• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan Sap 6

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pembahasan Sap 6"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

BAB II

PEMBAHASAN

PEMBAHASAN

2.1. Kriteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme 2.1. Kriteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme 2.1.1. Menimbang Biaya dan Keuntungan Sosial 2.1.1. Menimbang Biaya dan Keuntungan Sosial

Utilitarianisme

Utilitarianisme  berasal  berasal dari dari Bahasa Bahasa latinlatin utilis,utilis, yang berarti berguna, berfaedah,yang berarti berguna, berfaedah, menguntungkan. Menurut aliran ini prinsip pokok yang harus dikedepankan dalam berbuat menguntungkan. Menurut aliran ini prinsip pokok yang harus dikedepankan dalam berbuat adalah asas manfaat atau keuntungan.

adalah asas manfaat atau keuntungan. The greatest happiness of the greatest number.The greatest happiness of the greatest number. SumberSumber kesenangan diukur menurut intensitas dan lamanya perasaan tersebut, akibatnya, dan lain-lain. kesenangan diukur menurut intensitas dan lamanya perasaan tersebut, akibatnya, dan lain-lain. Kegunaan atau keuntungan menjadi prinsip, norma, kriteria, dan cita-cita moral. Perilaku dan Kegunaan atau keuntungan menjadi prinsip, norma, kriteria, dan cita-cita moral. Perilaku dan  perbuatan

 perbuatan manusia manusia dikatakan dikatakan baik baik jika jika mendatangkan mendatangkan keuntungan keuntungan dan dan kegunaan. kegunaan. DenganDengan demikian, utulitarianisme merupakan sebuah istilah umum untuk semua pandangan yang demikian, utulitarianisme merupakan sebuah istilah umum untuk semua pandangan yang menyatakan bahwa tindakan dan kebijakan perlu dievaluasi berdasarkan keuntungan dan biaya menyatakan bahwa tindakan dan kebijakan perlu dievaluasi berdasarkan keuntungan dan biaya yang dibebankan kepada masyarakat.

yang dibebankan kepada masyarakat.

Pendekatan utilitarianisme sering disebut dengan pendekatan konsekuensialis, karena Pendekatan utilitarianisme sering disebut dengan pendekatan konsekuensialis, karena menekankan pentingnya konsekuensi atas keputusan yang diambil. Kualitas moral suatu menekankan pentingnya konsekuensi atas keputusan yang diambil. Kualitas moral suatu  perbuatan,

 perbuatan, baik baik maupun maupun buruknya buruknya tergantung tergantung pada pada konsekuensi konsekuensi atau atau akibat akibat yang yang ditimbulkan.ditimbulkan. Seperti keputusan moral yang diambil perusahaan Caltex saat mereka mengklaim bahwa Seperti keputusan moral yang diambil perusahaan Caltex saat mereka mengklaim bahwa  perusahaan

 perusahaan perlu perlu memindahkan memindahkan pusat pusat operasinyake operasinyake daerah daerah Afrika Afrika Selatan Selatan karena karena dinilaidinilai mendatangkan konsekuensi yang paling menguntungkan. Dalam situasi apapun, tindakan atau mendatangkan konsekuensi yang paling menguntungkan. Dalam situasi apapun, tindakan atau kebiajakan yang benar adalah yang memberikan keuntungan paling besar atau biaya yang paling kebiajakan yang benar adalah yang memberikan keuntungan paling besar atau biaya yang paling rendah. Istilah yang digunakan untuk mengacu hanya pada keuntungan yang diperoleh dari suatu rendah. Istilah yang digunakan untuk mengacu hanya pada keuntungan yang diperoleh dari suatu tindakan adalah utilitas. Dengan demikian, istilah

tindakan adalah utilitas. Dengan demikian, istilah UtilitarianismeUtilitarianisme digunakan untuk semua teoridigunakan untuk semua teori yang mendukung pemilihan tindakan atau kebijakan yang memaksimalkan keuntungan atau yang mendukung pemilihan tindakan atau kebijakan yang memaksimalkan keuntungan atau menekan biaya. David Hume, Jeremy Bentham, dan John Stuart Mill adalah sebagian dari menekan biaya. David Hume, Jeremy Bentham, dan John Stuart Mill adalah sebagian dari  penggagas aliran ini.

(2)

Banyak analisis yang meyakini bahwa cara terbaik untuk mengevaluasi kelayakan suatu keputusan bisnis adalah dengan mengandalkan pada analisis biaya-biaya keuntungan utilitarian. Tindakan bisnis yang secara social bertanggungjawab adalah tindakan yang mampu memberikan keuntungan terbesar atau biaya terendah bagi masyarakat. Lembaga-lembaga pemerintah, ahli teori hokum, kaum moralis dan sejumlah analisis bisnis mendukung utilitarisme.

2.1.2. Utilitarianisme Tradisional

Jeremy Bentham (1749-1832) sering dianggap sebagai pendiri utilitarianisme tradisional. Bentham berusaha untuk mencari dasar objektif dalam membuat keputusan yang mampu memberikan norma yang dapat diterima publik dalam menetapkan kebijakan peraturan social. Cara yang paling menjanjikan dalam memperoleh dasar objektif adalah dengan melihat pada  berbagai kebijakan yang dapat ditetapkan dan membandingkan keuntungan, serta

konsekuensi-konsekuensinya. Tindakan yang tepat dari sudut pandang etis adalah memilih kebijakan yang mampu memberikan utulitas paling besar.

Prinsip utilitarianisme adalah suatu tindakan yang dianggap benar dari sudut pandang etis  jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah utilitas total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dilakukan. Prinsip utilitarian mengasumsikan  bahwa kita bisa mengukur dan menambahkan kuantitas keuntungan yang dihasilkan oleh suatu

tindakan dan menguranginya dengan jumlah kerugian dari tindakan tersebut dan selanjutnya menentukan tindakan mana yang menghasilkan keuntungan paling besar atau biaya paling kecil.

Prinsip utilitarian menyatakan bahwa tindakan yang benar dalam suatu situasi adalah tindakan yang menghasilkan utilitas besar dibandingkan kemungkinan tindakan lainnya. Namun, ini tidak berarti tindakan yang benar adalah tindakan yang menghasilkan utilitas paling besar  bagi orang yang melakukan tindakan tersebut. Tetapi, suatu tindakan dianggap benar jika

menghasilkan utilitas paling besar bagi semua orang yang terpengaruh oleh tindakan tersebut. Demikian juga prinsip utilitarian tidak menyatakan bahwa suatu tindakan benar sejauh keuntungan dari tindakan tersebut lebih besar dari biayanya. Dalam analisis terakhit utilitarian meyakini bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang memberikan keuntungan paling besar

(3)

dibandingkan dengan keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dari semua tindakan alternatif lainnya.

Dengan demikian, untuk memastikan apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu,  perlu dilakukan tiga hal, yaitu:

1. Tentukan tindakan-tindakan alternatif apa yang harus dilakukan dalam situasi tersebut. 2. Utnuk setiap tindakan alternatif ditentukan keuntungan, dan biaya langsung, serta tidak

langsung yang akan diperoleh dari tindakan tersebut pada masa yang akan dating.

3. Alternatif yang memberikan utilitas paling besar wajib dipilih sebagai tindakan yang secara etis tepat.

Utilitarianisme juga menjadi dasar teknik analisis biaya-keuntungan ekonomi. Jenis analisis ini digunakan untuk menentukan tingkat kelayakan investasi dalam suatu proyek dengan mencari tahu apa keuntungan ekonomi untuk saat ini dan masa mendatang. Terakhir kita bisa mencatat bahwa utilitarinisme sangat sesuai dengan nilai yang diutamakan seseorang, yaitu efisiensi. Efisiensi bisa berarti hal yang berbeda bagi orang yang berbeda pula. Namun, bagi  banyak orang efisiensi berarti melaksanakan sesuatu dalam suatu cara mampu menghasilkan  paling banyak dengan sumber daya yang ada.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa terdapat 3 (tiga) kriteria prinsip etika utilitarianisme (Keraf, 1998:94):

1. Manfaat, yaitu bahwa kebijakan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Suatu kebijakan atau tindakan adalah baik dan tepat secara moral  jika kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau keuntun gan.

2. Manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijakan atau tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar dibandingkan dengan alternatif lainnya. Di antara berbagai kebijakan atau tindakan yang sama baiknya, kebijaksanaan atau tindakan yang mendatangkan manfaat terbesar adalah tindakan yang baik.

3. Manfaat terbesar diterima oleh sebanyak mungkin orang. Di antara berbagai kebijakan atau tindakan yang sama-sama mendatangkan manfaat terbesar, kebijakan atau tindakan yang baik adalah kebijakan atau tindakan yang bermanfaat bagi lebih

(4)

 banyak orang. Jadi, suatu tindakan dikatakan baik, apabila tidak hanya mendatangkan manfaat terbesar, tetapi juga manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.

2.2. Nilai Positif Etika Utilitarianisme

Sampai sekarang, etika utilitarianisme mempunyai daya Tarik tersendiri, yang bahkan melebihi daya tarik etika deontologis. Etika utilitarianisme ini tidak memaksakan atas sesuatu yang asing. Etika ini menggambarkan apa yang sesungguhnya dilakukann oleh orang yang rasional dalam menggambil keputusan, khususnya keputusan moral, termasuk dalam bidang  bisnis.

Menurut Keraf (1998:96) terdapat 3 (tiga) nilai positif etika utilitarianisme, yaitu: 1. Rasional

Prinsip moral yang diajukan etika utilitarianisme tidak didasarkan pada peraturan- peraturan kaku yang tidak dipahami atau tidak diketahui keabsahannya. Etika

utilitarianisme ini memberikan kriteria yang objektif dan rasional. 2. Otonom

Etika utilitarianisme ini sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral untuk berpikir dan bertindak dengan hanya memperhatikan 3 (tiga) kriteria objektif dan rasional seperti yang sudah diuraikan sebelumnya. Tidak ada paksaan bahwa orang harus bertindak dengan cara tertentu yang tidak diketahui alasannya.

3. Universal

Etika utilitarianisme ini sangat mengutamakan manfaat atau akibat dari suatu tindakan  bagi banyak orang. Suatu tindakan dinilai bermoral apabila tindakan tersebut memberi

manfaat terbesar bagi banyak orang.

2.3. Etika Utilitarianisme Sebagai Proses dan Standar Penilaian

Secara umum etika utilitarianisme dapat dipakai dalam dua wujud yang berbeda, yaitu: 1. Sebagai proses pengambilan keputusan

(5)

Etika utilitarianisme digunakan sebagai proses untuk mengambil keputusan. Etika ini dipakai untuk melakukan perencanaan yang mengatur sasaran atau target yang akan dicapai. Atau dengan kata lain etika utilitarianisme menjadi dasar utama dalam  penyusunan program atau perencanaan yang menyangkut kepentingan banyak orang.

Kriteria etika utilitarianisme lalu menjadi kriteria seleksi bagi setiap alternatif yang bisa diambil.

2. Sebagai standar penilaian

Etika utilitarianisme digunakan sebagai standar penilaian atas tindakan atau kebijakan yang telah dilakukan. Kriteria etika utilitarianisme benar-benar digunakan untuk menilai apakah tindakan atau kebijakan yang ditetapkan tersebut memang baik atau tidak. Ini  berarti bahwa pada wujud ini etika utilitarianisme sangat tepat digunakan untuk

mengevaluasi tindakan yang sudah dijalankan.

2.4. Analisis Keuntungan dan Kerugian

Sebagaimana telah disinggung, etika utilitarianisme sangat cocok dan sering dipakai untuk membuat perencanaan dan evaluasi bagi tindakan atau kebijaksanaan yang berkaitan dengan kepentinganbanyak orang. Karena itu, ia banyak dipakai, secara sadar atau tidak, dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan politik, ekonomi, sosial, dan semancamnya yang menyangkut kepentingan umum. Dalam pengembangan industri, peningkatan ekspor, bahkan pemberian monopoli, dan banyak kebijakan serupa sering secara disadari atau tidak selalu digunakan dasar  pemikiran kepentingan banyak orang. Kepentingan banyak orang ini dirumuskan dalam berbagai  bentuk sesuai dengan lingkup kebijaksanaan itu: peningkatan devisa negara, penciptaan lapangan

kerja, penurunan harga, dan sebagainya.

Dalam bidang ekonomi, etika utilitarianisme punya relevansi yang kuat dan dapat ditemukan dalam beberapa teori ekonomi yang popular. Sebut saja misalnya prinsip optimalitas dari Pareto, yang menilai lebih baik kalau dalam sistem itu paling kurang satu orang menjadi lebih baik keadaannya dan tidak ada orang yang menjadi lebih buruk keadaannya dibandingkan dengan sistem lainnya. Berdasarkan prinsip ini, pasar misalnya dianggap paling baik karena memungkinkan konsumen memperoleh keuntungan secara maksimal. Dengan kata lain, suatu sistem dinilai lebih baik karena mendatangkan manfaat lebih besar (paling kurang satu orang

(6)

menjadi lebih baik keadaannya dan tidak ada orang yang menjadi lebih buruk keadaannya) dibandingkan dengan sistem alternatif lainnya.

Dalam ekonomi, etika utilitarianisme juga relevan dalam konsep efisiensi ekonomi. Prinsip efisiensi menekankan agar dengan menggunakan sumber daya (input ) sekecil mungkin dapat dihasilkan produk (output ) sebesar mungkin. Dengan menggunakan sumber daya secara hemat harus bisa dicapai hasil yang maksimal. Karena itu, semua perangkat ekonomi harus dikerahkan sedemikian rupa untuk bisa mencapai hasil terbesar dengan menggunakan sumber data sekecil mungkin. Ini prinsip dasar etika utilitarianisme.

Dalam bidang bisnis, etika utilitarianisme juga mempunyai relevansi yang sangat kuat. Secara khusus etika ini diterapkan, secara sadar atau tidak, dalam apa yang dikenal dalam  perusahaan sebagai the cost and benefit analysis (analisis biaya dan keuntungan). Yang intinya  berarti etika ini pun digunakan dalam perencanaan dan evaluasi (atau reevaluasi) kegiatan bisnis suatu perusahaan, dalam segala aspek: produksi, promosi, penjualan, diversifikasi, pembukaan cabang, penambahan tenaga, penambahan modal, dan seterusnya.

Satu hal pokok yang perlu dicatat sejak awal adalah bahwa baik etika utilitarianisme maupun analisis keuntungan dan kerugian pada dasarnya menyangkut kalkulasi manfaat. Karena itu, etika utilitarianisme sangat sejalan dengan hakikat dan tujuan bisnis untuk mencari keuntungan. Hanya saja, apa yang dikenal dalam etika utilitarianisme sebagai manfaat (utility), dalam bisnis lebih sering diterjemahkan secara lurus sebagai keuntungan. Maka, prinsip maksimalisasi manfaat ditransfer menjadi maksimalisasi keuntungan yang tidak lain diukur dalam kerangka finansial. Sasaran akhir yang hendak dicapai lalu tidak lain adalah the greatest net benefit atau the lower net cost. Intinya, kebijaksanaan ataupun tindakan apa pun yang akan diambil oleh sebuah perusahaan harus punya sasaran akhir: dalam batas-batas yang bisa diukur, mendatangkan keuntungan keseluruhan paling besar dengan menekan biaya keseluruhan sekecil mungkin. Sebaliknya, suatu kebijaksanaan atau tindakan yang telah diambil perusahaan dinilai  baik kalau dan hanya kalau kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan kerugian keseluruhan

sekecil mungkin.

Persoalan pokok baru timbul menyangkut pertanyaan tujuan keuntungan untuk siapa? Sering kali analisis keuntungan dan kerugian terlalu menitikberatkan keuntungan bagi

(7)

 perusahaan. Bahkan De George ini yang menjadi inti perbedaan antara etika utilitarianisme dan analisis keuntungan dan kerugian yang dipakai dalam bisnis. Dalam analisis keuntungan dan kerugian, manfaat dan kerugian selalu atau terutama dikaitkan dengan perusahaan. Sedangkan  pada etika utilitarianisme, manfaat dan kerugian itu dikaitkan, dengan semua orang yang terkait. Tentu saja sebagaimana telah dikatakan, ini tidak salah. Namun, kalau kita boleh menggunakan kembali argument-argumen yang telah dikatakan pada bab sebelumnya, termasuk pendekatan  stakeholder, kini analisis keuntungan dan kerugian tidak lagi semata-mata tertuju langsung pada keuntungan bagi perusahaan. Atau, kalaupun betul bahwa sasaran pokok dalam analisis keuntungan dan kerugian adalah meningkatkan dan mempertahankan keuntungan perusahaan dan meminimalisisasi kerugian sebisa mungkin, ada beberapa hal penting yang perlu mendapat  perhatian, terutama jika analisis keuntungan dan kerugian ini ditempatkan dalam kerangka etika  bisnis.

Pertama, keuntungan dan kerugian, cost and benefits, yang dianalisis jangan semata-mata dipusatkan pada keuntungan dan kerugian bagi perusahaan, kendati benar bahwa ini sasaran akhir. Yang juga perlu mendapat perhatian adalah keuntungan dan kerugian bagi banyak pihak lain yang terkait dan berkepentingan, baik kelompok primer maupun sekunder. Jadi, dalam analisis ini perlu juga diperhatikan bagaimana dan sejauh mana suatu kebijaksanaan dan kegiatan  bisnis suatu perusahaan membawa akibat yang menguntungkan dan merugikan bagi kreditor,

konsumen, pemasok, penyalur, karyawan, masyarakat luas, dan seterusnya. Ini berarti etika utilitarianisme sangat sejalan dengan apa yang telah kita bahas sebagai pendekatan stakeholder.

Kalau dipikirkan secara mendalam, pertimbangan ini bukan hanya demi kepentingan kelompok terkait yang berkepentingan, melainkan justru pada akhirnya demi kepentingan (keuntungan) perusahaan itu sendiri. Karena, bisa saja suatu kebijaksanaan dan kegiatan bisnis terlihat sangat menguntungkan bagi perusahaan tetapi ternyata merugikan pihak tertentu, yang  pada akhirnya, dengan satu dan lain cara, khususnya dalam jangka panjang, akan secara negative

mempengaruhi keuntungan dan kelangsungan bisnis perusahaan tersebut. Karena itu, tetap dalam semangat etika utilitarianisme, adalah hal yang niscaya bahwa analisis keuntungan dan kerugian itu tetap dilakukan dalam semangat kriteria ketiga: bagi sebanyak mungkin pihak terkait yang  berkepentingan, yang berarti juga bagi keuntungan dan kepentin gan perusahaan tersebut.

(8)

Kedua, sering kali terjadi bahwa analisis keuntungan dan kerugian ditempatkan dalam kerangka uang (satuan yang sangat mudah dikalkulasikan). Tentu saja ini tidak ada salahnya.  Namun, dari segi etika dan demi kepentingan bisnis yang berhasil dan tahan lama, kecenderungan ini tidak memadai. Yang juga perlu mendapat perhatian serius adalah bahwa keuntungan dan kerugian di sini tidak hanya menyangkut aspek finansial, melainkan juga aspek-aspek moral: hak dan kepentingan konsumen, hak karyawan, kepuasan konsumen, dan sebagainya. Jadi, dalam kerangka klasik etika utilitarianisme, manfaat harus ditafsirkan secara luas dalam kerangka kesejahteraan, kebahagiaan, keamanan sebanyak mungkin pihak terkait yang berkepentingan.

Ketiga, bagi bisnis yang baik, hal yang juga mendapat perhatian dalam analisis keuntungan dan kerugian adalah keuntungan dan kerugian dalam jangka panjang. Ini pentung karena bisa saja dalam jangka pendek sebuah kebijaksanaan dan tindakan bisnis tertentu sangat menguntungkan, tetapi ternyata dalam jangka panjang merugikan atau paling kurang tidak memungkinkan perusahaan itu bertahan lama. Karena itu, benefits yang menjadi sasaran utama semua perusahaan adalah long term net benefits.

Biasanya unsur kedua dan ketiga sangat terkait erat. Aspek moral biasanya baru terlihat menguntungkan dalam jangka panjang, sedangkan dalam jangka pendek dirasakan sebagai merugikan. Membangun nama, reputasi, citra, brand memang tidak hanya didasarkan pada aspek keunggulan finansial, tapi terutama juga aspek moral. Ini biasanya tidak terjadi dalam semalam, tetapi melalui sebuah sejarah yang panjang. Hanya dalam jangka panjang menempatkan kejujuran, mutu, pelayanan, disiplin, dan semacamnya sebagai keunggulan suatu perusahaan baik ke dalam maupun ke luar masyarakat, lalu mempercayai perusahaan tersebut sebagai perusahaan yang hebat dan punya nama yang dipertaruhkan. Semua ini pada akhirnya bermuara pada satu hal: keuntungan yang akan dating dengan sendirinya karena kepentingan dan hak semua kelompok terkait yang berkepentingan diperhatikan, karena aspek-aspek moral diperhatikan, dank arena yang diutamakan adalah kepentingan jangka panjang dan bukan keuntungan sesaat. Untuk apa mengeruk keuntungan sesaat dengan menekan gaji karyawan di bawah standar yang wajar, tetapi pada akhirnya seluruh produk perusahaan itu diboikot dalam pasar internasional, karena diproduksi dengan mengeksploitasi manusia, yaitu buruh? Untuk apa merugikan kepentingan konsumen dengan menawarkan barang yang tidak sesuai dengan apa yang

(9)

diiklankan, kendati mendatangkan keuntungan besar, tapi dalam jangka panjang diprotes oleh konsumen, tidak hanya dalam negeri tetapi juga secara internasional? Demikian pila, lebih baik membayar gaji dan menjamin hak-hak karyawan secara maksimal, dengan akibat mereka bisa  berkonsentrasi penuh demi mengembangkan perusahaan, dari pada menekan gaji dan hak

karyawan demi keuntungan sesaat, tapi malah membuat karyawan tidak punya komitmen yang  baik dank arena itu bekerja seenaknya yang malah akan merugikan p erusahaan.

Dalam kaitan dengan ketiga hal tersebut di atas (keuntungan bagi semua pihak terkait, keuntungan dalam kaitang dengan aspek-aspek moral, dan keuntungan jangka panjang), menjadi  jelas bagi kita bahwa kendati etika utilitarianisme dapat membenarkan semua dan segala macam tindakan menipu dalam bisnis. Karena, pada akhirnya harus dipersoalkan apakah manfaat dari tindakan menipu itu juga untuk semua pihak terkait. Apakah tidak satu pun stakeholdes, primer dan sekunder, tidak merugikan? Kalau ternyata keuntungan itu hanya bagi perusahaan, tindakan menipu tersebut tidak bisa dibenarkan berdasarkan kriteria sebanyak mungkin pihak terkait harus mendapat manfaat dari tindakan itu. Kedua, apakah manfaat atau keuntungan itu juga menyangkut aspek-aspek moral ataukah hanya finansial? Kalau ternyata tindakan itu hanya menguntungkan secara finansial tetapi merugikan secara moral pihak tertentu, tindakan itu akan ditolak oleh etika utilitarianisme. Ketiga, apakah dalam jangka panjang tindakan itu juga menguntungkan, tidak hanya bagi semua pihak terkait, tapi juga bagi perusahaan tersebut? Kalau seandainya tindakan menipu itu, kendati dalam jangka pendek menguntungkan perusahaan, dalam jangka panjang merugikan perusahaan secara jauh lebih besar, maka dari sudut pandang etika utilitarianisme akan tidak diterima sebagai tindakan yang b aik dan etis.

Sehubungan dengan ketiga hal tersebut, langkah kongret yng perlu dilakukan dalam membuat sebuah kebijaksanaan bisnis adalah mengumpulkan dan mempertimbangkan alternatif kebijaksanaan dan kegiatan bisnis sebanyak-banyaknya. Semua alternatif kebijaksanaan dan kegiatan itu terutama dipertimbangkan dan dinilai dalam kaitan dengan manfaat bagi kelompok-kelompok terkait yang berkepentingan-atau paling kurang, alternatif yang tidak merugikan kepentingan semua kelompok terkait yang berkepentingan. Kedua, semua alternatif pilihan itu  perlu dinilai berdasarkan keuntungan yang dihasilkannya dalam kerangka luas menyangkut aspek-aspek moral. Ketiga, neraca keuntungan dibandingkan dengan kerugian, dalam segala aspek itu, perlu dipertimbangkan dalam kerangka jangka panjang. Kalau ini bisa dilakukan, pada

(10)

akhirnya ada kemungkinan besar sekali bahwa kebijaksanaan atau kegiatan yang dilakukan suatu  perusahaan tidak hanya menguntungkan secara finansial, melainkan juga baik dan etis.

Ini berarti setiap kebijaksanaa atau kegiatan bisnis yang pada akhrinya dalam jangka  panjnag akan merugikan salah satu kelompok terkait yang berkepentingan dan juga

 – 

  kendati secara finansial menguntungkan

 – 

  diperkirakan dalam jangka panjang merugikan perusahaan tersebut secara keseluruhan, harus dihindari. Timbul pertanyaan, bagaimana dengan kebijaksanaanatau kegiatan yang ternyata dalam jangka panjang tidak hanya menguntungkan  perusahaan tersebut melainkan juga sebagian kelompok terkait? Jawaban atas pertanyaan ini akan diberikan di bawah ini dalam kaitan dengan jalan keluar atas berbagai kelemahan etika utilitarianisme ini.

2.5. Kelemahan Etika Utilitarianisme 2.5.1.Masalah Penilian

Suatu rangkaian masalah dalam kaitannya dengan utilitarianisme terfokus pada hambatan-hambatan yang dihadapi saat menilai atau mengukur utilitas. Perbuatan baik dan etis didasarkan atas keadaan, manfaat atau keuntungan. Namun, pendapat aliran ini tidak  berlakusecara universal. Sebab, nilai guna tidak mungkin bermakna seragam pada semua

manusia. Apalagi dipergunakan untuk menilai persoalan moral. Dengan sifat humanistic dan universal yang diembannya, maka moral tidak akan pernah mungkin dinilai menurut versi kegunaan, manfaat, dan keuntungan sebagaimana diisyaratkan aliran utilitarianisme dengan argumentasi:

1. Bagaimana nilai utilitas dari berbagai tindakan yang berbeda pada orang-orang yang  berbeda dapat diukur dan dibandingkan. Jika kita tidak tahu tindakan-tindakan apa saja

yang memberikan nilai utilitas paling tinggi, maka kita juga tidak dapat menerapkan  prinsip-prinsip utilitarian.

2. Sejumlah biaya dan keuntungan tertentu tampak sangat sulit dinilai, misalnya,  bagaimana menilai nyawa atau kesehatan seseorang.

3. Banyak biaya dan keuntungan dari suatu tindakan tidak dapat diprediksi dengan baik, maka penilaian juga tidak dapat dilakukan dengan baik. Misalnya, akibat yang

(11)

menguntungkan atau merugikan dari sebuah ilmu pengetahuan yang sangat sulit diprediksi.

4. Sampai saat ini masih belum jelas apa yang bisa dihitung sebagai biaya. Tidak ada kejelasan ini sangat problematik khususnya berkaitan dengan masalah-masalah sosial yang dinilai sangat berbeda oleh berbagai kelompok budaya.

5. Asumsi utilitarian yang menyatakan bahwa semua barang dapat diukur atau dinilai mengimplikasikan bahwa semua barang dapat diperdagangkan. Jadi, untuk barang tertentu dinilai sebanding, satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut adalah menerima penilaian dari suatu kelompok sosial atau kelompok lain.  Namun, hal ini berarti mendasarkan analisis biaya-keuntungan pada bisnis dan

kecenderungan subjektif dari kelompok bersangkutan.

2.5.2.Tanggapan Utilitarian Terhadap Masalah Penilaian

Para pendukung utilitarianisme memberikan sejumlah tanggapan berikut ini untuk menghadapi keberatan-keberatan yang muncul:

1. Kaum utilitarian menyatakan bahwa, meskipun utilitarianisme idealnya mensyaratkan  penilaian-penilaian yang akurat dan dapat dikuantifikasikan atas biaya dan keuntungan.  Namun, persyaratan ini dapat diperlonggar jika penilaian seperti itu tidak dapat dilakukan. Utilitarianisme hanya menegaskan konsekuensi dari tindakan wajib dinyatakan dengan tingkat kejelasan dan ketepatan sebaik mungkin, dan bahwa semua informasi harus relevan. Sehubungan dengan konsekuensi-konsekuensi tersebut, haruslah disajikan dalam bentuk yang memungkinkan dilakukannya perbandingan secara sistematis antara yang satu dengan yang lain. Kaum utilitarian juga menunjuk  pada sejumlah kriteria akal sehat yang dapat digunakan untuk menentukan nilai relative yang perlu diberikan pada berbagai kategori barang. Satu kriteria misalnya, tergantung  pada instrinsik dan barang instrumental. Barang-barang instrumental adalah barang yang dianggap bernilai hanya karena barang-barang tersebut mengarah kepada hal-hal yang dianggap baik. Misalnya, berobat ke dokter gigi merupakan barang instrumental, tindakan tersebut hanya diinginkan atau dilakukan sebagai cara agar kita menjadi sehat. Sedangkan barang intrinsik adalah barang-barang yang diinginkan dan tidak tergantung

(12)

 pada keuntungan-keuntungan yang lain yang mungkin dihasilkan. Jadi, kesehatan adalah barang intrinsik; karena memang diinginkan.

2. Utilitarianisme juga bisa salah, menurut para kritikus, apabila diterapkan pada situasi-situasi yang berkaitan dengan keadilan sosial. Misalnya, upah subsistensi memaksa sekelompok pekerja pendatang untuk tetap melaksanakan pekerjaan yang paling tidak diinginkan dalam bidang pertanian dalam sebuah perekonomian, namun menghasilakan tingkat kepuasan sangat tinggi bagi mayoritas, karena kelompok mayoritas tersebut menikmati barang-barang produksi hasil pertanian yang murah dan memungkinkan mereka untuk memenuhi keinginan-keinginan lain.

2.5.3. Tanggapan Utilitarian Terhadap Pertimbangan Hak dan Keadilan

Untuk menangani keberatan dalam contoh-contoh yang diajukan oleh para kritikus utilitarianisme tradisional, kaum utilitarian mengajukan satu versi utilitarianisme alternatif yang cukup penting dan berpengaruh, yang disebut rule-utilitarianism (peraturan utilitarianism). Menurut rule-utilitarianism, saat menentukan apakah suatu tindakan dapat dianggap etis, kita tidak perlu mempertanyakan apakah tindakan tersebut diwajibkan oleh peraturan modal yang harus dipatuhi oleh semua orang.

Jadi teori rule-utilitarianism  memiliki pertimbangan yang dapat diringkas kedalam dua  prinsip berikut:

1. Suatu tindakan dikatakan benar dari sudut pandang etis, hanya jika tindakan tersebut dinyatakan dalam peraturan moral yang benar.

2. Sebuah peraturan moral dikatakan benar jika jumlah utilitas total yang dihasilkannya dan jika semua orang yang mengikuti peraturan tersebut lebih besar dari jumlah utilitas total yang diperoleh serta jika semua orang mengikuti peraturan moral alternatif lainnya.

Dengan demikian, menurut rule-utilitarianism, fakta bahwa sebuah tindakan tertentu mampu memaksimalkan utilitas dalam kondisi tertentu, tidak berarti bahwa tindakan itu benar dari sudut pandang etis. Jadi, ada dua batasan utama terhadap metode utilitarian dalam penalaran

(13)

moral, meskipun tingkat bahasan-bahasan ini masi kontroversial. Pertama, metode utilitarian ini cukup sulit digunakan saat menghadapi masalah nilai yang sulit atau mungkin tidak dapat diukur secara kuantitatif. Kedua, utilitarianisme tampak tidak mampu menghadapi situasi-situasi yang melibatkan masalah hak dan keadilan, meskipun ada beberapa pihak yang berusaha mengatasi hal ini dengan membatasi utilitarianisme hanya pada evaluasi peraturan.

BAB III

PENUTUP

3.1.KESIMPULAN

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Sutrisna.2014. Etika Bisnis;Konsep Dasar Implementasi&Kasus.Bali:Udayana University Press

(15)

KASUS

Proyek Pembangkit Listrik di Bali

Sampai saat ini, Bali belum memiliki pembangkit listrik yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Bali masih menerima pasokan dari rangkaian Listrik Jawa-Bali yang dialirkan melalui kabel bawah laut. Apabila Bali tidak memiliki pembangkit sendiri diprediksi lima tahun ke depan Bali akan gelap gulita dan industri pariwisata yang menjadi andalan ekonomi Bali terancam terganggu. Pasokan Jawa-Bali tidak mampu memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat dari jaringan kabel bawah laut sudah hampir habis manfaat ekonomisnya. Dari analisis terhadap beberapa alternatif pembangkit listrik yang memungkinkan di Bali, akhirnya diputuskan untuk menggunakan pembangkit tenaga panas bumi (geothermal). Ketika proyek sudah mulai dilaksanakan, ternyata banyak menuai penolakan dari beberapa unsur masyarakat. Penolakan seperti ini terjadi di hampir setiap proyek pembangkit listrik di Bali.

Pertanyaan:

(16)

 b. Jelaskan dampak positif dan negative dibangunnya pembangkit listrik di Bali! c. Mengapa masyarakat cenderung menolak proyek-proyek pembangkit listrik?

d. Bagaimana etika utilitarianisme dapat digunakan dalam perencanaan dan evaluasi suatu  proyek pembangkit listrik?

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Sebelum aliran yang melintasi bangunan pelimpah dikembalikan ke dalam sungai, maka aliran dengan kecepatan yang tinggi dalam kondisi super-kritis tersebut harus diperlambat

1. Siswa menggunakan cerita pada awal pembelajaran. Siswa menemukan strategi dari permasalahan yang diberikan. Siswa menggunakan tangram dalam menyelesaikan LAS dengan benar.

Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang

Kompetensi bisnis internasional ini akan mendukung kompetensi dalam merencanakan serta melaksanakan perdagangan luar negeri (ekspor dan impor) di era globalisasi dan

 Kelemahan khusus pada input sistem informasi pendaftaran dan penerimaan kas, persediaan, dan penggajian terdapat kelemahan pada formulir seperti: (1) Formulir

a) pemanfaatan layanan VCT baik oleh laki-laki maupun perempuan masih rendah. b) belum ada data tentang pemanfaatan layanan VCT yang terpilah menurut gender.. c)

kapasitas penangkapan dapat dikurangi sampai pada level dimana keberlanjutan kegiatan penangkapan akan terjamin (Kirkley dan Squires, 1999). Untuk menjamin kelangsungan