• Tidak ada hasil yang ditemukan

Disparitas Putusan Hakim Terhadap Kasus kekerasan Fisik dalam Tumah Tangga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Disparitas Putusan Hakim Terhadap Kasus kekerasan Fisik dalam Tumah Tangga"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Salah satu tujuan perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang sekaligus

memberikan suatu defenisi perkawinan : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin

antara seorang pria dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

KeTuhanan Yang Maha Esa‟‟.†

Kemudian dalam Pasal 33, ditentukan tentang Hak dan Kewajiban suami

istri yaitu ”Suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati setia dan

memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain, serta dalam Pasal 28 G

ayat (1) UUD 1945 bahwa setiap orang berhak atas Perlindungan diri pribadi,

keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya serta

berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat

atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan Hak Asasi”.‡

Dari ke tiga Pasal diatas dapat diartikan sebagai larangan adanya Tindak

Kekerasan Dalam Rumah Tangga Karena tidak sesuai dengan tujuan perkawinan

,akhak dan kewajiban suami istri serta keadilan bagi rakyatnya. Tujuan

perkawinan adalah untuk memperoleh ketenangan hidup, untuk menjaga

Ridwan Piliang.Perilaku Perkawinan Dalam Membangun Rumah Tangga Bahagia, Ed

pertama. (Medan : Penerbit Indonesia, 2014), hlm. 14.

Nurul Anisa. Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Fisik Yang

(2)

keharmonisan diri dan pandangan mata serta untuk mendapatkan keturunan.§

Disamping itu, perkawinan adalah sarana yang terbaik untuk mewujudkan rasa

kasih sayang sesama manusia yang diharapkan untuk melestarikan keberadaan

manusia dalam kehidupan didunia ini yang pada akhirnya akan melahirkan

keluarga sebagai unit terkecil dalam kehidupan Bermasyarakat.

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh

manusia. Dalam keluarga, manusia belajar untuk mulai berinteraksi dengan orang

lain. Oleh karena itulah, umumnya orang banyak menghabiskan waktunya dalam

lingkungan keluarga. Sekalipun keluarga merupakan lembaga sosial yang ideal

guna menumbuh-kembangkan potensi yang ada pada setiap individu, dalam

kenyataanya keluarga sering kali menjadi wadah bagi munculnya berbagai kasus

penyimpangan atau aktivitas illegal lain sehingga menimbulkan kesengsaraan atau

penderitaan, yang dilakukan oleh anggota keluarga satu terhadap anggota keluarga

lainnya, seperti penganiayaan yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Termasuk

dalam Kekerasan Fisik.**

Kasus kekerasan fisik dalam rumah tangga sangat sering terjadi didapati

bahwa korban paling banyak adalah istri dan pelaku adalah suami sebagaimana

data dari komnas Perempuan dan Anak sebanyak 95% dibandingkan korban

suami namun kekerasan dalam rumah tangga, sangat jarang sekali terungkap

kepublik dikarenakan dirahasiakan atau ditutup-tutupi oleh keluarga maupun

§

Ridwan Piliang. Op.,Cit., h.22 **

(3)

korban sendiri. Disamping itu budaya masyarakat menganggap bahwa masalah

yang terjadi dalam lingkup keluarga adalah masalah atau urusan suami istri

sehingga konflik yang terjadi dalam keluarga dianggap sebagai suatu hal yang

biasa dan tidak boleh dicampuri oleh orang lain.

Sebagaimana diketahui Kekerasan Fisik yang dialami oleh isteri dengan

pelaku adalah suami yang melanggar ketentuan Pasal 5 dan mendapatkan sanksi

hukuman pidana yang dicantumkan pada Pasal 44 Undang –Undang Nomor 23

Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai

berikut :

“Setiap orang dilarang melakukan Kekerasan dalam Rumah tangga terhadap orang dalam lingkup Rumah Tangganya, dengan cara:

a. Kekerasan Fisik

b. Kekerasan Psikis

c. Kekerasan Seksual atau

d. Penelantaran Rumah Tangga

Pasal 44

1. Setiap orang yang melakukan Perbuatan Kekerasan Fisik dalan Lingkup

Rumah Tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000.00 ( lima belas juta)

2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mendapatkan

korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh ) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 ( tiga puluh juta rupiah

3. Dalam hal perbuatan sebagaiman dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan

matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 ( lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah)

4. Dalam hal perbuatan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

(4)

Salah satu problematika dalam penanganan Kasus Kekerasan Dalam

Rumah Tangga adalah timbulnya disparitas pidana dalam hal pemidanaanya.

Permasalahan tersebut sumbernya adalah putusan hakim. Kekuasaan Kehakiman

sebagai suatu kekuasaan Negara yang bebas dan merdeka di satu sisi membawa

dampak yang sangat positif terhadap upaya penegakan hukum di Indonesia.

Dalam hal ini, hakim menjadi suatu badan yang independen dan putusannya tidak

dapat dipengaruhi oleh badan-badan atau kekuasaan lain. Tetapi di sisi lain,

kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusannya ternyata juga membawa suatu

dampak negative yaitu munculnya disparitas pidana itu sendiri.

Disparitas adalah pemidanaan yang berbeda / disparitas pidana merupakan

bentuk dari diskresi Hakim dalam menjatuhkan putusan, tapi disisi lain

pemidanaan yang berbeda / disparitas ini muncul pula kecemburuan sosial dan

juga pandangan negative oleh masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian

diwujudkan dalam bentuk ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam

masyarakat. Kepercayaan masyarakat pun semakin lama semakin semakin

menurun pada peradilan, sehingga terjadilah kondisi dimana peradilan tidak lagi

dipercaya atau dianggap sebagai rumah keadilan bagi mereka atau dengan kata

lain terjadi kegagalan dari sistem peradilan pidana.

Persoalan disparitas putusan pidana dalam Tindak Pidana yang sama

menjadi perhatian khusus dilapangan hukum pidana, karena menyangkut

kepastian hukum yang didambakan oleh terpidana dan masyarakat pada umumnya

demi tegaknya rasa keadilan di Negara Republik Indonesia. Permasalahan yang

(5)

penjatuhan dalam perkara Tindak Pidana yang sama, hal ini terdapat kekosongan

aturan dan ukuran (parameter) yang baku sebagai pedoman oleh Hakim sehingga

dituntut kejelian, kebijaksanaan, kepekaan nyali seorang Hakim didalam

mengambil keputusan yang sangat erat sekali kaitannya dengan Integritas seorang

Hakim yang telah diatur dalam Kode Etik Profesi Hakim sebagai ancaman dan

tanggung jawab Moral Hakim sebagai wajah dan Wakil Tuhan dimuka bumi.††

Berdasarkan fenomena tersebut, maka sangat relevan untuk mengkaji lebih

jauh mengenai Disparitas Putusan Hakim terhadap Kekerasan Fisik Dalam Rumah

Tangga. Dalam analisis terhadap pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan

pidana terhadap kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut diatas,

maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah pengaturan kekerasan dalam dalam rumah tangga

dalam sistem hukum Indonesia?

2. Bagaimana hubungan disparitas dengan putusan Hakim?

3. Bagaimana analisis terhadap disparitas putusan hakim dalam

Kasus-kasus kekerasan fisik dalam rumah tangga?

ΏΏ

(6)

C. Tujuan Penelitian

Manfaat penelitian ini baik secara praktis dan teoritis diharapkan dapat

berguna sebagai :

1. Untuk dapat mengetahui pengaturan kekerasan dalam rumah tangga

dalam sistem Hukum Indonesia.

2. Untuk dapat mengetahui hubungan disparitas dengan putusan hakim

D. Manfaat Penelitian

1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum

Pidana khususnya mengenai disparitas putusan hakim terhadap

kekerasan fisik dalam rumah tangga

2. Bahan rujukan bagi pengembangan Ilmu Hukum, terutama sebagai

referensi bagi penelitian dalam bidang analisis yuridis.

E. Keaslian Penulisan

Untuk mengetahui keaslian penulisan, sebelum melakukan penelitian

disparitas putusan hakim terhadap kekerasan fisik dalam rumah tangga.Pada

dasarnya belum pernah ditulis menjadi judul skripsi di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara. Meskipun terdapat judul yang hampir sama dengan

skripsi ini, akan tetapi substansi pembahasannya berbeda. Adapun skripsi

terdahulu yang pernah ditulis sebelumnya dan memiliki keterkaitannya dengan

(7)

Nama : Eliza Oktaliana Sari

Nim : 010200061

Judul : Tinjauan Yuridis Terhadap Undang-Undang No 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di

Pengadilan Negeri Medan dan di Cabang Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam di

Labuhan Deli)

Pada dasarnya penelitian terdahulu yang dilakukan diatas, tidak sama

dengan penelitian ini. Baik dari judul maupun pokok permasalahan yang dibahas.

Oleh karena itu secara akademik penelitian ini dapat di pertanggung-jawabkan

(8)

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Secara Hukum berdasarkan Pasal 1 UU PKDRT, KDRT adalah setiap

perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum Jadi perlu

dipahami bahwa KDRT tidak hanya selalu masalah kekerasan fisik

yang mengakibatkan luka fisik, tapi juga di dalamnya kekerasan seksual,

kekerasan psikologis, dan penelantaran rumah tangga.‡‡

Menurut KUHP dalam Pasal 89 disebutkan bahwa “yang disamakan

melakukan kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi

(lemah) melakukan kekerasan artinya menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani

tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan

segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya yang disamakan

dengan melakukan kekerasan menurut Pasal ini ialah membuat orang jadi pingsan

atau tidak berdaya. Pingsan artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya,

umpamanya memberi racun kecubung, atau lain-lain obat, sehingga orangnya

tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi

akan dirinya, sedangkan tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau

tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun,

‡‡

(9)

misalnya mengikat dengan tali kaki dan tanggannya, mengurung dalam kamar,

memberikan suntikan sehingga orang itu lumpuh.§§

Lisa Fredman dalam Tinjauan yuridis terhadap tindak pidana kekerasan

dalam rumah tangga, menggunakan istilah kekerasan dalam rumah tangga ini

pada bentuk kekerasan yang berhubungan antara suami –isteri yang salah satunya

bisa menjadi pelaku atau korban. tetapi pada kenyataanya secara umum,

perempuan lebih cenderung menjadi korban (isteri, anak maupun pasangan).

Menurut Zakaria Idris dalam tinjauan yuridis terhadap tindak pidana

kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan adalah perihal yang berciri atau bersifat

keras atau perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera

atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.

Menurut Siti Musdar Muliadalam tinjauan yuridis terhadap tindak pidana

kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan adalah tindakan atau serangan terhadap

seseorang yang memungkinkan dapat melukai secara fisik, psikis, dan mentalnya

serta menyebabkan penderitaan dan kekerasan.***

Berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Kekerasan adalah setiap

perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa menggunakan sarana

terhadap fisik, dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau

menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.†††

§§

LihatKomentar Pasal 89 KUHP, Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),

(Bogor: Politeia, 1995), hal.98. ***

Andi asrul Ansar,Tinjauan yuridis terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (Studi kasus putusan no.139/pid.b/2013/pn.wtp).

ΏΏΏ

(10)

Adapun tujuan Penghapusan kekerasan dalam Rumah tangga yaitu :‡‡‡

1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga

2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;

3. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan

4. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

2. Jenis-Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga

3) Ibu terhadap anak atau sebaliknya (termasuk pembunuhan bayi

oleh ibu);

4) Adik terhadap kakak, kemenakan, ipar atau sebaliknya;

5) Anggota keluarga terhadap pembantu;

4) Adik terhadap kakak, kemenakan, ipar atau sebaliknya;

5) Anggota keluarga terhadap pembantu;

6) Bentuk campuran selain tersebut diatas.

2. Kekerasan Nonfisik /psikis/ Emosional, seperti :

a. penghinaan

b. komentar-komentar yang dimaksudkan untuk merendahkan dan

melukai harga diri pihak istri;

c. melarang istri bergaul;

d. ancaman-ancaman berupa akan mengembalikan istri ke orang tua ;

ΐΐΐ

Ruslan Renggong, Hukum pidana khusus,Cetakan ke-1, (Jakarta : PT Charisma Putra Utama, 2016) hal.260-261.

§§§

(11)

e. akan menceraikan;

f. memisahkan istri dari anak-anaknya dan lain-lain,

3. Kekerasan Seksual, meliputi :

a. Pengisolasian istri dari kebutuhan batinnya;

b. Pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tidak dikehendaki

atau disetujui oleh istri;

c. Pemaksaan hubungan seksual ketika istri tidak menghendaki, istri

sedang sakit atau menstruasi;

d. Memaksa istri menjadi pelacur dan sebaliknya.

4. Kekerasan Ekonomi, berupa :

a. Tidak memberi nafkah pada istri;

b. Memanfaatkan ketergantungan istri secara ekonomis untuk

mengontrol kehidupan istri;

c. Membiarkan istri bekerja untuk kemudian penghasilannya di kuasai

oleh suami. Misalnya memaksa istri menjadi “wanita panggilan”.

Jenis-jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga tercantum dalam ketentuan

Pasal 5 UU No.23 Tahun 2004 menyebutkan, setiap orang dilarang melakukan

kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya

dengan cara :

1. Kekerasan Fisik

2. Kekerasan psikis

3. Kekerasan seksual , atau

4. Penelantaran Rumah Tangga

Kekerasan fisik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah

perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan

psikis sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang

menyebabkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan

untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada

(12)

Pengertian dasar dari kekerasan fisik akibat penganiayaan adalah bila

didapati perlukaan bukan karena kecelakaan (non-accidental). Jelas (perlukan) itu

dapat diakibatkan oleh suatu episode kekerasan yang tunggal atau berulang-ulang,

dari yang ringan hingga yang fatal. Apabila didapati beberapa luka memar lama

dan baru, memar diwajah, hal ini menunjukkan adanya kekerasan akibat

penganiayaan begitu pula tindakan fisik berupa pukulan dengan tangan terkepal

atau alat yang keras, menendang, membanting atau menyebabkan luka bakar

adalah jelas merupakan penganiayaan, terlepas dari berat ringannya luka yang

ditimbulkan.

Kekerasan psikis sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 huruf b

adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,

hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan

psikis berat pada seseorang. Bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi

pengertiannya karena sensitivitas emosi seseorang sangat bervariasi. Dalam suatu

rumah tangga hal ini dapat berupa tidak diberikannya suasana kasih sayang pada

isteri agar terpenuhi kebutuhan emosinya. Hal ini penting untuk perkembangan

jiwa seseorang. Identifikasi akibat yang timbul pada kekerasan psikis lebih sulit

diukur daripada kekerasan fisik.

Pelanggaran seksual ini dapat dilakukan dengan pemaksaan atau tanpa

pemaksaan. Pelanggaran seksual dengan unsur pemaksaan akan menimbulkan

perlukaan dan berkaitan dengan trauma emosi yang dalam bagi perempuan.

Pelanggaran seksual tanpa pemaksaan dilakukan dengan bujukan atau

(13)

anak yang terjadi karena segala keterbatasan pengalaman dan penelantaran anak

.kemungkinan terjadinya tindakan ini telah lama disadari sehingga

delik-deliknnya telah diatur dalam kitab Undang-undang hukum pidana. Namun, pada

perempuan dewasa yang belum terikat pada perkawinan perbuatan seksual tanpa

kekerasan tidak diatur dalam KUHP dan tidak dikategorikan kedalam perkosaan

Pelanggaran seksual dengan unsur pemaksaan ini diberi terminology

khusus yaitu perkosaan. Delik ini telah diatur dalam 285 KUHP yang antara lain

harus memenuhi unsur adanya kekerasan/ ancaman, adanya persetubuhan,

perempuan yang bukan isterinya. Ketiga unsur tersebut harus dibuktikan secara

kumulatif. Kegagalan membuktikan salah satu unsur akan menggagalkan tuduhan

perkosaan.****

Kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 huruf c

meliputi :††††

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang

menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah

tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan / atau tujuan tertentu.”

Pengertian menelantarkan adalah kelalaian dalam memberikan kebutuhan

hidup pada seseorang yang memiliki ketergantungan kepada pihak lain,

khususnya dalam lingkungan rumah tangga. Kurang menyediakan sarana

perawatan kesehatan, pemberian makanan, pakaian dan perumahan yang sesuai

merupakan faktor utama dalam menentukan adanya penelantaran. Namun, harus

****

Aziz Syamsuddin, Tindak pidana khusus,Ed. Pertama (Jakarta : Sinar Grafika, 2011) hal. 102-103.

ΏΏΏΏ

(14)

hati-hati untuk membedakan antara “ketidak mampuan ekonomis “ dengan

“penelantaran yang disengaja”. Bentuk kekerasan jenis ini menonjol khususnya

terhadap anak karena anak belum mampu mengurus dirinya.‡‡‡‡

Dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No.23 Tahun 2004 ditentukan, sebagai

berikut:§§§§

1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

2. Penelantaran sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan /atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah, sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut .‟‟

3. Pengertian Disparitas

Masalah Disparitas pemidanaan menjadi pertanyaan utama yang berkaitan

erat dengan pertanyaan apakah suatu putusan Hakim sudah memenuhi rasa

keadilan. Muladi menyebutnya sebagai „‟DISTURBING ISSUE „‟ dalam berbagai

Sistem Peradilan pidana. Sementara Harkristusi Harkrisnowo menyatakan bahwa

masalah ini sebagai „‟unversal issue „‟ Yang kerap melanda berbagai sistem

peradilan pidana. Masalah disparitas pemidanaan muncul apabila kita

membandingkan penjatuhan sanksi pidana satu putusan hakim dengan putusan

hakim lainnya.*****

Disparitas adalah Pemidanaan yang berbeda / disparitas pidana merupakan

bentuk dari suatu kebijakan yang dilakukan dalam hal mana seseorang penguasa

atau penegak hukum menjalankan kekuasaan atau kewenangan yang diberikan

kepadanya (diskresi Hakim) dalam menjatuhkan putusan, tapi disisi lain

‡‡‡‡

Aziz syamsuddin,Op., Cit.,h.104.

§§§§

Omas Sulistiyowati, Op. Cit., h. 270.

*****

(15)

Pemidanaan yang berbeda / disparitas ini muncul pula kecemburuan sosial dan

juga pandangan negative oleh masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian

diwujudkan dalam bentuk ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam

masyarakat. Kepercayaan masyarakat pun semakin lama semakin menurun pada

peradilan, sehingga terjadilah kondisi dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau

dianggap sebagai rumah keadilan bagi mereka atau dengan kata lain terjadi

kegagalan dari sistem peradilan pidana.

Main hakim sendiri pun menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih

memenuhi rasa keadilan dari pada mengajukan perkara mereka kepengadilan.

Keadaan ini tentu menimbulkam inkonsistensi putusan peradilan dan juga

bertentangan dengan konsep rule of law yang dianut oleh negara kita, dimana

pemerintahan diselenggarakan berdasarkan hukum dan didukung dengan adanya

lembaga yudikatif yakni instuitusi peradilan untuk menegakkan hukum, apa

jadinya jika masyarakat tidak lagi percaya pada penegakan hukum di Indonesia.

Tidak sampai disitu saja konsep equality before the law yang menjadi salah satu

ciri Negara hukum pun masih perlu dipertanyakkan terkait dengan realita yang

ada, dimana disparitas pidana tampak begitu nyata dalam penegakan hukum.

Fakta tersebut merupakan bentuk dari perlakuan peradilan yang tidak sama

terhadap sesama pelaku tindak pidana sejenis yang kemudian diberikan hukuman

yang berbeda. Misalnya dalam kasus pemerkosaan yang sifat dan

karakteristikannya sama, tetapi hakim menjatuhkan pidana yang jauh berbeda.

Disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda

(16)

hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga

dapatlah dikatakan bahwa figure hakim di dalam hal timbulnya disparitas

pemidanaan sangat menentukan. Lebih spesifik dari pengertian itu, menurut

Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori

yaitu :†††††

1. Disparitas antara tindak pidana yang sama

2. Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan

yang sama

3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim

4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang

berbeda untuk tindak pidana yang sama.

Pengertian Disparitas Menurut Pendapat Sarjana :‡‡‡‡‡

1. Bambang Poernomo dalam Yusti Probowati Rahayu, menyatakan bahwa

disparitas pemidanaan diartikan sebagai penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama. Menurut bambang poernomo, disparitas pidana yang bermasalah adalah pemidanaan yang berbeda dalam perkara yang sama pada situasi dan kondisi yang sama sedangkan disparitas yang tidak bermasalah jika keputusan hakim berbeda pada perkara yang sama namun situasi dan kondisinya berbeda .

2. Andojo dalam Yusti Probowati Rahayu, menggunakan istilah

keseimbangan pemidanaan bagi disparitas yang diperbolehkan.

keseimbangan pemidanaan harus didasarkan kepada pertimbangan yang serasi, serasi dengan keputusan-keputusan yang ada, serasi dengan

keputusan–keputusan hakim lain dalam perkara sejenis, serasi dengan

keadilan masyarakat, dan serasi pula dengan keadilan terpidana Tampaknya disparitas pemidanaan ini diperbolehkan jika telah melalui pertimbangan yang tepat. Pertimbangan yang tepat adalah pertimbangan- pertimbangan yang serasi dengan keputusan yang telah ada, serasi dengan keputusan hakim lain dalam perkara yang sejenis, serasi dengan keadilan masyarakat, serasi dengan situasi kondisi terdakwa, dan sesuai dengan perkembangan Zaman.

†††††

https://devidarmawan.wordpress.com/2010/10/07problematika-disparitas-pidana-dalam-penegakan-hukum-di-indonesia/, Diakses 15 Mei 2017, pada pukul 21.00 wib.

‡‡‡‡‡Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, Pemidanaan (Medan: USU PRESS,

(17)

G.Metode Penulisan

Istilah “Metodologi “ berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”

namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan

kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut :§§§§§

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian,

2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan

3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur

Metodologi artinya ilmu tentang cara melakukan sesuatu dengan teratur

(sistematis). Metodologi penelitian artinya ilmu tentang cara melakukan penelitian

dengan teratur (sistematis) .******

Peranan metodologi dalam penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan sebagai berikut :††††††

a. Menambah kemampuan para ilmuan untuk mengadakan atau

melaksanakan penelitian secara lebih baik dan lebih lengkap

b. Memberikan kemungkinan yang lebih besar, untuk meneliti hal hal

yang belum diketahui,

c. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan

penelitian interdisipliner,

d. Memberikan pedoman untuk mengorganisasikan serta

mengintegrasikan pengetahuan mengenai masyarakat.

§§§§§

Soerjono Soekonto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.Ketiga, (Jakarta : Universitas Indonesia (Ui Press) 1986), hlm.5-7.

******

Abdulkadir Muhammad,Hukum dan Penelitian hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004) hlm.57.

ΏΏΏΏΏΏ

(18)

Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa metodologi merupakan suatu

unsur yang mutlak yang harus ada didalam penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian, ini merupakan penelitian hukum normative, bersifat

deskriftif dan menggunakan pendekatan yuridis. Penelitian hukum normative atau

dengan nama lain penelitian hukum doktriner adalah penelitian yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka atau atau data sekunder belaka. Penelitian

hukum normative sendiri mengacu pada berbagai bahan hukum sekunder,‡‡‡‡‡‡

yaitu KUHP, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006

Tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan dalam

Rumah Tangga, karya-karya ilmiah, serta artikel-artikel terkait.

2. Sumber Data

Sumber data adalah subjek dari mana data diperoleh. Sumber data dapat

diperoleh dari data primer dan data sekunder. Sumber data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak

langsung.§§§§§§Data Sekunder dalam penelitian hukum terdiri atas tiga bahan

hukum, yaitu :*******

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,

seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan berbagai Peraturan hukum nasional yang mengikat antara lain : KUHP,

‡‡‡‡‡‡

Soerjono Soekonto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Cet. Ketujuh, Ed. Pertama (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2003), hlm.13-14.

§§§§§§

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Cet. Kedua, Ed. Pertama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.36.

*******

(19)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, Peraturan- Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan dan kerja sama pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian hasil karya dari kalangan hukum, dan berbagai karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus ensilokpedia, majalah, dan seterusnya.

3. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data diperlukan untuk memperoleh suatu kebenaran

dalam penulisan skripsi, dalam hal ini digunakan metode pengumpulan data

dengan cara studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisi data secara

sistematis melalui buku-buku, surat kabar, makala, internet dan bahan-bahan lain

yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Analisis data penelitian menggunakan analisis normative kualitatif, yaitu

data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis

secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan

hasilnya dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan guna

mendapatkan data yang bersikap deskriftif, yaitu data-data yang akan diteliti dan

(20)

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka akan diberikan gambaran

secara ringkas mengenai uraian dari bab ke bab yang berkaitan satu dengan yang

lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

Bab I merupakan bab pendahuluan. Pada bab ini digambarkan secara

umum tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat penulisan,

tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan yang akan

berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Bab II menjelaskan aturan hukum yang mengatur mengenai kekerasan

dalam rumah tangga dalam KUHP, Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun

2004 Tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, dalam PP nomor 4

tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja sama Pemulihan Korban

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Bab III merupakan Disparitas dalam putusan hakim yang terdiri dari jenis

jenis putusan hakim, hal hal yang perlu dipertimbangkan oleh hakim dalam

penjatuhan putusan perkara tindak pidana, faktor-faktor yang mempengaruhi

terjadinya disparitas putusan hakim.

Bab IV Analisis terhadap Disparitas Putusan Hakim dalam kasus-kasus

kekerasan Fisik dalam Rumah Tangga:

E. Putusan pengadilan Negeri Medan Nomor

2640/PID.SUS/2015 PN MDN

F. Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor

(21)

G. Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 572/PID.SUS/2016

PN MDN

Pada bab V ini berisikan kesimpulan dari bab –bab terdahulu, serta saran

Referensi

Dokumen terkait

Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan

Adanya kerjasama diantara pihak-pihak terkait, pemerintah, petani, tengkulak, dan penyuluh, akan mendukung dalam pengimplementasian gagasan yang dapat dijadikan

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik itu faktor dari dalam individu itu sendiri

CD pembelajaran interaktif matematika ini menjadi solusi terbaik untuk siswa kelas V Madarash Ibtidaiyah (MI) NU Islamiyah Golantepus, Mejobo, Kudus karena di

Hal ini menunjukkan terjadi hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga pesien Skizophrenia dengan peningkatan adaptasi pasien Skizoprenia.. Tingkat adaptasi yang

- Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel pengetahuan (literasi) berpengaruh signifikan terhadap strategi perencanaan keuangan, sedangkan variabel lingkungan

(2012). Faktor-faktor yang mempegaruhi literasi keungan mahasiswa adalah 1) status sosial ekonomi orang tua, 2) Pendidikan pengelolaan keuangan, 3).. 5. Pembeljaran di

Gingivitis merupakan salah satu penyakit gigi dan mulut dengan ciri terjadinya peradangan gingiva, menyerang pada sebagian besar ibu hamil.. Konsumsi kalsium dan menjaga