• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Yuridis Terhadap Alat Bukti Penyadapan Di Tinjau Dari Hak Asasi Manusia Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Yuridis Terhadap Alat Bukti Penyadapan Di Tinjau Dari Hak Asasi Manusia Chapter III V"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA DI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

A. Jaminan Terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia di dalam Konstitusi 1. Negara Hukum; Rechtstaat & Rule of law

Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia berdasar atas hukum”. Negara hukum dan negara kekuasaan

(machtsstaat) merupakan dua konsep yang berbeda dan saling berlawanan. Dasar pemikiran dari negara hukum ialah kebebasan rakyat (liberte du citoyen), sedangkan dasar pemikiran dari negara kekuasaan adalah kebesaran negara (gloire de I’etat).76 Istilah Negara hukum meskipun keliatan sederhana, namun menagadung muatan sejarah pemikiran yang relatif panjang. Negara hukum adalah istilah Indonesia yang terbentuk dari dua suku kata, negara77 dan hukum.78

76

Soewandi, Hak-Hak Dasar dalam Konstitusi-konstitusi Demokrasi Modern (Djakarta: PT Pembangunan, 1957), hlm. 12

77

Secara etimologis, istilah negara berasal dari bahasa Inggris (state), Belanda (staat), Italia (‘etat). Kata staat berasal dari akar kata latin, status atau statum yang berarti menaruh dalam keadaan berdiri, membuar berdiri, menempatkan berdiri. Dapat dilihat F.Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Dhiwantara, 1967); M. Solly Lubis, Ilmu Negara, (Bandung: Mandar Maju, 1990); Sjahran Basah, Ilmu Negara; Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan, (Bandung: Citra Aditya, 1992)

78

Hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, seperti dalam ungkapan Latin, ubi ius, ibi societas, namun sangat sulit untuk dapat memberikan definisi hukum sendiri, seperti di ungkapkan Friedman, No definition of law could satisfy everyone; no definition could be “true” or “false”, except by some outside standard, based on an ethical feeling, or on experience. Lihat lebih lanjut Lawrence M. Friedman, Law and Society; an introduction, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1977), hlm. 3

(2)

karena itu, negara membutuhkan hukum dan sebaliknya pula hukum ditegakkan dan dijalan oleh otoritas negara.79

Ada beberapa istilah asing yang digunakan sebagai pengertian dari negara hukum, yakni rechtstaat, rule of law, dan etat de troit. Beberapa istilah tersebut sebenarnya memiliki perbedaan-perbedaan yang signifikan. Menurut Philipus M. Hadjon, konsep rechtstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutism sehingga sifatnya revolusioner, sedangkan sebaliknya konsep rule of law

berkembang secara evolusioner.80 Miriam Budiharjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik, menegaskan bahwa perkembangan ide demokrasi dapat dilihat dari dua mainstream, pertama demokrasi pada negara hukum klasik, dan kedua demokrasi pada negara hukum dinamis.81

Munculnya keinginan untuk melakukan pembatasan yuridis terhadap kekuasaan, pada dasarnya, dikarenakan politik kekuasaan yang cenderung korup. Hal ini dikhawatirkan akan menjauhkan fungsi dan peran negara bagi kehidupan individu dan masyarakat.82 Atas dasar itu terdapat keinginan yang besar agar dilakukan pembatasan kekuasaan secara yuridis-normatif untuk menghindari penguasa yang despotic.83

79

Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1973), hlm. 20

80

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hlm. 72

81

Miriam Budiharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), hlm.56-63

82

Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dari UUD 1945 Sampai dengan Perubahan UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 20

83

Sejalan dengan hal itu, Hitchner dan Levine mengatakan, political power is exercised through a series of relationships between the holders of power and the governed. In totalitarian states that power is limited only by the decision of the ruling group and can in principle reach into every area of an individual’s life. The power of democratic governments, however, is limited and can be applied only in certain domains and according to known procedures. The framework that defines and limits political power is a constitution. Lihat Dell Gillete Hitchner dam Carol Levine,

Comparative Governments and Politics, (New York: Harper & Row publisher, 1981), hlm. 69

(3)

hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil, government by laws, not by men (pemerintahan berdasarkan hukum bukan berdasarkan mnusia).84

Carl. J. Friedrich memperkenalkan sebuah istilah negara hukum dengan nama rechtstaat. Sebagaimana dikutip Miriam Budiardjo dalam buku

Constitutional Government and Democracy; Theory and Practice in Europe and

America oleh Friedrich J. Stahl,85

a. hak-hak manusia;

setidaknya terdapat empat unsur berdirinya

rechtstaat, yaitu:

b. pemisahan atau pembagian kekuasaan;

c. pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan;

d. peradilan administrasi dalam perselisihan.

Kemudian Albert Venn Dicey dalam magnum opus-nya, Introduction to the Law of the Constitution memperkenalkan istilah Rule of Law yang secara sedehana diartikan sebagai keteraturan hukum. Menurut Dicey, ada 3 usnur fundamental dalam Rule of Law, yaitu

a. supremasi aturan-aturan hukum; tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang, dalam arti seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum;

b. kedudukan yang sama dalam emnghadapi hukum. Petunjuk ini berlaku bagi masyarakat biasa, maupun terhadap para pejabat

84

Miriam Budiardjo, op. cit., hlm. 57

85

(4)

c. terjaminnya hak asasi manusia oleh Undang-undang maupun keputusan pengadilan.86

Berdasarkan pandangan diatas, keliatan bahwa negara tidak bersifat proaktif, melainkan bersifat pasif. Sikap negara tersebut dikarenakan pada posisinya negara hanya menjalankan apa yang termaktub dalam konstitusi semata. Sehingga negara tidak lebih hanya sebatas nachtwachterstaat (negara penjaga malam).

87

2. Signifikasi dan Muatan Konstitusi

Lord Acton dalam “aksioma politik” mengatalam, “power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely”88

Pembatasan kekuasaan yang terbaik adalah melalui konstitusi, sebagaimana ungkapan Carl J. Friedrich yang mengatakan, “constitutionalism by dividing power provides a system of effective restrains upon governmental

(kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang mutlak cenderung untuk korupsi pula). Kekuasaan mengandung dua sisi sekaligus, yakni sisi positif dan negatif. Dari sisi positif karena kekuasaan yang baik sebenarnya sangat efektif menegakkan hukum dan keadilan secara bermatabat. Namun dari sisi negatif, yakni manakala kekuasaan diarahkan kepada bentuk kesewang-wenangan dan kezaliman.

86

A.V.Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, (London: Mac:Millan, 1973), hlm. 202-3

87

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya di Indonesia; Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kloektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an, (Jakarta: Disertasi Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993), hlm. 230

88

(5)

action”.89 Sehingga berbicara tentang negara tidak dapat dilepaskan dengan konstitusi.90

Konstitusi mengadung dua pengertian

Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

Kehadiran konstitusi merupakan condition sine quo non (syarat mutlak) bagi sebuah negara. Konstitusi tidak saja memberikan gambaran dan penjelasan tentang mekanisme lembaga-lembaga negara, lebih dari itu di dalamnya ditemukan letak relasional dan keudukan hak dan kewajiban warga negara. Konstitusi merupakan ‘social contract” antara yang diperintah (rakyat) dengan yang memerintah (penguasa,pemerintah).

91

Undang-Undang Dasar (UUD) merupakan konstitusi tertulis. Adapun batasan-batasanya dapat dirumuskan kedalam pengertian sebagai berikut:

, pertama dalam pengertian luas, yakni mencakup sistem pemerintahan dari suatu negara dan merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam mengatur tugas-tugasnya. Sebagai sistem pemerintahan, didalamnya terdapat campuran tata peraturan, baik yang bersifat hukum (legal) maupun bukan hukum (non legal).

Kedua, dalam pengertian sempit, yaotu sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam “suatu dokumen” yang terkait satu sama lain.

92

a. suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para penguasa;

89

Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy; Theory and Practice in Europe and America, (Masscahusets: Blaisdell Publishing Company, 1967), hlm. 38

90

Samidjo, Ilmu Negara. (Bandung: Armico, 1986), hlm. 297

91

Majda El Muhtaj, Op.Cit, hlm. 29

92

(6)

b. suatu dokumen tentang pembagian tugas sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik;

c. suatu deskripsi dari lembaga-lembaga negara;

d. suatu deskripsi yang menyangkut masalah hak asasi manusia.

Sehingga UUD merupakan dasar bagi terselenggaranya sistem pemerintahan. Sejalan dengan itu, Miriam Budiardjo menegaskan bahwa UUD menentukan cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan bekerja sam dan menyesuaikan diri satu sama lain. Selengkapnya Miriam Budiardjo mengatakan:

“Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menggangapnya sebagai organisasi kekuasaan maka Undang-Undang Dasar (UUD) dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, badan eksekutif dan badan yudikatif. Undang-Undang Dasar (UUD) menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasan ini bekerjasama dan menyesuaikan diri satu sama lain; UUD merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara”.93

Konstitusi sebagai bagian yang krusial bagi sebuah negara memang tak terbantahkan. Dalam konteks pentingnya konstitusi bagi sebuah negara, Struyken dalam bukunya Het Staatrecht van Het Koninkrif der Bederlander menyatakan bahwa UUD sebagai konstitusi tertulis merupakan dokumen formal yang berisikan:

94

a. Hasil perjuangan poltik bangsa dimasa lampau

b. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa

c. Pandangan tokok-tokoh bangsa hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk waktu yang akan datang

93

Miriam Budiardjo, Op. cit, hlm. 96

94

(7)

d. Suatu keinginan, domana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.

Berdaarkan 4 hal diatas, maka sangat pentinglah suatu konstitusi yang menjadi barometer kehidupan negara dan berbangsa, serta memberikan arahan dan pedoman bagi generasi penerus bangsa dalam menjalankan fungsi negara.

Untuk menguatkan hal tersebut, ada baiknya juga melihat pendapat Bryce seputar motf politik dalam pemyusunan sebuah konstitusi, sebagaiaman dikutip oleh Joeniarto, yakni:95

a. Keinginan untuk menjamin hak-hak rakyat dan untuk mengendalikan tingkah laku penguasa

b. Keinginan untuk menggambarkan sistem pemerintahan yang ada dalam rumusan yang jelas guna mencegah kemungkinan perbuatan sewenang-wenang dari pemnguasa dimasa depan.

c. Hasrat dari pencipta kehidupan politik baru untuk menjamin atau mengamankan berlakunya cara pemerintahan dalam bentuk yang permanen dan yang dapat dipahami oleh warga negara

d. Hasrat dan keinginan untuk menjamin adanya kerja sama yang efektif dari beberapa negara yang pada mulanya berdiri sendiri

3. Muatan Hak Asasi Manusi di dalam UUD NRI 1945

Dalam sejarah ketatanegaraan Negara Indonesia, Indonesia sendiri telah beberapa kali mengalami perubahan konstitusi negara, diawali dengan UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUD Sementara 1950, kembali kepada UUD 1945, dan kemudian sampai pada perubahan kedua UUD NRI 1945. Salah satu poin penting

95

(8)

perubahan kedua UUD NRI 1945 adalah penjaminan hak-hak asasi manusia (HAM). Perubahan Kedua UUD NRI 1945 memasukkan perihal HAM menjadi satu bab tersendiri, yakni BAB XA mengenai Hak Asasi Manusia dengan 10 Pasal , yakni Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, dan Pasal 28J.

Menurut Ni’matul Huda, penambahan perumusan HAM serta jaminan penghormatan, perlindungan, pelaksanaan, dan pemajuannya kedalam UUD NRI 1945 bukan karena semata-mata kehendak isu global, melainkan karena itu merupakan salah satu syarat negara hukum. HAM merupakan salah satu indicator untuk mengukur tingkat peradaban, demokrasi, dan kemajuan suatu bangsa.96

a. Hak atas hidup dan kehidupan.

Muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD NRI 1945 dapat dikatakan sebagai bentuk komitmen jaminan konstitusi atas penegakan hukum dan HAM di Indonesia.

Jika dicermati lagi di dalam UUD NRI 1945 beberapa materi muatan HAM tersebut antara lain

Hak tersebut diatur di dalam Pasal 28A, yang menyatakan

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan

kehidupannya”.

b. Hak membentuk keluarga.

Hak ini diatur di dalam Pasal 28B, yang menyatakan

(1) Setip orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan

melalui perkawinan yang sah

96

(9)

(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang

serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

c. Hak untuk mengembangkan diri dengan meningkatkan kualitas diri Hak ini diatur di dalam Pasal 28C, yang menyatakan

(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan dasarnya,

berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu

pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas

hidupnya demi kesejahteraan umat manusia

(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan

haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan

negaranya.

d. Hak untuk perlakuan hukum yang adil.

Hak ini diatur di dalam Pasal 28D, yang menyatakan

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum.

(2) Setiap orang berhak bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan adil

dan layak dalam hubungan kerja

(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan

(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan

e. Hak untuk beragama dan berserikat

(10)

(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,

memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih

kewarganegaraan, memilih

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan

pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan

mengeluarkan pendapat.

f. Hak untuk berkomunikasi

Hak ini diatur di dalam Pasal 28F, yang menyatakan:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribdi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk

mencari, memperoleh, memiliki segala jenis saluran yang tersedia”.

g. Hak untuk perlindungan privasi

Hak ini diatur di dalam Pasal 28G, yang menyatakan

(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,

kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaanya, serta

berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk

berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaaan atau perlakuan yang

merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka

politik dari negara lain.

h. Hak untuk kehidupan yang layak, persamaan di hadapan hukum, dan jaminan sosial

(11)

(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal

dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan.

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk

memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai

persamaan dan keadilan.

(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan

pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermatabat.

(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut

tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

i. Hak untuk bebas dari penyiksaan dan diskriminasi Hak ini diatur di dalam Pasal 28I, yang menyatakan

(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan

hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui

secara pribadi di hadapan hukum. Dan hak untuk tidak dituntut atas dasar

hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapt

dikurangi dalam keadaan apapun.

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat

diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan

terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu

(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras

dengan perkembangan zaman dan peradaban.

(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia

(12)

(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan

prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksaan hak asasi

manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan

perundang-undangan.

j. Kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain Hal ini diatur di dalam Pasal 28J, yang menyatakan

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk

kepada pembatasan yang dttetapkan dengan undang-undang dengan

maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatam

atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntuttan yang

adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan

ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

k. Hak untuk upaya pertahanan dan keamanan negara

Hal ini diatur di dalam Pasal 30 ayat (1), yang menyatakan

“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha

pertahanan dan keamanan negara”.

(13)

B. Asas-Asas Hukum Acara Pidana dalam Melindungi Hak Asasi Manusia Didalam sistem peradilan pidana di Indonesia, pedoman dalam melaksanakan hukum acara pidana ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada tanggal 24 September 1981. Pedoman ini bertujuan untuk menjamin adanya kepastian kesatuan pelaksaan hukum acara pidana, yaitu sejak dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dipengadilan, sampai pada penyelesaian di tingkat (lembaga) permsyarakatan.97

Istilah lain yang sering digunakan dalam menyebutkan hukum acara pidana adalah “hukum pidana formal” dan istilah Kitab Unfang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) sering disebut “hukum pidana materiil”. Hukum pidana materil merupakan pedoman yang berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapat tidaknya dipidana orang dipidana dan aturan tentang pemidanaan, yaitu mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formil adalah mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menatuhkan pidana.98

Pengertian tersebut juga dapat dilihat dari pendapat van Bemmelen99

1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran.

yang menyakatan bahwa hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang undang pidana yang dapat dilihat menjadi :

97

Andi Sofyan & Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2014), hlm. 1

98

Ibid, hlm. 2

99

(14)

2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.

3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap sipelaku dan kalau perlu menahannya.

4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna diilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa kedepan hakim tersebut.

5. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan-perbuatan yang ditudukan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib

6. Aparat hukum untuk melawan keputusan tersebut.

7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu. Berdasarkan beberapa pengertian diatas hukum acara pidana dalam melaksanakan hukum pidana materiil memberikan peraturan cara bagaiman negara dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk memidana atau memberikan pidana.100

Dalam penerapan penegakan KUHAP, diperlukan suatu landasan atau sebuah prinsip yang diartikan sebagai dasar patokan yang melandsari KUHAP. Asas-asas atau prinsip hukum inilah yang menjadi tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP, bukan saja hanya kepada aparat penegak hukum, tetapi juga bagi setiap anggota masyarakat yang terlibat dan berkepntingan atas pelaksanaan KUHAP sendiri. Apabila menyimpang dari prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada KUHAP, berarti orang yang bersangkutan telah sengaja mengabaikan hakikat kemurnian yang

100

(15)

dicita-citakan KUHAP. Sehingga tindakan demikian, nyata-nyata telah meningkari dan menyelewengkan KUHAP ke arah tindakan yang berlawanan dan melanngar hukum.101

1. Asas legalitas

Hal ini merupakan suatu bentuk perlindungan hsk asasi manusia dalam pelaksaan KUHAP.

Dalam konsideran KUHAP huruf a, yang berbunyi:

“Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjungjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaa kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Sehigga jelaslah KUHAP adalah sebagai Undang-undang pelaksanaan dan penerapan KUHAP harus bertitik tolak pada the rule of law. Semua tindakan penegak hukum harus:102

a. Berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang

b. Menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas segalanya, sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat bangsa yang takluk dibawah “supremasi hukum” yang selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Jadi arti the rule of law dan supremasi hukum menguji dan meletakkan setiap tindakan penegakan hukum takluk dibawah ketentuan konstitusi, undang-undang dan rasa keadilan yang hidup di tengah-tengah kesadaran masyarakat.

101

M. Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan

Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 35

102

(16)

Sehingga berdasarkan asas legalitas sesuai dengan prinsip the rule of law

dansupremasi hukum, aparat penegak hukum tidak dibenarkan:103 a. Bertindak diluar ketentuan hukum;

b. Bertindak sewenang-wenang atau abuse of power;

c. Sama derajatnya dihadapan hukum atau equal before the law;

d. Mempunyai kedudukan “perlindungan” yang sama oleh hukum, equal protection on the law;

e. Mendapat “perlakuan keadilan” yang sama di bawah hukum, equal justice under the law;

2. Asas Keseimbangan

Asas ini dapat dilihat dalam konsideran huruf c yang menegaskan dalam setip penegakan hukum harus berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara:

a. Perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan; b. Perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat

Aparat penegak hukum harus menempatkan diri dalam suatu acuan pelaksanaan penegakan hukum yang berlandaskan keseimbangan yang serasi antara orientasi penegakan dan perlindungan ketertiban masyarakat dengan kepentingan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Apabila tindakan aparat telah melakukan penyalahgunaan kekuasaannya misalnya melakukan kekerasan, aparat tersebut dapat dimintai pertanggungjawabannya atas yang dianggap telah melanggar HAM.104

103

M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 36

104

(17)

Dengan demikian perlu mengubah sikap mental dan pandngan ke arah cakrawala penegakan hukum yang menempatkan kedudukan mereka sebagai kelompok aparat yang berfungsi sebagai “manusia-manusia pelayan” atau sebagai

agency of service. Dengan perlindungan kepentingan ketertiban masyarakat, KUHAP telah menonjolkan tema ihuman dignity (martabat kemnusiaan), dalam pelaksanaan tindakan penegakan hukum di Indonesia.

3. Asas praduga tak bersalah

Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam Hukum Acara Pidana ketentuan asas praduga tidak bersalah eksistensinya tampak pada Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004 dan penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP yang menentukan bahwa:

“setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dana atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”

Secara umum asss ini menjelaskan bahwa tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, karena dalam proses pemeriksaan perkara pidana yang membuat/menyampaikan dakwaan adalah Jaksa Penuntut Umum, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa adalah Jaksa Penuntut Umum105

Prinsip ini menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan:106

105

Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM Press, 2010), hlm. 156

106

(18)

a. Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri.

b. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah “kesalahan” (tindakan pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa. Kearah itulah pemeriksaan ditujukan

Untuk menopang asas praduga tak bersalah dan prinsip akusator dalam penegakan hukum, KUHAP telah memberikan perisai kepada tersangka/terdakwa berupa seperangkat hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan lindungi oleh aparat penegak hukum. Hak-hak tersebut digariskan dalam KUHAP yang dapat dilihat pada BAB VI:

a. Segera mendapat ‘pemeriksaan oleh penyidik” dan selanjutnya diajukan pada penuntut umum;

b. Segera diajukan ke pengadilan dan segera diadili oleh pengadilan;

c. Tersangka berhak diberitahu dengan jelas dengan bahasa yang dimengertinya tentang apa yang disangkakan pada waktu pemeriksaan dimulai;107

d. Berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengertinya tentang apa yang didakwakan kepadanya, sehingga hal ini bertujuan baginya untuk mempersiapkan pembelaan;

e. Berhak memberikan keterangan secara bebas baik kepada penyidik pada taraf penyidikan maupun kepada hakim pada proses pemeriksaan disidang pengadilan;

107

(19)

f. Berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa pada setiap tingkat pemeriksaan, jika tersangka/terdakwa tidak mengerti bahasa Indonesia;

g. Berhak mendapat bntuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan;

h. Berhak memilih sendiri penasihat hukum yang akan mendampinginya

i. Bagi setiap tersangka/terdakwa apabila diaa tidak mampu menyediakan penasihat hukumnya, maka penegak hukum wajib menunjuk penasihat hukum bagi tersangka/terdakwa;

j. Berhak mengunjungi dan di kunjungi dokter pribadinya selama ia dalam tahanan;

k. Berhak untuk diberitahukan peada keluarganya atau orang yang serumah dengan dia atas penahanan yang dilakukan terhadap dirinya;

l. Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau orang lain, guna mendapatkan jaminan atas penangguhan penahanan atau bantuan hukum;

m. Berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasiihat hukumnya untuk menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarga, sekalipun hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan tersangka/terdakwa;

n. Berhak mengirim surat dan menerima surat setiap kali diperlukan, sehingga pejabat yang bersangkutan harus menyediakan peralatan yang dibutuhkannya; o. Terdakwa berhak untuk diadili dalam sidang pengadilan yng terbuka untuk

umum;

(20)

q. Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, sehingga ini merupakan kewajiban penuntut umum untuk membuktikkan kesalahan terdakwa;

r. Berhak menutut ganti rugi atau rehabilitasi atas setiap tindakan pemagkapan, penahanan, dan penuntutan yang tidak sah atau yang bertentangan dengan hukum.

4. Prinsip pembatasan penahanan

Setiap penahanan, dengan sendirinya menyangkut nilai dan makna antara lain:108

a. Perampasn kebebasan dan kemerdekaan orang yang ditahan

b. Menyangkut nilai-nilai prikemanusiaan dan harkat martabat manusia c. Menyangkut nama baik dan pencemaran atas kehormatan diri pribadi

Dengan demikian, demi menyelamatkan nilai-nilai dasar hak asasi manusia, KUHAP telah menetapkan secara “limitatif” dan terperinci wewenang penahanan yang boleh dilakukan dalam setiap pemeriksaan.109

a. Penyidik paling lama menahan seseorang selama 60 hari

Mengenai batas waktu penahanan dapat diperinci sebagai berikut:

1) 20 hari atas nama dan perintahnya sendiri

2) Dapat meminta perpanjangan penahanan kepada penuntut umum demi untuk kepentingan pemeriksaan, tidak lebih dari satu kali perpanjangan saja, dan lamanya hanya terbatas 40 hari

108

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 42

109

(21)

Apabila lewat dari waktu tersebut, penahanan dengan sendirinya batal demi hukum, dan tersangka harus dibebaskan

b. Penuntut umum paling lama dapat menahan seseorang selama 50 hari 1) 20 hari atas perintah penuntut umum sendiri

2) Demi kepentingan penuntutan dapat meminta perpanjangan untuk satu kali saja kepad Ketua Pengadilan Negeri, masa perpanjangan penahanan tidak lebih dari 30 hari.

c. Hakim pengadilan negeri demi kepentingan pemeriksaan dalam pemeriksaaan pengadilan dapat melakukan panahanan selama 90 hari

1) Atas perintah hakim yang bersangkutan selama 30 hari

2) Boleh diperpanjang untuk satu kali saja untuk jangka waktu 60 hari d. Hakim pengadilan tinggi dapat melakukan penahanan selama 90 hari

1) Oleh hakim yang bersangkutan selama 30 hari

2) Diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi selama 60 hari untuk satu kali saja

e. Mahkamah Agung berwenang melakukan penahanan selama 110 hari 1) Hakim Agung yang bersangkutan selama 50 hari

2) Diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung tidak lebih dari 60 hari untuk satu kali saja.

(22)

5. Asas Ganti Rugi dan rehabilitasi

Secara limitatif sas ini diatur di dalam Pasal 9 UU No. 4 Tahun 2004, Pasal 95, 96, dan 97 KUHAP, apabila dijabarkan dapat disebutkan bahwa kalau seseorang ditangkap, ditahan dan dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan UU atau karna kekeliruan baik mengenai orangnya atau penerapan hukum wajib memperoleh rehabilitasi apabila pengadilan memutus bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tunttutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).110

Alasan yang dapat dijadikan dasar ganti rugi dan rehabilitasi :111 a. Ganti rugi disebabkan oleh penagkapan atau penahanan

1) Penangkapan atau penahanan secara melawan hukum

2) Penangkapan atau penahanan dilakukan tidak berdasarkan undang-undang

3) Penagkapan atau penahanan dilakukan untuk tujuan kepentingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.

4) Apabila penangkapan atau penahanan dilakukan tidak mengenai orangnya (disqualification of person)

b. Ganti rugi akibat penggeledahan atau penyitaan

Tindakan memasuki rumah secara tidak sah menurut hukum (tanpa perintah dan surat izin dari Ketua Pengadilan).

Permohonan tuntutan ganti kerugian dalam hal ini diajukan ke sidang praperadilan jika perkaranya belum atau tidak diajukan ke pengadilan. Tetapi apabila perkaranya telah dimajukan ke sidang pengadilan, tuntutan ganti kerugian

110

Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktik,

(Bandung: Alumni, 2008), hlm 19

111

(23)

dimajukan ke pengadilan. Tuntutan ganti kerugian hanya dapat iajukan dalam tenggang waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila perkaranya dihentikan penyidikannya atau penuntutannya, maka jangka waktu 3 bulan dihitung sejak saat pemberitahuan berlakunya surat Ketetapan Penghentian Penyidikan/Penuntutan atau Penetapan Praperadilan112 6. Penggabungan Tindak Pidana dengan Tuntutan Ganti Kerugian

KUHAP memberikan prosedur hukum bagi seorang korban tindak pidana untuk mengugat ganti rugi yang bercorak perdata terhadap terdakwa bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang berlansung. Sehingga KUHAP tidak saja hanya memperheatikan hak dari pelaku tindak pidana, tetapi juga hak dari pada orang yang menderita kerugian materiil yang disebabkan oleh adanya suatu tindak pidana. Beberapa hal yang diperhatikan dalam menggabungkan ganti kerugian sebagai berikut:113

a. Ganti kerugian tersebut dapat dimintkan terhadap semua macam perkara yabg dapat menimbulkan kerugian materil

b. Kerugian yang bersifat immaterial tidak dapat dimintakan ganti kerugin lewat prosedur ini

c. Penggabungan perkara pidana dan gugatan ganti rugi yang bersifat perdata dapat diajukan pihak korban selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan (requisitoir).

7. Asas Unifikasi

Asas unifikasi yang dianut KUHAP ditegaskan dalam konsideran huruf b,

112

Kuffal, Op.Cit, hlm 154

113

(24)

“bahwa demi pembangunan di bidang hukum sebagaimana termaktub dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Noor IV/MPR/1978) perlu mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaruan kodifikasi serta unifikasi hukum daalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari wawasan Nusantara”.

Dengan berlakunya KUHAP yang berdasarkan unifikasi hukum, terhapuslah sisa jiwa kekeruhan hukum diskriminatif yang lampau. Impian akan pengotakan kelas penduduk tidak dapat diterima lagi oleh kesadaran wawasan nusantara.

8. Prinsip Diferensiasi Fungsional

Prinsip diferensisasi fungsional adalah penegasan pembagian tugas wewenang antara jajaran penegak hukum secara instansional. KUHAP meletakkan suatu asas penjernihan (clarification) dan modifikasi (modification)

fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum, sehingga terjalin hubungan fungsi berkelanjutan dalam suatu rangkaian integrated criminal justice system.114

Tujuan utama asas diferensiasi fungsional dimaksudkan untuk:115

a. Untuk melenyapkan proses penyidikan yang saling tumpah tindih antara kepolisian dan kejaksaan, sehingga tidak lagi terulang proses penyidikan yang bolak balik antara kepolisian dan kejaksaan;

b. Untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam proses penyidikan, sehingga setiap orang tahu dengan pasti instansi yang berwenang memeriksa.

c. Diferensiasi ditujukan untuk menyederhanakan dan mempercepat peoses penyelesaian perkara

114

Lilik Mulyadi, Op. Cit, hlm 22

115

(25)

d. Memudahkan pengawasan pihak atasan secara struktural monitoring pengawasan dapat ditujukan secara terarah pada instansi bawahan yang memikul tugas penyidikan. Sehingga setiap kekeliruan dan kesalahan yang terjadi menjadi beban yang harus dipikulnya seorang diri, tidak dapat lagi dicampurbaurkan menjadi beban tanggungjawab instansi lain.

e. Tercipta satu hasil berita acara pemeriksaan. 9. Prinsip Saling Kordinasi

Mari kita lihat gambaran adanya hubungan saling kordinasi fungsional antara aparat penegak hukum menurut jenjang pengawasaan (span of control)116

a. Hubungan penyidik dengan penuntut umum

1) Kewajiban penyidik untuk memberitahu dimulai penyidikan kepada penuntut umum

2) Pemberitahuan penghentian penyidikan oleh penyidik kepada penuntut umum

Namun, penuntut umum bisa berpendapat lain, dan jika menganggap penghentian penyidikan tidak sah, penuntut umum berhak mengajukan pemeriksaan tentang sah tidaknya penghentian penyidikan kepada praperadilan

3) Penyerahan berkas oleh penyidik kepada penuntut umum dalam rangka pra penuntutan,

4) Penuntut umum memberikan turunan surat pelimpahan perkara dan surat dakwaan kepada penyidik

116

(26)

5) Dalam acara pemeriksaan cepat, penyidik atas kuasa penuntut umum melimpahkan berkas perkara dengan menghadapkan terdakwa, saksi, dan barang bukti ke sidang pengadilan.

b. Hubungan penyidik dengan hakim/pengadilan

1) Atas permintaan penyidik, Ketua Pengadilan dapat “menolak” atau “memberi” surat izin.

i. Penggeledahan rumah ii. Penyitaan dan

iii. Surat izin khusus pemeriksaan surat

2) Atas permintaan penyidik, Ketua Pengadilan Negeri memberikan surat persetujuan atau menolak untuk memberi persetujuan atas pelaksanaan penggeledahan rumah atau penyitaan yang dilakukan oleh penyidik dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak

3) Penyidik memberikan kepada panitera bukti bahwa surat amar putusan dalam pelanggaran lalu lintas telah disampaikan kepada terpidana

4) Panitera menyampaikan kepada penyidik akan adanya perlawanan dari terdakwa dalam perkara lalu lintas

10.Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan

Secara konkret, apabila dijabarkan dengan dilakukan peradilan secaracepat cepat, tepat, sederhana dan biaya ringan dimaksudkan supaya terdakwa tidak diperlakukan dan diperiksa sampa berlarut-larut sehingga sifatnya efektif dan efisien, kemudian memperoleh kepastian prosedural hukum, serta proses administrasi biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat.117

117

(27)

Beberapa ketentun KUHAP sebagai penjabaran asas peradilan yang cepat, tepat, dan biaya ringan, antara lain, tersangka atau terdakwa berhak:118

a. Segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik

b. Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik c. Segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum d. Berhak segera diadili oleh pengdilan.

Kemudian mengenai pelimpahan oleh Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding, bahwa

a. Pelimpahan berkas perkara banding oleh Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi sudah dikirim 14 hari dari tanggal permohonan banding

b. 7 hari sesudah putus pada tingkst banding, Pengadilan Tinggi harus mengembalikan berkas ke Pengadilan Negeri

c. Pada tingkat kasasi, 14 hari dari tanggal permohonan kasasi, Pengadilan Negeri harus sudah mengirimkan berkas perkara ke Mahkamah Agung untuk diperiksa pada tingkat kasasi, dan sesudah 7 hari sesudah tanggal putusan, Mahkamah agung harus sudah mengembalikan hasil putusan kasasi ke Pengadilan Negeri

11.Prinsip peradilan terbuka untuk umum

Prinsip ini diatur didalam Pasal 153 ayat (3)

“pemeriksaan di sidang pengadilan terbuka umum”

Dengan landasan persamaan hak dan kedudukan antara tersangka/terdakwa dengan aparat penegak hukum, ditanbah dengan sifat keterbukaan perlakuan oleh aparat hukum kepada tersangka/terdakwa. Semua

118

(28)

hasil pemeriksaan yang menyangkut diri dan kesalahan yang disangkakan kepada tersangka sejak mulai pemeriksaan penyidikan harus terbuka kepadanya di pengadilan, berarii pemeriksaan pendahuluan, penyidikan, dan praperadilan tidak terbuka untuk umum.119

Jadi, pada saat membuka persidangan pemeriksaan perkara hakim ketua harus menyatakan “terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas ketentuan ini atau tidak dapat dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan pengadilan batal demi hukum, namun hal ini dikecualikan sepanjang yang menyangkut kesusilaan atau yang duduk sebagai terdakwa terdiri dari anak-anak. Prinsip-prinsip yang diuraikan diatas sebagai wujud untuk mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia . sehingga harapannya prinsip-prinsip tersebut ditegakkan dan diimplementasikan dengan berlandaskan semangat untuk melindungi harkat serta martabat manusia.120

119

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 20

120

Tolib Effendi, Dasar-dasar Hukum Acara Pidana Perkembangan dan

Pembaharuannya di Indonesia, (Malang: Setara Press, 2014), hlm. 17

(29)

BAB IV

ANALISIS ALAT BUKTI PENYADAPAN DI TINJAU DARI HAK ASASI MANUSIA

A. Penerapan Penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian dan Kejaksaan

1. Penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

Perkembangan tindak pidana korupsi yang sangat massif di Indonesia telah memperhatinkan dan sangat luas. Tindak pidana korupsi nyaris seluruhnya terjadi di setiap segi kehiduoan masyarakat yang pada kedudukan yang rendah bahkan sampai pada kedudukan yang tinggi. Oleh karena hal itu, pemberantasan harus dilakukan dengan sebuah metode penegakan hukum dengan cara luar biasa lewat pembentukan sebuah tubuh khusus yang memiliki kewenangan luas, independen, bebas dari segala kekuasaaan manapun.121

Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, sebuah lembaga negara baru melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberatansan Korupsi (UU KPK) dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

122

121

. Dalam melaksanakan tugasnya berpedoman kepada lima asas, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilits, kepentingan umum, dan proporsionalitas.

diaksses tanggal 27 Mei 2016

(30)

Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, ;penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi diatur didalam Pasal 6 huruf c UU KPK yang menyatakan bahwa :

“Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: melakukan

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana

korupsi.”

Melalui UU KPK, kewenangan untuk melakukan penyadapan diberikan kepada KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan penyidikan, dan penuntutan. Kewenangan melakukan penyadapan terdapat pada Pasal 12 ayat (1) huruf c yang menyatakan

“Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.”

Namun bila melihat kepada UU KPK, tidak ditemukan penjelasan definis dari penyadapan itu sendiri.

Pedoman yang dapat digunakan untuk menjelaskan definisi tersebut terdapat pada Pasal 1 huruf g Peraturan Menteri Nomor 11/PRM/Kominfo/02/2006 tanggall 22 Pebruari 2006 tenatang Teknis Intersepsi terhadap informasi, yaitu :

“Pengertian intersepsi informasi secara sah (lawfull interception) adalah kegiatan intersepsi informasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk kepentingan penegakan hukumyang dikendalikan dan hasilnya dikirimkan ke pusat pemantauan (monitoring centre) untuk aparat penegk hukum.”

(31)

dilakukan sesuai dengan kebutuhan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.123

2. Penyadapan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia

Dalam pasal 1 angka 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa:

“Penyidik adalah Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai

negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang

untuk melakukan penyidikan.”

Dalam Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menyatakan dengan tegas bahwa:

“Penyidik ialah:

a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia

b. Pejabat Pegawai Negeri (PPNS) tertentu yang diberi wewenang oleh

undang-undang.”

Selanjutnya, dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menyatakan bahwa:

“Polisi memiliki tugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan,

pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”

Sehingga didalam melaksanakan tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat kewenangan melakukan penyadapan diberikan kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

123

(32)

Pada saat ini Polri telah menetapkan penyadapan yang diatur dalam Peraturan Kapolri No. 5 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penyadapan pada Pusat Pemantauan Polri yang telah disahkan tanggal 24 Pebruari 2010. Berdasarkan peraturan tersebut, operasi penyadapan oleh Anggota Polri harus sesuai dengan prinsip-prinsip pada Pasal 2, yang menyatakan:

a. Perlindungan hak asasi manusia, yaitu penyadapan dilaksanakan dengan memperhatikan hak asasi manusia berdasarkan prosedur pengoperasian standar;

b. Legalitas, yaitu tindakan penyadapan yang dilakukan harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. Kepastian hukum, yaitu kegiatan penyadapan yang dilakukan semata-mata untuk menjamin tegaknya hukum dan keadilan;

d. Perlindungan konsumen, yaitu kepentingan konsumen pengguna jasa telekomunikasi tidak terganggu akibat adanya tindakan penyadapan;

e. Partisipasi, yaitu turut sertanya menteri yang membidangi urusan telekomunikasi dan informatika, Penyedia Jasa dan Penyedia Jaringan Telekomunikasi dalam bentuk operasi penyadapan;

f. Kerahasiaan, yaitu penyadapan bersifat rahasia dan hanya dapat digunakan oleh Penyelidik dan/atau Penyidik Polri secara proporsional dan relevan dengan memperhatikan keamanan sumber data atau informasi yang diperoleh dalam penngungkapan tindak pidana.

(33)

a. Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri ditunjuk oleh Kapolri sebagai pejabat yang memberikan izin dimulainya operasi penyadapan.

b. Permintaan dimulainya penyadapan diajukan oleh penyelidik/penyidik kepada Kabareskrim untuk tingkat Mabes Polri atau melalui Kapolda kepada Kabareskrim berdasarkan tingkat satuan kewilayahan.

c. Permintaan dimulainya penyadapan tersebut, setelah dterima maka Kabareskrim akan melakukan pertimbangan layak atau tidak layak dilakukan penyadapan, paling lambat 3 (tiga) hari sejak diterima diberitahukan kepada penyidik

d. Jika Kabareskrim menilai layak dilaksanakan, Kabareskrim mengajukan izin penyadapan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat operasi penyadapan dilakukan

e. Operasi penyadapan mulai dilakukan setelah mendapat izin, dilaksanakan oleh Pusat Pemantauan (monitoring centre) Polri

f. Operasi penyadapan dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diajukan kembali kembali apabila dirasa informasi yang diperoleh belum mencukupi

g. Operasi penyadapan berakhir apabila:

1) Penyelidik dan/atau penyidik melalui atasan penyidik menyatakan bahwa operasi penyadapan yang dilaksanakan dianggap sudah cukup, disertai surat keterangan atau pernyataan

2) Penyidik dan/atau penyidik melalui atasan penyidik meminta dan membuat pernyataan secara tertulis kepada Kalakhar Pusat Pemantauan

(34)

3) Operasi penyadapan yang dilakukan dengan pertimbangan sangat perlu dan mendesak, tidak dikabulkan oleh Kabareskrim Polri disertai alasannya.

4) Habis masa berlaku dan tidak diperpanjang.

h. Produk hasil penyadapan hanya diberikan oleh Khalakar Pusat Pemantauan kepada penyelidik/penyidik yang identitasnya tercantum sesuai dengan surat permohonan permintaan.

i. Produk hasil penyadapan bersifat rahasia dan dapat digunakan sebagai alat bukti sesuai dengan ketentuan peraturan-perundangan

j. Penyelidik, penyidik dan anggota Pusat Pemantauan Polri, dilarang, baik sengaja maupun tidak, menjual, memperdagangkan, mengalihkan, mentransfer, dan/atau menyebarluaskan produk hasil penyadapan, baik secara tertulis, lisan maupun menggunakan komunikasi elektronik kepada pihak manapun.

3. Penyadapan oleh Kejaksaan Republik Indonesia

Kedudukan sentral Kejaksaan dalam penegakan hukum di Indonesia, sebagai salah satu subsistem hukum yang berada dalam satu kessatuan yang teratur dan terintegral, saling mempengaruhi dan saling mengisi dengan subsistem lainnya untuk mencapai tujuan dari subsistem hukum tersbut. Selain kejaksaan, ada juga lembaga lain, seperti hakim, polisi, advokat, tersangka, terdakwa, terpidana yang menjadi subsistem hukum di Indonesia. Dilihat dari aspek kewenangannya, dikenal beberapa subsistem hukum, seperti kewenagan melakukan penyidikan, penuntutan dan penghukuman.124

124

Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,

(35)

Pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menyatakan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintahan yang melaksanakan kegiatan di bidang penuntutan serta kewenangan lain berrdasarkan undang-undang. Kemudian pada Pasal 30 ayat (1) huruf d, menyatakan bahwa Kejaksaan memiliki tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang

Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang adalah untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, hal ini dapat dilihat pada Pasal 39 Undang-ndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) yang menyatakan

“Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan

bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan

Peradilan Militer.”

Berdasarkan uraian pada pasal-pasal diatas, Kejaksaan juga dapat dinyatakan sebagai penyidik bagi tindak pidana tertentu khususnya dalam hal ini tindak pidana korupsi. Dalam melakukan penyidikan Kejaksaan juga dapat melakukan penyadapan guna kepentingan penegakan hukum hal tersebut dapat di lihat pada Pasal 26 UU PTPK yang menyatakan Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Penyidik dalam hal ini dapat melakukan tindakan penyadapan

(36)

Beberapa uraian diatas, tidak dapat dilihat ketegasan bahwa kejaksaan dapat melakukan penyadapan, sehingga diperlukan suatu penjelasan lebih lanjut. Hal ini menyebabkan kejaksaan belum dapat memaksimalkan kewenangan penyadapannya dan hasil penyadapan sebagai alat bukti di persidangan. Oleh karena itu ada kekhawatiran hasil dari tindakan penyadapan yang dilakukan kejaksaan dan dijadikan alat bukti akan dipermasalahkan keabsahannya di persidangan.125

B. Alat Bukti Penyadapan di tinjau dari Hak Asasi Manusia

Dalam pedoman melakukan penyadapan, kejaksaan juga menggunakan peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 11/PERM.Kominfo/02/2006 Tentang Itersepsi Terhadap Informasi.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, konsep dasar hak asasi manusia pada dasarnya adalah adanya pengakuan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hal hak dan martabatnya. Sehingga hak asasi yang dasar atau kodrati melekat pada setiap individu yang merupakan anugerah Tuhan yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dijaga, ditegakkan, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.

Pada era kemajuan teknologi dan informasi yang sekarang telah membuat komunikasi antar individu menjadi lebih mudah, murah, praktis, dan dinamis. Namun, hal ini juga dapat menimbulkan kerawanan dalam pelanggaran hak asasi manusia khususnya terhadap hak privasi seseorang dalam berkomunikasi. Teknologi informasi tersebut dapat digunakan aparat penyidik/penyelidik dalam

125

(37)

mendengarkan percakapan antar individu dilokasi yang berbeda. Titik kerawanan dari tindakan penyadapan adalah tindakan intrusi atau penerobosan untuk melakukan akses secara paksa ke saluran komunikasi yang sedang digunakan oleh para individu tanpa diketahui oleh pihak-pihak yang sedang berkomunikasi tersebut.126

Secara teori, hak asasi manusia terbagi menjadi 2 bagian besar, yakni hak asasi manusia yang dapat diderogasi atau dikesampingkan (derogable rights) dan hak asasi manusia yang tidak dapat diderogasi atau tidak dapat dikesampingkan

(non derogable rights). Hak-hak yang tidak dapat diderogasi atau tidak dapat dikesampingkan diantaranya ha katas kehidupan, hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dipidana karena tidak memenuhi kewajiban perdata, hak untuk diakui sama sebagi subjek hukum, dan hak untuk bebas beragama. Sedangkan selain hak-hak tersebut, hak-hak lain yang melekat pada diri manusia dapat diderogasi atau dapat dikesampingkan karena adanya kepentingan hukum atau karena kepentingan umum.127

126

Ibid, hlm. 36

127

Kristian & Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm, 235

(38)

Penyadapan Penegakan

Hukum Perlindungan hak asasi

manusia

Gambar.1 Persinggungan antara Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia

Pada prinsipnya hukum melarang penyadapan alat komunikasi karena melekatnya hak privasi orang yang tidak boleh dicampuri oleh siapapun. Hanya dalam hal-hal yang sangat khusus saja larangan tersebut tidak dapat berlaku, yakni ketika adanya kepentingan negara atau kepentingan masyarakat yang lebih luas dan kepentingan tersebut mendesak untuk memperoleh informasi rahasia tersebut. Oleh karena itu muncul konsep “penyadapan sesuai hukum” (legal interception), yaitu penyadapan yang diperkenankan oleh hukum.128

Penyadapan informasi hanya dapat dilakukan dan dibenarkan jika ada undang-undang yang memperbolehkannya, sehingga diperlukan untuk kepentingan umum atau kepentingan negara, dimana tanpa menggunakan penyadapan informasi penting itu tidak mungkin didapatkan. Dalam ilmu hukum dikenal beberapa teori tentang larangan penyadapan tersebut, yakni:129

1. Teori Per Se.

128

Munir Fuady dan Silvia Laura Fuady, Hak Asasi Tersangka Pidana, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2015), hlm. 276

129

(39)

Menurut teori ini, bahwa penyadapan itu sendiri sudah bertentangan dengan hukum, terlepas apakah informasi yang disadap tersebut oleh penyadapnya sudah mau digunanakan atau tidak

4. Teori Divulgensi

Bahwa yang dimaksudkan sebenarnya informasi yang disadap tersebut merupakan informasi rahasia, sehingga yang dilarang oleh hukum adalah membuka rahasia tersebut kepada pihak lain.

5. Teori Pihak ke Tiga

Bahwa menurut teori ini, hanya pihak yang berkomunikasi yang dapat mengajukan keberatan atas dipergunakannya informasi yang disadap tersebut. Pihak lain tidak boleh mengajukan keberatan, termasuk keberatan sebagai alat bukti manakala dia bukan pihak dalam percakapan yang menghasilkan informasi tersebut.

6. Teori Kepemilikan Pihak Lawan

Bahwa menurut teori ini, bahwa informasi yang sudah diterima oleh pihak lawan bicara yaitu sudah merupakan milik dari pihak lawan bicara tersebut., sehingga pihak lawan tersebut sudah bebas menggunakan informasi tersebut, termasuk memberikannya kepada pihak lain atau membiarkan pihak lain untuk menggunakan informasi yang bersumber darinya.

7. Teori Pembuktian

(40)

Dalam konstitusi di Indonesia, perlindungan terhadap hak privasi tersebut diakui didalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan:

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,

kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaanya, serta

berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk

berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Pengaturan dan perlindungan terhadap hak privasi sebagaimana didalam UUD NRi 1945 bukan merupakan hak asasi manusia yang bersifat absolut atau hak asasi manusia yang tidak dapt dikurangi (non derogable rights), hak privasi adalah suatu hak yang masih dapat dikurangi atau dibatasi sepanjang pembatasan tersebut dilakukan dengan undang-undang.130

Menurut Ifdhal Kasim pembatasan hak asasi manusia melalui peraturan penyadapan, harus dapat memuat syarat:

Pembatasan atau pengurangan tersebut semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain untuk memnuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kemanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

131

1. Adanya otoritas resmi yang jelas memberikan izin penyadapan;

2. Adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan; 3. Pembatasan penanganan materi penyadapan;

4. Pembatasan mengenai orang yang mengakses penyadapan;

130

Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, menyatakan bahwa setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

131

(41)

Hal senada juga diungkapkan oleh Mohammad Fajrul Falaakh, bahwa pengaturan penyadapan harusnya mengatur dengan tegas dan jelas tentang:

1. Wewenang untuk melakukan, memerintahkan, maupun meminta dilakukannya penyadapan;

2. Tujuan penyadapan secara spesifik;

3. Kategori subjek hukum tertentu yang diberi wewenang penyadapan;

4. Otoritas atasan, atau izin hakim yang diperlukan sebelum petugas melakukan penyadapan;

5. Cara menyadap;

6. Pengawasan atas penyadapan; 7. Penggunaan hasil penyadapan;

Dari sisi legalitas pengaturan di Indonesia, peraturan di Indonesia pada umumnya hanya mengatur kewenangan yang diberikan kepada penegak hukum baik itu Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia untuk melakukan penyadapan atau intersepsi, namun dalam legislasi belum diatur alasan, cara, prosedur pelaksanaan sesuai dengan undang-undang. Pertimbangan dari fakta atau informasi yang didapat diterima akal bahwa tindakan tersebut perlu diambil, siapa yang berwenang memberikan otoritasnya. Akan tetapi, yang mengatur hukum acara bukan peraturan yang setingkat undang-undang.132

Keberlakuan penyadapan sebagai salah satu kewenangan penyelidikan dan penyidikan telah membantu banyak proses hukum yang memudahkan para aparat penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana. Namun demikian, kewenangan

132

(42)

aparat penegak hukum tersebut tetap harus dibatasi juga agar penyalahgunaan kewenangan tidak terjadi Mahkamah Konstitusi sependapat lewat putusannya Nomor 006/PUU-I/2013, Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, Nomor 5/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa pembatasan terhadap perlindungan hak asasi yang diakui harus dibatasi dengan undang-undang, karena tindakan penyadapan merupakan salah satu bentuk pelanggaran manusia. Jadi, Mahkamah berpendapat diperlukan suatu aturan setingkat undang-undang untuk memberikan suatu tata cara penyadapan guna melindungi hak asasi manusia.

C. Adsimibilitas dan Standar Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia

Tindakan penyadapan meruapakan suatu tindakan intrusi yang dilakukan tidak secara fisik, tidak terlihat dan tidak terasa.133 Tindakan penyadapan juga merupakan suatu tindakan intrusi (penerobosan) meskipun dilakukan dengan cara rahasia, karena tindakan penyadapan merupakan suatu upaya untuk melakukan akses secara paksa ke saluran komunikasi dan mengamankan isi percakapan pihak-pihak yang berkomunikasi tanpa diketahui oleh pihak yang berkomunikasi tersebut.134

Sebagaimana diungkapkan pada bagian sebelumnya, penderogasian atau penyampingan penegakan dan penjaminan hak asasi manusia dalam kepentingan hukum (law enforcement) terdapat kontradiksi dalam penerapannya. Dapat

133

Reksodiputro, Pembocor Rahasia (Whistle Blower dan Intersepsi Rahasia

(wiretapping, electronic interception) dalam menanggulangi Kejahatan di Indonesia, (Jakarta: 1994), hlm. 4

134

(43)

dikatakan penegakan hukum dan penjaminan hak asasi manusia seringkali bersinggungan dan menimbulkan gesekan 135

Standar pembuktian di Indonesia tidak mengatur bagaimana keabsahan perolehan suatu alat bukti namun hanya mengatur alat bukti namun hanya mengatur alat bukti yang diakui berdasarkan peraturan perundang-perundangan. Menurut the freedictionary.com definisi admissible dijelaskan sebagai informasi yang relevan untuk menentukan suatu masalah dalam proses peradilan sehingga informasi tersebut dapat digunakan semestinya oleh hakim136

2. Apakah alat bukti tersebut tunduk pada the exclusionary rules ?

. Sehingga pada dasarnya apabila alat bukti di terima di pengadilan, maka alat bukti tersebut harus relevan, substansi dan kompeten.

Menurut Paul Roberts dan Adrian Zuckerman, admissibility didefenisikan sebagai clear, simple dan transparent. Persyaratan admissibility harus memenuhi dua pertanyaan dasar yang dapat menentukan apakah alat bukti tersebut dapat diterima atau dikecualikan dari proses persidangan, yaitu

1. Apakah alat bukti tersebut relevan ?,

137

Alat bukti yang relevan diatas menurut the free dictionary adalah alat bukti yang memiliki hubungan berkaitan, memiliki beberapa nilai atau kecenderungan untuk mebuktikan suatu fakta dalam suatu kasus. Sedangkan the exclusionary rules adalah suatu atauran pengecualian alat buktiyang diddapat dengan cara tidak sah/illegal: crime, tort, or breach of contract or in contravention of statutory or other provisions govering the power and duties of

135

Kristian & Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 239

136

Dikutip dar 2016

137

(44)

the police or other involved in investigating crime, atau alat bukti yang dihasilkan dengan cara tidak fair misalnya: by trickery, deception, bribes, threats or inducement. Sehingga hakim dapat menerapkan the exclusionary rule, ada tiga prinsip yang mendasari atas pengecualian (exclusionary) atas alat bukti tersebut yaitu: right protection, deterrence (disciplining the police), and the legitimacy of the verdict.138

Beberapa teori sistem pembuktian (standard of proof) yang digunakan adalah: Mekanisme admissibility dalam suatu proses peradilan pidana merupakan salah satu upaya untuk meminimalisir tingkat kesalahan dari sistem peradilan pidana. Upaya yang tersistimatis dalam meminimalkan keslahn tersebut menurut Paul Robert dan Adrian Zukerman adalah dengan membuat standar pembuktian yang sesuai. Namun penerapan standar pembuktian tergantung dari basis sistem hukum yang dianut oleh suatu negara, yaitu negara yang berbasis civil law

maupun sistem common law. Standardof proof hukum pidana dalam sistem civil law adalah conviction in time, dan dalam common law adalah beyond the reasonable doubt

139

1. Conviction in time

Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya terdakwa semata-mata ditentuka oleh penilaian ‘keyakinan” hakim. Keyakinan hakimlah yang akan menentukan kesalahan terdakwa Keyakinan hakim boleh diambil dan disimpulkan dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan.

138

Ibid,

139

(45)

Namun bisa saja alat-alat bukti tersebut diabaikan hakim, dan keterangan atau pengakuan terdakwa.

Kelemahan sistem ini hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.

2. Conviction Raisonee

Keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi dalam sistem ini factor keyakinan dibatasi. Hakim wajib menguraiakan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus berdasar pada alasan yang dapat diterima

3. Pembuktian menurut Undang-undang secara positif

Menurut pembuktian ini, keyakinan hakim tidak ikut mengambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah.

(46)

pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Jadi, penjatuhan hukuman terhadap seseorang semata-mata tidak diletakkan dibawah kewenangan hakim, tetapi diatas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas, seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

4. Pembuktian Menurut Undang-undang secara Negatif (negatif wettelijk stelsel)

Sistem ini merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan (conviction in time). Sistem ini merupakan keseimbangan antara kedua sistem tersebut, menggabungkan secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.

Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus pembuktian kesalahan terdakwa dibarengi dengan keyakinan hakim. Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa terdapat dua komponen:

1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang

2. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang

(47)

cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, diantara kedua komponen tersebut harus “saling mendukung”.

Sistem pembuktian ini, diakui oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, melalui Pasal 183 KUHAP. Selengkapnya dalam Pasal 183 menyatakan sebagai berikut:

“Hakim tdak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabia

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, memperoleh

keyakinan hakim bahwa suatu tindk pidana benar-benar terjadi dan

terdakwalah yang melakukanya.”

Selain itu didalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 6 ayat (1) mengatur:

“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan,

karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapatkan

keyakinan bahwa seseorang dianggap dapat bertanggungjawab, telah

bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

Kemudian hak ini dipertegas dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan:

“tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan

karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat

keyakinan, bahwa seseorang yang dapat dianggap bertanggungjawab

telah bersalah atas perbuatan yang didkakan atas dirinya.”

Dengan demikian dari uraian diatas untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus:

(48)

2. Dan atas sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukanya

Sistem pembuktian ini diberikan karena yang dicari oleh hakim-hakim pidana adalah suatu kebenaran materiil (materiele waarheid).

Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan Pasal 184 KUHAP, yaitu:

1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli; 3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa

Indonesia pada dasarnya menerapkan model klasifikasi tertutup alat bukti sebagaimana diatur pada Pasal 184 KUHAP. Namun seringkali hal ini akan menimbulkan permasalahan ketika pasal tersebut tidak dapat mengikuti perkembangan alat bukti yang baru oleh karena adanya perubahan teknologi sementara untuk dapat menggunakan dan mengakui lat bukti tersebut sebagai alat bukti yang sah maka perlu diatur tersendiri didalam undang-undang

Pengakuan hasil penyadapan sebagai alat bukti di luar KUHAP sebagaimana diatur dalam Pasal 26A Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perobahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan:

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian jika guru melakukan upaya-upaya (menanamkan pentingnya membaca Al-Qur'an, pengembangan belajar kreatif dengan pengoptimalan metode sugestopedia, drill dan

Program ini dirancang untuk memudahkan puskesmas dalam pengelolaan data dan informasi dengan input seminim mungkin dan output semaksimal mungkin... pelayanan dalam gedung : SIMPUS

Hasil penelitian didapatkan ada perbedaan kesehatan psikologis penderita Tb paru yang menjalani pengobatan fase awal dan fase lanjutan (p=0,036) dan tidak terdapat

Sehingga untuk meningkatkan kinerja guru dapat dilakukan dengan cara pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah dan memperhatikan lingkungan kerja yang ada disekitar guru...

yang terdiri atas struktur program, pengembangan diri, kriteria ketentuan minimal (KKM), kalender pendidikan dean lainnya persis sama. Anehnya, pada tataran aplikasi ada

Tujuan penelitian ini yaitu untuk menganalisis dan mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran Think Pair Share dan Spontaneous Group Discussion terhadap hasil belajar PKn

Universitas Sumatera Utara.. SISTEM INFORMASI PENYAKIT DEMAM BERDARAH BERBASIS ANDROID..

SOFI HANS HAMDAN : Pengaruh Curah Hujan dan Hari Hujan Terhadap Produksi Kelapa Sawit Berumur 7, 10, dan 13 Tahun di PTPN III Kebun Huta Padang Kabupaten Asahan, yang