• Tidak ada hasil yang ditemukan

AUDITING DALAM PERSPEKTIF ISLAM (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "AUDITING DALAM PERSPEKTIF ISLAM (2)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

AUDITING DALAM PERSPEKTIF ISLAM

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Sejarah Auditing

Auditing adalah proses pengumpulan dan penilaian bukti-bukti yang dilakukan oleh pihak yang independent dan kompeten, untuk menentukan apakah informasi yang di sajikan sesuai dengan criteria yang ditetapkan.

Menurut catatan seorang ahli sejarah akuntansi, dikatakan bahwa : “ Asal usul auditing dimulai lebih awal dibandingkan dengan asal usul akuntansi. Ketika kemajuan peradaban membawa pada kebutuhan akan adanya orang yang dalam batas tertentu dipercaya untuk mengelola harta milik orang lain, maka dipandang patut untuk melakukan pengecekan atas kesetiaan orang tersebut, sehingga semuanya akan menjadi jelas”.

Dikatakan bahwa penguasa Mesir purba melakukan pemeriksaan independent dan atas catatan penerimaan pajak, orang-orang Yunani kuno melakukan pemeriksaan atas rekening pejabat public, sedangkan orang Romawi membandingkan antara pengeluaran dengan otorisasi pembayaran, sementara para bangsawan penghuni puri di Inggris menunjuk auditor untuk melakukan review atas catatan akuntansi dan laporan yang disiapkan oleh para pelayan mereka. Awal audit terhadap perusahaan dapat dikaitkan dengan perundang-undangan Inggris selama revolusi industri pada pertengahan tahun 1800-an. Kemajuan teknologi transportasi dan industri telah menimbulkan skala ekonomi dan perusahaan yang lebih besar, munculnya manajer professional, serta pertumbuhan kepemilikan perusahaan oleh banyak orang. Pada awalnya audit terhadap perusahaan harus dilakukan oleh satu atau lebih pemegang saham yang bukan

merupakan pejabat perusahaan, serta mereka yang ditunjuk oleh pemegang saham lainnya sebagai perwakilan pemegang saham. Profesi akuntansi segera bangkit dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan pasar serta perundang-undangan yang segera direvisi, sehingga

memungkinkan orang yang bukan pemegang saham dapat melakukan audit. Hal ini mendorong munculnya berbagai formasi kantor-kantor audit. Beberapa diantara kantor-kantor auditor Inggris Kuno seperti Deloitte & Co, Peat Marwick, & Mitchell, dan Price Waterhouse & Co. yang masih dapat ditelusuri sampai saat ini serta masih membuka praktik di USA ataupun diluar USA.

Pengaruh Inggris juga turut bermigrasi ke Amerika Serikat pada akhir tahun 1800-an ketika para investor Inggris dan Skotlandia mengirimkan para Auditornya sendiri untuk memeriksa kondisi perusahaan-perusahaan Amerika, tempat mereka telah berinvestasi dalam jumlah yang sangat besar. Secara khusus mereka melakukan investasi dalam saham pabrik pembuatan bir dan perkeretaapian. Focus awal audit ini mula-mula adalah untuk menemukan penyimpangan dalam akun neraca serta menangkal pertumbuhan kecurangan yang berkaitan dengan meningkatnya fenomena manajer professional serta pemilik saham yang pasif.

1.2.Munculnya Auditing pra-Islam

(2)

sampai pulang kembali. Hitungan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan pada keuangannya. Setelah berkembangnya negeri, bertambahnya kabilah-kabilah, masuknya imigran-imigran dari negri tetangga, dan berkembangnya perdaganan serta timbulnya usaha-usahainterven si

perdagangan, semakin kuatlah perhatian bangsa arab terhadap pembukuan dagang untuk menjelaskan utang piutang. Orang-orang yahudipun (pada waktu itu) sudah biasa menyimpan daftar-daftar (faktur) dagang. Semua telah nampak jelas dalam sejarah peradaban bangsa arab. Jadi, konsep akuntansi dikalangan bangsa arab pada waktu itu dapat dilihat pada pembukuan yang berdasarkan metode penjumlahan statistik yang sesuai dengan aturan-aturan penjumlahan dan pengurangan.Untuk mengerjakan pembukuan ini, ada yang dikerjakan oleh pedagang sendiri dan ada juga yang menyewa akuntan khusus. Pada waktu itu seorang akuntan disebut sebagai katibul awal (pencatat keuangan) atau penaggung jawab keuangan.

BAB II

TEORI AKUNTASI DAN AUDITING

2.1. Pengertian Akuntansi

Dewasa ini, akuntasi telah mengalami perkembangan layaknya ilmu hukum, ilmu kedokteran, serta hamper semua bidang kegiatan manusia, sejalan dengan tuntutan kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat. Akuntansi telah mengembangkan konsep-konsep baru untuk mengimbangi kebutuhan akan informasi keuangan yang terus menerus meningkat guna melaksanakan

(3)

Muslimin berandil besar dalam perkembangan akuntansi dasar waktu itu. Setelah itu, bangsa Eropa mulai berdatangan untuk mengupas secara mendalam tentang akuntansi versi Timur Tengah tersebut.

1. Periode Kapitalis 2. Kapitalis Nascent 3. Merkantilis

4. Revolusi dan Industrialisasi

5. Perkembangan pesat bidang akuntansi secara terus-menerus

Timbulnya revolusi industry tahun 1776 menimbulkan efek positif terhadap perkembangan akuntasi. Salah satu yang menonjol adalah perubahan cara memproduksi barang dari kerajinan tangan ke pabrikasi. Hal ini menyebabkan spesialisasi dalam akuntansi biaya meningkat pesat untuk memenuhi kebutuhan analisis biaya dan teknik pencatatannya. Akuntansi diperlukan untuk menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan yang berjalan sangat cepat, berkembangnya kegiatan ekonomi, dan masalah perbandingan pelaporan keuangan antar perusahaan. Pada tahun 1800-1850, masyarakat mulai menggunakan dan menjadikan neraca sebagai tolak ukur kinerja sebuah perusahaan. Pada periode ini dikenal pula pemeriksaaan keuangan (financial auditing). Pada tahun 1850, laporan laba rugi mulai neggantikan peranan neraca dalam menilai efektivitas dan efisiensi perusahaan. Ilmu audit berkembang semakin pesat pada periode ini Tahun 1900, di Amerika Serikat diperkenalkan Sertifikat Profesi melalui ujian nasional untuk mendalami ilmu akuntansi melalui edukasi. Adanya laporan tentang pajak. Serta akuntansi biaya mulai dikenal termasuk laoran statistik biaya dan produksi. Pada tahun 2925, mulai di kenal akuntansi

pemerintah untuk mengawasi dana pemerintah, teknik-teknik analisis biaya mulai bermunculan dan diperkenalkan, laporan keuangan diseragamkan antar perusahaan, dirumuskannya Norma Pemeriksaan Akuntansi, dan lahirnya Akuntansi Perpajakan.

2.2. Pengertian Auditing

Ada beberapa pengertian audit yang diberikan oleh beberapa ahli di bidang akuntansi, antara lain:

Menurut Alvin A.Arens dan James K.Loebbecke :

Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent independent person”.

Menurut Mulyadi :

“Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataantersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan”.[1]

Secara umum pengertian di atas dapat diartikan bahwa audit adalah proses sistematis yang dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen dengan mengumpulkan dan mengevaluasi bahan bukti dan bertujuan memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan

tersebut.

Dalam melaksanakan audit faktor-faktor berikut harus diperhatikan:

(4)

Bahan bukti harus diperoleh dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk memenuhi tujuan audit, 4). Kemampuan auditor memahami kriteria yang digunakan serta sikap independen dalam mengumpulkan bahan bukti yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan yang akan

diambilnya.

Audit pada umumnya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu : audit laporan keuangan, audit kepatuhan, dan audit operasional.

1) Audit laporan keuangan (financial statement audit). Audit laporan keuangan adalah audit yang dilakukan oleh auditor eksternal terhadap laporan keuangan kliennya untuk memberikan pendapat apakah laporan keuangan tersebut disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Hasil audit lalu dibagikan

2) kepada pihak luar perusahaan seperti kreditor, pemegang saham, dan kantor pelayanan pajak. 3) Audit kepatuhan (compliance audit). Audit ini bertujuan untuk menentukan apakah yang

diperiksa sesuai dengan kondisi, peratuan, dan undang-undang tertentu. Kriteria-kriteria yang ditetapkan dalam audit kepatuhan berasal dari sumber-sumber yang berbeda. Contohnya ia mungkin bersumber dari manajemen dalam bentuk prosedur-prosedur pengendalian internal. Audit kepatuhan biasanya disebut fungsi audit internal, karena oleh pegawai perusahaan. 4) Audit operasional (operational audit). Audit operasional merupakan penelahaan secara

sistematik aktivitas operasi organisasi dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Dalam audit operasional, auditor diharapkan melakukan pengamatan yang obyektif dan analisis yang

komprehensif terhadap operasional-operasional tertentu. Tujuan audit operasional adalah untuk : 1). Menilai kinerja, kinerja dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan, standar-standar, dan sasaran-sasaran yang ditetapkan oleh manajemen, 2). Mengidentifikasikan peluang dan, 3). Memberikan rekomendasi untuk perbaikan atau tindakan lebih lanjut. Pihak-pihak yang mungkin meminta dilakukannya audit operasional adalah manajemen dan pihak ketiga. Hasil audit

operasional diserahkan kepada pihak yang meminta dilaksanakannya audit tersebut. 2.2.1. Tujuan dan manfaat audit independen

Tujuan umum audit atas laporan keuangan adalah untuk menyatakan pendapat atas kewajaran laporan keuangan, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Kewajaran laporan keuangan diukur berdasarkan asersi terkandung dalam setiap unsur yang disajikan dalam laporan keuangan, yang disebut dengan asersi manajemen.

Asersi manajemen yang disajikan dalam laporan keuangan dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori :

1) Keberadaan atau kejadian (existency or occurence). Asersi ini merupakan pernyataan

manajemen aktiva, kewajiban, dan ekuitas yang tercantum dalam neraca benar-benar ada pada tanggal neraca serta apakah pendapatan dan beban yang tercantum dalam laporan rugi laba benar-benar terjadi selama periode akuntansi.

2) Kelengkapan (completeness). Kelengkapan berarti semua transaksi dan akun-akun yang seharusnya tercatat dalam laporan keuangan telah dicatat. Asersi kelengkapan berlawanan dengan asersi keberadaan. Jika asersi keberadaan tidak benar maka akun akan dinyatakan terlalu tinggi, sementara jika asersi kelengkapan tidak benar, maka akun akan dinyatakan terlalu rendah. Asersi kelengkapan berkaitan dengan kemungkinan hilangnya hal-hal yang harus dicantumkan dalam laporan keuangan, sedangkan asersi keberadaan berkaitan dengan penyebutan angka yang seharusnya tidak dimasukkan.

(5)

4) Penilaian atau alokasi (valluation or allocation). Asersi ini menyangkut apakah aktiva, kewajiban, ekuitas, pendapatan, atau beban telah dicantumkan dalam laporan keuangan pada jumlah yang tepat.

5) Penyajian dan pengungkapan (presentation and disclosure). Asersi ini menyangkut masalah apakah komponen-komponen laporan keuangan telah diklasifikasikan, diuraikan, dan

diungkapkan secara tepat. Pengungkapan berhubungan dengan apakah informasi dalam laporan keuangan, termasuk catatan yang terkait, telah menjelaskan secara gamblang hal-hal yang dapat mempengaruhi penggunaannya.

Independensi

Masalah utama yang dihadapi oleh akuntan publik saat ini adalah berkurangnya

kekuasaan mereka dalam melaksanakan penugasan. Seorang akuntan yang independen dituntut untuk bertindak sesuai dengan peraturan perundangan dan kode etik profesi. Fenomena

hubungan antara akuntan publik dengan klien telah menjadi pusat perhatian bagi para pembuat keputusan, seperti investor, kreditor, dan pemegang saham.

Mereka sangat menyadari adanya kemampuan yang dimiliki oleh pihak manajemen perusahaan. Pertama, kemampuan yang berkaitan dengan kecenderungan manajemen perusahaan untuk memanipulasi kinerja laporan keuangan perusahaan dengan tujuan untuk mendapatkan penilaian yang positif atas tanggung jawabnya sebagai pihak yang mengelola perusahaan. Kecenderungan ini dikenal dengan istilah window dressing, biasanya dilakukandengan cara memperbaiki laporan keuangan sedemikian rupa sehingga tampak lebih baik dari semestinya.

Berbeda dengan profesi lain, auditor tidak dapat bertindak untuk kepentingan kliennya sebagaimana pengacara dengan kliennya. Meskipun dibayar oleh klien akuntan publik bekerja bagi kepentingan masyarakat umum. Auditor harus independen dalam dari segala kewajiban dan pemilikan kepentingan dalam perusahaan yang diauditnya. Ia harus pula menghindari keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan masyarakat meragukan independensinya. Dalam

kenyataannya auditor seringkali menemui kesulitan dalam mempertahankan sikap mental independen. Keadaan yang seringkali mengganggu sikap mental independen auditor adalah sebagai berikut :

1. Sebagai seorang yang melaksanakan audit secara independen, auditor dibayar oleh kliennya atas jasanya tersebut.

2. Kecenderungan untuk memuaskan kliennya. 3. Resiko kehilangan klien.

 Jenis-jenis auditor

Auditor biasanya diklasifikasikan dalam tiga kategori berdasarkan siapa yang mempekerjakan mereka : akuntan publik, akuntan pemerintah, dan akuntan intern.

 Akuntan publik. Akuntan publik adalah akuntan professional yang menjual jasanya kepada masyarakat umum, terutama daam bidang pemeriksaan terhadap laporan keuangan yang dibuat oleh kliennya.

 Akuntan pemerintah. Akuntan pemerintah adalah akuntan profesional yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas pokoknya melakukan pemeriksaan terhadap pertanggungjawaban

keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi dalam pemerintahan atau pertanggungjawaban keuangan yang ditujukan kepada pemerintah.

(6)

efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi.

2.2. Laporan Auditor

2.3.1. Pengertian dan jenis-jenis laporan auditor

Pembuatan laporan auditor adalah langkah terakhir dan paling penting dari keseluruhan proses audit. Secara umum laporan auditor dapat didefinisikan sebagai laporan yang menyatakan pendapat auditor yang independen mengenai kelayakan atau ketepatan pernyataan klien bahwa laporan keuangannya disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip akuntan yang berlaku umum, yang diterapkan secara konsisten dengan tahun sebelumnya. Dalam menyiapkan dan menerbitkan sebuah laporan audit, auditor harus berpedoman pada empat standar pelaporan yang terdapat dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).

Terpenting, harus dilihat standar yang terakhir karena standar ini mensyaratkan suatu pernyataan pendapat atas laporan keuangan secara keseluruhan atau pernyataan bahwa pendapat tidak dapat diberikan disertai dengan alasan-alasannya. Standar ini mensyaratkan adanya

pernyataan auditor secara jelas mengenai sifat pemeriksaan yang telah dilakukan dan sampai dimana auditor membatasi tanggungjawabnya. Pendapat auditor tersebut disajikan dalam suatu laporan tertulis yang umumnya berupa laporan audit bentuk baku.

Menyadari fungsi utama laporan audit sebagai media komunikasi antara manajemen dengan pihak-pihak lain yang berkepentingan, maka dibutuhkan adanya keseragaman pelaporan untuk menghindari kerancuan. Oleh karena itu standar profesional telah merumuskan dan merinci berbagai jenis laporan audit yang harus disertakan pada laporan keuangan.

Terdapat beberapa jenis pendapat akuntan yang diberikannya berkenaan dengan suatu pemeriksaan umum, yaitu :

1. Pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion).

2. Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan (unqualified opinion with explanatory language).

3. Pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion). 4. Pendapat tidak wajar (adverse opinion).

5. Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion). 1). Laporan pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion)

(7)

 Prinsip akuntansi berlaku umum digunakan untuk menyusun laporan keuangan

 Perubahan penerapan prinsip akuntansi berlaku umum dari periode ke periode telah cukup dijelaskan

 Informasi dalam catatan-catatan yang mendukungnya telah digambarkan dan dijelaskan dengan cukup dalam laporan keuangan sesuai prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum

2) Laporan pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan (unqualified opinion with explanatory language).

Laporan keuangan tetap menyajikan secara wajar posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan klien namun ditambah dengan hal-hal yang memerlukan bahasa penjelasan.

3). Laporan pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion)

Pendapat ini hanya diberikan jika secara keseluruhan laporan keuangan yang disajikan oleh klien adalah wajar, tetapi ada beberapa unsur yang dikecualikan, yang pengecualiannya tidak

mempengaruhi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Terdapat beberapa kondisi yang membuat auditor harus memberikan pendapat wajar dengan pengecualian, yaitu :

 Lingkup audit dibatasi oleh klien

 Auditor tidak dapat melaksanakan prosedur audit penting atau tidak dapat memperoleh informasi penting karena kondisi-kondisi yang berada di luar kekuasaan klien dan auditor

 Laporan keuangan tidak disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum

 Prinsip akuntansi berlaku umum yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan tidak diterapakan secara konsisten

4). Laporan pendapat tidak wajar (adverse opinion)

Pendapat tidak wajar diberikan jika laporan keuangan klien tidak disusun berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum sehingga tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, perubahan saldo laba dan arus kas perusahaan klien. Auditor memeberikan pendapat tidak wajar jika tidak terdapat pembatasan bukti audit. Pendapat tidak wajar merupakan

kebalikan pendapat wajar dengan pengecualian. Auditor memberikan pendapat tidak wajar jika ia tidak dibatasi lingkup auditnya, sehingga ia dapat mengumpulkan bukti kompeten dalam jumlah cukup untuk mendukung pendapatnya.

5). Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion)

Pernyataan tidak memberikan pendapat diberikan auditor jika ia tidak berhasil menyakinkan dirinya bahwa keseluruhan laporan keuangan telah disajikan secara wajar. Pernyataan tidak memberikan pendapat diberikan jika antara lain, terdapat banyak pembatasan lingkup audit, hubungan yang tidak independen antara auditor dan klien. Masing-masing kondisi tersebut tidak memungkinkan auditor untuk dapat menyatakan pendapatnya atas laporan keuangan secara keseluruhan.

2.3.2. Tujuan dan manfaat laporan auditor

(8)

mungkin menyembunyikan informasi informasi tertentu kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan keuangan itu, termasuk investor, kreditor, dan regulator.

Oleh karena itu masyarakat keuangan membutuhkan jasa profesional untuk menilai kewajaran informasi keuangan yang disajikan oleh manajemen. Atas dasar informasi keuangan yang andal, masyarakat akan memiliki basis yang kuat untuk menyalurkan dana mereka ke usaha-usaha yang beroperasi secara efisien dan memiliki posisi keuangan yang sehat. Untuk itu masyarakat menghendaki agar laporan keuangan yang diserahkan kepada mereka diperiksa lebih dulu oleh auditor independen. Keterlibatan audit yang independen akan memberikan manfaat-manfaat antara lain, menambah kredibilitas laporan keuangan, mengurangi kecurangan perusahaan, dan memberikan dasar yang lebih dipercaya untuk pelaporan pajak dan laporan keuangan lain yang harus diserahkan kepada pemerintah.

BAB III

AUDITING DALAM ISLAM

3.1.Sejarah Akuntasi Islam

Apabila kita pelajari "Sejarah Islam" ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semenanjung

Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang

kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang

diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak

pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa

hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan

dengan sebutan "hafazhatul amwal" (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci

umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat

terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan

transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah

hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut

(9)

untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya…….”

3.2.Perkembangan Akuntansi di Negara Islam

“setiap ilmu tumbuh dari suatu kemahiran yang diupayakan. Sebelum menjadi ilmu, harus ada praktik dan pengalaman, berdasarkan hal ini, maka ilmu itu merupakan hasil dari

pengalaman yang menentukan tanda-tanda ilmu tersebut. (Heaps, 1985, hal. 21)

Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Heaps, maka munculnya sistem pencatatan sisi-sisi transaksi atau yang dikenal dengan nama sistem pembukaan ganda (double entry), baik sebagai ilmu maupun sebagai seni, atau sebagai yang lain, harus tumbuh dari suatu kemahiran yang diupayakan. Kemahiran yang diupayakan ini harus tegak di atas adanya suatu praktik kerja. Demikian pula, praktik kerja ini bukan lahir dengan sendirinya, namun tegak di atas suatu bangunan yang tinggi dan kokoh. Bangunan yang tinggi nan kokoh ini adalah pengetahuan yang turun menurun dari generasi ke generasi. Jadi, hal ini mempertegas bahwa pengetahuan yang dapat menumbuhkan adanya praktik kerja dan kemahiran untuk sistem pencatatan sisi-sisi transaksi asasnya telah ada di negara Islam, yang timbul karena adanya berbagai faktor. Sementara itu, kami tidak melihat adanya faktor apa pun yang membantu perkembangan ini di dalam Republik Itali. Di antara yang patut disebutkan bahwa akuntansi yang kami lihat

praktiknya di dunia Arab, kemudian perkembangannya di dunia Islam, telah dijelaskan oleh Al Mazindarani bahwa itu merupakan suatu ilmu. Baik sebagai ilmu atau seni, atau yang lain, di sana terdapat berbagai faktor yang ikut andil, atau pada hakikatnya mengundang pekerjaan akuntansi di negara Islam. Faktor-faktor ini berkaitan erat dengan kebutuhan-kebutuhan negara Islam dari satu sisi, dan dari sisi yang lain dengan kebutuhan-kebutuhan kaum muslimin secara pribadi. Di antara faktor-faktor tersebut adalah pendirian kantor-kantor pemerintahan,

speisialisasi kemampuan, dan kebutuhan terhadap adanya pegawai yang kapabel. Di samping faktor-faktor tersebut yang erat kaitannya dengan kebutuhan negara Islam, di sana terdapat faktor lain yang ikut andil dalam peletakan dasar-dasar akuntansi dan mendorong pengembangan akuntasi di dalam negara Islam, dari sisi kebutuhan pribadi muslim, yaitu faktor zakat. Sebab, seorang muslim senantiasa membutuhkan suatu cara yang membantu dirinya untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai seorang muslim dari segi perhitungan zakat yang harus dikeluarkan sesuai dengan syari’at Islam, yang merupakan salah satu rukun Islam.

Pedirian kantor-kantor pemerintahan berkaitan erat dengan sistem administrasi, sejak pendirian awal negara Islam di Madinah Al Munawwarah pada tahun 622 M., yaitu pada tahun pertama Hijriyah. Pada saat itu, kantor-kantor pemerintahan dikenal dengan nama Dawawin, dan bentuk tunggalnya adalah diwan . Kata diwan berasal dari kata Parsi, tetapi definisi dan

(10)

melihat para pegawai di kantornya sedang menghitung sendiri, seolah-olah mereka berbicara (sendiri). Lalu, Kisra berkata, “Diwanah”. Arti kata tersebut adalah “gila”, lalu tempat mereka itu dikatakan “Diwanah”. Karena kata tersebut sering diucapkan, huruf ha’nya dibuang untuk mempermudah pengucapan, dan menjadi kata “diwan”. (hal. 268). Tampaknya, kata diwan telah digunakan bersamaan awal reformasi sistem kantor-kantor pemerintahan dalam bentuk yang lebih baik dari yang sebelumnya. Salah satu ensiklopedi ilmiah menyebutkan bahwa sistem resmi pertama untuk diwan-diwan telah dibuat sekitar tahun 14 H./634 M. (Britanica, Vol. 22, hal. 109) yakni pada masa Khalifah Umar Ibnul Khathab radliyallahhu’anhu.

Adapun spesialisasi kemampuan mempunyai signifikansi, karena adanya pembagian fungsi dan pekerjaan di negara Islam. Hal ini telah dimulai pada masa kehidupan Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam (Muhammad Al Marisi Lasin, 1973, hal. 5). Demikian pula hak dan kewajiban para pegawai di semua level dari sistem administrasi telah dikenal sejak pendirian negara Islam di Madinah pada tahun 622 M. Rasulullah Muhammad shallallahu `alaihi wasallam memiliki 42 penulis yang memiliki spesialisasi di dalam pemerintahannya yang didirikan di Madinah. Setiap pegawai memiliki peran tertentu, demikian pula kewajiban dan gaji mereka juga tertentu dan jelas. (Muhammad Al Hawari (A), 1989, hal. 5).

Adapun para pegawai yang kompeten telah mendapatkan perhatian dari negara Islam. Sejak awal, negara Islam telah menaruh perhatian pada pemilihan pegawai yang berspesialisasi. Demikian pula kebijakan Rasulullah Muhammad shallallahu `alaihi wasallam dalam memilih pegawai, yaitu dari orang-orang yang beliau pandang memiliki kapabilitas dan kapasitas untuk menduduki jabatan. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam memilih para pegawai itu dari para sahabatnya yang memiliki kapabilitas serta kemampuan dan kelayakan untuk menerima jabatan. (Muhammad Hawari (B), 1989, hal. 16).

Di negara Islam, para akuntan terbagi dalam tujuh fungsi, enam fungsi berkaitan dengan pekerjaan akuntansi, dan satu fungsi khusus untuk mengoreksi pembukuan. Fungsi pengoreksian pembukuan memiliki kepentingan khusus, hal ini serupa dengan yang kita namakan muraja’atul hisabat ( pengoreksian pembukuan/auditing), atau tadqiqul hisabat (pengakurasian pembukuan), atau ar riqabatul kharijiyyah (pengawasan ekstern). Namun, kami hanya menganggap penamaan yang pertama sebagai ungkapan yang paling tepat untuk watak pekerjaan tersebut. Adapun penamaan kedua dan ketiga, kami pandang tidak sesuai dengan watak pekerjaan tersebut dan tugas yang diberikan kepada auditor. Tugas auditor adalah memeriksa apa yang telah dibukukan. (Al Qalqasyandi, hal. 130-139). Al Qalqasyandi telah menggambarkan tugas seorang auditor dan kebutuhan terhadapnya. Dia berkata, “Enam yang lain tidaklah terpelihara dari sifat lupa dan kesalahan dalam menghitung atau mencatat, sebagaimana yang sudah terkenal bahwa manusia itu tidak melihat kesalahan-kesalahannya sendiri tetapi melihat kesalahan-kesalahan orang lain, maka pimpinan kantor harus memilih seseorang untuk mengoreksi pembukuan. Orang yang dipilih tersebut harus menguasai bahasa Arab, hafal Al Qur’anul Karim, cerdas, berakal, jujur, tidak menyakiti orang lain. Ketika seorang auditor merasa puas terhadap isi buku yang

dikoreksinya, dia harus memaraf buku tersebut sebagai tanda bahwa dia telah puas dan menerima isi buku tersebut. (Ibid).

Adapun zakat juga termasuk bagian dari unsur-unsur yang ikut andil dalam

pengembangan akuntansi di negara Islam. Ini jika tidak termasuk unsur asasi. Zakat adalah salah satu rukun Islam yang lima, dan di negara Islam, dibayarkan kepada Baitul Mal. Baitul Mal ini sekarang dinamakan Perbendaharaan Umum atau Perbendaharaan Negara. Al Qur’anul Karim telah menentukan sumber-sumber yang wajib dikeluarkan zakatnya, dan obyek-obyek

(11)

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (At Taubah : 60)

Seorang muslim wajib membayar zakat, maka seorang muslim senantiasa membutuhkan suatu cara yang dapat membantunya dalam menentukan jumlah zakat yang harus dibayarnya. Oleh karena itu, kami tidak menganggap mustahil bahwa masalah penentuan jumlah zakat merupakan faktor asasi yang mengantarkan kepada pengembangan akuntansi di negara Islam. Hal itu agar seorang muslim dapat mengetahui perubahan-perubahan pada hartanya, dan selanjutnya adalah perhitungan zakat yang harus dikeluarkan karena bertambahnya harta seorang muslim selama satu tahun penuh, di samping dari laba yang diperoleh dari modal yang berputar.

Perkembangan akuntansi di negara Islam mencapai puncaknya dalam membangun pengertian akuntansi sebagai suatu sarana untuk pengambilan keputusan sebagai tujuan asasi bagi penggunaan akuntansi. Anehnya, hal inilah yang menjadi tujuan penggunaan akuntasi pada masa kita sekarang ini. Para penulis sekarang ini mengaku bahwa merekalah yang

mengembangkan pengertian ini pada abad sekarang. Barangkali, pengakuan mereka ini disebabkan oleh kejahilan mereka terhadap sejarah dan peran akuntansi di negara Islam.

Demikian pula, boleh jadi mereka membangun tujuan ini pada abad XX M., sementara tujuan ini telah populer di negara Islam sejak abad I H. atau abad VII M. Di antara yang menjelaskan tujuan ini dan realisasinya di negara Islam adalah perkataan Imam Syafi’i rahimahullah : “Barang siapa mempelajari hisab (akuntansi) pikirannya bagus.” (Husain Syahatah, 1993, hal. 45). Perlu diketahaui bahwa Imam Safi’i hidup pada tahun 150-204 H./767-820 M. Hal ini tidak saja menjelaskan peran yang dimainkan akuntansi dan signifikansinya pada waktu itu, tetapi juga menjelaskan pengetahuan masyarakat pada saat itu terhadap peran dan signifikansi tersebut. Hal ini tampak dalam bentuk khusus, ketika ucapan ini datang dari seorang yang faqih, bukan datang dari spesialis akuntansi. Setelah itu, Imam Syafi’Ii menjelaskan ucapannya itu, yaitu

sesungguhnya seorang pedagang atau yang lain tidak dapat mengambil keputusan secara benar atau mengeluarkan pemikiran yang tepat tanpa bantuan data-data yang tercatat dalam buku. (Ibid). Para fuqaha’ berkata bahwa di antara kewajiban seorang muslim adalah mempelajari hukum-hukum ibadah yang menjadikan shalat, shaum, dan zakatnya sah, serta hal-hal yang harus diketahui untuk menunaikan manasik hajinya. Demikian pula dia harus mengetahui hukum-hukum jual beli jika ingin berprofesi sebagai seorang pedagang; dan mempelajari akuntansi, sehingga ia tiadak berbuat zhalim dan tidak dizhalimi. Hal inilah yang disebut ilmu dlaruri. (Abu Hamid Al Ghazali, 1400 H., vol. 1, juz 1-3, hal. 42-30) juga (Sayid Sabiq,1403 H./1983 M., vol. III, juz 11-14, hal. 125-126).

Pengertian akuntansi dan tujuan penggunaannya telah berkembang dari sekadar sebagai sarana untuk menentukan modal di akhir periode V dan untuk mengukur keuntungan melalui selisih modal pada dua priode, hal ini terjadi pada masa sebelum Islam, menjadi sebagai sarana untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan dan penentuan tanggung jawab, hal ini terjadi pada berbagai masa negara Islam. Al Qalqasyandi berkata, “Seorang akuntan harus berpegang pada aturan-aturan atau format-format yang telah disiapkan sebelumnya, dan tidak boleh melanggar selamanya”. (hal. 54). Hal ini menunjukkan

(12)

pula perkembangan dalam pengertian akuntansi dan tujuan penggunaannya ini terlihat dalam perkataan Al Qalqasyandi yang lain. Dia berkata, “Sesungguhnya pekerjaan akuntansi dibangun atas dasar kenyakinan”. (hal. 154). Perkataan ini, secara khusus, memantulkan dalam pemikiran kami akan pentingnya sistem dokumentasi. Sebab, hitungan-hitungan yang dicatat dalam buku harus diyakini kebenarannya; dan keyakinan ini tidak akan terwujud kecuali dengan adanya bukti-bukti yang memadai yang dapat menetapkan terjadinya transaksi dari satu sisi, dan kebenaran pencatatan di dalam buku dari sisi yang lain.

Perkembangan akuntasi di negara Islam tampak jelas pula bahwa seorang akuntan yang bertanggung jawab atas pembukuan pengeluaran harus meneliti pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh perangkat negara itu, untuk membuat ketetapan apabila terdapat perbedaan-perbedaan di antara tahun-tahun keuangan. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 37). Ini merupakan bukti lain tentang pengembangan pengertian akuntansi sebagai sarana informasi yang bertujuan mengambil keputusan sekitar jalannya pengeluaran-pengeluaran itu. Hal ini mengandung pembatasan perbedaan apa pun atau keraguan-keraguan dari tahun ke tahun. Selanjutnya adalah pembatasan penanggungjawab perbedaan-perbedaan tersebut, lalu pengambilan-pengambilan tindakan-tindakan yang pasti ketika perbedaan-perbedaan itu tidak dapat di tolerir.

Imam Ghazali menyebutkan bahwa faktor yang mendukung perkembangan pengertian akuntansi, dan selanjutnya adalah perkembangan tujuan penggunaan adalah perhatian terhadap pengawasan diri. (juz XV, hal. 6-7). Sesunguhnya asas dalam pengawasan diri adalah takut kepada Allah. Ini adalah ciri seorang muslim penganut aqidah yang mengetahui bahwa Allah melihatnya. Selanjutnya, dia akan mengawasi dirinya karena dia mengetahui di sana ada

Pengawas yang dapat melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh manusia, dan dapat mendengar apa yang tidak dapat didengar oleh selain-Nya di antara makhluq-makhluq-Nya. Hal ini tampak jelas di dalam firman Allah Tabaraka Wa Ta’ala:

Dan jika kamu melihatkan apa yang ada di hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu”. (Al Baqarah:284) Pengawasan diri inilah yang menjadikan seorang muslim menghisab dirinya sebelum dihisab, khususnya mereka yang memiliki nafsu lawwamah.

Dalam hal ini, Khalifah Umar Ibnul Khaththab radliyallahu `anhu berkata, “Hisablah diri kalian sebelum dihisab; timbanglah amal kalian sebelum amal kalian ditimbangkan; dan bersiap-siaplah kalian untuk menghadapi penampakan amal”.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkembangan buku-buku akuntansi dan kantor-kantor pemerintahan terjadi pada masa khalifah Al Faruq Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab radliyallahu `anhu , maka kita patut mengkaitkan antara perkataannya ini dan perkembangan tersebut, dan bagaimana beliau menerjemahkan jiwa lawwamah ke dalam realitas secara umum, dan barangkali dari segi keuangan secara khusus. Wallahu A’lam. Sebab, pengawasan diri dan muhasabah terhadap diri merupakan tuntutan asasi dari ajaran syari’at Islam sebagaimana terdapat di dalam Al Qur’an dan As Sunah. Diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala: “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadap dirimu”. (Al Isra':14)

Dari As Sunnah An Nabawiyyah, sesungguhnya pengawasan tersebut dari hasil muhasabah terhadap diri sendiri. Muhasabah yang dimaksud dalam hal ini adalah

(13)

“Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanya tentang empat perkara, yaitu : tentang umurnya, dihabiskan untuk apa; tentang masa mudanya, dihabiskan untuk apa; tentang hartanya, dari mana diproleh dan dibelanjakan untuk apa; dan tentang ilmunya, apa yang telah diperbuat dengan ilmu tersebut”. (H.R. Tirmidzi, dan menurut beliau hadits ini hasan shahih).

Hadits lain adalah dari Miqdam bin Ma’di Yakrib bahwa sayyidul basyar, Muhammad shallallahu `alaihi wasallam menepuk pundaknya, kemudian berkata:

“Wahai Qadim (Miqdam? pen,) beruntunglah kamu, jika kamu meninggal tidak dalam keadaan menjadi amir, tidak menjadi pencatat (katib), dan tidak menjadi pemimpin”. (H.R. Abu Dawud)

Makna kata “katib” disini adalah pencatat pekerjaan dan penghitungnya. (Zakiyyudin Abdul Azhim bin Abdul Qawiy Al Mundziri, 1986, juz 3, hal. 159)

Sebelumnya telah dikatakan bahwa awal pencatatan transaksi di dalam buku bersamaan dengan berawalnya negara Islam pada masa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam sebagai akibat bertambahnya pemasukan negara dari berbagai penaklukan dan zakat, terutama setelah pemasukan tersebut semakin banyak dan tidak seluruhnya dapat dibagikan pada saat itu. Tidak diragukan lagi bahwa pencatatan di dalam buku pada awal masa tersebut berjalan sesuai dengan cara yang diikuti sebelum Islam. Tetapi, pelaksanaan pencatatan tersebut berkembang pada masa khalifah kedua, yaitu khalifah Al Faruq Umar Ibnul Khaththab radliyallahu `anhu pada tahun 14--24 H. /636--646 M. Beliaulah yang memerintahkan mencatat harta umum diklasifikasikan sesuai dengan sumber pendapatannya. Perkembangan pada masa khalifah Umar Ibnul Khaththab ini meliputi penentuan hakikat buku yang harus digunakannya dan cara mengaplikasikannya, serta dokumen-dokumen yang harus dimilikinya sebagai asas pencatatan dan harus disimpan setelah dicatat untuk memperkuat apa yang telah dicatat.

(14)

132 H. /749 M.,yaitu tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Dari hal ini dapat kita simpulkan bahwa asas atau sumber rujukan bagi apa yang dipraktikkan di Republik Itali sebagaimana tersebut dalam buku Pacioli adalah apa yang telah dipraktikkan di negara Islam. Di antara yang harus dipraktikkan di negara Islam adalah pencatatan “Jaridah” sebelum memakainya. Pencatatan ini, sebagaimana yang telah kami sebutkan, berlangsung ketika distempel dengan stempel Sulthan. Praktik ini adalah bagi instansi-instansi pemerintahan Islam. Barangkali juga bagi pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga khusus. Demikian pula Ibnu Khaldun yang hidup pada masa Daulat Abbasiyyah dan menulis bukunya tahun 167 H. /784 M. Mengatakan bahwa seorang akuntan harus memakai buku-buku akuntansi yang sesuai, dan mencatat namanya di akhir buku, serta menstempelnya dengan stempel Sulthan. Stempel tersebut memuat nama Sulthan atau simbol khusus bagi Sulthan. Stempel tersebut dibubuhkan di salah satu sisi buku .(halaman 205). Sesungguhnya penggunaan kata “buku-buku akuntansi yang sesuai” oleh Ibnu Khaldun menunjukkan semenjak abad ke-2 Hijriyah dan barangkali sebelum itu, kaum muslimin menggunakan buku-buku akuntansi yang beragam sesuai dengan perbedaan karakter kegiatan, baik tingkat negara maupun pribadi.

Dahulu, “Jaridah” digunakan untuk mencatat pemasukan-pemasukan dan pengeluaran-pengeluaran, tetapi secara terpisah. Yakni, ada jaridah untuk pemasukan dan ada jaridah untuk pengeluaran. Hal ini termasuk serupa dengan apa yang sekarang dikenal dengan nama

Specialised Journals. Adapun transaksi-transaksi lain dicatat dalam buku yang dikenal dengan nama Daftarul Yaumiyyah (Daily Book/Buku Harian).

Buku harian yang dikenal di negara Islam tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum munculnya buku Pacioli adalah buku harian yang digunakan sekarang di dunia, dan dikenal dengan nama General Journal. Buku harian ini dikenal di seluruh diwan di samping specialised journals. Dahulu, buku harian ini digunakan untuk mencatat seluruh transaksi keuangan khusus bagi diwan dan transaksinya dengan orang lain. Buku ini serupa dengan apa yang sekarang dikenal di negara-negara Arab dengan nama Daftarul Yaumiyyatil `Ammah (Buku Harian Umum).

Menurut An Nuwairi, yang meninggal pada tahun 734 H. /1336 M. atau kurang lebih tiga puluh satu tahun sebelum munculnya buku Al Mazindani, pekerjaan pembukuan tunduk pada praktik-praktik tertentu dan jelas. Sebab,seluruh harta yang masuk atau keluar harus dicatat sesuai urutan waktu terjadinya, juga harus dicatat tanggal terjadinya setiap transaksi. Demikian pula, keharusan mencatat transaksi menurut urutan waktu terjadinya tidaklah terbatas pada transaksi-transaksi keuangan saja atau yang memiliki nilai keuangan, tetapi mencakup juga seluruh transaksi yang berhubungan dengan diwan dan yang lain. (An Nuwairi, hal. 273--275). Pencatatan di buku harian berlangsung dari realitas syahid yaitu yang sekarang dikenal dengan nama journal voucher, yang disiapkan oleh akuntan, yang melakukan pencatatan di buku. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 131--132). Hal ini menunjukkan kesinambungan pengembangan di dalam pekerjaan akuntansi yang awalnya bersamaan dengan munculnya negara Islam tahun 622 M., dan menjadi kokoh pada masa Khalifah Umar Ibnul Khaththab, serta semakin kokoh pada masa Daulat Abbasiyyah. Kemudian bertambah berkembang setelah itu sebagaimana yang kita rasakan dari apa yang disebutkan oleh An Nuwairi.

Daulat Abbasiyyah, 132-232 H. /750-847 M. memiliki banyak kelebihan dibandingkan yang lain dalam pengembangan akuntasi secara umum dan buku-buku akuntansi secara khusus. Sebab pada saat itu, masyarakat Islam menggunakan dua belas buku akuntansi khusus

(15)

dengan fungsi dan tugas yang diterapkan pada saat itu. Di antara contoh buku-buku khusus yang dikenal pada masa kehidupan negara Islam itu adalah sebagai berikut:

1. Daftarun Nafaqat (Buku Pengeluaran). Buku ini disimpan di Diwan Nafaqat, dan diwan ini bertanggung jawab atas pengeluaran Khalifah, yang mencerminkan pengeluaran negara. 2. Daftarun Nafaqat Wal Iradat (Buku Pengeluaran dan Pemasukan). Buku ini disimpan di

Diwanil Mal, dan Diwan ini bertanggung jawab atas pembukuan seluruh harta yang masuk ke Baitul Mal dan yang dikeluarkannya.

3. Daftar Amwalil Mushadarah (Buku Harta Sitaan). Buku ini digunakan di Diwanul Mushadarin. Diwan ini khusus mengatur harta sitaan dari para menteri dan pejabat-pejabat senior negara pada saat itu. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 41).

Umat Islam juga mengenal buku khusus yang lain, yang dikenal dengan nama Al Auraj, yaitu serupa dengan apa yang sekarang dinamakan Daftar Ustadzil Madinin (Debtors or Accounts Receipable Subsidiary Ledger). Kata Auraj adalah dari bahasa Parsi, kemudian digunakan dalam bahasa Arab. Auraj digunakan untuk mencatat jumlah pajak atas hasil tanah pertanian, yaitu setiap halaman dikhususkan untuk setiap orang yang dibebani untuk membayar pajak, di dalamnya dicatat jumlah pajak yang harus dibayar, juga jumlah yang telah dibayar dari pokok jumlah yang harus dilunasi. Penentuan jumlah pajak yang harus dilunasi didasarkan pada apa yang dinamakan Qanunul Kharaj (Undang-Undang Perpajakan). (Al Mazindarani 765 H./1363 M.)

Di samping apa yang telah disebutkan, kaum muslimin di negara Islam mengenal pembagian piutang menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. Ar Ra’ij minal mal, yang dimaksudkan ialah piutang yang memungkinkan untuk didapatkan, yaitu apa yang sekarang ini dikenal dengan nama Ad Duyunul Jayyidah, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Collectable Debts.

2. Al Munkasir minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang mustahil untuk didapatkan, yaitu apa yang sekarang dinamakan Ad Duyunul Ma’dumah, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Bad Debts atau Uncollectable Debts.

3. Al Muta’adzir wal mutahayyir wal muta`aqqid minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang diragukan untuk didapatkan, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Doubtful Debts. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 141).

(16)

“ Katakankanlah,”Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?’ katakanlah, Sesungguhnya aku diperintahkan supaya aku menjadi orang yang pertamakali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik.’” (Al An’am:14)

Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba.

3.3.Auditing Menurut Al-Qur'an

Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan

jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita,

sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam

berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu'ara ayat 181-184 yang

berbunyi:"Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah Menciptakan kamu dan umt-umat yang dahulu.”

Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga

menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan,

sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan

akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah

organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya.

Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan

(17)

Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta

bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam ilmu

Auditing. Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut "tabayyun" sebagaimana yang dijelaskan

dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.”

Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan

pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana

digambarkan dalam Surah Al-Israa' ayat 35 yang berbunyi: "Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar

hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan

dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan,

analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan

suatu kejadian atau peristiwa.

Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kesepakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut. Sistem ekonomi islam sudah mulai dipraktikkan dilapangan dan bukan hanya menjadi bahan diskusi para ahli. Pada awalnya sistem ini diterapkan dalam sektor perbankan, dan kemudian juga merambat pada sektor keuangan lainnya seperti asuransi dan pasar modal.

(18)

mau lembaga ini pasti memiliki perbedaan dengan lembaga konvensional, karena ia dioperasikan dengan menggunakan sistem nilai syariah yang didasarkan pada kedaulatan Tuhan bukan

kedaulatan rasio ciptaan Tuhan yang terbatas. Dengan demikian maka sistem yang berkaitan dengan eksistensi lembaga ini juga perlu menerapkan nilai-nilai islami jika kita ingin

menerapkan nilai-nilai Islami secara konsisten. Maka disinilah relevansi perlunya sistem auditing Islami dalam melakukan fungsi audit terhadap lembaga yang dijalankan secara Islami ini.

3.4.Dewan Pengawas Syari’ah

Dewan Pengawas Syari’ah adalah lembaga independen atau hakim khusus dalam fiqih muamalat (Sofyan S.Harahap 2002). Dewan Pengawas Syari’ah merupakan suatu badan yang diberi wewenang untuk melakukan supervise/pengawasan dan melihat secara dekat aktivitas lembaga keuangan syari’ah agar lembaga tersebut senantiasa mengikuti aturan dan prinsip-prinsip syari’ah. Dewan Pengawas syari’ah (DPS) berkewajiban secara langsung melihat

pelaksanaan suatu lembaga keuangan syari’ah agar tidak menyimpang dari ketentuan yang telah difatwakan oleh Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang

berkedudukan di Jakarta. DPS melihat secara garis besar dari aspek manajemen dan administrasi harus sesuai dengan syari’ah, dan yang paling utama sekali mengesahkan dan mengawasi

produk-produk perbankan syari’ah agar sesuai dengan ketentuan syari’ah dan undang-undang yang berlaku. Inilah salah satu yang membedakan dengan perbankan konvensional yang tidak mengacu pada ketentuan syari’ah.

Dewan ini sekurang-kurangnya berjumlah tiga orang, dan dibolehkan menunjuk beberapa orang pakar ekonomi untuk membantu tugasnya, namun anggotanya tidak boleh merangkap sebagai direktur atau komisaris utama (Pressident commissioner atau significant shareholders) dari institusi keuangan tersebut. Pembubaran atau penggantian anggota dewan syari’ah mesti mendapat rekomendasi direktur dan mendapat pengesahan dari pemegang saham (shareholders) dalam Rapat UmumPemegang Saham (RUPS) atau general meeting.

Dewan Pengawas Syari’ah pada dasarnya merupakan perpanjangan tangan Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dalam merealisasikan fatwa-fatwa yang telah diputuskan DSN . DPS berperan sebagai pengawas dari lembaga-lembaga keuangan syari’ah; bank syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah,dan lain-lain. DPS tidak terlibat secara langsung dalam pelaksanaan manajemen lembaga keuangan syari’ah karena hal ini sudah menjadi tanggung jawab langsung dibawah wewenang direksi suatu lembaga keuangan syari’ah. Namun DPS berhak memberikan masukan (in-put) kepada pihak pelaksana lembaga tersebut.

3.5. Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institution (AAOIFI)

Pada awalnya organisasi ini bernama Financial Accounting Organization for Islamic Banks and Financial Institution di dirikan pada tanggal 1 Safar 1410 H atau 26 Pebruari 1990 di Aljiria. Prinsip Umum Audit AAOIFI;

1. Auditor lembaga keuangan Islam harus mematuhi “Kode etik profesi akuntan” yang dikeluarkan oleh AAOIFI dan the International Federation of Accountants yang tidak bertentangan dengan aturan dan prinsip Islam.

2. Auditor harus melakukan auditnya menurut standar yang dikeluarkan oleh Auditing Standar for Islamic Financial Institutions (ASIFIs).

3. Auditor harus merencanakan dan melaksanakan audit dengan kemampuan professional, hati-hati dan menyadari segala keadaan yang mungkin ada yang menyebabkan laporan keuangan salah saji.

(19)

1. Menentukan tujuan berdasarkan prinsip Islam dan ajarannya kemudian menjadikan tujuan ini sebagai bahan pertimbangan dengan mengaitkannya dengan pemikiran akuntansi yang berlaku saat ini.

2. Memulai dari tujuan yang ditetapkan oleh teori akuntansi kapitalis kemudian mengujinya menurut hukum syariah, menerima hal-hal yang konsisten dengan hukum syariah dan menolak hal-hal yang bertentangan dengan syariah.

Kode Etik Profesi Akuntan Islam

Bagaimana pengatauran Kode Etik Profesinya? Etika sering disebut moral akhlak, budi pekerti adalah sifat dan wilayah moral, mental, jiwa, hati nurani yang merupakan pedoman perilaku yang idial yang seharusnya dimiliki oleh manusia sebagai mahluk moral. Kode Etik Akuntan ini adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari syari’ah islam. Dalam sistem nilai Islam syarat ini ditempatkan sebagai landasan semua nilai dan dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam setiap legislasi dalam masyarakat dan negara Islam. Namun disamping dasar syariat ini landasan moral juga bisa diambil dari hasil pemikiran manusai pada keyakinan Islam. Beberapa landasan Kode Etik Akuntan Muslim ini adalah :

1. Integritas : Islam menempatkan integritas sebagai nilai tertinggi yang memandu seluruh

perilakunya. Islam juga menilai perlunya kemampuan, kompetensi dan kualifikasi tertentu untuk melaksanakan suatu kewajiban;

2. Keikhlasan : Landasan ini berarti bahwa akuntan harus mencari keridhaan Allah dalam melaksanakan pekerjaannya bukan mencari nama, pura-pura, hipokrit dan sebagai bentuk

kepalsuan lainnya. Menjadi ikhlas berarti akuntan tidak perlu tunduk pada pengaruh atau tekanan luar tetapi harus berdasarkan komitmen agama, ibadah dalam melaksanakan fungsi profesinya. Tugas profesi harus bisa dikonversi menjadi tugas ibadah;

3. Ketakwaan : Takwa merupakan sikap ketakutan kepada Allah baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan sebagai salah satu cara untuk melindungi seseorang dari akibat negatif dari perilaku yang bertentangan dari syari’ah khususnya dlam hal yang berkitan dengan perilaku terhadap penggunaan kekayan atau transaksi yang cenderung pada kezaliman dan dalam hal yang tidak sesuai dengan syari’ah;

4. Kebenaran dan Bekerja Secara Sempurna : Akuntan tidak harus membatasi dirinya hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan profesi dan jabatannya tetapi juga harus berjuang untuk mencari dan mnenegakkan kebenaran dan kesempurnaan tugas profesinya dengan melaksanakan semua tugas yang dibebankan kepadanya dengan sebaik-baik dan sesempurna mungkin. Hal ini tidak akan bisa direalisir terkecuali melalui kualifikasi akademik, pengalaman praktik, dan

pemahaman serta pengalaman keagamaan yang diramu dalam pelaksanaan tugas profesinya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah dalam Surat An Nahl ayat 90 : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berbuat adil dan berbuat kebajikan, dan dalam Surat Al Baqarah ayat 195 : Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik

5. Takut kepada Allah dalam setiap Hal : Seorang muslim meyakini bahwa Allah selalu melihat

(20)

pengawasan diri berasal dari motivasi diri berasal dari motivasi diri sehingga diduga sukar untuk dicapai hanya dengan kode etik profesi rasional tanpa diperkuat oleh ikatan keyakinan dan kepercayaan akan keberadaan Allah yang selalu memperhatikan dan melihat pekerjaan kita. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Thaha ayat 7 : Sesungguhnya dia mengetahui rahasia dan apa yang lebih tersembunyi;

6. Manusia bertanggungjawab dihadapan Allah : Akuntan Muslim harus meyakini bahwa Allah selalu mengamati semua perilakunya dan dia akan mempertanggungjawabkan semua tingkah lakunya kepada Allah nanti di hari akhirat baik tingkah laku yang kecil amupun yang besar. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Zalzalah ayat 7-8 : Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun niscaya dia akan melihat balasnya pula.

Oleh karena itu akuntan/auditor harus selalu ingat bahwa dia akan mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya dihadapan Allah dan juga kepada publik, profesi, atasan dan dirinya sendiri. Gambaran singkat ini mudah-mudahan menggugah kita bahwa auditing syari’ah sudah mulai berkembang sejalan dengan perkembangan sistem ekonomi islam.

BAB IV KESIMPULAN

Dari tulisan ini kami berkesimpulan sebagai berikut ;

(21)

sebutan “hafazhatul amwal” hal ini merujuk Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 282 yang secara explisit menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan

manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan dalam kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani. Rasulullah memiliki 42 orang penulis yang memiliki spesialisasi didalam pemerintahannya di Madinah, Rasulullah memilih pegawainya dari kalangan sahabat yang memiliki kapabilitas serta kemampuan dan kelayakanuntuk menduduki jabatan yang diamanatkan.

2. Pada masa awalnya buku pencatatan dalam Islam dinamakan “jaridah” yaitu pada masa pemerintahan Daulat Abbasiyyah, sekitar tahun 132 H. ini menunjukan bahwa Daulat

Abbasiyyah sudah mengenal akuntasi tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum penulis Italia Pacioli yang menulis “journal” dalam bahasa Inggris, secara etimologi dua kata “journal” dan “Zornal “ adalah makna dari kata “jaridah” buku catatan pertama pada Negara Islam. Dengan semakin berkembangnya system keuangan dimasa Abbasiyyah, maka semakin spesipik pencatatan-pencatatan transaksi keuangan dengan ditemukannya berbagai macam buku, mulai dari pendapatan, biaya, harta, hingga buku hutang dan piutang. Dengan demikian, dapat dilihat dari sejarah bahwa Islam ternyata lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al-Qur'an telah diturunkan 610 M, yakni 800 tahun lebih dari buku yang yang ditulis Luca Pacioli pada tahun 1494.

3. Al-Ghazali menekankan bahwa perkembangan tujuan penggunaan akuntansi adalah perhatian terhadap pengawasan diri, ini adalah dasar dari pengawasan yang lebih luas lagi karena jika seseorang telah mengawasi dirinya, maka ia telah melakukan evaluasi terhadap dirinya sehingga pengawasan institusi atau organisasi yang lebih luas hasilnya akan lebih baik, dan pada akhirnya menghasilakan kinerja keuangan yang kredibel. Hal ini berdasarkan Al-Qur'an menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah al-Baqarah ayat 284.

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Sofyan S. Harahap Auditing Dalam Perspektif Islam Pustaka Quantum Jakarta 2002 Sofyan S. Harahap Teori AkuntansiLaporan Keuangan Bumi Aksara Jakarta 1994

Referensi

Dokumen terkait

Menaati dan melaksanakan segala ketentuan dan kebijakan organisasi sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, ketetapan dan keputusan Kongres, keputusan

[r]

Terlampir kami informasjkan Daftar Calon Peserta (l-nng List) Sertifikasi bagi Guru RA/Madrasah dalam Jabatan. Daftar ini memuat guru RA/madrasah calon peserta

[r]

 Tanya jawab mengenai hasil temuan dari berbagai referensi dan mencermati contoh jenis-jenis sumber daya alam di buku teks (hal 59 - 60) (nilai yang ditanamkan: Kerja

Dalam evaluasi teknis, persyaratan yang harus dipenuhi adalah Metode pelaksanaan memenuhi persyaratan substantif yang meliputi tahapan/urutan pekerjaan dari awal sampai akhir

1) Seringnya menonton Tayangan Editorial Media Indonesia di Metro TV dan durasi tayang yang terpenuhi dari Tayangan Editorial Media Indonesia di Metro TV dapat menambah

Sehingga teman temanku yang awalnya hanya memakai batik dengan motif yang terbilang “asal pilih” sekarang menjadi lebih mencintai batik dengan mempelajari batik dan