• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Manajemen Penanggulangan Bencana Pengertian, Jenis dan Ruang Lingkup Bencana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Manajemen Penanggulangan Bencana Pengertian, Jenis dan Ruang Lingkup Bencana"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Manajemen Penanggulangan Bencana

Pengertian, Jenis dan Ruang Lingkup Bencana

Bencana adalah gangguan ya ng serius dari berfungsinya suatu masyarakat, yang menyebabkan kerugian-kerugian yang besar terhadap lingkungan, material dan manusia, yang melebihi kemampuan dari masyarakat yang tertimpa bencana untuk menanggulangi dengan hanya menggunakan sumber-sumber daya masyarakat itu sendiri. Bencana sering diklasifikasikan sesuai dengan cepatnya serangan bencana tersebut (secara tiba-tiba atau perlahan- lahan) atau sesuai dengan penyebab bencana itu (secara alami atau karena ulah manusia) (UNDP, 1992).

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang- undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang dimaksud dengan bencana adalah: “Peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis ”. Jadi bencana dapat didefinisikan sebagai suatu peristiwa, entah karena perbuatan manusia atau alam, mendadak atau berangsur-angsur yang menyebabkan kerugian yang meluas terhadap kehidupan, materi dan lingkungan sedemikian rupa, melebihi kemampuan dari masyarakat korban untuk menanggulangi dengan menggunakan sumberdayanya sendiri (Pudjiono, 2003).

Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2) Undang- undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang dimaksud dengan Bencana Alam adalah: “Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor”.

Pada hakekatnya bencana tidak terjadi secara mendadak. Semua lokasi rawan bencana di dunia termasuk di Indonesia, telah dipetakan dengan sangat baik. Bahkan masyarakat awam di daerah telah mengenal kerawananan daerahnya

(2)

terhadap bencana tertentu. Masalah yang dihadapi selama ini adalah kurangnya kesiapsiagaan, pencegahan dan mitigasi yang memadai (Soetarso, 2004).

Manajemen penanggulangan bencana adalah sekumpulan kebijakan dan keputusan-keputusan administratif dan aktivitas-aktivitas operasional yang berhubungan dengan berbagai tahapan dari semua tingkatan bencana. Satu definisi yang lebih luas dari bencana ciptaan manusia mengakui bahwa semua bencana disebabkan oleh ulah manusia, karena manusia telah memilih, apapun alasannya, untuk berada dimana fenomena alam terjadi yang menyebabkan pengaruh-pengaruh yang merugikan manusia. Bencana dapat dipandang sebagai serangkaian fase-fase dari kontimum waktu. Mengidentifikasi dan memahami fase- fase ini, akan membantu untuk menggambarkan kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan bencana dan memberi konsep tentang aktivitas-aktivitas manajemen bencana yang memadai (UNDP, 1992).

Penanggulangan bencana adalah suatu proses dinamis, terencana, terorganisir dan berlanjut untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan pengamatan dan analisis bahaya serta pencegahan/mitigasi (pelunakan atau peredaman dampak bencana), kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat rehabilitasi dan rekonstruksi (Soetarso, 2004). Senada dengan hal tersebut, Pudjiono (2003) menjelaskan penanggulangan bencana adalah: “Suatu kumpulan kegiatan yang meliputi semua aspek dari perencanaan, pencegahan, pengelolaan risiko dan tanggapan terhadap kejadian-kejadian bencana, baik sebelum maupun sesudah bencana ”.

Berkaitan dengan definisi Soetarso dan Pudjiono (2004, 2003), dapat kita lihat bahwa penanggulangan bencana adalah: 1) suatu kumpulan kegiatan dan bukan hanya satu jenis kegiatan saja, 2) bukan hanya kegiatan tanggap darurat melainkan meliputi tataran yang luas mulai dari perencanaan, pencegahan dan pengelolaan risiko, 3) kegiatan-kegiatan itu dilaksanakan dari sebelum terjadi bencana sampai dengan sesudah kejadian.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana terdiri atas 3 (tiga) fase/tahapan, meliputi:

(3)

1. Prabencana

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap prabencana dilakukan dalam situasi tidak terjadi bencana dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana.

Pada situasi tidak terjadi bencana dilakukan kegiatan yang meliputi: a) perencanaan penanggulangan bencana, b) pengurangan risiko bencana, c)

pencegahan, d) pemaduan dalam perencanaan pembangunan, e) persyaratan analisis risiko bencana, f) penegakan rencana tata ruang, g) pendidikan dan pelatihan, dan h) persyaratan standar teknis penanggulangan bencana. Pada situasi terdapat potensi terjadinya bencana dilakukan kegiatan yang meliputi: a) kesiapsiagaan, b) peringatan dini, dan c) mitigasi bencana.

2. Tanggap darurat

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi: a) pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumberdaya, b) penentuan status keadaan darurat bencana, c) penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, d) pemenuhan kebutuhan dasar, e) perlindungan terhadap kelompok rentan, dan f) pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

3. Pascabencana

Penyelanggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi.

Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan: a) perbaikan lingkungan daerah bencana, b) perbaikan prasarana dan sarana umum, c) pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, d) pemulihan sosial psikologis, e) pelayanan kesehatan, f) rekonsiliasi dan resolusi konflik, g) pemulihan sosial ekonomi budaya, h) pemulihan keamanan dan ketertiban, i) pemulihan fungsi pemerintahan, dan j) pemulihan fungsi pelayanan publik.

Rekonstruksi dilakukan melalui kegiatan: a) pembangunan kembali prasarana

dan sarana, b) pembangunan kembali sarana sosial masyarakat, c) pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat, d) penerapan

rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana, e) partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi

(4)

kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat, f) peningkatan kondisi sosial,

ekonomi dan budaya, g) peningkatan fungsi pelayanan publik, dan h) peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.

Untuk lebih jelasnya fase/tahapan penanggulangan bencana dapat digambarkan sebagai berikut:

R

Gambar 1 Fase/tahapan penanggulangan bencana Sumber: Sunarti, E., dkk, 2007

Secara umum penanggulangan bencana dibagi menjadi tiga fase/tahapan, yaitu: 1) prabencana, adalah kondisi keadaan suatu wilayah yang oleh otoritas lembaga pemerintah telah dinyatakan kemungkinan terjadinya bencana sampai menjelang terjadinya bencana. Fase ini meliputi kegiatan perencanaan, mitigasi dan kesiapsiagaan, 2) tanggap darurat, adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, dan 3) pascabencana, disebut sebagai kondisi pemulihan Tahap ini meliputi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. (Sunarti, E., dkk, 2007).

PRA BENCANA PASCA BENCANA

Kesiapsiagaan

Mitigasi

Perencanaan Ancaman Bencana Tidak ada

Rehabilitasi Rekonstruksi TANGGAP DARURAT A d a a n c a m a n

(5)

Kesiapsiagaan dalam Manajemen Penanggulangan Bencana

Konsep kesiapsiagaan bencana bertujuan untuk meyakinkan bahwa secara tepat sistem yang memadai untuk bencana, prosedur dan sumber-sumber daya berada di tempat kejadian dan bisa membantu mereka yang tertimpa oleh bencana dan memungkinkan mereka untuk bisa menolong diri mereka sendiri. Tujuan dari kesiapsiagaan bencana adalah untuk meminimalisir pengaruh-pengaruh yang merugikan dari satu bahaya melalui tindakan berjaga-jaga yang efektif dan untuk menjamin secara tepat dan efisien serta pengiriman respon emergensi yang menindaklanjuti dampak dari suatu bencana (Pudjiono, 2003).

Tujuan kesiapsiagaan bencana menetapkan kerangka kerja yang luas terhadap penanggulangan bencana antara lain: 1) untuk meminimalisasi pengaruh-pengaruh yang merugikan dari satu bahaya. Pengurangan resiko bencana dimaksudkan untuk meminimalisir pengaruh-pengaruh yang merugikan dari satu bahaya dengan menghilangkan kerentanan, 2) tindakan-tindakan berjaga-jaga yang efektif. Kesiapsiagaan bencana harus dilihat sebagai suatu proses yang aktif dan terus- menerus baik rencana-rencana maupun strategi-strategi yang diperlukan. Hal tersebut merupakan usaha-usaha yang dinamis, yang sering ditinjau lagi, dimodifikasi, diperbaharui dan diujicobakan, 3) organisasi yang efisien. Organisasi yang efisien menyarankan kriteria yang jelas untuk kesiapsiagaan bencana yang efektif. Perencanaan yang sistematis, distribusi yang dilakukan secara baik, peran yang jelas dan tanggungjawab adalah hal yang sangat penting untuk dipahami.

Organisasi, Tugas dan Fungsi Penanggulangan Bencana di Kabupaten Lampung Barat

Tingkat Kabupaten

Bupati mempunyai tugas mengkoordinasikan organisasi struktural dan non struktural di kabupaten dalam kegiatan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi mulai dari tahap sebelum, saat dan sesudah bencana terjadi. Untuk membantu bupati dalam mengkoordinasikan kegiatan penanggulangan bencana

(6)

dibentuk Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Satlak PBP), dengan dibantu oleh unsur muspida (Dandim dan Kapolres) serta unsur dinas instansi terkait, TNI, Polri, SAR Daerah, PMI dan unsur masyarakat lainnya. (Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi di Kabupaten Lampung Barat, 2004).

Satlak PBP mempunyai tugas secara umum untuk melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi di daerahnya dengan berpedoman pada kebijakan yang ditetapkan pusat dan provinsi. Sedangkan secara khusus Satlak PBP bertugas: 1) memberikan penyuluhan, pelatihan, geladi dan pembinaan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam penanggulangan bencana, 2) melaksanakan penanggulangan bencana secara langsung di daerah dengan memanfaatkan unsur-unsur potensi kekuatan penanggulangan bencana serta sarana dan prasarana yang ada di daerah, 3) melakukan kerjasama operasi pelaksanaan penanggulangan bencana dengan organisasi penanggulangan bencana yang ada di daerah terdekat, dan 4) menerima dan menyalurkan serta mempertanggungjawabkan bantuan penanggulangan bencana di daerah.

Bupati selaku Ketua Satlak PBP membentuk Ruang Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Rupusdalops PBP), sebagai ruang data dan pusat informasi dan pengendalian kegiatan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi. Bupati juga membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) yang bertugas melakukan pendataan dan membuat perkiraan kebutuhan darurat secara cepat (quick assessment) apabila terjadi bencana. TRC beranggotakan unsur Pegawai Negeri Sipil daerah, TNI, Polri, SAR daerah dan PMI daerah, selain itu bupati juga membentuk Satuan Tugas Penanggulangan Bencana (Satgas PB) baik di tingkat kabupaten maupun kecamatan untuk membantu pelaksanaan tugas penanggulangan bencana yang terjadi diwilayahnya. Anggota Satgas PB kabupaten berasal dari unsur Pegawai Negeri Sipil sedangkan Satgas PB kecamatan berasal dari unsur masyarakat, yang sudah mendapat pelatihan khusus penanggulangan bencana di daerah. Dilain pihak, dinas sosial juga telah membentuk Satuan Tugas Sosial Penanggulangan Bencana (Satgasos PB) yang berasal dari unsur masyarakat yang terlatih khusus

(7)

dalam penyiapan/penyajian makanan dalam wadah Dapur Umum Lapangan (Dumlap), dengan ditunjang oleh sarana dan sumberdaya bidang dapur umum ini, diharapkan apabila terjadi bencana, permasalahan penyajian makanan untuk korban bencana dapat diatasi dengan baik.

Tingkat Kecamatan

Camat bertugas mengkoordinasikan kegiatan organisasi struktural dan non struktural serta masyarakat dalam kegiatan penanggulangan bencana mulai tahap sebelum, saat dan setelah terjadinya bencana. Untuk membantu camat dibentuk Unit Operasi Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Unit Ops PBP) dengan beranggotakan unsur TNI, Polri, dan LSM dan unit- unit terkait lainnya.

Unit Ops PBP memiliki tugas secara khusus : 1) memberikan penyuluhan, pelatihan dan pembinaan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana dan 2) mengkoordinasikan potensi Satgas PB kecamatan, masyarakat dan Satuan Perlindungan Masyarakat (Satuan Linmas) di wilayahnya dalam pelaksanaan penanggulangan bencana. (Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi di Kabupaten Lampung Barat, 2004).

Tingkat Desa/Pekon

Kepala desa (peratin/lurah) bertugas mengkoordinasikan dan mengendalikan kegiatan masyarakat dalam penanggulangan bencana mulai tahap pra bencana, saat bencana dan pasca bencana. Peratin/lurah mendorong swadaya masyarakat dalam kegiatan penanggulangan bencana sehingga terwujud kemandirian dalam upaya penanggulangan bencana. Peratin/lurah dalam pelaksanaan tugas penanggulangan bencana di wilayahnya dibantu oleh Satuan Perlindungan Masyarakat (Satuan Linmas) pekon/kelurahan. Satuan Linmas ini bertugas: 1) menyusun potensi Linmas dalam regu-regu pelaksana menurut kebutuhan pekon/kelurahan, yang siap dikerahkan sewaktu-waktu sesuai tugas dan fungsinya dan 2) mengerahkan potensi Linmas dalam penanggulangan

(8)

bencana yang terjadi diwilayahnya baik sebelum, saat maupun setelah bencana terjadi. (Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi di Kabupaten Lampung Barat, 2004).

Pembelajaran Penanggulangan Bencana di Indonesia

Penanganan Kejadian Gempa di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta menetapkan bahwa masa tanggap darurat bencana berlangsung selama satu bulan. Pertimbangannya adalah apabila masa tanggap darurat bencana melebihi satu bulan, kemungkinan akan terjadi perubahan-perubahan. Selain itu, masyarakat akan menjadi tergantung pada bantuan dan tidak mandiri jika penanganan bencana berlarut- larut. Motivasi masyarakat untuk kembali berdaya, bangkit dengan seruan gubernur dan bupati agar perekonomian keluarga harus segera bangkit dengan mendorong kepada warga dalam dua minggu setelah kejadian gempa, aktivitas harus segera berjalan kembali, petani harus segera ke sawah, pedagang harus segera berdagang kembali, dan begitupun dengan lainnya (Sunarti, E., dkk, 2007).

Terkait dengan kesiapsiagaan bencana, faktor yang krusial dan harus dipertahankan adalah keberadaan pemimpin yang dapat mengayomi dan berwibawa di mata rakyat. Pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin daerah yang amanah dan dapat secara tegas mengatur masyarakat, menjadi panutan dan dekat dengan rakyat.

Penanganan Kejadian Kebakaran Lahan Gambut di Provinsi Kalimantan Tengah

Sesuai dengan tupoksi, penanganan pemadaman kebakaran dilakukan oleh beberapa instansi terkait yang memiliki Brigade Pengendalian Kebakaran maupun kelompok-kelompok masyarakat. Dalam hal penyiapan dan penyaluran logistik. Dinas Sosial dan PMD setempat melakukan penyiapan gudang stok untuk bantuan berupa bahan makanan, pakaian dan peralatan memasak. Logistik ini memang tidak diperuntukkan untuk bencana kebakaran. Tetapi untuk bencana lainnya seperti: banjir, puting beliung dan kebakaran pemukiman. Disamping itu

(9)

pembentukan regu sukarelawan yang tergabung dalam Tim Taruna Siaga Bencana (Tagana) juga dimaksudkan untuk kesiapasiagaan dalam penanggulangan bencana. Tim Tagana ini berada dibawah koordinasi Departemen Sosial yang terlatih dalam penanganan bencana termasuk bencana kebakaran hutan dan siap untuk membantu evakuasi dan pemberian bantuan lainnya (Sunarti, E.,dkk, 2007).

Belajar dari pengalaman penanggulangan bencana di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Kalimantan Tengah, ada dua hal yang akan dijadikan acuan bagi Kabupaten Lampung Barat dalam upaya pengelolaan pangan untuk penanggulangan bencana, yaitu: 1) lama pemberian bantuan pangan saat tanggap darurat apabila terjadi bencana maksimal satu bulan atau 30 hari, batasan waktu ini untuk menghindari ketergantungan masya rakat pada bantuan dan

harapan bahwa masyarakat akan cepat mandiri setelah tertimpa bencana, 2) pendirian gudang stok pangan (logistik) untuk menyimpan cadangan pangan

maupun logistik lainnya seperti tenda darurat dan alat memasak bagi pelayana n dapur umum.

Manajemen Pangan dalam Penanggulangan Bencana

Pasal 52 jo Pasal 21 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana menetapkan bahwa, penyelenggaraan penanggulangan pada saat tanggap darurat bencana adalah meliputi pemenuhan kebutuhan dasar, salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi adalah pangan. Hal ini dipertegas kembali dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, yang menyebutkan akan adanya dana siap pakai yang selalu tersedia dan dicadangkan oleh pemerintah yang akan digunakan pada saat tanggap darurat bencana sampai dengan batas waktu tanggap darurat bencana berakhir. Dana tanggap darurat bencana dimaksud sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Adapun penggunaan dana siap pakai ini menurut Pasal 16 point c dan Pasal 17 ayat (2) point e Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 adalah meliputi pemberian bantuan

(10)

pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana, yaitu: 1) pencarian dan penyelamatan korban bencana, 2) pertolongan darurat, 3) evakuasi korban

bencana, 4) kebutuhan air bersih dan sanitasi, 5) pangan, 6) Sandang, 7) pelayanan kesehatan, dan 8) penampungan serta tempat hunian sementara.

Bantuan kebutuhan dasar ini juga harus diberikan dengan memperhatikan standar minimal kebutuhan dasar dengan memperhatikan prioritas kepada kelompok rentan.

Konsep Cadangan Pangan

Komponen penyediaan pangan lainnya yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya kebutuhan penduduk yaitu komponen cadangan pangan. Seharusnya setiap komoditas pangan memiliki stok/cadangan, sehingga jika permintaan pangan meningkat pengadaan pangan dapat langsung memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Selama ini komoditas pangan yang memiliki stok diantaranya yaitu beras, gula, serta beberapa komoditas pangan strategis lainnya. Beberapa metode dikembangkan untuk menghitung estimasi besarnya cadangan pangan wilayah (terutama golongan serealia) yang dikembangkan oleh Filipina maupun FAO (Food Agriculuture Organization). Penentuan jumlah stok cadangan pangan pemerintah untuk kelompok pangan biji-bijian seperti beras memiliki tiga pendekatan (Modul Kuliah-Sistem Penyediaan Pangan - MKP-IPB, 2008):

1. Pendekatan NFA (National Food Authority) Filipina.

NFA menggunakan 2 jenis cadangan beras nasional yaitu untuk strategic rice reserve (SRR) dan rice buffer stock (RBS).

a. SRR = kebutuhan 15 hari konsumsi beras nasional b. RBS = kebutuhan 30 hari konsumsi beras nasional

2. Pendekatan Rasio Penggunaan Cadangan Pangan FAO ( FAO Stock to Utilization Ratio).

Pendekatan Rasio Penggunaan Cadangan Pangan FAO yaitu menggunakan angka rasio sebesar 3-5% dari tingkat penggunaannya (utilization). Berikut terdapat beberapa studi dari FAO mengenai angka rasio yang digunakan

(11)

untuk mengestimasi besarnya stok berjalan dan stok emerjensi. Studi yang dilakukan mulai tahun 1974 dan studi terbaru dilakukan tahun 1997. Hasil studi menjelaskan bahwa besarnya angka rasio untuk stok berjalan sebesar 12% dari tingkat penggunaannya, sedangkan untuk stok cadangan emerjensi sebesar 7-8% (studi lama) dan menurun menjadi 3-5% (studi terbaru). Besarnya persentase angka rasio terhadap penggunaannya dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 Rasio penggunaan cadangan pangan FAO

Keterangan Studi Lama (1974) Studi Terbaru (1997)

Stok berjalan (Working Stock) 12% 12%

Stok cadangan emerjensi (Reserve Elements to Cover most possible shortfalls in 95-100% of the cases)

7-8% 3-5%

3. Pendekatan Permintaan Pasar (Usual Marketing Requiremen/UMR)

Pendekatan Usual Marketing Requirement (UMR) merupakan metode lain yang digunakan untuk menetapkan cadangan pangan yang layak untuk emerjensi. Pendekatan UMR ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

UMR = Selisih antara permintaan dengan produksi beras

Besaran impor beras pada saat peak (puncak), misalnya El Nino dan Kris is Moneter. Cadangan untuk emerjensi = peak import dikurangi UMR. Berikut merupakan gambaran proyeksi produksi dan kebutuhan pada periode 1999 sampai 2004 di Indonesia. Dapat dilihat bahwa meskipun produksi padi meningkat setiap tahunnya sehingga meningkatkan ketersediaan beras, namun kebutuhan terhadap beras lebih besar dibanding ketersediaannya. Permintaan beras ini digunakan untuk konsumsi rumahtangga dan permintaan industri pangan (permintaan antara). Oleh karena itu, selama periode 1999-2004 penyediaan beras di Indonesia defisit sehingga dibutuhkan impor dari negara lain (tabel 2).

(12)

Tabel 2 Proyeksi produksi dan permintaan beras (1999-2004) Tahun Produksi Padi Ketersediaan Beras 1) Konsumsi RT Permintaan Antara Total Permintaan Defisit (impor) 1999 50401783 29530405 25299157 6488639 32156927 (2626522) 2000 51179412 30937955 25259623 6832134 32478481 (1540527) 2001 50096486 30283326 25218604 7174100 32771246 (2487920) 2002 50597451 30586159 25176293 7514532 33073152 (2486993) 2003 51103425 30892021 25132879 7853434 33372463 (2480442) 2004 51614460 31200941 25088550 8190822 33669384 (2468443)

Keterangan: Produksi setelah dikurangi dengan benih dan kehilangan hasil sebesar 10%, serta angka konversi 0,65

Cadangan pangan pemerintah ditetapkan secara berkala dengan memperhitungkan tingkat kebutuhan pangan masyarakat dan ketersediaan untuk mengantisipasi terjadinya kekurangan pangan/keadaan darurat. Masing- masing daerah perlu menghitung secara cermat kebutuhan pangan pokok masyarakatnya ditambah dengan cadangan guna penanggulangan resiko bencana alam, sebesar 10%. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia pangan pokok adalah beras. (Sumarno, 2006).

Neraca Bahan Makanan

Untuk mengukur tingkat ketersediaan pangan di wilayah, diperlukan suatu alat yang diakui secara resmi dan dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya. Saat ini, alat yang digunakan untuk mengukur ketersediaan pangan adalah Neraca Bahan Makanan (NBM). Tabel Neraca Bahan Makanan disusun dengan menggunakan metode dari Food and Agriculture Organization (FAO), yang disesuaikan dengan kondisi dan ketersediaan data di wilayah tertentu.

Neraca Bahan Makanan (NBM) merupakan tabel yang memuat informasi tentang situasi pengadaan (supply) dan penggunaan (utilization) pangan, hingga ketersediaan pangan untuk dikonsumsi penduduk pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu.

Penyediaan (supply) didapat dari hasil produksi ditambah impor dan dikurangi ekspor. Penggunaan (utilization) suatu komoditas bahan makanan adalah untuk keperluan pakan, bibit, industri makanan, industri non makanan,

(13)

yang tercecer serta bahan makanan yang tersedia pada tingkat pedagang pengecer. Tingkat ketersediaan bahan pangan per kapita per hari diperoleh dari hasil supply dikurangi utilization kemudian dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Informasi ketersediaan bahan makanan tersebut disajikan dalam bentuk kuantum (volume) dan kandungan nilai gizinya disajikan dalam satuan kkal energi, gram protein dan gram lemak. Ketersediaan pangan perkapita mengindikasikan baik rata-rata peluang individu untuk memperoleh bahan pangan maupun ketahanan pangan ditingkat makro (NBM-Kabupaten Muara Enim Tahun 2006-2007).

Potensi Sumberdaya Pangan di Kabupaten Lampung Barat Potensi Pangan Sumber Energi

Kabupaten Lampung Barat memiliki wilayah cukup luas untuk pengembangan komoditas agribisnis seluas 178.172 hektar dengan luas lahan terolah unt uk pengembangan pertanian tanaman pangan sebesar 16.291 hektar. Kondisi agroklimat dan kesuburan tanah Kabupaten Lampung Barat berpotensi untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian.

Pangan Sumber Energi asal Padi-padian

Jumlah dan jenis pangan sumber energi yang berasal dari padi-padian di Kabupaten Lampung Barat pada Tahun 2007 adalah untuk padi sawah dengan lahan seluas 33.328 ha dihasilkan produksi sebanyak 145.977 ton padi gagang kering giling (gkg), untuk padi ladang dengan lahan seluas 1.831 ha dihasilkan produksi sebanyak 4.432 ton padi gagang kering giling (gkg), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3. Setelah dijumlah produksi padi sawah dan ladang di Kabupaten Lampung Barat diperoleh hasil sebanyak 150.409 padi gagang kering giling (gkg). Sentra produksi padi sawah di Kabupaten Lampung Barat berada di Kecamatan Suoh, Pesisir Selatan dan Bengkunat, sedangkan sentra produksi padi ladang adalah Kecamatan Bengkunat. Luas panen dan produksi tanaman padi di Kabupaten Lampung Barat dapat dilihat pada tabel 3.

(14)

Tabel 3 Luas panen dan produksi tanaman padi sawah dan padi ladang per kecamatan Kabupaten Lampung Barat Tahun 2007

No Kecamatan

Padi Sawah Padi Ladang

Luas (ha) Produksi (ton gkg)

Luas (ha) Produksi (ton gkg) 1 2 3 4 5 6 1. Pesisir Selatan 4.678 21.285 310 837 2. Bengkunat 4.835 21.838 1.069 2.630 3. Bengkunat Belimbing - - - - 4. Ngambur - - - - 5. Pesisir Tengah 2.204 9.808 20 60 6. Karya Penggawa 1.283 5.838 - - 7. Pesisir Utara 960 4.205 3 8 8. Lemong 877 3.771 195 293 9. Balik Bukit 703 2.953 17 20 10. Sukau 3.913 17.804 68 204 11. Belalau 482 1.880 37 101 12. Sekincau 324 1.426 - - 13. Suoh 7.427 31.936 112 279 14. Batu Brak 730 2.190 - - 15. Sumber Jaya 2.344 10.079 - - 16. Way Tenong 1.850 7.955 - - 17. Gedung Surian 700 3.009 - - Jumlah 33.328 145.977 1.831 4.432

Sumber: Lampung Barat Dalam Angka Tahun 2007.

Angka Kecukupan Energi

AKE (Angka Kecukupan Energi) yaitu rata-rata tingkat konsumsi energi dari pangan yang seimbang dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh (berat) dan tingkat kegiatan fisik agar hidup sehat dan dapat melakukan kegiatan ekonomi dan sosial yang diharapkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) Tahun 2004 merekomendasikan Angka Kecukupan Energi berdasarkan umur, berat badan dan tinggi badan adalah sebagaimana terlihat dalam tabel 4. Setelah diambil rata-rata angka kecukupan energi, maka bagi orang dewasa dibutuhkan sebanyak 2000 kkal per hari, sedangkan kebutuhan bagi anak berusia 0-3 tahun adalah sebanyak 735 kkal per hari.

(15)

Tabel 4 Angka Kecukupan Energi

No Umur Berat (kg) Tinggi (cm) AKE

Energi (kkal) Anak 1 0 – 6 bulan 6,0 60 550 2 7 – 11 bulan 8,5 71 650 3 1 – 3 tahun 12,0 90 1000 4 4 – 6 tahun 18,0 110 1550 5 7 – 9 tahun 25,0 120 1800 Pria 6 10 – 12 tahun 35,0 138 2050 7 13 – 15 tahun 48,0 155 2400 8 16 – 18 tahun 55,0 160 2600 9 19 – 29 tahun 60,0 165 2550 10 30 – 49 tahun 62,0 165 2350 11 50 – 64 tahun 62,0 165 2250 12 = 65 tahun 62,0 165 2050 Wanita 13 10 – 12 tahun 38,0 145 14 13 – 15 tahun 49,0 152 15 16 – 18 tahun 50,0 155 16 19 – 29 tahun 52,0 156 17 30 – 49 tahun 55,0 156 18 50 – 64 tahun 55,0 156 19 = 65 tahun 55,0 156 Hamil 20 Trisemester 1 + 180 21 Trisemester 2 + 300 22 Trisemester 3 + 300 Menyusui 23 6 bulan pertama + 500 24 6 bulan kedua + 550 Sumber: WNPG, 2004.

Angka Kecukupan Air dan Elektrolit

Air merupakan komponen utama dari tubuh, rata-rata tiap orang memiliki 60% air dari berat tubuhnya. Semua sistem di dalam tubuh tergantung oleh air. Sebagai contoh, air akan membilas racun dari organ vital, membawa zat gizi ke sel tubuh dan menghasilkan kelembaban bagi jaringan telinga, hidung dan tenggorokan. Kurangnya air dalam tubuh dapat menyebabkan kurang cairan atau dalam kondisi lebih parah dapat terjadi dehidrasi, yaitu keadaan yang timbul

(16)

karena tubuh kekurangan air sehingga tidak dapat menjalankan fungsi normalnya. Lalu berapa sebenarnya kebutuhan air minum per hari bagi manusia?. Menurut Wolf (Sutrisno, C. Totok, 2006), untuk orang dewasa kira-kira memerlukan air sebanyak 2.200 gram setiap harinya.

Kebutuhan dan kecukupan air bervariasi antara individu satu dengan lainnya maupun pada individu yang sama. Penentuan kecukupan dan kebutuhan air ditentukan dengan metode keseimbangan antara pengeluaran dengan asupan. Besarnya kebutuhan air dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, suhu dan kelembaban lingkungan serta aktifitas fisik. Rekomendasi bagi masyarakat Indonesia berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) Tahun 2004 adalah sebagaimana terlihat pada tabel 5.

Kategori Kondisi Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis maupun sosial. Hal ini terkait dengan fungsi makanan yaitu gastronomic, identitas budaya, religi dan magis, komunikasi, lambang status ekonomi serta kekuatan dan kekuasaan. Standar yang digunakan dalam identifikasi masalah konsumsi dan ketersediaan pangan adalah meliputi aspek kuantitas dan kualitas. Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2004 ditetapkan standar kuantitas jumlah gizi yang dianjurkan yaitu: Angka Kecukupan Energi sebesar 2000 kkal/kapita/hari untuk tingkat konsumsi dan 2200 kkal/kapita/hari untuk tingkat ketersediaan. Berdasarkan tingkat konsumsi/ketersediaan energi (TKE) yaitu perbandingan antara jumlah konsumsi/ketersediaan energi aktual dengan AKE (konsumsi/ketersediaan pangan) dikalikan 100%, maka kondisi konsumsi/ketersediaan pangan dapat dikategorikan sebagai berikut : 1) > 120% (over), 2) 90-119% (normal), 3) 80-89% (defisit ringan), 4) 70-79% (defisit sedang) dan 5) < 70% (defisit berat). (Laporan Akhir Konsumsi Gizi. Departemen Kesehatan RI, 1996).

(17)

Tabel 5 Angka Kecukupan Air

Kelompok Umur AKG (2004) (liter/hari) Bayi 0 – 6 bulan 7 – 12 bulan 0.8 1.0 Anak 1 – 3 tahun 4 – 6 tahun 7 – 9 tahun 1.1 1.4 1.6 Pria 10 – 12 tahun 13 – 15 tahun 16 – 18 tahun 19 – 29 tahun 30 – 49 tahun 50 – 64 tahun = 65 tahun 1.8 2.1 2.2 2.5 2.4 2.3 1.5 Wanita 10 – 12 tahun 13 – 15 tahun 16 – 18 tahun 19 – 29 tahun 30 – 49 tahun 50 – 64 tahun = 65 tahun 1.9 2.1 2.1 2.0 2.0 2.0 1.5 Hamil 2.3 Menyusui 2.8 Sumber: WNPG, 2004

Gambar

Gambar 1  Fase/tahapan penanggulangan bencana         Sumber:  Sunarti, E., dkk, 2007
Tabel 1  Rasio penggunaan cadangan pangan FAO   Keterangan  Studi Lama (1974)   Studi Terbaru
Tabel 2  Proyeksi produksi dan permintaan beras (1999-2004)  Tahun  Produksi  Padi  Ketersediaan Beras 1)  Konsumsi RT   Permintaan Antara  Total  Permintaan  Defisit  (impor)  1999  50401783  29530405  25299157  6488639  32156927  (2626522)  2000  5117941
Tabel  3   Luas panen dan produksi tanaman padi sawah dan padi  ladang  per kecamatan Kabupaten Lampung Barat Tahun 2007
+2

Referensi

Dokumen terkait

Melahirkan murid-murid yang memiliki jati diri yang kukuh dengan membina identiti nasional. Murid dapat menguasai asas muzik.. 2. Bilik muzik menjadi lebih

Seorang pembicara juga merupakan seorang aktor dihadapan audiennya. Penggunaan ekspresi yang tepat sesuai tema pembicaraan kita akan dapat membuat audien menjadi lebih semangat

Dengan didapatkannya beberapa kesimpulan, maka diharapkan kelakuan dinamis struktur jembatan penyeberangan orang akibat beban manusia yang bergerak bisa lebih

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh efek perlakuan subjek yang kelompok kontrol latihan pernapasan jalan enam menit selama 6 minggu dengan kelompok subjek yang

Kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak direncanakan dan tidak terkendali yang disebabkan oleh faktor manusia, situasi, dan lingkungan atau gabungan dari ketiganya,

bahwa dengan telah terbentuknya Kabupaten Bener Meriah berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2003 dan dalam rangka mengisi Keistimewaan di Provinsi Nanggroe Aceh

Saya ibu/bapa/penjaga* kepada pelajar di atas dengan ini memberi keizinan untuk anak/anak jagaan* saya menjalani pembedahan yang mana keadaan dan tujuannya adalah

Jika tidak adanya penggunaan energi berlebih atau masih dalam standar konsumsi energi yang efisien maka tidak perlu dilakukannya usaha penghematan energi yang besar, namun