• Tidak ada hasil yang ditemukan

Susanto Karthubij Perkembangan Teori Kom

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Susanto Karthubij Perkembangan Teori Kom"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010 1

PERKEMBANGAN TEORI KOMUNIKASI DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI

Susanto Karthubij1

Abstrak

This article talks about the diversity of perspective which underpins the science of communication as a discipline. as widely known, in its development, science communication is built from various fields of science that has developed first. one perspective noteworthy is the anthropology - the emphasis on diversity and human groupings based on certain categories. in the communications field, anthropology has an important position because of its ability to provide an adequate explanation for the development of communication from various human groups, even of civilization, from time to time.

Keywords: perspective, anthropology, communication theory

Pendahuluan

Wilbur Schramm, salah satu yang dianggap sebagai founding father ilmu

komunikasi pernah mengandaikan bahwa ilmu ini layaknya sebuah oase di gurun

pasir; banyak kafilah yang datang, pengembara yang melintas, namun sedikit saja

yang memutuskan untuk tinggal (1980). Pengandaian ini salah satunya dimaknai

betapa ilmu komunikasi merupakan bidang yang hiruk pikuk oleh berbagai

disiplin dan persepktif untuk pada gilirannya menemukan state of the art.

Perspektif adalah cara untuk melihat atau memandang fenomena tertentu

(Miller, 2005: 1). Sementara Griffin (2003: 475) melihat perspektif merupakan

istilah yang semakna dengan standpoint, viewpoint, outlook, dan position. Semua

istilah ini mengarahkan pada sebuah lokasi khusus dalam ruang dan waktu di

mana pengamatan dilakukan dengan mengacu pada nilai-nilai atau sikap-sikap

1

(2)

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010 2 tertentu; sebuah tempat dalam ruang dan waktu untuk memandang dunia di sekitar

kita. Sedang Littlejohn (2002: 165), mengutip Barnett Pearce, mengartikan

perspektif sebagai satu cara melihat atau memikirkan sesuatu. Dari beberapa

sumber di atas, saya memahami perspektif sebagai cara memandang suatu

fenomena berdasarkan kerangka konsep atau nilai dalam konteks ruang dan waktu

tertentu.

Berdasar pemahaman ini, maka bisa diuraikan lebih lanjut bahwa

perspektif memiliki unsur seperti cara pandang yang paling pokok, nilai atau sikap

serta konteks ruang dan waktu yang membedakannya dari perspektif yang lain

terhadap setiap sesuatu yang tengah dihadapinya. Selanjutnya, perspektif

berfungsi memberikan landasan pijak maupun yang menentekan dari sisi mana

suatu fenomena akan dipandang, atau memberikan “kacamata” yang nantinya

menentukan akan seperti apa fenomena itu dilihat.

Perspektif berbeda dari definisi maupun teori. Teori, dalam kata-kata yang

digunakan Littlejohn (2002: 19) adalah seperangkat konsep dan penjelasan yang

terorganisir atas suatu fenomena tertentu. Bila demikian adanya, yang

membedakan perspektif dari teori adalah bahwa teori merupakan

penjelasan-penjelasan maupun konseptualisasi dari fenomena yang diamati, sehingga teori di

dalamnya berisi tentang, misalnya penjelasan relasi antarkonsep maunpun

antarfenomena. Adapun perspektif tidaklah menjelaskan relasi itu, namun lebih

menyediakan cara pandang ketika berhadapan dengan suatu fenomena.

Adapun Miller (2005: 3) mengatakan bahwa orang mendefinisikan istilah

(3)

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010 3 dapat mempunyai dampak yang besar terhadap apa yang kita pahami terhadap

masalah itu. Sebuah definisi, lazimnya tidak melihat salah atau benar. Atau pun

mengklaimnya sebagai satu-satunya definisi yang benar, melainkan bagaimana

tekanan dan cakupan yang diberikan di dalamnya. Sebuah definisi mencakup

suatu aspek, tetapi mengabaikan aspek lainnya. Singkatnya, definisi memberikan

penjelasan atas fenomena, sedangkan persepktif menawarkan bagaimana

fenomena harus dilihat.

Menggunakan definisi yang digunakan Koentjaraningrat (2002: 15),

antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman

fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang

dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.

Definisi ini menekankan pada keanekaragaman untuk kemudian

mengelompokkan manusia berdasarkan persamaan-persamaan tertentu

berdasarkan fisik maupun kebudayaannya itu. “Keanekaragaman” itulah yang

dijadikan perspektif antropologi dalam tulisan ini.

Ada empat subdisiplin antropologi, yaitu (1) Biological/Physical

Anthropology, yang mencakup subdisiplin anthropometrics, forensic

anthropology, osteology, dan nutritional anthropology; (2) Socio/cultural

Anthropology, yang mencakup psychological anthropology, folklore,

anthropology of religion, ethnic studies, cultural studies, anthropology of media

and cyberspace, dan study of the diffusion of social practices and cultural forms;

(3) Archaeology, mencakup prasejarah dan masa awal kebudayaan,

(4)

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010 4 mengangkat, menentukan umur dan analisis terhadap materi yang berasal dari

masyarakat di masa lalu; dan (4) Linguistic Anthropology, menekankan pada arti

penting pengaruh sosiokultural, komunikasi nonverbal, dan struktur, fungsi serta

sejarah dari bahasa, dialek, pidgins, dan creoles. Termasuk dalam subdisiplin ini

adalah anthropological linguistics, sociolinguistics, cognitive linguistics,

semiotics, discourse analysis, dan narrative analysis.

Perkembangan Teori Komunikasi

Menarik bahwa dalam berbagai agama, genesis (proses penciptaan awal

manusia) kerap dijelaskan dengan perspektif antropologi komunikasi yang kental.

Ada mufasir – ahli tafsir Al Qur’an – yang melihat bahwa sebenarnya yang

menentukan Adam sebagai manusia pertama adalah kemampuannya untuk

melakukan komunikasi. Ini bisa dilihat dalam Al Qur’an Surat Al Baqoroh (2:

30-33), bahwa ketika diciptakan, Tuhan “mengajarkan kepada Adam nama-nama

(benda-benda) seluruhnya” (ayat 31, garis miring dari saya).

“Nama-nama” merupakan terjemahan dari kata asmâ’, bentuk plural dari

ism, yang dalam bahasa Inggris adalah sign atau symbol. Dari sini kemudian

diartikan bahwa Adamlah yang pada mulanya memiliki kemampuan untuk

memproduksi sistem tanda.

Dengan sistem penandaan yang dibuatnya itu, dimungkinkan bagi

“spesies” Adam ini untuk berkomunikasi, mengembangkan pengetahuan,

mengkonservasi pengalaman untuk ditransformasikan kepada individu atau

(5)

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010 5 yang hidup sesudahnya. Atas dasar itulah maka, secara antropologi lingusitik,

Adam menjadi “manusia pertama” dalam pengertian “manusia sempurna” (homo

sapiens) pertama, karena kemampuannya menggunakan sistem tanda itu.

Selanjutnya akan dijelaskan perspektif antropologi perkembangan ilmu

komunikasi dalam beberapa periode yang dikenal sampai saat ini.

1. Tahap Awal sampai Tahun 1930-an.

Periode ini merupakan gabungan dari fase fragmentasi sebagaimana yang

dibuat oleh Delia (1900-1940) dan fase awal (early communication study) dan

perkembangan speech & journalisme tahun 1900 – 1930-an menurut Ruben dan

Davis. Berikut ini adalah beberapa hal yang menarik dari masa itu untuk dilihat

dari perspektif antropologi.

Ruben dan Davis (hal. 22) menjelaskan bahwa masa Yunani merupakan

era demokrasi awal, di mana telah dikembangkan bentuk pemerintahan

demokratis. Berbagai bidang kehidupan masyarakat, mulai dari bisnis,

pemerintahan, hukum dan pendidikan kesemuanya disampaikan secara oral. Atas

dasar itulah, maka mulai berkembang retorika sebagai bentuk persuasi.

Secara arkeologis, artefak maupun situs dari zaman Yunani yang sampai

sekarang masih ada tampaknya memang menunjukkan suasana demokrasi

berbasis komunikasi oral itu. Misalnya bila kita melihat susunan ruang senat di

Atena yang formasi tempat duduk dibuat melingkar (radial) dan berundak.

Dengan susunan yang demikian, maka pembicaraan di dalam forum senat ini

memungkinkan untuk terjadinya suasana yang dialogis di antara para senator. Ini

(6)

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010 6 adanya relasi kekuasaan tertentu. Pada keraton di Jawa, misalnya, ruang

sitihinggil yang menjadi pertemuan antara raja dengan rakyat merupakan ruangan

segi empat di mana ada satu kursi (singgasana) raja, sementara di arah yang

berlawanan adalah tempat kawula (rakyat) yang ngléséh (duduk tampa kursi dan

alas) di bawah raja. Ini tentu mencerminkan suasana yang feodalistik.

Sistem hukum saat itu juga sudah mengenal pengadilan dengan pembela

dan juri yang jumlahnya sampai ratusan (ibid.: hal. 22). Pengaduan dan gugatan

hukum merupakan hal yang sudah lazim. Bagi pembela, misalnya,

kemampuannya melakukan public speaking menjadi persyaratan mutlak. Itulah

mengapa retorika kemudian menarik minat banyak orang untuk mempelajarinya.

Tradisi komunikasi lisan yang kuat juga ditunjukkan dengan banyaknya

ditemukan folklore yang berasal dari masa ini. Wujudnya adalah mitologi Yunani.

Sampai sekarang, mitos yang berasal dari dari masa masih digunakan secara luas,

utamanya digunakan untuk memberikan istilah bagi fenomena tertentu. Di dalam

psikologi, misalnya muncul konsep oedipus complex dan narcisme untuk

menggambarkan kejiwaan yang mencintai ibu dan mengagumi diri sendiri secara

berlebihan. Mitologi tentang Kotak Pandora dan Kuda Troya sering digunakan

dalam, meski tidak terbatas hanya, dunia politik.

Pada masa kekaisaran Romawi berbeda lagi. Situasi politik yang

berkembang bukan lagi demokratis, melainkan aristokrasi dengan orientasi

emperium dan ekspansi wilayah. Persuasi masih menjadi sesuatu yang penting,

(7)

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010 7 politik dan hukum ditentukan sepenuhnya oleh kaisar, namun berpindah ke dalam

teater. Karenanya, wujud persuasi adalah drama.

Colosseum merupakan bentuk ‘teater’ yang menarik untuk diperhatikan

dalam hubungannya dengan komunikasi. Colosseum adalah tempat

penyelenggaraan sebuah “drama” pertunjukan yang spektakuler, yaitu sebuah

pertarungan antara binatang (venetaiones), pertarungan antara tahanan dan

binatang, eksekusi tahanan (noxii), pertarungan air (naumachiae) dengan cara

membanjiri arena, dan pertarungan antara gladiator (munera). Namun sebenarnya

tempat ini juga merupakan tempat berlangsungnya drama politik di mana kaisar

hendak menunjukkan kekuasaan dengan memberikan pertunjukkan yang sering

bersifat intimidatif kepada rakyatnya. Ini, sekali lagi menunjukkan bahwa retorika

menjadi bentuk komunikasi yang penting pada masa itu.

Baik pada masa Yunani maupun Romawi, mengingat pentingnya retorika

bagi kepentingan publik, patut diduga telah dikembangkan menu-menu atau

nutrisi tertentu (nutritional anthropology) yang dimaksudkan untuk menghasilkan

suara yang lantang, sehingga akan menopang keberhasilan retorika. Dugaan ini

diajukan karena di Jawa, para pesinden (penyanyi) yang mengiringi karawitan

dalam pementasan kesenian tradisional seperti wayang kulit atau ketoprak,

melakukan diet atau konsumsi makanan tertentu. Di samping juga ada perlakuan

tertentu terhadap organ vokal. Misalnya dengan melakukan gurah (mengeluarkan

lendir dari rongga dada melalui hidung dengan ramuan tertentu) secara rutin untuk

(8)

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010 8 Kajian komunikasi meredup pada era Pertengahan dan Pencerahan,

disebabkan memudarnya sistem demokrasi dan tradisi oral. Bahkan pada akhir

abad ke-14, di mana teori komunikasi sebelumnya dikembangkan dalam retorika,

sekarang dikaji sebagai bidang keagamaan.

Namun demikian, gagasan Habermas (1989) tentang ruang publik di Eropa

pada masa ini memiliki warna antropologi yang kental. Ketika ia berbicara

tentang transformasi ruang publik pada masyarakat borjuis Eropa pasca revolusi

industri, ia melihat bahwa kehadiran pers ternyata telah menggeser keberadaan

ruang publik itu.

Sebelumnya, demikian Habermas, ruang komunikasi publik terletak di

saloon dan coffee house. Di situlah diskusi, perdebatan dan pembentukan opini

atas isu-isu publik terjadi. Orang datang ke bar tidak sekadar untuk berkumpul,

namun juga untuk mendiskusikan isu politik, misalnya, yang sedang berlangsung.

Persuasi dan retorika, karenanya, terjadi dalam komunikasi oral di tempat itu.

Kehadiran media massa pers kemudian merubah pola komunikasi yang

demikian. Perdebatan politik tidak lagi dilakukan di tempat “tradisional” semacam

itu, namun bergeser ke media massa. Koran memfasilitasi pembentukan opini

publik dalam skala ruang yang lebih luas.

2. Era Tahun 1940-1950

Oleh Ruben, masa ini disebutnya sebagai “interdisciplinary growth” bagi

(9)

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010 9 ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu sosial turut mengembangkan teori

komunikasi yang melampaui batas ilmu asal mereka.

Perspektif antropologi yang digunakan pada masa ini misalnya adalah

ketika dikembangkan riset tentang posisi dan jarak tubuh dan gesture dalam

kebudayaan tertentu, yang kemudian dikenal dengan expectancy violations theory.

Kebudayaan yang berbeda akan menafsirkan jarak personal secara berbeda pula.

Judee Burgon, misalnya, mendefinisikan ruang personal (personal space) sebagai

ruang yang diinginkan oleh individu untuk menjaga jarak dengan orang lain.

Menurutnya, ukuran dan bentuk personal space itu ditentukan oleh norma budaya

dan kehendak individu.

Di sisi lain, Edward Hall, antropolog dari Illinois Institute of Technology,

menggunakan istilah proxemic untuk menyebut penggunaan jarak sebagai

elaborasi budaya. Interpretasi akan jarak ini, menurutnya, merupakan sesuatu

yang tidak disadari oleh individu. Ia mengidentifikasi ada empat jarak proxemic

dalam budaya Amerika, yaitu intimate (0-18 inci), personal (18 inci – 4 kaki),

sosial (4-10 kaki), dan publik (lebih dari 10 kaki).

Riset antropologi terhadap bidang komunikasi semacam itu sudah

dilakukan oleh berbagai ahli dari disiplin lain, meski tidak memiliki label sebagai

penelitian komunikasi.

3. Era Tahun 1960-an

Era ini disebut sebagai era integrasi yang ditandai oleh adanya sintesis

(10)

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010 10

sosial lainnya. Gejala komunikasi menjadi perhatian penting dalam berbagai

disiplin ilmu.

Dalam pendapat Baran & Davis (hal. 26), salah satu karya yang menjadi

landmark bagi era ini adalah Diffusion of Innovation (Rogers, 1962) yang

berbicara tentang teori difusi, yaitu penjelasan tentang bagaimana proses gagasan

baru dan inovasi teknologi dikenalkan sampai diadaptasi oleh kelompok,

organisasi atau masyarakat.

Munculnya teori difusi ini tampaknya menjadi penanda penting integrasi

ilmu komunikasi dengan ilmu-ilmu lain, utamanya bila melihat situasi era itu yang

sudah memasuki ketegangan politik dan ideologi blok-blok yang terlibat dalam

Perang Dingin di satu sisi, dan menguatnya paradigma pembangunan

(developmentalisme) dalam bidang ekonomi dan sosial negara-negara yang baru

terlepas dari penjajahan dan cenderung terpengaruh oleh Blok Barat dalam peta

Perang Dingin itu.

Selain teori difusi, yang juga dipublikasi dengan nafas sejenis adalah

misalnya tulisan Daniel Lerner (1958), The Passing of Traditional Society:

Modernizing the Middle East, terjemahan Indonesia berjudul Memudarnya

Masyarakat Tradisional (1983) yang berbicara tentang bagaimana modernisasi

dalam masyarakat di Timur Tengah salah satunya ternyata dipengaruhi oleh

(media) komunikasi yang berkembang di tengah masyarakat.

Dari perspektif antropologi, kedua tema itu, yaitu difusi dan modernisasi,

melihat bahwa masyarakat dengan kebudayaan beserta nilai yang dihayatinya

(11)

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010 11

perubahan sosial (termasuk pembangunan) hanya berhasil bila aspek kebudayaan

ini diperhatikan secara sungguh-sungguh.

Dalam teori difusi, misalnya, pola dan jenis kepemimpinan ternyata

mempengaruhi kesediaan anggota kelompok untuk melakukan adopsi dan inovasi

tertentu. Sementara dalam proses modernisasi, sebagaimana dijelaskan Lerner,

aspek kebudayaan setempat bisa dipengaruhi oleh kehadiran media komunikasi

tertentu. Media bisa dimanfaatkan untuk melakukan perubahan sosial.

Koentjaraningrat (1990) menyebut hal yang demikian semacam memiliki warna

antropologi terapan dan antropologi pembangunan – menggunakan pemahaman

antropologis untuk perlakuan tertentu, termasuk perubahan sosial dan

pembangunan.

Pada era ini juga, dalam catatan Baran dan Davis, mulai dikembangkan

antropologi lingusitik, sekaligus mengemuka apa yang dikenal sebagai

komunikasi antarbudaya (intercultural communication).

4. Era Tahun 1970-an hingga Awal Tahun 1980-an

Era ini merupakan era pertumbuhan dan spesialisasi, di mana dalam ilmu

komunikasi muncul bidang semacam komunikasi kelompok, komunikasi

organisasi, komunikasi politik, komunikasi internasional dan komunikasi

interkultural. Demikian juga profesi di dalam bidang komunikasi. Pertumbuhan

industri komunikasi dan media yang mulai melebar juga terjadi di era ini.

Pendekatan antropometrik dari antropologi menemukan relevansinya

(12)

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010 12

paling pervasif di masa itu, menggunakan ukuran-ukuran tertentu untuk

menempatkan orang pada posisi tertentu. Untuk presenter, misalnya, ukuran tinggi

badan menjadi penting. Demikian juga bentuk wajah yang camera-face. Untuk

itu, kemudian dikembangkan oleh para ahli tentang perbandingan ukuran dan

proporsi antara, misalnya, hidung, mata, kening dan pipi. Kemenarikan, kemudian

ditentukan oleh keseimbangan hasil pengukuran tadi.

Tidak hanya dalam industri visual, pendekatan ini juga diterapkan dalam

komunikasi pemasaran dan public relations, misalnya. Bahwa mereka yang ada

pada lini untuk melakukan penjualan langsung (direct selling), semacam sales

promotion girls, atau yang ada pada posisi untuk melakukan layanan dengan

konsumen (misalnya front officer) memerlukan bentuk tubuh yang sesuai dengan

ketentuan antropometri yang dikembangkan tadi. Dan ternyata itu berhubungan

dengan ras atau suku tertentu. Katakanlah bahwa suku tertentu “menghasilkan”

tubuh dengan kriteria tertentu, dan karenanya sesuai dengan profesi tertentu.

Pendekatan ini tampaknya merupakan elaborasi lebih jauh dari apa yang

disampaikan Aristoteles dalam Rhetoric ribuan tahun yang lalu tentang prior

ethos. Menurutnya, salah satu keberhasilan dari proses komunikasi adalah

kemampuan komunikator untuk membangkitkan minat awal dari lawan

komunikasinya. Dan itu bisa dilakukan salah satunya dengan menunjukkan kesan

baik dalam proses inisiasi komunikasi. Dalam bahasa yang popluer dalam

psikologi, ini disebut sebagai “hello effect” yang membangkitkan kesan pertama

(13)

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010 13

5. Era Tahun 1980-an hingga Sekarang

Era ini, oleh Baran & Davis, disebutnya sebagai era informasi (the

information age), meski Toffler (1992) menyebut era informasi ini sudah mulai

berkembang sejak tahun 1960-an. Era ini ditandai oleh besarnya peran yang

dimainkan oleh teknologi komunikasi dan informasi dalam masyarakat. Besarnya

peran itu salah satunya disebabkan oleh terjadinya konvergensi media dan

teknologi, yang muncul dalam berbagai bentuk teknologi hibrida yang

memungkinkan perubahan sedemikian rupa dalam komunikasi yang dilakukan

oleh umat manusia. Sebagian juga melihat era ini sebagai globalisasi – sebuah

konsekuensi dari perkembangan pervasif teknologi komunikasi itu.

Perspektif antropologi di era ini nampak pada beberapa penelitian yang

mengeksplorasi berbagai masyarakat dalam berbagai bangsa, ras dan suku ketika

mereka mulai bersentuhan dengan teknologi komunikasi ini.

Jurnal Insight (2007) yang mengusung tema “Mobile Phone and

Development: The Future in New Hand?” menurunkan laporan tentang

bagaimana kebudayaan di berbagai negara beradaptasi dengan telepon genggam

(HP). Di Nigeria, misalnya, HP sudah memasuki sektor informal ekonomi, namun

secara bersamaan juga ternyata mempertajam ketidaksetaraan yang ada di tengah

masyarakat. Sementara di Bangladesh, penetrasi HP juga memasuki wilayah

kaum wanita di pedesaan, dan itu memberikan akses bagi mereka terhadap gaya

hidup keseharian mereka. Di Zambia, sebagaimana di Nigeria, penggunaan HP di

kalangan perempuan ternyata justru memperkuat ketidaksetaraan gender di antara

(14)

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010 14

pendapatan rumah tangga, bersamaan dengan implementasi mobile-banking di

negara itu. Fenomena yang sama terjadi si Afrika Selatan, Kenya dan Pilipina.

Menarik juga sebuah penelitian tentang “antropologi ciuman” yang

dilakukan oleh Martin Salma berjudul “Transformasi Keintiman di Indonesia?

Sebuah Kajian Awal tentang Ciuman”. Tampaknya, di Indonesia dulu ciuman

dengan mulut atau dari mulut ke mulut memang kurang biasa. Karya sastra

Nusantara yang klasik seperti Serat Centhini, yang sering disebut Kamasutra-nya

orang Jawa, atau buku-buku Primbon, seperti “Seks Para Pangeran, Tradisi dan

Ritualisasi Hedonisme Jawa”, memang bermacam-macam teknik bermesraan

untuk menggoda seorang kekasih. Bagaimanapun, ciuman mulut jarang ditemui

dalam karya-karya tersebut, melainkan yang ramai digambarkan adalah ciuman

pipi, alis, mata, dada, telinga dan sebagainya, yang barangkali juga dilakukan

dengan hidung (sebenarnya “membau”, namun bisa saja difahami “mencium

secara erotik dengan hidung”).

Bagi orang Eropa yang pertama memasuki wilayah Asia Tenggara,

berciuman dengan hidung merupakan hal yang asing, sehingga mereka

menamakannnya “the Malay kiss”. Sebagaimana ada istilah “French kiss” untuk

ciuman lidah, “the Malay kiss” menggambarkan ciuman hidung.

Di Indonesia orang yang berciuman adalah hal yang kontroversial – baik

dewasa ini maupun di masa lalu. Namun, meskipun di Indonesia kita jarang

melihat orang berciuman di tempat umum, ciuman tetap muncul di publik melalui

representasinya di televisi dan film. Barangkali baru lewat film ciuman mulut

(15)

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010 15

dalam film Ada Apa Dengan Cinta, Buruan Cium Gue. Penelitian itu kemudian

menunjukkan bahwa media, baik berupa fim, televisi, majalah atau buku,

kemudian merubah pandangan orang Indonesia tentang ciuman mulut yang lantas

dianggapnya sebagai normal atau biasa saja. Globalisasi mentransformasi ciuman.

Itulah tesis antropologisnya.

Sementara prediksi Prof. T. Jacob, salah satu antropolog terkemuka

Indonesia, yang mengajukan tesis bahwa bisa jadi suatu saat manusia bisa jadi

akan memiliki ukuran jemari tangan yang membesar sebagai adaptasi fisiologis

atas penggunaan teknologi saat ini yang frekuensi menekan gadget dengan jemari

sangat tinggi juga menarik untuk diperhatikan.

Kesimpulan

Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dari segi

keanekaragaman fisik serta kebudayaan yang dihasilkan sehingga setiap manusia

satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Dijelaskan perspektif antropologi

perkembangan ilmu komunikasi dalam beberapa periode yang dikenal sampai saat

ini yaitu periode tahap awal sampai tahun 1930-an, periode tahun 1940-1950,

periode tahun 1960-an, periode tahun 1970-an hingga awal tahun 1980-an serta

era tahun 1980-an hingga sekarang.

Periode awal sampai tahun 1930-an merupakan gabungan dari fase

fragmentasi sebagaimana yang dibuat oleh Delia (1900-1940) dan fase awal (early

communication study) dan perkembangan speech dan journalism tahun 1900 –

(16)

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010 16

dimana telah dikembangkan bentuk pemerintahan demokratis dimana didominasi

komunikasi secara oral. Atas dasar itulah, maka mulai berkembang retorika

sebagai bentuk persuasi. Demikian halnya dengan era Romawi yang bernuansa

aristokrasi dengan orientasi emperium dan ekspansi wilayah. Persuasi masih

menjadi sesuatu yang penting walau keputusan politik dan hukum di tangan

Kaisar. Wujud persuasi adalah drama.

Selanjutnya, periode tahun 1940-1950 dimana di masa ini disebut sebagai

“interdisciplinary growth” bagi perkembangan ilmu komunikasi. Yang mencirikan

adalah munculnya sejumlah ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu sosial turut

mengembangkan teori komunikasi yang melampaui batas ilmu asal mereka.

Perspektif antropologi yang digunakan pada masa ini misalnya adalah ketika

dikembangkan riset tentang posisi dan jarak tubuh dan gesture dalam kebudayaan

tertentu yang kemudian dikenal dengan expectancy violations theory.

Kemudian adalah era tahun 1960-an. Era ini disebut sebagai era integrasi

yang ditandai oleh adanya sintesis pemikiran dari retorika, jurnalistik dan media

massa dengan disiplin dari ilmu sosial lainnya. Gejala komunikasi menjadi

perhatian penting dalam berbagai disiplin ilmu. Salah satu karya yang menjadi

landmark bagi era ini adalah Diffusion of Innovation yang berbicara tentang teori

difusi, yaitu penjelasan tentang bagaimana proses gagasan baru dan inovasi

teknologi dikenalkan sampai diadaptasi oleh kelompok, organisasi atau

masyarakat.

Selanjutnya, era tahun 1970-an hingga awal tahun 1980-an merupakan era

(17)

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010 17

semacam komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi politik,

komunikasi internasional dan komunikasi interkultural. Demikian juga profesi di

dalam bidang komunikasi. Pertumbuhan industri komunikasi dan media yang

mulai melebar juga terjadi di era ini.

Dan terakhir, era tahun 1980-an hingga sekarang dimana disebut sebagai

era informasi (the information age). Era ini ditandai oleh besarnya peran yang

dimainkan teknologi komunikasi dan informasi dalam masyarakat. Perspektif

antropologi di era ini nampak pada beberapa penelitian yang mengeksplorasi

berbagai masyarakat dalam berbagai bangsa, ras dan suku ketika mereka mulai

bersentuhan dengan teknologi komunikasi ini.

Daftar Pustaka

Baran, Stanley dan Dennis K. Davis. (2000). Mass Communication Theories:

Foundation, Ferment, and Future. 2nd edition. Belmont, CA: Wadsworth. Dahlan, Alwi (1997). “Pemerataan Informasi, Komunikasi dan Pembangunan”,

Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, 5

Juli 1997.

---, “The Dynamics of Information Sharing” dalam Under Asian Eyes, tahun dan penerbit tidak diketahui (hanya dalam bentuk fotokopi satu tulisan). Edelstein, Alex. (1983). “Communication and Culture: The Value of Comparative

Studies”, dalam Ferment in the Field, Journal of Communication, Vol. 33 Number 3.

Communication., 7th and 8th edition. Belmont, CA: Wadsworth.

McManus, John. (1994). Market Driven Journalism: Let The Citizen Beware. New Delhi: Sage Publications.

(18)

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010 18

---. (2005). McQuail’s Mass Communication Theory. 5th edition. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications.

Rogers, Everett M. (1997). A History of Communication Study: A Biographical

Approach. New York: The Free Press.

White, Robert A. (1983). “Mass Communication and Culture: Transition to A New Paradigm”, dalam Ferment in the Field, Journal of Communication, Vol. 33 Number 3.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian desain dan uji coba bahan ajar e-magazine dengan pendekatan Social Emotional Learning (SEL) menggunakan software kvisoft flipbook pada materi

Mengetahui gambaran sitologi kanker payudara melalui pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus dengan pewarnaan Diff-Quik yang selanjutnya dilakukan pemeriksaan dengan

Sehingga penting untuk dijelaskan tentang arti pentingnya dari tata kelola bencana dalam konteks regional, dengan melibatkan lintas aktor dari tata kelola tersebut,

Dengan adanya fungsi-fungsi manajemen tersebut para pengurus Muslimat NU cabang Bojonegoro sangat berharap mampu mewujudkan pengelolaan dakwah yang efektif dan

judul “ Impulse Buying Behavior ditinjau dari Self Image pada Mahasiswa Universitas katolik Soegijapranata Semarang.” Tanpa campur tanganNya, penulis tidak dapat melakukan

Berikut merupakan tombol- tombol menu utama pada media pembelajaran Interaktif IPA Mengenal Tubuh kita antara lain : Bagian Tubuh dan Fungsinya, Bagaimana cara merawat bagian

Berdasarkan temuan penelitian, maka dapat disampaikan saran-saran sebagai berikut : (1) kepuasan konsumen Pasar Agung perlu ditingkatkan dengan cara mengoptimalkan indikator

bertugas di Polsek wilayah Polres Purbalingga yang berusia madya akan. banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang