• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengenaan Sanksi Adat “Epkeret” terhadap Kasus Pembunuhan dalam Masyarakat Adat di Pegunungan Buru Selatan T1 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengenaan Sanksi Adat “Epkeret” terhadap Kasus Pembunuhan dalam Masyarakat Adat di Pegunungan Buru Selatan T1 BAB I"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara hukum sesuai dengan apa yang disebutkan

dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-4 bahwa “ Indonesia adalah

negara hukum”. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan

konstitusional yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang

berdasarkan atas hukum, hukum ditempatkan sebagai satu-satunya aturan

main dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (supremacy of law).

Indonesia juga merupakan Negara dengan begitu banyak budaya,

agama, suku maupun adat istiadat. Kehidupan masyarakat Indonesia sangat

beragam khususnya masyarakat adat yang menggunakan hukum adat yang

sangat beraneka ragam antar satu masyarakat adat dengan adat lainnya

untuk mengatur kehidupan mereka dalam bermasyarakat untuk mencapai

kehidupan yang adil, makmur dan mencapai kesejahteraan. Sebagai Negara

yang menganut pluralitas termasuk dibidang hukum sampai saat ini masih

mengakui keberadaan hukum Barat dan Hukum adat, sehingga dalam

praktiknya sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk

mengelola ketertiban di lingkungan masyarakat adat. Sebagai Negara yang

majemuk dan memiliki bermacam adat dan budaya, termasuk hukum

adatnya masing-masing sangat mencerminkan pola dan tingkah laku

(2)

Penyelidikan Van Vollenhoven dan sarjana-sarjana lain membuktikan

bahwa wilayah hukum adat Indonesia itu tidak hanya terbatas pada wilayah

Republik Indonesia, yaitu terbatas pada kepulauan nusantara kita.1 Hukum adat di Indonesia itu tidak saja bersemayam dalam hati nurani perasaan

orang Indonesia yang jadi warga Negara (Republik) Indonesia (staatsrctelijk

Indonesier) di segala penjuru nusantara kita, tetapi juga tersebar dan

menjalar sampai-sampai di gugusan kepulauan Filipina dan Taiwan

disebelah Utara, di pulau Malagasi (Madagaskar) disebelah Barat Lautan

Hindia dekat pantai Afrika, dan berbatas disebelah Timur sampai dekat

Amerika Selatan dikepulauan Paas, dianut dan dipertahankan oleh orang

Indonesia yang termasuk golongan ethnologisch Indonesiel.2 Menurut Soepomo Dalam karyanya “beberapa catatan mengenai kedudukan hukum

adat “berpendapat bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis di

dalam peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan yang hidup

meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung

oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan

tersebut mempunyai kekuatan hukum3. Hukum di Indonesia adalah suatu keharusan dimana semua masyarakat yang berada dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia untuk melakukan aktivitasnya harus selalu menjadikan

hukum sebagai patokan atau batas-batas untuk bertindak maupun tidak

bertindak sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditetapkan, khususnya

hukum pidana yang didalamnya diatur mengenai tindakan-tindakan yang

1

Busyar Muhammad, SH., Pengantar Hukum Adat, PT. Penerbit dan Balai Buku

“Ichtiar”, jilid I, Cetakan Pertama, Jakarta, 1961, hlm. 39.

2

Ibid, Hal. 39.

3

(3)

tidak boleh dilakukan oleh masyarakat salah satunya adalah pembunuhan,

apabila ada masyarakat yang melakukan pembunuhan terhadap warga dalam

masyarakat maka akan dikenakan sanksi pidana.

Namun yang menjadi masalah serius yang ingin dikaji oleh penulis

adalah, dalam masyarakat Indonesia masih ada masyarakat yang hidup dan

menggunakan hukum adat sebagai patokan dan batas-batas untuk

masyarakat adat dalam bertindak dan melakukan hal-hal yang dilarang

dalam masyarakat adat tersebut, karena ada hukum adat dalam masyarakat

tersebut yang sudah dipakai selama turun temurun. Menurut Soepomo

dengan mengutip pendapat Soekanto, salah satu unsur yang menjadi dasar

sistem hukum adat adalah sifat kebersamaan yang kuat yang meliputi

seluruh lapangan hukum adat4.

Setelah Indonesia memasuki era reformasi dan pasca amandemen

kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD NRI 1945) ketentuan yang mengatur tentang hukum adat diatur

dalam asal 18B ayat (2), pasal tersebut berbunyi “Negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur

dalam Undang-Undang”5. Selain itu, dalam beberapa undang-undang juga mengatur pengakuan dan keberlakuan hukum adat, misalnya dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) dalam pasal

(4)

5 yang berbunyi “Hukum agrarian yang berlaku atas bumi, air dan ruang

angkasa ialah hukum adat hukum adat, sepanjang tidak bertentangan

dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan

bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan

perundangan lainnya, segala sesuatu yang tercantum dalam

Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu

dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.6 Hukum adat pada umumnya belum atau tidak tertulis yaitu kompleks

norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan masyarakat adat yang

selalu berkembang meliputi peraturan tingkah laku masyarakat adat dalam

kehidupan sehari-hari, senantiasa ditaati dan dihormati karena mempunyai

akibat hukum atau sanski. Menurut Cornelis van Vollenhoven, hukum adat

adalah himpunan peraturan tentang perilaku bagi orang pribumi dan Timur

Asing pada satu pihak mempunyai sanksi (karena bersifat hukum), dan pada

pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat)7. Hukum adat tersebut dapat diterapkan untuk menyelesaikan kasus

Pembunuhan dalam lingkungan masyarakat adat. Dalam keseharian mereka

hukum yang dipakai dalam masyarakat itu apabila terjadi pembunuhan

adalah “mata ganti mata, gigi ganti gigi” dalam bahasa daerah setempat

disebut dengan kata “Epkeret”, sanksi adat Epkeret ini sendiri lahir karena

adanya perbuatan yang didaerah setempat disebut dengan “Fah rahat

artinya pertumpahan darah harus dibalaskan dengan pertumpahan darah.

Fah rahat berasal dari dua kata yaitu Fahan artinya tangan dan rahan

6

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria

7

(5)

artinya darah, jadi secara harafiah artinya tangan yang menumpahkan darah.

Dengan kata lain orang yang melakukan pembunuhan (menumpahkan

darah) dalam konteks masyarakat adat setempat di sebut sebagai orang yang

melakukan Fah rahat, atau menumpahkan darah orang lain. Apabila terjadi

Fah rahat atau pembunuhan sepanjang belum ada penyelesaian maka pihak

korban terus berupaya untuk melakukan pembalasan.

Akibatnya lingkungan setempat tidak aman dan menimbulkan

ketidaktentraman dalam masyarakat. Untuk menciptakan perdamaian

diantara keluarga pelaku dan keluarga korban maka kedua belah pihak

membawa masalahnya kepada Tua-tua adat untuk diselesaikan. Untuk

sampai pada tingkat perdamaian, antara keluarga pelaku dan keluarga

korban maka didepan siding adat tua-tua adat memutuskan untuk membuat

penyelesaian menggunakan hukum adat “Epkeret” yaitu pihak pelaku

mendirikan seseorang pengganti di depan sidang adat atau mensubstitusikan

pengganti untuk keluarga korban, hukuman ini wajib untuk dijalankan

dalam artian apabila seorang warga masyarakat adat dibunuh oleh warga

masyarakat adat lain dalam komunitas masyarakat adat tersebut maka,

keluarga dari warga adat yang membunuh akan mengganti orang yang telah

dibunuh, apabila yang dibunuh laki-laki maka keluarga dari warga adat yang

membunuh harus mengganti seorang laki-laki, apabila perempuan harus

diganti dengan seorang perempuan di depan persidangan adat. Kata

Epkeret” sendiri berasal dari dua kata epak artinya mendekat keret

mendirikan secara harafiah mendekati keluarga korban untuk mendirikan

(6)

dilakukan untuk memulihkan hubungan antar warga adat dalam masyarakat

adat setempat, jika tidak dilakukan sanksi adat “Epkeret” maka, lambat atau

cepat akan ada suatu pembalasan dendam oleh keluarga korban yang

dibunuh dan hal ini akan terus berlanjut secara terus menerus sampai dengan

dijalaninya sanksi adat “Epkeret” Untuk mencegah terjadinya tindakan

pembalasan dendam maka sanksi adat “Epkeret” harus dijalankan, agar

hubungan antar warga dalam masyarakat adat di Pegunungan Buru Selatan

kembali berjalan dengan baik untuk menyudahi dendam dan permusuhan

antar warga dalam masyarakat adat.

Sanksi adat “Epkeret” memang diberikan kepada keluarga pelaku

pembunuhan oleh karena itu, orang yang mengganti (substitusi) harus

dipersiapkan dengan baik oleh keluarga pelaku, jika sudah disiapkan dengan

baik maka keluarga pelaku memberitahukan keluarga korban untuk

melakukan sanksi adat “Epkeret” yang dihadiri oleh Keluarga korban dan

keluarga pelaku, tua-tua adat, pemerintah, tokoh-tokoh agama dan

masyarakat. Semua ini dimaksudkan agar kedamaian dan kekeluargaan

yang ada dalam masyarakat tidak terganggu oleh pembunuhan. Oleh karena

itu, sanksi adat “Epkeret” adalah sebuah jalan damai untuk mengakhiri

permusuhan dan balas dendam antara pihak korban dan pelaku. Ketentuan

ini di pegang teguh oleh masyarakat adat setempat karena mengandung

pesan dan makna bahwa kematian akibat pembunuhan adalah penurunan

derajat kehidupan yang tidak bisa diterima begitu saja oleh pihak korban

dan karena itu harus dilakukan pembalasan untuk memulihkan derajat

(7)

Pemahaman masyarakat adat setempat bahwa pembalasan dendam

keluarga korban terhadap keluarga pelaku adalah bagian dari pemulihan

derajat kehidupan dari pihak keluarga korban. Pemberlakuan hukuman atau

sanksi adat “Epkeret” untuk Masyarakat adat di Pegunungan Kabupaten

Buru Selatan bertujuan meminta pertanggungjawaban bagi pelaku

pembunuhan atas perbuatannya oleh karena itu sanksi adat “Epkeret” adalah

hukuman yang memiliki nilai kemanusian karena manusia yang meninggal

(korban) diganti dengan manusia yang masih hidup. Selain sanksi adat

Epkeret” apabila keluarga pihak pelaku tidak memiliki orang pengganti,

maka dilakukan pembicaraan antara kedua belah pihak untuk menggantinya

dengan sanksi berikut yang oleh tua-tua adat setempat disebut, “Rahe nefu

terdiri dari dua kata yaitu Rahe artinya tanah dan nefu atau tefu artinya

tebusan. Dalam pengertian itu maka apabila sanksi “Epkeret” tidak

terlaksana maka kemudian dilakukan sanksi berikut adalah Rahe nefu yaitu

pihak pelaku akan menyerahkan sebidang tanah sebagai pengganti bagi

pihak korban. Tanah dapat diterima sebagai tebusan bagi sikorban, karena

dalam pemahaman masyarakat adat setempat tanah adalah asal mula

manusia. Selain itu diatas tanah tersebut dapat dilalukan banyak untuk

menopang kehidupan keluarga korban, dengan kata lain tanah yang

diberikan menjadi jaminan hidup bagi keluarga korban. Seperti diketahui

bahwa pergantian menggunakan tanah sebagai tebusan dilakukan melalui

musyawarah keluarga (marga) apabila disepakati maka yang menyerahkan

tanah kepada keluarga korban adalah kepala marga atau dalam bahasa

(8)

dan Rahe nefu dalam konteks masyarakat adat di daerah pegunungan Buru

Selatan masih dipelihara dan di pakai dalam penyelesaian kasus

pembunuhan. Ter Haar dalam pidato Dies Natalies Rechtshogeschool,

Batavia 1937, yang berjudul Het Adat recht van Nederlandsch Indie in

wetenschap, pracktijk en onderwijs, menurutnya hukum adat adalah seluruh

peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan dengan penuh

wibawa yang dalam pelaksanaannya “diterapkan begitu saja”, artinya tanpa

adanya keseluruhan peraturan yang dalam kelahirannya mengikat sama

sekali.8 Definissi Ter Haar tersebut kemudian dikenal dengan nama

beslissingenleer. menurut ajaran ini, hukum adat dengan mengabaikan

bagian-bagiannya yang tertulis (terdiri dari peraturan-peraturan desa,

surat-surat perintah raja) merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang

menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti

luas).9 Dalam Hukum adat keputusan diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan

anggota-anggota persekutuan adat.

Berkaitan dengan hukum yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat

yang sudah dilakukan secara turun temurun oleh warga masyarakat adat

yaitu hukum adat “ mata ganti mata, gigi ganti gigi “, atau dalam bahasa

setempat disebut dengan “Epkeret” yang lahir sebagai akibat dari perbuatan

“Fah rahat” atau pembunuhan dan melahirkan sanksi adat “Epkeret” yang

terjadi dalam masyarakat adat tersebut, jika dikaitkan dengan pasal 4

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

8

Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini,dan Akan Datang, Prenadamedia Group, Jakarta, Cetakan ke-1, 2014, hal. 4.

9

(9)

disebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan

pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,

hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak

untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak

manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh

siapapun. Itu berarti pengenaan sanksi adat “ Epkeret “, apakah dirasakan

adil bagi orang yang di dirikan selaku orang yang mengganti (substitusi)

untuk keluarga korban dalam hal pembunuhan yang dilakukan oleh anggota

keluarganya. Apakah orang yang menjadi pengganti korban pembunuhan,

dan yang akan menjadi pengganti ini terpenuhi seluruh aspek kehidupan

oleh keluarga yang akan menerimanya menjadi bagian dari keluarga yang

menerimanya, setelah adanya pengenaan sanksi “Epkeret” khususnya

dalam hal hidupnya, pendidikannya, maupun dalam hal-hal untuk tidak

diperbudak.

Terkait dengan masalah ini berbicara soal keadilan itu sangat relatif

dikarenakan salah satu pihak yang merasa dirugikan terhadap adanya

pembunuhan ini akan merasa sangat adil dengan adanya sanksi adat

“Epkeret” akan tetapi belum tentu dilain pihak akan merasa adil terhadap

pengenaan sanksi “Epkeret”. Memang diakui bahwa keadilan yang paling

tinggi adalah keadilan menurut hukum Tuhan, sementara disisi lain dan

keputusan yang diambil menurut manusia belum tentu juga menurut

masyarakat adat, keputusan peradilan adat efektif karena dampak putusan

dan sanksi sosial langsung dirasakan sebagai sesuatu yang adil. Sudah

(10)

tinggi tentang hukum maupun hukum adat sebagai hukum yang hidup dan

mempunyai kekuatan dalam hal kemanfaatan terhadap terjadinya tindakan

pencegahan pembalasan dendam dari pihak yang anggota keluarganya

menjadi korban. Persoalan kemudian adalah apakah dengan adanya

pencegahan pembalasan dendam akan berlaku keadilan bagi yang menjalani

sanksi “Epkeret”. Terkait dengan penerapan sanksi Epkeret diatas maupun

Rahe nefu, memang ada hal yang positif yakni para pihak menyadari bahwa

setiap perbuatan yang menghilangkan nyawa orang lain bertentangan

dengan hukum dan karena itu penuh dengan resiko baik moral maupun

materiil.

Berkaitan dengan alasan-alasan yang dikemukakan di atas maka

penulis terdorong untuk melakukan kajian terhadap Penggunaan Sanksi adat

dalam masyarakat adat yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan

mengangkat judul “PENGENAAN SANKSI ADAT “EPKERET”

TERHADAP KASUS PEMBUNUHAN DALAM MASYARAKAT ADAT

DI PEGUNUNGAN BURU SELATAN”

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka penulis mencoba merumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Apa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, dari penerapan konsep

Restorative Justice terkait dengan eksistensi hukum adat terhadap

Pengenaan sanksi adat “Epkeret“ terhadap kasus pembunuhan dalam

(11)

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum terhadap

pengenaan sanksi adat “Epkeret“ terhadap kasus Pembunuhan dalam

Masyarakat Adat di Pegunungan Buru Selatan, dengan konsep Restoratif

Justice.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan mampu memberikan

sumbangan pengetahuan dalam bidang ilmu hukum, terkait dengan hukum

yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang sudah secara turun

temurun ditaati yaitu adanya Pengenaan Sanksi Adat “ Epkeret “ terhadap

kasus pembunuhan dalam masyarakat adat di pegunungan Buru Selatan.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bukan hanya untuk

menambah pengetahuan untuk masyarakat adat di pegunungan Buru

Selatan, akan tetapi juga untuk menambah pengetahuan untuk setiap orang

yang membaca penelitian ini, untuk dapat lebih memahami hukum adat

yang berkembang dan bertumbuh di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan harapan bahwa kehidupan masyarakat adat daerah pegunungan

Buru Selatan lebih memahami pentingnya kehidupan yang lebih baik antar

(12)

adanya pengenaan sanksi “Epkeret“ yaitu adanya pergantian orang,

sebagai akibat dari pembunuhan.

E. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu :

1. Pendekatan yang digunakan

Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

pendekatan Yuridis-sosiologis artinya suatu penelitian yang dilakukan

terhadap keadaan nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan

maksud dan tujuan untuk menemukan fakta (fact-finding), yang kemudian

menuju pada identifikasi (problem-identification),dan menggambarkannya

(to describe).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hukum yang tumbuh dan

berkembang secara turun temurun dalam masyarakat adat Pegunungan

Buru Selatan yang selama ini menjadi pedoman untuk bagaimana

masyarakat adat untuk bertindak, dan juga sanksi yang dikenakan apabila

ada pelanggaran terhadap apa yang sudah menjadi batasan untuk suatu

perbuatan, yaitu Pengenaan Sanksi Adat “Epkeret” terhadap Kasus

Pembunuhan dalam Masyarakat Adat Pegunungan di Buru Selatan.

2. Jenis Penelitian

Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yaitu penelitian

yang memberikan gambaran rinci tentang fakta-fakta tentang hukum yang

(13)

dengan pidana adat. Penelitian deskriptif sendiri adalah penelitian yang

bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan

pada saat tertentu.10

3. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis Data

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara dan

penelitian secara langsung dengan pihak-pihak terkait dalam

penelitian ini agar dapat memperoleh data-data akurat dan konkret

mengenai masalah penelitian. Dalam hal ini Matgugul

(raja tanah), Kepala Soa, tua-tua adat, orang yang didirikan sebagai

pengganti, pelaku, keluarga korban, pemerintah, dan pihak

Kepolisian).

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi

kepustakaan terhadap berbagai macam literatur yang berkaitan

dengan tujuan penelitian seperti dokumen, artikel, buku-buku,

kamus-kamus hukum, sumber lainnya yang berkaitan dengan

masalah dan tujuan penelitian.

2. Sumber Data

a. Penelitian Pustaka (library research), yaitu menelaah berbagai

buku, artikel, jurnal-jurnal hukum, dan artikel yang berkaitan

dengan masalah dan tujuan penelitian.

10

(14)

b. Penelitian Lapangan (field research), yaitu pengumpulan data

dengan mengamati secara sistematis fenomena-fenomena yang

diselidiki.

4. Teknik Pengumpulan Data

a.Studi Kepustakaan

Penelitian ini dilakukan dengan membaca serta mengkaji

berbagai macam literatur yang relevan dan berhubungan langsung

dengan masalah penelitian yang dijadikan sebagai landasan teoritis.

b.Wawancara

Wawancara dimaksud untuk memperoleh keterangan,

pendirian, pendapat, secara lisan dari seseorang (yang lazim

disebut dengan responden) dengan berbicara langsung (face to

face) dengan orang tersebut.11 Wawancara ini ditujukan kepada tokoh-tokoh adat, masyarakat adat serta pihak-pihak yang terkait

dengan masalah penelitian

11

(15)

F. SISTEMATIKA PENULISAN

1. BAB I : PENDAHULUAN. Pada bab ini berisikan urain orientasi tentang

penelitian yang akan dilakukan, meliputi :

a. Latar belakang Masalah

b. Rumusan Masalah

c. Tujuan Penelitian

d. Manfaat Penelitian

e. Metode Penelitian

2. BAB II : Bab ini berisikan uraian pembahasan atau analisis terhadap

permasalahan penelitian. Penulis akan menguraikan hasil dari analisa

tentang kasus yang dipelajari, yaitu tentang Pengenaan sanksi adat

“Epkeret” terhadap kasus Pembuhunan dalam Masyarakat Adat di

Pegunungan Buru Selatan.

3. BAB III : Bab ini berisikan tentang Kesimpulan dan Saran penulis.

Referensi

Dokumen terkait

Kepada peserta lelang yang keberatan dengan Pengumuman ini diberikan kesempatan untuk menyampaikan sanggahan melalui aplikasi SPSE kepada Pokja III Unit Layanan

Net yang dipergunakan dalam permainan tenis meja biasanya terbuat dari nilon atau bahan lain yang sejenis, biasanya berwarna hijau tua dan di bagian sisinya dilapisi dengan kain

Further utilization of after-TPA performance profile (Teacher Performance Assessment) is made Continuous Professional Development (CPD) activity which include

Tujuan yang diharapkan dari penelitian dan pengembangan ini adalah untuk menghasilkan produk bahan ajar matematika berupa lembar kerja siswa SMP/MTs pada materi

Salah satu syarat pembangunan sebuah villa berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Barat Nomor 1 Tahun 2016 tentang Bangunan Gedung yaitu harus memiliki

Upacara-upacara hari besar yang lain dilakukan dengan cara yang hampir sama, yang berbeda hanya perubahan di dalam membaca paritta, yang mana semuanya telah diatur dalam

variabel komunikasi word of mouth terhadap minat guna jasa ulang dapat diterima, karena memenuhi syarat diatas 1,96 untuk CR dan dibawah 0.05 untuk nilai P,

Abstrak: Penggunaan teknologi mekanisasi pertanian oleh petani saat ini sangat pesat perkembangannya mulai dari pekerjaan membajak sawah sampai panen. Salah satu pengembangan