Bab Empat
Ritus
Manuba Ba Adat
Sebelum penulis membahas tentang Ritus Manuba Ba Adat secara mendalam maka penulis akan menunjukkan data hasil observasi yang penulis lakukan selama kegiatan penelitian. Penulis menemukan ada dua jenis kegiatan Manuba berdasarkan motif masyarakat yang mendasari mereka untuk melakukan kegiatan ini, yaitu:
1. Manuba Ba Adat hujan kepada dewata2. Dalam pelaksanaannya kegiatan ritus Manuba Ba Adat dilakukan berdasarkan norma dan aturan yang telah diatur secara adat. Dalam pelaksanaannya ada ritual yang harus dilakukan dan akar tuba yang dipakai tidak menggunakan bahan kimia tambahan. Dalam pelaksananaannya kegiatan ini diikuti oleh ± 4 desa yang turut berpartisipasi. Kegiatan ini dilakukan di sungai besar.
2. Manuba Ilegal
Manuba Ilegal adalah kegiatan Manuba yang biasanya dilakukan oleh masyarakat di mana dalam pelaksanaannya tidak ada kordinasi yang jelas dan pesertanya juga hanya ± sekitar 4-8 orang saja. Kegiatan ini biasanya dilakukan spontan dan masyarakat biasanya hanya fokus pada mencari ikan. Akar tuba
yang dipakai biasanya dicampur dengan bahan kimia lainnya seperti racun hama, petisida, tiodan, potas dan decis. Kegiatan ini biasanya dilakukan di danau atau kolam. Masyarakat yang ikut serta dalam Manuba ilegal ini biasanya adalah masyarakat pendatang dan juga beberapa masyarakat lokal yang sudah tidak begitu memahami tentang pengetahuan lokal dan adat istiadat mereka.
Sejarah Ekologi Masyarakat Dayak Tomun Lamandau
Masyarakat Dayak Tomun Lamandau memiliki sejarah ekologi yang sama dengan masyarakat Dayak secara umum. Menurut Bapak Kota, ketergantungan mereka terhadap sungai dan hutan menjadi ciri khas masyarakat Dayak khususnya masyarakat Dayak Tomun Lamandau, hal ini terlihat dalam kegiatan mereka sehari-hari seperti masih menggunakan kayu untuk memasak dan masih bergantung penuh terhadap sungai, seperti digunakan untuk mencuci, mandi, BAB dan jalur transportasi. Berikut merupakan kutipan wawancara dengan Bapak Kota.
“Sampai saat ini hutan dan sungai selalu memberikan yang kami butuhkan, sehingga kami harus merawat dan menjaganya. Kami masih memasak menggunakan kayu dan untuk mandi, untuk air minum dan untuk ke ladang kami masih memanfaatkan sungai”
Sebelum membahas lebih jauh, penulis hendak memaparkan terlebih dahulu mengenai pembagian alam menurut masyarakat Dayak. Menurut Riwut (2003), alam menurut masyarakat Dayak dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Alam atas
Sanghiang3. Menurut kepercayaan masyarakat Dayak, dari bumi menuju Tahta Kuasa Ranying harus melewati tujuh langit dan empat puluh susunan embun.
b. Pantai danum kalunen (bumi)
Bagi masyarakat Dayak, bumi merupakan tempat kehidupan sementara, di mana manusia harus berbuat baik.
c. Alam bawah
Alam bawah sadar merupakan dunia yang berada di bawah tanah dan di bawah air. Masyarakat Dayak percaya bahwa salah satu penghuni alam bawah tanah adalah Kalue Tunggal Tusoh (penguasa tumbuh-tumbuhan). Bentuk penghormatan dari masyarakat terhadap penguasa tumbuh-tumbuhan ini adalah dengan cara memberikan sesaji atau sesajen yang biasanya digantung di dahan pohon.
Pola interaksi masyarakat Dayak, khususnya masyarakat Dayak Tomun Lamandau dalam berinteraksi dengan alam tidak terlepas dari filosofi masyarakat adat yang menganggap alam sebagai bagian dari kehidupannya yang harus dijaga dan dirawat. Hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab karena masyarakat Dayak Tomun Lamandau dalam kehidupan sehari-hari sangat bergantung terhadap alamnya. Ketergantungan ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti mengandalkan hasil hutan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menggunakan sungai untuk mencuci, mandi, untuk air minum dan jalur transportasi.
Guna menghormati dan menjaga alamnya, dalam setiap kegiatan adat maupun kegiatan sehari-hari, masyarakat Dayak Tomun Lamandau selalu menganggap alam khususnya hutan mempunyai kekuatan yang sakral sehingga mereka akan memberikan sesaji baik yang diberikan untuk alam maupun untuk Dewata. Sesaji yang diberikan melambangkan hubungan baik antara masyarakat dengan
alamnya. Kepercayaan mereka terhadap makhluk halus penunggu hutan membuat beberapa hutan masih terjaga dengan baik. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Kota, beliau mengatakan bahwa hutan memilik arti yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Dayak Tomun Lamandau yang berada di Desa Batu Tunggal karena telah menyediakan kebutuhan mereka sehingga hutan harus dirawat agar sesuai dengan kebutuhan generasi yang akan datang.
Menurut Samsoedin dan Sukiman (2010), masyarakat suku Dayak yang telah hidup secara turun temurun dengan lingkungannya pada dasarnya memiliki pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan tersendiri dalam pengelolaan sumberdaya alam. Hubungan simbiosis yang erat dengan alam sekitarnya dari generasi ke generasi ini pada akhirnya melahirkan kearifan dan teknologi tradisional tersendiri yang unik dan spesifik yang tidak terduplikasi dan diketemukan di tempat lain.
Sejarah Ritus Manuba Ba Adat
kegiatan dari kegiatan ritus ini. Akan tetapi walaupun demikian, Desa Batu Tunggal sampai saat ini masih mempertahankan kegiatan dari ritus ini, hal ini dikarenakan masyarakat masih memiliki komitmen bersama untuk menjaga kebudayaan ini. Berikut merupakan kutipan wawancara dengan Bapak Kota:
“Di Lamandau sudah banyak yang tidak mempraktikan ritus
Manuba Ba Adat. Masyarakat adat takut terhadap sangsi yang diberikan karena menggunakan akar tuba. Di Batu Tunggal, ritus ini masih dapat berjalan dengan baik karena adanya komitmen kami untuk tetap menjaga warisan nenek
moyang”
Peralatan Yang Digunakan Dalam Ritus Manuba Ba Adat
Dalam kegiatan ritus Manuba Ba Adat ada beberapa peralatan yang digunakan oleh masyarakat adat dalam menunjang pelaksanaan kegiatan ritus ini. Dalam beberapa perlengkapan mempunyai simbol dan makna tertentu bagi masyarakat Dayak Tomun Lamandau yang berada di Desa Batu tunggal, sehingga penulis berusaha untuk memaparkanya berdasarkan hasil wawancara. Peralatan yang diguna-kan oleh masyarakat dalam kegiatan ritus Manuba Ba Adat, oleh penulis dibagi menjadi enam bagian, yaitu:
a. Perlengkapan untuk berkemah
membangun tenda. Kegiatan membuat tenda ini pun biasanya dilakukan secara gotong royong.
b. Perlengkapan konsumsi
Segala bentuk perlengkapan konsumsi akan dibawa secara mandiri oleh semua peserta ritus Manuba Ba Adat. Perlengkapan konsumsi tersebut terdiri dari peralatan memasak mulai dari kompor minyak, minyak tanah, beras, minyak goreng, pisau atau parang, piring, gelas dll. Jika ada masyarakat yang memerlukan bantuan yang berhubungan dengan konsumsi maka masyarakat atau peserta yang lain akan membantu, mulai dari meminjamkan atau memberi yang diperlukan. Di bawah ini merupakan gambar perlengkapan konsumsi yang dibawa oleh peserta dari ritus Manuba Ba Adat:
Sumber: Data Primer 2014
Gambar 4.1. Perlengkapan Konsumsi Peserta Ritus
c. Perlengkapan untuk Balai dan Pantar
ini akan menjadi kurang sempurna. Untuk Balai, yang harus diper-siapkan adalah bambu4, kain sarung maupun kain panjang5, bendera6.
Tiang pantar yang harus dipakai dalam kegiatan ritus ini harus berjumlah ganjil seperti 3 (tiga), 5 (lima) dan 7 (tujuh). Masyarakat percaya jika tiang pantar yang dipakai melebihi ketentuan yang sudah ada maka mereka percaya bahwa mereka akan dianggap mengutuk Dewata. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Kota, beliau mengatakan bahwa angka-angka tersebut terlihat dalam jumlah peralatan yang dipakai dalam kegiatan ritus. Jika tidak menggunakan angka-angka yang sudah ditentukan maka masyarakat akan mengalami musibah. Berikut kutipan wawancaranya;
“Dalam ritus Manuba Ba Adat harus menggunakan menggunakan angka 3, 5, 7. Contohnya jumlah tiang pantar yang akan didirikan (3 tiang), jumlah perahu daun7 (kehilipan) yang akan dihanyutkan (7 perahu), jumlah gelas dari bambu (3 ruas bambu), 5 buah bendera yang dipasang disekeliling balai, 3 pasangan lawan jenis untuk menari nganjan, 7 kali mengelilingi pantar dalam menari nganjan dan 7 tingkatan tangga yang diletakkan di depan balai. Angka ganjil tersebut dipercaya merupakan angka yang memang harus digunakan. Masyarakat percaya jika angka yang
digunakan tidak sesuai maka akan mendapat musibah”.
Menurut Daeng (2008), makna angka yang selalu digunakan oleh masyarakat adat selalu mempertimbangkan makna simboliknya. Seperti angka 2 (dua) dan angka 3 (tiga), 5 (lima), 7 (tujuh), masing-masing angka tersebut mempunyai makna tersendiri. Angka 2 (dua) dan angka 3 (tiga) dipakai sebagai tanda keselarasan, angka 5 (lima)
4 Fungsi dari bambu adalah untuk membangun kerangka balai dan tangga yang diletakan dibagian depan balai. Masyarakat percaya jika balai dibuat dari bambu maka doa mereka akan cepat tercapai.
5 Kain ini berfungsi untuk menutup balai. Untuk atap dan dinding balai.
6 Bendera yang digunakan berjumlah 5 warna, yaitu warna kuning, bendera merah putih dan tiga kain batik dengan motif dan warna yang berbeda. Kain kuning bagi masyarakat melambangkan sesuatu yang sakral. Bendera merah putih dipakai sebagai simbol pengakuan mereka terhadap bangsa ini dan kain batik digunakan sebagai pelengkap tanda. Bendera bermakna sebagai tanda yang diberikan masyarakat kepada dewata bahwa sedang ada acara dan balai sudah didirikan, sehingga dewata yang dipanggil sudah bisa datang.
dipakai sebagai simbol rejeki dan angka 7 (tujuh) mempunyai makna kesempurnaan tertinggi dan penggenapan. Seperti halnya masyarakat Dayak Tomun Lamandau, angka-angka tersebut mempunyai makna keselarasan, simbol rejeki dan makna kesempurnaan, walaupun masya-rakat tidak menyadari makna dari simbol angka yang mereka gunakan.
Dalam kegiatan ritus Manuba Ba Adat yang dilakukan di Desa Batu Tunggal, tiang pantar yang dipakai berjumlah tiga buah tiang. Tiang pantar yang akan dipakai harus merupakan batang kayu yang sudah lama terendam di dalam air dan berada di sungai dalam waktu yang lama. Makna dari tiang pantar yang terendam ini adalah supaya ikan yang kena air tuba tersebut akan mengambang di atas air. Di bawah ini merupakan gambar dari balai dan tiang pantar yang ada dalam kegiatan ritus Manuba Ba Adat di Desa Batu Tunggal;
Sumber : Data Primer, 2014
Gambar 4.2. Balai Dan Tiang Pantar
d. Perlengkapan musik dan tarian
Alat musik yang digunakan adalah alat musik tradisional masyarakat Dayak Tomun Lamandau seperti Gong. Akan tetapi ada juga alat musik yang dibuat oleh masyarakat dari kayu yang dipotong dan ketika dipukul alat musik tersebut menghasilkan nada yang bervariasi.
beberapa masyarakat sedang memainkan alat musik. Alat musik ini digunakan untuk mengiringi tarian nganjan dan beigal.
Sumber: Data Primer, 2014
Gambar 4.3. Masyarakat Sedang Memainkan Alat Musik
e. Perlengkapan untuk sesaji
Untuk membuat sesaji yang akan diletakan di bagian depan dan belakang balai memerlukan: bambu yang sudah diserut halus, kemudian dianyam membentuk segiempat, ayam satu ekor8, tuak9, lomang/ ketan yang dimasak didalam bambu10 dan dupa. Berikut merupakan gambar dari sesaji, lomang dan dupa yang dipakai dalam kegiatan ritus Manuba Ba Adat, yaitu: angka 1 merupakan gambar dari dupa yang akan dibakar dalam kegiatan ritus ini. Angka 2 (gambar bagian kiri) merupakan gambar dari lomang yang sudah masak. Angka 3 (gambar bagian kanan), merupakan gambar dari sesaji dan tuak
8 Ayam didapat dari hasil iuran masyarakat. Biasanya masyarakat akan memberi sejumlah uang kepada panitian ritus kemudian uang tersebut akan digunakan demi kepentingan ritus, salah satunya adalah membeli ayam untuk sesaji.
Sumber : Data Primer 2014
Gambar 4.4. Sesaji, Lomang dan Dupa
Lomang biasanya dimasak oleh ibu-ibu yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan ritus Manuba Ba Adat. Lomang berisi beras ketan yang diberi santan. Berikut merupakan gambar di mana ibu Hotto sedang memasak lomang yang ditemani oleh saudara dan ibunya.
Sumber: Data Primer, 2014
f. Perlengkapan untuk Lumpag’ng
Perlengkapan yang digunakan untuk kegiatan Lumpag’ng, oleh penulis dibagi menjadi dua berdasarkan kegiatan Lumpag’ng, yaitu:
Lumpag’ngdalam prosesi ritus Manugal
Dalam kegiatan ini beberapa perlengkapan yang diperlukan adalah tuak, perlengkapan pepinangan (buah pinang, daun sirih, tembakau, kapur dll) dan ruas bambu yang digunakan sebagai gelas berjumlah 7 ruas.
Sumber : Data Primer 2014
Keterangan : Tanda panah merah untuk gambar pepinangan dan tanda panah hijau untuk gambar tuak.
Gambar 4.6. Tuak Dan Pepinangan
Sumber : Data Primer 2014
Lumpag’ngdalam prosesi ritus Manuba Ba Adat
Perlengkapan yang diperlukan untuk Lumpag’ng dalam prosesi ritus Manuba Ba Adat adalah akar tuba, tuak, pepinangan, tiang pantar, peralatan untuk tarian nganjan dan beigal, kayu yang sudah dibentuk seperti pemukul bola kasti gunanya untuk mencacah akar tuba dan daun sensabag’ng untuk perahu kehilipan.
Sumber : Data Primer 2014
Gambar 4.8 Kayu Pencacah Akar Tuba
g. Perlengkapan untuk mencari ikan
Perlengkapan untuk mencari ikan biasanya dipersiapkan sendiri oleh masyarakat yang ikut ritus Manuba Ba Adat, seperti tangu’ dan
tembulig’ng.
Sumber : Data Primer 2014
Gambar 4.9. Tangu’
Sumber : Data Primer 2014
Gambar 4.10. Tembulig’ng
Jenis Ikan Di Desa Batu Tunggal
Tabel 4.1 dan gambar mengenai jenis-jenis ikan yang berada di Desa Batu Tunggal akan disajikan melalui Gambar 4.11.
Tabel 4.1. Jenis Ikan Di Desa Batu Tunggal
Sumber : Data diolah Tahun 2015
Baung Putih (Mystus baramensis) Puhing/Regawan (Cyclocheilichthys repason)
Lampam (Puntius rhomboocellatus) Salap/Tengadak (Barbonymus schwanenfeldii)
NO Suku Jenis Nama Lokal
1 Bagridae Mystus baramensis Baung Putih/
Kanuri
2 Cyprinidae Barbonymus schwanenfeldii Salap/ Tengadak
Cyclocheilichthys repasson Puhing/ Rengawan Osteochilus kelabau Kalabau
O. triporos Banta Puntius rhomboocellatus Lampam Rasbora maculate Saluang Sungai
3 Hemiramphidae Hemirhampodon
chrysopunctatus
Jalujung
4 Siluridae Kryptopterus macrocephalus Lais
5 Tetraodontidae Tetraodon reticularis Buntal Kelapa
Banta (O. triporos) Kalabau (O. kelabau)
Saluang Sungei (Rasbora maculata) Buntal kelapa (Tetraodon reticularis)
Jajulung (Hemirhampodon chrysopunctatus) Lais (Kryptopterus macrocephalus)
Sumber : Data Bappeda Tahun 2012
Gambar 4.11. Ikan Hasil Manuba Ba Adat Di Desa Batu Tunggal
Prosesi Ritus Manuba Ba Adat
Manuba Ba Adat merupakan rentetan acara menugal di Huma. Berdasarkan wawancara dengan Bapak. Alexander Lauh (58 Tahun), Masyarakat percaya bahwa jika selesai Menugal dan belum melakukan Manuba Ba Adat maka rentetan dari ritus ini belum selesai. Manuba Ba Adat bagi masyarakat mempunyai makna meminta hujan kepada dewata setelah mereka Manugal. Seperti dituturkan oleh Bapak Alexander Lauh (58 Tahun), dalam wawancara yang penulis kutip di bawah ini:
“Manuba Ba Adat merupakan ritual adat yang mempunyai
(menanam padi) di Huma (ladang). Kami percaya jika selesai Menugal dan belum melaksanakan ritual Manuba Ba Adat
maka rentetan dari ritus Menugal belum selesai”
Sebelum membahas tentang Manuba Ba Adat maka akan dibahas terlebih dahulu prosesi Manugal di Huma. Prosesi Manugal masih dilakukan sampai sekarang karena masih banyak masyakat Dayak yang mempunyai mata pencaharian sebagai petani khususnya di Desa Batu Tunggal, walaupun juga ada beberapa masyarakat yang bekerja sebagai Guru, Berdagang dan bekerja di pemerintahan.
Menurut Nurcahyani (2003), ada beberapa tahap yang dikenal oleh masyarakat Dayak mengenai pengelolaan lahan tempat Manugal. Sebelum membahas lebih jauh maka perlu dipahami terlebih dahulu bahwa sistem pertanian di Kalimantan sampai saat ini masih dilakukan secara tradisional. Pengelolaan lahan masih menggunakan tenaga manusia dan hasilnyapun masih bergantung pada kesuburan alami dari tanah. Untuk membuka lahan baru, masyarakat Dayak masih memakai cara-cara tradisional, memperhatikan tanda-tanda alam dan mendengarkan berbagai jenis bunyi burung yang dipergunakan sebagai petunjuk. Pembukaan lahan tersebut akan dibatalkan jika ditemukan tanda-tanda yang tidak baik seperti batu asah dikerumuni oleh semut, ada orang yang meninggal dan melalui mimpi. Namun ada ketentuan yang yang menjadi kebiasaan apabila ladang tersebut sudah digunakan selama turun temurun maka ketika akan memulai menanam masyarakat akan melakukan upacara adat.
musim membakar lahan dan pada bulan September adalah musim Manugal atau menanam benih padi di ladang.
Kegiatan Manugal biasanya dilaksanakan di tengah ladang, akan tetapi dalam prosesi Manuba Ba Adat, kegiatan Manugal akan dilakukan lagi di atas batu-batu di mana prosesi doa-doa dilaksanakan. Kegiatan Manugal yang dilaksanakan dalam ritual Manuba Ba Adat hanya berupa simbol yang menyatakan bahwa ritual ini tidak bisa lepas dari rentetan dari kegiatan Manugal. Berikut merupakan prosesi ritus Manugal yang dilaksanakan berdasarkan wawancara dengan Bapak Alexander Lauh, yaitu:
1.
Lumpag’ng11 PabuagkanAcara ini artinya berdoa supaya ladang menjadi subur dan menghasikan padi yang banyak.
2.
Lumpag’ng KaratikaKaratika artinya adalah waktu. Yang dimaksud dengan Karantika dalam konteks ini adalah waktu menugal12, ngoja’13, mehobag’ng14. Arti dari prosesi ini adalah telah tibanya saat bagi masyarakat untuk mulai melakukan segala kegiatan di ladang.
3.
Lumpag’ng SakonyangDalam acaranya ini masyarakat memberikan sesaji yang diberikan kepada Syang Hiang Sori Duwata Padi, maksud dari acara ini adalah masyarakat percaya mereka harus membuat kenyang dewata padi supaya padi mereka diberkahi. Mereka percaya sebelum mereka kenyang (memanen padi) mereka harus membuat dewata kenyang dahulu.
4.
Lumpag’ng Tugal & Kangkag’ngArtinya dalam acaranya diberitahukan aturan yang harus dipatuhi di mana pihak laki-laki harus memegang tugal (alat untuk membuat lobang ditanah yang nantinya akan ditanami bibit padi)
11Kata Lumpag’ng merupakan prosesi doa-doa yang dipanjatkan. 12 Menanam padi
13 Doa mengurus padi di ladang
dan perempuan melangkahi lubang tukal untuk menanam dan perempuan yang harus menyemai bibit padi atau memasukan bibit padi kelubang bibit yang sudah dibuat (kangkag’ng).
5.
Lumpag’ng sempolahLumpag’ng dibelah menjadi 4, sebelum dibelah ada doa yang dipanjatkan “meanhi nendayan’tkan ka lomhag’ng coru’, Bukit natai”15
6.
Lumpag’ng tuntug’ng“tuntug’kam pehonha’ pehiri, Behuma ulih padi, bejolu ulih lau’, Bebungkug’ng bosar, beruas dalap’m, bebatag’ng pipih, bedaut’n lumhah, bebigi’ muras berisi gerantug’ng hempodu sorah”16
Setelah prosesi ritus Manugal selesai maka selanjutnya acara Ritus Manuba Ba Adat bisa dilaksanakan. Berikut akan dijelaskan proses pelaksanaan Ritus Manuba Ba Adat yang telah dilaksanakan di Desa Batu Tunggal, berdasarkan wawancara dengan Bapak Kota, selaku Manter Adat Desa Batu Tunggal.
1. Persiapan (Hari Pertama)
Persiapan yang dilakukan oleh masyarakat adalah membentuk panitia yang diketuai oleh ketua adat, panitianya terdiri dari ketua-ketua RT (Rukun Tetangga). Selain itu yang harus dipersiapkan adalah tuak yang dikumpulkan secara swadaya dan sukarela, sesaji, hewan kurban, alat musik, bambu untuk mempersiapkan balai dan tempat sesaji, kayu yang akan digunakan sebagai tiang Pantar, kain dan selendang yang akan digunakan untuk menari, bendera dan kain yang akan dipasang di balai.
Pada hari pertama masyarakat berbondong-bondong menuju tempat ritual adat yang akan dilakukan di sungai. Masyarakat menggunakan sampan dan perahu bermotor untuk menuju ketempat
ritual tersebut. Tempat yang akan dilaksanakannya prosesi ritual Manuba Ba Adat adalah Korangan Garig’ng17.
Sumber: Data primer Tahun 2014
Gambar 4.12. Persiapan Menuju Korangan Garig’ng18
Sesampainya di Korangan Garig’ng masyarakat mulai mencari bambu dan kayu untuk membuat tenda sebagai tempat bernaung masyarakat yang akan bermalam dan panitia juga mulai mempersiapkan balai dan tiang pantar yang akan digunakan untuk prosesi yang akan dilakukan pada malam hari.
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Gambar 4.13. Masyarakat Memasang Tenda Dan Panitia Membuat Balai
17Korangan artinya adalah daerah sungai yang mengering dan membentuk dataran kering.
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa masyarakat sedang memasang tenda dan beberapa panitia sedang menganyam dan menyerut bambu yang akan digunakan untuk membuat balai.
Pada malam pertama di sungai, prosesi adat dimulai pada pukul 7 malam. Acaranya adalah memanjatkan doa-doa19, melakukan musyawarah untuk menentukan batas air tuba, berapa akar tuba yang telah dikumpulkan dan berapa orang yang menghadiri kegiatan Manuba. Mendirikan tiang pantar dan menari nganjan20. Selain itu juga ada doa-doa (Lumpag’ng) yang dilaksanakan di atas Korangan Garig’ng. Ketika acara doa-doa (Lumpag’ng) dilaksanakan masyarakat secara sukarela memberikan tuak kepada mereka yang ikut dalam prosesi ini, biasanya yang ikut adalah panitia dan orang-orang yang telah dituakan di kampung tersebut, sedangkan masyarakat yang lain hanya mengikuti didekat mereka yang berkumpul tersebut dengan membentuk kelompok sendiri. Berikut merupakan prosesi acara doa-doa (Lumpag’ng):
a) Lumpag’ng haup’m pakat
Dalam kegiatan ini kepala adat dan para tetua-tetua kampung melaksanakan musyawarah untuk menentukan berapa akar tuba yang akan digunakan, menentukan batas air dan jumlah undangan. Kegiatan ini dilaksanakan pada malam hari. Kesepakatan yang dihasilkan adalah masing-masing peserta Manuba Ba Adat diwajibkan membawa akar tuba seberat 1 mengkolag’ng per kepala keluarga atau per perahu. Satu mengkolag’ng sama dengan ¼ kg. Batas air yang akan kena air tuba ditentukan mulai dari daerah Nanga Koring, di mana posisi daerah ini berada di bagian hulu sungai dan maksimal berakhir di desa bagian hilir yaitu Desa Nanga
19Lumpag’ng
Kemujan. Gambar mengenai kegiatan Lumpag’ng haup’m pakat disajikan dalam gambar berikut.
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Gambar 4.14. Lumpag’ng Haup’m Pakat
b) Lumpag’ng pegoyap’, pegayah kebabas kalukar
Acara ini mempersiapkan ritual mencari tuba dihutan atau di babas atau bekas ladang, akan tetapi masyarakat di Desa Batu Tunggal biasanya sudah tidak mecari akar tuba lagi karena beberapa masyarakat sudah membudidayakan tanaman ini. Kegiatan mencari akar tuba dilakukan di ladang masing-masing, akan tetapi Lumpag’ng pegoyap’, pegayah kebabas kalukar dilaksanakan di Korangan Garig’ng yang berada di daerah Nangakoring.
c) Lumpag’ng pecabut’an
Adalah ritual mencabut akar tuba. walaupun kegiatan membaca doa-doa (Lumpag’ng) tersebut dilaksanakan di Korangan
d) Lumpag’ng pangumpulan
Merupakan ritual mengumpulkan akar tuba. Kegiatan mengumpulkan tuba ini dilaksanakan di Korangan Garig’ng. Panitia memberitahukan kepada peserta untuk mengumpulkan akar tuba yang mereka miliki kepanitia. Setiap perahu diwajibkan untuk memberikan akar tuba minimal sebesar 1 mengkolag’ng atau sama dengan 2 kg akar tuba yang belum dicacah. Dalam kegiatan ritus Manuba Ba Adat, akar tuba yang telah dikumpulkan ± sebanyak 2000 mengkolag’ng atau 2 ton21.Masyarakat yang diwajibkan untuk memberikan akar tuba adalah hanya masyarakat yang berada di Desa Batu Tunggal karena mereka merupakan tuan rumah di mana acara tersebut dilaksanakan. Berhubung tidak semua peserta berada dalam satu tempat yang sama untuk bermalam, maka cara yang digunakan oleh panitia adalah mendatangi dengan cara berperahu beberapa tempat baik di hilir maupun di hulu sungai yang menjadi tempat bermalam masyarakat atau tempat masyarakat mendirikan tenda. Acara ini dilaksanakan pada malam hari sebelum Manuba. Akar tuba yang sudah dikumpulkan oleh masyarakat dapat dilihat pada Gambar 4.15.
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Gambar 4.15. Akar Tuba yang Sudah Dikumpulkan
e) Lumpag’ng turut’n kakoragkan
Merupakan ritual turun ke batu-batu yang telah mengering di sungai di mana acara akan dilaksanakan. Semua masyarakat harus ikut turun dan berpartisipasi. Dalam kegiatan ini dilakukan beberapa ritual seperti memoles akar tuba dengan darah yang diambil dari jengger ayam hitam (sengkolan akar tuba), mendirikan tiang pantar dan menari Nganjan yang mengelilingi akar tuba yang sudah diletakkan di sekeliling tiang pantar. Dalam prosesi mendirikan tiang pantar tidak sembarangan, ada doa-doa yang dipanjatkan dan tiang pantar harus didirikan mulai dari tiang yang berada ditengah, kemudian tiang yang berada di sebelah kanan dan selanjutnya tiang yang berada di sebelah kiri. Tiang pantar juga harus diambil dari batang kayu yang sudah lama terendam di dalam air, masyarakat percaya dan meyakini jika tiang pantar diambil dari kayu yang sudah lama terendam maka ikan yang akan mengambang atau timbul kepermukaan. Jumlah tiang pantar yang dipakai dalam ritual Manuba Ba Adat adalah tiga batang.
Acara ini adalah acara terakhir yang dilakukan masyarakat sebelum menyambut datangnya hari puncak di mana acara Manuba Ba Adat dilaksanakan. Pada malam ini kegiatan dilaksanakan sampai jam satu malam. Setelah acara ini selesai maka masing-masing orang akan mengambil akar tuba yang sudah selesai dikelilingi dan diberi doa, supaya akar tuba tersebut tidak tertukar dengan yang lain biasanya masyarakat akan memberikan tanda pada akar tuba yang mereka kumpulkan seperti memberi nama dan membedakan jenis ikatan. Sesudah mengikuti segala rangkaian kegiatan ini para tetua adat dan masyarakat beristirahat untuk mempersiapkan acara keesokan harinya.
2. Puncak Acara (Hari Kedua)
di atas perahu. Masyarakat akan mampir kepinggir sungai hanya untuk membersihkan ikan atau untuk makan dan beristirahat sejenak.
Sebelum berangkat untuk melaksanakan puncak acara Manuba Ba Adat, ada beberapa prosesi doa-doa (Lumpag’ng) yang dilakukan, yaitu: a. Lumpag’ng pencaca’an
Kegiatan pertama yang dilakukan adalah acara memukul akar tuba. Memukul akar tuba dilakukan oleh para bapak, kegiatan ini dilaksanakan sekitar jam empat pagi. Alat yang digunakan oleh masyarakat untuk memukul akar tuba berasal dari batang pohon yang sudah dibentuk seperti pemukul bola kasti. Batang kayu tersebut bisa didapat disekitar sungai. Kegiatan memukul akar tuba tersebut dilaksanakan sampai akar tuba yang dimiliki habis. Kegiatan mencacah akar tuba dilakukan dua kali, Pertama, ketika masyarakat masih berada di koragkan dan belum turun ke sungai. Kedua, ketika masyarakat sudah berada di hulu sungai sebelum kegiatan mengkaramkan perahu. Gambar mengenai kegiatan mencacah akar tuba di koragkan sebelum turun ke sungai dapat dilihat pada gambar di bawah yang merupakan gambar masyarakat sedang mencacah akar tuba di hulu sungai.
Sumber : Data Primer 2014
Gambar 4.17. Mencacah Akar Tuba Di Hulu Sungai
Setelah kegiatan mencacah akar tuba di koragkan selesai acara selanjutnya adalah masyarakat berkumpul kembali didekat balai untuk melanjutkan acara doa-doa (Lumpag’ng) sebelum masyarakat menuju hulu sungai guna mengaramkan akar tuba.
b. Lumpag’ng peibut’an
Yang dimaksud dengan peibut’an adalah mengambil ikan yang kena air tuba. Acara doa-doa ini dilakukan secara formalitas di atas karang walaupun nantinya kegiatan peibut’an akan dilakukan masyarakat di hari ketiga atau pada akhir acara Manuba Ba Adat. Doa yang dipanjatkan oleh ketua adat adalah
“syang hiang sori duwata padi sama tengkalap, arut, sedurian,
dilag’ng, batag’ng kawa, lamanhau, belanti’an, kopal kumpul, lunhug’ng lungku ka batu tungal sabuah. Supaya
babungkug’ng bosar beurat dalap’m, bebatag’ng pipih
bedaut’n lumhah, batunhut’n lobat babigi muras”.
Artinya adalah
doa agar ladang yang sudah ditanam tersebut menghasilkan padi dan rejeki yang melimpah”.
c. Lumpag’ng pamuntau’an
Dalam prosesi lumpag’ng pamuntau’an dilakukan acara beigal22 yang dilakukan oleh para tetua-tetua dan acara menghanyutkan tujuh perahu dari daun yang didalamnya juga diletakan beras, garam, rokok dan pinang atau dalam bahasa daerah disebut Kehilipan, fungsi dari perlengkapan yang diletakan di atas kehilipan adalah untuk perbekalan hama selama diperjalanan dan fungsi dari menghanyutkan daun
sensabag’ng adalah dipercaya dan diyakini untuk mengusir dan menghanyutkan segala macam hama padi dan mengembalikan hama tersebut ketempat asalnya. Mereka percaya ketika mereka meracun sungai, mereka tidak membunuh ikan tetapi meracun segala hama padi. Doa yang dipanjatkan adalah
“muntaua’an hulat lumus ponsi’ kaum’p gola’ mehinig’ng menanguh kahuma katonga, ka tokam’p kahayam’p, laritam
kajawa, kajuhur, kalaut loyaran, ka buluh miyang, didalap’m
rua putih beduri, pisag’ng babanir, lonsat’n babulu”.
Sumber : Data Primer Tahun 2014
Gambar 4.18. Lumpag’ng Pamuntau’an
Pada prosesi acara Lumpag’ng Pamuntau’an di atas terlihat bahwa ada daun yang berada di tengah-tengah para tetua adat, daun tersebut akan dihanyutkan ke sungai. Masyarakat meyakini bahwa menghanyutkan ketujuh daun sensabag’ng yang dimaknai sebagai perahu oleh masyarakat untuk menghanyutkan hama padi dan mengembalikan hama ketempat asalnya. Gambar 4.19, merupakan gambar perahu dari daun sensabag’ng (kehilipan) yang akan dihanyutkan ke sungai.
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Gambar 4.19. Perahu Dari Daun Sensabag’ng (kehilipan)
Sebelum kehilipan dihanyutkan para tetua atau yang dituakan akan melakukan tarian beigal. Beigal ini adalah tarian yang akan mengelilingi balai sebanyak tujuh kali dan diselingi dengan meneguk tuak yang dituangkan oleh panitia yang telah ditentukan. Jumlah penari adalah dua pasang penari yang berlainan jenis kelamin.
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Gambar 4.20. Tarian Beigal
Sesudah itu ketujuh daun tersebut akan dihanyutkan satu persatu dengan diiringi doa dan setiap daun akan dilempar dengan batu sampai perahu tersebut tenggelam dan hanyut, makna dari pelemparan batu ini adalah supaya hama tersebut tidak akan kembali lagi dan biasanya ketika batu mengenai perahu dan perahu sensabag’ng tersebut tenggelam maka masyarakat akan bersorak sorai penuh kegembiraan, hal ini karena mereka bersukacita karena hama tersebut telah hanyut dan tenggelam.
Sesudah acara ini selesai acara selanjutnya adalah menuju hulu sungai di mana akar tuba akan dikaramkan. Tempat di mana akar tuba akan dikaramkan biasanya adalah bagian hulu sungai yang airnya dalam. Ketika sudah sampai di hulu sungai yang sudah ditentukan maka masing-masing perahu akan mencari posisi yang dianggap strategis untuk menangkap ikan. Sebelumnya ketika sampai perahu-perahu tersebut akan menepi dan memukul akar tuba kembali, kemudian akar tuba tersebut diperas ke perahu dan dicampur dengan air (lihat gambar 4.23). Ampas dari akar tuba tidak boleh dibuang akan tetapi harus dibawa ke ladang untuk dibakar. Sesudah semua perahu terisi dengan air tuba maka masing-masing perahu akan dijampi23 dan dikasih bunga tuba24.
Perahu yang sudah selesai dijampi akan menggunakan tanda Plus atau tanda tambah (+) di bagian pinggir perahu. Masyarakat biasa menyebut tanda tersebut dengan tanda salib. Fungsi dari jampi-jampi tersebut adalah supaya perahu tersebut akan mendapatkan ikan yang banyak dan air tuba yang berada di dalam perahu akan menjadi berkasiat. Gambar mengenai perahu yang sudah dijampi dapat dilihat pada Gambar 4.22 (bagian atas), sedangkan Gambar 4.22 pada bagian bawah terlihat bahwa panitia adat sedang memberi atau memotongkan beberapa serpihan dari kayu atau yang biasa oleh masyarakat diberi nama bunga tuba. Serpihan ini akan disebar di dalam perahu yang ada air tubanya sebelum perahu dikaramkan. dan fungsi dari daun tuba disebelah kanan perahu bagian depan. Arti dari tanda ini juga supaya perahu yang ada air tubanya tersebut menjadi berfungsi dan perahu tersebut akan diberkati dengan mendapatkan ikan yang melimpah.
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Gambar 4.22. Perahu Yang Dijampi Dan Bunga Tuba
Pada gambar 4.23, merupakan gambar dari kegiatan memeras akar tuba yang sudah dipukul kedalam perahu. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa Bapak Hoto sedang memeras akar tuba yang sudah dicacah atau dipukul kedalam perahu, sehingga terlihat warna dari akar tuba yang lihat seperti air susu.
Sebelum masyarakat mengkaramkan air tuba, panitia mema-sang tali jontang yaitu tali pembatas antara peserta yang berada dihulu dan peserta yang berada dihilir sungai. Tali ini terbuat dari rotan yang dipasang menyeberangi sungai. Selama tali jontang ini belum dilepas maka acara mengaramkan akar tuba tidak akan dilaksanakan dan masyarakat juga dilarang untuk meyebrangi tali ini. Walaupun tidak ada sangsi adat yang diberikan semua peserta mengikuti aturan ini dengan tertib. Setelah tali jontang tersebut dilepaskan maka tiba saatnya masyarakat untuk mengkaramkan air tubanya. Pengkaraman air tuba ini dilakukan dari perahu yang berada di hulu sungai kemudian menjalar kesetiap perahu yang berada di hilirnya.
Pada jaman dahulu, kegiatan mengkaramkan perahu yang berisi air tuba benar-benar dilakukan dengan cara mengkaramkan atau menenggelamkan perahu, akan tetapi sekarang kegiatan mengkaram-kan perahu hanya berupa simbolis saja karena berdasarmengkaram-kan fakta di lapangan tidak semua perahu dikaramkan. Hal ini disebabkan perahu yang ikut serta dalam kegiatan Manuba Ba Adat mayoritas merupakan perahu bermotor yang berukuran besar sehingga akan sangat berat jika dikaramkan. Untuk mensiasati hal tersebut maka dalam prosesi mengkaramkan akar tuba, biasanya masyarakat hanya menimba air tuba yang ada di dalam perahu dengan menggunakan gayung.
Sumber : Data Primer Tahun 2014
Gambar 4.24. Mengkaramkan Perahu Yang Berisi Air Tuba
Bagian yang paling menarik adalah ketika masyarakat mulai menangkap ikan. Satu hal yang penting siapa yang menemukan ikan pertama harus bersorak dan memberikan ikan tersebut ke kepala adat. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Hotto, rentang waktu antara dikaramkannya air tuba ke dalam sungai dengan efek samping yang dirasakan oleh ikan sehingga ikan tersebut akan menjadi mabuk adalah ±10-15 menit dan ikan yang pertama kali didapat adalah ikan kalabau.
masyarakat ada yang tidak tidur pada malam hari setelah Manuba Ba Adat karena menyuar.
Dalam pembagian ikan pun terlihat adil bagi masyarakat. Apabila ada yang melihat timbul di permukaan sungai, tetapi orang lain yang mendapatkannya, maka orang yang mendapatkan ikan itulah yang berhak secara sah dan hal tersebut tidak menghasilkan komplain. Konsep adil yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Tomun Lamandau perihal kepemilikan ikan yang didapatkan merupakan hasil dari kesepakatan bersama yang sudah dilakukan secara turun temurun dan dalam konteks sekarang, hal ini tidak menimbulkan konflik antara masyarakat. Kegiatan menuba ini dilakukan masyarakat seharian penuh, bahkan untuk beberapa peserta mereka akan melanjutkan kegiatan menyisir sungai sampai keesokan harinya.
Sumber : Data Primer Tahun 2014
Gambar 4.25. Masyarakat Sedang Mencari Ikan
d. Akhir Upacara (Hari Ketiga)
Ikan yang didapat oleh masyarakat biasanya akan dibersihkan dan diolah sebagai ikan asin, diasap atau dimasak seperti dibakar, digoreng atau disayur. Berdasarkan hasil wawancara dan hasil observasi, jenis ikan yang didapat adalah ikan barakas, ikan banta, ikan salap/ tengadak, ikan lampam, ikan jalujung, ikan baung putih/ kanuri, ikan puhing/rengawan, ikan kalabau, ikan saluang sungai, ikan buntal kelapa dan ikan lais.
Pada hari ketiga ini tidak terdapat ikan yang mengambang karena mati di sepanjang aliran sungai. Bahkan beberapa ikan hasil pukat masyarakat masih toning25. Masyarakat yakin bahwa ketika air tuba telah hanyut ke hilir maka masih ada beberapa ikan yang tidak terkena dampak dari air tuba ini. Masyarakat akan menggunakan sungai untuk beraktivitas kembali tiga hari setelah acara menuba dilakukan. Pengetahuan ini diturunkan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka.
Pada gambar di bawah ini terlihat beberapa pemuda sedang menyisir sepanjang sungai untuk menangkap ikan yang timbul karena mabuk.
Sumber : Data Primer Tahun 2014
Gambar 4.26. Masyarakat Sedang Menyisir Sungai
observasi pada kegiatan ritus Manuba Ba Adat yang dilakukan pada tahun 2014, setelah masyarakat selesai melaksanakan kegiatan ini maka hujan turun dengan sangat deras. Akan tetapi berdasarkan wawancara dengan Bapak Hotto, beliau mengatakan bahwa pernah juga hujan turun pada hari kedua dari prosesi ritus Manuba Ba Adat. Sehingga masyarakat akhirnya pulang dan tidak sempat untuk mengkaramkan air tuba keesokan harinya. Walaupun begitu, menurut beliau masyarakat percaya bahwa Dewata telah mengabulkan doa mereka lebih cepat.
Ketika hujan turun dengan sangat lebatnya yang dalam bahasa daerah disebut dengan hujan nyari26 maka masyarakat dilarang untuk ke sungai dikarenakan hujan deras tersebut akan menyebabkan kecelakaan seperti tenggelam di sungai karena terpeleset. Guna memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat biasanya menggunakan air sumur.
Batas Air Yang Kena Akar Tuba
Dalam menentukan batas air sungai yang akan terkena air tuba dilakukan dalam kegiatan lumpag’ng haup’m pakat, di mana dalam kegiatan ini akan disepakati berapa jumlah maksimal akar tuba yang akan dikumpulkan, menentukan luas area larangan, menentukan batas air sungai yang akan digunakan baik bagian hulu sungai maupun bagian hilir sungai, jumlah undangan yang akan berpartisipasi dalam kegiatan ritus ini. Batas area sungai yang terkena air tuba adalah hulu sungai yang berada di Desa Nanga Koring dan bagian hilirnya minimal sampai daerah Desa Batu Tunggal dan maksimal sampai daerah Desa Nanga kemujan. Larangan yang diberikan oleh manter adat kepada mayarakat yang ikut berpartisipasi adalah dilarang bicara kotor, buang air kecil, tidak boleh mencampur akar tuba dengan bahan kimia dan tidak boleh meludah kedalam air. Batas area larangan adalah sepanjang sungai yang digunakan dalam prosesi ritus Manuba Ba Adat.
Pengalaman yang terjadi dalam kegiatan ritus tersebut mengenai larangan yang sudah ditentukan sama dengan pengetahuan lokal masyarakat di Desa Lamalera Lembata NTT. Di mana masyarakat Desa Lamalera Lembata mempunyai larangan yang diberikan dalam aktivitas berburu ikan paus, seperti harus didahului dengan doa, tidak boleh berkata kasar, berkata jorok, tidak boleh ada dendam dan permusuhan. Menurut Keraf (2002), pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Desa Lamalera Lembata mengenai larangan tersebut tidak bisa dijelaskan secara rasional mengenai hubungan antara jika larangan tersebut diabaikan maka masyarakat akan gagal menangkap ikan paus. Begitu pula dengan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Tomun lamandau. Sejalan dengan pemikiran keraf (2002), semua aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat adat mengenai larangan tersebut hanya bisa dipahami dalam kerangka kearifan lokal masyarakat adat bahwa aktivitas yang dilakukan adalah implementasi dan perwujudan kearifan tradisional masyarakat adat tentang interaksi antara manusia dengan alam. Lebih lanjut keraf menekankan bahwa aktivitas tersebut hanya bisa dipahami dalam konteks aktivitas moral.
Pengenalan Tentang Akar Tuba
Dalam kegiatan Manuba Ba Adat, masyarakat Dayak Tomun Lamandau di Desa Batu Tunggal menggunakan tiga jenis tamanan tuba. Masyarakat di Desa Batu Tunggal menyebutnya dengan nama Akar Tuba Todug’ng27, Kempadi28dan Kansag’ng29
Tuba dalam bahasa ilmiah disebut Derris elliptica. Tuba merupakan jenis tumbuhan yang biasanya digunakan sebagai peracun ikan dan insektisida. Akar tanaman tuba memiliki kandungan rotenone, sejenis racun kuat untuk ikan dan serangga. Tuba juga sering
27Akar tuba jenis ini memiliki ciri-ciri seperti akar. Biasanya tanaman ini tumbuh merambat (Gambar 3, bagian sebelah bawah).
disebut sebagai akar tuba dan dalam bahasa Inggris biasa disebut Derris Root atau tuba root30.
Tuba memiliki kandungan zat yang beracun yang terdapat di dalam akar tuba. Zat beracun terpenting yang terkandung pada akar tuba adalah rotenon (C
23H22O6) yang secara kimiawi digolongkan ke dalam kelompok flavonoid. Zat-zat beracun yang terkandung lainnya adalah deguelin, tefrosin dan toksikarol, tetapi daya racunnya tidak sekuat rotenon (Adharini, 2008). Rotenon adalah racun kuat bagi serangga dan ikan. Menurut Sugianto (1984), akar tuba digunakan untuk menangkap ikan sedangkan akar yang telah dikeringkan dapat digunakan sebagai insektisida. Gambar mengenai akar tuba dapat dilihat pada Gambar 4.27.
Sumber : Data Primer Tahun 2014
Gambar 4.27. Akar Tuba