• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEGAL GAPS DAN LEGAL CONFLICT : PROBLEM MENDASAR PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA 1 Oleh: Ahmad Zaenal Fanani, SHI., M.Si 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LEGAL GAPS DAN LEGAL CONFLICT : PROBLEM MENDASAR PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA 1 Oleh: Ahmad Zaenal Fanani, SHI., M.Si 2"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

LEGAL GAPS DAN LEGAL CONFLICT : PROBLEM MENDASAR

PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA 1 Oleh:

Ahmad Zaenal Fanani, SHI., M.Si 2

1. Pendahuluan

Dewasa ini hukum undang-undang merupakan kenyataan yang kehadiran dan legitimasinya tidak perlu dipertanyakan lagi. Walaupun kita juga menyadari bahwa hukum undang-undang itu sesungguhnya juga merupakan bentuk invensi peradaban barat yang menyebar ke berbagai penjuru dunia akibat ekspansi kekuasaan imperial dan kolonial barat.3

Sebagaimana kita ketahui bahwa pada saat Indonesia masih di bawah kekuasaan koloni pemerintah hindia belanda terdapat dua sistem hukum yang berlaku, yaitu hukum yang berbasis tradisi rakyat bagi orang-orang Indonesia asli yang secara generik disebut de inlanders yang kemudian dikenali dengan istilah hukum adat, dan hukum barat yang diberlakukan bagi orang-orang eropa.4 Kebijakan dualisme pemerintah kolonial ini mengakui dan menerima berlakunya tertib hukum adat secara bersamaan dan berdampingan dengan berlakunya sistem hukum eropa dengan ruang yurisdiksi masing-masing yang eksklusif.5

Ketika bangsa Indonesia merdeka dan terbebas dari penjajah, kebijakan dualisme di atas tidak dipakai lagi. Revolusi dan transformasi kehidupan telah

1 Artikel penulis ini pernah dimuat di Majalah Hukum Komisi Yudisial, artikel ini dikirim

ke www.pta-mataram.go.id agar bisa dibaca oleh banyak Hakim dilingkungan PTA Mataram dan dengan harapan bisa meningkatkan kualitas Hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan.

2

Hakim Pengadilan Agama Sumbawa Besar, Alumni Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, sekarang sedang menyelesaikan studi program Doktor Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

3

Soetandyo Wingnjosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat: Perkembangan dan Masalah, Malang, Bayumedia, 2008, Hlm 59.

4 Ibid, hlm. 117.

5 Ketentuan ini termuat dalam pasal 75 Reglemen Tata Pemerintahan Hindia Belanda

(2)

dilaksanakan secara menyeluruh untuk menghapus sistem hukum kolonial dan membentuk unifikasi hukum nasional yang baru sebagai gantinya. Walhasil pada era Soekarno semangat antikolonialisme tersebut mengarah kepada antidualisme.

Pada zaman Soeharto, dinamika pembangunan sistem hukum lebih diarahkan secara sistematis untuk didayagunakan sebagai sarana merekayasan berbagai aspek kehidupan rakyat yang pada sebelumya (era koloni dan soekarno) hukum hampir tidak digunakan sebagai alat kontrol rakyat. Jargon “pembagunanisme” dan pendayagunaan hukum sebagai a tool of social engineering telah menjadikan hukum dan kebijakan pemerintah menjadi tidak ramah terhadap keberlakuan tradisi-tradisi lokal dan hukum adat yang pada masa koloni diakui dan mempuyai posisi signifikan.

Gerakan sistematis atas nama pembangunan hukum nasional pada era orde baru, menurut Soetandyo Wignjosoebroto, menyebabkan tradisi lokal dan hukum adat yang berakar ada keyakinan etnik-etnik terpinggirkan. Hukum nasional yang difungsikan sebagai sarana rekaya sosial demi tercapainya pembangunan seringkali sulit dimengerti dan diterima oleh masyarakat. Masyarakat awam merasa bahwa alam kehidupan mereka tidak lagi bersuasana alam kehidupan kedaerahan setempat yang otonom.6

Cita-cita nasional untuk menyatukan Indonesia sebagai satu kesatuan politik dan di bawah pemerintahan yang berhukum tunggal telah mengabaikan fakta kemajemukan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Alih-alih menyadari dan mempertimbangkan ulang kebijakan yang ada, justru kebijakan unifikasi hukum itulah yang selalu dikukuhkan.

Perubahan yang didominasi motif-motif politik dengan legitimasi hukum undang-undang telah metransformasi kehidupan dari wujudnya sebagai komunitas-komunitas etnis lokal tradisional ke suatu negara yang tunggal, modern, sentral dan nasional. Perubahan transformatif itu bukan tanpa masalah. Progresi di aras supra

(3)

yang etatis tidak selamanya dapat diimbangi oleh dinamika perubahan di aras infra yang populis. Tidak dipahaminya kebijakan dan isi kandungan hukum undang-undang oleh rakyat awam yang tersebar diberbagai satuan etnik mencerminkan dengan jelas bahwa dalam pembangunan hukum di Indonesia telah terjadi cultural

gaps dan legal gaps.7

Di sini subtansi hukum negara dan subtansi moral hukum rakyat tidak hanya tidak selaras, akan tetapi juga berselisih dan menghasilkan ruang yang menganga. Kondisi semacam ini tentu merupakan bukti nyata adanya legal gaps dalam pembangunan hukum di Indonesia. Jika tidak dicarikan jalan keluar yang baik fenomena legal gaps ini bisa berubah menjadi legal conflict dan cultural conflict. Sebab tidak jarang ruang menganga itu menimbulkan situasi yang secara diametrikal berlawanan dan ujungnya bisa menimbulkan konflik-konflik yang serius di masyarakat.

3. Legal gaps, legal conflict dan tradisi civil law system

Potensi legal gaps dan legal conflict seolah menjadi sulit dihindari ketika suatu hukum telah bertransformasi menjadi undang-undang. Namun, legislasi hukum ke dalam bentuk yang rijid (tertulis) seperti undang-undang ini justru merupakan prinsip yang utama dalam kultur Civil Law System (Romawi-Jerman atau corak keluarga Eropa Kontinental), sistem hukum yang diadopsi Indonesia sekarang ini. Kehadiran corak keluarga sistem hukum ini merupakan produk historis yang dibawa oleh Kolonial Belanda, yang kemudian mengejawantah ke dalam aspek substansi, struktur, dan budaya hukum Indonesia sampai sekarang.8

Jika dijabarkan, maka terdapat pokok-pokok konsep dalam Civil Law

System yang memiliki problematika di dalamnya karena memicu munculnya

problematika dalam ruang Tata Hukum Indonesia, yakni antara lain: Pertama, dalam

7 Ibid, hlm. 121.

8 Ulasan panjang tentang karakteristik tradisi civil law system bisa dilihat dalam Shidarta,

(4)

kultur Civil Law System, hukum haruslah tertulis atau dituangkan dalam bentuk undang-undang (prinsip legisme).9 Undang-undang memiliki kelebihan dalam memenuhi tujuan kepastian, namun ia juga memiliki kelemahan karena sifatnya akan menjadi tidak fleksibel, kaku, dan statis. Penulisan adalah pembatasan, dan pembatasan atas suatu hal yang sifatnya abstrak (pembatasan dalam konteks materi) dan dinamis (pembatasan dalam konteks waktu) seperti halnya value consciousness masyarakat ke dalam suatu undang-undang secara logis akan membawa kepada konsekuensi ketertinggalan substansi undang-undang tersebut atas bahan pembentuknya (nilai-nilai masyarakat), dan dengan demikian fenomena legal gap dan

legal conflict akan selalu menjadi konsekuensi lanjutan yang tidak dapat terhindari.

Suatu undang-undang memang memiliki mekanisme pembaharuan (legal

reform) sebagai upaya meminimalisir sifat ketidak dinamisannya, namun setiap orang

juga mengetahui bahwa memperbarui suatu undang-undang baik melalui proses legislasi maupun proses ajudikasi oleh hakim bukanlah perkara yang gampang untuk dilakukan. Proses legislasi tidak dapat dipungkiri juga merupakan manifestasi proses pergulatan politik, dimana untuk menghasilkan suatu undang-undang yang baru tidak akan dapat dilangsungkan dalam waktu yang singkat karena membutuhkan upaya pencapaian kesepakatan atas kelompok-kelompok dengan visi dan misi yang berbeda-beda.

Sedangkan pembaruan oleh hakim melalui putusannya (proses ajudikasi) juga tidak bisa dilakukan secara maksimal, karena kultur Civil Law System menghendaki hakim untuk mendasarkan diri secara ketat kepada bunyi undang-undang sehingga hal ini menyebabkan hakim dalam kultur Civil Law System tidak dapat menyimpang terlalu jauh dari apa yang telah tertulis di undang-undang, walaupun undang-undang tersebut telah ketinggalan jaman.10

9

Ade Maman Suherman, “Pengantar Perbandingan Sistem Hukum,” Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 68.

10 Joeni Arianto Kurniawan, Hukum Adat dan Problematika Hukum di Indonesia, dimuat

(5)

Kedua, kultur Civil Law System mendasarkan diri pada filsafat positivisme hukum.11 Dengan demikian, dalam Civil Law System terdapat konsep bahwa tujuan utama yang disasar oleh hukum bukanlah keadilan melainkan kepastian, karena filsafat positivisme mengutamakan hal yang sifatnya jelas dan pasti (positif) di atas segalanya dengan alas an bahwa hanya hal yang bersifat pasti saja yang dapat dijadikan ukuran kebenaran.12

Dua hal di atas itulah yang merupakan konsep pokok dalam Civil Law

System, yang jika dikaitkan dengan proses pengembanan Hukum Indonesia

pokok-pokok pikiran di atas menyimpan problematika yang bersifat mendasar sehingga jika diterapkan dalam ruang Tata Hukum Indonesia seperti halnya yang terjadi saat ini secara logis akan menjadi pemicu munculnya problematika dalam proses pembangunan hukum Indonesia. Dengan demikian sekarang telah jelas tergambar bahwa adanya problematika pembangunan hukum Indonesia adalah bagian dari permasalahan sistem hukum Indonesia (Civil Law System).

2. Alternatif solusi untuk mengatasi legal gaps dan legal conflict

Menurut Soetandyo Wingnjosoebroto ada tiga alternatif kebijakan yang sistematis dan terprogram untuk mengatasi problem legal gaps dan legal conflict, dan alternatif ini harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap pembangunan hukum nasional.

Pertama adalah kebijakan mendayagunakan wibawa sanksi hukum guna memaksa masyarakat agar mematuhi peraturan hukum undang-undang yang sudah dipositifkan, dari kesetiaannya sebagai partisipan popular order ke kesesitaannya sebagai national legal order. Kebijakan ini jika tidak dikelola dengan baik bisa mengakibatkan tradisi-tradisi dan kearifan-keraifan local yang merupakan nilai yang hidup di daerah rentan tergerus.

11 Ade Maman Suherman, op cit, hlm. 68.

12 Harun Hadiwijoyo, “Seri Sejarah Filsafat Barat 2,” Yogyakarta, Kanisius, 1980, hlm.

(6)

Kedua adalah langkah kebijakan yang dilakukan dengan melakukan penyuluhan dan membangkitkan kesadaran baru di masyarakat. Langkah ini terkesan lebih edukatif dan bersifat persuasif. Dan langkah ketiga adalah langkah kebijakan

legal reform, yakni suatu langkah yang dikerjakan dengan cara melakukan revisi atau

pembaharuan atas bagian-bagian tertentu dalam kandungan hukum undang-undang yang telah ada sedemikian rupa agar hukum negara dapat berfungsi lebih adatif pada situasi-situasi riil yang terdapat dalam kehidupan warga masyarakat. 13

Langkah-langkah tersebut di atas sebenarnya belum menyentuh pada persoalan subtanstif dari legal gaps dan legal conflict karena tiga langkah tersebut masih memprioritaskan hukum tertulis dalam bentuk hukum undang-undang sebagai ciri utama civil law system.

Sebagaimana uraian di atas, dalam kultur Civil Law System hukum diidentikkan dengan undang-undang, tidak ada hukum di luar undang-undang, sehingga satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang,14 disebabkan hanya undang-undang sajalah bentuk hukum yang dapat memenuhi kriteria positivistik sebagaimana di atas. Dengan adanya konsep demikian, maka nalar hukum yang terbentuk adalah bahwa sumber hukum yang ada hanyalah undang-undang, sehingga rujukan tentang sistem nilai yang ada adalah apa yang telah diatur dalam undang-undang dan bukan sistem-sistem nilai yang lain (seperti halnya nilai yang berkembang di masyarakat). Sehingga, dari sini dapat terlihat bahwa selama suatu hal telah diatur dengan undang-undang secara jelas, maka tanpa alasan apapun undang-undang tersebut harus ditegakkan karena dialah hukumnya, walaupun secara substansi justru bertentangan dengan nilai-nilai dan rasa keadilan masyarakat.

Pada akhirnya, adanya suatu legal gap dan legal conflict antara value

consciousness yang ada di masyarakat dengan yang ada pada substansi

13

Soetandyo Wingnjosoebroto, op.cit, hlm. 126

14

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, “Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum,” Bandung ,Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 56.

(7)

undang bukanlah dianggap sebagai suatu persoalan karena apa yang adil tidaklah diukur dari seberapa mampukah masyarakat merasakannya sebagai suatu hal yang sesuai dengan rasa keadilan mereka melainkan seberapa sesuaikah putusan hakim yang ada dengan bunyi aturan dalam undang-undang.

Dalam sistem hukum semacam ini yang menjadi mahkota bukan keadilan akan tetapi kepastian hukum. Padahal menurut Gustav Radbruch dari tiga tujuan hukum (kepastian, keadilan, dan kemanfaatan) keadilan harus menempati posisi yang pertama dan utama dari pada yang kepastian dan kemanfaatan. 15 Bahkan dapat dikatakan dalam seluruh sejarah filsafat hukum selalu memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan sebagai suatu tujuan hukum.16

Untuk itulah, sebagai alternatif solusi lain atas problem legal gaps sebagai akibat dari civil law system adalah perlu adanya kebijakan memperkokoh kembali posisi hukum adat dalam sistem hukum di Indonesia.

Hukum adat dijadikan sebagai sumber hukum utama pembuatan hukum undang-undang. Lebih-lebih hukum adat adalah hukum asli Indonesia, sedangan

Civil Law System adalah sistem hukum hasil transplantasi kekuasaan asing ke dalam

bumi Indonesia melalui praktek kolonialisme pemerintah Belanda di wilayah nusantara.17

15 Pada awalnya, Gustav Radbruch menyatakan bahwa tujuan kepastian menempati

peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II –dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu-, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri. Bahwa hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya.Van Apeldoorn, “Inleiding Tot De Studie van Het Nederlandse Recht (terjemahan),” Jakarta,Pradnya Paramita, 1985, hlm. 23.

16 Theo Huijbers, “Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah,” Yogyakarta, Kanisius, 1982,

hlm. 288.

17 Civil Law System merupakan sistem hukum yang berkesejarahan pada peradaban Eropa

(8)

Hukum adat adalah hukum yang bersumber pada ugeran-ugeran atau norma kehidupan sehari-hari yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang Indonesia asli dalam hal ini sebagai pernyataan rasa keadilan dalam hubungan pamrih,18 sehingga jelas sekali terlihat bahwa hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia19 yang dibuat oleh masyarakat Indonesia sendiri secara turun-temurun berdasarkan value consciousness mereka yang termanifestasi dalam kebiasaan-kebiasaan hidup sehari-hari dengan menggunakan ukuran nalar dan rasa keadilan mereka. Sistem nilai yang hidup di dalam masyarakat yang mengelola keteraturan di antara mereka inilah yang oleh Snouck Hurgronje–sewaktu ia menulis buku tentang masyarakat Aceh yang berjudul De Atjehers- dinamakan sebagai Adatrecht atau yang kemudian biasa diterjemahkan sebagai: Hukum Adat.

Hukum adat adalah manifestasi value consciousness dan karakteristik masyarakat Indonesia yang membedakannya dengan sistem hukum lain, sehingga berfungsi sebagai perwujudan hukum asli dan pencerminan jiwa bangsa serta rasa keadilan rakyat Indonesia. Dengan adanya kedudukan hukum adat sebagai perwujudan hukum asli dan pencerminan jiwa bangsa serta rasa keadilan dari rakyat Indonesia ini, maka hukum adat seharusnya memiliki peran sentral dalam pembangunan Hukum Indonesia.20

Di samping hukum adat, juga perlu dipertimbangkan sebagai alternatif solusi meminimalisir legal gaps adalah untuk memporkokoh kembali posisi hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia. Hukum Islam yang hanya berlaku bagi

kekuasaan Napoleon Bonaparte yang menganeksasi hampir keseluruhan wilayah Eropa daratan pada awal abad ke-19.18 Sehingga, Civil Law System adalah sistem hukum yang berdasarkan pada filsafat, paradigma berpikir, serta karakteristik peradaban Eropa barat, yang oleh karenanya bukan merupakan sistem hukum yang berlandaskan pada filsafat, paradigma berpikir, dan karakteristik asli bangsa Indonesia. Lihat Joeni Arianto Kurniawan, op.cit, hlm. 10.

18

Djojodigoeno dalam: Surojo Wignjodipuro, “Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,” Bandung, Alumni, 1979, hlm. 7.

19 ibid, hlm. 24.

20 Moh. Koesnoe, “Hukum Adat, Dalam Alam Kemerdekaan Nasional dan Persoalan

(9)

rakyat yang beragama Islam yang jumlahnya masyoritas. Hal ini dikarenakan hukum Islam seringkali bersentuhan langsung dengan sendi dasar dan realitas kehidupan masyarakat sehari-hari, memiliki kaitan yang sangat erat dengan aspek teologis (keimanan), sehingga berimplikasi kuat terhadap perhatian masyarakat untuk melaksanakan hukum tersebut secara konsisten.

Hukum Islam yang harus digali dan dikembangkan adalah nilai-nilai dasar yang universal dan berorientasi pada maqashid syariah (tujuan-tujuan hukum Islam atau God’s Intention). Maqashid syariah adalah menyelamatkan manusia dari dunia sampai akherat. Salah satu aspek maqashid syariah membagi tiga skala prioritas yang saling melengkapi. Pertama, daruriat (al-daruriyyat: “keharusan-keharusan” atau “keniscayaan-keniscayaan”), yaitu sesuatu yang harus ada demi kelangsungan kehidupan manusia. Jika sesuatu itu tidak ada, maka kehidupan manusia pasti akan hancur. Tujuan-tujuan daruri (al-mashalih al-daruriyyat) itu adalah menyelamatkan agama, jiwa, akal, harta, keturunan dan kehormatan. Kedua, hajiat (al-hajiyyat: “kebutuhan-kubutuhan”), yaitu sesuatu dibutuhkan demi kelangsungan kehidupan manusia. Jika sesuatu itu tidak ada, maka kehidupan manusia tidak akan hancur, tetapi kesulitan-kesulitan akan menghadang. Ketiga, tahsiniat (al-tahsiniyyat atau proses-proses dekoratif ornamental). Artinya, ketiadaan hal-hal dekoratif ornamental tidak akan menghancurkan tujuan daruri, tetapi kehadirannya akan memperindah pencapaian tujuan daruri ini.21

Dari paparan di atas, jika kembali pada pemikiran Von Savigny bahwa hukum adalah cerminan jiwa mayoritas rakyat, maka hukum adat dan hukum Islam-lah yang merupakan cerminan jiwa mayoritas bangsa Indonesia.22

21

Lihat Makalah Yudian Wahyudi, RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan : Dari Maqashid Syariah ke Fikih Indonesia (Sebuah Catatan Metodis), disampaikan pada “Seminar Nasional Hukum Materiil Peradilan Agama: Antara Cita, Realita, Dan Harapan”, yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHI2M) bekerjasama dengan Majalah Mimbar Hukum, pada tanggal 19 Pebruari 2010, di Hotel RED TOP, Pecenongan Raya, Jakarta Pusat.

(10)

Dengan adanya kedudukan secara yuridis-normatif, filosofis, maupun secara sosiologis dari hukum adat dan hukum Islam yang menempati posisi sentral dalam Tata Hukum Indonesia, yakni sebagai sumber hukum (welbron) dan raw

material dalam pembentukan hukum Indonesia maupun sebagai basis dari

pembangunan dan pengembangan hukum Indonesia secara keseluruhan, maka dapat dipastikan bahwa adanya fenomena legal gap sebagai dasar problematika substantif hukum Indonesia dengan sendirinya akan teratasi, karena hukum yang nantinya akan terbangun adalah hukum yang bersubstansikan langsung dari nilai-nilai yang hidup dan dipraktekkan oleh mayoritas masyarakat.23 Dengan demikian hukum akan selalu linier dengan tuntutan keadilan bagi seluruh atau mayoritas masyarakat.

3. Penutup

Fenomena legal gaps sudah menjadi kenyataan dalam pembangunan dan penegakan hukum di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari tidak dipahaminya kebijakan dan isi kandungan hukum undang-undang oleh rakyat awam yang tersebar diberbagai satuan etnik. Subtansi hukum negara dan subtansi moral hukum rakyat tidak hanya tidak selaras, akan tetapi juga berselisih dan menghasilkan ruang yang menganga. Kondisi semacam ini tentu merupakan bukti nyata adanya legal gaps dalam pembangunan hukum di Indonesia. Jika tidak dicarikan jalan keluar yang baik fenomena legal gaps ini bisa berubah menjadi legal conflict dan cultural conflict. Sebab tidak jarang ruang menganga itu menimbulkan situasi yang secara diametrikal berlawanan dan ujungnya bisa menimbulkan konflik-konflik yang serius di masyarakat.

Legislasi hukum ke dalam bentuk yang rijid (tertulis) seperti undang-undang ini justru merupakan prinsip yang utama dalam kultur Civil Law System. Undang-undang memiliki kelebihan dalam memenuhi tujuan kepastian, namun ia

(11)

juga memiliki kelemahan karena sifatnya akan menjadi tidak fleksibel, kaku, dan statis. Penulisan adalah pembatasan, dan pembatasan atas suatu hal yang sifatnya abstrak (pembatasan dalam konteks materi) dan dinamis (pembatasan dalam konteks waktu) seperti halnya value consciousness masyarakat ke dalam suatu undang-undang secara logis akan membawa kepada konsekuensi ketertinggalan substansi undang-undang tersebut atas bahan pembentuknya (nilai-nilai masyarakat), dan dengan demikian fenomena legal gap dan legal conflict akan selalu menjadi konsekuensi lanjutan yang tidak dapat terhindari. Dengan demikian adanya problematika pembangunan hukum Indonesia adalah bagian dari permasalahan sistem hukum Indonesia (Civil Law System).

Ada banyak alternatif solusi atas legal gaps dan legal conflict yang sudah dikemukakan oleh para pakar diantaranya adalah pertama adalah dengan kebijakan mendayagunakan wibawa sanksi hukum guna memaksa masyarakat agar mematuhi peraturan hukum undang-undang yang sudah dipositifkan. Kedua adalah langkah kebijakan yang dilakukan dengan melakukan penyuluhan dan membangkitkan kesadaran baru di masyarakat. Ketiga adalah langkah kebijakan legal reform, yakni dengan cara melakukan revisi bagian-bagian tertentu dalam kandungan hukum undang-undang.

Akan tetapi 3 solusi tersebut belum menyentuh pada subtansi persoalan

legal gaps sebagai akibat dari civil law system, sehingga diperlukan solusi lain atas

problem legal gaps sebagai akibat dari civil law system yaitu kebijakan memperkokoh kembali posisi hukum adat dan hukum Islam sebagai sumber hukum utama dalam sistem hukum di Indoneisa. Hukum adat sebagai hukum asli Indonesia dijadikan sebagai sumber hukum utama pembuatan hukum undang-undang. Hukum Islam yang dijadikan sumber hukum nasional adalah nilai-nilai dasar yang universal dan berorientasi pada maqashid syariah (tujuan-tujuan hukum Islam atau God’s

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Soetandyo Wingnjosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat: Perkembangan dan Masalah, Malang, Bayumedia, 2008.

Shidarta, Karakteristik penalaran hukum dalam konteks keindonesiaan, Bandung: CV. Utomo, 2009, cet. Ke-2.

Ade Maman Suherman, “Pengantar Perbandingan Sistem Hukum,” Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004.

Joeni Arianto Kurniawan, Hukum Adat dan Problematika Hukum di Indonesia, dimuat dalam Majalah Hukum “Yuridika” FH Unair, Volume 23, No. 1 Januari-April 2008.

Harun Hadiwijoyo, “Seri Sejarah Filsafat Barat 2,” Yogyakarta, Kanisius, 1980. Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, “Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum,”

Bandung ,Citra Aditya Bakti, 2004

Van Apeldoorn, “Inleiding Tot De Studie van Het Nederlandse Recht (terjemahan),” Jakarta,Pradnya Paramita, 1985.

Theo Huijbers, “Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah,” Yogyakarta, Kanisius, 1982.

Djojodigoeno dalam: Surojo Wignjodipuro, “Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,” Bandung, Alumni, 1979.

Moh. Koesnoe, “Hukum Adat, Dalam Alam Kemerdekaan Nasional dan Persoalan Menghadapi Era Globalisasi (Kumpulan Lima Makalah),” Ubhara Press, Surabaya, 1996.

Yudian Wahyudi, RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan : Dari Maqashid Syariah ke Fikih Indonesia (Sebuah Catatan Metodis), makalah disampaikan pada “Seminar Nasional Hukum Materiil Peradilan Agama: Antara Cita, Realita, Dan Harapan”, yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHI2M) bekerjasama dengan Majalah Mimbar Hukum, pada tanggal 19 Pebruari 2010, di Hotel RED TOP, Pecenongan Raya, Jakarta Pusat.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh diferensiasi produk terhadap brand image pasta gigi Sensodyne pada mahasiswa Fakultas Ekonomi dan

Frame relay melakukan enkapsulasi pada paket data, menggunakan indentitas koneksi Data Link Connection Identifet (DLCI), yang dimana pembuatan jalur circuit virtual akan

Penyelenggaraan SPIP pada tingkatan pemerintah Kota Cilegon dilakukan oleh satuan tugas yang disebut Satuan Tugas Penyelenggara SPIP pemerintah Kota Cilegon

Hasil studi bertujuan untuk mengetahui fenomena aliran dan perpindahan panas pada elliptical tube banks , ditinjau secara kualitatif menggunakan visualisasi

Pada hari pertama ditemukan bahwa sebagian guru-guru belum begitu paham cara mengembangkan model-model, pendekatan, dan metode-metode mengajar dalam RPP sesuai

Dari sini dapat ditarik definisi hermeneutika hukum adalah ajaran filsafat mengenai hal mengerti /memahami sesuatu, atau sebuah metode interpretasi terhadap teks

Dilihat dari sudut sistem hukum (legal system) 5 yang terdiri dari substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal

Berdasarkan uji ANOVA yang telah dilakukan pada bab sebelumnya diperoleh informasi bahwa pada keenam rasio yang diuji ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan antara