Program HAM LGBTI oleh GAYa NUSANTARA beserta organisasi‐organisasi LGBTIQ Indonesia
MEREKA
YANG
TERABAIKAN
Pelanggaran
HAM
pada
Komunitas
LGBTI
di
Indonesia
Ahmad
Zainul
Hamdi
Asfinawati
Khanis
Suvianita
Ko
Budijanto
Poedjiati
Tan
Sardjono
Sigit
Yusuph
Wahyudi
i
Karena Kami Tidak Lagi Mau Diam: Sebuah Pengantar
Pada peringatan Hari Hak Asasi Manusia 2010, Sekretaris Jendral PBB secara tegas
menyatakan:
Sebagai laki‐laki dan perempuan yang mempunyai hati nurani, kita
menolak diskriminasi secara umum, dan khususnya diskriminasi
berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. Apabila seseorang
diserang, diperlakukan dengan kejam, atau dipenjarakan karena
orientasi seksual mereka, kita harus bersuara…
Hari ini, banyak bangsa mempunyai konstitusi modern yang menjamin
hak‐hak dasar dan kebebasan. Akan tetapi, homoseksualitas masih
dianggap kriminal di lebih dari 70 negara. Hal ini tidak benar.
Benar, kita mengakui bahwa sikap sosial masih berperan kuat. Benar,
perubahan sosial terjadi seiring dengan berjalannya waktu. Namun,
janganlah ada kebingungan ketika terjadi ketegangan antara sikap
sosial dan HAM universal, maka haklah yang harus dimenangkan.
Penolakan secara pribadi, bahkan penolakan masyarakat bukan
merupakan alasan untuk menangkap, menahan, memenjarakan,
melecehkan, ataupun menyiksa seseorang, tidak pernah.
Sikap tegas PBB yang menolak diskriminasi berdasarkan orientasi seksual
dan identitas gender itu adalah kabar gembira bagi perjuangan hak‐hak LGBTI
(lesbian, gay, biseksual, transgender dan interseks) di dunia internasional. Namun
perlu diingat bahwa capaian itu bukan datang tiba‐tiba. Sekian puluh tahun
berbagai individu dan lembaga bergandengan tangan menyuarakan diksriminasi
dan kekerasan yang dialamai komunitas LGBTI.
Indonesia menjadi salah satu negara yang menandai tonggak perjuangan ini.
Pada November 2006, dua organisasi HAM internasional terkemuka, International
Service for Human Rights dan the International Commission of Jurists, mengadakan
pertemuan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, untuk merumuskan hak‐hak
LGBTI. Pertemuan ini menghasilkan Prinsip‐prinsip Yogyakarta yang berisi 28
prinsip HAM dalam kaitannya dengan orientasi seksual, identitas gender dan
interseksualitas.
Kita tahu bahwa banyak pihak yang menyangkal hak‐hak LGBTI atas dasar
moral, agama, dan budaya. Namun, dokumen HAM internasional secara tegas
menyatakan bahwa diskriminasi atas dasar seks dan ras tidak dapat dibenarkan
dengan dalih tradisi, adat, atau agama. Prinsip ini juga harus ditegakkan dalam
pemenuhan hak LGBTI.
ii
Berbagai capaian internasional ini patut kita rayakan. Namun yang lebih
penting bagi kita adalah bertanya tentang situasi kita di sini, di negeri tercinta ini, di
Indonesia ini.
Jika anda tidak cukup memiliki waktu luang dan kemampuan riset yang
memadai, cukuplah anda menyimak baik‐baik obrolah‐obrolan yang muncul dalam
pertemuan‐pertemuan atau kumpul‐kumpul di antara individu‐individu LGBTI.
Anda dengan mudah akan mendengarkan berbagai kisah pembunuhan, perkosaan
dan penyerangan fisik, penyiksaan, penahanan sewenang‐wenang, pengingkaran
atas hak berkumpul, bersuara, dan mendapatkan informasi, dan diskriminasi dalam
pekerjaan, kesehatan dan pendidikan—daftar pelanggaran hak LGBTI yang disebut
dalam laporan Komisaris Tinggi PBB untuk HAM tentang diskriminasi dan
tindakan kekerasan terhadap individu berdasarkan orientasi seksual dan identitas
gender. Memang, mereka tidak selalu mengobrolkannya dengan kesedihan dan
amarah. Bahkan, tidak jarang mereka menjadikannya sebagai bahan bercanda
karena seringnya mereka menerimanya hingga kesedihan tak lagi menusuk, hingga
tangis bisa dengan mudah diubah menjadi tawa.
Tapi, kekerasan tetaplah kekerasan sekalipun ia bisa ditertawakan. Oleh
karena itu, kami tidak abai dengan kekerasan dan diskriminasi ini. Apa yang tertulis
dalam laporan ini hanyalah puncak gunung es diskriminasi dan kekerasan yang
menimpa LGBTI di Indonesia. Ini hanyalah sebuah penilaian cepat (rapid assessment)
awal dari sebuah program yang bertujuan mendokumentasi pelanggaran HAM
LGBTI di Indonesia. Sebagai rapid assessment, laporan ini hanya memberi sorotan
awal. Ini hanyalah sebuah langkah awal.
Namun demikian, laporan yang hanya menampilkan sepuluh kasus ini telah
memberi gambaran kepada kita hampir semua kisah diskriminasi dan kekerasan
yang dialami LGBTI, mulai pembunuhan, pelecehan, serangan fisik, penyiksaan,
penahanan sewenang‐wenang, pengadilan yang tidak adil, penolakan terhadap hak
untuk berkumpul dan berekspresi, hingga pembunuhan. Laporan ini mengandalkan
dokumen yang terserak di berbagai lembaga LGBTIQ di Indonesia (Ardhanary
Institute, Arus Pelangi, Gaya Celebes, Gessang [Gerakan Sosial, Advokasi dan Hak
Asasi Manusia untuk Gay Surakarta], GWL‐INA [Perkumpulan Gay, Waria dan
Lelaki yang Berhubungan Seks dengan Lelaki Lain di Indonesia], GWL Kawanua,
Hiwaba [Himpunan Waria Batam], LBH APIK [Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi
Perempuan Indonesia untuk Keadilan] Semarang, Perwakos [Persatuan Waria Kota
Surabaya], Positive Rainbow dan Komunitas Sehati Makassar). Karena keterbatasan
waktu dan tenaga, laporan ini tidak mencakup semua peristiwa. Begitu juga ada
banyak lembaga yang tidak “menyetorkan” kasusnya. Bukan apa‐apa.
Pendokumentasian berbeda sepenuhnya dengan pelanggaran. Tidak adanya catatan
pelanggaran sama sekali bukan berarti tidak adanya pelanggaran.
iii
Bukan rahasia lagi jika banyak kaum agama fanatik yang menolak hak‐hak
LGBTI atas dasar moral dan agama, dan melakukan kekerasan terang‐terangan
terhadap komunitas LGBTI. Serangan fisik di tempat‐tempat berkumpulnya
komunitas LGBTI sampai pada acara‐acara pertemuan adalah cerita yang dengan
mudah kita peroleh. Ketika kami bertanya “Di mana negara?” jawaban yang kita
temui hanya ada dua: Kebisuan (pembiaran) atau justru kolaborasi harmonis
dengan kelompok penyerang. Oleh karena itu, kami sangat berterima kasih kepada
Komnas HAM yang menyediakan dirinya untuk bersama‐sama kami dalam
perjuangan HAM LGBTI Indonesia. Betapa inginnya kami menjadikan perjuangan
HAM LGBTI bagian tak terpisahkan dari perjuangan HAM secara umum di
Indonesia, karena LGBTI rights are human rights.
Akhirnya, biarlah laporan ini menjadi teriakan kami karena kami tak lagi
mau diam.
Surabaya, 25 Februari 2012
Dédé Oetomo
Ketua Dewan Pembina
Yayasan GAYa NUSANTARA
1
MEREKA YANG TERABAIKAN:
Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
A.PENDAHULUAN
Pada Oktober 2010, Parjo (26 tahun), gay, melihat seorang temannya yang juga gay dipukuli oleh orang‐orang dari kelompok Islamis‐radikal di lokasi berkumpulnya gay, waria, dan wanita pekerja seks, di Jempingan, Solo. Parjo melihat temannya itu dipukuli helm di kepala dan tubuhnya berkali‐kali. Saat itu ada sekitar 10 orang Islamis‐radikal membawa pemukul dari kayu dan besi. Parjo berusaha membela temannya sehingga terjadi perkelahian. Keesokan harinya, Parjo dipanggil ke Polres Sukoharjo berdasarkan laporan dari kelompok Islamis‐radikal tersebut. Parjo dilaporkan telah melakukan penganiayaan. Dalam proses penyidikannya, Parjo kesulitan menghadirkan temannya yang dianiaya itu. Si teman tersebut menghilang tidak jelas ke mana, mungkin dia merasa ketakutan. Parjo melaporkan kasusnya ke Yayasan Gessang sebagai LSM pendamping. Yayasan Gessang mencoba mencari bantuan hukum ke dua lembaga bantuan hukum yang ada di Solo, tapi tidak mendapat tanggapan. Akhirnya, setelah melalui lima kali proses persidangan di PN Solo, Parjo divonis 6 bulan penjara dengan tuduhan penganiayaan, dan dimasukkan di Rutan Solo.1
Kisah Parjo di Solo ini merupakan tipikal kekerasan dan pelanggaran HAM yang dialami oleh komunitas LGBTI (lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks) di Indonesia. Mereka mendapatkan serangan dari kelompok masyarakat yang tidak menyetujui dan membenci nya. Komunitas LGBTI tidak mendapatkan jaminan keamanan dari negara. Bahkan dalam banyak kasus, negara justru menjadi pelaku kekerasan terhadap kelompok ini. Sementara, komunitas ini sendiri belum cukup berdaya dengan dirinya sendiri. Keadaan menjadi sedemikian rumit karena masih banyak individu atau lembaga pembela HAM mainstream yang belum memasukkan
pembelaan hak‐hak komunitas LGBTI sebagai bagian dari agenda perjuangannya, bahkan beberapa kelompok mungkin masih dihinggapi oleh homofobia.
Harus diakui bahwa pelanggaran HAM seringkali mengenai orang‐orang yang rentan. Di antara kelompok ini adalah mereka yang memiliki orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda dengan mayoritas. Pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual dan identitas gender sendiri merupakan masalah serius yang sedang mendapat perhatian internasional saat ini. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sonia Onufer Corrêa, “Human rights are for everyone, without reservation. Yet women, men and persons
whose sexuality does not confirm with dominant norms face rape, torture, murder, violence, and
abuse because of their sexual orientation or gender identity.”2 Pernyataan ini jelas
1 Data berasal dari Yayasan Gessang Solo.
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 2
menunjukkan bahwa sekian banyak daftar pelanggaran HAM bisa mengenai komunitas LGBTI yang masuk melalui pintu orientasi seksual dan identitas gender.
Pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual dan idetnitas gender sangat mudah ditemukan. Sekalipun sudah ada jaminan dalam Konstitusi dan UU HAM, namun LGBTI tetaplah warga negara yang sangat rentan untuk dilanggar hak‐haknya. Pelanggaran ini bisa berlapis‐lapis. Seseorang yang ketahuan gay akan begitu saja terancam karirnya dalam satu lembaga pekerjaan formal; Seorang waria akan segera terusir dari lingkungan keluarganya begitu dia mulai berdandan. Dan, ini berarti dimulainya berbagai pelanggaran hak‐haknya yang lain.
Pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual dan identitas gender ini di lapangan terwujud dalam berbagai pelanggaran. Pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual dan identitas gender mengakibatkan berbagai pelanggaran lain, misalnya, penghukuman tanpa proses peradilan (extrajudicial executions), kekerasan dan
penyiksaan (violence and torture), tertutupnya akses kepada keadilan (access to justice),
tidak adanya hak kebebasan mengemukakan pendapat dan berserikat (rights to freedom
of expression and assembly), pekerjaan (employment), kesehatan (health), pendidikan
(education), partisipasi publik (public participation), sampai pada isu‐isu keimigrasian
dan pengungsi (immigration and refugee issues), serta berbagai hak dasar lain.
Sedemikian rupa pelanggaran HAM terhadap komunitas LGBTI ini, sampai kita bisa dengan mudah menemukan kisah pelanggaran ini mulai dari terbangun di pagi hari sampai kembali berangkat tidur. Sekalipun demikian, belum ada yang sungguh‐ sungguh melakukan pendokumentasian atas ini. Bahkan upaya akademik untuk merumuskan instrumen HAM yang secara langsung terkait dengan komunitas LGBTI pun baru terjadi pada tahun 2006,3 jauh terlambat jika dibandingkan dengan HAM untuk perempuan dan anak, dua komunitas lain yang dianggap memiliki posisi rentan dalam hal pelanggaran HAM.4
Jika berpedoman pada data di Kementrian Kesehatan tahun 2006 yang mengestimasi jumlah gay dan LSL (laki‐laki berhubungan seks dengan laki‐laki) sebanyak 1.149.270 orang dan waria (transgender laki‐laki ke perempuan) sebanyak 35.300,5 maka ini berarti ada 1.284.270 jiwa atau 0,6% penduduk Indonesia rentan dilanggar
3 Rumusan Yogyakarta Principles dihasilkan dalam pertemuan sejumlah ahli dalam bidang HAM di Yogyakarta pada 6-9 November 2006. Setelah pertemuan tersebut, 29 ahli dari 25 negara mengadopsi rumusan yang secara lengkap berjudul Yogyakarta Principles on the Application of International Human Rights Law in relation to Sexual Orientation and Gender Identity.
4 HAM untuk kaum perempuan sudah terumuskan dalam CEDAW (Convention of the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) dan sudah diterima oleh Sidang Umum PBB tahun 1979, sementara hak anak juga sudah terumuskan dalam CRC (Convention on the Rights of Child), di mana keduanya sudah diratifikasi oleh Indonesia. Indonesia sendiri sudah punya UU perlindungan anak dan peradilan anak dan UU penghapusan KDRT.
3 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
hak‐haknya.6 Jumlah itu akan terus bertambah jika kita memasukkan perempuan lesbian, biseksual, transgender perempuan ke laki‐laki (laki‐laki trans[gender]) dan interseks.
Yang juga tidak kalah penting adalah pelanggaran HAM terhadap individu atau lembaga yang mempromosikan HAM LGBTI. Di beberapa negara, forum‐forum dan organisasi yang bertujuan untuk mempromosikan hak dan membela kesetaraan atas dasar orientasi seksual dan identitas dilarang oleh penguasa, dan pesertanya dilecehkan dan diintimidasi oleh polisi dan kelompok nasionalis dan keagamaan ekstrem. Para human right defenders yang bekerja pada isu‐isu orientasi seksual dan
identitas gender menghadapi ancaman, kantornya dirusak, mereka diserang, disiksa, dilecehkan secara seksual, bahkan dibunuh. Semua ini hampir bisa dikatakan tidak mendapatkan perhatian serius dari penguasa politik.7
Salah satu poin penting yang tertuang dalam Yogyakarta Principles, prinsip‐prinsip
HAM yang secara eksklusif terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender, adalah rekomendasi terhadap lembaga HAM nasional, lembaga profesional, lembaga PBB, funder, LSM dan berbagai lembaga lain untuk mengambil tanggung jawab dalam
mempromosikan dan melindungi HAM LGBTI dan mengintegrasikan prinsip‐prinsip ini ke dalam kerangka kerja mereka. Dalam kerangka mengambil bagian tanggung jawab dalam mempromosikan dan melindungi HAM LGBTI itulah laporan ini perlu dibaca.
Mekanisme kunci HAM yang dirumuskan PBB meletakkan negara sebagai pihak yang memiliki kewajiban untuk memastikan adanya perlindungan bagi semua orang dari pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual dan identitas gender. Sekalipun demikian, seringkali di lapangan hal ini tidak berjalan dengan baik. Banyak negara yang selama ini memiliki catatan HAM yang baik pun memiliki catatan minor dalam hal pemenuhan HAM komunitas LGBTI ini.
Laporan ini sendiri bertujuan untuk memberi gambaran awal situasi HAM LGBTI di Indonesia. Seperti yang sudah bisa diduga sejak awal, diskriminasi terhadap individu‐individu dengan orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda dari
mainstream menjadi basis bagi berbagai pelanggaran HAM berikutnya.
B.KLARIFIKASI METODOLOGIS
Sebagaimana laporan yang dihasilkan dari proses rapid assessment, laporan ini
hanya menyediakan gambaran awal dari kondisi HAM di komunitas LGBTI di Indonesia. Laporan ini disusun dengan mengandalkan data yang tersedia di beberapa lembaga yang selama ini konsen pada isu‐isu LGBTI, dan yang berjejaring dengan GAYa NUSANTARA.
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 4
GAYa NUSANTARA sendiri membentuk tim pengumpul data.8 Tim ini menghubungi lembaga‐lembaga tersebut untuk mendapatkan informasi tentang pelanggaran HAM yang dialaminya. Bisa dikatakan bahwa semua lembaga yang dihubungi ini adalah CBO (Community‐Based Organization) sehingga kasus pelanggaran
yang mereka alami sekalipun tidak terjadi pada pengurus, namun dialami oleh individu yang merupakan bagian dari komunitas yang tergabung dalam CBO yang bersangkutan.9
Pada tahap awal, data yang masuk sangat terbatas. Hal ini bisa disebabkan oleh kelemahan pemantauan atau pendokumentasian atau sistem dokumentasi yang berbeda antara yang diinginkan oleh GAYa NUSANTARA dengan lembaga‐lembaga lain. Untuk melengkapi data‐data awal, tim pengumpul data perlu berkali‐kali menghubungi lembaga‐lembaga tersebut. Untuk memudahkan pendokumentasian, tim ini dilengkapi dengan istrumen berupa event‐based form yang diformat sedemikian rupa
sehingga unsur‐unsur yang dibutuhkan dalam pendokumentasian pelanggaran HAM terpenuhi. Kolom‐kolom penting yang harus terisi dalam form tersebut adalah narasi kejadian, yang kemudian diurai ke dalam kolom‐kolom yang lebih detail: Tindakan, korban, waktu tempat, pelaku, intensitas, saksi, persepsi korban, akibat, tindakan korban setelah kejadian, dan hak yang dilanggar.10
Form ini sebelumnya sudah dikirimkan kepada lembaga‐lembaga yang dimintai data. Hal ini diharapkan bisa membantu mereka dalam menyusun laporan kasus sesuai dengan yang dikehendaki GAYa NUSANTARA. Tapi karena dibutuhkan kecakapan tertentu dalam mengisi form tersebut, maka data‐data awal yang masuk tetap tidak memadai. Data‐data awal inilah yang kemudian dilengkapi dengan cara menanyakan kembali kepada lembaga yang bersangkutan. Hasil dari pengumpulan data seperti inilah yang kemudian dianalisis oleh tim sehingga menghasilkan laporan awal kondisi HAM pada komunitas LGBTI.
Dari 25 lembaga yang dihubungi dalam rapid asessment ini, terjaring 11 kasus
pelanggaran HAM LGBTI yang dilaporkan.11 Dari kasus yang telah didokumentasikan, ada satu kasus mengenai seorang transgender perempuan ke laki‐laki (laki‐laki
trans[gender]) dari Blora yang didokumentasikan oleh dua lembaga yaitu LBH APIK
8 Tim ini terdiri dari lima orang pengurus dan staf GAYa NUSANTARA: Sardjono Sigit, Ko Budijanto, Poedjiati Tan, Widyanto, dan Yusuf Wahyudi.
9 Lembaga tersebut adalah Hiwaba (Himpunan Waria Batam), Gessang Solo, PERWAKOS (Persatuan Waria Kota Surabaya), Gaya Kawanua Manado, Ardhanary Institute Jakarta, LBH APIK Semarang, Positive Rainbow Jakarta, Sehati Makasar, GWL-Ina Jakarta, Arus Pelangi Jakarta, GAYa NUSANTARA Surabaya, Pelangi Andalas Padang, Gaya Batam, Dipayoni Surabaya, IGAMA (Ikatan Gay Malang), Effort Semarang,PLU (People Like Us) Yogyakarta, Kipas Makassar, Forum LGBTI Indonesia, Violet Grey Aceh, Srikandi Sejati Jakarta, Kebaya Yogyakarta, Gaya Dewata Bali, OPSI (Organisasi Pekerja Seks Indonesia) Jakarta.
10 Silahkan lihat event-based form pada lampiran.
5 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
Semarang dan Ardhanary Institute karena kedua lembaga tersebut sama‐sama mendampingi korban. Dengan demikian, hanya ada 10 kasus yang bisa dianalisis dengan jumlah komposisi 5 kasus mengenai waria, 4 kasus mengenai gay, dan 1 kasus mengenai laki‐laki trans(gender).12 Kasus‐kasus yang diangkat di sini terentang mulai pertengahan 2009 sampai pertengahan 2011.
Kasus‐kasus tersebut bisa dilihat dalam tabel di bawah ini (semua nama korban disamarkan):
No Kasus Tempat Tgl Kejadian Narasi Singkat
1 Pembubaran pertemuan nasional GWL‐ INA
Bandung 12 Mei 2010 Jaringan Gay, Waria dan LSL lainnya di Indonesia (GWL‐INA) melaksanakan pertemuan nasional.
Saat pertemuan akan dimulai, pihak hotel memanggil penanggungjawab kegiatan dan mengatakan bahwa pertemuan ini harus dihentikan karena mendapatkan ancaman dari FPI.
2 Penembakan waria
Jakarta 10 Maret 2011 Vera sedang berduaan bersama A’a’ di Taman Lawang, Jakarta, ketika dihampiri dua orang laki‐laki. Salah seorang dari mereka meminta dompet, HP serta kunci motor milik A’a’. Saat pelaku sedang kesulitan menjalankan motor A’a’, Vera mencoba menghalangi aksi kejahatan itu hingga terjadi keributan. Zainab dan Titin yang berada tidak jauh dari tempat kejadian kemudian membela Vera. Pelaku kemudian menembakkan pistolnya ke Titin, Zainab, dan Vera. Vera dan Titin dilarikan ke RSCM, sedang Zainab ditemukan meninggal dunia.
3 Penyerangan terhadap sekelompok gay
Solo Oktober 2010 Parjo (26 tahun), gay, melihat seorang temannya yang juga gay dipukuli oleh orang‐orang dari kelompok Islamis‐ radikal. Parjo berusaha membela temannya sehingga terjadi perkelahian. Keesokan harinya, Parjo dipanggil ke Polres Sukoharjo dengan tuduhan penganiayaan. Oleh PN Solo, Parjo divonis 6 bulan penjara.
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 6
4 Penganiayaan terhadap seorang gay
Manado Desember 2010 Coy dan Roy (keduanya gay) suatu hari melakukan penjangkaun ke beberapa orang gay yang tinggal di suatu tempat kos. Di situ, Roy dicegat oleh Opo, salah satu anak yang kos di tempat itu. Opo langsung memukuli Rey sampai beberapa kali. Selain dipukuli, juga ditampar, dinjak‐ injak, diolok‐olok dan dihina. Bahkan kepala Rey dipukul dengan vas bunga yang dipegang oleh Opo.
5 Razia waria Batam November 2010 Suatu malam, terjadi razia kepada para waria yang mangkal di Simpang Basecamp Batu Aji Batam Centre yang dilakukan oleh Satpol PP Batam Centre. Dalam razia itu tertangkap 7 orang waria.
Mereka dinaikkan ke mobil Satpol PP. Dalam perjalanan ke kantor Satpol PP Batam Centre semua waria dimintai uang Rp 50.000. Karena tidak ada uang, petugas Satpol PP menyita HP sampai terjadi pemukulan. Sesampainya di kantor Satpol PP, semua waria disuruh menyapu dan mengepel lantai. Setelah itu disuruh telanjang. Karena menolak maka mereka dipukul dan ditelanjangi paksa oleh Satpol PP tersebut. Mereka juga dipaksa berhubungan seksual dengan Satpol PP tersebut. Mereka juga dimasukkan ke ban mobil. Seorang waria yang berusaha membebaskan mereka dimintai uang tebusan.
6 Razia waria Surabaya Juli 2011 Vahira mengalami patah kaki saat lari dan terjatuh akibat adanya razia polisi. Waktu itu terjadi razia di pemakaman Kembang Kuning Surabaya terhadap wanita pekerja seks dan waria yang mangkal di situ. Korban sebetulnya berhasil lolos, namun terjatuh dan kakinya patah.
7 Pembubaran Peringatan Hari AIDS se‐Dunia
Makasar 1 Desember 2010
7 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
karena dibubarkan paksa oleh sekitar kurang lebih 400 massa dari FPI.
8 Kekerasan waria di Makasar
Makasar 9 Oktober 2010 Icha, Roro, dan Rizki (waria) sedang mejeng di kuburan Kristen, Panaikang. Tiba‐tiba pukul 03.00 dini hari, datang Erna, seorang perempuan, minta tolong karena digoda oleh Joko (seorang tukang ojek). Ketiga waria tersebut menolong Erna. Joko menghajar ketiganya yang kemudian dilawan oleh mereka. Besoknya, ketiga waria tersebut dijemput oleh polisi berdasarkan laporan Joko dengan dakwaan pengeroyokan dan penganiayaan.
9 Penganiayaan terhadap seorang laki‐laki
trans(gender)
Blora Juni 2009 Ratna (27 tahun), laki‐laki trans(gender), hendak menikahi pacarnya, Siti Aminah. Ketika pesta perkawinan akan dilaksanakan, Ratna tidak bisa melengkapi surat‐surat administrasi yang diperlukan. Kemudian diketahui kalau secara fisik Ratna adalah seorang perempuan. Keluarga Siti Aminah dan penduduk kampung marah kemudian memukuli Ratna dan membawanya ke kantor polisi setempat. Dia ditahan di kantor polisi dan tidak mendapatkan pengobatan atas luka‐ lukanya. Dia juga dipaksa menunjukkan alat kelaminnya, diremas payudaranya, dan dipaksa menunjukkan penis tiruannya di depan wartawan.
10 Pembukaan Status HIV
Jakarta 2 Januari 2011 Ardi (gay, 30 tahun) membuka status HIV Tirto di Hotspot Pulo Gadung. Atas informasi yang disampaikan oleh Ardi, beberapa teman di hotspot memperolok dan mengunjingkan Tirto, akibatnya Tirto merasa malu dan terpukul.
Ada tiga tahap analisis data. Tahap pertama adalah mentabulasi semua data yang masuk ke dalam program exel sesuai dengan event‐based form. Tabulasi ini
mempermudah dalam melihat keseluruhan unsur‐unsur yang terkait dalam peristiwa pelanggaran HAM LGBTI, misalnya, siapa saja korban, pelaku, tempat, dan berbagai unsur lain sebagaimana yang tertera dalam form.
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 8
waktu‐waktu tertentu, tapi acak. Atau, kalau dilihat dari pelaku pelanggaran, terlihat adanya kecenderungan laki‐laki sebagai pelaku pelanggaran yang dominan.
Setelah dianalisis kecenderungan per kolom, langkah berikutnya adalah analisis korelasional antarkolom. Analisis ini menghubungkan, misalnya, antara korban dengan pelaku atau antara bentuk tindakan dengan tempat dan waktu kejadian. Analisis ini penting untuk melihat hubungan antara satu unsur dengan unsur lain dalam rangkaian proses pelanggaran.
Langkah terakhir adalah melakukan analisis hak. Analisis ini bertujuan untuk melihat hak apa saja yang sudah terlanggar. Analisis ini tidak didasarkan pada kasus, tapi per satuan tindakan. Dalam satu kasus, bisa terjadi terjadi berbagai peristiwa, dan dalam satu peristiwa terdapat berbagai tindakan. Ini artinya adalah bahwa dalam satu kasus berarti bisa terjadi lebih dari satu pelanggaran. Dalam melakukan analisis pelanggaran hak ini, Yogyakarta Principles diajukan sebagai acuan.
Perlu juga untuk dinyatakan di sini bahwa ada beberapa keterbatasan dalam laporan ini:
1. Laporan ini tidak bisa diperlakukan sebagai gambaran sempurna tentang kondisi HAM LGBTI di Indonesia karena laporan ini hanya menjangkau delapan wilayah: Bandung, Jakarta, Solo, Manado, Batam, Surabaya, Makasar, dan Semarang.
2. GAYa NUSANTARA hanya bisa menghubungi lembaga‐lembaga tertentu di wilayah‐wilayah tersebut, padahal bisa jadi di lapangan ada lembaga lain yang memiliki banyak data.
3. Sebagian besar kasus ini sebenarnya tidak didokumentasikan oleh lembaga yang dihubungi. Lembaga yang bersangkutan hanya menceritakan kasusnya secara lisan berdasarkan ingatan yang tentu tidak bisa sangat detail, kemudian tim pengumpul data memasukkan data lisan tersebut kedalam form.
4. Sebagian besar lembaga yang terhubungi hanya memberikan satu kasus. Tidak mengherankan jika dari Makasar tercatat dua kasus karena ada dua lembaga yang memasukkan data. Satu lembaga satu kasus di sini bisa jadi ini disebabkan oleh ketaktersediaan data sehingga akan sangat menyulitkan bagi mereka jika harus mengisi form untuk lebih dari satu kasus. Padahal, tim pengumpul data tidak pernah membatasi jumlah kasus yang harus dilaporkan.
5. Ada beberapa lembaga, dengan berbagai alasan, tidak memberi data.
Dari sini bisa diasumsikan bahwa laporan ini hanyalah puncak gunung es dari pelanggaran HAM komunitas LGBTI yang terjadi di lapangan.
9 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
C.FAKTA PELANGGARAN
Perlu dijelaskan sejak awal bahwa di sini tidak dibedakan antara tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aktor non‐negara dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aktor negara. Jadi, bagian ini berisi tindakan kekerasan danpelanggaran HAM yang menimpa komunitas LGBTI secara umum.
Bagian ini akan membahas fakta tindakan kekerasan terhadap komunitas LGBTI dalam beberapa kategori. Ada enam kategori yang akan dibahas di bagian ini:
• Tindakan
• Waktu Kejadian
• Tempat Kejadian
• Pelaku
• Motiv Tindakan Pelaku sebagaimana Yang Dipersi Korban
• Korban
• Akibat yang Dialami Korban
• Tindakan Korban Setelah Kejadian
• Saksi
1. Tindakan
Kekerasan fisik merupakan jenis tindakan yang paling banyak terjadi. Hampir semua kasus penyerangan terhadap komunitas LGBTI mengarah pada serangan fisik. Kisah Parjo di awal tulisan ini sudah pasti merupakan salah satu contoh tentang penyerangan fisik yang sering dialamai oleh komunitas LGBT. Kasus lain adalah penyerangan seorang tukang ojek terhadap sekelompok waria di Makassar, kasus penganiayaan gay di Manado, dan penembakan beberapa orang waria di Jakarta yang menyebabkan kematian salah seorang diantaranya.
Barangkali peristiwa Ratna di Blora bisa menggambarkan betapa rentannya komunitas LGBTI dari serangan fisik. Peristiwa Blora adalah mengenai penganiayaan terhadap seorang laki‐laki trans(gender), oleh penduduk desa.
Ratna (27 tahun), laki‐laki trans(gender), berpacaran dengan Siti Aminah (17 tahun). Ratna harus berhadapan dengan hukum karena keluarga pacarnya mengetahui bahwa ternyata secara fisik Ratna adalah seorang perempuan. Ketika itu, pesta perkawinan sudah hendak dilaksanakan. Namun Ratna tak kunjung melengkapi surat‐surat administrasi untuk keperluan perkawinan. Sampai keluarga Siti Aminah mendapatkan informasi bahwa Ratna adalah seorang perempuan. Sontak keluarga menjadi marah dan juga diikuti kemarahan warga kampung. Ratna dikeroyok warga kampung hingga babak belur dan dibawa ke kantor polisi setempat. Di kantor polisi, Ratna juga mendapati kekerasan dan pelecehan. Dia ditahan di kantor polisi dan tidak mendapatkan pengobatan atas luka‐lukanya. Dia dipaksa menunjukkan alat kelaminnya, diremas payudaranya, dan dipaksa menunjukkan penis tiruannya di depan wartawan.
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 10
Ancaman penangkapan sewenang‐wenang oleh Satpol PP atau polisi juga senantiasa mengancam keberadaan kawan‐kawan LGBTI ini. Berbagai kasus razia terhadap waria juga selalu menyebabkan timbulnya korban dengan luka fisik. Kasus razia waria di Batam dan Surabaya jelas menunjukkan bahwa razia yang dilakukan oleh aparat keamanan memgakibatkan luka fisik pada korban. Bahkan seorang waria Surabaya mengalami cacat permanen akibat razia yang dilakukan oleh aparat keamanan.
Sebagaimana yang diceritakan oleh Sekretaris Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos),
Pada Juli 2011, Vahira (26 tahun), waria, anggota Perwakos, mengalami patah kaki saat lari dan terjatuh akibat adanya razia polisi. Waktu itu terjadi razia di pemakaman Kembang Kuning Surabaya terhadap wanita pekerja seks dan waria yang mangkal di situ. Razia dilakukan oleh polisi berseragam. Akibatnya, para wanita pekerja seks dan waria berlarian menyelamatkan diri. Tidak diketahui berapa orang yang tertangkap. Korban berhasil lolos namun terjatuh dan kakinya patah.
Sudah bukan rahasia lagi, tindakan‐tindakan pelanggaran yang lebih buruk akan mengiringi bagi mereka yang berurusan dengan aparat penegak hukum, baik karena tertangkap dalam razia maupun karena kasus‐kasus lain. Kasus penangkapan waria di Batam dan kasus Ratna di Blora sangat jelas menunjukkan akan hal ini. dalam kedua kasus tersebut, terjadi peristiwa yang tidak manusiawi serta merendahkan martabat para korban terkait orientasi seksual dan identitas gender mereka. Para waria Batam yang tertangkap dalam razia dipaksa telanjang, melakukan hubungan seks dengan petugas, dimasukkan dalam ban mobil, dsb, sedang di Blora, korban disuruh menunjukkan kelaminnya dan diremas payudaranya.
Sementara, proses peradilan yang tidak fair juga ancaman tersendiri bagi komunitas LGBTI Indonesia. Dalam kasus penetapan sebagai tersangka seorang gay yang membela diri di Solo dan beberapa waria di Makasar yang menolong seorang perempuan korban penganiayaan adalah contoh konkret ancaman proses peradilan tidak fair yang dihadapi komunitas ini. Dalam kedua kasus ini, korban justru dilaporkan sebagai pelaku sehingga ditahan oleh aparat.
11 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
Sebagian besar, tindakan kekerasan berupa multiple acts. Dalam arti bahwa
satu jenis tindakan diikuti oleh rentetan tindakan kekerasan berikutnya.
2. Waktu Kejadian
Dari seluruh kasus yang terdokumentasi, waktu terjadinya pelanggaran terbanyak adalah malam hari. Memang tidak semua kasus terdokumentasi secara detail jam kejadian peristiwa, namun hampir semuan informan menyatakan bahwa peristiwanya terjadi di malam hari. Mari kita lihat table di bawah ini.
No Kasus Waktu
1 Pembatalan pertemuan nasional GWL‐INA di Bandung Malam hari 2 Penganiayaan gay di Solo Malam hari 3 Pembukaan status HIV di Jakarta Malam hari 4 Pembubaran kontes waria di Makasar Malam hari
(19.00‐20.00 WITA) 5 Razia waria di Batam Malam hari
(22.00‐24.00 WIB) 6 Razia waria di Surabaya Malam hari 7 Penganiayaan waria di makasar Dini hari
(03.00 WITA) 8 Penembakan waria di Jakarta Dini hari
(03.00 WIB) 9 Penganiayaan gay di Manado Tidak
terdokumentasi 10 Penganiayaan terhadap laki‐laki trans(gender) di Blora Tidak
terdokumentasi
Dari tabel di atas terlihat bahwa enam kasus pelanggaran dilaporkan terjadi di antara pukul 19.00 – 24.00 WIB. Dua kasus memang terjadi pada dini hari, namun dalam kultur Indonesia itu juga bisa disebut dengan waktu malam hari. Waktu kejadian di sini bisa berarti titik di mana terjadi satu kali peristiwa maupun rangkaian beberapa peristiwa yang hadir dalam satu kasus.
Sementara, kasus penganiayan Ratna di Blora dan penganiayaan gay di Manado, tidak terpantau waktu kejadiannya. Sangat besar kemungkinannya bahwa dua kasus ini terjadi di siang hari.
Apa yang bisa kita lihat di sini adalah bahwa waktu malam hari dan dini hari adalah waktu yang penuh risiko bagi keamanan komunitas LGBTI. Penyerangan dan razia ke tempat‐tempat berkumpulnya komunitas LGBTI juga intimidasi biasanya terjadi di malam hari. Sedangkan kekerasan yang dilakukan secara spontan tidak memiliki pola waktu yang jelas. Artinya, kekerasan spontan bisa terjadi kapan saja.
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 12
3. Tempat Kejadian
Tempat berkumpulnya kelompok LGBTI yang kebanyakan berlokasi di daerah lengang dan jauh dari keramaian menjadi wilayah rawan terjadinya tindakan‐tindakan kekerasan dan kriminalitas. Di tempat‐tempat ini, tindakan pelanggaran HAM terhadap LGBTI terbukti kerap terjadi.
Enam peristiwa pelanggaran tercatat terjadi di tempat yang secara reguler dijadikan tempat berkumpulnya komunitas LGBTI:
1. Taman Lawang‐Jakarta dalam kasus penembakan waria. 2. Lapangan Jempingan‐Solo dalam kasus penganiayaan gay.
3. Area Simpang Basecamp Batu Aji‐Batam dalam kasus razia waria.
4. Pemakaman Kristen Kembang Kuning‐Surabaya dalam kasus razia waria. 5. Pemakaman Kristen Panaikang‐Makassar dalam kasus razia waria.
6. Area Pulo Gadung‐Jakarta dalam kasus pembukaan status HIV.
Sekalipun demikian, tempat‐tempat lain juga bisa menjadi lokasi kejadian pelanggaran yang menimpa LGBTI. Tempat tinggal korban ataupun tempat tinggal kerabat korban menjadi tempat kejadian. Ada tiga kasus yang terjadi di tempat tinggal:
• Rumah kost dalam peristiwa pemukulan gay di Manado.
• Rumah tinggal korban dalam peristiwa penganiayaan seorang laki‐laki trans(gender) di Blora.
• Rumah tinggal korban dalam penangkapan waria di Makassar.
Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa kejadian‐kejadian pelanggaran serta perlakuan yang tidak manusia juga menjadi kisah yang mengirinya LGBTI yang ditangkap oleh aparat keamanan atau menjalani proses hukum. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kantor aparat juga menjadi tempat kejadian pelanggaran HAM. Hal ini bisa dilihat dalam kasus penganiayaan Ratna di Blora yang terjadi di kantor polisi, kasus penganiayaan dan perdilan tidak fair terhadap gay di Solo yang bertempat di ruang peradilan, dan kasus penganiayaan waria di Batam yang terjadi di kantor Satpol PP. Dalam kasus razia waria di Batam ini, perlu dinyatakan di sini bahwa dalam mobil menuju kantor Satpol PP Batam pun sempat terjadi perampasan harta benda korban.
Kejadian kekerasan terhadap LGBTI bahkan bisa terjadi di gedung pertemuan yang disewa secara legal, yang semestinya mendapatkan perlindungan tidak hanya dari aparat keamanan yang memang seharusnya melindungi keamanan warganya, tapi juga dari pemilik gedung.
4. Pelaku
13 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
teratas, diikuti oleh kelompok Islamis‐radikal, dan kemudian diikuti oleh orang biasa.
Aktor negara menempati posisi teratas dalam melakukan kekerasan. Aparat kepolisisan terlibat kasus razia waria di Batam, razia waria di Surabaya, kasus Ratna di Blora, dan kekerasan terhadap waria di Makasar. Dalam kasus razia, satpol PP juga terlibat sebagai pelaku kekerasan di dalamnya. Aktor negara lain yang juga tercatat sebagai pelaku adalah hakim sebagaimana yang terjadi dalam kasus pengadialan tidak fair di Solo.
Sementara itu, aktor non‐negara yang cukup banyak melakukan tindakan kekerasan terhadap komunitas LGBTI selama periode pendokumentasian ini adalah kelompok‐kelompok Islamis radikal. Kelompok ini menjadi aktor kekerasan dalam tiga kasus: Pembatalan pertemuan jaringan GWL‐INA di Bandung, penganiayaan gay di Solo, dan kasus pembubaran paksa kontes waria di Makassar.
Masyarakat biasa juga bisa menjadi pelaku kekerasan. Dalam kasus penembakan waria di Taman lawang Jakarta, penganiayaan waria di Makassar, kasus Ratna Blora, dan penganiayaan gay di Manado, pelakunya adalah anggota masyarakat biasa.
Jika sejak awal dikesankan bahwa pelaku kekerasan terhadap komunitas LGBTI adalah individu atau kelompok di luar komunitas LGBTI, maka perlu dinyatakan di sini bahwa pelaku tidak selalu berasal dari luar. Ada peristiwa di mana pelaku pelanggaran berasal dari komunitas LGBTI sendiri. Hal ini bisa dilihat pada laporan Positive Rainbow tentang peristiwa pembukaan status HIV seseorang. Peristiwa ini terjadi di Pulo Gadung, Jakarta, tempat berkumpulnya kawan‐kawan gay. Baik korban maupun pelaku dari peristiwa ini adalah sama‐sama gay.
Perlu juga untuk dinyatakan di sini, bahwa ketiga kategori aktor itu selain bisa melakukan tindakan kekerasan sendiri‐sendiri, mereka juga bisa bertindak bersama‐sama. Kasus penganiayaan Ratna di Blora adalah contoh kasus di mana terjadi sinergi antara masyarakat dan aparat negara dalam melakukan tindakan kekerasan kepada LGBTI. Sedang kasus yang terjadi pada gay di Solo menunjukkan adanya kerja sama antara kelompok Islamis‐radikal dengan aparatus negara. Kasus pembubaran pertemuan GWL‐INA adalah contoh kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islamis‐radikal dengan orang biasa.
5. Motiv Tindakan Pelaku sebagaimana Yang Dipersi Korban
Kebanyakan pemantau tidak mengkonfirmasikan persepsi korban atas tindakan pelaku melakukan tindakan kekerasan. Alasan tindakan pelaku hanya muncul dalam situasi‐situasi tertentu saja. Tercatat hanya tiga kasus yang menjelaskan persepsi korban:
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 14
No Kasus Motiv
1 Pemukulan gay di Manado Homofobia 2 Ratna Blora Moral/Homofobia 3 Peringatan Hari AIDS di Makasar Moral/Homofobia
6. Korban
Ketika orientasi seksual dan identitas gender seseorang dari komunitas LGBTI terbuka secara jelas dan terbuka, hal ini tampak mempengaruhi tingkat kerentanannya. Dari 10 kasus yang dilaporkan, terdokumentasi 26 korban dimana waria muncul sebagai korban terbanyak.
Dari empat kasus yang dilaporkan (penembakan waria di Taman Lawang‐ Jakarta, razia waria di Batam, razia waria di Surabaya, dan penyerangan waria di Makassar), ada 13 waria yang menjadi korban, di mana semuanya mengalami tindakan kekerasan ketika sedang berkumpul bersama kelompoknya.
No Peristiwa Korban
1 Penembakan Waria di Taman Lawang, Jakarta
2 orang waria
2 Razia Waria di Batam 7 orang waria 3 Razia Waria di Surabaya 1 orang waria 4 Penyerangan Waria di Makasar 3 orang waria
Di dua kasus pembubaran acara LGBTI (pembubaran paksa sebuah kontes waria di Makassar oleh FPI dan pemaksaan pembatalan penyelenggaraan pertemuan nasional GWL‐INA di Bandung oleh pihak manajemen hotel tempat pertemuan tersebut yang mengaku telah diancam oleh FPI), setidaknya ada empat kelompok gay dan waria yang menjadi korban, yaitu:
• Panitia penyelenggara kontes (40 orang)
• Peserta kontes (60 orang)
• Pengunjung kontes
• Anggota jaringan GWL‐INA
15 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
7. Akibat yang Dialami Korban
Dampak tindakan kekerasan terhadap korban bisa berwujud luka atau cacat fisik, trauma psikis, sampai kerugian ekonomis. Sebagaimana yang diungkap diatas, kekerasan terbesar yang dialami oleh komunitas LGBTI adalah kekerasan fisik. Akibat penyerangan ini adalah luka ringan hingga luka parah (lebam akibat pukulan, patah tulang), bahkan sampai menyebabkan kematian.
Tapi, penyerangan fisik ini tidak hanya mengakibatkan luka fisik atau kematian, tapi juga berakibat secara psikis terhadap korban. Perasaan takut, terhina, dan marah yang tertahan adalah akibat yang selalu terjadi dalam semua kasus yang didokumentasi di sini.
Dampak lain yang juga perlu dinyatakan adalah dampak ekonomi. Misalnya, panitia penyelenggara kontes waria di Makassar dirugikan secara ekonomi akibat pembatalan acara padahal segala biaya sudah terlanjur dibayarkan sebelum acara dibubarkan. Mereka yang ditahan juga tidak bisa bekerja sebagaimana Parjo di Solo, atau para waria yang uang dan barang berharganya diambil oleh aparat dalam kasus razia waria di Batam.
8. Tindakan Korban Setelah Kejadian
Tidak diketahui alasan pastinya, tapi sebagian besar korban tidak melaporkan kejadian yang menimpanya kepada polisi. Bisa jadi karena sikap apatis bahwa institusi kepolisian tidak akan merespon atau bisa juga karena mereka tidak tahu harus berbuat apa, atau mungkin karena justru ketakutan jika harus berhadapan dengahn aparat kepolisian. Dari sepuluh kasus yang terdokumentasi di sini, hanya ada satu kasus, di mana korban melaporkan kekerasan yang menimpanya ke polisi, yaitu kasus pemukulan gay di Manado.
Jika korban melakukan pengaduan, maka sebagian besar mengadu pada LSM atau kepada lembaga bantuan hukum. Korban kasus penembakan waria di Taman Lawang, penganiayaan gay di Solo, razia waria di Batam, pembukaan status HIV di Jakarta, dan kasus penyerangan waria di Makasar mengadu kepada LSM. Sedangkan korban kasus pembubaran paksa kontes waria di Makasar mengadu ke LBH.
Sementara, ada dua kasus di mana korban tidak melakukan apa‐apa setelah terjadinya kasus: Pembubaran paksa pertemuan GWL‐INA dan kasus razia waria Surabaya. Untuk kasus Ratna di Blora, pihak LSM dan LBH berinisiatif untuk menawarkan pendampingan karena korban yang tertekan tidak tahu harus berbuat apa.
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 16
9. Saksi
Berdasarkan data yang ada, saksi dapat dikategorikan menjadi: 1. Korban atau rekan korban
2. Orang yang menentang korban atau tidak berpihak pada korban
3. Aparat negara
Berdasarkan kategori tersebut, sebagian besar saksi yang terdokumentasi adalah korban sendiri ataupun rekan korban yang berada di lokasi pada waktu kejadian. Dalam 4 kasus, yaitu penyerangan waria di Makassar, penembakan waria di Taman Lawang, pembatalan pertemuan jaringan GWL‐INA, dan pembubaran kontes waria di Makassar, korban juga diidentifikasi sebagai saksi. Sementara, dalam 3 kasus yang lain, rekan‐rekan korban sendiri baik sesama LGBTI maupun yang non‐ LGBTI yang menjadi saksi.
Dalam kasus penganiayaan laki‐laki trans(gender) di Blora, terdapat saksi yaitu pihak keluarga pasangan korban. Saksi ini sayangnya juga memiliki sikap yang sama dengan pelaku penganiayaan, yaitu menentang korban.
Aparat negara sebagai saksi muncul dalam kasus penghambatan berkumpul. Sayangnya, identitas detil mengenai saksi dari aparat negara ini tidak terdokumentasi.
Tercatat pula tiga kasus dimana pemantau tidak mendokumentasikan saksi‐ saksi yang ada di tempat kejadian yaitu dalam kasus razia waria di Batam, kasus razia waria di Surabaya dan kasus pemukulan gay di Solo.
D. POLA DAN KECENDERUNGAN
Bagian ini mencoba melihat beberapa pola atau kecenderungan dengan menghubungkan antara satu kategori dengan kategori yang lain. Ada 10 kecendrungan yang dibahas dalam bagian ini:
• Wilayah dan ancaman
• Pola tindakan berdasarkan korban
• Pola tindakan berdasarkan waktu
• Pola tindakan berdasarkan tempat
• Jenis kasus dan pola‐pola tindakan
• Pola Tindakan Korban Setelah Kejadian Berdasarkan Akibat yang Dialami Korban
• Pola Tindakan Korban Setelah Kejadian Berdasarkan Tindakan yang dialami Korban
• Korban, Pola Tindakan Tindakan Korban Setelah Kejadian
• Tindakan yang Dialami Korban, Pelaku dan Pola Tindakan Korban Setelah Kejadian
17 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
• Pelaku dan Tindakan
• Saksi dan Tindakan Korban Setelah Kejadian
1. Wilayah dan Ancaman
Kasus‐kasus yang menimpa LGBTI terdata dari wilayah Jakarta, Bandung, Surabaya, Solo, Manado, Makassar, Semarang dan Batam. Kota‐kota ini merupakan kota besar di wilayahnya masing‐masing. Manado dan Makassar adalah kota besar di wilayah Sulawesi bahkan Indonesia Timur. Makasar misalnya, adalah tempat pelabuhan udara utama dimana transit ke daerah lain di Indonesia Timur terjadi. Surabaya adalah kota Provinsi untuk Jawa Timur. Jakarta sebagaimana diketahui bahkan merupakan ibukota Indonesia. Hal ini memiliki beberapa makna yang perlu diuji lebih jauh yaitu keterbukaan di kota‐kota besar belum mencakup penerimaan terhadap LGBTI atau sebaliknya kota besar tidak menjamin keterbukaan. Yang pasti adalah, tersebarnya data kasus dengan korban LGBTI di berbagai daerah dengan pemerataan di Indonesia Barat dan Timur, menunjukkan ancaman terhadap LGBTI nyata dan tersebar.
2. Pola Tindakan Berdasarkan Korban
Berdasarkan data yang masih minim ini, setidaknya dapat diindikasikan tindakan apa yang mengancam korban spesifik di komunitas LGBTI. Tindakan terkait pembubaran dan penghambatan pertemuan dialami lesbian, gay maupun waria. Kekerasan seksual dialami oleh lesbian dan waria, setidaknya belum ada gay yang melaporkan hal tersebut. Kekerasan fisik baik oleh aparat negara maupun masyarakat dialami oleh waria, laki‐laki trans(gender), dan gay. Walaupun kekerasan yang dialami gay cenderung dilakukan oleh masyarakat sedangkan waria dan female‐to‐male transgender juga mengalami kekerasan oleh aparat terkait dengan identitasnya yang lebih terbuka. Kriminalisasi dan sekaligus diskriminasi dalam proses hukumnya dialami oleh waria dan laki‐laki trans(gender). Sedangkan terkait gay, mengenai laporan ke kepolisian terkait pengeroyokan yang dialaminya sayangnya tidak terdapat data lebih lanjut.
3. Pola Tindakan Berdasarkan Waktu
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 18
4. Pola Tindakan Berdasarkan Tempat
Terdapat tindakan tertentu yang pola tempatnya tetap karena terkait dengan keberhasilan tindakan itu. Misalnya pembubaran atau penghambatan pertemuan yang pasti dilakukan di hotel atau gedung tempat pertemuan.
Kecederungan lain yang tampak adalah kekerasan umumnya terjadi di tempat LGBTI khususnya, dalam kasus yang didata, waria berkumpul. Begitu pula dengan razia baik yang legal maupun ilegal. Sehingga jelas serangan dan razia tersebut ditujukan dan mengincar LGBTI. Walaupun demikian juga ditemui kekerasan di tempat tinggal untuk kekerasan yang dilakukan oleh orang di sekitar tempat tinggal.
Penyalahgunaan kekuasaan berupa tindakan perampasan barang oleh aparat umumnya terjadi di jalan atau mobil. Sedangkan kekerasan oleh aparat terjadi di jalan, mobil juga di kantor aparat. Kriminalisasi tentu saja terjadi di kantor aparat sesuai dengan kewenangan dasar polisi menetapkan tersangka. Yang menarik adalah mengenai kekerasan seksual yang umumnya terjadi di kantor aparat.
5. Jenis Kasus dan Pola‐pola Tindakan
Pembubaran atau penghambatan berkumpul terjadi melalui tahapan tindakan sebagai berikut :
• Intimidasi atau ancaman kepada pengelola gedung/hotel tempat pertemuan
• Pihak hotel/gedung membatalkan pemesanan (pertemuan)
• Bila pihak hotel/gedung tidak membatalkan pertemuan, maka pihak penyerang akan memaksa masuk ke dalam gedung
• Aparat keamanan membiarkan
• Penyerang masuk
• Mengancam peserta dan panitia dengan kekerasan fisik atau verbal
• Pertemuan dibubarkan atau dipindah
Sedangkan kekerasan memiliki pola tindakan :
• Didahului perampasan barang, atau
• Kekerasan diikuti perampasan barang
• Kekerasan fisik
• Kekerasan fisik diikuti dengan kekerasan verbal dan/atau seksual
• Laporan korban tidak ditindaklanjuti, atau
• Korban dikriminalisasi (dijadikan tersangka)
• Korban mendapat perlakuan diskriminatif selama persidangan terkait fair trial
Razia, baik legal maupun ilegal, merupakan tindakan yang cukup sering dialami waria. Pola tindakan terkait dengan razia adalah :
• Penangkapan
19 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
• Korban dimintai uang
• Korban digeledah paksa termasuk tasnya
• Korban dirampas barang‐barangnya
• Korban dipukul
• Korban diturunkan di jalan, atau
• Korban dibawa ke kantor perazia
• Korban mendapat penyiksaan, perlakuan keji dan tidak manusiawi seperti dipaksa berhubungan seksual atau menunjukkan kelamin, dipukul, dan diminta membersihkan kantor
6. Pola Tindakan Korban Setelah Kejadian Berdasarkan Akibat yang Dialami Korban Bermacam akibat dengan derajatnya, mulai trauma, hilang pendapatan, hingga luka fisik, tidak terdata pemulihan sesuai dengan konsep HAM yaitu kompensasi, restitusi ataupun rehabilitasi. Proses pemulihan hanya berhenti hingga pelaporan korban dan mendapat pendampingan dalam proses.
7. Pola Tindakan Korban Setelah Kejadian Berdasarkan Tindakan yang dialami
Korban
Secara garis besar hanya ada 3 tindakan korban setelah kejadian yaitu
• Tidak melakukan apa‐apa
• Melapor ke kepolisian
• Melapor ke pendamping atau lembaga bantuan hukum
Tercatat pemukulan merupakan tindak yang cenderung dilaporkan korban, baik kepada pendamping maupun kepolisian. Walaupun ada pula pemukulan yang tidak dilaporkan. Penangkapan dan kejadian di dalam penangkapan, seperti permintaan menyetorkan uang agar dibebaskan, juga termasuk tindakan yang dilaporkan kepada pendamping. Meskipun demikian, penyiksaan serta perlakuan keji tidak manusiawi termasuk penyiksaan seksual tidak dilaporkan oleh korban. Pembubaran atau penghalangan berkumpul juga tidak dilaporkan. Kriminalisasi dan diskriminasi juga tidak dilaporkan.
8. Korban dan Pola Tindakan Korban Setelah Kejadian
Tindakan apa yang diambil korban setelah kejadian tidak ada kaitannya dengan jumlah korban. Dalam arti korban kelompok seperti dalam pembubaran pertemuan tidak menjadi faktor korban melapor atau meneruskan kasusnya. Indikasi adanya pola mengenai tindakan korban setelah kejadian tampak dengan mengaitkan korban dengan apa yang dialaminya.
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 20
sedangkan laki‐laki trans(gender) yang mengalami hal sama tidak melapor. laki‐laki trans(gender) ini dapat didampingi justru karena proses jemput bola oleh pendamping. Gay yang mengalami kekerasan melaporkan kasusnya baik ke kepolisian maupun pendamping
9. Tindakan yang Dialami Korban, Pelaku, dan Pola Tindakan Korban Setelah Kejadian
Berdasarkan pendokumentasian, dapat dilihat pola tindakan korban setelah kejadian dengan kaitan antara tindakan yang dialami korban dan pelakunya. Gay berani melaporkan kasusnya ke pendamping baik pelakunya masyarakat maupun aparat negara. Waria yang melapor ke pendamping tentang tindakan aparat negara masih terbatas apabila tindakan itu menyebabkan ia terdesak. Contohnya terancam ditahan atau akan diadili di pengadilan. Laki‐laki trans(gender) menunjukkan perilaku paling tidak berdaya yaitu tidak melakukan apapun, hanya pasrah baik terhadap tindakan yang dilakukan aparat negara maupun masyarakat.
10. Korban dan Pelaku
Secara mencolok, dapat dikatakan seluruh pelaku adalah laki‐laki baik terhadap korban gay, waria maupun lesbian. Hanya dalam kasus yang menimpa lesbian tidak diketahui secara pasti seluruh pelaku karena pelakunya adalah massa. Sayangnya kolom identitas yang memasukkan ciri‐ciri identitas gender tidak dapat terisi oleh data‐data yang ada.
Polisi dan satpol PP merupakan pelaku yang tercatat cukup banyak memakan korban waria. Sedangkan polisi juga merupakan pelaku terhadap gay dan lesbian. Pelaku dengan identitas organisasi keagamaan juga merupakan ancaman bagi waria, gay dan lesbian.
11. Pelaku dan Tindakan
Pola khusus tidak tampak dalam hubungan antara pelaku dengan tindakan. Tentu saja terdapat pola umum terkait dengan pekerjaan dan lingkup pekerjaan pelaku. Misalnya polisi yang karena lingkup kerjanya berpotensi melakukan penyiksaan, perampasan, kriminalisasi dan diskriminasi dalam proses hukum. Masyarakat baik sendiri maupun bersama‐sama (massa) cenderung melakukan kekerasan. Satpol PP melakukan razia, perampasan dan penangkapan.
12. Saksi dan Tindakan Korban Setelah Kejadian
21 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
E. PELANGGARAN HAM13
Sebelumnya, perlu dideskripsikan tentang beberapa pelanggaran hak dalam lalporan ini. Pelanggaran terhadap keamanan pribadi di sini meliputi tindakan kekerasan, ancaman kekerasan yang tidak masuk dalam pelaksanaan fungsi penegakan hukum. Fungsi penegakan hukum yang dimaksud di sini misalnya pada saat penyidikan atau interogasi. Sementara pelanggaran hak hidup yang layak dalam laporan ini merupakan akibat yang ditimbulkan karena kriminalisasi hingga pidana pada korban penyerangan yang justru seharusnya dilindungi.
Apa yang dimaksud dengan pembiaran negara dalam laporan ini mencakup pembiaran atas terlanggarnya hak keamanan pribadi, hak hidup, dan hak berkumpul. Pembiaran keamanan pribadi, bisa berupa tidak ditindaklanjutinya laporan korban oleh aparat kepolisian atas tindak kekerasan; ancaman kekerasan; atau tindakan lain yang mengancam keamanan LGBTI. Pembiaran atas keamanan pribadi ini juga berupa pembiaran polisi atas tindakan‐tindakan yang mengancam keamanan LGBTI saat polisi hadir di tempat kejadian. Sementara, pembiaran atas hak hidup adalah tidak ditindaklanjutinya peristiwa pembunuhan terhadap seorang waria. Padahal tidak hanya peristiwa ini telah diketahui secara luas oleh publik,14 sebuah lembaga LGBTI telah pula melakukan advokasi demi berlanjutnya proses hukum kasus ini. Pembiaran atas terlanggarnya hak berkumpul mengacu pada pembiaran yang dilakukan kepolisian terhadap aksi‐aksi baik melibatkan kekerasan ataupun tidak, yang bertujuan
menghalangi terpenuhinya hak LGBTI, sebagaimana pada kasus
penggagalan/penghentian pertemuan LGBTI.
Adapun fair trial di sini tidak termasuk penangkapan sewenang‐wenang.
Tindakan tersebut sengaja dikeluarkan dari fair trial untuk memberikan arti mengingat
tindakan ini cukup banyak terjadi. Fair trial yang ditemukan bervariasi tindakannya
mulai dari merampas harta benda yang ditangkap, menggeledah tas tanpa izin, meminta tebusan, razia tanpa izin, tidak menyediakan pengacara, hingga tidak menindaklanjuti laporan.
Penangkapan sewenang‐wenang yang terjadi adalah tindakan penangkapan non‐tertangkap tangan tanpa surat dan juga penangkapan tanpa alasan yang jelas
13 Karena laporan ini tidak membedakan antara tindakan yang dilakukan aktor negara dan non-negara, maka analisis pelanggaran HAM hanya tertuju pada kekerasan yang dilakukan oleh aktor negara, baik dalam bentuk tindakan aktif maupun pembiaran. Kekerasan yang dilakukan oleh aktor non-negara dicatat sebagai situasi yang dihadapi dihadapi oleh LGBTI di Indonesia, menyangkut keterpenuhan hak-haknya. Dari sini bisa dinyatakan bahwa keamanan pribadi adalah hal yang paling mengancam LGBTI di berbagai daerah. Hal ini menunjukkan bahwa ancaman fisik yang mengakibatkan luka hinggal meninggal dunia adalah ancaman yang paling sering dihadapi oleh LGBTI, selain berbagai halangan yang menghambat bagi LGBTI untuk berkumpul, serta hak privasi dan diskriminasi. Tindakan-tindakan kelompok/organisasi yang melakukan kekerasan terhadap LGBTI dapat berlangsung sukses karena pembiaran oleh kepolisian.
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 22
(tidak adanya bukti permulaan yang cukup) yang dibuktikan dengan korban dibebaskan setelah diminta membayar tebusan.
Penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat adalah tindakan yang bervariasi temuannya, mulai dari pelecehan seksual, dipaksa berhubungan seksual, diminta membuka baju (telanjang), hingga membersihkan tempat tahanan (menyapu dan mengepel lantai). Karena keterbatasan ketersediaan data, tindakan di sini tidak dapat dipisahkan secara tegas antara penyiksaan (pasal Kovensi Anti Penyiksaan/CAT) dengan perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan
martabat.
Diskriminasi dalam laporan ini merujuk pada tindakan berbeda yang dilakukan institusi penegak hokum yang mengakibatkan pada tidak terpenuhinya hak seseorang.
Jika dilihat dari Yogyakarta Principles, sepuluh kasus yang didokumentasi
dalam laporan ini memunculkan delapan jenis pelanggaran HAM:
• Pembiaran atas terlanggarnya hak hidup
• Pembiaran atas hak terlanggarnya keamanan pribadi
• Pelanggaran fair trial
• Penangkapan sewenang‐wenang
• Pelanggaran atas keamanan pribadi
• Penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi serta merendahkan martabat
• Diskriminasi,
• Pembiaran atas terlanggarnya hak berkumpul.15
Penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, dan merendahkan martabat, serta fair
trial merupakan hak yang mencolok terlanggar. LGBTI di berbagai daerah
mengalaminya. Tindakan ini mereka alami bahkan saat mereka sedang berada bersama‐sama. Data sementara ini menunjukkan aparat penegak hukum, yang seharusnya melindungi masyarakat tanpa diskriminasi, justru menjadi ancaman bagi LGBTI.
Juga, terdapat penangkapan sewenang‐wenang, diskriminasi, dan pelanggaran hak keamanan pribadi. Di sisi lain, pembiaran atas hak terlanggarnya keamanan pribadi juga menyebar di berbagai daerah dan dialami baik oleh waria maupun gay. Hal ini semakin mengukuhkan gejala aparat penegak hukum tidak dapat bertindak
15 Data yang diolah dari kasus yang masuk adalah : 1. Pembiaran atas terlanggarnya hak hidup
2. Pembiaran atas hak terlanggarnya keamanan pribadi 3. Fair trial
4. Penangkapan sewenang-wenang 5. Keamanan pribadi
6. penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat 7. Diskriminasi
23 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
nondiskriminatif kepada LGBTI dan berkontribusi terhadap kehidupan yang mengancam LGBTI.
Tindakan yang direkam juga memperlihatkan adanya pembiaran terhadap pelanggaran hak hidup dan pembiaran atas terlanggarnya hak berkumpul. Perlu kiranya ke depan dilihat lebih jauh hubungan antara aksi kelompok/ormas yang menghambat hak berkumpul LGBTI dengan kepolisian. Apakah pembiaran ini karena proporsi polisi yang tidak seimbang dengan massa, diskriminasi terhadap LGBTI, atau intensi polisi yang menghendaki tidak adanya pertemuan/perkumpulan LGBTI.
Data‐data menunjukkan pelanggaran satu hak dapat diikuti pelanggaran hak lainnya. Misalnya, penangkapan sewenang‐wenang kemudian diikuti oleh pelanggaran
fair trial lain, bahkan penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, serta merendahkan
martabat.
Mengenai pelanggaran berlanjut ini, terdapat kecenderungan bahwa ancaman atau pembiaran terhadap hak keamanan pribadi dijadikan instrumen untuk menghalangi/mencabut hak berkumpul dan/atau berpendapat. Sedangkan mengenai penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, serta merendahkan martabat khususnya pelecehan seksual, menimpa baik laki‐laki maupun perempuan.
Hal lain adalah pelanggaran hak sipil dan politik, seperti penangkapan sewenang‐wenang, menyebabkan berkurang bahkan hilangnya pendapatan, yang itu berarti terlanggarnya hak ekonomi sosial budaya. Dalam kaitan dengan ini, perlu diperhatikan kemungkinan adanya motif ekonomi dalam kasus‐kasus pelanggaran fair
trial seperti razia tanpa surat resmi. Kasus yang paling jelas dalam laporan ini adalah
razia waria di Batam.
Kecenderungan awal lain adalah LGBTI rentan terhadap diskriminasi dalam proses peradilan. Sayangnya, data tidak mencukupi untuk melihat apakah diskriminasi yang dialami LGBTI ini merupakan bagian dari diskriminasi yang memang terjadi dalam proses peradilan (hancurnya sistem) atau dialami LGBTI khusus karena orientasi seksual dan identitas gendernya.
G.KESIMPULAN
Paparan di atas menunjukkan bahwa pelanggaran HAM terhadap LGBTI banyak berwujud serangan fisik. Hak atas keamanan sebagai manusia dan sebagai pribadi adalah hak LGBTI yang paling banyak dilanggar, mulai dari hak atas keamanan sebagai individu, hak atas privasi, hingga hak hidupnya. Demikian juga, hak atas proses hukum yang adil, hak atas perlakuan yang manusiawi selama dalam proses peradilan maupun dalam tahanan adalah hak yang sering terlanggar. Hak berikutnya yang juga banyak dilanggar adalah hak LGBTI untuk berekspresi, memberikan pendapat dan berkumpul, serta hak atas kesetaraan dan perlakuan nondiskriminatif.