• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNIK DAN PERSAMAAN ALTERNATIF UNTUK PENENTUAN TETAPAN MICHAELIS-MENTEN DAN YANG MIRIP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEKNIK DAN PERSAMAAN ALTERNATIF UNTUK PENENTUAN TETAPAN MICHAELIS-MENTEN DAN YANG MIRIP"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH PADA SEMINAR NASIONAL KIMIA DAN PENDIDIKAN KIMIA III Program Studi Pendidikan Kimia PMIPA Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 7 Mei 2011

TEKNIK DAN PERSAMAAN ALTERNATIF UNTUK PENENTUAN TETAPAN MICHAELIS-MENTEN DAN YANG MIRIP

Patiha

Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Sebelas Maret

e-mail: patiha31@yahoo.co.id

Abstrak–Telah dilakukan kajian tentang kesahihan persamaan-persamaan konvensional yang

umum digunakan pada penentuan tetapan Michaelis-Menten (KM) dan yang mirip (κ).

Paradigma yang digunakan adalah bahwa persamaan harus memenuhi kriteria: pada konsentrasi substrat yang jauh lebih besar dari KM reaksi order ke-nol dan pada yang jauh lebih kecil order

ke-satu terhadap substrat, harus sama dengan yang diperoleh dari metode integral, dan relatif lebih mudah penggunaannya. Hasil menunjukkan bahwa kesemua persamaan yang dikaji tidak ada yang memenuhi ke-tiga kriteria. Telah diperkenalkan teknik dan persamaan alternatif yang, secara teoritis, sahih.

Kata kunci: persamaan konvensional; tetapan Michaelis-Menten dan yang mirip; order

ke-nol; order ke-satu

PENDAHULUAN

Reaksi enzimatis Michaelis-Mentenis

dipercayai berlangsung menuruti mekanisme reaksi

k1 k2

E + S ⇌ ES → E + P [1]

k –1

Briggs-Haldane (1925) membuktikan

bahwa, dengan menggunakan Pendekatan Keadaan Mantap pada [ES], hukum laju dapat dinyatakan sebagai

] [ / ) ( ] ][ [ 1 2 1 2 S k k k S E k v     [2] Selanjutnya jika (k-1 + k2)/k1= KM [3]

maka [2] akan menjadi

] [ ] ][ [ S K S E k v M kat   [4]

Pola hubungan semacam [4] ini hiperbolik; reaksi belum mempunyai tingkat reaksi yang pasti. Pada [S] yang lebih besar (dari

(2)

KM), hubungan ini berubah, dan [4] akan menjadi ] [E k vkat [5]

Pada kondisi ini, substrat bereaksi dengan semua enzim yang ada, sehingga v mencapai harga maksimum (yang selanjutnya diberi terminasi vmax) dan reaksi menuruti

mekanisme reaksi tingkat ke-nol (terhadap S) atau

] [E k

vmakskat [6]

Tetapi, pada konsentrasi substrat [S] yang cukup kecil (dari KM), reaksi akan berlangsung menuruti mekanisme reaksi order ke-satu terhadap S dan [4] akan menjadi M kat K S E k v [ ][ ] [7]

Substitusi persamaan [6] ke dalam [7] akan menghasilkan M maks K S v v [ ] [8]

Ada beberapa persamaan yang dapat

digunakan untuk menentukan tetapan

Michaelis-Menten, KM. Dua diantaranya yang paling sering digunakan adalah

Lineweaver-Burk (1934) dan Eadie

(1942)-Hoofstee (1959). Dowed dan Riggs ((1965: 863) dan Atkins dan Nimmo (1975)

menyatakan bahwa persamaan kedua lebih tepat dan superior dari yang pertama.

Karena enzim merupakan katalis yang

sangat efektif, percobaan umumnya

dilakukan pada konsentrasi substrat yang jauh lebih besar dari enzim dan penentuan

KM dilakukan dengan metode laju awal. Pada dasarnya metode ini termasuk metode diferensial dan karenanya tetapan yang diperoleh akan berbeda dengan yang menggunakan metode integral. Patiha (2006) menyatakan bahwa, kecuali untuk reaksi tingkat ke-nol, harga tetapan laju yang diperoleh dari metode diferensial selalu berbeda dengan yang dari integral. Dan, harga k yang konsisten, hanya dapat diperoleh jika fraksi yang bereaksi α dibuat tetap. Selain itu, diduga, kedua persamaan bersanggah dengan [6] dan atau [8].

Laidler (1987) menyatakan bahwa harga tetapan laju k yang tepat, harus diperoleh dengan menggunakan metode integral. Masalahnya, penentuan hukum laju dengan metode integral tidak praktis -harus secara trial and error; data harus dicobakan pada sejumlah persamaan. Hukum laju yang dicari adalah yang memberikan kurva yang paling (mendekati) linear.

Patiha (2009) telah memperkenalkan persamaan, yang meski secara prinsip dan praktis merupakan persamaan diferensial,

(3)

selalu memberikan harga tetapan laju k (dan tentu saja order reaksi n) yang persis sama

dengan yang dari metode integral.

Persamaan ini juga tidak bersanggah dengan baik [6] maupun [8]. Tetapi diduga bermasalah pada teknik perolehan datanya.

Sebelumnya, Espenson (1995: 34-35) telah memperkenalkan persamaan integral dengan tenggang waktu tetap (time-lag). Namun, inipun diduga bermasalah pada teknik perolehan datanya.

Berdasarkan hal-hal di atas, tujuan penelitian ini adalah:

1. mengkaji kesahihan persamaan yang ada, 2. menemukan teknik yang sahih, dan 3. merumuskan persamaan yang efektif

untuk menentukan tetapan Michaelis-Menten (dan yang mirip)

METODE

Penelitian bersifat teoritis dan terdiri dari tiga tahap. Pertama kajian tentang persamaan-persamaan yang telah ada, kedua penetapan teknik, dan ketiga perumusan persamaan alternatif. Persamaan ini akan dinyatakan sahih jika memberikan harga tetapan yang sama dengan integral dan efektif jika lebih mudah pemakaiannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL

1.Kesemua persamaan yang ada tidak konsisten dengan metode integral.

2.Data yang digunakan harus berasal dari

reaksi yang berlangsung menuruti

mekanisme reaksi order ke-nal dan ke -satu dan digunakan terpisah.

3.Persamaan alternatif adalah:

ti ()(i1)(1n)t [9]

atau dalam bentuk logaritmanya   i t n ti (1 )log ( 1) log log     [10] PEMBAHASAN

1. Kajian terhadap persamaan yang ada. a. Persamaan Lineweaver-Burk

Lineweaver-Burk (1934; 658) memba-lik persamaan [4] dan memperoleh

] [ 1 1 o maks M maks v S K v v   [11]

Harga vmaks dapat dihitung dari intersep sedang KM dari lereng kurva 1/v lawan 1/[So].

Ada beberapa komentar. Pertama, ialah bahwa karena menggunakan metode diferensial maka harga KM yang diperoleh

(4)

tentulah tidak akan sama dengan yang diperoleh dari metode integral. Kedua, persamaan ini sebenarnya bias“. Jika penentuan dilakukan pada [So] yang sangat

tinggi maka v mencapai vmaks dan [11] akan menjadi ] [ 1 1 o maks M maks maks v S K v v   atau 0  M K [12]

Ini berarti, seharusnya harga vmaks yang akurat tidak dapat diperoleh dari rumus ini. Ketiga, pada dasarnya [11] bertentangan dengan [8], khususnya jika data yang digunakan untuk menentukan v diambil pada kondisi [So] yang jauh lebih kecil dari KM. Jika [8] dibalik maka akan diperoleh

] [ 1 o maks M S v K v [13] [32]

b. Persamaan Eadie - Hoofstee

Eadie (1942) dan Hoofstee (1959) masing-masing memperkenalkan persamaan yang pada dasarnya sama dan biasanya dinyatakan sebagai persamaan Eadie -

Hoofstee ] [ o M maks S v K v v  [14]

Harga vmaks dihitung dari intersep dan KM

dari lereng kurva v lawan v/[So].

Juga ada beberapa komentar. Pertama, ialah bahwa, seperti yang sebelumnya, karena menggunakan metode diferensial maka harga KM yang diperoleh tentulah tidak akan sama dengan yang diperoleh dari metode integral Kedua, persamaan ini sebenarnya juga bias“. Jika v mencapai

vmaks maka [14] akan menjadi

] [ o maks M maks maks S v K v v   atau 0  M K [12] [31]

Ketiga, pada dasarnya [14] juga

bertentangan dengan [8], khususnya jika data yang digunakan untuk menentukan v diambil pada kondisi [S] yang jauh lebih kecil dari KM. Keempat, konsep laju pada

[14] “tidak sama” dengan konsep laju pada pada studi kinetika reaksi yang umum dilakukan. Data yang digunakan adalah laju (awal) tetapi dalam persamaan bermakna

laju bersih. (Fenomena ini dapat diban-dingkan dengan konsep energi bebas Gibbs,

S T H

G  

 [15]

Energi bebas Gibbs adalah energi (kalor) bersih (yang dapat digunanakan untuk kerja berguna) sama dengan energi (kalor) total

(5)

dikurangi dengan energi (kalor) yang terbuang karena entropi pada temperatur T.

c. Persamaan Espenson

Espenson (1995: 34-35) mengganti notasi S pada [4] dengan notasi umum A lalu mengintegralkan persamaan tersebut.

Setelah beberapa langkah diperoleh

persamaan integral rentang waktu tetap

(time-lag)     k A A A A t t t t            ] [ ] [ ln ] [ ] [ [16]

Dalam persamaan ini  mirip dengan KM

sedang σ adalah rentang waktu. Espenson melakukan pengamatan hingga pereaksi bereaksi 90% kemudian membagi data menjadi 2 pasangan dengan σ tetap.

Ada beberapa komentar. Telah

dikemukakan bahwa reaksi enzimatis

berlangsung menuruti 2 mekanisme reaksi yang berbeda. Jika percobaan dilakukan pada konsentrasi substrat yang jauh lebih besar dari KM maka mungkin saja terjadi, reaksi telah berlangsung 90% tetapi reaksi masih tingkat ke-nol sehingga seharusnya yang dapat diperoleh hanyalah vmaks.

Sebaliknya, jika percobaan dilakukan pada konsentrasi substrat yang jauh lebih kecil dari KM maka reaksi tentulah selalu tingkat

ke-satu sehingga seharusnya vmaks tidak dapat diperoleh. Andaikata percobaan

dilakukan pada kondisi yang pas sekalipun, penggunaan persamaan ini tetap bias. Penggunaan pasangan data pada awal dan akhir percobaan tentunya tidak benar. Jika [So] cukup besar maka, pada kondisi ini,

data hanya pas untuk tingkat ke-nol dan pada [S] yang kecil (pada akhir reaksi)

hanya pas untuk tingkat ke-satu. [22]

d. Persamaan Patiha (2009)

Berangkat dari hujah Patiha (2006),

Patiha (2009) memasukkan faktor koreksi p

) ( 

F

p [17]

pada [8] dan memperoleh persamaan

M o maks K S pv v [ ] [18]

F(α) adalah bentuk umum hasil integrasi hukum laju diferensial dan mempunyai harga 1 ) 1 ln( ) (   untuk nF   [19] dan 1 1 ) 1 ( 1 ) 1 ( 1 ) ( ( 1)           untuk n n F n   [20] Berkat faktor koreksi p ini, harga tetapan yang diperoleh selalu sama dengan yang dari integral.

(6)

Karena [18] berlaku untuk reaksi order ke-satu terhadap [S] maka pemasukan [19] ke dalam [18] akan menghasilkan

M o maks K S v v ) 1 ln( ] [      [21]

Selanjutnya, karena pada setiap pecobaan konsentrasi substrat selalu berkurang maka, jika diinginkan untuk mencari harga KM dari satu lakuan (run) maka [21] harus dibalik yaitu ] [ ) 1 ln( / 1 o maks M S v K v      [22]

Harga KM dapat diperoleh dari lereng kurva 1/[So] lawan 1/v setelah vmaks ditentukan.

Yang terakhir ini dilakukan dengan asumsi berikut.

Pada [S]o yang tinggi kurva ini tidak

lagi linear. Kurva berbelok. Tapi karena bila [S]o besar (dan laju menjadi

maksimum) harga 1/[S]o mendekati 0 maka

perpotongan kurva dengan ordinat (1/v) pada kondisi ini akan memberikan harga

vmaks (yakni 1/[S]maks akan memberikan

1/vmaks).

Yang menarik disini bahwa harga KM

(dan vmaks) yang diperoleh dari [22] persis

sama dengan yang diperoleh dari persamaan [13] jika [13] dikoreksi dengan [19]. Persamaan [22] juga taat azas. Namun tetap ada yang mengganjal yaitu dari bahwa

secara teoritis kurva 1/[So] lawan 1/v

seharusnya melalui titik O (0,0). Selain itu, data berasal dari reaksi yang menuruti mekanisme reaksi order ke-satu.

2. Penentuan teknik perolehan data

Berdasarkan uraian di atas, kelemahan utama kesemua persamaan adalah pada teknik perolehan data. Tidak semua data tepat digunakan. Kiranya dapat disimpulkan bahwa jika diinginkan harga yang tepat, haruslah menggunakan teknik yang pasti. Laju maksimum hanya diperoleh jika mekanisme reaksi mengikuti mekanisme reaksi order ke-nol yang selanjutnya

digunakan untuk menentukan KM

mengunakan data reaksi yang berlangsung menuruti mekanisme reaksi mengikuti mekanisme reaksi order ke-satu. Keduanya harus digunakan secara terpisah.

3. Perumusan persamaan

Jika hukum laju umum

n A A k dt A d[ ]/  [ ]  [23]

dibagi dengan [Ao] akan diperoleh

n o n o A o A A A k dt A A d                ] [ ] [ ] [ / ] [ ] [ ( 1) [24] Substitusi β = fraksi substrat yang ada pada waktu t atau

(7)

] [ ] [ o A A   [25]

ke dalam [24] akan menghasilkan

n n o A A k dt d/  [ ]( 1)  [26] dt A k d n A[ o](n1)         [27] dt A k d n A o n

        ( 1) ] [   [28]

Jika hasil integral bagian kiri dinyatakan sebagai F(β) akan diperoleh persamaan   k A t F( ) A[ o](n1) [29] atau ) 1 ( ] )[ / ) ( (F kA Ao n t    [30] dimana 1 ln ) (  untuk nF   [31] 1 1 1 ) 1 ( 1 ) ( ( 1)          untuk n n F n   [32] Sebenarnya persamaan [29] adalah bentuk lain dari persamaan Patiha (1998), sedangkan [31] dan [32], masing-masing secara berurutan, adalah persaman [19] dan [20], jika dilakukan substitusi β = (1 – α).

Penentuan harga n dan tetapan laju k

dapat dilakukan dalam 1 lakuan (run) yaitu jika akhir dari setiap bacaan fisik pada waktu dijadikan awal bagi yang

mengikutinya. Dapat dibuktikan bahwa, berdasarkan pendekatan ini, jika bacaan sifat fisik awal adalah [Ao], maka yang kedua adalah β[Ao], ketiga β2[Ao], keempat, β3[Ao],

atau secara umum yang ke-i adalah β(i-1)[Ao]. Jika pengertian ini dimasukkan kedalam [31] akan diperoleh

( 1)

(1 ) ] [ ) / ) ( ( A I o n i F k A t      [33]

( 1)(1 )

) 1 ( ] )[ / ) ( ( A o n I n i F k A t       [34]

Jika [30] dimasukkan ke dalam [34] akan diperoleh

t

ti ( )(i1)(1n) [9]

atau dalam bentuk logaritmanya 

i t

n

ti (1 )log ( 1) log

log     [10]

Jika β dibuat tetap maka order reaksi dapat dihitung dari kurva log ti lawan (i-1).

Selanjutnya harga tetapan laju kA intersep dengan memanfaatkan persamaan [30] dan [31] untuk n=1 atau [32] untuk n≠1. Atau

yang lebih mudah

1 / ) ln(    t untuk n kA [35] atau 1 / )] 1 1 ( ) 1 ( 1 [ ( 1)     t untuk n n kA n  [36] Dalam kaitannya dengan penelitian ini, karena pada [So] yang tinggi reaksi order

(8)

ke-nol dan v = vmaks, maka kA = vmaks Dan berdasarkan [36]   t S v o maks ) 1 ]( [   [37]

Jika laju dalam [8] dinyatakan dalam β dan kemudian diintegralkan maka, untuk

n=1 akan diperoleh   t K v M maks  ln [38] atau   t v K maks M ln   [39]

Ada 2 hal yang menjadi inti isi dari kenyataan di atas. Pertama, karena [37] dan [39] dapat diturunkan dari persamaan utama {[6] dan [8]} maka memenuhi kriteria untuk penentuan tetapan KM. Kedua, persamaan [37] dan [39] merupakan persamaan integral. Ini juga salah satu kriteria yang lain. Namun, ini tidak cukup. Data yang dapat digunakan untuk masing-masing persamaan haruslah yang sesuai. Persamaan [37] hanya pada kondisi [So] jauh lebih besar dari KM dan [39] dari yang lebih kecil. Atau dengan kata lain, data sebaiknya diperoleh dari percobaan yang mengikuti mekanisme reaksi order nol dan order ke-satu. Dan, cara yang paling mudah untuk menceknya adalah dengan menggunakan persamaan [9]. Dapat dibuktikan bahwa pada reaksi order ke-satu ti selalu sama

dengan dan pada reaksi order ke-nol, ti

selalu sama dengan βxtβ. Dengan demikian dapat ditentukan secara cepat apakah suatu data memenuhi kriteria atau tidak. Seperti telah diungkap, bagi mendapatkan harga KM

yang pasti haruslah melalui percobaan yang membabitkan pengamatan pada kedua kondisi. Dan, karena persamaan ini juga merupakan persamaan integral maka akan melengkapi semua kriteri yang digunakan.

SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN

Berdasarkan hal-hal yang telah dibicarakan dan sebatas kesalahan kajian, dapat disimpulkan 3 hal berikut ini.

1. Kesemua persamaan yang ada tidak

(atau kurang) konsisten dengan

paradigma reaksi harus berlangsung menuruti mekanisme reaksi order ke-nol

dan ke-satu.

2. Data yang digunakan harus berasal dari reaksi yang berlangsung menuruti mekanisme reaksi order ke-nol dan ke -satu dan digunakan terpisah.

3. Persamaan alternatif

ti ()(i1)(1n)t [9]

atau dalam bentuk logaritmanya 

i t

n

ti (1 )log ( 1) log

(9)

  t S v o maks ) 1 ]( [   [38]   t v K maks M ln   [40]

secara teoritis, sahih dan akan efektif penggunaanya.

SARAN

Simpulan 3 hanya menyatakan bahwa persamaan sahih dan efektif secara teoritis. Suatu teori tidak selalu sesuai dengan fakta lapangan. Karena disarankan:

1. menguji dengan fakta eksperimen dan

2. mencari dan menenukan reaksi-reaksi mirip reaksi-reaksi enzimatis.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya

terutama kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, yang telah membiayai penelitian ini; Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Sebelas Maret Surakarta, selaku pengelola kegiatan secara keseluruhan, FMIPA UNS dan Laboratorium MIPA Pusat UNS dan juga kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan sehingga memungkinkan terseleng-garanya kegiatan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Atkins, G. L. and I. A. Nimmo. 1975. Biochem. J. 149, 775.

Briggs, G. E. and J. B. S. Haldane. 1925. Biochem. J. 19, 338.

Dowd, J. E. and D. S. Riggs. 1965. Biochem. J. 249, 8635

Eadie, E. A. 1942. J. Biol. Chem. 146. 85.

Espenson, J. H. 1995. Chemical Kinetics and Reaction Mechanisms, 2nd Ed. New York: McGraw-Hill, Inc.

Hofstee, B. H. J. 1959. Nature, Lond. 184.

1926.

Laidler, K. J. 1987. Chemical Kinetics, 3rd Edition. New York: Harper Collins Publisher, Inc.

Lineweaver, H. and D. Burk. 1934. J. Am. Chem. Sos. 56. 658.

Patiha, 1998. Persamaan Kinetika Kimia Tan: Perbaikan dan Implementasinya. Lap. Penelitian Dosen Muda Tak Terpublikasi. Surakarta: FMIPA UNS.

Patiha, 2006. Persamaan Kinetika Kimia Tunggal Hibrida Diferensial dan Integral dan Implementasinya.

Laporan Penelitian Dasar Tak

Terpublikasi. Surakarta: FMIPA UNS.

Patiha, 2009. Persamaan Kinetika Kimia Terpadu untuk Reaksi Enzimatis Michaelis-Mentenis dan yang Mirip.

Laporan Penelitian Fundamental Tak Terpublikasi. Surakarta: FMIPA UNS.

(10)

Patiha, 2011. Teknik dan persamaan Baru yang Efektif untuk Penentuan Tetapan Michaelis-Menteni dan yang Mirip.

Laporan Penelitian Fundamental Tak Terpublikasi (dalam proses). Sura-karta: FMIPA UNS.

Referensi

Dokumen terkait

In the light of René Girard‟s theory of desire, revenge, and scapegoating, this study aims (1) to show the inter-relationship among the texts in question; and (2) placing this novel

Angka ini lebih besar dari α=0,05 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan siklus menstruasi remaja putri di Prodi D-III Kebidanan

Data partisipasi diperoleh melalui hasil observasi, hasil belajar siswa diperoleh dari nilai hasil pre-test dan post-test siswa, dan tanggapan siswa yang diperoleh melalui angket

Sekarang telah berkembang nasi instan yang dapat langsung dimasak tanpa pencucian dan pengaronan, salah satu cara mempersingkat cooking time yang akan

Saham Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Jakarta Islamic Index tahun 2009-2012. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Sampel

Konflik yang terjadi akibat ekspansi hutan tanaman industri PT Toba Pulp Lestari, tidak hanya terjadi antara masyarakat dan perusahaan, tetapi konflik juga terjadi antar

Menurut data yang diperoleh dari kantor KJKS Pilar Mandiri Surabaya, terdapat kurang lebih 3800 orang warga binaan dan 2500 orang diantaranya menggunakan pembiayaan qard}

JudulKegiatan : PELATIHAN PEMBUATAN GANTUNGAN KUNCI DAN PIN SEBAGAI BEKAL KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILL) UNTUK SANTRI DAN SANTRIWATI PONDOK PESANTREN DURROTU ASWAJA