BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Antioksidan adalah senyawa kimia baik alami maupun sintetik yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat dinetralkan (Suhartono, et al., 2002). Berdasarkan sumber perolehannya ada 2 macam antioksidan, yaitu antioksidan alami dan antioksidan buatan (sintetik) (Gupta dan Sharma, 2006). Tubuh manusia tidak mempunyai cadangan antioksidan dalam jumlah berlebih, sehingga jika terjadi paparan radikal berlebih maka tubuh membutuhkan antioksidan eksogen. Adanya kekhawatiran akan kemungkinan efek samping yang belum diketahui dari antioksidan sintetik menyebabkan antioksidan alami menjadi alternatif yang sangat dibutuhkan (Rohdiana dan Widiantara, 2011).
Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan spesies oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta mampu menghambat peroksidasi lipid pada makanan. Meningkatnya minat untuk mendapatkan antioksidan alami terjadi beberapa tahun terakhir ini. Antioksidan alami umumnya mempunyai gugus hidroksi dalam struktur molekulnya (Sunarni, 2005).
senyawa yang dapat bermanfaat sebagai antioksidan disebabkan ketiga senyawa tersebut mempunyai daya reduksi (Lingga, 2012).
Pemanfaatan seledri di Indonesia lebih dikenal sebagai bumbu masak untuk memperkaya cita rasa makanan, tetapi seledri juga digunakan dalam berbagai pengobatan dengan cara dimakan langsung, diseduh, maupun dijadikan jus kemudian diminum. Di pasaran, juga beredar dalam bentuk sediaan jamu, misalnya Tensigard Agromed (PT. Phapros), Celery (PT. Sidomuncul) dan Seleri (PT. Borobudur).
Pemeriksaan kuantitatif kapasitas antioksidan dalam herba seledri dapat dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometri sinar tampak karena metode spektrofotometri sinar tampak sangat baik digunakan untuk mengukur larutan yang berwarna pada konsentrasi kecil (µg/ml). Berbagai metode yang dapat digunakan untuk menentukan kapasitas antioksidan antara lain metode 2-2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH), 2,2’-azino-bis-3-ethylbenz- thiazoline-6-sulphonic acid (ABTS), Ferric Reducing Ability of Plasma
(FRAP) dan fosfomolibdenum.
Metode ABTS sangat sensitif terhadap cahaya, bahkan pembentukan ABTS·- memerlukan waktu inkubasi selama 12-16 jam dalam kondisi gelap (Alali, et al., 2007).
Metode fosfomolibdenum merupakan metode spektrofotometri untuk menentukan kapasitas antioksidan secara kuantitatif. Metode ini berdasarkan reduksi dari Mo (VI) menjadi Mo (V) oleh analyte sampel dan pembentukan kompleks fosfat/Mo (V) yang berwarna hijau pada suasana asam dan digunakan antioksidan lain sebagai pembanding (Prieto, et al., 1999).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:
a. Apakah herba seledri mempunyai antioksidan, yang dapat diidentifikasi berdasarkan daya reduksinya secara reaksi kimia?
b. Apakah kapasitas antioksidan dari herba seledri dapat ditentukan dengan metode fosfomolibdenum?
c. Apakah kapasitas antioksidan dari hasil maserasi herba seledri dan sediaan jamu herba seledri berbeda?
1.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis pada penelitian ini adalah:
a. Herba seledri mempunyai antioksidan dan dapat diidentifikasi berdasarkan daya reduksinya secara reaksi kimia dengan reaksi Ag ammoniakal dan reaksi Fehling.
b. Kapasitas antioksidan dari herba seledri dapat ditentukan dengan metode fosfomolibdenum.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengevaluasi herba seledri mempunyai antioksidan berdasarkan daya reduksinya dan dapat diidentifikasi secara reaksi kimia.
b. Untuk mengetahui penentuan kapasitas antioksidan dari herba seledri secara metode fosfomolibdenum.
c. Untuk mengetahui adanya perbedaan kapasitas antioksidan dari hasil maserasi herba seledri dan sediaan jamu herba seledri.