3
II.
TELAAH PUSTAKA
A. Sungai Banjaran
Sungai Banjaran merupakan sungai yang berada di daerah Purwokerto, yang mengalir dari wilayah Ketenger sebagai daerah hulu, munuju wilayah Sidabowa sebagai daerah hilir dengan panjang sungai ± 24 km, lebar sungai antara 10-20 m, kedalam antara 0,2-4 m, dan pada ketinggian 1167 m diatas permukaan laut (Herisetiyawan, 2006). Pemanfaatan lahan di sekitar Sungai Banjaran digunakan sebagai area persawahan, pertanian, permukiman penduduk, dan penambangan pasir. Sungai Banjaran juga dimanfaatkan sebagai pembuangan limbah, baik rumah tangga maupun pertanian. Aktivitas manusia yang berlebihan akan memberikan dampak buruk bagi perairan seperti kandungan oksigen menurun, perubahan kecepatan arus, dan meningkatnya kandungan dari material-material terlarut (Asdak, 1995). Berdasarkan IMLP (Indeks Mutu Lingkungan Perairan) kualitas air Sungai Banjaran di daerah hulu termasuk perairan yang berkualitas baik, sedangkan daerah tengah hingga hilir termasuk perairan yang berkualitas sedang (Astuti, 2000).
Menurut Reynold (1984) kualitas perairan dipengaruhi oleh beberapa parameter lingkungan. Parameter yang mempengaruhi kualitas perairan terdiri dari parameter fisik, kimia, dan biologi perairan. Parameter fisik perairan yaitu suhu air, kecepatan arus, penetrasi cahaya, kedalaman dan TDS; sedangkan parameter kimia yaitu pH, Dissolved Oxygen (DO), Biological Oxygen Demand (BOD), dan nutrien. Parameter biologi yaitu organisme yang hidup di perairan tersebut salah satunya mikrofitobenthos. Parameter yang mempengaruhi kualitas air adalah sebagai berikut: 1. Suhu Air
Peningkatan suhu dapat menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut menurun sehingga mempengaruhi kehidupan organisme perairan. Menurut Effendi (2003), nilai rata-rata suhu tersebut masih baik untuk pertumbuhan organisme perairan berkisar antara 20-30oC.
2. Kecepatan Arus
Kecepatan arus sungai sangat berpengaruh terhadap kemampuannya dalam mengangkut bahan organik maupun anorganik. Kecepatan arus di sungai ditentukan oleh kemiringan, kekerasan, kedalaman, dan kelebaran dasarnya (Odum, 1998). Menurut Welch dan Lindell (1980), terdapat lima kategori arus yaitu arus yang sangat lambat (< 0,10 m.s-1), lambat (0,10-0,25 m.s-1), sedang
4
(0,25-0,50 m.s-1), cepat (0,50-1 m.s-1), dan sangat cepat (> 1 m.s-1). Kecepatan arus ini diduga dapat mempengaruhi jenis-jenis mikrofitobenthos yang hidup di dalamnya. Menurut Whitton (1975) kecepatan arus yang besar dapat mengurangi jenis organisme yang dijumpai sehingga hanya jenis-jenis yang melekat saja yang bertahan terhadap arus.
3. Penetrasi Cahaya
Canter dan Hill (1979) menyatakan bahwa kecerahan suatu perairan dipengaruhi oleh padatan tersuspensi, zat-zat terlarut, partikel-partikel dan warna air. Banyaknya padatan terlarut dalam perairan akan menurunkan penetrasi cahaya, sehingga proses fotosintesis menurun. Kemampuan cahaya matahari untuk menembus sampai ke dasar perairan dipengaruhi oleh kekeruhan air. Kekeruhan disebabkan oleh materi-materi tersuspensi, jasad renik, dan warna air (Kordi, 2007).
4. Kedalaman
Kedalaman suatu perairan akan memengaruhi jumlah jenis organisme biotik. Kedalaman perairan merupakan faktor pembatas kesuburan perairan, karena mikroalga banyak dijumpai pada kedalaman <1 m pada kedalaman tersebut merupakan daerah transparasi matahari (Johan, 2011). Perairan dangkal cenderung memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan perairan yang lebih dalam (Wetzel, 2001).
5. pH
Menurut Boyd (1988) pH merupakan logaritme negatif dari konsentrasi ion hidrogen [H+] yang mempunyai skala antara 0 sampai 14. Menurut Effendi (2003) sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan bertahan pada nilai pH sekitar 7-8,5.
6. Dissolved Oxygen (DO)
Kelarutan oksigen (DO) dalam air tergantung pada suhu. Kelarutan oksigen akan turun jika suhu naik. Kenaikan suhu air mengakibatkan biota perairan akan lebih aktif, sehingga memerlukan lebih banyak oksigen (Boyd, 2002). Organisme dapat tumbuh dengan baik pada kondisi perairan dengan nilai oksigen terlarut > 5 mg.l-1 (Boyd, 1988).
7. Biology Oxygen Demand (BOD)
Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik (Salmin,
5
2005). Menurut Wijaya (2009) mengatakan bahwa perairan dengan kandungan
BOD 5,0 − 15 mg.l-1 tergolong perairan yang tercemar sedang dan >15 tergolong perairan yang tercemar berat.
B. Struktur Komunitas Mikrofitobenthos
Komunitas adalah kumpulan spesies yang mendiami suatu tempat dimana populasi-populasi yang ada di dalamnya saling berinteraksi, dan mengalami variasi dari waktu ke waktu (Basmi, 1995). Odum (1998) menyatakan bahwa struktur komunitas dikendalikan oleh spesies-spesies yang terdapat dalam suatu habitat tertentu, sehingga dapat dilihat dari kelimpahan, keanekaragaman dan dominansi spesies.
Perubahan kondisi perairan yang terjadi dapat digambarkan melalui keberadaan biota di perairan salah satunya mikrofitobnethos yaitu mikrobenthos bersifat seperti tumbuhan yang habitatnya di substrat perairan (Jailani & Nur, 2012). Kemampuan mikrofitobenthos menempel pada substrat menentukan keberadaannya yang tidak terpengaruhi oleh arus (Osborn, 1983). Penelitian tentang mikroalga benthik di Sungai Banjaran Kabupaten Banyumas telah dilakukan oleh Marendra tahun 2007 dengan kondisi lingkungan yang kisaran suhu 19,5- 27 oC, pH 6-6,5, penetrasi cahaya 35-60,6 cm, kecepatan arus 0,3-0,6 m.s-1, BOD 1,9-3,96 mg.l-1, DO 5,4-6,8 mg.l-1, dan ortofosfat 0,0251-0,77 mg.l-1 ditemukan mikroalga dari divisi Chrysophyta 86 jenis, Chlorophyta 20 jenis, dan Cyanophyta 4 jenis. Penelitian tersebut dapat diketahui bahwa beberapa jenis-jenis mikrobenthik yang didapatkan yaitu Diatoma vulgare, Ulothrix frimbiata, dan Oscillatoria foreani.
C. Hubungan TDS, Nitrat, Ortofosfat terhadap Komunitas Mikrofitobenthos
Senyawa-senyawa terlarut maupun tersuspensi yang masuk ke sungai dapat merubah faktor fisika, kimia, dan biologi perairan apabila melewati ambang batas (Odum, 1998). Total Disolved Solid (TDS) merupakan padatan terlarut yang terdiri dari senyawa-senyawa organik dan anorganik yang larut air, mineral dan garam-garamnya. Konsentrasi TDS perairan dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik dan industri) (Effendi, 2003). Menurut Alabster & Lloyd (1982) batas konsentrasi TDS yang baik untuk sungai adalah <1000 mg/l. Supiyati (2012) menyatakan bahwa konsentrasi zat
6
terlarut tinggi pada daerah hilir dibandingkan hulu sungai, karena pada daerah tersebut terjadi tumpukkan padatan atau zat-zat lain yang terbawa oleh arus.
Zat padat terlarut mengandung nutrien berupa nitrat dan fosfat yang akan mendukung kehidupan organisme air (Situmorang, 2007). Nitrogen di dalam perairan ada dalam berbagai bentuk, namun hanya beberapa saja yang dapat dimanfaatkan oleh mikrofitobenthos. Nitrogen yang dapat dimanfaatkan adalah dalam bentuk nitrat (Jones-Lee & Lee, 2005). Nitrat digunakan untuk pembentukkan pigmen fotosintesis (klorofil dan fikobilin) (Basmi, 1995). Nitrat dapat berasal dari buangan pertanian, pupuk, kotoran hewan dan manusia (Winata, 2000). Menurut Effendi (2003) kandungan nitrat di perairan tidak boleh melebihi 10 mg.l-1.
Fosfat yang dapat dimanfaatkan oleh organisme berupa senyawa ortofosfat (Jones-Lee & Lee, 2005). Ortofosfat termasuk salah satu dari beberapa unsur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan biota air (Achmad, 2004). Menurut Boyd (1988) kisaran kandungan ortofosfat yang baik untuk perairan yaitu <1 mg.l-1. Sumber alami fosfat di perairan berasal dari limbah pemukiman, pertanian, dan pelapukan batuan mineral. Limpasan daerah pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan kontribusi yang besar terhadap keberadaan fosfat di perairan (Effendi, 2003).
Kandungan zat hara nitrat dan fosfat di perairan memiliki dampak positif, namun pada tingkatan tertentu juga dapat menimbulkan dampak negatif. Dampak positifnya adalah adanya peningkatan produksi mikrofitobenthos sedangkan dampak negatifnya adalah terjadinya penurunan kandungan oksigen di perairan, serta memperbesar potensi muncul dan berkembangnya jenis mikrofitobenthos berbahaya yang lebih umum dikenal dengan istilah Harmful Algal Blooms atau HAB (Rumanti, 2014). Hasil Penelitian Marendra (2007) menunjukkan bahwa nilai konsentrasi nitrat dan fosfat Sungai Banjaran semakin bertambah dari hulu ke hilir yaitu kisaran konsentrasi nitrat 0,2971-0,6308 m.g-1 dan konsentrasi fosfat 0,0251-0,0393 mg.l-1 pada daerah hulu, sedangkan daerah hilir didapatkan konsentrasi nitrat 1,0063-1,2194 mg.l-1dan konsentrasi fosfat 0,0636-0,077 mg.l-1 kelimpahan mikroalga cenderung mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya konsentrasi nitrat dan fosfat.