• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01342

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01342"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

Suara Perempuan Kemana?:

Tantangan Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu 2014 Oleh

Arianti Ina Restiani Hunga (inahunga@gmail.com; inahunga@staff.uksw.edu) Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Univ. Kristen Satya Wacana

Abstrak

Perempuan merupakan salah satu kelompok pemilih terbesar dalam pemilu dan suara mereka menentukan calon legislatif tahun 2014. Jumlah perempuan di DPR telah meningkat dari 11,09 persen pada pemilu 2004 menjadi 17,86 persen pada pemilu tahun 2009. Namun peningkatan tersebut masih jauh dari kuota perempuan 30 persen. Pada Pemilu 2014, apakah perempuan memilih calon legislatif perempuan? Pertanyaan ini menjadi relevan bila dikaitkan dengan kinerja legislatif perempuan ditengah masih banyaknya produk UU yang belum pro perempuan atau belum sensitif gender. Situasi diperburuk dengan legislatif perempuan dan pimpinan perempuan yang terbelit dalam kasus korupsi. Hal ini menjadi kontra produktif dengan upaya mencapai target keterwakilan perempuan sebesar 30 % di DPR. Salah satu hal mendasar kelemahan perempuan baik sebagai pemilih dan calon legislatif (caleg) adalah tidak memiliki pengetahuan politik yang cukup dalam upaya memperjuangkan suara mereka. Oleh karenanya, pendidikan politik pemilih perempuan menjadi penting dalam upaya menjadikan mereka pemilih yang cerdas, artinya dapat menyalurkan suara mereka secara independen dan rasional. Pada sisi yang lain adalah pendidikan politik bagi caleg dalam upaya menemu kenali persoalan dan kebutuhan perempuan, serta menuangkan dalam program strategis untuk menggalang suara perempuan. Paper ini memaparkan; 1) pentingnya pendidikan politik pemilih perempuan; 2) relevansi pendidikan politik perempuan dan peningkatan keterwakilan perempuan di DPR dalam pemilu tahun 2014. Paper ini ditulis berdasarkan penelitian kualitatif dengan menggunakan studi kasus pada pemilih perempuan marginal di Kota Salatiga. Hasil awal penelitian menujukan bahwa pemilih perempuan, khususnya perempuan marginal belum mendapat perhatian yang serius dalam pesta demokrasi oleh para caleg, khususnya caleg legislatif. Sebagian pemilih perempuan belum mendapatkan pendidikan politik pemilih dalam upaya untuk membangun suara perempuan dan memecahkan persoalan perempuan dalam masyarakat. Perubahan kondisi perempuan ditentukan oleh kualitas pemilu yang dimulai sejak awal melalui pendidikan pemilih dan pemilu, serta mengawal hasilnya untuk memperjuangnya kondisi masyarakat, khususnya perempuan melalui peluang keterwakilan perempuan sebanyak 30 %.

Kata Kunci: Perempuan, legislatif, pendidik politik pelimih, pemilu, gender, keterwakilan perempuan

1. Latar Belakang

Bangsa Indonesia sejak tahun 1955 hingga 2014 sudah melaksanakan 11 kali pemilihan

umum legislatif (pileg). Keterwakilan perempuan selama periode mengalami pasang-surut

(fruktuatif), berada pada titik terendah 3,8 % pada pemilu tahun 1955 dari 488 kursi anggota

legislatif. Kemudian meningkat menjadi 7,16 % pada pemilu tahun 1971 dan 8,04 % pada

pemilu tahun 1982 dari 460 anggota legislatif. Meningkat menjadi 13% pad pemilu tahun 1987

dari 500 anggota legislatif dan terus mengalami penurunan menjadi 12,5% pada pemilu tahun 1992; menjadi 10,8% pada pemilu tahun 1997, dan 9% pada pemilu 1999 dari 500

anggota legislatif. Keterwakilan perempuan mengalami peningkatan kembali setelah Reformasi

1998 bersamaan dengan perjuangan dan tuntutan gerakan perempuan yang menghasilkan

Ketetapan kuota 30% perempuan di parlemen, sebagai tindakan afirmatif yang diterapkan

(2)

2

meningkatkan menjadi 11,45 % dari 550 anggota legislatif. Peroleh suara perempuan mencapai

sebanyak 18,03 % dari 560 anggota legislatif pada pemilu 2009 (Fajar, Azman dan Launa, 2009;

Kartikasari, Dian., 2013; sulistiyono,Joko., 2013).

Secara khusus pada pemilu 2004 dan 2009, peta peroleh suara/kursi perempuan di

legislatif menunjukan trend yang meningkat di DPRD propinsi dan DPRD kabupaten/kota

walaupun lebih rendah dari perolehan di DPR pusat. Secara umum angka keterwakilan suara

perempuan di DPRD propinsi (33 provinsi) meningkat dari 12 % pada pemilu tahun 2004

menjadi 16% (321 dari total 2.005 anggota DPRD provinsi) pada tahun 2009. Propinsi yang tercatat berhasil memenuhi kuata 30 % perempuan di legislatif adalah Maluku berhasil

menghantarkan 14 perempuan dari 45 orang (31%) (KPU, 2009). Pada aras DPRD

kabupaten/kota, dari 461 kabupaten/kota memiliki total 15.750 anggota. Dari jumlah legislatif

ini, terpilih sebanyak 1.857 perempuan (12%0, persentasi ini naik hampir dua kali lipat dari

perolehan suara perempuan pemilu tahun 2004 sebesar 6% di DPRD kabupaten/kota. Namun

ii tingkat kabupaten/kota, masih terdapat DPRD yang tidak memiliki anggota perempuan.

Diperoleh data, dari 461 kabupaten/kota, terdapat 27 DPRD yang tidak ada anggota perempuan

terpilih (5,9% kabupaten/kota), antara lain; terbanyak di propinsi Aceh, NTT,

NTB, Maluku, Maluku Utara dan Papua. Tercatat sebanyak 64 DPRD kabupaten/kota yang

hanya memiliki satu anggota perempuan (Kartikasari, Dian., 2013)

Dari data diatas menunjukan bahwa perjuangan panjang perempuan untuk mencapai

target 30 % kuata perempuan dalam legislatif belum tercapai. Kondisi ini semakin memprihatinkan bila melihat peroleh suara perempuan hasil pemilu tahun 2014. Hasil analisis

data pemilu tahun 2014 yang dilansir dalam pernyataan pers Pusat Kajian Politik – Departemen

Ilmu Politik FISIP UI (PUSKAPOL FISIP UI) memaparkan bahwa perolehan suara perempuan

pada pemilu tahun 2014 mengalami penurunan yang signifikan, pada pemilu tahun 2009 sebesar

18 % menurun menjadi 14 % dari 560 anggola legislatif. Perolehan ini tentunya memprihatinkan

ditengah upaya setiap komponen gerakan perempuan dan lembaga-lembaga yang pro terhadap

kebijakan ini untuk mencapai kuata 30 % perempuan di parlemen. Hal ini menjadi sangat

rasional bila melihat pada pemilu tahun 2014, sudah diberlakukan kebijakan penguatan afirmatif

kuata 30 % di parlemen yang diatur Undang Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu.

Kebijakan ini mewajibkan partai politik mencalonkan sekurang-kurangnya 30 persen berjenis

kelamin perempuan dari total caleg di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Ada tambahan klausula yang mempertegas bahwa bagi partai politik yang tidak menjalankannya

mendapatkan sanksi tidak ikut dalam pemilu.

Tentunya fakta peroleh data keterwakilan perempuan tahun 2014 ini memberikan

konsekuensi logis dalam peta ‘kekuatan’ parlemen dalam menghasilkan kebijakan dan produk

perundang-undangan yang bisa menjawab persoalan perempuan dan anak yang masih

memprihatinka yang dialami perempuan dan anak, antara lain; kemiskinan, kematian ibu

(3)

3 kekerasan kemanusiaan lainnya. Kondisi ini semakin parah bila kualitas legislatif perempuan

tidak jauh berbeda atau bahkan lebih rendah dari legislatif perempuan pada periode tahun

2009-2014. Hal ini menjadi masuk akal bila mengacu pada beberapa hasil penelitian dari beberapa

lembaga terhadap kinerja legislatif perempuan pada periode ini. Koalisi Perempuan Indonesia

(Kartikasari, Dian., 2013) memaparkan bahwa kesadaran kritis legislatif perempuan pada tataran

individu dan kelompok legislatif perempuan tidak otomatis mereka mampu memberikan manfaat

positif kepada perempuan sebagai basis perjuangannya di masyarakat. Faktanya produk

kebijakan publik yang dibahas dan dihasilkan, termasuk alokasi anggaran dan program lebih ditujukan untuk kepentingan kelompok partai, pribadi dan kelompok, dan justru tidak pro pada

perempuan dan anak. Tentunya ini semakin parah bila legislatif perempuan tersebut justru tidak

memiliki kapasitas pendidikan politik dan kapasitas kritis. Temuan Women Research Institute

(WRI) tahun 2012 juga menunjukan bahwa kinerja perempuan legislatif belum menunjukan

mereka masih terjebak pada peran proseduran administratif dan kepentingan partai. Jurnal

Perempuan (2014) menemukan bahwa sebagian besar caleg perempuan justri tidak memiliki

kapasitas politik yang memadai dan basis organisasi politik.

Pada sisi yang lain, ada kecenderungan media mempertontonkan beberapa legislatif

perempuan yang terjebak dalam praktek korupsi tanpa menganalisis lebih ‘dalam’ mengapa

mereka cenderung terjebak/dijebak dalam pusaran korupsi? Sebaliknya media kurang menyoroti

atau mempublikasikan prestasi para perempuan yang memberikan kontribusi yang strategis

dalam legislatif. Pemberitaan yang tidak proporsional ini menciptakan opini publik yang buruk terhadap legislatif perempuan. Juga berimbas pada pandangan yang jelek pada kiprah perempuan

secara umum di ruang publik, khususnya di legislatif. Pencitraan buruk tentunya memberikan

implikasi pada menurunnya kepercayaan publik terhadap mereka. Fakta korupsi yang melanda

para perempuan legislatif menunjukan bahwa mereka belum menyadari makna keterwakilannya

untuk memperjuangkan kualitas hidup para perempuan di akar rumput yang seharusnya menjadi

subyek perjuangannya di legislatif. Hal ini tidak terlepaskan dari pendidikan politik bagi caleg

dalam upaya menemu-kenali persoalan dan kebutuhan perempuan, serta menuangkan dalam

program strategis untuk menggalang suara perempuan. Paper ini memaparkan; 1) Marginalisasi

Perempuan legislatif dan Pendidikan Politik Perempuan; dan 2) relevansi pendidikan politik

perempuan dan peningkatan keterwakilan perempuan di DPR dalam pemilu tahun 2014.

Paper ini ditulis menggunakan data penelitian yang dilakukan pada pemilu tahun 2009 dan pemilu tahun 2014. Penelitian ini merupakan riset-aksi menggunakan pendekatan penelitian

kualitatif dengan metode studi kasus berwawasan gender yang dilakukan di Kota Salatiga. Studi

kasus digunakan sebagai basis unit analisis untuk melihat relialitas keterwakilan perempuan dan

(4)

4 2. Marginalisasi Perempuan legislatif dan Pendidikan Politik Perempuan

Tahun 2014 merupakan tahun politik dimana pemilihan legislatif dan presiden

berlangsung dan peristiwa ini menentukan perjalanan bangsa pada lima tahun mendatang.

Ditengah hiruk-pikuk pemilu, pertanyaan penting yang perlu diungkap dipublik adalah

bagaimana dengan nasip perempuan yang merupakan pendudukan Indonesia yang lebih dari lima

puluh persen pendudukan Indonesia? sejauhmana para perempuan legislatif memperjuangkan

kepentingan perempuan ini dalam arus pembangunan di Indonesia? Pertanyaan ini bisa

dikaitkan dengan fungsi legislasi dalam menghasilkan kebijakan terkait dengan kualitas hidup

perempuan. Bila membandingkan jumlah UU yang dihasilkan oleh DPR RI periode 2004‐2009

dengan 2009‐2014 dan jumlah perempuan legislatif dalam periode tersebut menunjukan bahwa pada

periode tahun 2004 – 2009 dengan keterwakilan perempuan sebesar 11 % atau lebih kecil dibandingklan

DPR RI pada periode 2004 ‐2009 (18%), DPR RI periode 2004‐2009 lebih banyak menghasilkan

undang‐undang yaitu sebanyak 7 produk UU yang merupakan implementasi Konvensi Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on Elimination all form Discrimination

Against WomenCEDAW) dibandingkan periode DPR RI tahun 2009-2014 yang hanya menghasilkan 3

produk UU. Lebih jelas dalam tabel 1 dibawah ini.

Tabel. 1 Produk UU Periode DPR RI Tahun 2004-2009 dan 2009-2014

Sumber: Kartika, Dian (2013) dan DPR RI (2013)

Kondisi lainnya diparah oleh bermunculan banyak Perda yang mendiskriminasi kaum

perempuan. Komnas Perempuan (2013) menunjukan data sebanyak 342 Perda yang

mendiskriminasi perempuan. Selain Perda yang mendiskriminasi perempuan, masalah lain yang

hingga kini dihadapi perempuan Indonesia, seperti kekerasan seksual, hak reproduksi,

perkawinan anak, pedagangan manusia, dan perlindungan lainnya. Kalyanamitra (2008) dalam

(5)

5

(pusat dan daerah) tidak sesuai dengan harapan pemilihnya, terutama kaum perempuan. Para

perempuan politisi di legislatif tidak melakukan fungsi sosial-politiknya sebagai wakil kaum

perempuan. Peran mereka di legislatif tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan para

pemilihnya. Terkait fungsi lainnya, seperti fungsi anggaran dan pengawasan terhadap pemerintah

tidak berjalankan maksimal. Mereka tidak mengabdi kepada kepentingan kaum perempuan,

tetapi kepada kepentingan pemodal dan parpol masing-masing serta egoism diri sendiri (korupsi,

kolusi, nepotism, dll). Hal ini bisa dikaitkan dengan fakta empiri yang menunjukan target MDGs

tahun 2015 terkait penekanan angka kematian ibu dan anak, indeks IPM, indeks gender masih menjadi persoalan. Sebagai contoh, tahun 1991, angka kematian ibu melahirkan 390/100 ribu

kelahiran, tahun 2007 menjadi 228/100 ribu kelahiran, namun tahun 2013 mengalami kenaikan

menjadi 359/100 ribu kelahiran.

Dari paparan diatas menunjukan bahwa peningkatan jumlah keterwakilan perempuan

dalam legislatif tidak otomatis meningkatkan produk per-UU yang dihasilkan DPR RI menjadi

lebih banyak dan lebih adil gender. Kemampuan perempuan legislatif memainkan peran dalam

legislatif terkait erat dengan pendidikan politik perempuan yang memadai. Modal ini menjadi

penting dalam menghadapi sistem DPR RI yang lebih didominasi oleh para laki-laki legislatif.

Hasil survei nasional yang dilakukan oleh Poltracking Indtitute (2014) menunjukan bahwa

sebagian besar masyarakat tidak puas dengan kinerja legislatif. Hanya 12% responden yang

menyatakan kinerja DPR baik. Penilaian kinerja tersebut dianggap rendah kualitas dan

kuantitasnya didasarkan atas tiga fungsi utama mereka, yakni fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan.

Pentingnya keterwakilan perempuan dalam legislatif dapat dikaitkan dengan kualitas hidup

perempuan dan anak yang masih memperihatinkan. WRI (2012) memaparkan fakta ini, antara

lain; angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara

Vietnam1. Human Development Report (HDR) tahun 2011 menempatkan Indonesia pada

rangking 124 atau sedikit lebih baik dari negara Vietnam dan Kamboja. Namun, Gender

Inequality Index (GII) Indonesia berada pada rangking 100 dan di bawah GII Vietnam yang

berada pada rangking 48. Dua dari indikator GII ini adalah AKI dan persentase perempuan yang

duduk di parlemen. Rangking GII Indonesia dan Vietnam yang demikian menunjukkan bahwa

AKI Indonesia 240/100.000 kelahiran sedangkan Vietnam adalah 56/100.000 kelahiran.

Sementara persentase perempuan di parlemen Vietnam adalah 25,8%, sedangkan Indonesia

adalah 18%2. Fakta lainnya, selain itu, World Economic Forum3 pada tahun 2009 mengeluarkan

Global Gender Gap Index (GGI) berdasarkan data Gender Empowerment Measurement (GEM),

Gender Development Index (GDI) dan Human Development Index (HDI) tahun 2007. Apabila

kita lihat situasi Indonesia, maka akan terlihat GGI 0,62. Angka ini diperoleh dari data Indonesia

1Noerdin, Edriana. Mencari Ujung Tombak Penurunan Angka Kematian Ibu di Indonesia, (Jakarta: Women Research Institute,

2011).

2Summary Human Development Report 2011 - Sustainability and Equity: A Better Future for All, (UNDP, 2011),hal. 19. 3

(6)

6

untuk GEM 0,4, GDI 0,72 dan HDI 0,73. GEM (0,4) mencerminkan kesempatan ekonomi dan

politik perempuan yang cenderung lebih rendah dari GDI (0,72). Hal ini menunjukkan bahwa

sekalipun perempuan mempunyai kapasitas, mereka belum tentu memiliki kesempatan yang

setara untuk menggunakan kapasitasnya. Meskipun di Indonesia telah menunjukkan adanya

peningkatan kapasitas, pencapaian dalam kaitannya dengan kondisi dan posisi perempuan di

bawah negara-negara lain di Asia Tenggara. Posisi Indonesia rangking HDI lebih tinggi

dibandingkan Vietnam, namun situasi dan posisi perempuannya masih lebih rendah terutama

dalam hal AKI dan persentase perempuan di parlemen.

Kualitas hidup perempuan dan anak yang dipaparkan diatas, diperkirakan tidak banyak

berubah bila hasil pemilu 2014 tidak memberikan hasil yang signifikan. Berdasarkan analisis

perbandingan data hasil pemilu tahun 2009 dan 2014, Puskapol FISIP UI (2014) memaparkan

dua hasil temuan, pertama, analisis hasil pemilu secara umum menyimpulkan; (1) kekuatan

partai politik didaerah berubah dari Partai Demokrat pada pemilu tahun 2009 menjadi terpusat

pada persaingan antara PDIP dan Golkar. PDIP sebagai pemenang pemilu, unggul dalam

perolehan suara di 36 dapil, disusul Golkar yang unggul di 25 dapil. Berturut-turut partai

lainnya: PKB unggul di 6 dapil, Gerindra dan Demokrat masing-masing unggul di 4 dapil,

kemudian PAN dan Nasdem masing-masing unggul di 1 dapil. Sementara PKS, PPP, dan Hanura

tidak unggul di seluruh dapil; (2) Kecenderungan semakin meningkat pemilih yang memberikan

suara untuk nama caleg pada surat suara yang terlihat dari sebanyak 70 % coblos nama caleg dan

30 % pada partai politik. Kondisi tersebut hampir sama dengan hasil Pemilu 2009, yaitu 69.03% untuk caleg dan 30.96% untuk partai; (3) mayoritas pilih caleg laki-laki yang terlihat dari data

sebagian besar (76,69%) memilih caleg laki-laki dan sisanya (23,31%) memberikan suara untuk

caleg perempuan. Persentase perolehan suara caleg perempuan tersebut masih jauh dari

pencalonan perempuan yang mencapai 37% pada Pemilu 2014 ini. Di sisi lain, sekalipun masih

jauh lebih rendah dari suara yang diberikan untuk caleg laki-laki, jika dibandingkan data Pemilu

2009 maka ada peningkatan sedikit perolehan suara caleg perempuan (dari 22.45% menjadi

23.31%); (4) Perolehan tertinggi caleg perempuan dari partai PPP (23,33%) dan terendah dari

partai PKS (13,20%). Adapun rincian peroleh suara caleg perempuan menurut partai, antara lain;

PPP (23,33%), Nasdem (19,74%), Demokrat (18,56%), PAN (17,60%), Golkar (16,22%), PDIP

(15,89%), Gerindra (15,50%), Hanura (13,57%), PKB (13,23%), dan PKS (13,20%); (4) ada 20

daerah pemilihan dengan suara caleg lebih dari 30 % dan sebanyak 4 daerah pemilihan yang perolehan suara dibawah 30 %, antara lain; Aceh 1 (10.61%), Jateng II (9.15%), kemudian Bali

(8.9%), dan NTT 1 (10.51%).

Kedua, analisis hasil pemilu dilihat dari suara perempuan, antara lain; (1) caleg perempuan

terpilih sebanyak 79 orang atau 14%. Jumlah ini mengalami penurunan signifikan dibandingkan

dengan hasil Pemilu 2009 yaitu 103 orang atau 18%. Data ini menarik disimak bila melihat

tingkat pencalonan dan perolehan riil suara antara pemilu tahun 2009 dan 2004. Pada pemilu

(7)

7

33,6% namun pereoleh suara perempuan pemilu 2014 justru lebih rendah (14%) dibandingkan

pemilu tahun 2009 (18%). Tingkat pencalonan pemilu 2014 sejalan dengan adanya Peraturan

KPU (PKPU) yang mengatur minimum 30% pencalonan perempuan dalam Daftar Calon Tetap

di setiap dapil DPR/DPRD. Temuan ini menunjukkan bahwa hambatan dan tantangan bagi

keterpilihan perempuan dalam parlemen tidak secara otomatis teratasi dengan dikeluarkannya

peraturan teknis yang secara formal ditujukan untuk mengawal proses pencalonan perempuan.;

(2) Sebagian caleg perempuan yang diperkirakan terpilih didominasi oleh “wajah-wajah baru” di

parlemen. Dari 103 anggota perempuan di DPR RI periode 2009–2014, hanya ada 36 orang yang diperkirakan terpilih kembali. Dengan kata lain, hanya sekitar 34% perempuan petahana lolos

kembali menjabat di DPR RI.; (3) ada kesenjangan yang lebar antara perolehan suara perempuan

dengan perolehan kursi perempuan. Pada pemilu 2009 tercatat 22.45% rata-rata perolehan suara

perempuan untuk DPR RI dengan 18% hasil perolehan kursi perempuan. Pada pemilu 2014

tercatat perkiraan 23.42% perolehan suara perempuan untuk DPR RI namun hasil perolehan

kursi hanya mencapai sekitar 14%. Hal ini terkait dengan kebijakan internal partai dalam

penentuan kursi celeg perempuan. Perempuan cenderung diletakan dalam nomer urut besar dan

hal ini menunjukan komitmen internal partai lebih sekedar pemenuhan syarat administratif dalam

tahap pencalonan sebagaimana ditetapkan oleh peraturan/UU.; (4) Keterwakilan perempuan

dalam DPR RI tersebar dalam 10 partai dengan prosentasi 3 % sampai 24 %. Tiga prosentasi

tertinggi dari partai PPP (24%), golkar (22%) dan Demokrat (22%) dan terendah dari PKS (3%).;

(5) kenaikan perolehan kursi partai tidak selalu diikuti oleh kenaikan persentase kursi perempuan. Perolehan keterwakilan perempuan dari partai-partai relatif fruktuatif dan cenderung

menurun. Demokrat adalah partai yang mengalami penurunan paling signifikan yaitu tahun

2009 sebanyak 36 kursi menjadi 12 kursi perempuan. Namun secara agregat perolehan kursi

perempuan dari partai Demokrat relatif stabil dari 24 % menjadi 22 % (turun 4 %). Penurunan

dialami 5 partai lainnya yaitu PKS (2 %), PDI Perjuangan (7%), PKB (8%), Gerindra (10%),

dan Hanura (16%). Dari sembilan partai yang dapat dibandingkan, hanya ada tiga partai yang

persentase perkiraan perolehan kursi perempuannya naik, yaitu: PPP (11%), PAN (3%), dan

Golkar (2%). Adapun peningkatan kursi perempuan di DPR RI diperkirakan paling tajam

mencapai 11% berasal dari PPP. Penurunan paling drastis mencapai 16% yakni pada Partai

Hanura.; (6) Basis rekrutmen para perempuan legislatif belum mempertimbangkan kapasitas,

basis partai, dan akar rumput sebagai modal dalam melakukan peran mereka di legislatif. Hal ini terlihat dari sebagian besar perempuan legislatif (39%) yang terpilih pada pemilu 2014

menggunakan jaringan kekerabatan dengan elit politik (laki-laki). Hal ini terlihat dari hubungan

yang dimiliki terkait sebagai isteri, anak, menantu, dan sejenisnya dengan pejabat politik dan

atau pejabat partai. Sisanya, sebanyak 13 % dari elit ekonomi, 7% dari publik figur (artis), 7%

dari LSM/aktifis, 8% dari anggota DPR/DPRD, dam 26% merupakan kader partai; (7) Data

sementara berdasarkan perkiraan keterpilihan caleg perempuan di DPR RI menunjukkan

(8)

8

mencapai 39%. Persentase ini diperoleh melalui penelusuran latar belakang masing-masing

perempuan terpilih dan didapati sebagian besar dari mereka adalah adik, kakak, ataupun istri dari

penguasa/pejabat politik serta petinggi partai politik yang mencalonkan mereka. Penting untuk

dicatat bahwa situasi ini sebenarnya telah ditemukan juga pada hasil pemilu 2009 dimana sekitar

42% perempuan terpilih sebagai anggota DPR RI merupakan bagian dari perpanjangan tangan

penguasa/pejabat politik serta petinggi partai. Penurunan signifikan tercatat pada basis

keterpilihan sebagai selebriti/figur populer, yakni dari 25% di tahun 2009 menjadi 7% di tahun

2014.; (8) dominasi basis keterpilihan caleg perempuan yang berlandaskan hubungan kekerabatan dengan politik sejak pemilu 2009 hingga pemilu 2014 (sekitar 40% lebih)

mengindikasikan stagnasi sempitnya landasan rekrutmen caleg perempuan oleh partai. Fakta ini

semakin menegaskan ketergantungan perempuan pada basis kekuasaan, kekuatan material, dan

pelanggengan dominasi laki-laki (patriarkhi) terhadap perempuan. Lebih lanjut, situasi ini

bermuara pada terkonsentrasinya kekuasaan elit politik dan elit ekonomi di tangan segelintir

orang dalam parlemen atau praktek politik oligarki.; (9) kehadiran caleg perempuan adalah hasil

dari kebijakan afirmatif yang lebih formalitas administratif sejauh partai dapat meloloskan diri

untuk ikut dalam pemilu dan bukan substantif.

Perjuangan keterwakilan perempuan dalam politik memiliki dua makna. Pertama, untuk

mewujudkan pemenuhan Hak Politik Perempuan dalam tatanan kehidupan Demokrasi‐yaitu

Hak memilih dan dipilih serta hak untuk ikut serta dalam perumusan kebijakan dan pengambilan

keputusan publik . Kedua ditujukan untuk mewujudkan keadilan gender secara substantif

(Subatantive Equality), yaitu keadilan bagi laki‐laki dan perempuan dalam pembangunan, yaitu

keadilan dalam menjangkau (akses), ikut serta (partisipasi) , dan pengambilan keputusan

(kontrol) dalam pembangunan serta keadilan dalam penguasaan dan penikmatan hasil‐hasil

pembangunan. Dengan demikian maka keadilan yang diperjuangkan oleh gerakan perempuan,

merupakan keadilan dari sisi proses dan hasil. Bukan sekedar memperjuangkan jumlah dan

proses. Namun hasil pemilu 2014 diatas memberikan sinyal awal bahwa masyarakat belum bisa

berharap banyak dengan kiprah perempuan legislatif di parlemen karena kehadiran mereka baru

sebatas administratif prosedural.

Selain kelemahan rekrutmen yang sudah dipaparkan diatas, kelemahan lain perempuan

legislatif adalah kapasitas politik agar bisa berkiprah secara substansial dalam parlemen. Hal ini

tidak terlepas dari lemahnya pendidikan politik bagi legislatif agar bisa mengambil peran aktif

baik di parlemen maupun pada basis massa di akar rumput, khususnya perempuan marginal yang jumlahnya jauh lebih banyak.

2. Relevansi Pendidikan Politik Perempuan dan Keterwakilan perempuan

Keterwakilan perempuan dalam legislatif masih menjadi paradoks karena secara formal

dan substrantif dibutuhkan agar perempuan turut terlibat secara aktif dalam perubahan kualitas

(9)

9

realitasnyannya langkah kearah ini masih menemui banyak kesulitan. Sistem politik yang masih

didominasi oleh sistem patriarkhi menjadi faktor mendasar yang menjadi kendala perjuangan ini.

Sistem ini dilanggengkan tidak saja oleh elit politik tetapi juga diterima dan dilanggengkan oleh

masyarakat secara luas, termasuk didalamnya perempuan. Oleh karenanya kebijakan kuota 30 %

di parlemen diharapkan dapat memecahkan persoalan ini. Gagasan ini sebagai bentuk sebagai

bentuk konkrit dari pergeseran politik gagasan (politics of ideas) ke arah politik kehadiran

(politics of presence) yang cetuskan Phillips, Anne (1995).

Pertanyaan klasik yang ada dimasyarakat adalah apakah keterwakilan perempuan secara otomatis bisa merubah kondisi perempuan dan anak menjadi lebih baik? Logika ini juga sejalan

dengan pandangan bahwa secara teoritis, laki-laki bisa saja menjadi representasi perempuan

karena laki-laki mempunyai kapasitas untuk menyampaikan gagasan atau advokasi atas nama

perempuan. Bahkan berkembang argumentsi bahwa perspektif gender yang dimiliki laki-laki

diangap mampu mewakili perempuan. Namun logika ini sulit diterima karena faktanya sudah

berkali-kali pemilu yang dilalui Indonesia, perempuan selalu terlupakan sebagai bagian dari

agenda penting yang layak diperhatikan ditengah kompleksitas masyarakat. Susilastika, Dewi

Haryani (2014) menggunakan gagasan Prikin (1995) menjelaskan bahwa keterwakilan dalam

konteks pemilu mempunyai makna simbolis menjadi wakil/delegasi/juru bicara bahkan kuasa

yang menggantikan orang yang memilih mereka untuk menyalurkan aspirasi mereka dalam

mempengaruhi pengambulan keputusan. Jadi bila dilihat dalam gambaran data yang dipaparkan

diatas maka secara umum kehadiran laki-laki legislatif, apalagi perempuan legislatif tidak mampu memenuhi makna simbolis ini yang berkahir pada pengambilan keputusan untuk

mewakili mereka yang telah memilih. Data diatas menunjukan bahwa dalam pemilu tahun 2009

dan 2014, lebih banyak pemilih yang memberikan suaranya kepada caleg dibandingkan kepada

partai. Hal ini menunjukan bahwa keterwakilan simbolis masih menjadi suatu yang penting.

Sejalan dengan teori representasi deskriptif yang menegaskan bahwa tingkat kepercayaan

pemilih sangat dipengaruhi oleh karakteristik wakil rakyat yang kasat mata, antara lain; jenis

kelamin; asal/etnis, kepercayaan dan hal-hal lain yang dianggap serupa/sam. Hal ini juga

bermakna bahwa pemilih akan memilih wakilnya yang menurut mereka memiliki ‘sesuatu’ yang

hampir mirip dengan mereka yang pada akhirnya dianggap bisa memahami dan bisa membantu

memecahkan persoalan dan kebutuhan mereka. Susilastika, Dewi Haryani (2014) mengutip

argumentasi Mansbridge (2000) memberikan ilustrasi bahwa wakil rakyat laki-laki akan menghadapi kesulitan untuk memahami persoalan dan kebutuhan perempuan terkait dengan

fungsi reproduksi mereka, seperti; pentingnya tempat penitipan anak bagi mereka selama

mereka bekerja. Persoalannya, laki-laki tidak mengalami hal ini secara konkrit karena mereka

memiliki peran gender yang berbeda dengan perempuan di masyarakat. Dalam masyarakat,

laki-laki tidak pernah merasakan beban bagaimana harus bekerja dan sekaligus memelihara anak

(10)

10

perempuan korban perkosaan karena laki-laki tidak memiliki fungsi reproduksi dan implikasi

spikis-sosial menjadi korban perkosaan.

Oleh karenanya kehadiran perempuan secara fisik dapat dimaknai sebagai kehadiran

simbolis yang berimplikasi pada kehadiran secara substantif dalam memecahkan persoalan dan

kebutuhan perempuan yang kompleks. Dalam konteks ini menjadi sangat relevan untuk

memperjuangkan kuota keterwakilan perempuan 30 % di parlemen. Tentunya argumentasi ini

masih bisa dipertanyakan karena perempuan legislatif tidak hanya merepresentasikan

perempuan. Phillips, Anna (1991) mengatakan bahwa realitasnya perempuan sulit untuk mereprestasikan dirinya dalam konteks perempuan semata. Sebagai makluk sosial, perempuang

bisa dimaknai secara jamak, misalnya partai, komunitas dan kelompoknya yang tidak lepas dari

banyak kepentingan. Kondisi ini semakin diperparah bila perempuan legislatif ternyata tidak

mengetahui persoalan dan kebutuhan perempuan secara praktis dan strategis. Dalam riset-aksi

yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Studi Gender UKSW pada pemilu 2009 yang lalu,

sebagian besar calon legislatif perempuan tidak mengetahui secara jelas persoalan dan kebutuhan

perempuan baik praktis dan strategis. Semakin parah lagi mereka juga tidak menguasai secara

dalam tugas-tugasnya sebagai calon legislatif. Hal ini menjadi persoalan mendasar seorang

perempuan legislatif yang bisa menjalan peran untuk mewakili pemilih yang telag memilihnya.

Persoalan inilah yang mendorong gagasan tentang affirmative action melalui kebijakan

pemberian kuota pada perempuan untuk bisa mempercepat pertambahan jumlah mereka di

parlemen (Dahlerup dan Freidnvall, 2003). Harapannya melalui kebijakan kuota ini, kehadiran perempuan secara kuantitas-simbolis yang relatif cukup bisa memberi pengaruh pada

pengambilan keputusan dan perubahan pada sistem parlemen yang didominasi oleh para laki-laki

(Lovenduski dan Karam, 2002). Tentunya persoalannya belum selesai sampai disini karena ada

persoalan lainnya adalah bagaiman hal ini bisa terjadi. Pertanyaannya adalah bagaimana

mendorong kehadiran yang simbolis-kuntitatif menjadi kehadiran/keterwakilan yang

kualitatif-substantif. Tentunya persoalan ini terarah pada bagaimana kapasitas perempuan legislatif

sebagai modal yang mereka miliki untuk bisa berperan kualitatif-substantif.

Melihat hasil penelitian Kartika, Dian (2013), Jurnal Peremuan (2014) dan Puskapol

FISIP UI (2014) menunjukan bahwa sebagian besar (70%) caleg perempun tidak memiliki

pengalaman dan pendidikan politik yang memadai maka harapan kehadiran/keterwakilan

perempuan secara kualitatif-substantif menjadi sulit diharapkan. Kehadiran perempuan legislatif pada periode 2014-2019 diprediksi tidak berubah menjadi lebih baik bila melihat sebagian dari

perempuan legislatif adalah legilatif pada periode 2009-2014.

Menurunnya peroleh kursi perempuan di legislatif tahun 2014 ini menjadi bentuk konkrit

dari turunnya kepercayaan para pemilih, khususnya perempuan terhadap caleg perempuan. Bila

diletakan dalam gagasan Phillips, Anna (1991) maka dapat dilihat bahwa pemilih perempuan

tidak melihat secara simbolis dan prinsip bahwa mereka bisa diwakili atau mewakilkan suaranya

(11)

11

bahwa perempuan legislatif tidak berbasis secara substantif pada perempuan di akar rumput atau

dalam istilah yang berbeda mereka ‘tercabut’ atau terputus dari ‘akar rumput”.

WRI (2012) menambhakan untuk memahami konsep representasi Phillips, Anna (1991)

mengatakan penting untuk mengkombinasikan apa yang disebut sebagai politics of presence dan

politics of ideas. Ada empat hal utama yang dibutuhkan untuk mendorong keterwakilan: (1)

representasi simbolik, yaitu memasukkan kelompok-kelompok marjinal menjadi bagian penting

agar mereka bisa bersuara; (2) bagaimana seorang calon legislatif dapat membawa isu-isu yang

tidak pernah diangkat sebelumnya; (3) untuk mengubah pola representasi, ada kebutuhan dari kelompok di luar parlemen untuk berkontribusi terhadap kebijakan; dan (4) adanya beberapa isu

yang belum masuk dalam agenda yang disuarakan partai politik. Anne juga menambahkan

bahwa perempuan memiliki sejarah panjang sebagai entitas yang mengalami marjinalisasi,

diskriminasi, dan subordinasi sehingga mereka harus diikutsertakan untuk mengubah alur

representasi yang ada.

Argumentasi diatas bisa dijelaskan dalam skala yang lebih mikro dalam konteks

penelitian yang dilakukan oleh Progdi Sosiologi – Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi UKSW

pada menjelas pemilu dan pemilu tahun 2014 yang lalu di Kota Salatiga. Percakapan dengan ibu

Suti demikian:

“saya ini orang kecil, hanya pemulung sampah yang hari-hari bekerja memperoleh makan dari hasil menjual sampah. Kami disini sangat kurang diperhatikan, padahal tempat kami tempat menampung sampahnya orang kota. Kami selalu sulit air setiap musim kemarau panjang, tidak bisa menyekolahkan anak, tidak ada pekerjajan lain selain sampah. Desa kami hanya ramai didatangi caleg bila menjelang pemilu. Para caleg, ya laki-laki dan perempuan sama saja, memberikan janji-janji. Kami tidak tahu partai, kami tahu orangnya saja. Kalau sering beri bantuan ya menang. Misalnya; dusun saya dapat bantuan pembangunan rumah yang difasilitasi oleh bapak (X). Saya tahu dari RT dan RW bahwa Bapak (X) anggota DPR lama tetapi tidak tahu partai apa. Kami diberi gambarnya dan diminta ingat-ingat, itu yang dicoblos. Pemilu tahun 2009, disini ada perempuan legislatif yang menang, ya juga bisa menang karena sering kasih bantuan. Juga bapaknya pemborong rumah, ada orang desa sini yang dikasih

kerjaan. Tapi sudah lama tidak kesini, tidak tahu apa tidak ‘nyalon’ lagi. Seperti saya ini orang ‘kecil’ ya manut apa kata suami dan Pak RT, pilih sesuai yang disuruh. Disini tidak ada yang melakukan sosialisasi pemilu. Bila ada mungkin masyarakat tidak tertarik, lha a a tidak mudeng, paling ya janji-janji. Lha mending saya kerja, malah dapat duit”

Cuplikan wawancara lainnya dengan Mbak Desi, seorang Pemandu Karaoke di Kota

salatiga.

“saya tidak punya rencana untuk ikut pemilu tahun 2014 nanti. Saya tidak merasa itu penting untuk saya sebagai pemandu karaoke. Lha, kami ini siapa

toooo mbak, orang tidak ‘dianggap’. Kalau mereka jadi, opo yo beri kami

(12)

12

pilpres, saya mau pilih karena mau coblos Jokowi. Saya joblos karena ia orang

sederhana dan kayaknya mau memperhatikan orang ‘kecil”. Disini tidak ada

sosialisasi pemilu dan saya tidak tahu calegnya siapa saja. Saya juga merantau dari luar Jawa”.

Cuplikan wawancara lainnya dengan 3 orang caleg perempuan (Mbak Tia, Mbak Mer, dan Mbak Yul) yang bisa dirangkum seperti ini.

“Mbak Tia memulai diskusi, “saya sebenarnya tidak tertarik menjadi caleg

tetapi ditawarin pengurus partai katanya untuk memenuhi syarat 30 %. Saya tidak tahu persis apa pentingnya keterwakilan perempuan. Mbak Mer dan Yul juga mengutarakan hal yang sama, bedanya Mbak Mer ditawarin bapaknya yang dekat dengan elit partai, dan mbak Yul oleh suaminya. Mbak Yul menambahkan, kaya suami saya coba-coba saja, bila katut lumayan khan

gajinya besar. Mbak Mer tidak kalah antusiasnya menambahkan ,” lho kalau

saya justru dipaksa-paksa sama bapak saya, katanya sekedar syarat-syarat, biar partai lolos. Secara bergantian mereka mengungkapkan, ‘bagaimana ya mbak, kami khan bukan orang partai, tidak tahu politik, tidak tahu mau sosialisasi

apa.”

Dari cuplikan wawancara diatas, nampak pemilih maupun caleg perempuan tidak

memiliki pertimbangan sendiri memilih siapa. Selain itu ia juga tidak memiliki pengetahuan yang cukup memahami arti suaranya dalam pemilu dana bagaimana keterhubungan perempuan

dari ‘akar rumput’ dan perempuan legislatif dalam konteks peran mereka sebagai legislator. Dari

data diatas, menunjukan bahwa pendidikan politik bagi perempuan pemilih dan caleg menjadi

penting dalam upaya membangun kapasitas pribadi dan koneksinas antar perempuan dalam

perannya yang berbeda. Lemahnya aspek ini menentukan terpilihnya perempuan sebagai

legislatif baik di DPRD RI dan PDRD. Pada aras nasional sudah dipaparkan datanya diatas,

menunjukan perolehan suara perempuan turun signifikan menjadi 14 % pada tahun 2014 dari 18

% pada pemilu tahun 2009. Hal sana terjadi di DPRD Kota Salatiga, hasil rekap KPUD Kota

Salatiga tahun 2014 menunjukan legislatif perempuan turun dari 7 kursi pada pemilu tahun 2009

menjadi 4 kursi pada tahun 2014. Bahkan yang cukup mencegangkan adalah perempuan

legislatif perempuan (sebut saja Ibu Debi) ang mempunyai kinerja yang bagus bahkan dikenal luas karena kiprahnya yang positif dalam pengawasaan anggaran, dan memiliki pendidikan

politik yang baik justru harus berhenti dan tidak mencalonkan lagi pada periode pemilu 2014

karena mekanisme partainya. Usahanya untuk mendongkarak suara partai dan caleg perempuan

sebagai kolega (sebut saja Ibu Mona) yang dikaderkan tidak berhasil mengantarkan kadernya

dan juga partainya memperoleh kursi di DPRD Kota Salatiga.

Pentingnya pendidikan politik pemilih dan caleg menjadi pengalaman peneliti pada

pemilu tahun 2009 dan 2014. Pendidikan politik yang dilakukan pada pemilu 2009 pada celeg

perempuan di Kota Salatiga mampu mendongkrak kursi perempuan menjadi 7 atau 25 % dari

total kursi legislatif di Kota Salatiga. Dialog politik yang dibangun diantara caleg perempuan

(13)

13

dalam pemilu tahun 2009 yang lalu. Pada sisi yang lain, pendidikan politik pemilih yang

dilakukan di 4 Kecamatan di Kota Salatiga, mampu membangun dialog caleg dan perempuan

pemilih yang dituangkan dalam kontrak politik sebagai media pembelajaran bersama dalam

mengawal suara perempuan di legislatif (Hunga, dkk., 2009). Peroleh suara perempuan di Kota

Salatiga tahun 2009 juga diperkuat oleh adanya beberapa program LSM, universitas, puslit, dan

aliansi antar LSM peduli suara perempuan yang melakukan program pendidikan politik baik pra

pemilu, pemilu, maupun pasca pemilu. Upaya LSM dan universitas (termasuk PPSG-UKSW)

merupakan bagian upaya keterwakilan perempuan.

Dalam Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, disebutkan bahwa

pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak kewajiban dan

tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila dikaitkan

dengan argumentasi Phillips, Anna (1991) maka pendidikan politik diletakan dalam konteks

bagaimana perempuan menjadi pihak yang sentral menyadari dan mengambil langkah strategis

untuk bisa memperoleh kesempatan merepresentasikan suara perempuan di akar rumput. Juga

pada sisi yang lain perempuan dari ‘akar rumput’ mempunyai koneksitas yang substantif untuk

bisa menyuarakan persioalan dan kebutuhannya, serta memperoleh ‘ruang’ untuk

memenuhannya melalu perempuan legislatif dalam mempengaruhi pengambilan keputusan

strategis di legislatif. Dalam hal ini pendidikan politik atau pendidikan politik perempuan

diarahkan, antara lain; membentuk kesadaran politik, komitmen, kemampuan untuk

berpartisipasi secara cerdas dan kritis dalam peristiwa-peristiwa politik sebagai bagian dari komponen masyarakat dalam negara yang demokrasi.

Pendidikan politik dapat dilakukan melalui metode secara tidak langsung yaitu sosialisasi

dan pelatihan, teater, serta metode yang bersifat langsung yaitu pengajaran politik melalui

institusi pendidikan. Pilihan metode pendidikan ini secara teoritis menentukan efektifitas

pendidikan yang diberikan. Sebagai contoh pendidikan pemilih yang dilakukan oleh progdi

Sosiologi-FISKOM UKSW bekerjasama dengan Teater Rakyat STAIN Salatiga yang

mengusung judul “Demokrasi Ala Warung Kopi” yang dipentaskan di desa yang merupakan area pemanpungan sampah akhir (TPA) kota Salatiga. Dalam pementasan ini para pemain

memainkan dua aktor yang berbeda karakter dan motivasinya maju sebagai caleg dalam pemilu

tahun 2014. Sebut saja Pak Broto memainkan tokoh arogan yang mengandalkan uang untuk

membeli suara kelompok masyarakat marginal di lokasi sekitar TPA Kota Salatiga. Sebaliknya, tokoh caleg perempuan, sebut saja Ibu Tantri, melakukan observasi dan analisis sebagai acuan ia

menawarkan program pemecahan bagi masyarakat ini. Ibu tantri tidak datang dengan uang tetapi

tawaran kerjasama dan program sebagai agendanya pada saat jadi legislatif. Pementasan ini

mendapat sambutan yang riuh, ada terikan mencibir sikap Pak Broto yang arogan. Kata-kata

yang keluar secara spontan dari penonton antara lain ‘korupsi, pencuri uang, ojo dipilih,

(14)

14

Dari gambaran pementasan diatas, menunjukan bahwa dialog yang cerdas yang dikemas

sesuai dengan persoalan dan kebutuhan masyarakat, memudahkan penonton memahami apa

makna pemilu dan bagaimana mereka memberikan suaranta dengan cerdas dan bertanggung

jawab. Metode pendidikan pemilih yang dikemas secara sederhana dan sesuai dengan konteks

setempat memudahkan masyarakat paham dan bisa menerima pendidikan politik pemilih yang

ingin disampaikan.

Namun demikian, metode pendidikan yang sudah dikemas dengan baik belum menjamin

bahwa pemilih bisa mengkonkritkan pilihannya dengan cerdas karena banyak faktor diluar mereka yang lebih kuat mengatur masyarakat marginal. Fakta yang patut disimak adalah

maraknya money politic maka metode pendidikan politik tidak berjalan efektif. Hal ini terungkap

dalam diskusi dibawah ini dengan Ibu Tatik di Kota Salatiga.

“Sosialisasi pemilu disini setahu saya tidak ada. Juga mungkin memang tidak ada karena sudah ada kapling-kapling para caleg melalui tim suksesnya. Seperti disini, sudah jelas siapa yang menang. Masyarakat tidak lihat partainya tetapi calegnya. Ada persaingan caleg dalam partai yang sama, yaitu kuat-kuatan uangnya. Sing banyak uang ya pasti jadi. Masyarakat tidak tahu apa itu

program caleg apalagi partai. Pokok’e yang kasih bantuan banyak, pasti

menang. Sosialisasi pemilu pakai ‘pertujuan4” dan musik

sebenarnya masyarakat suka (remen5) karena menghibur dan memberikan pengetahuan bagaimana mencoblos. Caleg biasanya datang ke tempat kami bila dekat pemilu. Saya tidak tahu program para caleg. Saya ya bigung karena terlalu banyak partai dan caleg. Tapi ya itu, caleg yang beri bantuan sudah pasti menang. Itu sudah diatur bapak-bapak, juga suami saya. saya lebih semangat bila pilihan presiden nantinya. Saya sudah punya pilihan (JOKOWI) karena orangnya baik, suka menolong, dan jujur. Saya tahu dia dari partai PDI Perjuangan tetapi pada saat caleg, kami tidka pilih partainya tetapi pilig caleg lain yang sudah beri bantuan. Tidak enak bila tidak jadi, nanti diminta kembali

bantuannya.”

Pada saat peneliti menanyakan, apakah tahu bagaimana caranya agar calon

presidennya bisa dapat melaju ke pilpres. Ibu Tatik menjawab cepat, “tidak tahu”, karena tidak ada sosialisasi. Oya, apa ada aturannya to? Pada saat

peneliti mengatakan bahwa partai pilihannya bisa memperoleh 25 % atau lebih, ibu Tatik nampak kaget dan spontan mengatakan o o o o, olah bagaimana lagi

(piye maneh)”.

Dari penggalan diskusi dengan sumber informasi menunjukan bahwa pilihan-pilihan

perempuan lebih banyak ditentukan oleh laki-laki dan mereka mempunyai pengetahuan yang

terbatas. Hal lainnya adalah calon legislatif perempuang tidak mempunyai koneksi yang baik

4

Yang dimaksud adalah pendidikan pemilih menggunakan teater rakyat yang dilakukan oleh FISKOM UKSW

e je g pe ilu de ga Judul De okrasi ala Waru g Kopi .

5

(15)

15

dengan calon pemilih perempuan. Mereka menemui calon pemilih dan memsosialisasikan

programnya.

Tidak terkoneksinya caleg perempuan sebenarnya terkait erat pada pendidikan politik

mereka yang juga terbatas. Penggalan diskusi diatas dengan caleg perempuan menjadi gambaran

konkrit betapa mereka tidak paham peran mereka yang sebenarnya di legislatif bila mereka

terpilih.

3. Kesimpulan

Perolehan suara/kursi perempuan dilegislatif pada pemilu tahun 2014 menurun menjadi

14 % dibandingkan dengan pemilu tahun 2009 sebesar 18%/. Penurunan ini signifak dan terjadi

pada saat UU pemilu terkait keterwakilan 30 % justru semakin tegas. Kondisi ini semakin

memprihatinkan mengingat sebagian besar dari perempuan legislatif yang terpilih tidak

memiliki kapasitas dan pendidikan politik yang memadai sebagai modal dirinya memainkan

peran-peran dalam parlemen. Fakta ini diperkirakan lebih memburuk kinerja legislatif tahun

2014 dibandingkan dengan tahun 2009 yang sebenarnya buruk dibandingkan kinerja legislatif

tahun 2004. Fakta ini menunjukan bahwa keterwakilan perempuan selama ini lebih menunjukan

keterwakilan yang formalistik administratif dan belum kehadiran yang substrantif.

Anjloknya peroleh suara perempuan dilegislatif sebagai bentuk ‘terputusnya’ atau tidak

adanya koneksi yang sinergis antara perempuan di akar rumput dan legislatif perempuan; Hal ini

terjadi karena ketidak berdayaan perempuan dalam sistem politik yang masih didominasi oleh laki-laki.

Keterwakilan perempuan dalam legislatif masih dibutuhkan dan perlu terus

diperjuangkan. Hal ini menjadi penting terus diperjuangkan dalam upaya menciptakan perubahan

kualitas hidup perempuan dan anak sebagai wujud perwujudan keadilan dan kesetaraan gender

dalam masyarakat.

Pendidikan politik perempuan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan perempuan

menjadi salah satu alternatif untuk memecahkan persolaan keterwakilan perempuan yang

substransif dalam legislatif. Namun disadari pendidikan politik menghadapi tantangan maraknya

praktek politik uang sebagai bentuk politik transaksional yang didominasi oleh para laki-laki

legislatif.

Daftar Pustaka

Alawiah, Juwito dan Syfa Syarifa., 2009. POLA KOMTJNIKASI POLITIK PEREMPUAI\ DALAM PEMILU. Jurnal Ilmu Komunikasi Vol.1., N0.2, Oktober 2009.

(16)

16 Kartikasari, Dian., 2013. “Keterwakilan Perempuan, Ketidakadilan dan Kebijakan Keadilan ke

depan. Disampaikan dalam Konferensi INFID , Pembangunan Untuk Semua, Jakarta 26‐27 November 2013

Launa dan Azman Fajar,2009.Representasi Politik Perempuan: Sekadar Warna, atau Turut Mewarnai? Pengantar Redaksi. Jurnal Sosial Demokrasi

KPU Kota Salatiga., 2014. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara Legislatif Terpilih dan Partai Politik Kota salatiga.

Kalyanamitra, 2008. LAPORAN HASIL PENELITIAN. KUALITAS PEREMPUAN POLITISI DI LEGISLATIF. Kalyanamitra Jakarta

Komnas Perempuan. Laporan Independen Komnas Perempuan mengenai Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan di Indonesia, 2007- 2011. Jakarta: 2011, hal. 17.

Subono, Nur Iman., 2014. Partisipasi Perempuan, Politik Elektoral dan Kuota: Kuantitas, Kualitas, Kesetaraan? dalam Perempuan Politisi. Jurnal Perempuan N0 81. Jurnal perempuan Jakarta

Mar’iyah, Chusnul., 2011. “Keterwakilan Perempuan Melalui Kuota: Pengalaman Indonesia dan

Argentina”. Jurnal Afirmasi. Jakarta: WRI. 2011.

Perludem., 2014. Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu 2014. Rekomendasi atas Hasil Workshop Knowledge Sharing

Pitkin, Hanna. 1967. The Concept of Representation. University of California Press.

PUSKAPOL FISIP UI, 2014. Analisis Perolehan Suara dalam Pemilu 2014: OLIGARKI POLITIK DIBALIK KETERPILIHAN CALEG PEREMPUAN. PERNYATAAN PERS Pusat Kajian Politik – Departemen Ilmu Politik FISIP UI

Susilastuti, Dewi Haryani., 2014. Kepemimpinan Perempuan: Perubahan Paradigma dari Politik Gagasan ke Politik Kehadiran dalam Perempuan Politisi. Jurnal Perempuan N0 81. Jurnal perempuan Jakarta

Gambar

Tabel. 1 Produk UU Periode DPR RI Tahun 2004-2009 dan 2009-2014

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan ini untuk membuat konsep alat peraga interaktif yang dapat digunakan di taman kanak-kanak berbasis Media Interactive Whiteboard .Pengujian

Class tersebut akan menyimpan pilihan pada sebuah Record Store. Setiap record akan memiliki variabel name

Walaupun tingkat kesepakatan pada variabel pemeriksaan fisik lebih rendah dibandingkan dengan keluhan subjektif, namun secara keseluruhan tingkat kesepakatan antar 2

Produk Pinjaman Mikro yang dikeluarkan oleh Bank BRI adalah KUPEDES, yaitu fasilitas kredit dengan bunga sangat ringan yang ditujukan untuk perorangan dan dapat dilayani di BRI

Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu permasalahan TSP dengan menggunakan metode optimasi ataupun metode heuristik membuat perkembangan

BBM, bahkan bermain game.9 Maka melihat dari uraian di atas kedudukan media dalam komponen pembelajaran sangat penting untuk meningkatkan proses pembelajaran menjadi lebih

Periode produksi adalah waktu yang digunakan untuk produksi ikan mas dari usaha Keramba Jaring Apung (KJA), diukur dalam satuan 3 bulan 1 kali produksi.. Penerimaan adalah

Penapisan bakteri termofilik penghasil protease alkali asal sumber air panas Semurup, kabupaten Kerinci, Jambi dilakukan dengan cara menumbuhkan semua