Bu
ku ini akan mengantar kita pada diskusi mengenai aktivitas b u d a y a y a n g d i m i l i k i o l e h b e r b a g a i s u k u b a n g s a d i d u n i a , y a n g kita sebut tari komunal. Tari komunal adalah suatu peristiwa pertunjukan tari yang melibatkan masyarakat yang besar. Di ber bagai lingkungan budaya, hingga kini banyak kita jumpai tarian komunal yang merupakan warisan budaya dari beberapa abad yang lampau. Mempelajari tarian komunal akan menambah pemahaman tentang tari dan nilainilai budaya.Tari komunal diadakan sesuai dengan budaya setempat dengan cara dan dalam konteks yang berbedabeda. Ada yang mengadakan nya untuk upacaraupacara yang berkaitan dengan adat dan keper ca ya an. Namun tidak sedikit yang melaksanakannya sebagai suatu wadah rekreasi atau perayaan berbagai peristiwa yang bersifat sekuler. Lingkungan alam dan sistem sosial yang berbeda meng akibat kan bentuk dan fungsi tari komunal berbeda antara satu komu nitas dengan komunitas lainnya.
Namun demikian, ada prinsip yang mendasari pelaksanaan setiap tari komunal, dari budaya manapun ia berasal. Prinsip itu adalah semangat kebersamaan, rasa persaudaraan, atau solidaritas terhadap kepentingan bersama. Oleh karena itu, tari komunal seringkali dilihat sebagai suatu aktivitas yang memiliki fungsi pe
BAB 1
PENDAHULUAN
nguat jalinan sosial. Bab ini akan membahas pengertian umum dan cara pandang tentang tari komunal. Pokokpokok pembicaraan meli puti keberadaan tari dalam masyarakat, batasan tari, dan tari seba gai media ekspresi individual dan kolektif. Sajian ini di maksud kan untuk menunjukkan keberagaman tari komunal beserta komplek sitas nilainilai budaya yang terkandung di dalamnya, terutama yang terdapat di Indonesia.
Gbr. 1.1: Tari Seudati dari Aceh, yang sangat menuntut kebersamaan gerak dan irama, dalam suatu pertunjukan panggung. (Dok Aceh Kita-Majalah Gong)
Gbr. 1.4: Silek (silat) galombang sebagai tari penyambutan tamu dalam upacara perkawinan di Minangkabau, Sumatera Barat. Gbr. 1.3: Tari topeng Hudoq dari masyarakat Dayak Modang, Kalimantan Timur.
1.1 KEBERADAAN TARI KOMUNAL
Di Indonesia tari komunal hidup dan berkembang hampir di seluruh pelosok. Dengan landasan budaya agraris, sejak lama suku suku bangsa di seluruh tanah air melakukan olah cipta tari, seperti juga seniseni lainnya, secara komunal, baik untuk keperluan hibur an, upacara ritual, ataupun kegiatan sosiokultural. Dalam tata kehi dup an seperti itu, rasa dan semangat kebersamaan menjadi titik sentral. Keterlibatan setiap warga masyarakat pun menjadi vital. Pada saat tari diciptakan atas dasar semangat kebersamaan, kerja sama, dan rasa pengabdian, maka tari menjadi sebuah peristiwa dan ekspresi komunal yang multifungsi, yakni tari bukan hanya seba gai upacara ritual, tetapi juga menjadi peristiwa sosial dan kultural. Ini berarti, seharusnya tari tidak hanya dipandang sebagai suatu karya seni yang dipertontonkan, karena ia memiliki makna sosial yang kadangkadang lebih penting untuk diperhatikan.
Pestapesta yang melibatkan tari sesungguhnya banyak ter da pat di sekitar kita, dan di seluruh dunia serta dalam berbagai peris ti wa baik yang bernuansa tradisi maupun yang baru. Dalam upacara adat di Minangkabau, umpamanya alek nagari (“pesta desa”), penobatan penghulu, pernikahan, dan lainlain, selalu menyertakan tari. Di wilayah budaya Batak, Sumatera Utara, hampir semua peristiwa adat menyertakan tari (istilah umumnya,
tortor). Bahkan di desa Kalesusu, Buton, Sulawesi Tenggara, tarian
hadir pada hampir semua aktivitas kehidupan, mulai dari dalam kandungan hingga meninggal dunia, sehingga sebagian orang luar menamai mereka sebagai suku penari. Di Bali, jelas sekali tari bukan hanya hadir dalam segala peristiwa, melainkan menjadi bagian dari totalitas kehidupan. Demikian juga di banyak wilayah lainnya, seperti di Sumba, Timor, Sulawesi, Kalimantan, Papua, dan lain lain, tarian banyak hadir dalam peristiwa kemasyarakatan, bukan hanya se ba gai tontonan panggung.
Gbr. 1.7: Tari baris gede di Bali yang diadakan pada suatu upacara selamatan tempat (Art Center Denpasar). Gbr. 1.5: Tarian dalam upacara bubur Suro, dari Sumedang, Jawa Barat, yang diiringi jentreng (kecapi) dan tarawangsa (sejenis rebab kayu).
Gbr. 1.6: Menari sambil membawa payung, dalam arak-arakan upacara songkolan (pengantinan) di Lombok, NTB.
Gbr. 1.10: Bissu (tari ritual dilakukan waria), untuk pelantikan Raja Bone. Pertunjukan bissu, biasa juga untuk upacara kalangan rakyat biasa.
Gbr. 1.8: Tarian dalam dabuih, yang menyertakan kekebalan tubuh dari tusukan benda tajam, dipertunjukkan dalam suatu upacara pengangkatan penghulu di Sumatera Barat.
Gbr. 1.9: Tari-nyanyi Mabadong, dari Toraja, Sulawesi Selatan, dalam upacara kematian yang melibatkan hampir seluruh instrumen sosial.
1.2 KONTEKS SOSIAL TARI KOMUNAL
Uraian di atas seolaholah menekankan bahwa nilai sosial lebih penting daripada nilai seni (keindahan, hiburan), sehingga untuk ber partisipasi dalam suatu peristiwa tari komunal seseorang tidak dituntut untuk memiliki kemampuan menari yang bagus. Tapi, pen dapat seperti itu baru sebagian benar, karena keterampilan menari pun dalam banyak kasus juga dianggap penting. Untuk menje las kan nya, mari kita lihat suatu kasus upacara guro-guro
aron di Tanah Karo.
Guro-guro aron adalah upacara tahunan yang diadakan oleh
ma syarakat untuk seluruh muda-mudi (yang belum menikah) di desa itu. Salah satu acara yang paling utama adalah mereka menari bersama. Mereka menari berbaris berhadaphadapan antara pemuda dan pemudi. Pasangan masingmasing dalam barisan itu tidak ditentukan, atau bukan menjadi pilihan masing masing, se pan jang seorang lakilaki itu tidak menari berhadapan dengan perempuan semarga, atau marga yang ditabukan menikah dengannya. Hal itu sangat kuat dilarang adat. Pertunjukan tari adat itu berjalan sepanjang malam, sepanjang hari, atau bahkan ada yang lebih dari seharisemalam.
Menari dalam acara itu merupakan kewajiban adat, dan tidak ada syarat tingkat kemahiran teknik atau keseniman an nya. Seseorang tidak akan dicemooh sehingga mendapat sanksi seandainya menari dengan tidak baik, tapi sebaliknya ia akan dianggap melanggar adat, mendapat sanksi sosial, kalau tidak turut menari dalam guro-guro aron. Karena, guro-guro aron sendiri hu bung annya bukan hanya dengan kesenian, melainkan juga berkaitan dengan tradisi lama sebagai kelompok anakmuda dalam bekerja di ladang (guro = “gurau,” “senangsenang”; aron = “kelompok”). Karena itu jika seseorang tidak turut dalam guro-guro aron, ia akan terkucil dari komunitas anakmuda di desa itu.
Akan tetapi, untuk upacara guro-guro aron, banyak kelompok mudamudi yang mengadakan latihan tari secara khusus beberapa
minggu atau bulan sebelumnya, agar bisa tampil semenarik mungkin dalam acara tersebut. Jadi, menari dengan baik tetap dianggap penting oleh mudamudi itu, dan akan mendapat peng hargaan atau nilai tersendiri dari masyarakat atau keluarga nya. Hanya saja, hal itu bukanlah merupakan suatu persyaratan. Se lain itu, para mudamudi pun banyak yang berlatih tariantarian khu sus, seperti misalnya tari Pisau Surit, Roti Manis, dan lainlain. Taritarian itu dipertunjukkan dan ditonton di antara acara tari adat (landek). Jadi, tari komunal yang tidak mengutamakan kesenimanan pun, tetap menghargai unsur keindahan, dan bisa menjadi nilai tambah bagi penarinya.
Tarian itu diiringi ensambel musik, yang dimainkan oleh seni manseniman profesional, yang disebut sierjabatan (“yang memiliki kedudukan”). Di samping itu, ada juga sepasang penari penyanyi yang disebut perkolong-kolong. Mereka adalah seniman profesional (laki dan perempuan, yang juga tidak boleh semarga) yang diundang dan dibayar masyarakat. Mereka menyanyi (kadang sambil menari) mengiringi tarian adat mudamudi. Di situ, fungsi
perkolong-ko long sama dengan pemusik dan mereka pun disebut sierjabat an untuk menciptakan suasana agar mudamudi atau
siapapun yang menari merasa puas. Selain itu, perkolong-kolong juga secara khusus tampil di selasela acara tari adat mudamudi itu, sebagai hiburan, seperti halnya tari Roti Manis dan Pisau Surit di atas.
Ketika perkolong-kolong menari, seolah ada kon tes antara penari perempuan dan lakilaki (disebut adu perkolong-kolong), penonton menilai penari yang lebih bagus membawakan tariannya. Ketika seorang perkolong-kolong tidak bisa mengikuti lagi gerak dari pasangannya, penonton menyoraki. Namun demikian, jika kedua penari sama pandainya, sama baiknya, penonton pun menyu kai nya. Penilaian penonton kepada perkolong-kolong ditujukan pada aspek teknik: keterampilan atau kelenturan tubuh, kekayaan gerak, kekuatan fisik, dan kedalaman kesenimanannya. Kemam pu an kesenimanan mereka inilah yang menjadi ukuran bagi
siapa yang menang atau kalah bukanlah tujuan utama. Yang lebih penting adalah bagaimana pertunjukan itu menjadi menarik dan menyenangkan. Tujuan para perkolong-kolong pun bukan untuk sa ling mengalahkan, tapi untuk menghibur. Karena biasanya mereka berpurapura kalah untuk menyegarkan penonton. Jadi pe nger tian kontes atau perlombaan di sini berbeda sekali maknanya dengan lombalomba kesenian pada umumnya.
Penilaian masyarakat terhadap perkolong-kolong berbeda terhadap para penari Pisau Surit dari kaum remajanya, meskipun kedua tarian itu merupakan sajian tari tontonan. Perkolong-kolong diukur dari kemampuan keseniman atau profesionalisme penarinya untuk menghasilkan acaraacara yang meriah dan menarik banyak orang. Hal itu menjadi pres tis tersendiri bagi masyarakat di desa itu. Sedangkan untuk para penari mudamudi, para penarinya tidak dituntut setinggi perkolong-kolong. Mudamudi dianggap sebagai warga pada umumnya, ”anak” masyarakat di situ. Adapun
perkolong-kolong dianggap sebagai seniman yang memiliki
keahlian lebih dibanding masyarakat pada umumnya.
Dari kasus ini, kita kini melihat cara pandang yang lain terhadap kategori “warga” pada umumnya dan “seniman”, yaitu label pro
fe sional. Para penari mudamudi, dalam menarikan tari tontonan
(misal Pisau Surit) tidak dianggap penari profesional, sedangkan
perkolong-kolong dianggap penari yang profesional. Yang menarik
adalah yang profesional tidak berarti lebih dihargai daripada yang tidak. Bahkan sebaliknya, jika orang tua senang melihat anaknya menari bagus, belum tentu ia senang kalau anaknya menjadi
perkolong-kolong. Dengan kata lain, masyarakat suka melihat anak
mereka menari secara “profe sional” (bagus, sempurna), tapi mereka banyak yang tidak suka anaknya menjadi penari “profesional.” Jadi, dalam tradisi ini ada perbedaan jelas antara profesional dari sisi kemampuan, dan profesional dari sisi mata pencaharian. Kasus guro-guro aron ini telah menunjukkan pada kita bahwa penilaian (baikburuk, benarsalah) tidak hanya bisa dilihat dari
satu sudut pandang saja. Ternyata, ada berbagai sudut, yang masingmasing memiliki argumentasi sendiri. Ukuran baik dan buruk itu relatif, artinya tergantung dari keberhubungannya dengan halhal yang lain. Tarian dalam guro-guro aron minimal memiliki empat persepsi, yakni: seni (ekspresi), budaya (adat), ekonomi (pertanian), dan sosial (marga, desa). Lebih dari itu, ada dua per sepsi nilai yang tidak secara eksplisit diuraikan di atas, yakni nilai
moral (profesionalisme kesenian sebagai mata pencaharian), dan
nilai spiritual (seniman percaya terhadap kekuatan metafisik, roh, yang disebut silengguri).
Itulah yang disebut kompleksitas. Buku Tari Komunal ini, seperti halnya bukubuku LPSN lainnya, berusaha untuk me ma hami kompleksitas ini. Buku ini tidak bertujuan untuk membakukan definisidefinisi yang sederhana tetapi tidak sesuai dengan kenyataanya. Yang pen ting bagi kita adalah untuk mendapatkan sudutsudut atau lensalensa pandangnya. Lensalensa ini yang diharapkan dapat mening kat kan kepekaan kita. Dengan itu kami berharap setiap peserta didik menjadi lebih mampu melihat fenomenafenomena kesenian lain, baik yang ada dalam lingkup budaya setempat maupun dalam lingkup yang lebih luas. Atas alasan itu pula buku ini banyak mem bica rakannya dari sisi konteks, yang intinya bahwa nilai keindahan atau nilai tari itu sendiri tidak universal, melainkan
tergantung dari pan dangan masyarakatnya masingmasing. Jika uraian di atas memberi kesan bahwa tari komunal itu ditarikan oleh orang banyak, sesungguhnya tidak hanya demikian. Ada tarian komunal yang ditarikan sendirian. Hal
Gbr. 1.12: Nande aron (“ibu” pimpinan aron perempuan) dan seorang aron perempuan lain (kanan) sedang menari dalam acara guro-guro aron.
Gbr. 1.14: Tortor (tari) dari Batak Toba, Sumatera Utara, dalam suatu upacara. Tarian itu dilakukan secara bergantian atas dasar kelompok keluarga (marga)-nya dalam hubungannya dengan yang punya horja (kerja, hajat).
Gbr. 1.13: Anak menari spontan, memakai pakaian sibaso (dukun) tidak lengkap, dalam suatu acara perkawinan, diiringi gordang sembilan, Mandailing, Sumut.
Gbr. 1.15: Perkolong-kolong dari Tanah Karo, Sumatera Utara, dalam suatu perayaan budaya.
lebih terinci, dengan melihat kasus demi kasus.
1.3 NILAI PERSONAL, SOSIAL, DAN KULTURAL
Idiom dasar (substansi) tari adalah gerak tubuh. Tubuh sekali gus juga sebagai instrumennya. Tubuh adalah kesatuan utuh dari seorang individu, bukan merupakan bagian dari tubuh orang lain, baik dari sisi fisik (otot, tulang, darah, daging), pikiran (penalaran), maupun batin (rasa, jiwa). Tubuh seseorang berbeda dengan tubuh orang lainnya. Karena itu, dari pandangan ini, tari adalah suatu perwujudan ekspresi secara personal.
Akan tetapi, semua orang dilahirkan tidak dalam suatu ruang ko song, melainkan dalam suatu ruang sosial yang telah berisi manusiamanusia lain yang telah lebih dahulu hidup, dan telah mem ba ngun suatu sistem atau tata kehidupan sosial dalam suatu ling kung an. Lingkungan sosial ini, bisa dilihat dari lingkup yang paling kecil (setiap anggotanya dekat satu sama lain) sampai yang sangat besar (yang setiap anggotanya belum tentu saling kenal). Menurut pandangan sosiologis, lingkup sosial yang paling kecil adalah keluarga. Sedangkan lingkuplingkup sosial yang besar, bisa dilihat dari pen de katan geografis atau administrasi politik seperti RT, RW, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya. Lingkup sosial bisa dilihat dari pendekatan etnisitas (seperti Minangkabau, Aceh, Bugis, Toraja, Papua, Dayak, Jawa, dan lainlain). Selain itu, lingkup sosial bisa dilihat dari sisi lingkungan, strata, dan profesinya: masyarakat gunung, pantai, bangsawan, petani, nelayan, pedagang, dan lainlain.
Sistem sosial ini membentuk suatu tata hubungan, norma, atau struk tur, sehingga masingmasing individu memiliki peran atau ke du dukan dalam kelompok itu. Normanorma ini juga menyangkut cara bersikap atau bergerak dari setiap individu sesuai dengan kedu duk annya masingmasing dalam tatanan kelompok sosial. Cara Anda bersikap (seperti misalnya duduk, berjalan, memandang, tertawa, dan lainlain) berbedabeda ketika berhadapan dengan ayahibu, adik, kakak, paman, guru, kepala kampung, guru, bupati,
dan lainlain. Hal ini berjalan dalam waktu berabadabad, sehingga menjadi norma sosial yang tertanam pada semua warganya, bukan hanya dalam tingkat kesadaran (misalnya norma) melainkan juga dalam tingkatan bawahsadar (misalnya kebiasa an). Dengan pe maham an ini, maka gerak tubuh yang personal itu, akan juga mengandung ekspresi atau nilainilai sosial (komunal), baik yang disadari maupun yang tidak.
Kebudayaan adalah suatu sistem pengetahuan, kepercayaan, nilainilai, dan produk, yang tumbuh dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok masyarakat, baik yang tampak (tangible, dapat diraba) mau pun yang tak tampak (intangible, tak dapat diraba). Kesenian ter masuk salah satu produk budaya yang sangat dominan. Bahkan banyak orang mengasumsikan bahwa kebudayaan adalah ke seni an, walau itu tidak seluruhnya benar. Dalam pembicaraan kita sekarang, yang penting dicatat adalah bahwa budaya itu berkem bang dalam suatu komunitas, dalam suatu sistem sosial dan kurun waktu relatif panjang. Jadi, persepsi kultural itu sangat lekat dengan persepsi sosial. Tari, misalnya, adalah produk budaya, yang hidup juga dalam sistem interaksi atau struktur sosial. Bedanya hanyalah dalam tataran persepsi atau pandangan teoretis: sistem sosial ber kena an dengan tata hubungan atau peran masingmasing (individu, keluarga, kelompok atau subkelompok) yang membuat kehidupan itu berjalan. Adapun kebudayaan berkenaan dengan isi atau pro duk nya. Seperti Anda ketahui, yang pertama dipelajari dalam sosiologi, dan yang kedua dipelajari dalam ilmu budaya (misal nya antropologibudaya).
Suatu hal yang dapat kita serap dari pembicaraan ini bukan saja individu berperan membangun masyarakat, tetapi juga ma sya rakat berperan dalam membangun individu. Keduanya kemudian melahirkan suatu kekhasan budaya. Demikian juga sebaliknya, kebudayaan pun berperan dalam membentuk individu dan tatanan so sialnya. Misalnya, bahasa adalah produk budaya yang dilahir kan oleh suatu sosial (sejumlah individu), untuk kepentingan ko muni kasi dan ekspresi. Bahasa adalah idiom untuk menyampaikan ga
gasan atau cara pandang. Tapi juga sebaliknya, bahasa turut mem bangun cara pandang dan logika seseorang. Bahasa bukan hanya dipakai untuk berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga untuk berkomunikasi dengan diri sendiri, misalnya untuk ber pi kir, merenung, mengkhayal, dan sebagainya.
Dari uraian di atas, yang mungkin perlu ditegaskan lagi dalam ba gian ini adalah bahwa baik individu maupun masyarakat memiliki peran masingmasing yang sangat penting dalam proses kehidupan. Setiap kelompok sosial memiliki kaidah dan nilai masingmasing; dan, karena lingkup sosial itu bisa dilihat dari beberapa sudut (ke luar ga atau marga, wilayah administrasi politik, etnisitas, lingkungan, profesi, dan lainlain) maka dalam suatu tempat itu tidak hanya terdapat satu persepsi norma, melainkan bisa terdapat berbagai per sepsi. Dengan demikian, ketika kita bicara mengenai identitas kul tural seseorang, yang dimilikinya pun bukan hanya satu identitas, melainkan identitas ganda (multiple
identity). Misalnya, seorang indi vidu bernama Maria Purba, ia
adalah perempuan, usia muda, marga (boru) Purba, subetnis
Simalungun, etnis Batak (Sumatera Utara), daerah pegunungan, petani tanaman kopi, keluarga kaya, lulus an fakultas kedokteran.
Itulah yang dimaksud dengan kom pleks nya identitas seseorang,
Gbr. 1.17: Tarian dalam upacara bubur suro, Sumedang, Jawa Barat. Setiap penari mengekspresikan dirinya masing-masing, dalam atmosfir kebersamaan komunitasnya.
Gbr. 1.20: Dalam pertunjukan bajidoran atau jaipongan di Jawa Barat penonton biasa menari beramai-ramai, laki-laki dan perempuan. Namun kadangkala ada penonton yang menari secara tunggal, menunjukkan kemahirannya dalam menari dan/atau melucu
Gbr. 1.18: Tari gandrung Banyuwangi, Jawa Timur, dalam upacara petik laut (pesta atau panen laut) dilakukan oleh penari profesional, untuk kepentingan komunitas.
Gbr. 1.19: Pakarena dalam upacara panen padi di Desa Kalaserena, Takalar: dipertunjukkan oleh seniman (grup) profesional, untuk ritus sosial.
masingmasing. Kesadaran terhadap ada nya hubungan kompleks antara nilainilai personal (individu) dan kebersamaan (sosial) ini penting dalam mendiskusikan tari komunal.
1.4 Tari: Ekspresi Kompleks
Di atas telah dikatakan bahwa tari adalah suatu perwujudan dari ekspresi personal (individu) dan sosial (komunal). Manakala nilai atau kreativitas personal diterima atau diakui se bagai nilai komunal, maka nilai itu menjadi bermakna kultural biasanya melalui suatu proses relatif panjang. Kompleksitas ekspresi tari ini pun bersumber dari citarasa individu (seniman) yang melahirkan atau melakukannya beserta nilainilai sosial (dan kultural) yang mengikatnya. Kata lain yang juga tepat dipakai untuk memaknai kompleksitas ini adalah totalitas: yakni semua aspek ini terwujudkan dalam satu kesatuan secara simultan.
Menari dikatakan sebagai perwujudan ekspresi personal, karena ketika menari setiap orang dipengaruhi oleh dorongan jiwa, rasa, dan ke peka an artistik yang ada dalam dirinya. Kita tahu, setiap perbuat an, termasuk menari, memiliki suatu alasan (sebab) atau makna, baik secara sadar (terencana, tersusun) maupun tidak sadar (spon tan, reaktif). Tentu saja, ada bermacammacam alasan mengapa seseorang atau sekelompok orang menari. Mulai dari yang paling spontan (seperti ketika menonton pertandingan olah raga melalui televisi, dan tibatiba klub dukungannya menang), sampai yang paling terencana, seperti misalnya untuk sebuah karya pertunjukan besar yang menuntut persiapan dan latihan bertahun tahun.
Dengan kata lain, tari menjadi sebuah ungkapan personal (indi vidu al) karena di dalamnya tercermin ungkapan pribadi dan rasa ge rak dari pelaku/penarinya. Di dalam melakukan suatu untaian gerak setiap penari, baik dalam tarian tunggal maupun kelompok, setiap penari akan mengikuti rasa geraknya masingmasing dan ber dasarkan kemampuan ungkap dari instrumen tari yang dimilikinya, yakni tubuhnya sendiri.
Dikatakan sebagai perwujudan ekspresi sosial, karena sese orang atau sekelompok orang yang menari tidaklah hanya untuk ke pen tingan sendiri melainkan untuk dirasakan bersama orang lain, baik yang terlibat langsung (menari bersama), maupun yang menyaksi kannya dari luar (menonton). Dengan demikian, mereka yang biasa menari akan terlatih pula dalam berhubungan dengan orang lain, serta mengaitkan apa yang dirasakan di luar dirinya dengan yang ada di dalam dirinya. Kita jangan lupa pula bahwa aktivitas tari seringkali tergantung atau bahkan terikat oleh dinamika kehidupan suatu masyarakat.
Tari juga merupakan perwujudan ekspresi budaya (nilai nilai, kolektif) karena perwujudannya melibatkan partisipasi banyak orang. Berkat adanya partisipasi dari berbagai pihak inilah, dengan fungsi dan peran yang berbedabeda, langsung maupun tidak langsung, sebuah peristiwa kesenian akan bisa berhasil baik, akan terjadi sesuai dengan kebutuhan atau kesenangan orang banyak. Karena itu pula, dalam setiap tarian akan tercermin nilainilai budaya, yang dimiliki oleh masyarakat dari mana tarian itu berasal.
Gbr. 1.21: Upacara tabuik di Pariaman, Sumatera Barat, yang diadakan pada bulan Sura (bulan pertama kalender Islam). Upacara itu memperingati putera Nabi Muhammad SAW, Hassan dan Hussein, menyertakan arak-arakan dengan menggotong buraq ke laut.
Gbr. 1.23: Pada suatu upacara kematian besar (sayur matua) pada masyarakat (Batak) Simalungun, Sumatera Utara dua orang nenek menari dengan suka-cita, pada akhir pertunjukan diteriakkan kata horas (“selamat!”) Gbr. 1.22: Tortor Batak Toba, di Silaen, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, pada suatu upacara Parmalim: menari sebagai ekspresi personal, kultural, dan keagamaan.
Tari, dalam banyak hal, menampilkan sekaligus memperkokoh cara hidup masyarakat pendukungnya, sebagai perwujudan ekspresi kultural, termasuk keberagaman etnisitas yang ada di dalam lingkup sosialnya.
1.5 Tubuh, Rasa, dan Jiwa
Menari melibatkan seluruh mekanisme yang ada pada tubuh ma nusia disertai kemampuan intelektual, emosional, spiritual, dan kondisi atau fasilitas yang dimilikinya. Kualitas sebuah sajian tari
akan tergantung oleh itu semua. Jika kita perhatikan syarat yang pa ling pokok saja, yakni tubuh sebagai media atau instrumennya, semua orang bisa dikatakan memiliki fasilitas yang sama: kepala, ba dan, kaki, dan tangan. Akan tetapi, bukan hanya bentuk dan ukurannya yang berbedabeda, melainkan juga kekuatan dan ke len turannya. Kelenturan tubuh seseorang berbeda antara yang jarang dan sering bergerak, antara yang mengadakan latihan dan yang tidak, atau antara yang berpengalaman dan yang belum.
Menari, seperti juga dalam silat, olah raga, dan lainlain, mem butuh kan keseimbangan tubuh, koordinasi, pengaturan gaya berat, dan tenaga. Pengalaman pertunjukan atau latihan berulangulang, akan membuat semua tuntutan teknis itu seolah berjalan se ca ra alamiah, tanpa kesulitan, dan tanpa membutuhkan banyak ke sa daran pikir. Latihanlatihan tari yang diadakan, mengarah pada tujuan itu, yakni agar tubuh menjadi sangat terampil dan “cerdas” dalam melakukan gerak yang dikehendaki bukan hanya oleh pikiran, melainkan juga oleh perasaan. Itu berarti bahwa gerak bisa mengalir langsung dari rasa (emosi), jiwa (spiritual), tanpa melalui jalur otak. Dalam dunia kesenimanan tari, sering dikatakan bahwa jika sese orang menari hanya mengikuti kesadaran otaknya, maka ia disebut “masih belajar.” Bandingkan dengan Anda naik sepeda. Jika Anda harus berpikir seberapa kuat mendayungnya, harus berapa derajat membelokkan stangnya, kapan harus mengeremnya, itu artinya Anda masih belajar. Setelah terbiasa, kita bisa naik sepeda tanpa direpotkan dengan hal teknis, dan kita bisa santai sambil melihat pe man dangan kirikanan. Anda akan tahu pula kapan harus hati hati melihat jalan, dan kapan bisa berpikir mengenai hal yang lain. Hal ini mengisyaratkan tingkat kesadaran dan kebawah sadaran, atau perencanaan dan spontanitas, merupakan hal yang sangat penting dalam kesenian. Mungkin kita, sadar atau tidak, terlalu percaya bahwa rasio itu mengatasi segalagalanya, yang sesungguhnya itu berasal dari pengaruh filsafat rasionalisme Barat, yang mengajarkan bahwa segala sesuatu itu bukan hanya harus dikendalikan oleh rasio (pikiran, logika, alasan), melainkan rasio
banyak alasan (argumen) lain, termasuk di Barat sendiri, karena aspek spiritual dan emosional itu merupakan ciri kemanu sia an secara kodrati, anugrah Tuhan, yang konkret juga keberadaannya; dipercayai oleh berbagai umat, dan memiliki ke kuatan tersendiri sebagai sumber kebenaran. Filsafat rasio nal isme tidak memiliki argumen yang jelas dalam menjawab realitas kehidupan yang tidak bisa diterangkan oleh rasio. Pelajaran kesenian kita, akan turut menguatkan sanggahan pada rasionalisme Barat, dengan menyampaikan kasuskasus konkretnya.
Mengapa hal ini penting dikemukakan? Karena dalam dunia aka demis (sekolahan) kita seolah menganggap segala sesuatu harus bisa diterangkan oleh rasio, harus bisa didefinisikan dengan satu rumusan yang jelas, harus atas dasar perencanaan, dan harus bisa diukur dengan satu standar. Kata yang sering kita dengar adalah
rasional dan logis. Hal ini bukanlah salah, melainkan bukan lah
satusatunya acuan kebenaran. Artinya, kebenaran (atau logika) itu bukan hanya atas dasar perhitungan otak, melainkan rasa dan jiwa (spiritual) memiliki “logika” tersendiri. Dengan kata lain: perasa an, kepercayaan, dan tubuh memiliki kecerdasan dan kebenaran. Kualitas tarian seseorang ditentukan oleh ketiga hal di atas: kedalaman emosi, kematangan jiwa, dan kemampuan tubuh. Oleh sebab itu dengan menari memungkinkan seseorang untuk me ningkat kan kepekaan, pengembangan, dan prestasi pribadinya pula. Dengan menari seseorang bisa merasakan, menemukan, dan menggunakan potensi dan vitalitas dirinya. Dengan berlatih agar menari dengan prima, seseorang akan tahu bahwa tari pun membutuhkan suatu kedisiplinan, suatu usaha yang tidak mudah.
Buku ini tidak bertujuan untuk mengajarkan bagaimana menari dengan baik, tapi lebih mengutamakan untuk bagaimana me mahami dan menyikapi tari secara lebih terbuka, dengan wawasan yang lebih luas. Namun demikian, dengan tumbuhnya wawasan dan kepekaan pandangan terhadap tari, diharap pula bisa menumbuhkan minat, ketertarikan, atau kepedulian, yang bagi sebagian peserta didik