BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan teori
2.1.1. Kecerdasan Emosional
2.1.1.1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Menurut Agustian (2002:199) “Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, dan pengaruh manusia”. Menurut Goleman (2002:512) “Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial”.
2.1.1.2. Dimensi Kecerdasan Emosional
Menurut Salovey (dalam Goleman, 2002:58-59) terdapat lima dimensi utama kecerdasan emosional yaitu:
a. Mengenali emosi diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.
b. Mengelola emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi diri sendiri
d. Mengenali emosi orang lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
e. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan.
2.1.1.3. Manfaat dan Pentingnya Kecerdasan Emosional
Perkembangan kecerdasan emosional berhubungan erat dengan perkembangan kepribadian dan kematangan kepribadian. Dengan kepribadian yang matang dapat menghadapi dan menyelesaikan berbagai persoalan, dan betapapun besarnya beban dan tanggung jawab seorang karyawan tidak menjadikan fisik terganggu. Kecerdasan emosional sangat penting bagi seorang karyawan.Menurut Goleman (dalam Mangkunegara, 2005:35) pencapaian kinerja ditentukan hanya 20% dari IQ, sedangkan 80% lagi ditentukan oleh kecerdasan emosional. Karyawan yang mampu mengendalikan emosinya dapat mengatur diri sendiri, menimbulkan motivasi dalam dirinya untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan dapat membina hubungan baik dengan orang lain juga mampu menimbulkan rasa empati dilingkungan kerja, oleh karena itu kecerdasan emosional sangat dibutuhkan oleh seorang karyawan.
Kecerdasan emosional merupakan aspek yang sangat dibutuhkan di dalam organisasi, selain itu kecerdasan emosionallah yang memotivasi kita untuk mencari manfaat, potensi dan mengubahnya dari apa yang kita pikirkan menjadi apa yang kita lakukan. Kecerdasan emosional bukan mucul dari pemikiran intelek yang jernih tetapi muncul dari hati nurani, sehingga apapun yang muncul dari perasaan akan selalu memberikan informasi penting yang memotivasi kita untuk mencari potensi yang kita miliki serta dapat menggunakannya secara baik dan benar.
depresi, tidak cepat putus asa, tidak cepat puas, tidak egois, selalu terbuka pada kritikan, terampil dalam melakukan hubungan sosial, tidak mudah marah, dan sebagainya. Hal-hal tersebut tentu akan berdampak positif untuk menghilangkan masalah sosial yang sering terjadi di masyarakat maupun di dalam perusahaan.
2.1.2. Iklim Organisasi
2.1.2.1. Pengertian Iklim Organisasi
Setiap perusahaan atau organisasi memiliki cara yang berbeda-beda dalam menjalankan usahanya. Oleh karena itu, suatu organisasi mempunyai iklim yang berbeda pula dengan organisasi lainnya. Iklim dapat bersifat menekan, netral atau dapat pula bersifat mendukung, tergantung bagaimana pengaturannya, karena itu setiap organisasi selalu mempunyai iklim kerja yang unik. Organisasi cenderung menarik dan mempertahankan orang-orang yang sesuai dengan iklimnya, sehingga dalam tingkatan tertentu polanya dapat bertahan dan serasi.
Menurut Sopiah (2008:130) “Iklim organisasi adalah perasaan yang
meliputi hal-hal fisik, bagaimana para anggota berinteraksi dan bagaimana para anggota organisasi mengendalikan diri dalam berhubungan dengan pelanggan atau pihak luar organisasi”. Menurut Wirawan (2007:122) “ Iklim organisasi adalah
Menurut Simamora (2001:31) “Iklim organisasi terdiri dari hubungan
antar karyawan dan kontribusi antara nilai dan tujuan yang ditetapkan oleh perusahaan”. Iklim organisasi mempengaruhi praktik dan kebijakan SDM yang
diterima oleh anggota organisasi. Perlu diketahui bahwa setiap organisasi akan memiliki iklim organisasi yang berbeda, keanekaragaman pekerjaan yang dirancang di dalam organisasi, atau sifat individu yang ada akan menggambarkan perbedaan tersebut. Iklim organisasi yang terbuka memacu karyawan untuk mengutarakan kepentingan dan ketidakpuasan tanpa adanya rasa takut akan tindakan balasan dan perhatian. Jadi, iklim organisasi merupakan harapan-harapan serta cara pandang individu terhadap organisasi.
2.1.2.2. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Iklim Organisasi
Sumber : Stringer (2002)
Gambar 2.1
Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Iklim Organisasi
1. Lingkungan Eksternal. Industri atau bisnis yang sama mempunyai iklim organisasi umum yang sama. Misalnya, iklim organisasi umum perusahaan asuransi umumnya sama, demikian juga dengan iklim organisasi pemerintah, sekolah dasar, atau perusahaan industri minyak kelapa sawit di Indonesia, mempunyai iklim umum yang sama. Kesamaan faktor umum tersebut disebabkan pengaruh lingkungan eksternal organisasi.
2. Strategi Organisasi. Kinerja suatu perusahaan bergantung pada strategi (apa yang diupayakan untuk dilakukan), energi yang dimiliki oleh karyawan untuk melaksanakan pekerjaan yang diperlukan oleh strategi, dan faktor-faktor lingkungan penentu dari level energi tersebut. Strategi yang berbeda menimbulkan pola iklim organisasi yang berbeda. Strategi mempengaruhi iklim organisasi secara tidak langsung.
Praktik Kepemimpinan
Iklim Organisasi Strategi Organisasi
Lingkungan Eksternal
3. Pengaturan organisasi. Pengaturan organisasi mempunyai pengaruh paling kuat terhadap iklim organisasi. Menurut Stringer (2002), banyak sekolah menengah di Amerika Serikat yang menjadi contoh baik bagaimana pengaturan organisasi menentukan iklim organisasi. 4. Kekuatan Sejarah. Semakin tua umur suatu organisasi semakin kuat pengaruh kekuatan sejarahnya. Pengaruh tersebut dalam bentuk tradisi dan ingatan yang membentuk harapan anggota organisasi dan mempunyai pengaruh terhadap iklim organisasinya.
5. Kepemimpinan. Perilaku pemimpin mempengaruhi iklim organisasi yang kemudian mendorong motivasi karyawan. Motivasi karyawan merupakan pendorong utama terjadinya kinerja
2.1.2.3. Dimensi - Dimensi Iklim Organisasi
Menurut Stinger (dalam Wirawan, 2007:128) iklim sutau organisasi merujuk pada berfungsinya organisasi secara keseluruhan dari sudut pandang para karyawan. Dengan demikian, iklim adalah suatu metafora yang menggambarkan agregat persepsi karyawan individual mengenai lingkungan organisasi mereka. Dimensi-dimensi tertentu dari iklim memberikan pengaruh khusus pada kemampuan organisasi untuk meningkatkan kinerja mereka.
Adapun dimensi-dimensi iklim organisasi menurut Stinger (dalam Wirawan, 2007:131-133) yaitu sebagai berikut:
1. Struktur
Struktur organisasi merefleksikan perasaan di organisasi secara baik dan mempunyai peran dan tanggung jawab yang jelas dalam lingkungan organisasi. Stuktur tinggi jika anggota organisasi merasa pekerjaan mereka didefenisikan dengan baik. Struktur rendah jika mereka merasa tidak ada kejelasan mengenai siapa yang melakukan tugas dan mempunyai kewenangan mengambil keputusan. Struktur merupakan tingkat paksaan yang dirasakan pegawai karena adanya peraturan dan prosedur yang terstruktur dan tersusun. Struktur meliputi posisi karyawan dalam perusahaan. 2. Standar-standar
Standar-standar dalam suatu organisasi mengukur perasaan tekanan untuk meningkatkan kinerja dan derajat kebanggaan yang dimiliki oleh anggota organisasi dalam melakukan pekerjaan dengan baik. Standar-standar tinggi artinya anggota organisasi selalu berupaya mencari jalan untuk meningkatkan kinerja.
ditentukan. Standar meliputi kondisi kerja yang dialami karyawan dalam perusahaan.
3.Tanggung jawab
Hal ini berkaitan dengan perasaan karyawan mengenai pelaksanaan tugas organisasi yang diemban dengan rasa tanggung jawab atas hasil yang dicapai, karena mereka terlibat di dalam proses yang sedang berjalan. Tanggung jawab juga berkaitan dengan tingkat pengawasan yang dilakukan organisasi dan dirasakan oleh para pegawai. Tanggung jawab meliputi kemandirian dalam menyelesaikan pekerjaan mereka.
Tanggung jawab merupakan persepsi karyawan tentang tuntutan pekerjaan dan peluang untuk maju, yang mendorong pencapaian yang lebih tinggi dengan tanggung jawab yang lebih besar. Faktor tantangan terkait dengan perkembangan semangat untuk mengejar prestasi tinggi di kalangan karyawan. Motivasi karyawan untuk berprestasi dapat tumbuh subur bila organisasi khususnya atasan secara langsung memberikan peluang yang besar untuk bertanggung jawab terhadap pekerjaan masing-masing karyawan
4. Penghargaan
organisasi yang menghargai kinerja berkarakteristik keseimbangan antara imbalan dan kritik.
Penghargaan rendah artinya penyelesaian pekerjaan dengan baik diberi imbalan secara tidak kosisten. Penghargaan juga berkaitan dengan perasaan karyawan diberi imbalan yang layak setelah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Hal ini meliputi imbalan atau upah yang diterima karyawan setelah menyelesaikan pekerjaannya. Tujuan dari dari penghargaan adalah untuk menarik orang yang memiliki kualifikasi untuk bergabung dengan organisasi, mempertahankan karyawan agar terus datang untuk bekerja dan memotivasi karyawan untuk mencapai tingkat kinerja yang tinggi.
5. Dukungan
Dukungan terbagi dua yaitu dukungan moril dan dukungan materil. Dukungan moril meliputi perhatian yang diberikan atasan, pujian atas hasil kerja, pemberian semangat dan motivasi, keakraban dengan teman kerja, dan kepedulian terhadap sesama rekan kerja, sedangkan dukungan materil meliputi gaji pokok, premi lembur dan cuti, bonus kinerja, tunjangan, dan perlengkapan kantor untuk mendukung kinerja.
6.Komitmen
Komitmen merefleksikan perasaan bangga anggota terhadap organisasinya dan derajat keloyalan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Perasaan komitmen kuat berasosiasi dengan loyalitas personel. Level rendah komitmen artinya karayawan merasa apatis terhadap organisasi dan tujuannya.
Komitmen juga berkaitan dengan perasaan bangga akan keberadaannya dalam organisasi dan kesetiaan yang ditunjukkan selama masa kerjanya. Komitmen meliputi pemahaman karyawan mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan.
dukungan dari berbagai level orgnisasi (6) Diskusi terbuka tentang konflik dan berusaha menghindari konfrontasi (7) Perilaku manajer dan gaya kepemimpinan cocok dengan situasi pekerjaan; (8) Penerimaan kontrak psikologis antara individu dan organisasi (9) Pengakuan kebutuhan dan harapan karyawan dalam bekerja (10) Sistem yang adil dalam penghargaan berdasarkan pengakuan secara positif (11) Peduli terhadap kualitas hidup pekerjaan dan disain pekerjaan (12) Kesempatan dalam mengembangan dan memajukan karir; dan (13) Memiliki identitas dan loyalitas terhadap organisasi dan merasa penting dan dihargai organisasi.
2.1.3. Kepuasan Kerja
2.1.3.1. Pengertian Kepuasan Kerja
Menurut Robbins (2008 : 107) “Kepuasan kerja ialah suatu perasan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya”. Menurut Sopiah (2008:170) “Kepuasan kerja adalah suatu
tanggapan emosional seseorang terhadap situasi dan kondisi kerja”.
Menurut Robbins (dalam Sutrisno, 2012 : 75) ada tiga alasan mengapa manajer harus peduli akan tingkat kepuasan kerja dalam organisasinya, yaitu :
1. Ada bukti yang jelas bahwa karyawan yang tidak puas lebih sering melewatkan kerja dan lebih besar kemungkinan mengundurkan diri. 2. Telah diperagakan bahwa karyawan yang puas mempunyai kesehatan
3. Kepuasan pada pekerjaan.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan reaksi karyawan atas segala hal yang berkaitan dengan pekerjaannya baik berupa hubungan kerja, lingkungan kerja, kesempatan-kesempatan yang diberikan, imbalan , pujian dan lain sebagainya yang berpengaruh kepada perasaan senang dan tidak senang karyawan tersebut, yang berdampak pada produktivitasnya. Jadi perusahaan harus mampu memberikan dan mendukung kepuasan kerja bagi karyawannya, karena karyawan yang memiliki kepuasan kerja akan memberikan hasil kinerja yang lebih baik seperti yang diharapkan perusahaan dalam pencapaian tujuannya, dibandingkan dengan karyawan yang tidak memiliki kepuasan kerja.
Menurut Madura (2007:11) terdapat beberapa cara agar karyawan memiliki kepuasan kerja yang tinggi antara lain:
1. Adanya pengakuan, pujian dan penghargaan atas hasil kerja karyawan. Adanya pengakuan atas hasil kerja karyawan menunjukkan bahwa atasan menghargai dan mengapresiasi hasil kerja karyawan sehingga akan menimbulkan kepuasan kerja yang tinggi.
3.Mendelegasikan lebih banyak wewenang kepada karyawan karena pimpinan menganggap karyawan bertanggung jawab dan memberikan peluang kepada karyawan untuk menggunakan kreativitasnya dalam bekerja. Hal ini memenuhi kebutuhan karyawan untuk bertanggungjawab dan memperoleh rasa hormat serta pengakuan, sehingga kemungkinan besar karyawan akan memiliki kepuasan kerja yang tinggi dan dengan demikian menjadi lebih termotivasi.
4. Kemajuan. Dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan.
melalui perbaikan sikap dan tingkah laku karyawan, meningkatkan gairah dan semangat kerja karyawan, mengurangi tingkat absensi, mengurangi turnover karyawan, mengingkatkan motivasi karyawan, san kepuasan kerja dapat menimbulkan sifat positif terhadap pekerjaannya.
2.1.3.2. Teori Kepuasan Kerja
Menurut Wexley dan Yulk (dalam Sunyoto, 2012 : 27) teori kepuasan kerja ada tiga macam, yaitu :
1. Discrepancy Theory (Teori Ketidaksesuaian)
Teori ini pertama kali dipelopori oleh porter (1961). Ia mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Kemudian Locke (1969) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung pada discrepancy antara should be (expectation needs or value) dengan apa yang menurut perasaannya atau persepsinya telah diperoleh melalui pekerjaan.
2. Equity Theory (Teori Keadilan)
3. Two Factor Theory (Teori Dua Faktor)
Prinsip teori ini bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda, artinya kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan tidak merupakan variabel yang kontinu. Teori ini pertama kali ditemukan oleh Federick Herzberg tahun 1959. Beliau membegi situasi yang memengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaan menjadi dua kelompok, yakni :
a.Satisfiers atau motivator adalah situasi yang membuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja, yang terdiri dari achiefmrnt, recognition, work itsef, responsibility and advencement.
b.Dissatisfier (Hygiene Factors) adalah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan yang terdiri dari company policy and administration, supervision,technical, salery, interpersonal, relation, working condition, job security and status.
maka telah terjadi ketidakpuasan karyawan. Semakin besar perbedaan ini, maka akan semakin besar juga ketidakpuasan karyawan
2.1.3.3. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, namun indikator kepuasan kerja setiap individu berbeda. Sehingga setiap karyawan akan memiliki kepuasan kerja yang berbeda walaupun dalam suatu kondisi kerja yang sama. Faktor- faktor yang memberikan kepuasan menurut Blum (dalam Sutrisno, 2012 : 77) adalah :
1) Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak , dan harapan. 2) Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan pekerja,
kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan.
3) Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu, juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antarmanusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas.
Menurut Glimer (dalam Sutrisno, 2012 : 77), faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan kerja adalah :
1) Kesempatan untuk maju
2) Keamanan kerja
Faktor ini disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi karyawan. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan karyawan saat bekerja.
3) Gaji
Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya
4) Perusahaan dan manajemen
Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor ini menentukan kepuasan kerja karyawan.
5) Pengawasan
Sekaligus atasnnya, supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn over.
6) Faktor interinsik dari pekerjaan
Atribut yang ada dalam pekerjaan mensyaratkan keterampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas dan meningkatkan atau mengurangi kepuasan.
7) Kondisi kerja
8) Aspek sosial dalam pekerjaan
Merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam bekerja. 9) Komunikasi
Komunikasi yang lancar antar karyawaan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak pimpinan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja.
10) Fasilitas
Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.
2.1.3.4. Dimensi Kepuasan Kerja
Menurut Sopiah (2008 : 172) dari beberapa pendapat dari para ahli dapat disimpulkan bahwa dimensi dan indikator kepuasan kerja adalah :
c.Pekerjaan itu sendiri adalah tingkat hingga di mana tugas-tugas pekerjaan dianggap menarik dan memberikan peluang untuk belajar dan menerima tanggung jawab. Indikatornya adalah memberikan rasa keberhasilan, membosankan, memuaskan,tidak menarik, menantang. d.Supervisi adalah kemampuan sang supervisor untuk menunjukkan perhatian terhadap karyawan. Indikatornya adalah memuji kerja yang baik, bijaksana dan Up to Date.
e.Teman kerja adalah tingkat hingga di mana para rekan sekerja bersikap bersahabat, kompeten, dan saling bantu membantu. Indikatornya adalah bermanfaat, membosankan, cerdas, malas, bertanggung jawab.
2.1.4. Perilaku Etis
2.1.4.1. Pengertian Etika dan Perilaku Etis Karyawan
Menurut Bertens (2000:33) “Etika adalah nilai-nilai dan norma-norma
moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak dipraktekkan, walaupun seharusnya dipraktekkan”. Dapat dikatakan juga, etika sebagai praksis adalah apa yang
dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral.
Menurut Daft (2002:201) “Etika adalah kode yang berisi prinsip-prinsip
dan nilai-nilai moral yang mengatur perilaku orang atau kelompok terkait dengan apa yang benar atau salah”. Etika menentukan standart sejauh mana sesuatu dalam
Menurut Griffin (2006:58) “Etika adalah keyakinan pribadi seseorang mengenai apakah suatu perilaku, tindakan, atau keputusan adalah benar atau salah". Sedangkan menurut Griffin (2006:58) perilaku etis merupakan perilaku yang sesuai dengan norma sosial yang diterima secara umum. Perilaku etis merupakan perilaku yang sesuai dengan norma-norma sosial yang diterima secara umum sehubungan dengan tindakan-tindakan yang bermanfaat dan yang membahayakan. Perilaku etis dari karyawan menunjukkan bagaimana karyawan dapat berperilaku sesuai dengan norma dan peraturan yang berlaku di dalam perusahaan.
Menurut Robbins & Judge (2008:127) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku etis karyawan meliputi:
1. Faktor personal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu seperti kecerdasan emosional, gender, sifat-sifat personal,
2. Faktor situasional, yaitu faktor yang berasal dari luar diri manusia sehingga dapat mengakibatkan seseorang cenderung berperilaku sesuai dengan karakteristik kelompok yang diikuti seperti kondisi geografis, iklim, struktur kelompok, etos kerja, budaya organisasi, iklim organisasi
3. Faktor stimulasi yang mendorong dan meneguhkan perilaku seseorang seperti orang lain dan situasi pendorong perilaku
pengalaman pribadi, organisasi, lingkungan organisasi, dan masyarakat umum. Perilaku etis seseorang juga sering kali mengacu pada apa yang diyakini. Teori sikap dan perilaku dapat mempengaruhi individu untuk bertindak jujur, tegas, adil tanpa dipengaruhi tekanan maupun permintaan dari.
Perilaku etis terbukti dapat memberikan manfaat yang besar terhadap organisasi diantaranya perilaku etis dapat menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan, perilaku etis dapat menjadi sarana yang efektif untuk mengkoordinasikan kegiatan tim secara efektif, perilaku etis dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk merekrut dan mempertahankan karyawan dengan kualitas performance yang baik, perilaku etis dapat mempertahankan stabilitas kinerja organisasi, perilaku etis dapat membantu kemampuan organisasi untuk bertahan dan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan
Sebagian besar perusahaan memiliki kode etik untuk mendorong para karyawan berperilaku secara etis. Namun kode etik saja belum cukup sehingga pihak pemilik dan manajer perusahaan harus menetapkan standar etika yang tinggi agar tercipta lingkungan pengendalian yang efektif dan efisien.
2.1.4.2. Prinsip - Prinsip Etis
1. Tanggung Jawab
Dalam mengemban tanggung jawabnya sebagai professional, karyawan harus melaksanakan pertimbangan professional dan moral yang senstitif dalam semua aktivitas mereka.
2. Kepentingan Publik
Karyawan harus menerima kewajiban untuk bertindak sedemikian rupa agar dapat melayani kepentingan publik serta menunjukkan komitmen dan profesionalnya.
3. Integritas
Untuk mempertahankan dan memperluas kepercayaan publik, karyawan harus melaksanakan seluruh tanggung jawab profesionalnya dengan tingkat integritas tinggi.
4. Objektivitas dan Independensi
Karyawan harus mempertahankan objektivitas dan bebas dari konflik kepentingan dalam melaksanakan tanggung jawab profesionalnya.
5. Keseksamaan
6. Ruang Lingkup dan Sifat Jasa
Karyawan harus mempertimbagkan prinsip-prinsip Kode Perilaku Profesional dalam menentukan ruang lingkup dan sifat jasa yang akan disediakan
2.1.4.3. Dimensi Perilaku Etis
Adapun dimensi pengukuran perilaku etis karyawan dapat dilihat dari hal-hal berikut ini:
a. Kesetiaan terhadap organisasi. Kesetiaan karyawan terhadap organisasi dapat menunjukkan seberapa besar loyalitas karyawan terhadap perusahaan dengan menjaga dan membela organisasi, mengutamakan kepentingan organisasi, serta mampu menyimpan rahasia organisasi dengan baik.
b. Menghargai hubungan. Dengan menghargai hubungan antar sesama rekan kerja, karyawan cenderung mempertimbangkan implikasi etis dari tindakan-tindakan mereka terhadap individu lain. Seperti menghargai pendapat orang lain, menghormati sesama rekan kerja, tidak mencela ataupun menghina hasil kerja orang lain.
d.Kedisiplinan. Kedisiplinan merupakan sikap seseorang yang senantiasa berkehendak untuk mengikuti atau mematuhi segala peraturan yang telah ditentukan. Kedisiplinan karyawan dapat dilihat dari sikap taat karyawan pada peraturan yang berlaku didalam perusahaan, tingkah laku karyawan didalam perusahaan yang mencerminkan karyawan yang disiplin seperti bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan perusahaan, menggunakan dan memelihara barang-barang milik perusahaan baiknya, melakukan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan rasa tanggung jawab, serta penerapan sanksi yang adil bagi yang menyimpang dari aturan tersebut.
2.1.4.4. Karakteristik Kepribadian yang Mempengaruhi Perilaku Etis
Menurut Griffin (2003:09) terdapat “lima besar” karakteristik kepribadian yang mempengaruhi perilaku etis yaitu:
1. Keakuran (agreeableness)
sementara ndividu yang kurang cenderung memiliki hubungan kerja yang buruk.
2. Kesungguhan (conscientiousness)
Kesungguhan (conscientiousness) merupakan jumlah tujuan yang menjadi fokus seseorang. Individu yang berfokus pada tujuan-tujuan yang relatif lebih sedikit pada suatu waktu tertentu lebih terorganisir, sistematis, hati-hati, komprehensif, bertanggung jawab dan mempunyai disiplin diri saat bekerja meraih tujuan-tujuan ini. Individu yang lebih bersungguh-sungguh cenderung berkinerja lebih baik daripada individu yang kurang bersungguh-sungguh di dalam ragam pekerjaan.
3. Emosionalitas Negatif (negative emotionality)
Emosionalitas Negatif (negative emotionality) merupakan individu dengan emosionalitas negatif yang rendah akan relatif tenang, santai, dan percaya diri. Sebaliknya individu yang memiliki emosionalitas negatif yang tinggi akan lebih tidak tenang, gelisah, reaktif, dan mood-nya bisa sangat bergejolak. Individu yang memiliki emosionalitas negative rendah dapat menangani stress, tekanan, dan ketegangan secara lebih baik.
4. Ekstroversi ( Extraversion)
sedangkan individu introvert sulit bergaul, jarang berbicara, serta kurang terbuka terhadap hubungan baru. Individu yang ekstrovert secara umum memiliki kinerja lebih tinggi disbanding introvert. 5. Keterbukaan (Openness)
Keterbukaan (Openness) merupakan kekakuan keyakinan dan lingkup minat seseorang. Individu yang memiliki tingkat keterbukaan tinggi mau menerima ide baru dan mau mengubah ide, keyakinan dan sikap mereka sendiri setelah menerima informasi baru.
2.2. Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian terdahulu tentang Pengaruh Kecerdasan Emosional, Iklim Organisas, dan Kepuasan Kerja terhadap Perilaku Etis Karyawan, dari hasil penelitian terdahulu sebagai berikut :
Tabel 2.1
Hasil Penelitian Terdahulu Nama
Peneliti
Judul Penelitian Variabel Penelitian Alat Analisis Hasil Chin Shan Lu, Chi Chang Lin (2013)
The Effects of Ethical
Leadership and Ethical Climate on Employee Ethical Behavior in the International Port Context (Pengaruh
Kepemimpinan Etis dan Iklim Etis pada Perilaku Etis
Karyawan dalam Konteks Pelabuhan Internasional)
Kepemimpinan , iklim etis, dan perilaku etis
Model persamaan struktural
Kepemimpinan etis memiliki signifikan berdampak pada iklim etika dan
perilaku etis TIPC karyawan . Iklim etika ditemukan berdampak positif terkait dengan perilaku etis karyawan. Teoritis dan implikasi praktis dari temuan penelitian yang
dibahas
Weihui Fu (2013)
The Impact of Emotional Intelligence, Organizational Commitment, and Job Satisfaction on Ethical
Kecerdasan emosional, komitmen organisasi, Analisis regresi linier berganda
Behavior of Chinese Employees (Dampak Kecerdasan
Emosional, Komitmen
Organisasi, dan Kepuasan Kerja pada Perilaku Etis Karyawan Cina)
kepuasan kerja, dan perilaku etis
dan signifikan pada perilaku etis dari responden . Di Kalangan berbagai aspek kepuasan kerja , kepuasan dengan promosi , rekan kerja , dan supervisi memiliki dampak yang positif dan signifikan pada perilaku etis responden . Di Kalangan variabel kontrol , usia karyawan memiliki dampak negatif pada perilaku etis , yang menunjukkan bahwa karyawan muda menunjukkan perilaku etis yang lebih baik daripada karyawan lama.
Kavita Singh (2011)
Enhancing Ethics at workplace through Emotional Intelligence: An Exploratory Study on
Business
Organizations in India
(Meningkatkan Etika di tempat kerja melalui Kecerdasan Emosional: Studi eksplorasi Organisasi Bisnis di India)
Kecerdasan emosional, perilaku etika Analisis regresi linear berganda
Kecerdasan emosional dan dimensi secara signifikan berkaitan dengan etika di tempat kerja dan variabel emosional intelijen yaitu kesadaran diri,
konektivitas interpersonal dan regulasi emosional memiliki prediksi
hubungan dengan etika di tempat kerja
Wiwied Widyastu ti, Unti Ludigdo (2010) Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual, dan Budaya
Organisasi Terhadap Perilaku Etis Auditor Pada KAP Jawa Timur Kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, budaya organisasi, dan perilaku etis auditor Analisis regresi linier berganda
Kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan budaya organisasi meningkatkan perilaku etis auditor dengan 53,8 %, sedangkan sisanya 46,2% dijelaskan oleh variabel lain di luar model ini. Berdasarkan analisis t, kecerdasan spiritual dan budaya organisasi memiliki dampak signifikan pada perilaku etis auditor. Di sisi lain, kecerdasan emosional tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku etis auditor
Hian Chye Koh dan El'fred H Y Boo (2001)
The link between organizational ethics and job satisfaction: A study of managers in Singapore (Hubungan antara etika
organisasi dan kepuasan kerja : Studi pada Manager di
Singapura) Kepuasan kerja, kepemimpinan, perilaku etis Analisis regresi linier berganda
Tiga ukuran etika organisasi (yaitu dukungan manajemen puncak, perilaku etis, iklim etika organisasi, serta
hubungan antara perilaku etis dengan kesuksesan karir) ditemukan terkait dengan kepuasan kerja.. Temuan menyiratkan bahwan para pemimpin organisasi positif dapat mempengaruhi hasil organisasi dengan melakukan, mendukung perilaku etis
2.3. Kerangka Konseptual
Kecerdasan emosional mempengaruhi perilaku etis karyawan. Pernyataan ini senada dengan penelitian yang sudah dilakukan oleh Weihui Fu (2013). Kemampuan karyawan dalam menggunakan emosi dengan baik dan dapat mengatur emosi, secara signifikan berpengaruh terhadap perilaku etis. Selanjutnya
Kavita Singh (2011) mengatakan bahwa kecerdasan emosional dan dimensi
kecerdasan emosional secara signifikan berpengaruh dengan etika di tempat kerja.
Pada organisasi bisnis di India semua dimensi kecerdasan emosional memiliki
hubungan positif yang signifikan dengan satu sama lain serta dengan etika di
tempat kerja. Kecerdasan emosional seperti kesadaran diri , konektivitas antar
rekan kerja, mengatur emosi yang positif, optimisme, kasih sayang, dan integritas
diri terkait dengan etika di tempat kerja. Hal ini dapat menunjukkan bahwa
kecerdasan emosional langsung bertanggung jawab atas keberadaan dan
kelangsungan etika di tempat kerja.
Iklim organisasi mempengaruhi perilaku etis karyawan. Pernyataan ini
senada dengan penelitian yang sudah dilakukan oleh Chin Shan Lu dan Chi Chang
Lin (2013). Iklim organisasi yang etis memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap perilaku etis karyawan. Setiap organisasi hendaknya memiliki
iklim yang etis sehingga dapat memacu karyawan untuk berperilaku lebih etis.
Ketika karyawan bekerja di iklim yang etis, mereka cenderung berperilaku etis
dalam bekerja. Karyawan dengan persepsi yang lebih tinggi mengenai iklim
Kepuasan kerja mempengaruhi perilaku etis karyawan. Pernyataan ini
senada dengan penelitian yang sudah dilakukan oleh Weihui Fu (2013). Semakin
tinggi kepuasan kerja karyawan akan menunjukkan perilaku etis yang lebih baik.
Apabila perusahaan senantiasa melakukan sistem karir dan kompensasinya
dengan baik, adanya hubungan yang baik dengan rekan kerja, sikap atasan yang
selalu memotivasi akan meningkatkan perilaku etis karyawan dalam bekerja.
Selanjutnya Koh dan Boo (2001) menyatakan bahwa perilaku etis berhubungan
dengan kepuasan kerja. Semakin tinggi kepuasan kerja karyawan, maka mereka akan lebih berperilaku etis dalam bekerja.
Dari uraian pemikiran tersebut diatas dapat diketahui bahwa kecerdasan emosional, iklim organisasi, dan kepuasan kerja dapat mempengaruhi perilaku etis karyawan. Maka kerangka konseptual dari penelitian ini adalah:
Sumber: Lu & Chi (2013), Fu (2013), Koh & Boo (2001), Singh (2011) (diolah 2015) Gambar 2.2
Kerangka Konseptual 2.4. Hipotesis
Hipotesis adalah suatu penjelasan sementara tentang perilaku, fenomena, atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi. Hipotesis merupakan pernyataan penelitian tentang hubungan antara variabel-variabel dalam
Perilaku Etis Karyawan (Y) Kecerdasan Emosional (X1)
Berdasarkan rumusan masalah dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. “Kecerdasan emosional berpengaruh positif dan signifikan terhadap
perilaku etis karyawan pada PDAM Tirta Malem Kabanjahe Kabupaten Karo.”
2. “Iklim organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku etis karyawan pada PDAM Tirta Malem Kabanjahe Kabupaten Karo.” 3. “Kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku etis
karyawan pada PDAM Tirta Malem Kabanjahe Kabupaten Karo.” 4. “Kecerdasan emosional, iklim organisasi, dan kepuasan kerja