PRAKTIK BAIK SISTEM PENJAMINAN
MUTU INTERNAL DI PERGURUAN TINGGI
Strategi Penerapan Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi
System Thinking, Budaya Mutu dan Daya Saing
Andi Muhammad Sadli *
*STIE Mulia Pratama, Kepala Riset dan Pusat Karir / Penggiat Sistem Mutu/ Six Sigma Certified
Abstract
Mutu adalah kelompok kata yang selalu indah dibaca dan menyenangkan untuk didengar. Mutu bukan hanya frasa keindahan, tetapi juga branding atau petanda yang mengindikasikan suatu standar tertentu. Petanda mutu harus dapat dibuktikan, sebab, membaca tanda saja dipermukaan seringkali menyesatkan. Apa yang tampak tidak selalu sebangun dengan isinya. Quality is very much in fashion only. Faktanya, status ISO dan status akreditasi perguruan tinggi, tidak selalu
menunjukkan kualitas mutu yang dimuat didalamnya. Mutu harus terus dibuktikan sampai pada titik, dimana mutu sebangun dengan isinya. Meski demikian, tanda atau indikator mutu masih menjadi tolok ukur utama menentukan kualitas suatu obyek tertentu. Tahun 2017-2019, Direktorat Penjaminan Mutu Kemenristekdikti mengajukan program Evidence-Based Quality Assurance System for Continous Quality Improvement of Higher Education in Indonesia : Reengineering the Quality Culture. Program ini, mensyaratkan mutu harus dapat dibuktikan (evidence) antara lain melalui budaya mutu. Budaya Mutu Budaya mutu dibangun dengan pengulangan dan selaras dengan perkembangan global. Budaya mutu tidak ajek. Ia mengikuti dinamika dan tuntutan global. Pada abad pertengahan (Van Vught, 1994) mengasumsikan dua tujuan penilaian mutu: Pertama, Pendidikan Tinggi (PT) perlu memperhatikan sejumlah faktor yang memengaruhi kualitas seperti akuntabilitas, globalisasi dan pasar. Kedua, perhatian masyarakat dan jaminan kualitas yang diberikan kepada masyarakat harus dapat dikontrol oleh pemerintah. Di beberapa Negara, pemerintah melakukan eksaminasi untuk mendorong kualitas dan daya saing PT untuk
kembangnya budaya mutu. Salah satu praktek budaya mutu adalah pemberian informasi kepada calon mahasiwa tentang keadaan sesungguhnya suatu kampus. PT perlu memperhatikan
keterjangkauan biaya pendidikan, kualitas dan karakteristik lain yang terkait dengan jasa
pendidikan yang ditawarkan kepada masyarakat. Oleh karena itu, akuntabilitas publik atas hasil dan penilaian kualitas dapat dilihat sebagai alat untuk untuk memberikan informasi yang berguna
kepada masyarakat. Informasi dan akuntabilitas sangat relevan dalam pendidikan tinggi yang memiliki karakteristik simultan (Dill dan Soo 2004), yaitu akuntabilitas informasi tentang tradisi akademik, rekognisi dan akreditasi, capaian pembelajaran dan capaian lulusan yang dikehendaki. Selain itu, kualitas sivitas akademik, jumlah profesor, laboratorium, sarana prasana lainnya dan unggulan yang dimiliki PT, merupakan variabel determinan dalam membangun budaya mutu. Karakteristik sivitas akademik menentukan pembangunan budaya mutu yaitu terwujudnya kapabilitas PT melalui kebiasaan yang diyakini mendorong kemajuan, mampu mendesain dan membuktikan jasa PT yang ditawarkan kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan pasar dan sukses menghasilan sarjana yang berkualitas, kompetitif dan berdaya saing. Mutu juga terkait erat dengan karakter dan tradisi akademik PT. Dalam konteks karekter, budaya mutu memerlukan internalisasi atas ekteranlitas yaitu perkembangan dan persaingan global. Strategi internalisasi dilakukan dengan pembangunan karakter seluruh sivitas akademik tentang pembiasaan budaya mutu melalui cara berpikir sistem atau yang dikenal system thinking. System Thinking Profesor Anfasa Muluk, Guru Besar Fakultas Kedokteran UI, memberi gambaran pentingnya system thinking. Berpikir sistem adalah berpikir di hulu, menyelesaikan masalah pada akar dan mencari
penyebabnya. Orang tidak boleh reaktif terhadap gejala. Muluk, memberikan contoh berpikir sistem melalui endemik penyakit. Apabila penyakit TBC mewabah, maka mengatasinya bukan dengan menambah jumlah rumah sakit dan memproduksi banyak obat. Dalam konteks itu, berpikir sistem menawarkan solusi dengan menjaga kebersihan lingkungan dan mengatasi polusi sebagai pokok masalah mewabahnya TBC. Bandingkan anggaran yang diperlukan dan tenaga yang dibutuhkan antara membangun fasilitas rumah sakit dan memproduksi obat dengan hanya memberikan edukasi kebersihan lingkungan kepada masyarakat. Fakta berpikir sistem, dibuktikan oleh Muluk saat menjadi Menteri Kesehatan RI beberapa dekade lalu. Saat itu, angka penyakit menular TBC
menurun drastis dengan anggaran yang terbatas. Itulah metode system thinking. System thinking
yang dikenal lebih luas dengan teori sistem berkembang menjadi diskursus dan gerakan ilmiah yang penting pada dekade 1940an setelah Ludwig von Bertalanffy mengungkapkan konsep tentang
pemikiran sistem terbuka (open system) dan teori sistem umum (genaral system theory). Dengan dukungan kuat dari teori sibernetika, system thinking dan teori sistem umum menjadi metode ilmiah yang mapan serta mendorong tumbuhkembangnya metodologi ilmu pengetahuan, penerapan dan narasi-narasi baru seperti teknik sistem, analisis sistem, system dinamics, dan lain sebagainya (Capra 2001: 75). Dalam mengembangkan budaya mutu untuk menghasilkan daya saing tinggi dapat dilihat dari ciri penting system thinking. Mutu pendidikan tinggi harus dilihat sebagi entitas yang menyeluruh, terorganisir, koheren, yang diasumsikan memiliki sifat-sifat yang unik. Entitas PT, pada dasarnya merupakan sistem yang otonom dan sekaligus merupakan komponen atau subsistem dari suprasistem yang lebih besar atau dengan kata lain suatu sistem berada di dalam sistem dari suatu sistem (Adiwibowo 1983:Bawden 1997: Capra 2001). Itu sebabnya mutu PT tidak terbentuk secara tunggal. Ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Implikasi lebih lanjut dari logika berpikir sistem adalah setiap subsistem yang berada di dalam suatu sistem harus mempunyai perbedaan tajam yang nyata sedemikian rupa sehingga satu sama lain saling berbeda dan saling berinteraksi dan saling mempengaruhi secara posistif
(reinforcement). Budaya mutu, daya saing, dan kualitas pendidikan tinggi berinteraksi dan saling mempengaruhi membentuk suatu entitas mutu (system is more than the sum of its parts) (Bawden 1997: Odum 1998: Capra 1999.2001). Dalam konteks sistem pembelajaran kritis, Bawden (1997) mengungkapkan bahwa kesatuan holistik yang terbentuk dari hasil interaksi dari beberapa
subsistem yang saling berbeda akan membawa manfaat yang besar pada keberhasilan
anggaran, maka mutu menjadi berkurang. Mutu yang belum menjadi budaya, masih terfokus pada pengejaran status akreditasi belaka sudah harus ditingkatkan levelnya dari sekedar petanda
menjadi entitas mutu yang sesungguhnya. Pengembangan model lembaga akreditasi mandiri untuk setiap rumpun ilmu dengan pendekatan learning organization dan collaborative governance
merupakan komponen penting dalam system thingking yang membentuk entitas mutu. Mari