• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN AKNE VULGARIS SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN AKNE VULGARIS SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

HUBUNGAN ANTARA INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN AKNE VULGARIS

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

AVIONITA RAHMA DEWI PRANITASARI G0008060

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011

(2)

commit to user

(3)

commit to user

iii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 15 Desember 2011

Avionita Rahma Dewi Pranitasari G0008060

(4)

commit to user

iv

ABSTRAK

Avionita Rahma Dewi Pranitasari, G0008060, 2011. Hubungan antara Indeks

Massa Tubuh (IMT) dengan Akne Vulgaris. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara Indeks

Massa Tubuh (IMT) dengan akne vulgaris.

Metode Penelitian : Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan

pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2011 di SMAN 1 Prambanan, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Subjek penelitian adalah siswa SMAN 1 Prambanan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan oleh peneliti. Pengambilan sampel dilakukan secara fixed

disease sampling dengan jumlah sampel sebanyak 198. Seluruh sampel diperiksa

secara klinis untuk menentukan ada tidaknya akne vulgaris dan tingkat keparahan akne vulgaris melalui skor GAGS, dilakukan pengukuran tinggi badan serta berat badan untuk menghitung IMT, kemudian dilakukan pengisian kuesioner untuk memperoleh data tentang identitas diri dan variabel-variabel perancu. Data selanjutnya dianalisis menggunakan uji statistik chi square, dilanjutkan dengan uji

Odd Ratio (OR) dan uji regresi logistik ganda.

Hasil Penelitian : Dari analisis data dengan angka kemaknaan α = 0,05, diperoleh nilai p = 0,043 yang berarti p < 0,05, sehingga ada hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan akne vulgaris. Siswa dengan IMT kategori

overweight/obesitas berisiko untuk menderita akne vulgaris 2,423 kali lebih besar

daripada mahasiswa dengan IMT kategori underweight/normal.

Simpulan Penelitian : Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Indeks

Massa Tubuh (IMT) berhubungan secara signifikan dengan akne vulgaris. Semakin besar nilai Indeks Massa Tubuh (IMT), semakin besar risiko terkena akne vulgaris.

(5)

commit to user

v

ABSTRACT

Avionita Rahma Dewi Pranitasari, G0008060, 2011. Correlation between Body

Mass Index (BMI) with Acne Vulgaris. Falculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.

Objective : To determine an correlation between Body Mass Index (BMI) with acne vulgaris.

Method : This type of study was an observational analytic study with cross-sectional study approach. The study was conducted in May 2011 in SMAN 1 Prambanan, Sleman Regency, Yogyakarta Special Territory Province. The subjects in this study were students of SMAN 1 Prambanan with inclusion and exclusion criteria which was made by the writer. The sampling technique that was used was fixed disease sampling with sample size of 198. All samples were examined clinically to determine the absence of acne vulgaris and the severity of acne vulgaris through GAGS score, were measured of body weight and height to calculate BMI, then questionnaire form filling out was done. Then the data were analyzed by using chi square analysis, Odd Ratio (OR) analysis, and multiple logistic regression analysis.

Results : The data analysis, with α = 0,05, shows p = 0,045 which means p < 0,05 so that there is a correlation between Body Mass Index (BMI) with acne vulgaris. Student with category of BMI overweight/obesity had a risk to acne vulgaris 2,423 higher than student with category of BMI underweight/normal.

Conclusion : The research can be concluded that Body mass Index (BMI) was

significantly correlated with acne vulgaris, the greater value of IMT, the greater risk of acne vulgaris.

(6)

commit to user

vi

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur penulis haturkan kepada Allah swt, dengan segala rahmat dan anugerah-Nya penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Akne Vulgaris” sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dari Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari terselesaikannya penyusunan skripsi ini tidak lain adalah berkat peran serta banyak pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

2. Nugrohoaji Dharmawan, dr., Sp.K.K., M.Kes., selaku Pembimbing Utama yang telah memberi bimbingan dan nasihat dalam penyusunan skripsi ini. 3. Hardjono, Drs., M.Si., selaku Pembimbing Pendamping yang telah

memberi bimbingan dan arahan selama penyusunan skripsi ini.

4. M. Eko Irawanto, dr., Sp.K.K., selaku Penguji Utama yang telah memberi kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

5. Made Setiamika, dr., Sp.THT-KL., selaku Anggota Penguji yang telah memberi kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

6. Muthmainah, dr., M.Kes., selaku Ketua Tim Skripsi beserta Staf Bagian Skripsi FK UNS Surakarta.

7. Margono., dr., M.Kes., selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan dan pengarahannya.

8. Mawardi, Drs., selaku Kepala Sekolah SMAN 1 Prambanan dan siswa SMAN 1 Prambanan atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini. 9. Bapak, Windarto dan Ibu, Sri Sayekti atas doa dan dukungannya selama

ini. Juga teruntuk kakakku, Armadhani Jati Prasetya, yang telah memberi motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Sahabat-sahabat seperjuangan selama kuliah dan selama penyusunan skripsi, Yuannisa, Noniek, dan Wiji.

11. Teman-teman kos “Multazam”, Sukma, Asih, Khodijah, Riri, Mbak Lilik, Mbak Prima, Mbak Oni, Mbak Dilla, Mbak Uti, Sara, Hanif, dan Sasa atas semangat dan kebersamaannya.

12. Teman-teman, saudara seangkatan Pendidikan Dokter 2008, untuk kerjasama dan bantuannya selama ini.

13. Pihak-pihak lain yang tak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Dalam penyusunan skripsi ini, tentu masih banyak terdapat kekurangan sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan sebagai bahan pertimbangan untuk penyusunan yang lebih baik di masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk banyak pihak.

Surakarta, 15 Desember 201

(7)

commit to user

vii

DAFTAR ISI

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. LANDASAN TEORI ... 5

A. Tinjauan Pustaka ... 5

B. Kerangka Pemikiran ... 27

C. Hipotesis ... 28

BAB III. METODE PENELITIAN ... 29

A. Jenis Penelitian ... 29

B. Lokasi Penelitian ... 29

C. Subjek Penelitian ... 29

D. Teknik Pengambilan Sampel ... 30

E. Identifikasi Variabel Penelitian ... 31

(8)

commit to user

viii

G. Instrumen Penelitian ... 36

H. Cara Kerja ... 37

I. Rancangan Penelitian ... 39

J. Teknik Analisis Data ... 40

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 43

A. Karakteristik Sampel ... 43

B. Hubungan antara IMT dengan Akne Vulgaris ... 47

BAB V. PEMBAHASAN ... 61

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 68

A. Simpulan ... 68

B. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69 LAMPIRAN

(9)

commit to user

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. The Global Acne Grading System ... 17

Tabel 2. Kategori Ambang Batas IMT untuk Asia ... 19

Tabel 3. Klasifikasi IMT Menurut Umur ... 20

Tabel 4. Bentuk Tabel 2xk Uji Chi-Square ... 40

Tabel 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Kejadian Akne Vulgaris ... 44

Tabel 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Keparahan Akne Vulgaris .... 45

Tabel 7. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur ... 46

Tabel 8. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ... 47

Tabel 9. Hasil Analisis Chi Square 4x2 tentang Hubungan antara IMT ... 49

dengan Akne Vulgaris Tabel 10. Hasil Analisis Chi Square 4x4 tentang Hubungan antara IMT ... 51

dengan Akne Vulgaris Berdasarkan Derajat Keparahan Akne Vulgaris Tabel 11. Hasil Analisis Chi Square 2x2 tentang Hubungan antara IMT ... 53

dengan Akne Vulgaris Tabel 12. Hasil Analisis Odd Ratio tentang Hubungan antara IMT dengan ... 54

Akne Vulgaris Tabel 13. Karakteristik Data Umur ... 55

Tabel 14. Hasi Analisis Bivariat tentang Hubungan antara Umur dengan ... 55

Akne Vulgaris Tabel 15. Hasil Analisis Bivariat tentang Hubungan antara Frekuensi Cuci ... 57

(10)

commit to user

x Muka dengan Akne Vulgaris

Tabel 16. Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda tentang Hubungan antara ... 58

IMT dengan Akne Vulgaris

Tabel 17. Probabilititas Kejadian Akne Vulgaris berdasarkan Bentuk ... 60

(11)

commit to user

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram Persentase Sampel Berdasarkan Kejadian Akne ... 44

Vulgaris

Gambar 2. Diagram Persentase Sampel Akne Vulgaris Positif ... 45

Berdasarkan Tingkat Keparahan Akne Vulgaris

Gambar 3. Diagram Persentase Sampel Menurut Kelompok Umur ... 46 Gambar 4. Grafik Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ... 47 Gambar 5. Grafik antara IMT dengan Persentase Kejadian Akne Vulgaris ... 50 Gambar 6. Grafik antara IMT dengan Persentase Kejadian Akne Vulgaris .... 51

Berdasarkan Derajat Keparahan Akne Vulgaris

Gambar 7. Grafik Persentase Kejadian Akne Vulgaris menurut Umur ... 56 Gambar 8. Grafik antara Frekuensi Cuci Muka dengan Persentase ... 57

(12)

commit to user

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran Lampiran 2. Informed Consent

Lampiran 3. Kuesioner Pendahuluan Lampiran 4. Surat Pernyataan Lampiran 5. Hasil Penelitian Lampiran 6. Perhitungan Statistik Lampiran 7. Foto Sampel

Lampiran 8. Grafik IMT Berdasarkan Umur Menurut CDC Lampiran 9. Surat Izin Penelitian dari SMAN 1 Prambanan

(13)

commit to user

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri. Gambaran klinis akne vulgaris sering polimorfi; terdiri atas berbagai kelainan kulit berupa komedo, papul, pustul, nodul, dan jaringan parut yang terjadi akibat kelainan aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotrofi maupun yang hipertrofi (Wasitaatmadja, 2007). Tempat predileksi akne paling sering adalah wajah (sebesar 99 %) dan di tempat lain seperti leher, bahu, dada, dan punggung sekitar 1 % (Achyar dan Ashadi, 2001).

Di dunia ini diperkirakan terdapat lebih dari 60 juta orang menderita akne (Wolfe, 2007). Karena hampir setiap orang pernah menderita penyakit ini, maka akne vulgaris sering dianggap sebagai kelainan kulit yang timbul secara fisiologis. Pada masa remaja, akne vulgaris menjadi salah satu problem (Wasitaatmaja, 2007). Usia remaja (12 - 24 tahun) sering ditemukan menderita akne sebesar 85 %, usia 25 - 34 tahun sebesar 8 %, dan usia 35 - 44 tahun sebesar 3 % (Leyden, 2003). Dilaporkan sekitar 15 % akne pada usia pubertas dapat menimbulkan efek psikologis berupa rasa malu dan rendah diri akibat bekas akne yang menimbulkan jaringan parut. Jaringan parut terbentuk karena ada peradangan (Goulden, 2003). Akne disebabkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah peningkatan produksi

(14)

commit to user

sebum (Wasitaatmadja, 2007). Produksi sebum yang meningkat ini salah satunya dipengaruhi oleh hormon androgen. Androgen dapat menstimulasi kelenjar sebasea untuk memproduksi sebum (Diamanti-Kandarakis dan Bergiele., 2001).

Obesitas berhubungan dengan hiperandrogenisme perifer yang

berhubungan dengan peningkatan produksi sebum (Huppert et al., 2001). Menurut penelitian di Taiwan, rata-rata IMT pada anak-anak yang tidak akne (18,2 ± 3,4) secara signifikan lebih rendah daripada subjek akne (19,5 ± 3,7), tanpa perbedaan jenis kelamin. Prevalensi penderita akne pada anak-anak berumur 6 - 11 tahun dengan IMT < 18,5 cenderung rendah, terutama lesi inflamatori. Sedangkan prevalensi penderita akne pada anak-anak berumur 6 - 11 tahun dengan IMT menurut umur ≥ 95 % secara signifikan cenderung tinggi. IMT dengan kategori obesitas merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian akne pada anak sekolah (Tsai et al., 2006).

Obesitas secara sederhana didefinisikan sebagai suatu keadaan dari akumulasi lemak tubuh yang berlebihan (Rippe et al., 2001). Pada tahun 2009, 1,6 miliar orang dewasa di seluruh dunia mengalami berat badan berlebih (overweight), dan sekurang-kurangnya 400 juta di antaranya mengalami obesitas. Di Indonesia, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi nasional obesitas umum pada penduduk berusia ≥ 15 tahun adalah 10,3 % (laki-laki 13,9 %, perempuan 23,8 %). Sedangkan prevalensi berat badan berlebih anak-anak usia 6 - 14 tahun pada laki-laki 9,5 % dan pada perempuan 6,4 % (Departemen Kesehatan

(15)

commit to user

Indonesia, 2009). Peningkatan prevalensi obesitas yang sangat tajam di seluruh dunia ini telah mencapai tingkatan yang membahayakan. Di beberapa negara berkembang obesitas justru telah menjadi masalah kesehatan yang lebih serius (Hadi, 2005).

Metode yang paling berguna dan banyak digunakan untuk mengukur tingkat obesitas dan overweight adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). The

World Health Organization (WHO) pada tahun 1997, The National Institute of Health (NIH) pada tahun 1998 dan The Expert Committee on Clinical Guidelines for Overweight in Adolescent Preventive Services telah

merekomendasikan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai baku pengukuran obesitas pada anak dan remaja di atas usia 2 tahun. Indeks massa tubuh (IMT) didapat melalui perhitungan berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m2) (Sjarif, 2002).

Mengingat prevalensi akne vulgaris yang tinggi dan kecenderungan peningkatan overweight maupun obesitas di Indonesia maupun di dunia, perlu penelitian-penelitian tentang hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan akne vulgaris. Hal ini tampaknya belum banyak dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan terjadinya akne vulgaris di SMAN 1 Prambanan.

(16)

commit to user B. Rumusan Masalah

Adakah hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan akne vulgaris?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan akne vulgaris.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk masukan dalam rangka pengembangan ilmu kedokteran dan penelitian selanjutnya tentang faktor pencetus akne vulgaris.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk masukan dalam rangka meningkatkan upaya-upaya pencegahan akne vulgaris.

(17)

commit to user 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Akne Vulgaris a. Definisi

Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri. Gambaran klinis akne vulgaris sering polimorfi ; terdiri atas berbagai kelainan kulit berupa komedo, papul, pustul, nodul, dan jaringan parut yang terjadi akibat kelainan aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotrofi maupun yang hipertrofi (Wasitaatmadja, 2007).

b. Epidemiologi Akne Vulgaris

Akne vulgaris biasanya timbul pada usia remaja saat masa pubertas. Umumnya insiden terjadi pada sekitar umur 14 - 17 tahun pada wanita, 16 - 19 tahun pada pria dan pada masa itu lesi yang predominan adalah komedo dan papul dan jarang terlihat lesi beradang. Hampir setiap orang pernah menderita penyakit ini, maka akne vulgaris sering dianggap sebagai kelainan kulit yang timbul secara fisiologis (Wasitaatmadja, 2007).

Pada remaja putri, akne vulgaris dapat terjadi saat premenarke. Setelah masa remaja kelainan ini berangsur berkurang. Namun,

(18)

commit to user

kadang-kadang, akne vulgaris dapat menetap sampai dekade umur 30-an atau bahk30-an lebih (Wasitaatmadja, 2007). Usia remaja (12 - 24 tahun) sering ditemukan menderita akne sebesar 85 %, usia 25 - 34 tahun sebesar 8 %, dan usia 35 - 44 tahun sebesar 3 % (Leyden, 2003). Puncak kejadian akne vulgaris terjadi pada usia 16 - 18 tahun (Cordaen

et al., 2002).

Pada beberapa penelitian sebelumnya tentang prevalensi kejadian akne vulgaris, didapat data prevalensi akne vulgaris positif pada penduduk Palembang dengan umur 14 - 21 tahun adalah 68,2 % (Tjekyan, 2008). Di Inggris, didapatkan data prevalensi kejadian akne vulgaris positif pada penduduk dengan umur 12 - 18 tahun sebanyak 80 % (Dreno et.al., 2003). Sedangkan penelitian di Teheran, Iran didapatkan data prevalensi kejadian akne vulgaris positif pada penduduk dengan umur 12 - 20 tahun adalah 93,2 % (Ghodsi et.al., 2009).

c. Etiologi dan Patogenesis Akne Vulgaris

Patogenesis akne vulgaris bersifat multifaktorial. Faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis akne vulgaris terdiri atas faktor internal, yaitu meningkatnya produksi sebum, hiperkeratinisasi folikuler, hormon androgen, genetik, adanya mediator radang di sekitar folikel sebasea, dan adanya perubahan biokimia susunan lemak di permukaan kulit (Wasitaatmadja, 2007). Faktor eksternal seperti

(19)

commit to user

kosmetik, obat, dan kolonisasi Propionibacterum acnes di folikel sebasea dapat memacu ataupun memperburuk akne (Wolfe, 2009). 1) Kenaikan Produksi Sebum

Pasien dengan akne memproduksi lebih banyak sebum dibandingkan yang tanpa akne, walaupun kualitas sebum sama pada kedua grup tersebut (Zaenglein et al., 2007). Kelenjar sebasea membutuhkan stimulus dari hormon androgen untuk memproduksi banyaknya sebum secara signifikan (Nelson dan Thiboutot, 2007).

Produksi sebum yang meningkat menyebabkan peningkatan unsur komedogenik dan inflamatogenik penyebab terjadinya lesi

akne (Wasitaatmadja, 2007). Komedo terbentuk karena

terlokalisasinya asam linoleat. Asam linoleat melalui plasma dapat mencairkan sebum sehingga volume sebum meningkat dan membasahi duktus korneosit. Kerusakan lumen folikel akibat abnormalitas deskuamasi sel folikel menyebabkan sebum terjebak di belakang sumbatan yang hiperkeratotik. Hasil akhir dari hiperkeratinisasi ini berkembang menjadi komedo (Tahir, 2010).

Sebum mengandung beberapa jenis lemak seperti trigliserida 56 %, wax ester 26 %, squalene 15 %, kolesterol ester 2 %, dan kolesterol 1 % (Cunliffe dan Gollnick, 2001). Salah satu dari komponen sebum, trigliserida, berperan dalam patogenesis akne.

Trigliserida diubah menjadi asam lemak bebas oleh

(20)

commit to user

kolonisasi dari bakteri Propionibacterium acnes, mendorong inflamasi, dan komedogenik (Zaenglein et al., 2007).

Selain diatur oleh hormon androgen, produksi sebum dan aktivitas sebaseus juga dipengaruhi oleh retinoid, melanokortin,

peroxisome proliferator-activated receptors (PPAR), dan

fibroblast growth factor receptor (FGFR). Retinoid menghambat

sekresi sebum. Sedangkan melanokortin meningkatkan produksi

sebum. Yang termasuk melanokortin adalah melanocyte

stimulating hormone dan hormon adrenokortikotropik (Nelson dan

Thiboutot, 2007). Reseptor PPAR terdapat pada kelenjar sebasea, yaitu PPAR-α. Reseptor PPAR berkaitan dengan proses sintesis lipid. Mekanisme ini diperankan oleh 5 lipoxygenation yang menghasilkan leukotrien B4 yang berfungsi sebagai prekursor; dan

arachidonic acid yang memacu sebaseus lipogenesis pada sel

sebosit manusia (Zouboulis et al., 2005). Reseptor FGFR diekspresikan lewat epidermis. Reseptor FGFR2 berperan penting pada embriogenesis saat pembentukan kulit. Mutasi pada reseptor FGFR2 ini terbukti berhubungan dengan akne, tetapi bagaimana mutasi ini menyebabkan akne sampai sekarang belum diketahui (Zaenglein et al., 2007).

Produksi sebum mulai meningkat saat masuk usia pubertas (Nelson dan Thiboutot, 2007). Produksi sebum dapat dihambat

(21)

commit to user

oleh beberapa obat seperi estrogen, anti androgen dan golongan obat retinoid (Stoll et al., 2001).

2) Perubahan pola keratinisasi dalam folikel

Pada duktus folikuler normal terdapat keratinosit yang tersusun atas selapis sel kolumner yang membentuk lumen sebagai tempat keluarnya sebum. Pada lesi akne terdapat hiperkeratinisasi pada duktus folikuler sehingga terjadi sumbatan lumen yang akan

memicu terbentuknya mikrokomedo yang berisi sebum.

Hiperkeratinisasi folikuler merupakan faktor untuk terjadinya lesi akne (Gollnick, 2003).

Terjadinya hiperkeratinisasi folikuler belum diketahui dengan pasti, kemungkinan disebabkan oleh suatu respon keratinosit yang berlebihan terhadap hormon androgen, penurunan kadar asam linoleat dan vitamin A pada duktus folikuler (Leyden, 2003), peningkatan kolonisasi Propionibacterium acnes pada duktus folikuler sebasea sehingga terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas dan memicu faktor kemotaksis untuk menghasilkan sitokin lokal seperti IL-1α dan IL-8 (Gollnick, 2003).

3) Kolonisasi Saluran Pilosebasea dengan Propionibacterium acnes Mikroba yang berperan pada patogenesis akne vulgaris adalah

Propionibacterium acnes, Staphylococcus epidermidis, dan Pityrosporum ovale. Bakteri-bakteri tersebut berperan pada proses

(22)

commit to user

fraksi lipid sebum (Wasitaatmadja, 2007). Propionibacterium

acnes terdapat pada bagian tubuh yang kaya kelenjar sebasea

seperti wajah, kulit kepala, jumlah sedang terdapat pada daerah badan dan lengan atas, sedangkan jumlah sedikit terdapat pada daerah ekstremitas bawah (Gollnick, 2003). Propionibacterium

acnes menghasilkan bahan-bahan aktif seperti lipase, protease,

hialuronidase, fosfatase, dan smoot muscle contracting substances. Bahan-bahan ini akan meningkatkan lipolisis (Hidayah et al., 2003).

Propionibacterium acnes hidup dalam suasana pH 5 - 6,5 sama

seperti pH di permukaan kulit dan suhu yang sesuai sekitar 30 -370C (Cunliffe dan Gollnick, 2001). Propionibacterium acnes melepaskan sitokin inflamasi seperti IL-1α, IL-8, dan TNF-α akibat fagositosis leukosit terhadap Propionibacterium acnes (Leyden, 2003). Produksi sebum yang meningkat dan adanya sumbatan duktus menjadikan duktus pilosebasea menjadi anaerob sehingga

merupakan media pertumbuhan Propionibacterium acnes

(Gollnick, 2003).

Mencuci muka dengan sabun pembersih mempunyai efek mengurangi minyak maupun efek daya antibakteri (American

Osteopathic College of Dermatology, 2011). Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa terdapat perbaikan kondisi akne pada kelompok yang mencuci muka 2x/hari dibandingkan

(23)

commit to user

kelompok yang mencuci muka 1x/hari secara signifikan (Choi

et.al., 2006).

4) Inflamasi

Inflamasi yang terjadi bukan disebabkan oleh bakterinya sendiri melainkan akibat mediator biologik aktif dalam folikel yang dihasilkan oleh Propionibacterium acnes (Hidayah et al., 2003).

Propionibacterium acnes akan memacu berbagai sel radang seperti

neutrofil, CD14, leukosit, dan limfosit, hal ini dibuktikan dengan penurunan kolonisasi Propionibacterium acnes akan menunjukkan perbaikan lesi akne melalui penurunan sel radang). Metabolisme neutrofil menghasilkan O2 dan OH dan leukosit menghasilkan reactive oxygen species (R0S) yang dapat merusak dinding folikel

sebaseus pada lokasi inflamasi yang dikenal dengan auto-oxidative

damage (Gollnick, 2003).

Sitokin dapat meningkatkan terjadinya komedo, hal ini dibuktikan dengan pemberian IL-1α pada duktus pilosebaseus dapat memacu terjadinya komedo. Komedo terbentuk oleh sumbatan duktus folikel sebasea yang mengakibatkan terjadinya timbunan sebum dan memacu pertumbuhan Propionibacterium

acnes sehingga terbentuk lesi akne. Pemeriksaan secara

elektromikroskopik terdapat penebalan korneocyt lamellae pada lesi akne (Cunliffe dan Gollnick, 2001).

(24)

commit to user

5) Faktor hormon

Produksi sebum dipengaruhi oleh hormon androgen dan

perisoma proliferator activated reseptor (PPAR) ligands. Hormon

androgen berperan dalam meningkatkan ukuran kelenjar sebasea dan memacu proliferasi sel keratinosit di di duktus sebasea dan di akroinfundubulum (Zouboulis et al., 2005).

Hormon androgen terdiri atas dehidroepiandrosteron sulfat (DHEA-S) dengan kadar 1300-6800 nmol/L baik pada laki-laki maupun perempuan; testosteron pada laki-laki dengan kadar 10 - 35 nmol/L dan testosteron pada perempuan dengan kadar < 3,5 nmol/L; dehidrotestosteron pada laki-laki dengan kadar 0,87-2,6 nmol/L dan dehidrotestosteron pada perempuan dengan kadar 0,17-1,0 nmol/L; androstenedion pada laki-laki dengan kadar 3,5 - 5,0 nmol/L dan androstenedion pada perempuan dengan kadar 3,5 - 7,0 nmol/L (Degitz et al., 2007). Yang berperan penting dalam pembentukan akne adalah testosteron dan dehidrotestosteron yaitu untuk proliferasi sel keratinosit dan pembentukan lipid (Murata et

al., 2006).

Timbulnya akne pada wanita dipengaruhi siklus menstruasi dan kehamilan karena adanya perubahan kadar hormon progesteron

menyebabkan kelenjar ovarium aktif selanjutnya akan

meningkatkan hormon androgen sehingga produksi sebum meningkat (Cunliffe dan Gollnick, 2001).

(25)

commit to user

6) Faktor Herediter

Pada 60 % pasien, riwayat akne juga didapatkan pada satu atau kedua orang tuanya. Penderita akne yang berat umumnya mempunyai riwayat keluarga yang positif. Diduga faktor genetik berperan dalam gambaran klinik, penyebaran lesi, dan lamanya kemungkinan mendapat akne (Rzany dan Kahl, 2006).

Zouboulis et al. melaporkan bahwa akne derajat berat sering ditemukan pada keluarga kembar homozigot dan heterozigot dengan presentase 54 %. Genetik berhubungan dengan timbulnya akne, hal ini dipengaruhi oleh hormon androgen dan abnormal lipid. Dibuktikan pada akne neonatal ditemukan adanya kelainan familial hiperandrogenisme dan aktivitas steroid 21-hydroxylase yang tidak adekuat. Juga kejadian akne disebabkan oleh mutasi gen CYP21 (Zouboulis et al., 2005).

Individu yang secara genetik mengalami defisiensi reseptor androgen (complete androgen insensitivity) cenderung sedikit memproduksi sebum dan tidak berkembang menjadi akne (Nelson dan Thiboutot, 2007). Predominan alel gen sitokrom p45 terlihat pada pasien dengan akne. Mutasi ini mungkin menyebabkan percepatan degradasi retinoid natural sehingga terjadi obstruksi

akibat dari disorder pada diferensiasi keratinosit dan

(26)

commit to user

7) Diet

Makanan sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya akne masih diperdebatkan (Wasitaatmadja, 2007). Penyelidikan terakhir membuktikan bahwa diet sedikit atau tidak berpengaruh terhadap akne. Namun, begitu banyak pasien dengan akne percaya bahwa diet merupakan salah satu faktor yang dapat memperburuk penyakitnya (Smith dan Mann, 2007).

8) Psikis

Terjadinya stres psikik dapat memicu kegiatan kelenjar sebasea sehingga terjadi peningkatan produksi sebum, baik secara langsung

atau melalui rangsangan terhadap kelenjar hipofisis

(Wasitaatmadja, 2007). 9) Kosmetika

Pemakaian kosmetika yang mengandung lanolin, petrolatum, minyak tumbuh-tumbuhan, dan bahan-bahan kimia murni (butil stearat, lanuri alkohol, bahan-bahan pewarna merah D dan C dan asam oleik), secara terus-menerus dalam waktu lama, dapat menyebabkan akne (Wolfe, 2009).

10) Obat-obatan

Beberapa obat dapat menyebabkan akne. Obat-obatan tersebut diantaranya anabolik steroid, kortikosteroid, kortikotropin, fenitoin, litium, isoniazid, vitamin B komplek, halogen, dan pengobatan kemoterapi (Zaenglein et al., 2007).

(27)

commit to user

11) Iklim

Termasuk faktor sinar ultraviolet, kelembaban udara, temperatur, mungkin berpengaruh pada aktivitas kelenjar sebasea (Wasitaatmaja, 2007). Didapatkan 60 % perbaikan akne di daerah tropis pada saat musim panas atau kemarau (Widjaja, 2000).

d. Gejala Klinis dan Diagnosis

Tempat predileksi akne vulgaris adalah yang banyak mengandung kelenjar pilosebasea, diantaranya wajah, bahu, dada bagian atas, dan punggung bagian atas. Lokasi kulit lain, misalnya leher, lengan atas, dan glutea kadang-kadang terkena (Wasitaatmadja, 2007). Tempat predileksi akne vulgaris yang paling sering terkena adalah wajah (99 %) (Smith dan Mann, 2007).

Akne dapat berkembang menjadi bentuk yang bervariasi, diantaranya:

1) Papul : lesi inflamasi kecil berupa tonjolan berwarna merah muda

2) Pustul : papula yang diujungnya terdapat nanah berwarna putih atau kuping dan dasarnya merah.

3) Nodul : luas, nyeri, lesi solid, tertancap pada kulit.

4) Kista : dalam, nyeri, di dalam lesi terisi nanah yang dapat menimbulkan skar.

(National Institute of Arthritis and Muskuloskeletal and Skin Disease, 2006).

(28)

commit to user

Diagnosis akne vulgaris biasanya ditegakkan berdasarkan pada riwayat pasien dan pemeriksaan fisik. Didapatkannya komedo pada pasien merupakan petunjuk penting dalam diagnosis akne vulgaris (Bershad, 2008). Pada penderita seringkali ditemukan berbagai macam lesi, dengan gejala predominan salah satunya, mulai dari komedo, papul, pustul, nodul, dan kista (Wasitaatmadja, 2007). Beberapa diagnosis banding akne vulgaris adalah folikulitis, dermatitis peri-oral, dan dermatitis seboroik (Roebuck, 2006).

e. Gradasi

Ada banyak sistem gradasi untuk menentukan tingkat keparahan akne vulgaris. Penilaian tingkat keparahan akne terus menjadi tantangan para ahli dermatologi. Ada banyak sistem gradasi akne vulgaris, tetapi sampai sekarang belum ada sistem gradasi akne vulgaris yang diterima secara universal. Doshi, Zaheer dan Stiller pada tahun 1997 memperkenalkan global acne grading system (GAGS). Sistem ini membagi wajah, dada, dan punggung dalam enam area (dahi, tiap pipi, hidung, dagu, dan dada dan punggung) dan menetapkan faktor dari tiap area sebagai dasar ukuran (Adityan et al., 2009).

Berikut adalah cara menilai derajat keparahan akne vulgaris menggunakan Global Acne Grading System (GAGS):

(29)

commit to user

Tabel 1. The Global Acne Grading System

Lokasi Faktor Dahi Pipi kanan Pipi kiri Hidung Dagu

Dada dan punggung

2 2 2 1 1 3 Sumber: Adityan et al. (2009)

Catatan: Tiap lesi diberi nilai tergantung dari keparahannya. Tidak ada lesi=0, komedo= 1, papul= 2, pustul= 3 dan nodul= 4. Skor pada tiap area (local score) dihitung menggunakan formula: Local score = Faktor x

grade (0-4). Global score adalah jumlah dari local score, dan

keparahan akne diklasifikasi menurut global score. Skor 1-18= ringan; 19-30= sedang; 31-38= berat dan > 39= sangat berat

2. Indeks Massa Tubuh (IMT) a. Definisi

The World Health Organization (WHO) pada tahun 1997, The National Institute of Health (NIH) pada tahun 1998 dan The Expert Committee on Clinical Guidelines for Overweight in Adolescent Preventive Services telah merekomendasikan Body Mass Index (BMI)

atau Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai baku pengukuran obesitas pada anak dan remaja di atas usia 2 tahun. Indeks Massa Tubuh (IMT) didapat melalui perhitungan berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m2). Oleh karena komposisi lemak tubuh anak berubah tiap

(30)

commit to user

tahun mengikuti pertumbuhan, maka konsep penggunaan IMT antara anak dan dewasa berbeda. Pada anak, interpretasi IMT tergantung pada umur dan jenis kelamin anak, karena anak lelaki dan perempuan memiliki komposisi lemak tubuh yang berbeda (Sjarif, 2002). Untuk anak-anak dan remaja (usia 2 - 20 tahun), hasil perhitungan IMT diplot pada kurva pertumbuhan dari CDC (Center for Chronic

Disease) untuk melihat posisi IMT pada umur (Division of Nutrition and Physical Activity, National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, 2007).

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan cara termudah untuk memperkirakan obesitas serta berkorelasi tinggi dengan massa lemak tubuh. Untuk mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengganti dipakai Indeks Massa Tubuh (IMT) untuk menentukan berat badan yang berlebih dan obesitas pada seseorang

(Sjarif, 2002). IMT mempunyai keunggulan utama yakni

menggambarkan lemak tubuh yang berlebihan, sederhana dan bisa digunakan dalam penelitian populasi berskala besar (Rippe et al., 2001). Pengukurannya hanya membutuhkan 2 hal yakni berat badan dan tinggi badan, yang keduanya dapat dilakukan secara akurat oleh seseorang dengan sedikit latihan. Salah satu keterbatasan IMT adalah tidak bisa membedakan berat yang berasal dari lemak dan berat dari otot atau tulang. Indeks Massa Tubuh (IMT) juga tidak dapat mengidentifikasi distribusi dari lemak tubuh. Sehingga beberapa

(31)

commit to user

penelitian menyatakan bahwa standar cut off point untuk

mendefinisikan obesitas berdasarkan IMT mungkin tidak

menggambarkan risiko yang sama untuk konsekuensi kesehatan pada semua ras atau kelompok etnis (National Institutes of Health, 2004).

Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan Departemen Kesehatan. Menurut WHO (1997), klasifikasi IMT yang cocok untuk masyarakat Asia dikategorikan sebagai berikut.

Tabel 2. Kategori Ambang Batas IMT untuk Asia

No IMT (kg/m2) Klasifikasi 1. < 18,5 Underweight 2. 18,5-22,9 Normal 3. 23-24,9 Overweight 4. 25-29,9 Obese I 5. > 30 Obese II Sumber: WHO (1997)

Klasifikasi IMT menurut umur untuk anak-anak dan remaja (2-20 tahun):

(32)

commit to user

Tabel 3. Klasifikasi IMT menurut umur

No IMT menurut umur (%) Kategori

1. < 5 Underweight

2. ≥ 5 sampai < 85 Normal 3. ≥ 85 sampai < 95 Overweight

4. ≥ 95 Obesitas

Sumber: Sjarif (2002)

b. Definisi kelebihan berat badan atau obesitas

Obesitas secara sederhana didefinisikan sebagai suatu keadaan dari akumulasi lemak tubuh yang berlebihan (Rippe et al., 2001). Anak dan remaja (2 - 20 tahun) dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) antara persentil 85 - 95 sesuai umur dan jenis kelamin disebut overweight, sedangkan anak dengan IMT > 95 disebut obesitas. Orang dewasa (> 20 tahun) dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) 23 - 24,9 disebut

overweight, sedangkan dewasa dengan IMT ≥ 25 disebut obesitas (Hay et al., 2003).

Menurut hukum termodinamik, obesitas terjadi karena

ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak (Sjarif, 2002). Kelebihan energi tersebut dapat disebabkan oleh konsumsi makanan yang berlebihan, sedangkan keluaran energi rendah disebabkan oleh rendahnya metabolisme tubuh, aktivitas fisik dan efek termogenesis makanan (Zainun, 2002).

(33)

commit to user

Terjadinya obesitas melibatkan beberapa faktor (Zainun, 2002) yaitu:

1) Faktor genetik

Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki penyebab genetik. Tetapi anggota keluarga tidak hanya berbagi gen, tetapi juga makanan dan kebiasaan hidup, yang biasanya mendorong terjadinya obesitas. Bila kedua orangtuanya obesitas, sekitar 80 % anak-anak mereka akan menjadi obesitas. Bila salah satu orang tua obesitas kejadiannya menjadi 40 % dan bila kedua orang tua tidak obesitas maka prevalensi turun menjadi 14 %. 2) Faktor lingkungan

Gen merupakan faktor yang penting dalam berbagai kasus obesitas, tetapi lingkungan seseorang juga memegang peranan yang cukup berarti. Lingkungan ini termasuk perilaku, pola makan, pola olahraga, serta aktivitasnya.

3) Faktor psikis

Apa yang ada di dalam pikiran seseorang bisa mempengaruhi kebiasaan makannya. Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap emosinya dengan makanan.

4) Faktor Kesehatan

Beberapa penyakit bisa menyebabkan obesitas, diantaranya: a) Hipotiroidisme

(34)

commit to user

c) Sindrom prader-willi

d) Beberapa kelainan saraf yang bisa menyebabkan seseorang banyak makan.

5) Obat-obatan

Obat-obat tertentu (misalnya steroid dan beberapa anti depresi) bisa menyebabkan penambahan berat badan.

6) Faktor perkembangan

Penambahan ukuran atau jumlah sel-sel lemak atau keduanya menyebabkan bertambahnya jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh.

7) Aktivitas fisik

Kurangnya aktivitas fisik kemungkinan merupakan salah satu penyebab utama dari meningkatnya kejadian obesitas di tengah masyarakat. Orang-orang yang tidak aktif memerlukan sedikit kalori. Obesitas mempunyai dampak terhadap tumbuh kembang anak dan berpotensi mengalami berbagai penyakit kesakitan dan kematian antara lain penyakit kardiovaskuler, dislipidemia, hipertensi, diabetes melitus, dan sebagainya (Division of Nutritional and Physical Activity,

National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, 2007).

(35)

commit to user

3. Hubungan antara IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan Akne Vulgaris

Obesitas berhubungan dengan hiperandrogenisme perifer yang

berhubungan dengan peningkatan produksi sebum. Pada sebuah penelitian, nilai IMT yang tinggi pada obesitas dan overweight ditemukan berhubungan

dengan sindrom polikistik ovarium dan hiperandrogenisme yang

bermanifestasi klinik sebagai akne, hirsutisme, dan menstruasi yang tidak teratur (Huppert et al., 2004). Pada perempuan remaja yang obesitas, terjadi

resistensi insulin, hiperinsulinemia, hiperandrogenisme, peningkatan

aromatisasi perifer serum androgen ke estrogen, sekresi gonadotropin terpengaruh, penurunan growth hormone (GH) dan insulin like growth factor

binding proteins (IGFBPs), peningkatan level leptin, dan neuroregulasi dari

hipotalamus-pitutari-aksis gonad terpengaruh (Diamanti-Kandarakis dan Bergiele, 2001).

Mekanisme overweight dan obesitas bisa menyebabkan

hiperandrogenisme adalah sebagai berikut. Pada penelitian sebelumnya, diketahui IMT dengan kadar insulin puasa mempunyai hubungan yang signifikan, dimana makin besar nilai IMT, makin tinggi kadar insulin puasa. Insulin mempunyai fungsi esensial dalam pengambilan, sintesis, dan penggunaan dari glukosa. Penambahan lemak perut berhubungan dengan berkembangnya resistensi insulin. Akumulasi lemak viseral ini membuat kadar asam lemak bebas naik, dimana lemak intra abdominal bergerak lebih mudah daripada yang lain karena lebih sensitif oleh stimulasi dari enzim lipolitik. Pergerakan asam lemak bebas ini menyebabkan hati dan otot rangka

(36)

commit to user

mengalami oksidasi asam lemak yang berlebih untuk menghasilkan energi. Enzim pada kaskade glikolisis juga dihambat sehingga kapasitas dari jaringan untuk mengabsorbsi dan memetabolisme glukosa menurun dan sel mengakumulasi lebih banyak trigliserida. Untuk menanggung aktivitas glukosa dan enzim yang memetabolisme asam lemak ini, glukosa mempunyai level membran yang rendah terhadap insulin reseptor sehingga terjadi resistensi insulin (Vainio dan Bianchini, 2002).

Hormon seks steroid mempunyai fungsi sebagai pertumbuhan, diferensiasi dan fungsi dari banyak jaringan di tubuh. Hormon ini terdiri dari androgen (androstenedion, testosteron, DHEA, dan DHEAS), estrogen (estron, estradiol) dan SHBG. Pada perempuan, hormon seks steroid diproduksi oleh ovarium (testosteron, androstenodion) dan kelenjar adrenal (DHEA, DHEAS, androstenedion). Pada pria, hormon seks steroid diproduksi oleh testis dan kelenjar adrenal. Obesitas membuat efek resistensi insulin relatif, hiperinsulinemia kronik, kenaikan dari IGF-I bioaktif, dan menghambat sintesis hepatik dari SHBG (sex hormone binding globulin). SHBG merupakan globulin yang spesifik dengan hormon seks di sirkulasi. Insulin dan IGF-I ini menstimulasi sintesis dan sekresi dari hormon seks steroid (androgen & estrogen) dari gonad dan kelenjar adrenal. Pada kompartemen jaringan lemak, androgen diubah menjadi estrogen oleh enzim aromatase. Kenaikan androgen menyebabkan kenaikan pula dari sintesis estrogen di jaringan lemak (Vainio dan Bianchini, 2002).

(37)

commit to user

Pada wanita yang obesitas, estrogen tidak hanya berasal dari ovarium tapi juga dari lemak yang berada di bawah kulit. Hal inilah yang menyebabkan keluarnya luitenizing hormone (LH) sebelum waktunya. Luitenizing Hormone yang keluar terlalu cepat akan merangsang keluarnya hormon progesteron dan androgen. Pada siklus normal, hal ini tidak terlalu masalah, karena hormon androgen akan diubah menjadi estradiol. Tetapi pada perempuan obesitas, androgen yang keluar terlalu cepat tidak akan diubah menjadi estradiol (Diamanti-Kandarakis dan Bergiele, 2001).

Pada wanita yang mengalami obesitas, juga terjadi peningkatan yang

bermakna dari aktivitas 11b-hidroksisteroid dehidrogenase.

11b-hidroksisteroid dehidrogenase merupakan enzim yang memetabolisme

kortisol menjadi kortison. Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar clearence kortisol, menurunkan feedback negatif dari sekresi adrenocorticotropic

hormone (ACTH) dan secara sekunder meningkatkan sekresi androgen

adrenal (Diamanti-Kandarakis dan Bergiele, 2001).

Stimulan utama dari kelenjar sebasea untuk memproduksi sebum adalah androgen. Terjadinya hiperandrogenisme ini menyebabkan peningkatan produksi sebum (Pawin et al., 2004). Peningkatan produksi sebum inilah yang berperan dalam pembentukan akne vulgaris (Wasitaatmadja, 2007). Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah salah satu cara yang paling akurat untuk menghitung dan mengukur obesitas (Tsai et al., 2006).

Beberapa penelitian tentang akne vulgaris berkaitan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) telah dilakukan. Menurut penelitian di Taiwan, rata-rata IMT

(38)

commit to user

pada anak-anak yang tidak akne (18,2 ± 3,4) secara signifikan lebih rendah daripada pada subjek akne (19,5 ± 3,7), tanpa perbedaan .jenis kelamin. Anak-anak berumur 6 - 11 tahun dengan IMT < 18,5 cenderung mempunyai prevalensi penderita akne yang rendah, terutama lesi inflamatori. Sedangkan, anak-anak berumur 6 - 11 tahun dengan IMT menurut umur ≥ 95% cenderung terdapat prevalensi akne vulgaris yang tinggi secara signifikan (Tsai et al., 2006). Penelitian di Arab Saudi pada wanita berumur 16 - 22 tahun juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara obesitas (IMT > 27) dengan akne (Braz, 2009). Akan tetapi, penelitian pada wanita dengan umur > 17 tahun di Italia, disimpulkan akne tidak berkorelasi positif dengan IMT. Faktor lain selain obesitas, seperti gaya hidup, stress akibat pekerjaan, dan status hormonal, yang lebih sering terjadi pada orang dewasa, diduga lebih dapat menimbulkan akne pada dewasa dibanding anak (Borgia, 2004).

(39)

commit to user B. Kerangka Pemikiran

Disertai

hiperandrogenisme perifer

Kenaikan produksi sebum

Akne Vulgaris a. Bakteri b. Herediter c. Diet d. Kondisi Psikis e. Kosmetika f. Obat-obatan g. Iklim h. Usia

: Variabel yang diteliti --- : Variabel perancu

Peningkatan unsur komedogenik dan inflamatogenik a. Retinoid b. Melanokortin c. PPAR d. FGFR Obesitas Overweight

(40)

commit to user C. Hipotesis

Terdapat hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan akne vulgaris, yaitu semakin besar nilai IMT semakin besar risiko terkena akne vulgaris.

(41)

commit to user

29

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMAN 1 Prambanan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

C. Subjek Penelitian

Populasi target penelitian ini adalah siswa SMA N 1 Prambanan kelas XI dan XII.

1. Kriteria inklusi :

a. Siswa dengan usia 14 - 20 tahun. b. Bersedia menjadi subjek penelitian. 2. Kriteria eksklusi :

a. Sedang menstruasi atau 1 minggu menjelang menstruasi (satu minggu dari tanggal kebiasaan menstruasi saat penelitian dilakukan).

b. Minum antibiotik atau steroid dalam satu minggu terakhir. c. Memakai kosmetik dalam satu minggu terakhir.

(42)

commit to user

d. Sedang dalam pengobatan akne vulgaris.

D. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah fixed disease sampling. Fixed disease sampling merupakan skema pencuplikan berdasarkan status penyakit subjek, yaitu berpenyakit atau tidak berpenyakit yang sedang diteliti, sedang status paparan subjek bervariasi mengikuti status penyakit subjek (Murti, 2006).

Besar sampel dihitung sesuai dengan rumus sebagai berikut (Murti, 2010) :

= 195,92

Keterangan :

n = besar sampel

= nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan tingkat kemaknaan (untuk α 0,05 nilainya 1,96)

P = nilai proporsi terhadap populasi yang besarnya 0,85 d = presisi yang diinginkan adalah 0,05

(43)

commit to user

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, jumlah sampel yang dibutuhkan minimal 195,92 dibulatkan menjadi 196.

E. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas : Indeks Massa Tubuh (IMT)

2. Variabel terikat : Akne vulgaris 3. Variabel perancu

a. Terkendali 1) Usia

2) Obat-obatan steroid dan antibiotik 3) Kosmetik

4) Faktor hormonal (menstruasi) 5) Faktor kebersihan b. Tidak terkendali 1) Iklim 2) Faktor herediter 3) Kondisi psikis 4) Diet

5) Bakteri penyebab akne vulgaris

F. Definisi Operasional Variabel

(44)

commit to user

a. Definisi :

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah indikator status gizi subjek penelitian untuk mengetahui derajat kegemukan dengan rumus sebagai berikut :

Alat ukur adalah timbangan berat badan merek “Camry RRC” dengan ketelitian 0,1 kg dan alat pengukur tinggi badan merek “Tenso” dengan ketelitian 0,1 cm.

Hasil perhitungan IMT yang didapat dari rumus tersebut diplot pada kurva pertumbuhan dari CDC (Center for Chronic Disease) untuk melihat posisi IMT pada umur.

IMT dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu:

Obesitas : IMT ≥ 95 %

Overweight : IMT ≥ 85 % sampai < 95 %

Normal : IMT ≥ 5 % sampai < 85 %

Underweight : IMT < 5 %

b. Skala : Ordinal

2. Variabel Terikat : Akne vulgaris a. Definisi :

Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat

(45)

commit to user

sembuh sendiri. Gambaran klinis akne vulgaris sering polimorfi; terdiri atas berbagai kelainan kulit berupa komedo, papul, pustul, nodul, dan jaringan parut yang terjadi akibat kelainan aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotrofik maupun yang hipertrofik (Wasitaatmadja, 2007). Diagnosis akne vulgaris ditegakkan dengan melihat ujud kelainan kulit berupa komedo, papula, pustula, dan nodul di daerah predileksi, terutama di wajah dan leher. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan fisik. Diagnosis akne juga dapat dilihat dan dihitung melalui foto wajah yang dikonsultasikan kepada dokter spesialis kulit dan kelamin. Siswa dinyatakan menderita akne vulgaris jika terdapat kelainan kulit berupa komedo, papula, pustula, dan nodul pada wajah atau leher. Sedangkan bila tidak ditemukan ujud kelainan seperti disebutkan di atas dinyatakan tanpa akne vulgaris. Kemudian dinilai tingkat keparahannnya dengan The Global Acne Grading

System (Adityan et al., 2009). Sampel dibagi menjadi dua yaitu

sampel yang akne vulgaris dan tidak akne vulgaris. b. Skala : Nominal

3. Variabel Perancu Terkendali a. Umur

1) Definisi

Umur adalah umur kronologis responden dalam tahun yang didapat dari hasil perhitungan berdasarkan tanggal lahir sesuai

(46)

commit to user

dengan yang tertera kuesioner sampai saat tanggal diperiksa. Akne umumnya timbul pada pria maupun wanita. Kejadian akne pada tiap umur berbeda-beda. Leyden (2003) melaporkan, bahwa usia remaja (12 - 24 tahun) sering ditemukan menderita akne sebesar 85 %, usia 25 34 tahun sebesar 8 %, dan usia 35 -44 tahun sebesar 3 %.

2) Alat ukur : kuesioner

3) Skala pengukuran : rasio b. Obat-obatan steroid atau antibiotik

1) Definisi

Obat-obatan steroid adalah obat-obatan yang digunakan secra klinis untuk terapi penggantian hormon, untuk menekan

sekresi ACTH dari hipofisis anterior, sebagai agen

antineoplastik, antialergik, dan antiradang, serta untuk menekan respon imun. Obat-obatan antibiotik adalah obat-obatan yang mengandung zat kimiawi yang dihasilkan oleh mikroorganisme

untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh

mikroorganisme lain (Dorland, 2002). Beberapa obat dapat menyebabkan akne. Obat-obatan tersebut diantaranya steroid, kortikosteroid, dan antibiotik (Zaenglein et al., 2007). Siswa dinyatakan minum obat-obatan steroid atau antibiotik jika siswa minum obat-obatan steroid atau antibiotik dalam satu minggu terakhir. Sedangkan bila siswa tidak minum obat-obatan steroid

(47)

commit to user

atau antibiotik dalam satu minggu terakhir dinyatakan tidak minum obat-obatan atau steroid.

2) Alat ukur : kuesioner

3) Skala pengukuran : nominal (dikotomi) c. Kosmetik

1) Definisi

Kosmetik komedogenik adalah suatu produk topikal yang dapat menyebabkan akne diantaranya terdapat pada berbagai

krem muka, seperti bedak dasar (foundation) yang

menggunakan minyak atau lemak, pelembab (moisturizer), krem penahan sinar matahari (sunblock), krim malam (night cream) (Widjaja, 2000). Siswa dinyatakan memakai kosmetik jika siswa memakai kosmetik dalam satu minggu terakhir. Sedangkan bila siswa tidak memakai kosmetik dalam satu minggu terakhir dinyatakan tidak memakai kosmetik.

2) Alat bantu : kuesioner

3) Skala pengukuran : nominal (dikotomi) d. Gangguan keseimbangan hormonal

1). Definisi

Gangguan keseimbangan hormonal ditandai dengan menjelang 1 minggu atau adanya menstruasi dan tidak sedang menstruasi.

(48)

commit to user

3) Skala pengukuran : nominal (dikotomi) e. Frekuensi cuci muka

1) Definisi

Frekuensi cuci muka adalah frekuensi siswa untuk mencuci muka dalam 1 hari. Dikatakan tentu jika frekuensi cuci muka adalah 2x sehari atau lebih dan tidak tentu jika kurang dari 2x sehari.

2) Alat ukur : kuesioner

3) Skala pengukuran : nominal (dikotomi)

G. Instrumen Penelitian

Alat Ukur:

1. Timbangan injak

Merek Camry RRC dengan ketelitian 0,1 kg untuk mengukur berat badan.

2. Mikrotoise

Merek Tenso RRC dengan ketelitian 0,1 cm untuk mengukur tinggi badan.

3. Kurva pertumbuhan BMI (Body Mass Index) menurut umur dari CDC (Center for Chronic Disease).

4. Kuesioner

Adalah daftar pertanyaan yang mengungkap variabel penelitian. Kuesioner diisi oleh responden sendiri.

(49)

commit to user

5. Kaca pembesar dengan penerangan cukup.

6. Kamera digital merek Sony cybershoot 7,2 Megapixel

H. Cara Kerja

1. Kuesioner dibagikan kepada siswa yang dijadikan subjek penelitian, untuk memperoleh data tentang identitas diri dan variabel-variabel perancu.

2. Siswa yang dijadikan subjek penelitian diukur tinggi dan berat badannya.

Cara pengukuran: a. Berat badan

1) Skala awal timbangan berada pada skala 0 (nol) 2) Sepatu/sandal dilepaskan

3) Subjek berdiri tegak sikap sempurna

4) Angka pada skala timbangan menunjukkan berat badan subjek. b. Tinggi badan

1) Paku mikrotoa ditempelkan pada dinding lurus datar setinggi 2 meter. Angka 0 (nol) pada lantai yang rata

2) Sepatu/sandal dilepaskan

3) Subjek berdiri tegak sikap sempurna, kaki lurus, tumit, pantat, punggung, dan kepala belakang harus menempel pada dinding dan muka menghadap lurus dengan pandangan ke depan

(50)

commit to user

4) Mikrotoa diturunkan sampai rapat pada kepala bagian atas, siku-siku harus lurus menempel pada dinding

5) Angka pada skala yang tampak pada lubang dalam gulungan mikrotoa menunjukkan tinggi badan subjek

3. Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) didapatkan dengan menghitung berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m2). Hasilnya dicatat dan diplot pada kurva pertumbuhan dari CDC (Center for Chronic Disease) untuk melihat posisi IMT pada umur (%).

4. Siswa dilakukan pemeriksaan fisik pada wajahnya untuk memeriksa ada atau tidaknya akne vulgaris. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, wajah siswa difoto dengan kamera digital.

5. Pengumpulan data penelitian. 6. Data diolah dengan SPSS.

(51)

commit to user I. Rancangan Penelitian

kriteria inklusi dan

eksklusi Populasi siswa

Fixed Disease Sampling

Underweight Normal Overweight

Akne Vulgaris (+) Akne Vulgaris (-) Akne Vulgaris (-) Akne Vulgaris (+) Akne Vulgaris (+) Akne Vulgaris (-) Obesitas Akne Vulgaris (+) Akne Vulgaris (-)

Uji Chi Square Sampel

Analisis Regresi Logistik Ganda

(52)

commit to user J. Teknik Analisis Data

Analisis data statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah diawali dengan analisis bivariat uji chi square yang selanjutnya dianalisis bersama dengan analisis regresi logistik ganda guna mencari Odds Ratio (OR), Confidence Interval 95 %, dan nilai p.

Pertama, variabel bebas dan perancu akan dianalisis masing-masing secara bivariat terhadap variabel tergantung dengan menggunakan uji chi

square untuk mengetahui apakah hubungan yang teramati antara kedua

variabel secara statistik bermakna ataukah peran peluang terlalu besar hingga keterkaitan yang teramati tidak bermakna.

Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan uji

Chi-Square menggunakan bentuk tabel 2 x k dengan derajat kemaknaan 5 %

(p < 0,05) atau dengan tabel interval kepercayaan 95 %.

Tabel 4. Bentuk Tabel 2xk uji Chi-Square

Variabel Underweight Normal Overweight Obesitas Total Baris

Akne Vulgaris (+) A B C D a+b+c+d

Akne Vulgaris (-) E F G H e+f+g+h

Total kolom a+e b+f c+g d+h N

(53)

commit to user b) Nilai X2 hitung =

c) Degree of freedom(df)=(r-1).(c-1) = (2-1).(4-1) = 3

d) nilai X2 tabel untuk α = 0,05 dan df = 3 adalah 7, 815 (terlampir). e) Kesimpulan:

Jika X2 hitung > 7, 815 (p<0,05), Ho ditolak dan Hi diterima Jika X2 hitung < 7, 815 (p>0,05), Ho diterima dan Hi ditolak

Selanjutnya untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara

IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan akne vulgaris menggunakan metode ukuran asosiasi dengan Odds Ratio (OR).

Analisis regresi logistik ganda digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel perancu yang tidak direstriksi dalam kriteria sampel. Teknik ini digunakan bila variabel tergantungnya berskala kategorikal nominal (Sastroasmoro, 2006). Variabel yang akan dimasukkan dalam analisis regresi logistik adalah variabel yang pada analisis bivariat menunjukkan hubungan yang bermakna dan mempunyai nilai p < 0,25 (Dahlan, 2009).

Adapun model analisis regresi logistik berganda dengan persamaan sebagai berikut (Murti, 2006):

(54)

commit to user

Keterangan :

p = probabilitas untuk akne vulgaris 1-p = probabilitas untuk tidak akne vulgaris

X1 = Indeks Massa Tubuh (IMT) (0= normal/underweight, 1=

overweight/obesitas)

X2 = frekuensi cuci muka (0= tentu, 1=tidak tentu) X3= umur (tahun)

(55)

commit to user

43

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian diperoleh dari proses pengumpulan data yang dilakukan pada siswa SMAN 1 Prambanan Kabupaten Sleman pada bulan Mei 2011. Subjek penelitian yang memenuhi persyaratan untuk diikutsertakan dalam penelitian ini adalah 198 orang. Jumlah ini sesuai dengan rancangan penelitian, yaitu minimal 196 orang. Berikut ini adalah hasil penelitian yang disajikan juga dalam bentuk tabel dan gambar.

A. Karakteristik Sampel 1. Kejadian Akne Vulgaris

Diagnosis akne vulgaris ditegakkan dengan pemeriksaan fisik. Diagnosis akne vulgaris juga dapat dilihat dan dihitung melalui foto wajah. Sampel dibagi menjadi 2, yaitu akne vulgaris (+) dan akne vulgaris (-). Siswa dinyatakan menderita akne vulgaris (+) jika terdapat kelainan kulit berupa komedo, papula, pustula, dan nodul pada wajah atau leher. Sedangkan bila tidak ditemukan ujud kelainan seperti disebutkan di atas dinyatakan akne vulgaris (-). Dari penelitian didapat 198 sampel, 131 sampel (66,2 %) mengalami akne vulgaris dan 67 sampel (33,8 %) tidak mengalami akne vulgaris (tabel 5 dan gambar 1).

(56)

commit to user

Tabel 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Kejadian Akne Vulgaris

No Kejadian akne vulgais Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Akne vulgaris (+) 131 66,2

2. Akne vulgaris (-) 67 33,8

Total 198 100

Gambar 1. Diagram Persentase Sampel Berdasarkan Kejadian Akne Vulgaris

Menurut Global Acne Grading System (GAGS), berdasarkan tingkat keparahan akne vulgaris, sampel dengan kejadian akne vulgaris positif dibagi menjadi 3, yaitu derajat ringan, derajat sedang, dan derajat berat. Dikatakan derajat ringan bila skor 1 - 18, derajat sedang bila skor 19 - 30, dan derajat berat bila skor > 31. Dari penelitian, didapatkan data bahwa dari 131 sampel (66,2 %) dengan kejadian akne vulgaris positif, 76 sampel (38,4 %) mengalami akne vulgaris derajat ringan, 28 sampel (14,1 %) mengalami akne vulgaris derajat sedang, dan 27 sampel (13,6 %) mengalami akne vulgaris derajat berat (tabel 6 dan gambar 2).

(57)

commit to user

Tabel 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Keparahan Akne Vulgaris No Derajat keparahan akne vulgaris Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Akne vulgaris (+) derajat ringan 76 38,4 2. Akne vulgaris (+) derajat sedang 28 14,1 3. Akne vulgaris (+) derajat berat 27 13,6 Total kejadian akne vulgaris (+) 131 66,2

Gambar 2. Diagram Persentase Sampel Akne Vulgaris Positif Berdasarkan

Tingkat Keparahan Akne Vulgaris

2. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui rata-rata umur sampel adalah 17,424 tahun dengan mayoritas sampel berumur 17 tahun sebanyak 103 orang (52,02 %) dan paling sedikit umur 15 tahun sebanyak 1 orang (0,50 %) (tabel 7 dan gambar 3).

(58)

commit to user

Tabel 7. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur

No. Kelompok Umur Frekuensi Persentase (%) 1. 2. 3. 4. 5. 15 tahun 16 tahun 17 tahun 18 tahun 19 tahun 1 47 103 44 3 0,50 23,74 52,02 22,22 1,52 Total 198 100

Gambar 3. Diagram Persentase Sampel Menurut Kelompok Umur

3. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui dari 198 sampel, 76 sampel (38,4 %) adalah laki-laki dan 122 sampel (61,6 %) adalah perempuan. Pada sampel laki-laki, 48 sampel (24,3 %) mengalami kejadian akne vulgaris positif dan 28 sampel (14,1 %) mengalami kejadian akne vulgaris negatif. Pada sampel perempuan, 83 sampel (41,9 %) mengalami kejadian akne vulgaris positif dan 39 sampel (19,7 %) mengalami kejadian akne vulgaris negatif (tabel 8 dan gambar 4).

(59)

commit to user

Tabel 8. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin No.

Jenis Kelamin

Akne Vulgaris (+) Akne Vulgaris (-)

Total n (%)

n (%) n (%)

1. Laki-laki 48 (24,3) 28 (14,1) 76 (38,4) 2. Perempuan 83 (41,9) 39 (19,7) 122 (61,6)

Total (n) 131 (66,2) 67 (33,8) 198 (100)

Gambar 4. Grafik Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

B. Hubungan antara IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan Akne Vulgaris

Dalam penelitian ini, variabel bebas yang digunakan adalah IMT (Indeks Massa Tubuh). IMT dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu obesitas (IMT menurut umur ≥ 95 %), overweight (IMT menurut umur ≥ 85 % sampai < 95 %), normal (IMT menurut umur ≥ 5 % sampai < 85 %), dan underweight (IMT menurut umur < 5 %). Variabel terikat adalah akne vulgaris. Variabel perancu yang dianalisis regresi logistik ganda adalah umur dan frekuensi cuci muka.

(60)

commit to user

Data yang didapat dari penelitian ini dianalisis secara bivariat dengan uji chi square untuk mengetahui apakah hubungan yang teramati antara kedua variabel secara statistik bermakna. Variabel bebas dan variabel perancu dianalisis masing-masing secara bivariat terhadap variabel terikat dengan menggunakan uji chi square. Setelah hasil uji chi square didapat, maka dapat dilihat nilai signifikansinya. Hubungan dikatakan signifikan jika p < 0,05. Selain itu, jika p < 025, maka variabel tersebut memenuhi syarat analisis regresi logistik. Selanjutnya untuk mengetahui seberapa besar hubungan digunakan metode ukuran asosiasi dengan Odds Ratio (OR). Analisis regresi logistik ganda digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel perancu yang tidak dimasukkan dalam kriteria inklusi maupun eksklusi.

1. Analisis Bivariat

a. Uji Chi Square Tabel 4x2 tentang IMT dengan Akne Vulgaris

Dari penelitian ini, didapatkan hasil kelompok sampel IMT kategori underweight dengan kejadian akne vulgaris negatif sebanyak 25 orang (43,1 %) dan kejadian akne vulgaris positif sebanyak 33 orang (56,9 %). Pada kelompok sampel IMT kategori normal, didapatkan hasil kejadian akne vulgaris negatif sebanyak 34 orang (33,3 %) dan kejadian akne vulgaris positif sebanyak 68 orang (66,7 %). Pada kelompok sampel IMT kategori overweight, dengan kejadian akne vulgaris negatif sebanyak 4 orang (21,1 %) dan kejadian akne vulgaris positif sebanyak 15 orang (78,9 %). Pada kelompok sampel IMT kategori obesitas didapatkan hasil kejadian akne vulgaris negatif

(61)

commit to user

sebanyak 4 orang (21,1 %) dan kejadian akne vulgaris positif sebanyak 15 orang (78,9 %). Analisis bivariat menggunakan uji chi square tabel 4x2 terhadap hubungan antara IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan kejadian akne vulgaris, menunjukkan hubungan yang tidak signifikan, yaitu p = 0,171 (tabel 9).

Tabel 9. Hasil Analisis Chi Square 4x2 tentang Hubungan antara IMT dengan

Akne Vulgaris

Variabel

Kejadian Akne Vulgaris

Total n (%) p Positif n (%) Negatif n (%) Underweight 33 (56,9) 25 (43,1) 58 (100) Normal 68 (66,7) 34 (33,3) 102 (100) Overweight 15 (78,9) 4 (21,1) 19 (100) Obesitas 15 (78,9) 4 (21,1) 19 (100) 0,171 Total n (%) 131 (66,2) 67 (33,8) 198 (100)

(62)

commit to user

Gambar 5. Grafik antara IMT dengan Persentase Kejadian Akne

Vulgaris

b. Uji Chi Square Tabel 4x4 tentang IMT dengan Akne Vulgaris

Untuk mengetahui apakah IMT (Indeks Massa Tubuh) juga mempengaruhi tingkat keparahan akne vulgaris, maka analisis bivariat juga menggunakan uji chi square tabel 4x4. Kejadian akne vulgaris positif dibagi menjadi 3 derajat berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu derajat ringan, derajat sedang, dan derajat berat. Analisis bivariat terhadap hubungan antara IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan kejadian akne vulgaris menggunakan uji chi square tabel 4x4, menunjukkan hubungan yang tidak signifikan, yaitu p = 0,445 (tabel 10).

(63)

commit to user

Tabel 10. Hasil Analisis Chi Square 4x4 tentang Hubungan antara IMT

dengan Akne Vulgaris Berdasarkan Derajat Keparahan Akne Vulgaris

Variabel

Kejadian Akne Vulgaris

Total n (%) p Negatif n (%) Positif Derajat Ringan n (%) Derajat Sedang n (%) Derajat Berat n (%) Underweight 25 (43,1) 21 (36,2) 7 (12,1) 5 (8,6) 58 (100) Normal 34 (33,3) 37 (36,3) 17 (16,7) 14 (13,7) 102 (100) Overweight 4 (21,1) 8 (42,1) 3 (15,8) 4 (21,1) 19 (100) Obesitas 4 (21,1) 10 (52,6) 1 (5,3) 4 (21,1) 19 (100) 0,445

Gambar 6. Grafik antara IMT dengan Persentase Kejadian Akne Vulgaris

Berdasarkan Derajat Keparahan Akne Vulgaris.

c. Uji Chi Square Tabel 2x2 tentang IMT dengan Akne Vulgaris sebagai Syarat Uji Regresi Logistik

Uji chi square dengan tabel 2x2 juga digunakan pada hubungan antara IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan akne vulgaris. Hal ini merupakan syarat uji regresi logistik dimana variabel bebas yang akan dimasukkan pada uji tersebut harus terdiri dari 2 kategori. Sehingga

Gambar

Tabel 16. Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda tentang Hubungan antara ....... 58  IMT dengan Akne Vulgaris
Gambar 1.   Diagram Persentase Sampel Berdasarkan Kejadian Akne  ............. 44  Vulgaris
Tabel 1. The Global Acne Grading System
Tabel 2. Kategori Ambang Batas IMT untuk Asia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis keeratan hubungan menunjukkan nilai odd ratio (OR) 0.024 yang berarti bahwa responden dengan indeks massa tubuh (IMT) yang berlebih mempunyai

HUBUNGAN ANTARA INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN GRADE OSTEOARTRITIS (OA) SENDI.. LUTUT DI

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji Chi-square menunjukkan bahwa indeks massa tubuh (IMT) (p=0,885) dan ukuran lingkar perut (p=0,807) tidak memiliki hubungan

Apakah terdapat hubungan antara indeks massa tubuh pada siswa-siswi overweight dan obesitas dengan kejadian akne vulgaris di SMA kota Padang yang terdaftar sejak

Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Derajat Keparahan Akne Vulgaris Mahasiswa FK

Dari hasil analisa data Chi Square nilai p = 0,039 yang artinya adanya hubungan yang signifikan antara Aktivitas Fisik dengan Indeks Massa Tubuh pada Mahasiswa/i Fakultas Kedokteran

v Universitas Muhammadiyah Palembang ABSTRAK Nama : Nabila Tahiyyah Program Studi : Pendidikan Kedokteran Judul : Hubungan antara indeks massa tubuh dengan kejadian Acne Vulgaris

Variabel Indeks Massa Tubuh Hasil uji Chi-Square didapatkan bahwa variabel Indeks Massa Tubuh IMT memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas