• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK. Kata kunci : Pendidikan, status gizi, antropometri.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ABSTRAK. Kata kunci : Pendidikan, status gizi, antropometri."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA DENGAN STATUS GIZI BALITA BERDASARKAN ANTROPOMETRI DI POSYANDU

RUKUN ASIH, KEDUNG TUNGKUL, MOJOSONGO, JEBRES, SURAKARTA

Hastutik, Siskana Dewi Rosita*

*Dosen Prodi D3 Kebidanan STIKes Mitra Husada Karanganyar Jl Achmad Yani No.167. Papahan, Tasikmadu, Karanganyar

Email : stikes.mitrahusada@gmail.com

ABSTRAK

Pertumbuhan dan perkembangan mengalami peningkatan yang pesat pada usia dini, yaitu dari 0 sampai 5 tahun. Masa ini sering juga disebut sebagai fase ”Golden Age”. Faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan adalah faktor herediter, faktor lingkungan, nutrisi, lingkungan budaya, status sosial dan ekonomi keluarga, pendidikan orang tua, iklim/cuaca, olahraga/latihan fisik, posisi anak dalam keluarga, status kesehatan, faktor hormonal. Hal ini harus diperhatikan karena penanganan kelainan yang sesuai pada masa golden age dapat meminimalisir kelainan pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga kelainan yang bersifat permanen dapat dicegah (Rukiyah, 2010; Chamidah, 2009). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan orang tua dengan status gizi pada balita berdasarkan antropometri di Posyandu Rukun Asih, Kedung Tungkul, Mojosongo, Jebres, Surakarta.

Metode penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasinya seluruh orang tua yang mempunyai balita berumur 0-60 bulan di Posyandu Rukun Asih, Mojosongo, Jebres, Surakarta sejumlah 76 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah 70 orang. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan orang tua (ibu balita). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah status gizi balita. Analisis data dengan menggunakan rumuskorelasi Kendall’s tau (τ).

Dari analisis data dengan rumus korelasi Kendall’s tau (τ) menunjukkan nilai signifikansi p-value 0,153 (>0,05). Sehingga tidak terdapat hubungan tingkat pendidikan orang tua dengan status gizi pada balita berdasarkan antropometri.

Simpulan dalam penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan tingkat pendidikan orang tua dengan status gizi pada balita berdasarkan antropometri.

(2)

PENDAHULUAN

Pertumbuhan dan

perkembangan mengalami

peningkatan yang pesat pada usia dini, yaitu dari 0 sampai 5 tahun. Masa ini sering juga disebut sebagai fase ”Golden Age”. Golden age merupakan masa yang sangat penting untuk memperhatikan tumbuh kembang anak secara cermat agar sedini mungkin dapat terdeteksi apabila terjadi kelainan. Faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan adalah faktor herediter, faktor lingkungan, nutrisi, lingkungan budaya, status sosial dan ekonomi keluarga, pendidikan orang tua, iklim/cuaca, olahraga/latihan fisik, posisi anak dalam keluarga, status kesehatan, faktor hormonal. Hal ini harus diperhatikan karena penanganan kelainan yang sesuai pada masa golden age dapat meminimalisir kelainan pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga kelainan yang bersifat permanen dapat dicegah (Rukiyah, 2010; Chamidah, 2009).

Permasalahan gizi pada anak masih merupakan masalah yang penting untuk diselesaikan. Menurut

Damayanti (2011) penyebab dasar dari 54% kematian bayi di Indonesia adalah gizi kurang yang berdampak pada penurunan daya tahan tubuh. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2010 prevalensi Kurang Energi Protein (KEP) pada balita berdasarkan berat badan per umur (BB/U) adalah 17,9%. Angka ini masih diatas target pencapaian MDG’s tahun 2015 sebesar 15,5% (Damayanti, 2011).

Disamping itu anak-anak terutama balita membutuhkan zat gizi yang seimbang agar status gizinya baik, serta proses pertumbuhan tidak terhambat, karena dari segi umur balita yang bertumbuh dan berkembang merupakan golongan paling rawan KEP, hal ini terjadi karena pada masa pertumbuhan dan perkembangan di usia ini menentukan perkembangan fisik dan mental anak di usia remaja dan ketika dewasa.

Penilaian status gizi bisa menjadi salah satu metode untuk mencegah terjadinya permasalahan gizi. Status gizi anak dapat dinilai dengan beberapa cara yaitu salah satunya dengan antropometri.

(3)

Antropometri yaitu suatu metode yang didasarkan atas pengukuran keadaan fisik dan komposisi tubuh pada umur dan tingkat gizi yang baik. Status gizi balita akan diketahui dengan adanya penilaian status gizi pada balita (Supariasa, et al., 2001). Penilaian status gizi sangat berperan dalam pemantauan gizi anak. Apabila penilaian status gizi dilakukan secara rutin, tanda atau gejala gangguan pertumbuhan maupun perkembangan anak dapat diketahui secara dini.

Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Almatsier, 2003).

Dari hasil studi pendahuluan didapatkan data sekunder dari kader kesehatan Posyandu Rukun Asih bahwa masih terdapat 4 balita dengan gizi kurang, namun masih banyaknya para ibu balita yang kurang sadar untuk datang ke posyandu sehingga untuk

pemantauan status gizi mengalami kendala, dari Puskesmas atau tenaga kesehatan sebenarnya juga memberikan bantuan berupa PMT,

namun masih rendahnya

pengetahuan ibu tentang pentingnya pemantauan status gizi, dan manfaat gizi tersebut. Kasus balita kurang gizi ini seperti fenomona gunung es, dimana apabila diobservasi dengan cermat maka akan didapatkan masalah-masalah gizi pada balita yang lainnya. Pendidikan ibu balita baik formal, non formal ataupun in formal merupakan salah satu faktor memberikan andil untuk peningkatan status gizi balita.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Tingkat Pendidikan Orang Tua dengan Status Gizi pada Balita Berdasarkan Antropometri di Posyandu Rukun Asih, Kedung Tungkul, Mojosongo, Jebres, Surakarta”

(4)

BAHAN DAN METODE

Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan di Posyandu Rukun Asih yang beralamat di Kedung Tungkul RT 02/RW 07, Mojosongo, Jebres, Surakarta. Waktu penelitian pada bulan Agustus 2015. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh orang tua yang mempunyai balita berumur 0-60 bulan di Posyandu Rukun Asih, Mojosongo, Jebres, Surakarta. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 76 orang. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 70 orang. Tingkat Pendidikan Orang Tua menggunkanan skala ordinal, Status gizi menggunkanan skala ordinal. Instrumen yang digunakan untuk pada penelitian ini adalah lembar observasi, timbangan berat badan dan kartu menuju sehat (KMS). Analisis bivariat menggunakan Kendall’s tau(τ).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini didapatkan nilai p-value 0, 153 (> 0,05) pada uji Kendall’s Tau, jadi kesimpulannya tidak terdapat hubungan tingkat pendidikan orang tua dengan status gizi pada balita berdasarkan antropometri.

Kecukupan gizi sangat penting bagi kesehatan balita, dimana seluruh tubuh dan kesehatan balita, dimana seluruh pertumbuhan dan kesehatan balita erat kaitanya dengan masukan

makanan yang memadai.

Pertumbuhan dan perkembangan yang optimal pada balita memerlukan makanan yang sesuai dengan balita yang sedang tumbuh. Balita merupakan salah satu golongan paling rawan gizi. Pada usia balita dikatakan sebagai saat yang rawan karena pada rentang waktu ini anak masih sering sakit, anak merupakan konsumen pasif yang sangat tergantung kepada orang tuanya serta sering terdapat keluhan nafsu makan kurang. Masa balita disebut juga masa vital, khususnya sampai usia 2 tahun, karena adanya perubahan yang cepat dan mencolok. Dengan adanya masa vital tersebut,

(5)

maka pemeliharaan gizi penting untuk diperhatikan. (Maryunani, 2010)

Beberapa faktor yang menyebabkan kurang gizi pada anak adalah, jarak antara usia kakak dan adik yang terlalu dekat, lingkungan yang kurang bersih, tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan orang tua, kondisi sosial ekonomi yang sulit, makanan dan penyakit pada balita (Maryunani, 2010).

Pendidikan ibu merupakan salah satu unsur penting dalam menentukan keadaan gizi anak, dengan harapan pendidikan yang cukup atau tinggi mempunyai prevalensi gizi kurang yang umumnya rendah, sebaliknya bila pendidikan ibu rendah maka prevalensi gizi kurang tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian ini mayoritas tingkat pendidikan ibu, sebagian besar mempunyai tingkat pendidikan dasar yaitu sebanyak 28 orang (40%), tingkat pendidikan menengah 24 orang (34.3%) dan yang paling sedikit adalah tingkat pendidikan tinggi sebanyak 18 orang (25,7%), masih banyaknya ibu yang memiliki tingkat pendidikannya

dasar dan jumlah yang banyak juga pada ibu yang dengan tingkat pendidikan tinggi ini justru tidak ada prevalensi terhadap status gizi balitanya, hal ini bisa terjadi karena pengetahuan ibu tidak hanya didapatkan dari pendidikan formal tapi juga non formal dan in formal, dimana pendidikan non formal dan in formal ini sangat berkontribusi besar terdahap kesehatan balita terutama status gizi balita. Pendidikan on formal, seperti contoh yaitu keaktifan ibu dalam hadir ke posyandu balita, posyandu balita ini mempunyai banyak kegiatan seperti pemantauan gizi balita, pendidikan kesehatan bagi ibu dan balita, penyuluhan, deteksi dini tumbuh kembang, pemberian makanan tambahan, dan masih banyak lagi. Pendidikan in formal dapat diperoleh dari pengalaman sehari-hari.

Namun sayangnya,

keberadaan dari posyandu ini tidak semua ibu memandang positif, beberapa ibu justru dengan tingkat pendidikan yang tinggi pun memiliki anak yang dengan gizi kurang, hal ini dikarenakan si anak yang jarang dibawa ke posyandu sehingga jarang

(6)

dilakukan pemantauan, dan juga beberapa ibu berasumsi bahwa malu mendapatkan PMT dan tidak efektif dalam pemberiannya dan bahkan menolak diberikan PMT.

Dari hasil penelitian ini terdapat 1 balita dengan status gizi kurang karena balita tersebut masih dalam pengobatan yang rutin, dikarenakan penyakit jantung yang sudah diderita sejak bayi. Menurut Maryunani tahun 2010, adanya penyakit bawaan yang memaksa anak harus dirawat. Misalnya penyakit jantung dan paru-paru bawaan mempunyai faktor terhadap keadaan status gizi balita.

Tidak menutup mata bahwa faktor ekonomi juga sangat ber pengaruh pada keadaan status gizi balita, selain itu faktor pendidikan non formal (posyandu, PKK dan dasa wisma), in formal lingkungan, tingkat pengetahuan ibu juga memberikan kontribusi positif pada keadaan status gizi balita.

Dari hasil penelitian beberapa ibu yang justru dengan tingkat pendidikan yang rendah justru mempunyai anak dengan status gizi yang baik, hal ini karna ibu balita

sangat aktif dalam interaksi dengan petugas kesehatan saat posyandu, sehingga apabila terdapat masalah kesehatan seperti BB tidak naik atau turun akan segera mendapatkan tindakan dari kader ataupun tenaga kesehatan berkerjasama dengan ibu balita, adanya KMS pada balitapun dirasakan sangat membantu dalam deteksi ini keadaan status gizi balita.

Menurut Mitayani (2010), menyatakan bahwa anak usia 1-5 tahun merupakan periode transisi dari makanan bayi ke makanan orang dewasa, kebutuhan nutrisi pada periode ini meningkat. Peningkatan kebutuhan nutrisi pada masa ini disebabkan anak pada usia 1-5 tahun merupakan kelompok usia anak bermain, mulai turun ke tanah untuk berkenalan dengan berbagai kondisi sehingga memungkinkan terjadinya resiko infeksi dan berbagai penyakit sehingga meningkatkan kebutuhan nutrisi, masa golden age dimana anak mengalami ledakan terbesar dalam perkembangan otak dan antar sel. Prioritas nutrisi adalah energi dan protein, dalam arti tidak mengabaikan kebutuhan zat gizi lainnya masukan energi dan protein

(7)

yang kurang pada masa ini akan berdampak perkembangan otak dan susunan syaraf terganggu. (Mitayani, 2010)

SIMPULAN

1. Sebagian besar ibu balita mempunyai tingkat pendidikan dasar yaitu sebanyak 28 orang (40%), tingkat pendidikan menengah 24 orang (34.3%) dan yang paling sedikit adalah tingkat pendidikan tinggi sebanyak 18 orang (25,7%).

2. Status gizi balita menunjukkan sebagian besar balita mempunyai gizi baik 57 balita (81,4%), 11 balita (15,7%) termasuk gizi kurang, 2 balita (2,9%) mempunyai gizi lebih.

3. Nilai signifikansi p-value 0, 153 (>0,05) pada uji kendall’s Tau, jadi kesimpulannya tidak terdapat hubungan tingkat pendidikan orang tua dengan status gizi pada balita berdasarkan antropometri. Berdasarkan simpulan di atas maka peneliti menyarankan sebagai berikut:

1. Posyandu balita diharapkan dapat meningkatkan perannya, kader

kesehatan dan juga bidan sebagai orang terdekat dengan ibu dan balita dalam memberikan informasi untuk selalu mengikuti kegiatan posyandu agar dapat memantau perkembangan dan pertumbungan balitanya.

2. Penyuluhan tentang gizi dari tenaga kesehatan perlu ditingkatkan baik melalui kegiatan posyandu, pertemuan dasa wisma, PKK guna meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya ibu balita akan pentingnya keadaan status gizi balita.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, 2001. Ilmu Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. Hal. 102-104.

Almatsier, S. 2005. Prinsip Dasar Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Statistik. Jakarta: Salemba Medika. Hal. 324

(8)

Chamidah, A N. 2009. Deteksi Dini Gangguan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Jurnal Pendidikan Khusus Vol 1 (3).

Damayanti, Dini Fitri. 2011. Analisis Peran Manajerial Pengurus Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dalam Pelaksanaan Program Peningkatan Pemberian ASI (PPASI) di Wilayah Kota Pontianak Tahun 2011. Masters thesis, Universitas Diponegoro. Semarang.

Depdiknas, 2003. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI.

FKM UI. 2010. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 276-9.

Hidayat, A.A.A. 2010.Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. 68,87

Kepmenkes RI No.

1995/Menkes/SK/12/10.

Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.

http://www.buku-sk-antropometri-2010/ diakses tanggal. 17 Januari 2015.

Maryunani, A. 2010. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta: Trans Info Media. Hal. 257-9. 344-5.

Mitayani. 2010. Ilmu Gizi. Jakarta: Trans Info Media. Hal. 62-3.

Muslihatun, W. 2012. Asuhan Neonates Bayi dan Balita. Yogyakarta: Fitramaya. Hal. 78-9.

Nasution, 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta. Bumi Aksara. Hal. 7, 13.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Hal. 176-8, 182.

Proverawati, A. 2009. Gizi untuk Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika. Hal. 127-9.

(9)

Rukiyah, A. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Trans Info Media. 106-11.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R& D. Bandung: Alfabeta. Hal. 81, 85.

Supariasa I. D. N., B. Bakri., dan I. Fajar. 2001. Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta.

Octaviani, Ulfa., N. Juniarti., dan A. Mardiyah. 2008. Hubungan Keaktifan Keluarga Dalam Kegiatan Posyandu Dengan Status Gizi Balita Di Desa Rancaekek Kulon Kecamatan Rancaekek. Hasil Penelitian. Universitas Padjajaran. Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pendapat Price & Wilson bahwa seseorang yang menghisap rokok satu pak per hari atau lebih memiliki risiko dua kali lebih besar mengalami

Hasil penelitian menjelaskan, berdasarkan data sejarah dan bukti-bukti arkeologi, Tidore berkembang sebagai pusat kekuasaan dengan ciri sebagai kota kesultanan,

Perlakuan jenis aplikasi formula bakteri tidak berbeda nyata namun perlakuan dengan pengaruh tertinggi yaitu aplikasi formula bakteri balitkabi (F2) sebesar 5,68 g tanaman -1 hal

Strategi komunikasi adalah cara tertentu yang dilakukan komunikator terhadap simbol-simbol yang disampaikan kepada kelompok penerima pesan yang dituju. Strategi yang

ACTIVITY BASED COSTING SYSTEM DALAM PENENTUAN HARGA POKOK KAMAR PADA HOTEL PONDOK

Berdasarkan Standar Ukuran Efektivitas Sesuai Acuan Litbang Depdagri 1991 persentase sebesar 97% merupakan tingkat pencapaian yang sangat efektif, hal ini dapat

Penelitian ini dilakukan melalui 3 tahap yaitu (1) membandingkan pemenuhan komponen kriteria mikrobiologi (Codex, 1997 dan 2012) pada peraturan cemaran mikroba

berkesinambungan dengan kebijakan kepegawaian daerah didasarkan pula pada kondisi kebutuhan daerah, karakteristik dan budaya kerja. Beberapa kebijakan nasional dalam