• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

Kecemasan menghadapi wawancara kerja menjadi isu penting dalam dunia kerja. Terlebih bagi mahasiswa tingkat akhir yang baru lulus kuliah serta baru pertama kali melamar kerja dan ikut seleksi wawancara kerja. Kecemasan menghadapi wawancara kerja menjadi fenomena yang menarik karena mengkaji faktor tentang sejauh mana kesiapan kerja dan konsep diri dari para lulusan baru.

1.1 Latar Belakang

Pada dasarnya manusia memiliki berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi dalam hidupnya. Kebutuhan terbentuk karena adanya kekurangan baik fisiologis maupun psikologis yang mendorong munculnya perilaku, kebutuhan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor dari lingkungan. Kebutuhan manusia membentuk hierarki atau jenjang yang terdiri dari lima kebutuhan Maslow, yaitu kebutuhan yang bersifat fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan cinta, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri. Apabila kebutuhan fisiologis belum terpenuhi, maka perilaku akan didominasi oleh kebutuhan fisiologis. Namun jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi seseorang akan terdorong untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya yaitu rasa aman. Sedangkan kebutuhan rasa aman yang telah terpenuhi akan mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya yaitu kebutuhan akan cinta kasih (Maslow, 1994).

Adanya desakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, membuat seseorang terdorong untuk berkerja yang bertujuan untuk mendapatkan penghasilan. Menurut Anoraga (1998) kerja merupakan sesuatu yang dibutuhkan manusia. Seseorang bekerja karena ada sesuatu yang hendak dicapai dan berharap bahwa aktivitas kerja yang dilakukan akan membawa kepada suatu keadaan yang lebih memuaskan dari keadaan-keadaan sebelumnya, namun fakta menunjukkan didalam era

(2)

2

globalisasi seperti sekarang persaingan terjadi sangat ketat. Terutama perihal lapangan pekerjaan yang semakin lama semakin sempit. Hal ini didukung dari hasil survei Badan Pusat Statistik tahun 2016 yang menunujukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,5% atau 7,02 juta orang dari total angkatan kerja. Pengangguran terbuka berupa seseorang yang sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. Jumlah pengangguran yang besar disebabkan oleh penambahan jumlah lapangan kerja yang ada tidak sebanding dengan penambahan jumlah tenaga kerja yang tersedia di masyarakat. Hal ini membuat perbandingan antara jumlah pencari kerja dan jumlah lapangan kerja yang tersedia dimasyarakat mengalami ketimpangan (Badan Resmi Statistik, 2016).

Oleh karena itu, berbagai macam cara dilakukan oleh dunia pendidikan khususnya Universitas untuk memenangkan persaingan di era kompetisi, salah satunya adalah dengan usaha meningkatkan sikap

(attitude), kemampuan (skill) dan pengetahuan (knowledge) dari para

mahasiswa demi tercapainya tenaga kerja yang memiliki sikap positif, kreatif dan terampil. Pada dasarnya mahasiswa diartikan sebagai siswa yang sedang mengarungi pendidikan di perguruan tinggi (Purwodarminto, 2002). Sementara itu, Hurlock (1999) mengungkapkan mahasiswa tingkat akhir merupakan awal masa dewasa. Havighurst membagi tugas-tugas perkembangan awal masa dewasa. Salah satu tugas-tugas perkembangan awal masa dewasa yang diharapkan masyarakat yakni memperoleh pekerjaan. Seseorang yang telah memasuki usia tersebut diharapkan dapat memenuhi tugas-tugas yang sesuai dengan tuntutan masyarakat. Salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada usia dewasa awal adalah mendapatkan pekerjaan sehingga jika tidak terpenuhi, seseorang pada usia tersebut akan mengalami kecemasan (Alpert & Haber, 1960).

Kecemasan dalam mendapatkan pekerjaan muncul karena tidak ada manusia yang sempurna, artinya semua orang pernah mengalami situasi sulit. Ada beberapa orang yang sebenarnya memiliki sikap, kemampuan

(3)

3 dan pengetahuan standar, tetapi sangat gampang memeroleh pekerjaan, bahkan beberapa kali pindah tempat kerja. Sementara, beberapa orang lainnya yang memiliki kemampuan hebat, tak jarang usahanya kandas sampai pada tahap tes wawancara kerja. Bagi beberapa orang, wawancara kerja mungkin adalah momok yang menakutkan karena individu memiliki

iirational believe yang dapat memengaruhi pola pikir (kognitif), perasaan

(afektif), dan perilaku (behavior), ketika dihadapkan dengan masalah

individu memiliki keyakinan tidak akan berhasil sehingga menjadi cemas ketika akan menghadapi wawancara. Kecemasan atau ketakutan yang muncul sebelum atau pada saat wawancara itu memang wajar. Apalagi jika seseorang belum memiliki pengalaman kerja atau baru pertama kali melamar pekerjaan. Sebenarnya orang yang berulang kali melamar pekerjaan pun bisa mengalami hal yang sama. Mungkin perbedaannya adalah karena dapat mengelola emosi sehingga pengendalian dirinya lebih terjaga. Hal itu dikarenakan ia sudah terlatih menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan pewawancara (Heimberg, Keller, & Peca-Baker, 1986).

Tahap seleksi wawancara merupakan tahapan yang harus dilewati pencari kerja sebelum mendapatkan pekerjaan, hal ini sangat penting karena interviewer akan menilai dan mengambil segala informasi yang dibutuhkan tentang calon karyawan secara langsung. Tahap wawancara lebih memerhatikan kesiapan calon karyawan dalam hal menjual kekuatan diri dan meyakinkan para interviewer. Tujuan wawancara kerja adalah untuk menilai sisi psikologis, perilaku, kepemimpinan, komitmen, kejujuran, tanggung jawab, dan segudang nilai kebaikan yang masuk dalam penilaian perusahaan. Tahap ini merupakan langkah yang menentukan sehingga membuat calon karyawan menjadi cemas saat akan mengikuti sesi wawancara kerja (Nasution, 2012).

Kecemasan menghadapi wawancara kerja menjadi penting untuk diteliti karena dalam periode ini peristiwa dan transisi yang berbeda mungkin dapat memunculkan pikiran negatif pada diri mahasiswa. Pikiran negatif muncul karena perasaan cemas yang dialami mahasiswa mengacu

(4)

4

pada saraf calon pelamar kerja dan membuat calon pelamar takut sehingga menghambat performanya saat mengikuti seleksi wawancara kerja (Heimberg, et al, 1986). Selain itu mahasiswa yang mengalami kecemasan dalam menghadapi wawancara kerja akan muncul kegugupan ketika berhadapan dengan pengalaman baru dan menganggap bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi (Diana, 1997).

Efek dari kecemasan menghadapi wawancara kerja dapat dikategorisasikan sebagai berikut: mental (bagaimana pikiran bekerja), fisik (bagaimana tubuh bekerja), perilaku (hal yang kita lakukan), kognitif (cara kita berpikir dan berkonsentrasi). Dampak kecemasan baik langsung maupun tidak langsung mengganggu fisik maupun mental individu. Hal tersebut dapat menganggu penampilan diri seseorang saat mengikuti sesi wawancara kerja (Sue, 2006).

Kecemasan yang dirasakan terutama dalam menghadapi wawancara kerja dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu yang diantaranya terganggunya kemampuan seseorang untuk memproses informasi sehingga individu kurang sistematis dalam penilaian dan pembuatan keputusan (Raghunathan & Pham, 1999). Tetapi sebaliknya apabila individu mampu mengelola kecemasan dengan baik maka akan mempunyai semangat dan gairah secara psikologis maupun fisiologis sehingga dapat menaikkan performa atau kinerja yang dia miliki (Humara, 1999).

Penelitian tentang kecemasan menghadapi wawancara kerja dilakukan pada mahasiswa tingkat akhir Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis pada beberapa mahasiswa tingkat akhir yang akan diwisuda dan pernah mencoba mengikuti wawancara kerja, tampak terlihat mahasiswa memiliki kecemasan yang rendah di dalam menghadapi wawancara kerja. Hal ini ditunjukkan dengan sikap yang tenang saat akan menghadapi wawancara kerja, memiliki semangat untuk segera menghadapi kelulusan serta perasaan positif mereka akan keinginanya untuk mengikuti seleksi wawancara kerja dan mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.

(5)

5 Berdasarkan pendapat Hollandsworth, Glazeski, & Dressel, (1978) apabila seseorang mampu mempersepsikan diri secara positif bahwa wawancara itu bukan suatu ancaman bagi dirinya maka dalam proses menghadapi wawancara kerja seseorang akan tenang. Perasaan tenang yang dialami seseorang sebelum dan selama wawancara kerja dikarenakan mereka memiliki kemampuan akan komunikasi yang baik, menunjukkan penampilan diri yang menarik saat wawancara kerja, secara sosial mampu berinteraksi dengan baik, memperlihatkan ketrampilan dan keahlian yang dimiliki, serta tidak mudah gugup dan memiliki kemampuan dalam mengatasi segala situasi sulit yang akan dihadapi.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Amanda & Deborah (2015) bahwa skill yang baik akan membuat seseorang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik, kejujuran, ulet dan gigih dalam bekerja, memiliki tanggung jawab, serta mampu bekerja dalam tim. Selain itu keberhasilan seseorang dalam wawancara kerja biasanya lebih ditentukan oleh skill yang lebih baik. Sementara dari sisi pencari kerja, skill yang baik akan mendukung seseorang dapat diterima didalam seleksi wawancara kerja.

Namun terdapat fakta yang berbeda pada hasil wawancara lanjutan dengan mahasiswa tingkat akhir Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana yang sedang mengerjakan skripsi dan tunggu ujian dimana mereka memiliki kecemasan yang tinggi dalam menghadapi wawancara kerja. Kecemasan ini muncul karena banyak diantara mahasiswa yang memiliki pemikiran negatif mengenai mampu tidaknya menghadapi pekerjaan, mahasiswa menganggap dirinya tidak mampu mengatasi masalah seperti kurang mampu memilih strategi didalam berinteraksi sosial serta mahasiswa tampak kurang yakin dan kurang percaya diri terhadap kemampuan yang dimilikinya. Mereka juga merasa gugup akan kemampuan verbal dan merasa tidak memiliki kemampuan akan komunikasi yang baik serta masih banyak mahasiswa yang belum memiliki keahlian dan keterampilan (skill) yang baik.

(6)

6

Berdasarkan penelitian dari Mc Carthy & Goffin (2004) menyebutkan bahwa mahasiswa dengan skill yang rendah akan membutuhkan lebih banyak usaha, waktu, dan fleksibilitas untuk menjalankan kegiatan-kegiatannya. Kondisi demikian yang membuat mahasiswa, khususnya mahasiswa tingkat akhir cemas akan kegagalan saat proses wawancara kerja sehingga sulit diterima didunia kerja. Hal ini sejalan dengan penelitian Keenan (1978) yang menyebutkan minimnya ketrampilan berkomunikasi membuat seorang lulusan baru menjadi mudah cemas karena merasa memiliki kesempatan kecil untuk lolos seleksi wawancara kerja.

Atas dasar fenomena tersebut dapat disimpulkan bahwa ada sebagian mahasiswa yang memiliki kecemasan yang rendah dalam menghadapi wawancara kerja, tetapi di sisi lain terdapat pula mahasiswa yang memiliki kecemasan tinggi di dalam menghadapi wawancara kerja. Hal tersebut yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang kecemasan menghadapi wawancara kerja pada mahasiswa dengan berbagai pertimbangan antara lain: idealnya mahasiswa harus mampu mengelola kecemasan, tetapi pada kenyataannya tidak semua mahasiswa mampu mengelola kecemasan saat mereka menghadapi wawancara kerja; ketika kecemasan mahasiswa rendah, maka hal tersebut akan mengakibatkan meningkatnya performa sehingga berdampak pada keberhasilan saat seleksi wawancara kerja dan mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.

Sebagai isu yang relatif baru, banyak penelitian terkini yang berusaha mengupas kecemasan menghadapi wawancara kerja secara lebih mendalam untuk menemukan faktor-faktor yang terkait, dengan harapan dapat digunakan dalam mengelola rasa cemas mahasiswa demi tercapainya keunggulan kompetitif dalam bersaing di dunia kerja. Sementara itu, penulis menduga ada beberapa faktor yang memengaruhi kecemasan menghadapi wawancara kerja, diantaranya dijelaskan oleh Nasution (2012) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kecemasan dalam menghadapi wawancara kerja yang dialami oleh mahasiswa dapat dipengaruhi oleh kesiapan kerja, harapan yang terlalu tinggi, cemas karena

(7)

7 akan dinilai, pengalaman buruk di masa lampau yang menjadi ketakutan tersendiri, pembicara di hadapkan dengan situasi baru, merasa mempunyai saingan yang lebih unggul, merasa memiliki tekanan dari pewawancara, serta memiliki pemikiran akan mengalami situasi bahaya. Penulis memilih faktor kesiapan kerja bukan bermaksud untuk mengabaikan peubah (variabel) yang lainnya, melainkan didasarkan pada beberapa pendapat. Mahasiswa sebagian besar memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik dan memiliki keterampilan (merupakan salah satu komponen dari kesiapan kerja) karena individu yang siap kerja tau kemampuan dan keahlian yang mereka bawa ke dalam situasi kerja baru. Oleh karena itu, kesiapan kerja merupakan sesuatu yang penting bagi calon pencari kerja tak terkecuali mahasiswa yang baru lulus kuliah sebab para lulusan baru akan dihadapkan pada situasi asing yang tidak stabil dan tidak terduga sehingga harus memiliki kemampuan dalam mengelola tugas secara mandiri yang sangat diperlukan dalam bekerja (Wolff, Regan, Pesut, & Black, 2010).

Kesiapan kerja dapat terlihat dari sejauh mana seseorang lulusan dianggap memiliki sikap dan sifat yang membuat mereka siap untuk sukses dalam lingkungan kerja (Caballero & walker, 2011). Kesiapan kerja berupa kemampuan individu untuk fokus pada sifat-sifat pribadi seperti sifat pekerja dan mekanisme pertahanan yang dibutuhkan, bukan hanya untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga lebih dari itu yaitu untuk mempertahankan suatu pekerjaan (Brady, 2010). Kesiapan kerja sebagai suatu set prestasi, pemahaman dan atribut pribadi yang membuat individu lebih mungkin untuk mendapatkan pekerjaan dan berhasil dalam karir yang mereka pilih (Dubrin, 2005).

Kesiapan kerja meliputi serangkaian gerakan yang berkaitan dengan kesiapan mental dan jasmani, apabila seseorang siap kerja maka akan siap menghadapi segala situsi sulit yang dihadapi termasuk kesiapannya saat mengikuti wawancara kerja (Chaplin, 2006). Hal ini sejalan dengan penelitian Koen, Ute-Christine, Annelies, dan Vianen (2012) yang menunjukkan terdapat interaksi yang signifikan antara kesiapan kerja dan

(8)

8

kecemasan menghadapi wawancara kerja pada mahasiswa lulusan baru. Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian Lowes, Omrin, Moore, Sulman, Pascoe, Mc Kee, & Gaon (2016) yang menunjukkan terdapat pengaruh signifikan antara kesiapan kerja dan kecemasan menghadapi wawancara kerja. Wawancara kerja merupakan sumber kecemasan bagi mahasiswa, dengan adanya kesiapan kerja dapat meningkatkan kompetensi mahasiswa setelah lulus sehingga dapat mengurangi kecemasan serta bermanfaat bagi lulusan baru.

Adanya kesiapan kerja membuat mahasiswa tingkat akhir merasa tenang dan tidak gelisah dalam menghadapi wawancara kerja. Selain kesiapan kerja terdapat faktor lain yang turut memengaruhi mahasiswa agar merasa tenang dan tidak gelisah. Menurut Geist (dalam Gunarsa, 2000) kecemasaan dalam menghadapi wawancara kerja dapat bersumber dari berbagai faktor seperti tuntutan sosial yang berlebihan yang tidak mampu di penuhi oleh individu yang bersangkutan, standar kompetensi yang terlalu tinggi tidak seimbang dengan kemampuan yang dimilikinya, kurangnya kesiapan kerja, pola berfikir dan persepsi yang negative terhadap situasi atau diri sendiri yang lebih dikenal dengan konsep diri.

Konsep diri merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan karena pemahaman individu akan konsep dirinya yang menentukan dan mengarahkan perilaku dalam berbagai situasi. Jika konsep diri individu negatif maka akan negatiflah perilakunya, sebaliknya jika konsep diri individu positif maka positiflah perilakunya (Shavelson, Hubner, & Stanton, 1976). Konsep diri seseorang akan menentukan keberhasilan dan kegagalan individu dalam berhubungan dengan masyarakat (Hurlock, 1999). Konsep diri sebagai nilai dari suatu hasil proses pembelajaran dan merupakan hasil situasi psikologis yang diterima (Marsh, 1990). Konsep diri memiliki beberapa aspek seperti aspek sosial, aspek fisik dan moralitas, konsep diri akan berubah terus menerus pada masa kanak-kanak dan remaja (Rice & Gale, 1975).

Konsep diri merupakan serangkaian persepsi seseorang kepada diri sendiri (Calhoun & Acocella, 1990). Senada dengan kedua tokoh tersebut,

(9)

9 Shavelson, et al. (1976) menjelaskan bahwa konsep diri merupakan persepsi individu terhadap dirinya sendiri yang terbentuk melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan orang lain, dan hasil interpretasi dari pengalaman-pengalaman yang didapatkannya tersebut. Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Brooks (dalam Jallaludin, 2000) memaparkan bahwa konsep diri merupakan persepsi terhadap diri sendiri, baik fisik, sosial, maupun psikologis, yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman dan hasil dari interaksi dengan orang lain. Tidak hanya persepsi yang bersifat deskriptif, tapi juga penilaian terhadap diri sendiri.

Kepribadian seseorang dapat diamati dari perilaku-perilakunya yang manifes dalam berbagai situasi, maka konsep diri tidak dapat diamati secara eksplisit seperti halnya perilaku dan ekspresi seseorang. Manifestasi konsep diri yang tercermin dalam pola reaksi seseorang, dapat diamati dari reaksi yang relatif menetap pada pola perilaku seseorang. Misalnya seseorang yang memiliki pola perilaku optimis, akan berperilaku tidak mudah menyerah, penuh semangat dan vitalitas, percaya pada kemampuannya, dan senantiasa memiliki keinginan untuk mencoba pengalaman-pengalaman baru yang dianggap berguna. Perilaku yang teramati merupakan pola perilaku individu yang merupakan cerminan konsep diri positif. Sebaliknya, seseorang yang selalu menganggap dirinya tidak mempunyai kemampuan apa-apa, cenderung akan merasa gentar untuk menghadapi hal-hal baru, maupun ketakutannya akan sebuah kegagalan. Kondisi ini merupakan cerminan konsep diri yang negatif. Dengan adanya konsep diri yang positif ini, diharapkan para mahasiswa tingkat akhir tidak terlalu cemas dalam menghadapi wawancara kerja dan selalu optimis bahwa mereka akan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya (Widodo & Rusmawati,2004). Hal ini sejalan dengan penelitian Peeters, & Lievens (2006) yang menunjukkan terdapat pengaruh signifikan negatif, antara konsep diri dengan kecemasan menghadapi wawancara kerja. Hal ini didukung pula penelitian dari Vatankhak, Darya, Ghadami, & Naderifar (2012) menunjukkan terdapat pengaruh yang

(10)

10

signifikan antara kecemasan saat diwawancara kerja dengan konsep diri para mahasiswa.

Sementara itu, perbedaan jenis kelamin dan usia juga dapat menentukan tingkat kecemasan mahasiswa dalam menghadapi wawancara kerja. Ada pandangan yang bertentangan mengenai kecemasan dalam menghadapi wawancara kerja yaitu mengenai siapa yang lebih cemas, antara pencari kerja laki-laki dan perempuan. Penelitian Sieverding (2009) menunjukkan terdapat perbedaan kecemasan antara laki-laki dan perempuan sebelum dan selama wawancara kerja, namun terdapat pendapat yang berbeda dari Sahranavard, Hassan, Ehas, & Abdullah (2012) tentang self concept, self efficacy, dan self esteem terhadap kecemasan pada siswa di Iran yang hasil penelitiannya menunjukkan tidak terdapat perbedaan kecemasan, baik laki-laki ataupun perempuan memiliki kegelisahan yang sama. Penelitian dari Woodard (2004) menunujukkan terdapat perbedaan antara usia (>25) tahun tampak lebih cemas dalam menghadapi wawancara kerja dibanding dengan usia (<25) tahun, sebaliknya penelitian dari Candido & Jose (2011) menunjukkan tidak ada perbedaan usia antara remaja laki-laki dan perempuan dalam hal kecemasan terhadap wawancara kerja.

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan penulis, perbedaan pandangan dan hasil penelitian ilmiah yang telah dihasilkan dan penjelasan-penjelasan teoritis yang diajukan para penulis sebelumnya, penulis tertarik untuk meneliti kembali mengenai kecemasan namun dengan menggunakan sampel dan tempat penelitian yang berbeda dari yang digunakan peneliti-peneliti sebelumnya. Maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Kesiapan kerja dan Konsep Diri terhadap Kecemasan menghadapi wawancara kerja pada mahasiswa tingkat akhir Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ditinjau dari Jenis kelamin dan Usia”.

(11)

11 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian tersebut maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh simultan antara kesiapan kerja dan konsep diri terhadap kecemasan menghadapi wawancara kerja pada mahasiswa tingkat akhir Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

2. Apakah ada pengaruh simultan antara kesiapan kerja dan konsep diri terhadap kecemasan menghadapi wawancara kerja pada mahasiswi tingkat akhir Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

3. Apakah ada perbedaan antara kecemasan dalam menghadapi wawancara kerja ditinjau dari jenis kelamin pada mahasiswa tingkat akhir Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. 4. Apakah ada perbedaan antara kecemasan dalam menghadapi

wawancara kerja ditinjau dari usia pada mahasiswa tingkat akhir Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menguji pengaruh simultan antara kesiapan kerja dan konsep diri terhadap kecemasan menghadapi wawancara kerja pada mahasiswa tingkat akhir Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

2. Menguji pengaruh simultan antara kesiapan kerja dan konsep diri terhadap kecemasan menghadapi wawancara kerja pada mahasiswi tingkat akhir Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

3. Menguji perbedaan kecemasan dalam menghadapi wawancara kerja ditinjau dari jenis kelamin pada mahasiswa tingkat akhir Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

(12)

12

4. Menguji perbedaan kecemasan dalam menghadapi wawancara kerja ditinjau dari usia pada mahasiswa tingkat akhir Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat diantaranya sebagai berikut :

1.4.1Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan dibidang psikologi pendidikan, psikologi perkembangan dan psikologi industri khususnya mengenai pengaruh kesiapan kerja dan konsep diri terhadap kecemasan menghadapi wawancara kerja pada mahasiswa tingkat akhir Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana ditinjau dari jenis kelamin dan usia.

1.4.2Manfaat Praktis

a. Memberikan gambaran tentang pengaruh kesiapan kerja dan konsep diri terhadap kecemasan menghadapi wawancara kerja pada mahasiswa tingkat akhir Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana serta sebagai umpan balik bagi Institusi pendidikan untuk mengusahakan berbagai upaya agar mahasiswa yang telah lulus siap mengikuti wawancara kerja supaya segera memperoleh pekerjaan.

b. Bagi mahasiswa diharapkan agar dapat menjadi salah satu bahan informasi dalam mempersiapkan diri menghadapi wawancara kerja dengan lebih meningkatkan konsep diri yang positif sehingga mampu mengatasi timbulnya kecemasan.

c. Bagi peneliti lain sebagai bahan pembanding dalam studi selanjutnya mengenai pengaruh kesiapan kerja dan konsep diri terhadap kecemasan menghadapi wawancara kerja pada mahasiswa tingkat akhir Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana ditinjau dari jenis kelamin dan usia.

Referensi

Dokumen terkait

Hak nafkah isteri tidak akan gugur dengan tindakan tersebut, namun perkara sebaliknya isteri telah disabitkan sebagai nusy u z oleh mahkamah syariah.. Justeru, selagi tidak

[r]

algoritma kompresi LZW akan membentuk dictionary selama proses kompresinya belangsung kemudian setelah selesai maka dictionary tersebut tidak ikut disimpan dalam file yang

Dalam konstruksi berkelanjutan tidak cukup hanya tiga aspek tersebut, namun harus dipikirkan pula aspek lain yaitu sumberdaya yang digunakan dalam proyek konstruksi, emisi

Suryawan (2005), dari sumber isolat yang sama dengan yang digunakan dalam penelitian ini, dengan cara pengayaan yang sama namun waktu inkubasi diperpanjang dari 7 menjadi

Hasil : Ada pengaruh perawatan metode kanguru dengan inkubator terhadap Berat Badan Bayi Baru Lahir Rendah (BBLR) yang terpasang alat medis di Ruang Perina A dan NICU Rumah Sakit

Kita tahu bahwa ini adalah sifat dasar manusia: “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” Hal-hal

berhasil mencapai tujuan programnya. Gambaran yang kaya mengenai perasasan sukses dari penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling yang tercantum dalam visi Bimbingan dan