PENDEKATAN POSKOLONIAL FEMINIS DI INDONESIA Ira D. Mangililo, Phd
Apakah yang dimaksud dengan analisa feminis di dalam studi biblika? Bagaimana awal kemunculannya dan apa perbedaan yang dibuat oleh pendekatan ini? Apakah ada lebih dari satu pendekatan di dalam analisa ini dan jika demikian maka bagaimana
hubungan di antara pendekatan-pendekatan tersebut? Apakah analisa feminis yang pertama-tama muncul di dalam konteks Barat cocok diterapkan di dalam konteks Asia secara umum dan konteks Indonesia secara khusus? Jika tidak maka apakah ada pendekatan alternatif yang dapat digunakan untuk menjawab pergumulan para ahli biblika perempuan di Indonesia?
Tulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Pertama-tama, saya akan menyajikan gambaran tentang latar belakang sejarah kemunculan pendekatan feminis di dalam studi biblika yang dimulai oleh para ahli feminis di dunia Barat dan kemudian berkembang di negara-negara Asia seperti Indonesia. Setelah menetapkan definisi dari pendekatan feminis, saya akan menggambarkan lima jenis posisi yang muncul di dalam analisa feminis di dalam studi biblika yaitu rejectionist, loyalist, revisionist, sublimationist, dan liberationist. Di bagian berikutnya saya akan membahas tentang tanggapan dari para feminis yang berasal dari negara-negara berkembang terhadap pendekatan feminis yang diperkenalkan oleh ahli feminis kulit putih dari konteks Eropa dan Eropa-Amerika. Pembahasan ini akan menunjukkan bahwa pendekatan feminis yang hanya memperhatikan isu patriarki/kyriarki ternyata tidak cukup untuk menjawab pergumulan para perempuan yang berada di Asia yang mengalami penindasan ganda yaitu oleh sistem patriarki dan imperialisme. Akhirnya, saya akan menggambarkan analisa poskolonial feminis yang memperkenalkan isu-isu kelas, ras, dan kondisi kolonial ketika mendekati teks-teks Alkitab dalam rangka
penjajahan terutama terhadap kaum perempuan. Kemampuan untuk memahami kenyataan ini akan memungkinkan para perempuan untuk menghasilkan jenis-jenis tafsiran tandingan yang bertujuan untuk memulihkan status mereka sebagai manusia yang utuh dan setara dengan kaum laki-laki.
Analisa Feminis di dalam Studi Biblika
Penafsiran feminis di dalam studi biblika merupakan bagian dari perjuangan yang lebih besar untuk pembebasan kaum perempuan. Perjuangan ini bertitik tolak dari adanya kesadaran bahwa di dalam sejarah peradaban dunia, perempuan telah dimarginalisasikan oleh kaum laki-laki dan telah diingkari akses atau kesempatannya untuk menduduki posisi kepemimpinan. Untuk itu, kritik feminis hadir untuk menyingkapkan strategi-strategi yang digunakan oleh para laki-laki untuk membenarkan kontrol mereka atas para perempuan; dan karena para perempuan juga turut serta berperan di dalam
melanggengkan kekuasaan para laki-laki tersebut maka pendekatan feminis bertujuan untuk memahami kekompleksitasan kaum perempuan di dalam ketertindasan mereka sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah berkenaan dengan: faktor-faktor apa sajakah yang mendorong para perempuan untuk menerima subordinasinya dan
bagaimana para perempuan beradaptasi dan juga menolak keadaan di mana para laki-laki tampil sebagai penguasa dan pembuat keputusan?1
Pertanyaan-pertanyaan di atas juga digumuli oleh para perempuan Kristen yang hidup di konteks kekinian. Mereka berjuang untuk mengklaim kembali kekuasaan untuk “menamai” diri mereka sendiri dan juga pengalaman mereka bersama Allah dan dunia sebagai faktor-faktor penting yang mendefinisikan tradisi Kekristenan.2 Salah satu lokus penting di dalam perjuangan perempuan untuk mendefinisikan diri sendiri adalah melalui penafsiran Alkitab.3 Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa Alkitab dilahirkan dan
1 J. Cheryl Exum, “Feminist Criticism: Whose Interests Are Being Served?” in Judges & Methods: New
Approaches in Biblical Studies, ed. by Gale A. Yee (Minneapolis: Fortress Press, 2007), 65.
2 Carolyn De Swarte Gifford, “American Women and the Bible: The Nature of Woman as a Hermeneutical
Issue,” in Feminist Perspective on Biblical Scholarship, SBL 10, ed. by Adela Yarbro Collins (Chico: Scholars Press, 1985), 33.
3 Literatur-literatur awal yang merepresentasikan upaya ini dapat dilihat melalui koleksi-koleksi artikel:
dibesarkan di dunia patriarkal sehingga Alkitab banyak mengandung bahasa dan simbol-simbol para laki-laki. Selama berabad-abad para penafsir telah mengembangkan dan mengeksploitasikan bahasa laki-laki ini untuk mengartikulasikan teologi; menentukan garis batas dan isi gereja dan dunia akademik; mengatur perempuan dan laki-laki – terutama yang berhubungan dengan siapa mereka, apa peran yang seharusnya mereka mainkan dan bagaimana mereka harus bertindak.4 Kesadaran bahwa Alkitab dibentuk oleh kaum laki-laki dalam budaya patriarkal sehingga banyak pengalaman dan penafsiran
yang bersifat androsentris dan terkadang misogini telah mendorong para pembaca Alkitab perempuan untuk mendekati teks-teks kitab suci dengan menggunakan analisa feminis. Analisa ini diartikan oleh Phyllis Bird sebagai sebuah sikap kritis dan konstruktif yang bertujuan untuk mengklaim kemanusian penuh bagi setiap orang tanpa memandang ras, etnis, usia, jenis kelamin, agama dan situasi sosial/ekonomi/politik.5 Pamela Thimmes memahami feminisme sebagai sebuah istilah politik yang menggambarkan gerakan pembebasan yang tidak hanya mengkritik berbagai struktur penindasan di dalam
masyarakat melainkan melalui berbagai suara dan pendekatannya dapat menuntun pada transformasi.6 Di dalam pembahasannya tentang feminisme di dalam Alkitab, Susan Brayford mengabungkan kedua pandangan ini dengan mengatakan bahwa feminisme mencakup baik komitmen intelektual maupun gerakan politik yang bertujuan untuk mencari keadilan dan kesetaraan hak-hak bagi kaum perempuan dan pada akhirnya bukan hanya bertujuan untuk menghapus seksisme tetapi juga segala bentuk diskriminasi.7
Dengan adanya berbagai pendapat tentang bentuk dan tujuan serta sasaran yang ingin dicapai di dalam studi feminis di dalam Alkitab, satu hal yang disetujui oleh para ahli feminis adalah bahwa feminisme merupakan sikap politik yang berusaha untuk membebaskan para perempuan dari penindasan terutama yang disebabkan oleh hasil
Carol A. Newsome and Sharon H. Ringe, eds., The Women’s Bible Commentary (London: Westminster/John Knox Press, 1992).
4
Phyllis Trible, “Feminist Hermeneutics and Biblical Studies,” Christian Century February 3-10, 116.
5 Phyllis Bird, “What Makes a Feminist Reading Feminist? A Qualified Response,” in Escaping Eden: New
Feminist Perspectives in the Bible, ed. by Harold C. Washington et all (Sheffield: Sheffield Academic Press, 1998), 124-31.
6 Pamela Thimmes, “What Makes a Feminist Reading Feminist? Another Perspective,” in Escaping Eden:
New Feminist Perspectives in the Bible, ed. by Harold C. Washington et all (Sheffield: Sheffield Academic Press, 1998), 132-40.
7
Susan Brayford, ”Feminist Criticism: Sarah Laughs Last,” in Method Matters: Essays on the
pembacaan dan penafsiran Alkitab yang bersifat androsentris yang terus membentuk nilai-nilai kehidupan dari mereka yang membaca dan menafsirkannya.8 Di sinilah sebagai sebuah pendekatan, feminisme merupakan sebuah wacana yang menekankan pada
tanggung jawab teologis, intelektual dan etika dari mereka yang mengambil sikap untuk menggumuli Alkitab dan penafsirannya secara serius mengingat bahwa hasilnya sangat berkaitan dengan kehidupan komunitas iman di dalam konteks global maupun lokal terutama yang berkenaan dengan situasi perempuan di dalam komunitas tersebut.9
Seperti halnya feminisme sendiri yang memiliki berbagai bentuk, pendekatan feminis di dalam Alkitab tidak dapat berdiri sendiri. Ia memiliki tendensi interdisiplinari. Banyak ahli feminis yang menggunakan pendekatan antropologi, sosiologi, dan
kesusastraan sebagai titik berangkatnya.10 Menurut McKay, penggunaan analisa feminis yang ditopang dengan pendekatan lainnya dapat bermanfaat untuk “melarutkan”
kesadaran gender yang palsu.11 Senada dengan McKay, Thimmes berpendapat bahwa hal yang menyebabkan sebuah penafsiran dikategorikan sebagai feminis adalah ketika penafsiran tersebut menggunakan pendekatan metodologis tertentu yang bergerak dalam pola lingkaran, meliputi sejumlah ide dan prapaham yang menemukan kejelasan hanya dalam kemitraannya dengan unsur-unsur atau pendekatan-pendekatan lain yang terdapat di dalam lingkaran tersebut.12 Di dalam uraiannya tentang kegunaan berbagai pendekatan di dalam studi feminis Alkitab, Exum13 mengatakan bahwa model antropologi dan sosiologi dapat menolong kita untuk merekonstruksi kehidupan para perempuan biasa di zaman kuno14 dan dapat membantu menyelidiki sumber-sumber kekuatan yang tersedia untuk para perempuan dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status para
8 Brayford, ”Feminist Criticism: Sarah Laughs Last,” 313-14.
9 Ahida E. Pilarski, “Past and Future of Feminist Biblical Hermeneutics,” Biblical Theology Bulletin
Volume 41 Number 1 (2011), 16.
10
Exum, “Feminist Criticism,” 67.
11 Heather McKay, “On the Future of Feminist Biblical Criticism,” in A Feminist Companion to Reading
the Bible: Approaches, Methods, and Strategies, ed. by Athalya Brenner and Carole Fontaine (Sheffield: Sheffield Academic Press, 1997), 81.
12 Thimmes, “Another Perspective,” 134-35. 13 Exum, “Feminist Criticism,” 67-68.
14 Lihat Carol Meyers, Discovering Eve: Ancient Israelite Women in Context (New York: Oxford
perempuan di dalam masyarakat Israel seperti kelas atau urbanisasi.15 Selain itu pengetahuan kita tentang kehidupan para perempuan di periode Israel kuno juga dapat diperkaya dengan mendalami pola-pola kekerabatan dan peran yang dimainkan oleh para perempuan di dalam keluarga16 atau dengan mempelajari tentang berbagai jenis
pengalaman keagamaan dari para perempuan.17 Pendekatan kesusastraan juga diadopsi oleh metode feminis dalam rangka menyingkap strategi-strategi yang digunakan untuk menguasai perempuan yang ditulis dan dibenarkan oleh teks-teks. Pembacaan-pembacaan
alternatif yang bertujuan untuk melawan teks-teks tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan petunjuk yang biasanya diberikan secara sadar maupun tidak oleh penulis teks.18 Para penafsir feminis dapat memfokuskan pembahasan mereka pada perempuan sebagai karakter, para perempuan sebagai pembaca dan atau bias gender yang ada di dalam penafsiran. Hal ini tentu saja berhubungan dengan bagaimana para penafsir membawa masuk stereotipe-stereotipe seksual dan bias gender mereka ke dalam pembacaan teks-teks.19 Dengan menyingkapi kontrol laki-laki di dalam produksi dan penafsiran teks-teks maka kritik feminis bertujuan untuk melawan hirarki yang tidak hanya mendominasi para pembaca melainkan juga kebudayaan itu sendiri.20
Dari penjelasan di atas satu hal penting yang harus digarisbawahi di sini adalah bahwa pendekatan-pendekatan tersebut saling bergantung, saling melengkapi satu dengan yang lainnya dan jarang sekali digunakan secara terpisah. Di dalam analisa saya terhadap cerita Rahab di dalam Yosua 2:1-24 misalnya, saya memang menggunakan analisa
15 Lihat Jo Ann Hackett, “In the Days of Jael: Reclaiming the History of Women in Ancient Israel,” in
Immaculate and Powerful: The Female in Sacred Image and Social Reality, ed. by Clarissa W. Atkinson, C. H. Buchanan and Margaret R. Miles (Boston: Beacon, 1985); ibid., “1 and 2 Samuel,” in The Women’s Bible Commentary, ed. by Carol Newsom and Sharon H. Ringe (Louisville: Westminster John Knox, 1992).
16 Lihat Naomi Steinberg, Kinship and Marriage in Genesis: A Household Economics Perspective
(Minneapolis: Fortress Press, 1993).
17 Lihat Phyllis Bird, Missing Persons and Mistaken Identities: Women, Gender and Religious Culture in
Ancient Israel (Minneapolis: Fortress Press, 1997); Susan Ackerman, Warrior, Dancer, Seductress, Queen: Women in Judges and Biblical Israel (New York: Doubleday, 1998).
18
Lihat Mieke Bal, Death and Dissymmetry: The Politics of Coherence in the Book of Judges (Chicago: University of Chicago Press, 1988); Alice Bach, Women, Seduction, and Betrayal in Biblical Narrative (Cambridge: Cambridge University Press, 1997).
19 Lihat Claudia V. Camp, “Riddlers, Tricksters and Strange Women in the Samson Story,” in Wise,
Strange and Holy: The Strange Woman and the Making of the Bible (Sheffield: Sheffield Academic Press, 2000); Yvonne Sherwood, The Prostitute and the Prophet: Hosea’s Marriage in Literary-Theoretical Perspective (Sheffield: Sheffield Academic Press, 1996).
feminis sebagai pisau analisa untuk memahami makna teks tersebut. Tetapi saya sadar bahwa pendekatan feminis tidak pernah bisa berdiri sendiri oleh karena itu saya menggunakan metode antropologi, arkeologi, sosiologi dan bahkan narasi untuk memahami mendapatkan pemahaman yang kaya dan luas tentang karakter Rahab dan perannya sebagai pelacur baik di dalam rumah tangganya sendiri maupun di dalam masyarakat Kanaannya yang lebih luas.21
Perkembangan Pendekatan Feminis di dalam Studi Alkitab Ibrani
Pendekatan feminis di dalam studi biblika dapat ditelurusi kemunculannya pada tahun 1895 melalui publikasi The Woman’s Bible oleh Elizabeth Cady Stanton.22 Buku ini merupakan tafsiran terhadap bagian-bagian Alkitab yang secara langsung merujuk pada perempuan dan juga orang-orang yang memungkinkan peran para perempuan ditonjolkan meski dengan segala keterbatasannya di tengah-tengah lingkungan patriarkal Israel.23 Dengan demikian, The Woman’s Bible tidak hanya bersifat teologis namun juga merupakan sebuah pernyataan politik. Kedua sifat ini nampak di dalam upaya Stanton dan juga rekan-rekannya yang turut menyumbangkan tulisan pada buku ini untuk
mengutuk penggunaan Alkitab sebagai senjata yang meligitimasikan penindasan terhadap kaum perempuan. Akibatnya, meskipun Stanton menemukan bahwa ada beberapa bagian di dalam kitab suci yang menawarkan harapan bagi pembebasan perempuan namun baginya tidak satupun pesan tentang keadilan, pembebasan ataupun kesetaraan dari Allah untuk para perempuan di abad ke-19 yang dapat dikeluarkan dari Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru. Pendekatan Staton yang sangat radikal ini menyebabkannya dijauhi oleh banyak ahli feminis karena ketakutan bahwa perjuangan politik mereka akan
21 Ira D. Mangililo, “Rahab Speaks Back: A Postcolonial Feminist Analysis of Joshua 2:1-24,” (PhD diss.,
The University of Wales: Trinity Saint David, 2012).
22 Elizabeth Cady Stanton, The Woman’s Bible: A Classical Feminist Perspective (Mineola, N.Y.: Dover,
2002).
23
dihambat oleh tindakan Stanton yang menyerang Alkitab dan otoritasnya secara terbuka.24
Namun setelah Stanton di abad ke-19, upaya untuk membaca kitab suci dengan menggunakan pendekatan feminis mengalami mati suri hingga tahun 1970-an ketika ahli-ahli seperti Phyllis Trible, Rosemary Ruether dan Elisabeth Schüssler Fiorenza25 mulai
menantang keesklusivan studi biblika yang terpusat pada laki-laki. Pada tahun 1985, Osiek mengklasifikasikan paling sedikit lima posisi utama hermeneutik yang
dikembangkan oleh para ahli feminis yang dapat dilihat melalui karya publikasi mereka. Kelima posisi tersebut adalah rejectionist, loyalist, revisionist, sublimationist, dan liberationist.26
Kelompok rejectionist dipelopori oleh Mary Daly dan dipengaruhi oleh Stanton melihat Alkitab – yang melaluinya landasan keagamaan dan tradisi-tradisi dibangun – sebagai sesuatu yang telah korup dan tidak dapat diperbaiki lagi. Untuk itu Daly menolak eksistensi Alkitab secara keseluruhan. Namun feminis seperti McKay mengusulkan pada mereka yang menganut aliran ini agar meninggalkan integritas Alkitab namun bukan Alkitab itu sendiri. Tujuan dari tindakan “setengah menolak dan setengah menerima” ini adalah untuk memelihara integritas dari para perempuan dengan menolak status ilahi dari Alkitab. Di sini, sebagai produk sejarah dan kebudayaan, Alkitab menyediakan akses pada suara-suara di masa lalu, suara yang menyediakan wawasan tentang peran-peran para perempuan atau kurangnya peran para perempuan yang ditampilkan. Beberapa dari
mereka yang menganut paham rejectionist telah berupaya untuk menggali dengan teliti teks-teks Alkitab guna menemukan suara-suara yang didiamkan dan kemudian membawa suara-suara ini keluar dari posisi margin untuk dianalisa dan dikritisi. Tulisan-tulisan Cheryl Exum27 merupakan contoh bagaimana kaum rejectionist berusaha untuk
24 Schuller, “Feminism and Biblical Hermeneutics,” 33.
25 Lihat Rosemary Ruether, New Woman/New Earth: Sexist Ideologies and Human Liberation (New York:
Seabury, 1975); Ibid., Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology (Boston: Beacon, 1983); Phyllis Trible, God and the Rhetoric of Sexuality (Philadelphia: Fortress, 1978); Elisabeth Schüssler Fiorenza, In Memory of Her: A Feminist Theological Reconstruction of Christian Origins (New York: Crossroad, 1983).
26 Carolyn Osiek, “The Feminist and the Bible: Hermeneutical Alternatives,” HST 53/4 (1997), 960. 27 Lihat J. Cheryl Exum, “Mother in Israel”: A Femiliar Story Reconsidered,” in Feminist Interpretation of
menunjukkan bahwa setiap bentuk kewibawaan yang diperoleh oleh teks-teks Alkitab haruslah diukur melalui tingkat relevansi teks-teks tersebut terhadap kehidupan para pembacanya.28
Pendekatan hermeneutik lainnya di dalam analisa feminis di dalam studi biblika disebut hermeneutik loyalist yang bertujuan untuk memelihara integritas dari teks. Para
penganutnya memproklamirkan kebaikan penting dari Alkitab dan tradisi Alkitab. Sebagai Firman Allah, Alkitab membuktikan otoritas tertinggi dari Allah sehingga tidak mungkin menindas. Menurut kelompok ini, masalah terbesar yang dihadapi terletak pada kekeliruan penafsir-penafsir dan keterbatasan pengetahuan yang direfleksikan melalui penafsiran mereka. Osiek mengagumi kegigihan kelompok loyalist di dalam menemukan dan menekankan pesan yang mendasari Alkitab yaitu kasih dan kemerdekaan manusia yang kemudian memampukan mereka untuk menempatkan teks-teks tersebut sebagai pusat bagi kehidupan dan identitas diri mereka. Namun Osiek juga menyadari bahwa kaum loyalist sangat rentan terhadap godaan untuk merenggangkan sejarah dan arti harafiah dari teks-teks. Mereka juga memiliki kecenderungan untuk mengabaikan implikasi politik dari apa yang mereka lihat sebagai hasil penafsiran yang kurang memadai dari teks-teks yang bermasalah.29 Kelemahan yang lain yang timbul dari pendekatan ini adalah bahwa kaum loyalist memberikan wewenang yang terlalu besar kepada Alkitab dengan cara menekankan secara berlebihan peranan yang dimainkan oleh kaum perempuan atau dengan menyajikan cerita yang bersifat ambigu melalui cara yang positif. Demikianlah kebutuhan kaum loyalist untuk mempertahankan Alkitab ketika
berhadapan dengan orang luar sambil tetap menjadikan Alkitab sebagai pusat bagi
anggota-anggota komunitas iman menuntut keterlibatan yang penuh dari penganut paham ini.30
Pendekatan yang ketiga yaitu hermeneutik revisionist mengadopsi sikap tengah
antara rejectionist dan loyalist. Meskipun kelompok ini tidak menganggap Alkitab sebagai yang tidak dapat diperbaiki lagi, mereka juga mengakui bahwa teks-teks Alkitab
International, 1990); Ibid., Fragmented Women: Feminist (Sub)-versions of Biblical Narratives (JSOTSup 163; Sheffield: JSOT Press, 1993).
28 Brayford, ”Feminist Criticism: Sarah Laughs Last,” 314-15; McKay, “On the Future of Feminist Biblical
Criticism,”77.
29
bersifat androsentris dan terkadang merefleksikan, mengkontruski dan memperkuat sudut pandang patriarkal. Revisionist menuduh berbagai keadaan sosial dan sejarah yang berbeda yang dihubungkan dengan penulisan, pembacaan dan penafsiran Alkitab sebagai faktor penyebab rusaknya kebaikan yang terkandung di dalam Alkitab. Mereka
menyatakan bahwa tradisi yang telah tercipta dapat direhabilitasi dengan menggali lebih dalam lagi baik teks dan konteksnya guna menemukan jejak-jejak penting dari peran dan perlawanan yang dilakukan oleh para perempuan. Ahli feminis yang pekerjaannya dapat
dikategorikan pada bagian ini adalah Phyllis Trible. Analisa retorikanya yang sangat detail terhadap cerita-cerita cinta dan teks-teks yang menimbulkan teror di dalam Alkitab telah memampukannya untuk menemukan pesan yang baik di dalam teks-teks yang bersifat androsentris; namun pada saat yang sama tetap memperhatikan adanya benih-benih misogini di dalam teks-teks tersebut. Trible juga mengakui keberadaan teks-teks dan tafsiran-tafsiran yang mendukung kondisi-kondisi patriarkal yang bersifat menindas yang menghalangi kaum perempuan untuk menjadi partisipan-partisipan yang setara di dalam masyarakat yang berasal dari masa lampau. Di sinilah, Trible meminta para pembaca untuk menanggapi pesan-pesan afirmatif yang ia temukan di dalam teks-teks Alkitab dengan cara bekerja secara aktif untuk mengubah masyarakat di masa sekarang maupun yang akan datang. Berdasarkan pemaparan ini, jelaslah bahwa revisionist
merevisi penafsiran-penafsiran dan menawarkan tantangan-tantangan baru terhadap tradisi yang ada. Meskipun demikian, teks yang bersifat androsentris itu sendiri tidak dapat diubah.31
Pendekatan hermeneutik sublimationist di lain pihak menekankan pada lambang-lambang dan gambaran-gambaran yang menunjukkan signifikansi perbedaan antara kualitas maskulin dan feminin. Keduanya bukanlah sesuatu yang harus digantikan melainkan harus dirayakan. Meskipun demikian, banyak kaum sublimationist yang memfokuskan perhatian mereka pada simbol-simbol yang dihubungkan dengan kualitas
feminin seperti mengasuh, merawat dan menciptakan. Akibatnya, pendekatan ini memiliki kecenderungan untuk mengabaikan isu-isu politik dan sosial yang menyatu di
dalam teks-teks. Mereka lebih menaruh perhatian pada bidang psikologi seperti simbol Allah yang feminin di mana tidak ada rasa sakit dan penghinaan yang dapat dirasakan.32
Pendekatan terakhir yang dibahas oleh Osiek adalah hermeneutic liberationist
yang didasarkan pada teologi pembebasan. Pendekatan ini diprakarsai oleh feminis seperti Letty Russell dan kemudian dikembangkan oleh Elisabeth Schüssler Fiorenza dan Rosemary Ruether.33 Pendekatan ini mengakui dan memahami kenyataan bahwa
penindasan terhadap kaum perempuan merupakan bagian dari pola yang lebih luas dari sikap berkuasa dan sikap tunduk yang meliputi dimensi politik, ekonomi, sosial dan teologis. Ketika kaum loyalist mempertahankan unsur kebaikan dari Alkitab, maka
libarationist menganggap inti dari pesan Alkitab adalah pembebasan manusia dari penindasan baik itu secara fisik dan spiritual dan memelihara tujuan dari penafsiran Alkitab yaitu transformasi. Jika teks-teks Alkitab yang ditafsirkan tidak mempromosikan kesetaraan penuh bagi para perempuan maka tafsiran-tafsiran tersebut tidak dapat
dipertimbangkan sebagai perkataan yang otentik dari Allah.34 Di sini, Ruether
menemukan inti dari pesan Alkitab yang mengandung pesan pembebasan yaitu di dalam tradisi kenabian yang mewartakan pertobatan dari praktek-praktek ketidakadilan sosial dan ekonomi guna menciptaan masyarakat yang adil yang bebas dari segala bentuk penindasan. Schüssler Fiorenza di lain pihak memfokuskan perhatiannya secara khusus pada teks-teks Perjanjian Baru yang dianggap melampaui struktur andorsentris-patriarkal untuk mengekspresikan visi baru penebusan kemanusiaan. Di sinilah bagi Ruether dan Schüssler Fiorenza, pergumulan dan upaya para feminis liberationist tidak hanya berhenti pada tindakan penafsiran ulang teks-teks yang ditulis di dalam kerangka berpikir
patriarkal. Lebih dari pada itu pendekatan ini harus mampu memberikan visi keselamatan dan ciptaan baru yang tidak akan berhenti hanya pada penafsiran Alkitab melainkan akan menuntun pada transformasi tatanan sosial melalui individu dan komunitas.35 Osiek yang merupakan salah satu penganut pendekatan ini menyadari bahwa cara membaca Alkitab
seperti ini dalam menciptakan “sebuah kanon di dalam kanon” karena menolak teks-teks yang kelihatannya mempertentangkan pembebasan dan kesetiaan yang menjadi
tema-
32 Brayford, ”Feminist Criticism: Sarah Laughs Last,” 316. 33
Osiek, “The Feminist and the Bible,” 965.
tema utama bagi para pengikut pendekatan ini. Trible di dalam evaluasinya terhadap hermeneutik ini mengatakan bahwa mengabstrakkan tema-tema pembebasan dari teks-teks bisa menimbulkan ketidakjujuran karena di dalam proses manuver dapat saja mengabaikan kekhasan teks-teks.36
Pemaparan tentang lima pendekatan di dalam kritik feminis di dalam studi Alkitab menunjukkan bahwa pendekatan-pendekatan ini lahir dari
pengalaman-pengalaman dan asumsi-asumsi kaum perempuan yang berbeda tentang Alkitab.
Meskipun memiliki tujuan dan sasaran yang berbeda-beda namun tidak dapat dipungkiri bahwa kelimanya sama-sama menggumuli permasalah patriarki dan androsentrisme yang sangat dominan pada zaman Israel kuno secara serius dan kemudian menampilkan penafsiran-penafsiran alternatif yang bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan bersama baik bagi kaum perempuan maupun laki-laki.
Analisa Poskolonial Feminis di dalam Studi Biblika
Upaya para feminis seperti Ruether dan Schüssler Fiorenza untuk membaca Alkitab dari sudut pandang perempuan lahir dari kesadaran bahwa selama bertahun-tahun satu-satunya suara yang telah didengar berkenaan dengan penafsiran kitab suci adalah suara kaum laki-laki. Pengalaman-pengalaman dan pandangan-pandangan para laki-laki
digunakan untuk mengeluarkan pesan-pesan dari teks-teks kitab suci. Bahkan bagian-bagian yang berbicara tentang perempuanpun telah ditafsirkan dari perspektif-perspektif kaum laki-laki. Pendekatan ini tentu saja bermasalah bagi para perempuan mengingat bahwa gender merupakan faktor penting yang mempengaruhi cara pandang dan sikap
seseorang. Berdasarkan pemahaman ini maka ketika pengalaman seorang perempuan di dalam Alkitab diuraikan oleh seorang laki-laki maka ada kemungkinan bahwa
pengalaman tersebut tidak mampu ditafsirkan sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penulis teks. Lebih lanjut, pengalaman seorang perempuan dapat saja digambarkan di dalam cara yang membenarkan subordinasinya. Untuk itu maka adalah penting bagi kaum perempuan untuk juga terlibat di dalam proses penafsiran kitab suci sehingga
mereka dapat dengan jeli dan kritis menelanjangi ideologi-ideologi gender yang terdapat di dalam teks-teks kitab suci dan kemudian berupaya untuk menghadirkan penafsiran-penafsiran yang memberdayakan perempuan. Di sinilah Ruether seperti halnya Daly menekankan adanya kebutuhan untuk menggunakan pengalaman para perempuan guna menolak dan menelanjangi bias andorsentris di dalam penafsiran kitab suci.37
Namun, pandangan untuk menggunakan pengalaman-pengalaman para
perempuan sebagai titik berangkat bagi penafsiran kitab suci telah ditantang oleh ahli feminis Asia seperti Chandra Mohanty. Di dalam artikelnya, “Under Western Eyes,” Mohanty menaruh perhatian pada pembahasan para feminis Barat mengenai para
perempuan di dunia ketiga. Mohanty melihat bahwa di mata para perempuan Barat, para perempuan dunia ketiga adalah sekelompok orang yang “tidak berdaya” yang bersifat homogen. Mereka dipandang sebagai korban-korban implisit dari budaya dan struktur sosial ekonomi tertentu.38 Di dalam kritiknya terhadap konstruksi teoritis seperti ini, Mohanty berpendapat bahwa tindakan penghomogenisasian para perempuan ini mengukuhkan analisa kategori-kategori feminis yang bersifat Eurosentris dan
mengingkari kepelbagaian pengalaman dari kelompok-kelompok non-Barat. Pandangan di atas juga mengkonstruksikan para perempuan dunia ketiga sebagai para korban yang tidak berdaya yang hidup di bawah berbagai lapisan penindasan dan yang sekarang harus direpresentasikan oleh para feminis Barat karena mereka tidak mampu untuk
merepresentasikan diri sendiri. Bagi Mohanty, gagasan-gagasan tersebut melestarikan keunggulan para perempuan Barat terhadap non-Barat.39
Di dalam analisanya, Kwok Pui-lan mengatakan bahwa paling kurang ada empat alasan mengapa teologi-teologi para feminis Barat perlu dikritisi. Pertama, teologi para feminis Barat berasal dari sebuah konteks kebudayaan di mana Kekristenan merupakan tradisi dominan sedangkan di Asia, kecuali di Filipina dan Korea Utara, orang-orang Kristen adalah kelompok minoritas. Kedua, teologi-teologi feminis awal memiliki
37
Kwok Pui-lan, Postcolonial Imagination & Feminist Theology (Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 2005), 54.
38
Chandra Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses,” in Feminist Postcolonial Theory: A Reader, ed. by Reina Lewis and Sara Mills (Edinburgh, UK: Edinburgh University Press, 2003), 54.
39 Chandra Mohanty, “Under Western Eyes,” 68-70.
kecenderungan untuk menguniversalisasikan pengalaman Barat seolah-olah sebagai yang mewakili kehidupan semua perempuan. Kegagalan untuk menghormati perbedaan dan sikap yang mengeneralisasikan “Sang Liyan” sebenarnya berakar di dalam matriks sosial dan budaya kolonialisme. Ketiga, analisa-analisa feminis sebagaimana yang diajukan oleh perempuan kulit putih yang berasal dari kelas menengah sebenarnya belumlah cukup radikal. Dengan menyempitkan pengertian patriarki sebagai penguasaan laki-laki atas perempuan menunjukkan kegagalan untuk menyediakan alat-alat yang diperlukan untuk
memeriksa kolonialisme, kebudayaan imperialisme, pluralisme agama dan kekerasan horisontal perempuan atas perempuan. Keempat, beberapa dari teolog feminis ini menampilkan orientasi-orientasi rasis dan etnosentris meskipun pada saat yang sama mereka menyerukan persaudarian antar kaum perempuan yang bersifat global.40 Di sini Kwok Pui-lan menyarankan bahwa para perempuan Eropa dan Eropa-Amerika dapat berpartisipasi sepenuhnya di dalam perjuangan pembebasan perempuan di dalam konteks negara-negara berkembang ketika mereka dengan rela mau membebaskan diri dari keacuhan dan dengan sadar mendekolonisasikan cara mereka berpikir.41
Dalam rangka menanggapi kritik tentang penguniversalisasian pengalaman para perempuan kulit putih, Elisabeth Schüssler Fiorenza mengusulkan sebuah pemindahan dari patriarki yang di dasarkan oleh dualisme gender, kepada kyriarki yang berarti kekuasaan dari kaisar/master/tuan/ayah/suami atas mereka yang berada di bawahnya.42 Pemindahan ini menggarisbawahi sebuah struktur piramida politik dari yang berkuasa dan yang dikuasai yang bersifat kompleks yang distratifikasikan oleh gender, ras, kelas, agama dan budaya dan bentuk-bentuk sejarah kekuasaan lainnya.43 Dengan memahami
40
Kwok Pui-lan, Introducing Asian Feminist Theology (Cleveland, OH: The Pilgrim Press, 2000), 30.
41 Kwok Pui-lan, “Unbinding Our Feet: Saving Brown Women and Feminist Religious Discourse,” in
Postcolonialism, Feminism & Religious Discourse, ed. by Laura E. Donaldson & Kwok Pui-lan (New York. London: Routledge, 2002), 79.
42 Elisabeth Schüssler Fiorenza, Jesus: Miriam’s Child, Sophia’s Prophet: Critical Issues in Feminist
Christology (New York: Continuum, 1994), 14. Schüssler Fiorenza memperkenalkan sistem demokratis kyriarki yang dimulai dari bawah yang terdiri dari para budak, orang-orang yang dibebaskan, tuan tanah dank lien, anak-anak yang dilahirkan sebagai orang merdeka dan sanak saudaranya, nyonya rumah, pekerja-pekerja professional dan pada puncak tertinggi, laki-laki merdeka, para pemimpin, para master atau tuan. Dengan menggunakan alat konseptual ini maka kita dapat melihat kelompok-kelompok yang
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan ekslusif di dalam piramida ini saling berhubungan satu dengan yang lain dan dengan demikian membentuk kelompok-kelompok yang lebih rendah statusnya dalam jumlah yang besar di bagian bawah dari piramida ini. Lihat Elisabeth Schüssler Fiorenza, But She Said: Feminist Practices of Biblical Interpretation (Boston, MA: Beacon Press, 1992), 117.
patriarki sebagai sebuah piramida kyriarki yang berhubungan erat dengan pendominasian, Schüssler Fiorenza mengidentifikasikan Eurosentrisme sebagai “universalist
kyriocentric” yang berarti pendominasian ayah-ayah berkulit putih dan para perempuan kulit putih beragama Kristen hingga pada tahapan di mana keduanya telah menjabat sebagai sumber pengetahuan patriarkal, nilai-nilai, agama dan kebudayaan.44 Schüssler Fiorenza kemudian berpendapat bahwa agar wacana feminist dapat menghindari jebakan dari identitas yang didasarkan oleh retorika kyriosentris maka penafsiran feminis Alkitab
untuk pembebasan harus menempatkan dirinya di dalam sebuah demokrasi imaginasi yang bersifat oposisi. Di sini, Schüssler Fiorenza mengusulkan “ekklesia of women” sebagai ruang retorikal feminis yang dikarakteristikkan oleh sebuah perpindahan dari identitas logis Barat kepada logika kesetaraan yang bersifat radikal.45 Di dalam logika kesetaraan yang radikal, kita dapat mengkonsepkan ekklesia para perempuan sebagai sebuah situs perjuangan feminis untuk mengubah lembaga-lembaga sosial dan
keagamaan.46 Schüssler Fiorenza kemudian mengubah istilah ekklesia of women menjadi
ekklesia of wo/men dalam rangka untuk menggarisbawahi bahwa para perempuan bukanlah sebuah kesatuan kelompok sosial melainkan difragmentasikan dan diretakkan oleh struktur ras, kelas, agama, heteroseksualitas, kolonialisme, usia dan kesehatan.47
Di dalam tanggapannya terhadap pekerjaan Schüssler Fiorenza, Musa Dube mengekspresikan kekuatirannya terhadap penggunaan istilah patriarki/kyriarki yang didefinisikan sebagai imperialisme. Ia berpendapat bahwa sebuah sistem kyriarki ada pada saat para laki-laki elit pemilik modal/harta kekayaan menjalankan kekuasaannya atas mereka yang berada di bawah yang bergantung pada mereka. Imperialime, di lain pihak, melibatkan pendominasian atas para laki-laki dan perempuan yang memiliki harta kepemilikan yang sebenarnya tidak bergantung pada penindas mereka. Menurut Dube, imperialisme melibatkan pengkonstruksian sedemikian rupa orang-orang yang
ditundukkan sehingga mereka percaya hahwa mereka harus bergantung pada para
penguasa mereka. Imperialisme juga melibatkan penciptaan struktur-struktur yang pada
44 Schüssler Fiorenza, But She Said, 123. 45
Schüssler Fiorenza, But She Said, 129-30.
46 Schüssler Fiorenza, But She Said, 130.
akhirnya dapat membuat para terjajah untuk tetap bergantung pada penjajahnya.48 Lebih lanjut, imperialisme melibatkan baik orang-orang yang berasal dari kelas pemiliki harta maupun yang miskin, para laki-laki dan perempuan yang berasal dari bangsa-bangsa tertentu yang bertindak bersama-sama untuk memerintah bangsa-bangsa dan ras-ras yang jauh dengan cara menegakkan sistem kekuasaan mereka. Dube juga menganggap bahwa ide Schüssler Fiorenza tentang ekklesia of wo/men cukup problematik karena ide tersebut merupakan upaya untuk mengambil alih kelas tertinggi demokrasi kyriarki dari laki-laki
Barat/kulit putih. Dube tidak yakin jika idea tentang ekklesia of wo/men akan berhasil menarik perhatian para perempuan yang berasal dari kebudayaan yang lain yang ingin menduduki tempat yang dimiliki oleh seorang laki-laki berkulit putih. Hal ini tidak mungkin mengingat bahwa posisi tersebut biasanya tidak terjangkau. Ide bahwa para perempuan yang ditaklukkan seolah-olah pada akhirnya dapat mengklaim posisi yang dimiliki oleh penjajah mereka diberikan agar sang terjajah tetap berusaha mengimitasi kekaisaran sebagai upaya pengakuan terhadap kekuasaan sang penguasa.49
Kwok Pui-lan juga mempertanyakan keefektifan konsep ekklesia of wo/men
ketika diterapkan pada konteks dunia Kedua-Ketiga. Ia berpendapat bahwa di dalam sebuah konteks poskolonial, ekklesia of wo/men hanya dapat dimengerti oleh segelintir orang dari kalangan akademisi elit. Istilah wo/men itu sendiri menurut Kwok Pui-lan tidak dapat diterjemahkan karena kemungkinannya bahasa-bahasa yang lain tidak memiliki istilah-istilah yang memadai untuk mengekspresikan kata “fracture” dan “fragmentation.”50 Selanjutnya, dengan pengecualian pada konteks Korea Selatan yang memiliki sebuah gereja kecil khusus bagi para perempuan yang terdapat di Seoul, Kwok Pui-lan berpendapat bahwa ide tentang sebuah gereka khusus untuk para perempuan merupakan sesuatu yang sulit diterapkan di Asia mengingat bahwa gereja tidak hanya dihubungkan dengan dominasi patriarkal melainkan juga pada kekuasaan kolonial.51
Kritik dan keprihatinan yang diajukan oleh Mohanty, Dube dan Kwok Pui-lan
mengindikasikan pentingnya menemukan sebuah model pembacaan yang
mempertimbangkan secara serius keberadaan imperialisme dan patriarki dan yang
48 Musa W. Dube, Postcolonial Feminist Interpretation of the Bible (St. Louise, MO: Chalice Press, 2000),
36. 49
Dube, Postcolonial Feminist Interpretation, 37.
mengupayakan pencaharian pembebasan yang saling bergantung satu sama lainnya antara gender, ras, bangsa, ekonomi, budaya, struktur politik dan lain sebagainya.52 Karena jika teologi feminis tidak mengakui dan melawan strategi-strategi penaklukan
imperialismelah maka ia hanya akan menjadi alat untuk melegitimasikan hak dunia Barat untuk mendominasi dan mengeksploitasi bangsa-bangsa non-Barat. Untuk alasan inilah maka para teolog feminis Asia merasa perlu untuk mengembangkan jenis penafsiran poskolonial feminis karena kebanyakan perempuan yang berasal dari dunia Kedua-Ketiga
telah diasingan dari partisipasi penuh untuk mengartikulasikan pembebasan para
perempuan tepatnya karena mereka merasa bahwa saudari-saudari mereka yang berada di konteks Barat terlalu melindungi tradisi-tradisi imperialisme mereka.53
Secara umum, pendekatan poskolonial di dalam studi biblika dapat dipahami sebagai pendekatan yang berbicara tentang upaya para pembaca Alkitab dari negara-negara berkembangan seperti kita yang ada di Indonesia untuk bergerak keluar dari cara pembacaan yang berasal dari Eropa dan Amerika – perspektif yang telah mendominasi dunia pembacaan Alkitab untuk sekian lamanya – menuju kepada cara membaca yang lebih beragam terutama yang berasal dari dunia ketiga.54 Contoh penerapan metode ini di dalam studi biblika dapat dilihat melalui pekerjaan R. S. Sugirtharajah pada pertengahan 1990-an, Voices from the Margin.55 Tujuan dari metode ini menurut Sugirtharajah adalah untuk mengikutsertakan kolonialisme sebagai salah satu isu penting di dalam pembacaan teks-teks Alkitab. Di sini, kritik poskolonial di dalam studi biblika memperhatikan isu-isu yang berhubungan dengan perluasan wilayah, dominasi, dan imperialisme sebagai
kekuatan-kekuatan utama yang membentuk cerita-cerita Alkitab dan penafsiran Alkitab.56
52 Dube, Postcolonial Feminist, 39. 53 Dube, Postcolonial Feminist, 26. 54
Fernando F. Segovia, “Biblical Criticism and Postcolonial Studies: Toward a Postcolonial Optic,” in The Postcolonial Biblical Reader, ed. by R. S. Sugirtharajah(Oxford: Blackwell Publishing, 2006), 35.
55
R. S. Sugirtharajah, ed, Voices from the Margin: Interpreting the Bible in the Third World (London: SPCK, 1995). Hasil penelitian dan tulisan-tulisan yang juga menggunakan metode ini dapat ditemukan pada pekerjaan Fernando Segovia and Mary Ann Tolbert. See F. F. Segovia and Mary Ann Tolbert, eds, Reading from this Place: Social Location and Biblical Interpretation in Global Perspective, Vol. 2 (Minneapolis, MN: Fortress Press, 1995). Pembacaan teks dengan menggunakan model ini juga muncul di dalam Semeia 75/76 (1996), 78 (1997) dan Journal for the Study of the New Testament (JSNT) 73 & 75, (1999). Stephen Moore (2001) juga merupakan salah satu ahli yang juga menggunakan pendekatan ini didalam tulisan-tulisannya.
56 R. S. Sugirtharajah, “Charting the Aftermath: A Review of Postcolonial Criticism,” in The Postcolonial
Biblical Reader, ed. by R. S. Sugirtharajah (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), 17.
Lebih lanjut, Sugirtharajah mengungkapkan bahwa sebagai salah satu kritik, analisa poskolonial dapat berfungsi untuk menilai bagaimana isi, jalan cerita dan penggambaran karakter-karakter di dalam teks-teks Alkitab dapat menggarisbawahi kepercayaan dan kepentingan penggambaran kolonial yang merendahkan dan menstigmasisasi kaum terjajah. Metode ini juga digunakan untuk memeriksa kepentingan-kepentingan yang dapat dipengaruhi oleh ideologi penjajah; akibat dari penafsiran-penafsiran yang
dilakukan oleh para ahli Alkitab terhadap penjajahan; dan penggambaran kolonial tentang
tanah jajahan beserta dengan penduduk yang tinggal di dalamnya.57 Singkatnya, analisa poskolonial menyediakan lensa untuk memeriksa isu-isu yang berhubungan dengan struktur ideologi, bahasa dan budaya di dalam wacana poskolonial dan juga relasi antara kolonial/poskolonial baik secara politik dan ekonomi. Di dalam bidang Alkiab Ibrani sendiri, teori poskolonial menyediakan kesempatan-kesempatan bagi para ahli Alkitab Ibrani untuk menyelidiki peran-peran kekaisaran – Asiria, Babilonia dan Persia – di dalam dunia Timur Dekat kuno terhadap kehidupan negara-negara jajahan mereka seperti Israel.
Di beberapa tahun terakhir ini, para teolog feminis dari berbagai belahan negara di dunia kedua-ketiga telah melibatkan analisa poskolonial di dalam usaha-usaha mereka untuk menyingkapi berbagai jenis kolonialisasi yang disebabkan oleh kekuasaan
imperialisme. Kwok Pui-lan menyebutkan bahwa analisa ini telah digunakan di berbagai area di dalam studi biblika. Namun sama seperti pendekatan feminis di dalam studi biblika, poskolonialpun bersifat interdisiplinari karena mengadopsi berbagai bentuk metode penafsiran seperti metode kesusastraan-retorika, analisa sosiologi dan kritik ideologi.58 Kwok Pui-lan menggarisbawahi lima area yang menjadi perhatian utama para penafsir poskolonial feminis. Pertama, mereka menyelidiki bagaimana keuntungan-keuntungan kelas, konsolidasi kekuasaan negara, kontrol kolonial dan jenis-jenis produksi dipengaruhi oleh pengsimbolisasian perempuan dan aplikasi gender di dalam
teks. Kedua, mereka menggarisbawahi nasib para perempuan di zaman Alkitab yang
57
R. S. Sugirtharajah, The Bible and the Third World: Precolonial, Colonial and Postcolonial Encounters (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2001), 251-57.
58 Kwok Pui-lan, Postcolonial Imagination, 81-83.
berada di “contact zone” dan menyediakan analisa-analisa rekonstruktif yang berfungsi sebagai narasi tandingan. Di sini contact zone dipahami sebagai ruang pertemuan kolonial yang mengakomodasi perjumpaan antara penjajah dengan yang dijajah yang berasal dari berbagai lokasi geografi dan sosial. Ketiga, mereka menganalisa tafsiran-tafsiran modern yang diproduksi oleh para ahli laki-laki dan perempuan. Upaya ini bertujuan untuk menentukan apakah pembacaan para ahli ini telah memperhatikan konteks imperial beserta dengan propagandanya dan oleh karena itu mendukung ideologi
para penjajah atau apakah tafsiran-tafsiran ini telah mendekoloniasasikan
pengimperialisasian dari teks-teks guna mempromosikan pembebasan. Keempat, mereka menggarisbawahi peran-peran dan partisipasi-partisipasi dari pembaca umum untuk menghancurkan pembacaan-pembacaan yang menonjolkan pandangan-pandangan Barat yang bersifar patriarkal. Kelima, mereka menekankan pada pentingnya lokasi “politik dan puisi” seperti yang diperkenalkan oleh Mary Ann Tolbert. Istilah politik digunakan oleh para ahli guna merujuk lokasi-lokasi alkitabiah yang meliputi orientasi seksual, gender, kelas, dan ras, dan lain-lain; sementara puisi merujuk pada pengevaluasian dari akibat etis atau teologis dari teks-teks Alkitab kita dan hasil-hasil penafsiran mereka.59
Analisa Poskolonial Feminis di dalam Konteks Indonesia
Pembahasan tentang penggunaan pendekatan poskolonial feminis di dalam studi
biblika membawa kita pada pertanyaan penting tentang kegunaan metode ini di dalam konteks keindonesiaan kita. Apakah metode ini cocok digunakan untuk membaca Alkitab di negara yang diwarnai dengan keragaman agama, budaya, bahasa, etnis, golongan dan lain sebagainya?
Sebagai sebuah negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan memiliki sumber daya alam yang luar biasa, maka negara Indonesia dulunya pernah mengalami penindasan akibat kolonialisasi yang berlangsung selama beratus-ratus tahun. Pengaruh penjajahan kolonial terutama kolonial Belanda terhadap perempuan Indonesia adalah sangat
signifikan. Sebelum Indonesia dijajah oleh Belanda, sistem partiarkal di Indonesia telah
sangat membatasi ruang gerak pada perempuan di ranah publik. Dengan adanya ideologi gender yang mengharuskan perempuan untuk tinggal di ranah domestik guna mengurus rumah tangga serta menjalankan fungsi reproduksinya maka perempuan tidak
memperoleh kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya di luar rumah. Di sinilah telah terjadi ketidakadilan gender. Pada masa periode pemerintahan kolonial yang panjang, budaya patriarkal ini kemudian semakin diperkuat oleh kolonialisasi Barat. Hal ini dapat dilihat melalui contoh kepemimpinan yang ada di Toraja, Sulawesi Selatan. Pada masa
sebelum penjajahan Belanda, banyak perempuan yang terlibat secara aktif di dalam kepemimpinan di ranah pemerintahan dan birokrasi karena kepemimpinan perempuan tidak dianggap tabu di dalam masyarakat tradisional Sulawesi. Tidak sedikit kaum perempuan yang menjadi pemimpin perang guna mengusir Belanda dari tanah Toraja.60 Namun setelah masuknya Belanda di sana, posisi perempuan yang tinggi di dalam
masyarakat ini kemudian berubah seiring dengan kehadiran para misionaris Belanda yang menyebarkan Kekristenan dan mendirikan gereja di Toraja. Para pendeta Belanda
mengumumkan bahwa aturan gereja di Belanda tidak mengijinkan seorang perempuan untuk menjadi seorang pendeta; akibatnya perempuan tidak diijinkan untuk memimpin sebagai pendeta di dalam konteks gereja Toraja. Hingga saat ini pola berpikir yang menolak kepemimpinan perempuan ini masih terus berkembang di Toraja. Banyak penatua di gereja yang menolak kehadiran pendeta perempuan dan merasa tidak nyaman ketika menerima berkat pengutusan dari pemimpin perempuan.61 Tentu saja kita dapat menduga bahwa para misionaris ini kemungkinannya mendasarkan keputusan mereka ini pada hasil penafsiran mereka terhadap kitab suci yang mengidentifikasikan Allah di dalam figur laki-laki dan pengindentifikasian ini telah melegitimasikan hak para lelaki untuk menjadi lebih unggul dari para perempuan. Di samping itu, perempuan dianggap sebagai yang inferior karena adanya penafsiran androsentris yang telah menuduh perempuan sebagai sumber dari kejatuhan manusia dan oleh karena itu tidak boleh diperlakukan setara dengan laki-laki.
Di berbagai tempat di Indonesia yang sejak awal tidak menerima kepemimpinan perempuan di dalam gereja, kebijakan kolonial dan para misionarinya yang mengingkari
60
Judith Na Bik Gwat, “The Shifting Gender Role of Women,” in Voices From The Third World,Vol. XXIV No. 1, June 2001, 97-110.
61
kepemimpinan perempuan ini tentu saja semakin menempatkan perempuan pada posisi terendah di dalam piramida sosial. Contoh pengingkaran terhadap hak perempuan untuk diperlakukan sebagai manusia yang setara dengan laki-laki di wilayah yang memiliki kebudayaan patriarkal yang sangat kuat dapat dilihat di dalam gambaran Mery Kolimon tentang perlakuan yang diterima oleh perempuan Meto (perempuan Timor) oleh para misionaris Belanda yang datang ke pulau Timor pada abad ke-17. Kolimon menulis tentang bagaimana para perempuan Meto dianggap sebagai yang inferior dan oleh karena
itu tidak penting di mata para misionari tersebut. Melalui pernikahan antar suku/wilayah di Timor, para perempuan dijadikan sebagai alat untuk mengkristenkan raja-raja di berbagai wilayah di pulau Timor yang menolak untuk memeluk agama Kristen. Di dalam bukunya, Kolimon tidak yakin apakah anak-anak perempuan Meto memperoleh
kesempatan untuk bersekolah ketika sekolah yang pertama didirikan di Timor pada tahun 1701. Namun dari keterangan yang diperolehnya tentang anak-anak perempuan Alor yang tidak ijinkan untuk bersekolah pada saat itu maka Kolimon menarik kesimpulan bahwa pendidikan terhadap kaum perempuan Meto juga diabaikan oleh pemerintahan Belanda karena pendidikan terhadap perempuan itu sendiri dianggap tidak penting.62 Di sinilah dapat dikatakan bahwa para perempuan Indonesia khususnya para perempuan Kristen mengalami penjajahan ganda; mereka dijajah oleh sistem patriarki dengan ideologi gendernya yang kuat dan juga oleh ideologi kolonialisme yang mengingkari peranan dan kepemimpinan perempuan di ranah publik.
Kini meskipun Indonesia telah lama merdeka dari penjajahan kolonial, namun akibat dari kebijakan-kebijakan yang mengingkari hak-hak asasi para perempuan di Indonesia ini masih sangat kuat terasa hingga hari ini. Kita dapat melihat bahwa masih sedikit sekali para perempuan Kristen yang berada di dalam puncak kepemimpinan. Di dalam gereja Kristen Protestan sendiri, kita masih bisa menghitung dengan jari jumlah ketua sinode perempuan di berbagai gereja di Indonesia. Di dalam lembaga pendidikan
tinggi teologi Kristen di Indonesia, kita masih melihat bahwa sampai hari ini belum ada seorang perempuanpun yang berhasil menjadi ketua Perhimpunan Sekolah-sekolah Tinggi Teologi (Persetia) di Indonesia. Di bidang pemerintahan, kita melihat bahwa
62 Mery Kolimon, A Theology of Empowerment: Reflection from a West Timorese Feminist Perspective
masih sedikit sekali para perempuan yang duduk sebagai wakil rakyat di parlemen. Jika ada yang berhasil duduk di kursi kabinet maka kebanyakan dari mereka hanya ada sebagai token atau simbol bahwa memang ada perempuan yang diikutsertakan di dalam pengambilan keputusan di tingkat parlemen; sementara kehadiran para perempuan tersebut sedikit sekali memberikan manfaat yang positif bagi perjuangan kaum perempuan di Indonesia.63
Menghadapi konteks Indonesia seperti inilah maka menurut hemat saya pendekatan poskolonial feminis sangat cocok untuk digunakan di dalam studi biblika guna memahami penggunaan teks-teks kitab suci oleh pihak penjajah untuk
membenarkan tindakan penjajahannya di Indonesia yang berdampak besar terhadap kehidupan para perempuan di Indonesia. Lebih lanjut, metode ini juga dibutuhkan untuk memeriksa pengaruh penjajahan itu sendiri terhadap cara umat Kristen membaca dan menafsirkan kitab suci yang terkadang secara sadar menempatkan perempuan sebagai pihak yang dirugikan dari hasil penafsiran tersebut. Hal ini sangat diperlukan mengingat bahwa ada begitu banyak tradisi dan kebijakan yang dikembangkan di gereja-gereja di Indonesia yang merupakan warisan penjajah yang sebenarnya tidak relevan dengan konteks keindonesiaan kita.64
Sebagai seorang pembaca Alkitab Ibrani perempuan, saya merasa bahwa adalah tugas dari para pembaca Alkitab khususnya para perempuan untuk kembali menelusuri perjalanan sejarah kemunculan kekristenan yang dibawa oleh para penjajah di negara kita guna melihat bagaimana mereka mengkonstruksi perempuan dan peranannya di dalam
gereja dan masyarakat berdasarkan ideologi penjajahan mereka guna mendukung
kolonialisme. Pengetahuan akan sejarah seperti ini akan memampukan kaum perempuan untuk bergerak keluar dari cara pandang, ideologi dan bahkan penafsiran yang menindas seperti itu; tindakan bergerak keluar merupakan satu langkah maju yang akan
“melunturkan” pengaruh kolonialisme di dalam diri mereka. Seiring dengan itu maka
63 Lihat Ira D. Mangililo, “Saudari-saudari yang Hilang dalam Ranah Publik: Kajian Sosio-Teologis
Kristen terhadap Peran Politik Perempuan,” Jurnal Perempuan, Vol. 19 No. 3, Agustus 2014, 62-87.
64 Contoh kebijakan gereja yang merupakan warisan kolonial tersebut dapat dilihat di dalam kebijakan para
mereka dapat bebas berimajinasi, merekonstruksi kembali teks-teks Alkitab guna
menghasilkan tafsiran-tafsiran alternatif yang tidak hanya bertujuan untuk melawan jenis-jenis tafsiran yang lama, baik yang dipengaruhi oleh ideologi patriarkal maupun
imperialisme, melainkan mampu menciptakan cakrawala yang baru yang akan menuntun pada kehidupan yang dinamik, berdaya cipta dan utuh. Di samping itu, di dalam upaya untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender, sudah saatnya para teolog perempuan Kristen di Indonesia membangun solidaritas dengan saudari-saudarinya yang berasal dari
agama lain terutama Islam yang tentu saja di dalam pengalaman kehidupan mereka juga banyak dirugikan dengan cara pembacaan kitab suci mereka yang sangat androsentris dan terkadang misogini.
DAFTAR PUSTAKA
Ackerman, Susan. Warrior, Dancer, Seductress, Queen: Women in Judges and Biblical Israel. New York: Doubleday, 1998.
Bach, Alice. Women, Seduction, and Betrayal in Biblical Narrative. Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
Bal, Mieke. Death and Dissymmetry: The Politics of Coherence in the Book of Judges.
Chicago: University of Chicago Press, 1988.
Bird, Phyllis. Missing Persons and Mistaken Identities: Women, Gender and Religious Culture in Ancient Israel. Minneapolis: Fortress Press, 1997.
__________. “What Makes a Feminist Reading Feminist? A Qualified Response.” In
Escaping Eden: New Feminist Perspectives in the Bible. Edited by Harold C. Washington et all. Sheffield: Sheffield Academic Press, 1998.
Brayford, Susan. ”Feminist Criticism: Sarah Laughs Last.” In Method Matters: Essays on the Interpretation of the Hebrew Bible in Honor of David L. Petersen. Edited by Joel M. LeMon and Kend Harold Richards. Atlanta, Society of Biblical
Literature, 2009.
Camp, Claudia V. “Riddlers, Tricksters and Strange Women in the Samson Story.” In
Cheryl Exum, Cheryl. J. “Mother in Israel”: A Femiliar Story Reconsidered.” In Feminist Interpretation of the Bible. Edited by Letty Russell. Philadelphia: The
Westminster Press, 1985.
__________. “Murder They Wrote: Ideology and the Manipulation of Female Presence in Biblical Narrative.” In The Pleasure for Her Text: Feminist Readings of Biblical and Historical Texts. Edited by A. Bach. Philadelphia: Trinity Press International, 1990.
__________. Fragmented Women: Feminist (Sub)-versions of Biblical Narratives. JSOTSup 163; Sheffield: JSOT Press, 1993.
Dube, Musa W. Postcolonial Feminist Interpretation of the Bible. St. Louise, MO: Chalice Press, 2000.
Exum, J. Cheryl. “Feminist Criticism: Whose Interests Are Being Served?” In Judges & Methods: New Approaches in Biblical Studies. Edited by Gale A. Yee.
Minneapolis: Fortress Press, 2007.
Gifford, Carolyn De Swarte. “American Women and the Bible: The Nature of Woman as a Hermeneutical Issue.” In Feminist Perspective on Biblical Scholarship, SBL
10. Edited by Adela Yarbro Collins. Chico: Scholars Press, 1985.
Gwat, Judith Na Bik. “The Shifting Gender Role of Women.” In Voices From The Third World,Vol. XXIV No. 1, June 2001.
Hackett, Jo Ann. “In the Days of Jael: Reclaiming the History of Women in Ancient Israel.” In Immaculate and Powerful: The Female in Sacred Image and Social Reality. Edited by Clarissa W. Atkinson, C. H. Buchanan and Margaret R. Miles. Boston: Beacon, 1985.
__________. “1 and 2 Samuel.” In The Women’s Bible Commentary. Edited by Carol Newsom and Sharon H. Ringe. Louisville: Westminster John Knox, 1992.
Kolimon, Mery. A Theology of Empowerment: Reflection from a West Timorese Feminist Perspective. Zweigniederlassung Zürich: LIT, 2008.
Kwok Pui-lan. Introducing Asian Feminist Theology. Cleveland, OH: The Pilgrim Press, 2000.
__________. “Unbinding Our Feet: Saving Brown Women and Feminist Religious Discourse.” In Postcolonialism, Feminism & Religious Discourse. Edited by Laura E. Donaldson & Kwok Pui-lan. New York. London: Routledge, 2002.
Mangililo, Ira D. “Rahab Speaks Back: A Postcolonial Feminist Analysis of Joshua 2:1-24.” PhD diss., The University of Wales: Trinity Saint David, 2012.
__________. “Saudari-saudari yang Hilang dalam Ranah Publik: Kajian Sosio-Teologis Kristen terhadap Peran Politik Perempuan.” Jurnal Perempuan. Vol. 19 No. 3, Agustus 2014, 62-87.
McKay, Heather. “On the Future of Feminist Biblical Criticism.” In A Feminist
Companion to Reading the Bible: Approaches, Methods, and Strategies. Edited by Athalya Brenner and Carole Fontaine. Sheffield: Sheffield Academic Press, 1997.
Meyers, Carol. Discovering Eve: Ancient Israelite Women in Context. New York: Oxford University Press, 1988.
__________. “Where the Girls Are: Archaeology and Women’s Lives in Ancient Israel.” In Between Text and Artifact: Integrating Archaeology in Biblical Studies
Teaching. Edited by Milton C. Moreland. Atlanta: Society of Biblical Literature, 2003.
Mohanty, Chandra. “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial
Discourses.” In Feminist Postcolonial Theory: A Reader. Edited by Reina Lewis and Sara Mills. Edinburgh, UK: Edinburgh University Press, 2003.
Newsome, Carol A. and Sharon H. Ringe. The Women’s Bible Commentary. London: Westminster/John Knox Press, 1992.
Osiek, Carolyn. “The Feminist and the Bible: Hermeneutical Alternatives,” HST 53/4 (1997).
Pilarski, Ahida E. “Past and Future of Feminist Biblical Hermeneutics.” Biblical Theology Bulletin Volume 41 Number 1 (2011).
Russell, Letty M. Feminist Interpretation of the Bible. Philadelphia: The Westminster Press, 1985.
Ruether, Rosemary. New Woman/New Earth: Sexist Ideologies and Human Liberation. New York: Seabury, 1975.
__________. Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology. Boston: Beacon, 1983.
Schuller, Eileen. “Feminism and Biblical Hermeneutics: Genesis 1–3 as a Test Case.” In
Gender Genre and Religion: Feminist Reflections. Edited byMorney Joy and Eva Neumaier-Dargyay. Waterloo, Ont.: Wilfrid Laurier University Press, 1995.
__________. But She Said: Feminist Practices of Biblical Interpretation. Boston, MA: Beacon Press, 1992.
__________. Jesus: Miriam’s Child, Sophia’s Prophet: Critical Issues in Feminist Christology. New York: Continuum, 1994.
Segovia, Fernando F. and Mary Ann Tolbert. Eds., Reading from this Place: Social Location and Biblical Interpretation in Global Perspective, Vol. 2. Minneapolis, MN: Fortress Press, 1995.
Segovia, Fernando F. “Biblical Criticism and Postcolonial Studies: Toward a Postcolonial Optic.” In The Postcolonial Biblical Reader. Edited by R. S. Sugirtharajah.
Oxford: Blackwell Publishing, 2006.
Sherwood, Yvonne. The Prostitute and the Prophet: Hosea’s Marriage in Literary-Theoretical Perspective. Sheffield: Sheffield Academic Press, 1996.
Stanton, Elizabeth Cady. The Woman’s Bible: A Classical Feminist Perspective. Mineola, N.Y.: Dover, 2002.
Steinberg, Naomi. Kinship and Marriage in Genesis: A Household Economics Perspective. Minneapolis: Fortress Press, 1993.
Sugirtharajah, R. S. Voices from the Margin: Interpreting the Bible in the Third World. London: SPCK, 1995.
__________. The Bible and the Third World: Precolonial, Colonial and Postcolonial Encounters. Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2001.
__________. “Charting the Aftermath: A Review of Postcolonial Criticism.” In The Postcolonial Biblical Reader. Edited by R. S. Sugirtharajah. Oxford: Blackwell Publishing, 2006.
Thimmes, Pamela. “What Makes a Feminist Reading Feminist? Another Perspective.” In
Escaping Eden: New Feminist Perspectives in the Bible. Edited by Harold C. Washington et all. Sheffield: Sheffield Academic Press, 1998.
Trible, Phyllis. “Feminist Hermeneutics and Biblical Studies.” Christian Century
February 3-10.