3. Interaksionistik
Interaksi berarti hal saling melakukan aksi, berhubungan, memengaruhi; antarhubungan. Sedangkan interaksionistik berarti berhubungan dengan
perkembangan pada anak yang memperhitungkan saling pengaruh antara faktor
pembawaan dan faktor lingkungan (Pusat Bahasa, 2008: 542). Interaksionisme merupakan suatu teori dualistik mengenai hubungan antara jiwa dan badan. Bagi
interaksionisme, peristiwa fisik dapat menyebabkan peristiwa mental, dan sebaliknya,
peristiwa mental dapat menyebabkan peristiwa fisik (Komaruddin, 2000: 101).
Menurut Richards (2010: 290), interaksionisme memiliki pandangan bahwa perkembangan bahasa dan perkembangan sosial berhubungan dan yang satu tidak
dapat dipahami tanpa yang lain. Para peneliti yang mengambil posisi interaksionis
berfokus pada konteks sosial dari perkembangan bahasa. Mereka melihat bagaimana
hubungan antara pembelajar bahasa dan orang-orang yang berinteraksi dengannya
sehingga memengaruhi penguasaan bahasanya. Perspektif ini kadang-kadang
dikontraskan dengan pendekatan linguistik yang menyatakan bahwa akuisisi bahasa
dapat dipahami melalui analisis ucapan pelajar, terlepas dari perkembangan kognitif
atau kehidupan sosialnya.
Menurut Baradja (1990: 4—5), aliran interaksionisme beranggapan bahwa
penguasaan bahasa kedua terjadi berkat adanya interaksi antara masukan bahasa yang
di-expose-kan kepada pembelajar dan kemampuan internal (LAD) yang dimiliki si pembelajar. Anak yang dari asalnya sudah membawa LAD tidak dapat menguasai
suatu bahasa tanpa adanya masukan yang sesuai untuk keperluan itu.
Hidayat (2012: 37—38) mengemukakaan bahwa penganut interaksionisme ini
menganggap terjadinya penguasaan bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa
kedua adalah berkat adanya interaksi antara masukan bahasa yang di-expose-kan kepada pembelajar dan kemampuan internal yang dimiliki pembelajar. Bukti-bukti
memang menunjukkan pentingnya interaksi antara masukan dan LAD. Seorang anak
yang sejak lahir sudah dilengkapi dengan LAD, tidak secara otomatis bisa menguasai
bahasa tertentu tanpa dihadirkannnya masukan yang sesuai untuk keperluan ini.
Teori pemerolehan mutakhir tentang pemerolehan bahasa kedua berpijak pada
asumsi bahwa terjadinya penguasaan bahasa disebabkan oleh kebutuhan pembelajar
untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang sedang ditekuni. Jadi yang
terpenting bagi pembelajar bukan sistem bahasa kedua, tetapi apa yang dapat
Aliran interaksionisme memberi peran lebih banyak kepada latihan-latihan
yang bersifat interaksi seperti bertanya dan menjawab, mengadakan negosiasi
mengenai makna, dan yang sejenis dengan ini pembelajar “dipaksa” berkomunikasi dengan bahasa sasaran. Dengan jalan semacam ini pembelajar dapat “mempreteli” struktur bahasa sasaran dan mencoba memahami makna ujaran yang digunakan dalam
interaksi yang sangat mendekati percakapan yang wajar. Jadi, karena seorang pelajar
bahasa kedua merasa perlu untuk berkomunikasi dalam bahasa yang sedang
dipelajarinya, maka yang penting baginya ialah terus mengadakan interaksi dengan
orang lain dengan cara mendengarkan, membaca, berbicara dan menulis.
Informasi dari sumber lain (Carr, 1994: 1710) menyatakan bahwa
interaksionisme adalah suatu aspek dalam filsafat linguistik yang diadopsi oleh Carr
(1990). Ini adalah filosofi realis linguistik yang mengambil objek linguistik untuk
menjadi intersubjektif dan berbentuk abstrak.
Pada paparan selanjutnya, Carr (1994: 1710) mengemukakan bahwa tesis
sentral dari interaksionisme antara lain adalah sebagai berikut:
1) Pertimbangan atas perdebatan antara realisme dan paham lainnya dalam filsafat
ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa penafsiran realis dalam teori linguistik
sepenuhnya dapat dibenarkan.
2) Apabila pendapat Popper tentang perbedaan antara ilmu pengetahuan dan nonilmu
pengetahuan (ilmu pengetahuan mempunyai hipotesis ilmiah yang jelas, yang
nonilmu pengetahuan tidak) yang diadopsi, maka linguistik generatif adalah ilmiah
karena bekerja dalam penerimaan linguistik generatif melalui hipotesis dan metode
deduktif.
3)Sementara itu hipotesis dan metode deduktif yang digunakan dalam linguistik
generatif merupakan generalisasi dalam disiplin yang tidak peduli hukum alam.
Sebaliknya, mereka menggunakan aturan, kondisi, atau prinsip-prinsip yang mengatur
objek linguistik itu.
4) Benda-benda linguistik, bukan peristiwa nyata, bersifat abstrak. Artinya,
benda-benda itu tidak ada dalam kenyataan. Contohnya adalah kalimat yang pada
kenyataannya tidak sama dengan ucapan. Benda-benda abstrak ditandai, bukan
5) Objek linguistik adalah subjektif, bukanlah pembicara nyata, dan karena itu, teori
linguistik bersifat otonom terhadap psikologi kognitif. Artinya, teori linguistik
bukanlah cabang psikologi kognitif.
6)Bukti dari penilaian kegramatikalan intuitif sangat dapat dibenarkan dalam teori
linguistik. Karena itu, pernyataan bahwa bukti-bukti tersebut menjauhkan linguistik
generatif dari objektivitas adalah keliru. Laporan intuitif, tidak seperti laporan
introspektif. Laporan intuitif melibatkan akses pada intersubjektif dan merupakan
pengetahuan, sedangkan laporan instrospektif digunakan untuk pribadi atau untuk
individu.
7)Keberadaan idiolek tidak bertentangan dengan hal ini. Dalam idiolek apapun, suatu
aturan digunakan oleh seorang pembicara dan tidak digunakan oleh individu lainnya.
Meskipun begitu, setiap aturan yang dipakai tetaplah akan ditularkan kepada orang
lain.
8)Meskipun ada unsur linguistik yang berbeda yang digunakan pembicara , ini tidak
menghalangi pihak pertama dan yang kedua untuk berinteraksi satu sama lain.
Interaksionisme mengklaim bahwa salah satu tugas yang dihadapi ahli bahasa dan
psikolog kognitif adalah untuk menemukan cara agar interaksi ini terjadi secara
VISIT MY WEBSITE :
KLIK AJA LINKNYA SOB