain, kedua golongan dimaksud ialah ‘Ulama dan Umara’ (Pemerintahan). HR. Ibnu Abdu al-Bar
10
Zainuddin Muhammad menjelaskan, “Ulama sebagai panutan baik
dalam perbuatan maupun perkataannya. Sedangkan umara’ bertanggung
jawab di bidang kebutuhan kesejahteraannya. kedua sisi itu tidak
mungkin dipisahkan.”10 Oleh karena itu, agar rakyat senantiasa sejahtera
kedua kelompok tersebut harus mempunyai visi dan misi yang relevan
dan saling melengkapi
3. Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan nasional ialah tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah dan tercantum dalam undang-undang RI
tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS).
Secara garis besar tujuan pendidikan meliputi tiga aspek: pertama,
tujuan secara nasional sebagaimana dalam SISDIKNAS. Kedua, Tujuan
institusional, yakni tujuan pendidikan yang ingin dicapai sesuai
jenjangnya. ketiga, tujuan kurikuler, yakni tujuan setiap bidang studi
yang diharapkan tercapai setelah dipelajarinya.11
Ketiga aspek tujuan pendidikan tersebut tentunya harus tercover
dalam macam-macam dan jenis-jenis pendidikan, baik formal, nonformal, atau informal. Sebagaimana intruksi yang terkandung dalam ayat dan
hadith di atas bahwa baik tidaknya kehidupan manusia (warga negara)
tergantung pada kedua golongan, yaitu golongan ulama dan umara’.
Dengan demikian, tentunya tujuan pendidikan yang ditetapkan
10 Zainuddin Muhaamad, Faid al-Qodir Sharh Jami’ al-Saghir vol. 4 (Libanun: Dar Kutub
al-ilmiah, 1994), 276.
11
pemerintah dan ulama harus sejalan dan relevan, apapun bentuk
pendidikannya.
Jadi, berdasarkan uraian di atas, yang dikehendaki judul penelitian
“Pendidikan Tarekat Perspektif KH. Achmad Asrori al-Ishaqy dan
Relevansinya Terhadap Tujuan Pendidikan Nasional” ialah Pendidikan
Tarekat atau ajaran dan didikan pengamalan ‘amaliah tarekat di bawah
bimbingan KH. Achmad Asrori al-ishaqy kemudian dianalisis dan
dideskripsikan relevansinya terhadap tujuan pendidikan nasional
G. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terkait dengan
pemikiran KH. Achmad Asrori al-Ishaqy adalah:
Pertama, Penelitian berjudul: “Transformasi Kepemimpinan Karismatik Menuju Demokratisasi.” (Studi Kasus KH. Ahmad Asrori
al-Ishaqi sebagai pemimpin Karismatik Membuat Institusi dengan Sistem
Demokrasi Guna Mendelegasikan Otoritasnya), oleh Robith Hamdany,
Skripsi Universitas Air Langga Surabaya, tahun 2011. Dalam hasil
penelitiannya, Robith Hamdany menyimpulkan bahwa komunitas yang dipimpin oleh KH. Achmad Asrori al-Ishaqy tetap bertahan, bahkan
mengalami perkembangan sangat pesat karena mampu mengadopsi sistem-sistem modern yang relevan. Secara praktis, sistem-sistem dan metode yang
diterapkan dalam komunitas ini dirasa yang paling relevan untuk digunakan
12
terbuka komunitas ini akan bertahan bahkan mengalami perkembangan pesat
sebab dapat diterima masyarakat luas.
Kedua, Penelitian berjudul : Akhlak Murid Kepada Mursyid Menurut
Perspektif KH. Ahmad Asrori al-Ishaqy dalam Kitab Khula>shoh al-Wa>fiyah,
oleh Ahmad Faizin, skripsi Sekolah Tinggi Agama Islam Al Fithrah
Surabaya, tahun 2012. Melalui kajian teks ini Faizin menyimpulkan bahwa
yang pertama kali harus dijaga oleh seorang pengikut (murid) tarekat
terhadap mursyid-nya adalah tatakrama. Tatakrama ini harus dijaga baik saat
si murid berada di depan mursyid maupun berada di tempat yang jauh dari
mursyid, sebab inti tarekat adalah berakhlak yang baik.
Ketiga, Penelitian berjudul : Majelis Dzikir Khususi dalam Tarekat
Menurut Pandangan KH. Achmad Asrori al-Ishaqy, oleh Moh. Soleh, skripsi
Sekolah Tinggi Agama Islam Al Fithrah Surabaya, tahun 2012. Dalam hasil
penelitiannya ini Moh. Soleh menjelaskan tentang dzikir khususi dalam
Thoriqoh al Qodiriyyah wa an Naqsyabandiyyah menurut pandangan KH.
Ahmad Asrori al-Ishaqy. Moh. Soleh menulis bahwa dzikir khususi adalah
dzikir yang menempati urutan yang pertama dan utama dalam Thoriqoh al
Qodiriyyah wa an Naqsyabandiyyah, sehingga jika seorang murid tarekat
Thoriqoh al Qodiriyyah wa an Naqsyabandiyyah tidak rutin dalam dzikir
khususi maka lambat laun sentuhan ruhani para mursyid lambat laun agar
berkurang.
Keempat, Penelitian yang berjudul: “Worldview Kaum Tarekat “
13
di Surabaya), oleh Ahmad Amir Aziz, disertasi IAIN Sunan Ampel Surabaya,
tahun 2013. Dalam hasil penelitiannya Ahmad Amir menyimpulkan bahwa
dalam hal takdir meskipun para pengikut tarekat KH. Ahmad Asrori
al-Ishaqy merupakan satu komunitas, namun persepsi mereka tidak seragam.
Terdapat tiga varian dalam hal ini, yaitu : teologi nerimo, teologi ikhtiar dan
teologi kombinatif. Demikian pula dalam hal kerja, pandangan mereka
terpolakan dalam tiga pemaknaan, yaitu : kerja sebagai tuntutan hidup, kerja
sebagai ibadah dan kerja sebagai ekspresi kekhalifahan.
Kelima, Penelitian berjudul: “Kepemimipinan Kyai Dalam meningkatkan Aktivitas Majelis Taklim Ahad kesatu dan kedua Pondok
Pesantrean Assalafi Al Fithrah Surabaya”. Oleh Ali Mastur. Tesis universitas
Sunan Giri (unsuri), tahun 2013. Ali Mastur menyimpulkan bahwa dalam
memimpin majlis KH. Achmad Asrori memiliki beberapa gaya, Pertama,
gaya Paternalistik, karena Kyai sebagai Guru pendidik yang harus dihormati
dan sebagai orang tua rohani yang mimbimbing menuju jalan yang benar).
Kedua, gaya Kharismatik, karena Kyai dianggap mempunyai kekuatan
spiritual, ketiga, gaya Demokratik karena Kyai mengutamakan musyawarah dalam memutuskan berbagai macam permasalahan.
Keenam, Penelitian berjudul “Maqa>mat Dalam Perspektif Sufistik
KH. Achmad Asrori Al Ish}aqy” Tesis UIN Sunan Ampel tahun 2014, oleh
Rasidi tahun 2014. Dalam tesis ini Rasidi menyimpulkan bahwa maqa>ma>t
14
Allah Swt., dan menurut Acmad Asrori maqa>ma>t ada lima, yaitu maut al-ikhtiya>ry, taubat, zuhud, syukur dan raja>’.
Ketujuh, Penelitian berjudul “Reslasi Murshid-Murid dalam tradisi
tarikat Qodiriyah wa Naqshabandiyah”. Tesis UIN Sunan Ampel Surabaya
oleh Ahmad Syatori. Ia menyimpulkan bahwa hakikat hubungan antara
murshid-Murid merupakan media yang dapat menghantarkan kepada Allah
Swt., seeorang tidak mudah menempuh jalan menuju kehadirat Allah Swt.,
oleh karena itu, ia butuh seorang guru murshi>d (guru rohani) yang selalu
membimbingnya menuju jalan yang benar.
Kedelapan, Penelitian yang berjudul “Tasawuf Sebagai Solusi
Alternatif Dalam Problematika Modernitas”, oleh Moh. Saifullah. Jurnal
Studi Keislaman UINSA tahun 2014. Dalam kesimpulannya Saifullah
menyatakan, Negeri ini tidak miskin dengan para intelektual dan kaum
terdidik. Orang-orang cerdas dan para cendikiawan bertebaran di seluruh
pelosok negeri. Tapi semuanya perlu dipertanyakan moralnya, hal ini terjadi
karena hidup mereka gersang dan hampa akan nilai-nilai spiritualitas. Oleh
sebab itu, melalui pendidikan tasawuf sebagai salah satu ajaran Islam tentang nilai spiritualitas, harus mendapatkan perhatian penuh dalam upaya mendidik
generasi bangsa, keluar dari berbagai problem dalam kehidupan modern ini.
Dengan kata lain Tasawuf dapat dijadikan sebagai solusi alternatif dalam
15
maka tidak mustahil konsep Islam sebagai rahmat li al-‘a>lami>n akan
benar-benar menjadi kenyataan.12
Delapan penelitian tersebut baik Skripsi, Tesis, atau Jurnal,
masing-masing memiliki fokus dan sudut pandang yang berbeda, namun belum ada
yang secara spesifik mengkaji tentang pemikiran KH. Achmad Asrori
al-Ishaqy tentang pendidikan tarekat dan relevensinya dengan tujuan
pendidikan nasional . Dengan demikian penilitian ini tergolong aktual untuk
melengkapi kajian mengenai pemikiran KH. Achmad Asrori al-Ishaqy
khususnya dari sisi pendidikan ketarekatannya.
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan. Library Research merupakan bagian dari jenis penelitian
deskriptif kualitatif. Yakni, menganalisis dan mendeskripsikan persepsi
dan pemikiran seseorang secara individual.13
Penelitian kepustakaan ialah serangkaian kegiatan pengumpulan
data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.14 Nanang Martono mengatakan bahwa “Studi pustaka (Literature review)
ialah proses mencari, membaca, memahami, dan menganalisis berbagai
12 Sifullah, “Tasawuf Sebagai Solusi Alternatif Dalam Problematika Modernitas”, Islamica, 2
(Maret, 2008), 214.
13 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 60.
14 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
16
literatur yang berhubungan dengan penelitian.”15 Dengan demikian,
dalam penelitian ini, data akan digali dan diolah dari berbagai sumber
literatur. Terutama pustaka hasil karya KH. Achmad Asrori al-ishaqy.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Historis-
sosiologis dan Pendekatan Hermeunetika. Historis-sosiologis berguna
untuk menelusuri latar belakang kehidupan KH. Achmad Asrori al-Ishaqy
baik dari sisi keluarga maupun pendidikannya. Sedangkan Pendekatan
Hermeunetika digunakan untuk menginterpretasikan pemikirannya
tentang pendidikan tarekatnya.16
3. Sumber data
a. Data Primer.
Data primer adalah semua bahan tertulis atau hasil karya baik
berupa kitab maupun buku yang ada kaitannya dengan tema
penelitian.17 Dalam penelitian ini yang menjadi sumber utama adalah
karya KH. Achmad Asrori al-ishaqy, yaitu, al-Muntakhoba>t fi> Ra>bit}ati
al-Qolbiyyah wa s}ilatu al-Ru>hiyyah, al-Nuqt}ah fi> tahqiqi al-Ra>bit}ah, al-Muntah}aba>t fi> Ma> h}uwa al-mana>qib, al-Fathatu al-Nuriyyah,
al-faid}u al-Rahma>ni> fi> mana>qibi al-Syaikh Abdul Qo>dir al-Jila>ny, dan
Mutiara Hikmah.
15 Nanang Martono, Metode Penelitian Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 289.
16 Masdar F. Mas’ud, Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amien Rais dalam Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 8.
17 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metode Penelitian Filsafat (Yokyakarta: Kanisius,
17
b. Data Skunder
Data skunder adalah semua bahan tertulis yang berasal tidak
langsung dari sumber pertama. Data tersebut dapat diperoleh dari
dokumen-dokumen baik berupa Jurnal maupun Monografi. 18 Dalam
penelitian ini data tersebut akan diperoleh dari Buku Pedoman
Berkhidmah, Blue Print Tarekat, Blue Print Pondok Pesantren Al
Fithrah, Blue Print Jama’ah Al Khidmah, Audio atau Audio visual, dan
buku-buku lain yang memuat tema penelitian ini.
4. Metode Pengumpulan data
Metode pengumpulan data dalam penelitian kepustakaan ini
menggunakan metode studi dokumentasi. Agar data diperoleh secara
efisien, penggalian data akan dilalui dengan beberapa langkah, yaitu:19
Pertama, Mengidentifikasi konsep atau kata kunci yang digunakan dan
telah dimunculkan saat menentukan topik penelitian, Kedua, Mencari
definisi konsep pada sumber-sumber pustaka, Ketiga, Mengumpulkan hasil
pencarian dari berbagai sumber tersebut, kemudian memilah dan mencatat
sehingga memudahkan dalam menyusun hasil studi pustaka dalam mendesain penelitian, Keempat, Membuat desain literatur agar hasil studi
pustaka lebih sistematis dan sesuai dengan topik serta masalah penelitian;
Kelima, Menyusun berbagai bahan yang telah dikumpulkan sesuai dengan
desain yang telah dibuat sebelumnya, Keenam, Membuat ringkasan atau
18 Hasil rekaman majlis taklim bulanan dan majlis sowanan atau rekaman khusus dalam momen
tertentu
18
menganalisis hasil studi pustaka yang telah disusun dengan teknis analisis
isi (content analysis).
5. Teknik analisis data
Penelitian ini bersifat kualitatif, oleh karena itu teknis yang dapat
digunakan untuk menganalisis data yang telah diperoleh ialah:
a. Analisis isi (Content analysis), yaitu analisis secara mendalam
terhadap isi dari suatu temuan ilmiah
b. Induktif, yaitu cara berpikir yang berpijak pada data yang bersifat
khusus dan konkrit, kemudian digeneralisasikan sehingga mempunyai
unsur-unsur yang sama, dan akhirnya ditemukan pemecahan persoalan
yang bersifat umum.20
c. Deskriptif, yaitu metode mendeskripsikan informasi apa adanya sesuai
variabel-variabel yang diteliti.21
d. Interpretasi, yaitu berpikir dengan cara menyelami karya tokoh, agar
dapat memahami arti yang sebenarnya secara utuh dan komprehensif.22
6. Uji keabsahan data
Pengecekan keabsahan data dapat dilakukan dengan dua cara:
pertama, Kredibilitas data, yakni mengkonfirmasikan data dengan cara
triangulasi sumber-sumber data dengan bahan referensi yang dijadikan sebagai bahan rujukan utama. Kedua, Transferabilitas data. yaitu,
20 Sutrisno Hadi, Metodologi Research I (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1987), 42-46.
19
dilakukan dengan cara memberikan kesempatan kepada orang yang
membidangi untuk membaca laporan penelitian (sementara).23
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika penelitian ini disusun sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Bab ini dideskripsikan untuk memahami kronologi
penelitian yang akan dilakukan. Bab ini disusun dari beberapa sub bab, yaitu
latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu, metode penelitian,
dan sistematika pembahasan.
Bab II Landasan Teori. Bab ini disusun dari dua sub bab. Pertama
disusun untuk mengetahui tentang pendidikan tarekat menurut ahli tarekat,
yang memuat tentang pengartian tarekat, tujuan tarekat, manfaat tarekat,
prinsip pendidikan tarekat, muba>ya’ah dalam tarekat, dan sejarah kemunculan
tarekat. Kedua berisi tentang Tujuan Pendidikan Nasional. Bab ini disusun
dari beberapa sub bab. Pertama tentang pengertian pendidikan nasional.
kedua tentang perumusan tujuan pendidikan nasional, fungsi tujuan , dan tujuan pendidikan nasional yang terdiri dari tujuan secara nasional,
institusional, kurikuler, dan tujuan instruksional.
Bab III Pendidikan Tarekat Perspektif KH. Achmad Asrori al-ishaqy.
Bab ini berisi tentang Pendidikan Tarekat Perspektif KH. Achmad Asrori
al-Ishaqy. Sub bab ini dikelompokkan ke dalam dua anak bab. Pertama tentang
Profil KH. Achmad Asrori al-ishaqy, yang teridiri dari Latar Belakang
20
Keluarga, Riwayat Pendidikan, Kiprah di masyarakat yaitu: sebagai Murshid
Tarekat, Pengasuh Pondok Pesantren Al Fithrah, Pendiri Jama’ah Al
Khidmah, dan Karya-karyanya. Kedua berisi tentang Pendidikan Tarekat
Perspektif KH. Achmad Asrori al-ishaqy yang terdiri dari Pengertian tarekat,
Tujuan tarekat, dan Prinsip-prinsip tarekat yang memuat prinsip muba>ya’ah{
yang berisi tentang pengertian mubaya’ah, kriteria murshid, kriteria murid,
dan prinsip adab yang memuat tentang adab murid kepada Allah, kepada
Rasulullah, kepada guru, kepada dirinya sendiri, adab murid kepada sesama
muslim, dan adab dhikir tarekat
Bab IV Analisis Pendidikan Tarekat Perspektif KH. Achmad Asrori
al-ishaqy dan Relevansinya Terhadap Tujuan Pendidikan Nasional. Bab ini
disusun dari dua sub bab. Pertama, menganalisis tentang pendidikan tarekat
yang terdiri dari esensi tarekat, tujuan tarekat, dan prinsip dalam tarekat.
Kedua terdiri dari analisis tentang dasar tujuan pendidikan, tinjauan filosofis,
tinjauan sosiologis, tujuan pendidikan secara nasional, institusional,
kurikuler, dan secara intruksional sekaligus dengan analisisnya.
21
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pendidikan Tarekat Menurut Para Ahli
1. Pengertian Tarekat
Kata “Tarekat” berasal dari bahasa arab T{ari>qah{ yang berarti jalan,
sistem, metode, dan madhh{ab (aliran).1 Kemudian kalimat tersebut menjadi
kalimat baku dalam bahasa indonesia. Mulyadi Katanegara mengartikan
dalam konteks Timur Tengah, tarekat adalah jalan kecil (jalan pintas) menuju
wadi (oase) dan sulit dilalui karena terkadang sudah tertutupi pasir.2 Dari
ungkapan Mulyadi ini tersirat ma’na bahwa tarekat tidak banyak diketahui
orang, hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahuinya, sehingga wajar
saja kalau tarekat dipandang amaliah yang ilegal legitimasinya.
Dalam istilah tasawuf, tarekat merupakan suatu metode tertentu yang
ditempuh seseorang secara kontinyu untuk membersihkan jiwanya dengan
mengikuti jalur dan tahapan-tahapan dalam upayanya mendekatkan diri
kepeda Allah Swt.3 Dalam hasil diskusi FKI (forum karya ilmiah) disimpulkan
bahwa Esensi pendidikan tarekat ialah proses pembersihan jiwa dari akhlak
tercela dan menghiasi diri dengan akhlak yang mulia, atau dapat diartikan
bahwa tarekat ialah mengamalkan ajaran islam secara totalitas, baik lahir
maupun batin demi meraih rida Allah Swt atau wusu>l pada Allah.4 Dengan
22
demikian, tarekat dalam perspektif ini dapat dilakukan dengan berbagai cara
misalnya, menjadi pengajar ilmu agama, memberi petunjuk pada orang
tentang cara-cara beribadah atau tentang akhlak mulia, dan lain sebagainya.5
Selain dengan cara tersebut, tarekat dalam konteks ini juga dapat
dilakukan dengan cara memperbanyak wirid seperti, membaca Alquran,
tasbih, dala>il al-khaira>t, berpuasa, dan salat sunnah. Selain itu, bisa juga
dengan berkhidmah (mengabdi) kepada orang alim, atau melakukan kegiatan
sosial secara kontinyu seperti, bersedekah, bekerja untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, dan lain sebagainya.6 Hal ini selaras dengan pendapat
yang diutarakan oleh Zainuddin Abu Yahya al-Ma’bari dalam tulisan
sha’irnya,
ٍقُﺮُﻃ ْﻦِﻣ ٌﻖْﻳِﺮَﻃ ْﻢِﻫِﺪِﺣاَو ﱢﻞُﻜِﻟَو
ًﻼِﺻاَو اَذ ْﻦِﻣ ُنﻮُﻜَﻴ َـﻓ ُﻩُرَﺎﺘْﺨَﻳ
ًﺎّﻴ ﱢـﺑ َﺮُﻣ ِمَﺎﻧَﻻا َﻦْﻴ َـﺑ ِﻪِﺳْﻮُﻠُﺠَﻛ
مْﻮﱠﺼﻟﺎَﻛ ِداَرْوَﻻا ِةَﺮ ْـﺜ َﻜَﻛَو
ِسﺎﱠﻨﻠِﻟ ِﺔَﻣْﺪِﺨَﻛَو
ﺐَﻄَﺤﻟا ِﻞْﻤَﺤﻟاَو
ﻻَﻮَﻤَﺘَﻣ ٍﻞﱠﺼَﺤُﻤِﺑ ٍقﱡﺪَﺼَﺘِﻟ
Setiap guru sufi memiliki tarekat yang dipilihnya, dan dengan tarekat
tersebut ia wusul kepada Allah. Seperti halnya menjadi pendidik di kalangan
murid-muridnya, memperbanyak wirid seperti puasa, salat, khidmah
(mengabdikan diri) pada manusia (ulama), dan mencari kayu bakar, atau
bekerja yang diniatkan untuk disedakahkan hasilnya.7
5 Ibid., 137. 6 Ibid., 138.
7 Muhammad Nawawi, Salalim Al-Fudala’ Sharh Kifayah Al-Atqiya’ (Surabaya: Al-Haramain,
23
Realitanya, para kyai atau pimpinan Pondok Pesantren memang
banyak yang tidak mengikuti organisasi tarekat tertentu, ia mencukupkan bagi
dirinya dan para santrinya fokus dan konsisten pada ta’li>m (Pendidikan) ilmu
agama islam sebagai tarekatnya yakni, sebagai jalan untuk memperbaiki
akhlak, membersihkan jiwa dan mendekatkan diri pada Allah.
Harun Nasution mengartikan bahwa tarekat merupakan suatu cara
yang ditempuh seorang sufi dalam upayanya mendekatkan diri kepada Allah
Swt. namun dalam perkembangannya, tarekat menjadi sebuah organisasi yang
dipimpin oleh seorang Shaikh (Guru Spritual) dan sebagai anggotanya adalah
para murid shaikh tersebut. Aktivitas rutinitas dari organisasi tarekat ini
dalam pandangan Harun adalah berupa pengamalan dhikir dan wirid dengan
metode tertentu dari gurunya.8
Uraian definisi ini mengisyaratkan bahwa dalam pendidikan tarekat
peran seorang guru sangat urgen, karena aktivitas murid harus sesuai dengan
bimbingan dan ketentuan dari gurunya.
Amin Al-Kurdi mengemukakan, Tarekat adalah pengamalan syariat
dengan mengambil hal-hal yang penting atau lebih hati-hati, menunaikan
kewajiban dan amal sunah dengan kadar kemampuan di bawah pengawasan
orang yang ma’rifat, dan menjahui prilaku yang diharamkan, dimakruhkan,
serta tidak berlebihan melakukan sesuatu yang mubah.9
8 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalamm Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 104. 9Muhammad Amin Al Kurdi, Tanwir Al-Qulub fi Mu’amali Allami Al-GHuyub (Bairut: Darul
24
Menurut Zuhri tarekat adalah petunjuk dalam melakukan ibadah yang
sesuai dengan ajaran yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw dan
dikerjakan oleh para S{ahabat Nabi, Ta>biin dan Ta>bi’i al-ta>biin, dan
diteruskan oleh para ulama sampai pada masa saat ini, dengan silsilah (mata
rantai hubungan) yang tidak putus.10 Pendapat Zuhri ini menekankan bahwa
dalam pendidikan tarekat amaliah dan metodenya (kurikulumnya) harus
mengikuti ketentuan yang telah diajarkan oleh gurunya, bukan kreativitas
pribadi seseorang secara personal.
Masih dalam pandangan Al-Zahri bahwa, subtansi syariat adalah
peraturan-peraturan ibadah secara d{ahir, sedangkan tarekat adalah aktivitas
untuk merealisasikan syariat dengan sempurna. Jika syariat dan tarekat telah
dapat direalisasikan dengan sempurna maka akan menghasilkan hakekat.11
Dengan demikian, syariat tidak boleh diabaikan apapun alasannya. Begitu
pula tarekat sangat penting diamalkan dalam kehidupan, karna tanpa tarekat
syariat tidak sempurna, dan tarekat tanpa syariat tidak sah. Jadi, keduanya
harus berjalan selaras jika ingin menumbuhkan hakikat ma’rifat kepada Allah
Swt. sebagaimana pendapat Abdul Qodir Al-Jailani yang mengatakan,
ﺔﻘﻳﺪﻧز ﻰﻬﻓ ﺔﻌﻳﺮﺸﻟا ﺎﻫﺪﻴﺌﺗ ﻻ ﺔﻘﻴﻘﺣ ﻞﻛ
.
Segala bentuk “Pengakuan hakekat” yang tidak dikuatkan dengan syariat akan menjadi kafir zindiq.12
10 Mahmud Khalifah, Abdul Rahman, Risalah Jam’iyah Dzikrullahi Ta’ala baina Al Itiba, wal
Ibtida’ (Makkah: Dar Al-Tayyibah Al Hadharak, 2003), 73.
11 . Muhammad Dahlan, Ihsan, Al Jempesi, Al Qodiri, Siraju Al-Tolibin (Beirut: Dar kutub
al-Ilmiyah, 2000),108.
12 Abdul Qodir Al Jailani, Fathu al-Rabbani wa Faidul Rahmani (Beirut Libanon: Dar al-Kutub
25
Menurut pendapat Zaprulkhan, secara praktis tarekat merupakan
pengamalan keagamaan yang bersifat esoterik (penghayatan) yang dilakukan
oleh seseorang dengan menggunakan amalan berbentuk wirid dan dhikir yang
diyakini memiliki silsilah muttasilah (tranmisi) dari gurunya sampai kepada
Rasulullah, bahkan sampai pada malaikat Jibril dan dari Allah Swt.13
Pengertian ini mengisharatkan bahwa tarekat merupakan sebuah organisasi
sufistik. Husen Nashr mengatakan, “Silsilah muttasilah mutlak dibutuhkan
sebagai legitimasi dan ortodoksi tarekat sufi.”14 Tarekat sufi juga merupakan
organisasi sakral, oleh karena itu wajar jika keberadaannya bersifat hirarkis
dan gradasi.15
Pengertian tarekat juga berbeda-beda berdasarkan sosio-historisnya.
Misalnya, pada akhir abad ke-2 Hijriyah, tarekat diartikan sebagai kumpulan
etika, akhlak dan akidah yang menjadi pedoman bagi kelompok sufi dan
suluknya.16 Pada abad ke-6 dan ke-7 tarekat diartikan sebagai peraturan atau
sistem riya>d{ah kaum sufi yang membedakan antara sesama kelompok sufi.
Dalam perkembangan selanjutnya, tarekat diartikan sebagai organisasi kaum
sufi yang dipimpin seorang guru murshid, yang mematuhi peraturan suluk atau
perjalanan rohani yang berdomisili secara berkelompok di zawiyah, rubat dan
khanaqah (tempat-tempat yang digunakan untuk ritual tarekatnya).17
13 Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf, 35. 14 Ibid., 35.
15 Ibid., 36.
16 Amir al-Najr, Al-Turuq Al-Sufiyah Fi Misra (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt), 19. Dalam Forum
Karya Ilmiah (FKI) TAHTA 2010.
26
Shaikh Najmuddin al-Kubra menganalogikan bahwa syariat
diumpamakan perahu yang dijadikan sebagai kendaraan berlayar sampai ke
tengah samudra. Tarekat bagaikan samudra tempat berlayar yang di
tengah-tengahnya terdapat intan. Sedangkan hakikat laksana intan yang istimewa
yang terdapat di dasar lautan. Dengan demikian, seseorang tidak akan bisa
menemukan intan tanpa mau berlayar ke tengah lautan dan menyelam sampai
ke dasarnya, dan tidak mungkin bisa sampai ke tengah lautan tanpa
menggunakan perahu. Artinya, sesorang tidak akan mampu mencapai hakikat
kecuali melalui tarekat, dan tidak akan bisa menjalankan tarekat tanpa
konsisten melaksanakan syariat.18
Pada dasarnya, aneka ragam pengertian tarekat di atas mengarah pada
dua hal pokok, yaitu pertama, esensi tarekat, yakni pengamalan syariat secara
mendalam dan kontinyu, dan dalam hal ini tidak harus menggunakan metode
atau tuntunan dari seorang guru murshid. kedua adalah sistem pengamalan
tarekat, atau yang disebut organisasi tarekat sufi yang dipimpin oleh seorang
guru murshid dalam mengamalkan ritual atau wirid dan dhikir tertentu, dan
dalam sistem ini pengamalannya harus mengikuti ketentuan dan tatacara yang
telah diracik dan ditetapkan oleh guru murshidnya. Karena dalam tarekat
model ini, biasanya saliknya telah berjanji atau yang disebut dengan istilah
bay’at dan memasrahkan segala urusan batinnya kepada guru murshidnya
untuk dibimbing menuju menghadap Allah Swt.
27
2. Tujuan Pendidikan Tarekat
Tujuan tarekat adalah mempelajari kesalahan dan kekurangan pribadi,
baik dalam melakukan amal ibadah atau dalam interaksi dengan masyarakat
dan belajar cara memperbaikinya, dengan cara membersihkan
penyakit-penyakit hati melalui bimbingan serta interaksi berkumpul dengan seorang
guru yang telah mencapai kesempurnaan dan kompeten dalam metode
pengobatan penyakit hati.19 Sebagaimana perintah Allah Swt yang tercantum
dalam surat al-Taubat ayat ke-119 Allah berfirman,
َﻦﻴِﻗِدﺎﱠﺼﻟا َﻊَﻣ اﻮُﻧﻮُﻛَو َﻪﱠﻠﻟا اﻮُﻘ ﱠـﺗ ا اﻮُﻨَﻣآ َﻦﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬ ﱡـﻳ َأ ﺎَﻳ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.20
Yang dimaksud S{>adiqin dalam ayat ini adalah orang-orang yang
senantiasa berada di jalan yang benar, yaitu orang-orang yang diridoi secara
lahir batin prilakunya.21 Abu Sulaiman mengatakan, “Interaksi atau berguru
pada guru murshid atas dasar kebenaran dan kejernihan hati akan
menghilangkan penyakit-penyakit batin yang dideritanya.”22
Dalam kitab Bay’at Al-Sufiyah disebutkan bahwa tujuan bay’at (Janji
murid kepada guru murshid dalam tarekat) adalah memperkuat relasi antar
guru murshid dan murid dalam upaya revolusi karakter kehidupan dari sering
19 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf (Wonosobo: Amzah, 2005),
244.
20 Alquran dan terjemahannya, 9: 119 (Bandung: Sinar Baru, 2005)
21 Abu Abdurrahman Muhammad al-Sulami, Tafsir al-Sulami (Libanun: Dar al-Kutub al-Ilmiah,
2001), 291.
28
lalai Tuhan dan kuatnya shahwat, berupaya pindah ke kehidupan yang
senantiasa ingat Tuhan, bertaubat, dengan h{immah (cita-cita) yang tinggi.23
Menurut Syaikh Sholeh Basalamah, tarekat pada hakikatnya ialah
mengajak manusia supaya bisa memanfaatkan waktu untuk selalu berdikir
kepada Allah. Menurutnya, tujuan utama tarekat adalah mengajak umat islam
untuk berdhikir kepada Allah, karena beberapa kurun waktu setelah
ditinggalkan Rasulullah umat, islam mulai jauh dari dhikir, padahal dalam
Alquran memerintahkan manusia untuk senantiasa berdhikir, agar
mendapatkan hati yang tenang dan bahagia.24 Sebagaimana firman Allah
dalam surat al-Ra’du ayat ke-28 yaitu,
َﻻَأ
ِﺮْﻛِﺬِﺑ
ِﻪﱠﻠﻟا
ﱡﻦِﺌَﻤْﻄَﺗ
ُبﻮُﻠُﻘْﻟا
Ingatlah! Dengan dhikir mengingat Allah maka hati menjadi tenang25
Menurut Khalil. A. Bamar bahwa tujuan tarekat adalah mencari jalan
mendekatkan diri kepada Allah. Agar bisa menemukan dan menempuh jalan
tersebut, penganutnya harus mempelajari kekurangan dan kesalahan serta
dosa-dosa yang diperbuatnya, kemudian melakukan perbaikan-perbaikan.26
3> Manfaat Pendidikan Tarekat
Dengan mengikuti pendidikan tarekat seorang salik dapat memahami
dan menyadari kekurangan dan kesalahan dirinya. Selain itu, ia bisa mengerti
dan menyadari keberadaan penyakit hatinya dan cara menanganinya atas
arahan dari gurunya. Karena seseorang sulit mengetahui dan menyadari
23 Ali al-Gharisi, Bay’atu al-Sufiyyah (t.t.: t.p., 2014), 23. 24 Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, 244.
29
kekurangan dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia membutuhkan orang yang ahli
untuk hal itu, yaitu guru murshid. Rasulullah Saw. bersabda,
َا ْﻟ
ُﻤ ْﺆ
ِﻣ
ُﻦ
ِﻣ ْﺮ َأ
ُة
ْﻟا
ُﻤ ْﺆ
ِﻣ
ِﻦ
Seorang mukmin dapat menjadi cermin bagi mukmin yang lain. HR. Abu Dawud
Selain dengan cara berinteraksi pada guru murshid, seorang salik dapat
memperbaiki prilakunya melalui metode uswah{, yakni memerhatikan dan
meniru adab gurunya setiap saat.27 Karena situasi sosial atau lingkungan
memiliki pengaruh yang signifikan dalam pembentukan karakter. Hal ini
sebagaimana sabda Rasulullah,
ِﺲﻴِﻠَﺠْﻟاَو ِﺢِﻟﺎﱠﺼﻟا ِﺲﻴِﻠَﺠْﻟا ُﻞَﺜَﻣ ﺎَﻤﱠﻧِإ
ُﻞِﻣﺎَﺤَﻓ ِﺮﻴِﻜْﻟا ِﺦِﻓﺎَﻧَو ِﻚْﺴِﻤْﻟا ِﻞِﻣﺎَﺤَﻛ ِءْﻮﱠﺴﻟا
ﻴِﻜْﻟا ُﺦِﻓﺎَﻧَو ًﺔَﺒﱢﻴَﻃ ﺎًﺤﻳِر ُﻪْﻨِﻣ َﺪِﺠَﺗ ْنَأ ﺎﱠﻣِإَو ُﻪْﻨِﻣ َعﺎَﺘْﺒ َـﺗ ْنَأ ﺎﱠﻣِإَو َﻚَﻳِﺬْﺤُﻳ ْنَأ ﺎﱠﻣِإ ِﻚْﺴِﻤْﻟا
ِﺮ
ًﺔَﺜﻴِﺒَﺧ ﺎًﺤﻳِر َﺪِﺠَﺗ ْنَأ ﺎﱠﻣِإَو َﻚَﺑﺎَﻴِﺛ َقِﺮْﺤُﻳ
Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pande besi. Penjual minyak wangi, antara dia memberikannya kepadamu, atau engkau membelinya darinya, atau engkau mendapatkan semerbak harumnya darinya. Sedangkan tukang besi, antara pakaianmu terbakar karenanya, atau engkau terkena bau busuk besi. (HR. Muslim)
Hadith ini mengisaratkan bahwa perkumpulan atau pertemanan itu
dapat memengaruhi kondisi atau prilaku teman interaksinya, baik pengaruh
positif maupun pengaruh negatif. Interaksi dengan teman baik, ia akan dapat
kebaikannya, banyak ataupun sedikit. Sebaliknya, jika interaksinya dengan
teman yang buruk, ia akan terkena imbas keburukannya, walaupun tidak
terlibat dalam melakukan keburukannya.
30
Shaikh Ali Daqaq, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Qushairi, ia
mengatakan, “Pohon apabila tumbuh dengan sendirinya hanya akan tumbuh
beserta daunnya, tidak akan berbuah. Begitu pula seseorang apabila tidak
berguru kepada guru murshid, lalu menyerap begitu saja ajaran-ajaran tasawuf
dengan metodenya sendiri, maka orang tersebut sebenarnya menjadi hamba
hawa nafsunya, walaupun tidak menyadarinya.”28
Pernyataan sufi tersebut kiranya cukup jelas manfaat berada dalam
penanganan guru pembimbing yang menuntun, mengarahkan dan menjaganya
dari jebakan-jebakan, dan tipu daya setan atau hawa nafsu yang sangat lembut
dan samar dalam mengamalkan amaliah spritual rohani guna membersihkan
hati dari penyakit-penyakitnya. Misalnya, seseorang ingin melakukan uzlah
(mengasingkan diri dari halayak ramai orang lain) dengan alasan atau niat
“Agar dirinya terhindar dari keburukan masyarakat. Atau agar masyarakat
tidak terpengaruhi keburukan dirinya.”
Dua model niat tersebut akan membawa dampak berbeda dan nilai
beda pula di sisi Allah Swt. Niat yang pertama ternilai sombong. Karena
disadari atau tidak, ia telah mengklaim masyarakat memiliki akhlak dan adab
yang buruk, yang dapat merusak kebaikan dirinya. Sedangkan niat yang kedua
ternilai tawadu’. Karena dirinya merasa lebih buruk dari masyarakat, dan agar
masyarakat tidak tertular keburukan dirianya, ia memilih ‘uzlah{. Karena itu,
seorang murshid mutlak diperlukan sebagai pemandu. Bahkan imam Ghazali
mengatakan, “Seorang murid harus patuh kepada gurunya, seperti halnya bayi
31
di tangan ibunya.” Maulana Rumi juga menjelaskan, “Karena tampa
bimbingan seorang murshid, perjalanan dua hari akan menjadi perjalanan
seratus tahun bagi murid.”29
4. Prinsip Pendidikan Tarekat
Prinsip fundamental dalam wacana tasawuf, atau seorang yang ingin
mengembangkan pendakian spritualnya (baca: salik atau murid), ia harus
memiliki seorang pemandu atau pembimbing yang disebut dengan istilah Guru
Murshid. Sebagaimana ungkapan yang cukup mashur dalam wacana tasawuf,
yaitu, “Siapa yang tidak memiliki guru pembimbing, maka setanlah yang akan
menjadi gurunya.”30
Ahmad bin Rifa’i menjelaskan bahwa prinsip dasar tarekat yang harus
dipegang dan diamalkan oleh seorang sa>lik adalah zuhud fi al-dun-ya, karena
orang yang tidak zuhud dalam urusan dunia, ia tidak akan bisa membangun
dan mengembangkan potensi batinnya yang lain.31
Para sufi banyak ragamnya dalam mendefinisikan zuhud. Ibnu al-Jilla’
mengatakan, “Zuh{ud adalah memandang duniawi dengan penilaian bahwa
duniawi itu akan hilang dan keberadaannya kecil, sehingga ia dengan mudah
menjahui dan meninggalkannya.”32 Yahya bin Mu’adh mengatakan bahwa
“Sifat zuh{ud dapat menumbuhkan rasa sakha’ (dermawan) dalam
29 Ibid., 76.
30 Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf , 76.
32
kempemilikan. Sedangkan rasa cinta dapat menumbuhkan sifat sakha’ ruh
manusia.”33 Rasulullah Saw dalam sebuah hadithnya bersabda,
اَذِإ
ُﻢُﺘْـﻳَأَر
َﻞُﺟﱠﺮﻟا
َﻦِﻣْﺆُﻤْﻟا
ْﺪَﻗ
َﻲِﻄْﻋُأ
اًﺪْﻫُز
ﻲِﻓ
ﺎَﻴْـﻧﱡﺪﻟا
َﺔﱠﻠِﻗَو
ٍﻖِﻄْﻨَﻣ
اﻮُﺑِﺮَﺘْـﻗﺎَﻓ
ُﻪْﻨِﻣ
،
ُﻪﱠﻧِﺈَﻓ
ﻰﱠﻘَﻠُـﻳ
َﺔَﻤْﻜِﺤْﻟا
Jika kamu melihat seseorang benar-benar diberi sifat zuhud oleh Allah di dunia dan sedikit omongannya, maka dekatilah, karena ia telah dianugerahi ilmu hikmah oleh Allah. H>R. Abu Khala’
Ibnu Khafif mengatakan, indikator sakha’ adalah adanya sifat tenang
dalam menghadapi kehilangan kepemilikan yang bersifat duniawi. Allah Swt
berfirman dalam surat al-Nisa’ ayat ke-77
ﻰ َﻘ ﱠـﺗ ا ِﻦَﻤﱢﻟ ٌﺮ ْـﻴ َﺧ ُةَﺮِﺧﻵاَو ٌﻞﻴِﻠَﻗ ﺎَﻴ ْـﻧ ﱠﺪﻟا ُعﺎَﺘَﻣ ْﻞُﻗ
Katakanlah, Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa.34
Salik harus senantiasa mengikuti dan melaksanakan apa yang
diperintahkan gurunya. Salik tidak boleh mengukur dirinya dengan segala
macam prilaku yang diperbuat oleh guru murshidnya untuk diikuti, karena
murid tidak akan mampu melihat secara totalitas hakikat perbuatan
murshidnya.35
Salik tidak boleh semerta-merta ikut melakukan amaliah yang
diperintahkan secara khusus kepada salik yang lain, karena setiap murid
haliahnya berbeda, dan tentunya seorang guru murshid akan memberikan
amaliah secara khusus disesuaikan dengan kondisi batin salik
33 Ibid., 118.
33
Salik tidak boleh selalu mengikuti keinginan hawa nafsunya baik nafsu
makan, pakaian dan juga keinginan tidur, dan salik tidak boleh selalau
mencari-cari rukhsah (dipensasi) yang sebenarnya hanya sebagai legalitas
keinginan nafsunya
Menurut pandangan Shaikh Abdu al-Qadir al-Jilani, dalam tarekat
terdapat tujuh (7) prinsip, yaitu:
a. Muja>h{adah, yakni memerangi dan menahan dorongan negatif hawa nafsu.
Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat al-‘Angkabut ayat ke 69
yaitu,
َﻦﻴِﻨِﺴْﺤُﻤْﻟا َﻊَﻤَﻟ َﻪﱠﻠﻟا ﱠنِإَو ﺎَﻨَﻠ ُـﺒ ُﺳ ْﻢ ُﻬ ﱠـﻨ َـﻳِﺪْﻬ َـﻨ َﻟ ﺎَﻨﻴِﻓ اوُﺪَﻫﺎَﺟ َﻦﻳِﺬﱠﻟاَو
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik36
b. Tawakkal, yakni memasrahkan segala macam urusan kepada Allah,
menghindari dan membersihkan dari rencana dan upaya buruk.
Sebagaimana firman Allah yang termuat dalam surat al-t{alaq ayat ke 3
yaitu,
ﻦَﻣَو
ْﻞﱠﻛَﻮَـﺘَـﻳ
ﻰَﻠَﻋ
ِﻪﱠﻠﻟا
َﻮُﻬَـﻓ
ُﻪُﺒْﺴَﺣ
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.37
c. Husnu al-khuluq (Budi pekerti yang baik). akhlak yang baik kepada Allah
adalah menunaikan perintah Allah dengan baik dan menjahui
34
Nya. Taat pada Allah dalam situasi dan kondisi bagaimanapun tanpa
mengharapkan ganti, dan memasrahkan segala macam taqdir dirinya
kepada Allah.38 Abu Said al-Khudri mengatakan bahwa husnu al-khuluk
adalah segala macam keinginannya disandarkan pada Allah, tidak
lainnya.39
d. Syukur. Prinsip ini berdasarkan firman Allah yang termuat dalam surat
Ibrahim ayat ke-7 yaitu,
ٌﺪﻳِﺪَﺸَﻟ ﻲِﺑاَﺬَﻋ ﱠنِإ ْﻢُﺗْﺮَﻔَﻛ ﻦِﺌَﻟَو ْﻢُﻜﱠﻧَﺪﻳِزَﻷ ْﻢُﺗْﺮَﻜَﺷ ﻦِﺌَﻟ
Jika kalian bershukur niscaya akan aku tambahi, dan jika kalian ingkar sesungguhnya siksaanku sangat pedih.40
Hakikat shukur adalah mengakui atau menunjukan nikmat yang
diterima kepada yang memberi nikmat secara istimewa. Atau bisa juga
dikatakan bahwa hakikat shukur adalah memuji kepada yang berbaik baik atas
perbuatan baiknya. Dengan demikian, esensi shukur adalah nikmat yang
diterima dari Allah tidak dipergunakan dalam hal-hal yang dilarang Allah Swt.
e. Sabar. Allah menjelaskan dalam surat al-Imran ayat ke-200 dengan
firmannya
اَرَو ْاوُﺮِﺑﺎَﺻَو ْاوُﺮِﺒْﺻا ْاﻮُﻨَﻣآ َﻦﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَأ ﺎَﻳ
َنﻮُﺤِﻠْﻔُـﺗ ْﻢُﻜﱠﻠَﻌَﻟ َﻪﱠﻠﻟا ْاﻮُﻘﱠـﺗاَو ْاﻮُﻄِﺑ
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.41
38 Abdu Al-Qodir, Al-Ghunyah Li Talibi Tariqah Al-Khat (Surabya: Dar al-Kutub al-Ilmiah,
1998), 288.
39 Ibid., 321.
35
Arti sabar menurut pendapat Dhu al-Nun al-Misri adalah menghindari
pertentangan dengan syariat, tetap tenang pada waktu menerima musibah, dan
tetap bersikap seperti orang kaya walaupun dalam keadaan fakir42
f. Rid{a. Prinsi rida ini berdasarkan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat
ke-119 yaitu,
َﻲِﺿﱠر
ُﻪﱠﻠﻟا
ْﻢُﻬْـﻨَﻋ
ْاﻮُﺿَرَو
ُﻪْﻨَﻋ
َﻚِﻟَذ
ُزْﻮَﻔْﻟا
ُﻢﻴِﻈَﻌْﻟا
Allah meridhai segala perbuatan-perbuatan mereka, dan merekapun merasa puas terhadap nikmat yang telah dicurahkan Allah kepada mereka. Itulah keberuntungan yang paling besar.43
Abu Abdullah mengatakan, rid{a adalah senangnya hati terhadap
hukum dan ketentuan yang telah ditentukan Allah, dan hati merasa suka dan
cocok dengan sesuatu yang telah diberikan Allah kepadanya.44
g. S{idqu (Jujur dan bersungguh-sungguh). Prinsip ini berdasarkan firman
Allah dalam surat al-Taubat ayat ke-119
ﺎﻳ
ﺎَﻬﱡـﻳَأ
َﻦﻳِﺬﱠﻟا
ْاﻮُﻨَﻣآ
ْاﻮُﻘﱠـﺗا
َﻪﱠﻠﻟا
ْاﻮُﻧﻮُﻛَو
َﻊَﻣ
َﻦﻴِﻗِدﺎﱠﺼﻟا
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.45
Sidq adalah kesesuaian antara omongan dan perbuantannya serta
prilaku batin seseorang.46 Apa yang disampaikan atau diajarkan kepada orang
lain tidak sekedar teori saja, melainkan dirinya sendiri telah melakukannya.
42 Al-Jilani, Al-Ghunyah, 328.
43 Alquran dan terjemahanya, 5: 119 (Bandung: Sinar Baru, 2005) 44 Al-Sha’rani, Risalah Al-Qushairi, 70.
36
5. Mubaya’ah (Ikatan Salik-Murshid)
Muba>ya’ah dalam arti etimologisnya berasal dari akar kata عﺎﺑ
(perjanjian menjual) atau dari َعَﺎﺒْﻟَا (depa) yang mengandung arti kedua belah
pihak saling mengulurkan tangannya untuk saling memberi atau saling
menerima. Dari arti kata tersebut tersirat bahwa arti mubaya’ah adalah ikatan
dua belah pihak yang saling membari dan mengambil manfaat dan
konsekwensi. Sedangkan dalam arti tinjauan terminologisnya (istilah
tasawuf), bay’at menurut ibnu Khaldun ialah perjanjian taat. Menrut Ibnu
al-Athir ialah ikatan dan perjanjian untuk saling memberi bersamaan waktu
akad. Adnan Ali Rida al-Nawy mendefinisikan bahwa bay’at ialah
kalimat-kalimat yang digunakan untuk menginterpretasikan niat dan azamnya, guna
memenuhi dan mengerjakan, yang disertai dengan saling mengulurkan tangan
bersalaman yang mengekpresikan adanya saling percaya.47 Terkadang ulama
sufiyah menggunakan kata ‘Ah{du (Janji) yang mengandung konsekuensi, salik
harus melaksanakan kewajiban, adab syar’i, dan mengamalkan wirid-wirid,
dhikir-dhikir, dan mujah{adah{ (upaya) yang telah ditetapkan oleh murshid
kepada muridnya sesuai waktunya.48
Secara garis besar bay’at itu ada dua macam. Pertama, Bai’ah
al-‘ammah, yaitu baiat ketaatan kepada pemerintahan. Yakni, warga Negara
berjanji taat kepada pemerintah sebagai bentuk timbal balik pengaturan
kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat. Konsekwensi dari bay’at ini adalah
37
warga negara wajib taat kepada pemimpin, sebagaimana firman Allah dalam
surat al-Nisa’ ayat ke-59
ﻢﻜﻨﻣ ﺮﻣﻷا ﻰﻟواو لﻮﺳﺮﻟا اﻮﻌﻴﻃاو ﷲا اﻮﻌﻴﻃا اﻮﻨﻣآ ﻦﻳﺬﻟا ﺎﻬﻳا ﺎﻳ
Hai orang-orang yang beriman, hendaknya kalian ta’at kepada Allah, dan ta’at kepada Rasul, serta penguasa urusan di antara kalian.49
Kedua, bai’ah al-kha<ss{ah, bay’at ini variatif dan individual bai’ai Rasul
kepada sahabat-sahabatnya. Diantaranya, pertama, sahabat Jabir berbay’at
kepada Rasul untuk selalau memberi nasehat, baiat ini disebut bay’at nasehat.
Kedua, baiat tidak shirik dan melaksanakan salat, seperti yang dilakukan ‘Auf
bin Malik. Ketiga, bay’at berkata secara adil, seperti yang dilakukan ‘Ubadah
bin Samit. Keempat, baiat berani mati, seperti yang dilakukan Salamah bin
Akwa’ sewaktu peperangan Hudaibiyah. Kelima, bay’at tidak melarikan diri
dari medan perang, seperti yang dilakukan sahabat Jabir. Keenam, baiat jihad,
sebagaimana yang dilakukan oleh Abi Umayyah. Ketujuh, baiat athrah
(mengutamakan orang lain), seperti yang dilakukan ayah dan kakek ‘Ubadah
bin Walid. Baiat semacam ini termasuk mujahadah al-nafs, karena ia lebih
mementingkan dan mendahulukan kepentingan orang lain daripada
keinginannya sendiri. Kedelapan, bay’at tidak meminta-minta harta kepada
orang lain, seperti yang dilakukan ‘Auf bin Malik dan sebagian sahabat
lainnya. Ini juga termasuk kategori mujahadah al-nafs .Kesembilan, baiat
s{adaqah, seeti yang dilakukan Bashar bin Khasasiyah. Sahabat ini datang
menemui Rasul untuk berjanji akan senantiasa melaksanakan aturan dan
rukun-rukun islam. Tapi untuk berjihad dan bersedekah ia mengatakan tidak
38
mampu. Lalu Rasul memegang tangannya Bashar seraya berkata, “Tampa
sedekah dan jihad, dengan apa kamu mau masuk surga?.” Bashar lalu
menjawab, “Saya berjanji wahai Rasul, siap bersedekah dan jihad.” Kesepuluh,
bay’at niyahah (tidak meratapi nasib).
Macam-macam bay’at di atas, baik yang bersifat umum atau yang
bersifat khusus, dari uraian tersebut setidaknya dapat disimpulkan bahwa
baiat pada zaman rasul atau yang telah dilakukan Rasul kepada
sahabat-sahabatnya tampaknya bay’atnya variatif sifatnya, ada yang bersifat amaliah,