• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERAPI PEMAAFAN UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA ISTRI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA NASKAH PUBLIKASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TERAPI PEMAAFAN UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA ISTRI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA NASKAH PUBLIKASI"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TERAPI PEMAAFAN UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA ISTRI KORBAN

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan Kepada Program Studi Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia

Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Master Psikologi

Oleh:

Asih Prihantini, S.Psi 15915036

PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA

(2)

1

FORGIVENESS THERAPY TO INCREASE

THE PSYCHOLOGICAL WELL-BEING OF WIVES AS DOMESTIC VIOLENCE VICTIMS

Asih Prihantini, S.Psi

Dr. H. Fuad Nashori, M.Si., Psikolog Rumiani, S.Psi., M.Psi., Psikolog

ABSTRACT

The purpose of the study was to determine the effectivity of forgiveness therapy to psychological well-being levels of wives as domestic violence victims. Subjects in this study were wives aged 25-45 years and they were victims of domestic violence who had average or low psychological well-being. The scale used in this research was psychological well-being scale by Pebriatati (2011) that adapted from Ryff”s Psychlogical Well-being Scale. The data analyzed by Mann Whitney. The results of the measurement before intervention was obtained value Z=-1.257and p= 0.209 (p > 0.05). While on 1th post test obtained value Z= -2.611 and p = 0.009 (p<0.01). Then on 2nd post test obtained value Z= - 2.619 and p = 0.009 (p<0.01). The result of the hypothesis show that there was significant level differences in psychological well-being between the experimental and cotrol goup.

Keyword: Forgiveness therapy, Psychological well-being, Wives as domestic violence victims.

(3)

2

Ham-Rowbotton, Gordon, Javris, dan Novaco (2005) menemukan bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami kebingungan dalam menentukan kehidupan mereka sehingga memiliki kepuasan hidup yang rendah. Selain itu, mereka juga sulit berperan dalam lingkungan sosialnya bahkan mengalami depresi dimana permasalahan tersebut membuat kesejahteraan psikologis mereka tidak terpenuhi. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Karakurt, Smith, dan Whiting (2015) juga menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangannnya menunukkan gejala depresi, tidak memperdulikan kondisi mereka sendiri, bingung menghadapi situasi, marah, takut dengan hubungan dengan oranglain di masa depan, sulit menjalin komunikasi dengan orang lain dan merasa tidak memiliki teman untuk diajak berbicara. Hal ini juga menunjukkan adanya kecenderungan kesejahteraan psikologis yang rendah pada diri mereka (Karakurt, Smith & Whiting, 2015)

Sitala (2014) menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga memiliki kesejahteraan psikologis yang rendah. Ryff (1998) mengungkapkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan kondisi dimana individu mampu mengelola lingkungannya, menerima keadaan diri, dapat mengambil keputusan sendiri, memiliki tujuan hidup ke depan, mampu untuk menumbuhkan kepribadian lebih baik lagi, serta menjalin hubungan yang postif kepada orang lain. Oleh karena itu kesejahteraan psikologis tersebut merupakan hal penting bagi individu. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bradburn (1969) bahwa individu yang memiliki kesejahteraan psikologis mampu merasakan kebahagiaan dalam hidupnya.

Kesejahteraan psikologis yang ada pada diri individu dapat menjadikan individu lebih merasakan hal positif ketimbang hal negatif dalam memaknai kejadian dalam kehidupan mereka (Bradburn, 1969). Ryff dan Keyes (1995) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kesejahteraan psikologis mampu untuk merima kodisi dirinya sepenuhnya. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi psikologis yang dialami oleh para korban kekerasan dalam rumah tangga.

(4)

3

Kompasiana.com (2015) menuliskan bahwa kerugian yang didapatkan oleh korban kekerasan dalam rumah tangga ada yang material dan immaterial. Kerugian material lebih bersifat ekonomi, sedangkan kerugian immaterial bersifat psikis atau mental. Hal ini berkaitan dengan kondisi kejiwaan korban. Jika korban tidak dapat segera melupakan perbuatan pidana yang menimpanya, akan menyebabkan tekanan psikis, di mana untuk menyembuhkannya dibutuhkan waktu yang cukup lama.

Kesejahteraan psikologis seseorang dapat dipengaruhi oleh usia dan juga kebutuhan hidup seseorang (Ryff & Keyes, 1995). Tidak hanya itu saja, keyakinan atau religiusitas seseorang juga mampu untuk mempengaruhi kesejahteraan psikologis seorang individu dalam kehidupannya (Akhtar, Dolan & Barlow, 2016). Akhtar, Dolan, dan Barlow (2016) juga menyebutkan bahwa pemaafan dapat dijadikan dukungan dalam religiusitas dan juga spiritualitas seseorang untuk mendapatkan kesejahteraan psikologis dalam diri individu tersebut.

Enright (2003) mengatakan bahwa pemaafan merupakan proses individu untuk tidak melakukan balas dendam kepada pelaku yang telah menyakitinya, serta dapat kembali menerima dan berhubungan baik dengan orang yang telah meyakiti individu itu. Nashori (2012) mengungkapkan bahwa pemaafan merupakan kesediaan seseorang untuk dapat menumbuhkembangkan pikiran, perasaan dan menjalin hubungan dengan orang lain secara positf dari perasaan tidak menyenangkan ketika memiliki permasalahan dalam hubungan interpersonal dengan orang lain.

Islam juga mengajarkan setiap orang untuk memaafkan kesalahan orang lain. Hal tersebut sesuai firman Allah sebagai berikut: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Asy-Syura: 40)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa seseorang yang mampu untuk memafkan, maka Allah yang akan memberikan tanggungan terhadap pahala yang diperolehnya. Allak saja mampu untuk mengampuni kesalahan hambanya, maka

(5)

4

sudah sepatutnya sebagai sesama manusia yang kedudukannya sama di mata Allah mampu untuk saling memaafkan satu sama lain. hal ini seperti yang tercantum dalam ayat berikut: “Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (At-Taghabun: 14).

Salah satu cara mengembangkan potensi seseorang untuk melakukan pemaafan dengan cara melakukan terapi pemaafan. Akhtar dan Barlow (2016) menemukan bahwa terapi pemaafan efektif untuk menurunkan tingkat depresi, kemarahan dan kebencian, stres dan distress, serta menumbuhkan perasaan positif. Terapi pemaafan juga mampu untuk mengembangkan trait dan state pemaafan pada individu (Akhtar & Barlow, 2016).

Reed dan Enright (2006) menemukan bahwa perempuan korban kekerasan emosional yang melakukan terapi pemaafan lebih mampu untuk mengelola lingkungannya dibandingkan dengan mereka yang masih menyimpan kemarahan terhadap orang yang menyakitinya. Oleh karena itu, adanya pemaafan pada diri seseorang membuat tekanan darah menjadi normal, memiliki kemampuan mengelola kemaran yang lebih baik, hubungan yang lebih sehat, meningkatkan kesehatan jiwa dan raga, dan penurunan stres (Gani, 2015).

Penelitian yang telah dilakukan oleh Akhtar, Dolan, dan Barlow (2016) menemukan bahwa adanya pemaafan pada diri seseorang mampu menghasilkan kesejahteraan mental. Ketika individu mampu meamaaafkan maka individu tersebut akan mau untuk menerima orang lain yang pernah menyakitinya. Selain itu, individu yang menerapkan pemaafan dalam kehidupan seharihari mampu untu mengontrol emosi negatif dalam dirinya dan merubahnya menjadi perasaan yang lebih positif. Hal ini akan membuat individu merasa lebih tenang jika mengalami permasalahan konflik dengan orang lain dan membuat kecemasan idividu itu berkurang.

Adanya pemaafan dalam diri seseorang, diharapkan mampu untuk dapat memberikan dukungan terhadap peningkatan kesejahteraan psikologis seseorang terutama bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini seperti penelitian yang dilakukan oleh Karremans, Van Lange, Klewer, dan Ouwerkerk (2003)

(6)

5

menjelaskan bahwa ketika individu mampu untuk memaafkan, maka akan mampu untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis individidu itu sendiri.

Berdasarkan penjelasan yang telah peneliti sampaikan, maka dari itu peneliti ingin mengetahui pengaruh terapi pemaafan terhadap kesejahteraan psikologis pada istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Metode Penelitian Subjek Penelitian

Kriteria subjek penelitian ini adalah wanita berusia 21-45 tahun. Para subjek merupakan wanita yang sudah pernah menikah dan pernah mendapatkan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga oleh suami. Selain itu para subjek memiliki skor kesejahteraan psikologis kisaran rendah sampai sedang dan bersedia untuk mengikuti serangkaian proses dalam penelitian ini, serta mampu membaca dan menulis.

Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan model rancangan penelitian yang digunakan adalah randomized pretest-postetest control group design dimana eksperimen dilakukan dengan menggunakan pengukuran awal (prates) untuk mengetahui perbedaan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen (Latipun, 2004). Desain ini bertujuan untuk melihat pengaruh suatu intervensi terhadap kelompok yang dikenakan perlakuan dan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan.

Penelitian ini dilakukan pada dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan eksperimen dengan jumlah peserta masing-masing kelompok sebanyak 5 orang. Kelompok eksperimen akan mendapatkan perlakuan berupa terapi pemaafan. Materi dan prosedur terapi pemaafan akan peneliti susun dalam bentuk modul. Kelompok kontrol diperlakukan dalam daftar tunggu yang akan diberikan perlakuan setelah seluruh proses intervensi berakhir.

(7)

6 Tabel 1. Rancangan Penelitian

Kelompok Prates Perlakuan Pascates 1 Pascates 2 Eksperimen (KE) Y1 X Y2 Y3 Kontrol (KK) Y1 -X Y2 Y3 Keterangan : KE : kelompok eksperimen KK : kelompok kontrol Y1 : pengukuran prates Y2 : pengukuran pascates 1 Y3 : pascates 2 X : perlakuan -X : tanpa perlakuan

Prates dilakukan seminggu sebelum intervensi dilaksanakan. Intervensi kelompok eksperimen dan kontrol dilakukan pada hari yang berbeda. Pasca tes kelompok eksperimen dalam penelitian ini akan diberikan setelah dilaksanakannya proses intervensi kepada para subjek. Pasca tes kelompok kontrol akan diberikan pada saat intervensi, namun sebelum dimulainya intervensi dilakukan.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan memalui metode wawancara, observasi, dan skala psikologi. Variabel kesejahteraan psikologis diukur dengan mengadaptasi skala kesejahteraan psikologis oleh Pebriatati (2011) dari Psychological well-being scale (Ryff, 1989) yang terdiri dari 29 aitem. Selain itu peneliti mengadaptasi skala pemaafan (Nashori, 2015) yang terdiri dari 14 aitem untuk mengukur pemaafan sebagai tolak ukur dari intervensi terapi pemaafan yang diberikan.

Skala kesejahteraan psikologis yang digunakan terdiri dari 6 indikator yaitu penerimaan diri, pengembangan diri, tujuan hidup penguasaaan lingkungan, kemandirian dan hubungan positif dengan orang lain. Uji coba skala pada 100 wanita diperoleh 29 aitem terpakai (koefisien korelasi aitem total bergerak dari 0.302 sampai 0.661) dengan koefisien reliabilitas α sebesar 0. 906.

(8)

7

Tabel 2.

Blueprint Skala Kesejahteraan Psikologis

Aspek Sebaran Aitem Jumlah

Favourable Unfavourable 1. Autonomy 2. Environmental mastery 3. Personal Growth 4. Positive Relations 5. Purpose in life 6. Self-acceptance 17, 9, 20 8, 28, 10 26 1 3, 18 4 19, 24 2, 16 5, 6, 11 15, 22, 29 12, 23, 25, 13, 27 7, 14, 21 5 5 4 4 7 4 Total 11 18 29

Skala pemaafan dibuat berdasarkan 3 dimensi pemaafan, yaitu dimensi emosi, pikiran dan perilaku. Skala pemaafan terdiri dari 14 aitem. Uji coba skala dihasilkan dengan koefisien reliabilitas α sebesar 0.950.

Tabel 3

Blueprint Skala Pemaafan

Aspek Sebaran Aitem

Jumlah Favorable Unfavorable 1. Emosi 2, 1 4, 12 4 2. Kognisi 6, 7 5 3 3. Interpersonal 3, 8, 11 9, 10, 14, 13 7 TOTAL 7 7 14 Prosedur Intervensi

Intervensi kepada para subjek menggunakan terapi pemaafan. Proses intervensi dilakukan oleh seorang psikolog sebagai fasilitator yang akan memberikan arahan dan penjelasan kepada para subjek. Intervensi yang diberikan terdiri dari 4 kali pertemuan. Setiap pertemuan dilakukan kurang lebih 120 menit. Intervensi yang diberikan kepada kelompok kontrol dan eksperimen adalah sama. Hal yang membedakannya adalah waktu pelaksanaan saja yang berbeda antara kelompok kontrol dan eksperimen.

(9)

8 Metode Analisis Data

Analisis data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan analisis uji beda skor rerata antara dua kelompok. Peneliti juga menggunakan teknik analisis data kualitatif terhadap hasil observasi dan wawancara anggota kelompok. Analisis data kuantitatif menggunakan paket perangkat lunak SPSS 20,0. Analisis non parametrik uji beda akan menggunakan teknik mann whitney test.

Hasil Penelitian

Uji hipotesis menggunakan teknik Two Independent Sample Test dengan uji Mann Whitney sehingga diperoleh nilai mann whitney u sebesar 6.500 dengan p = 0.209 (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan skor tingkat kesejahteraan psikologis yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen pada prates. Sedangkan pada saat pascates menunjukkan bahwa ada perbedaan skor kesejahteraan psikologis antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dalam pascates. Hal ini dibuktikan dengan perolehan nilai sebesar 0.00 dengan p = 0.009 (p<0.01) pada saat pascates 1. Selanjutnya, pada saat pascates 2 mendapat perolehan nilai sebesar 0.00 dengan p = 0.009 (p<0.01). Nilai tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan skor kesejahteraan psikologis antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen saat pascates 2.

Hasil uji Mann Whitney terhadap tingkat pemaafan diperoleh nilai Z = -1.257 dengan p = 0.209 (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan skor tingkat pemaafan yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen pada prates. Sedangkan pada saat pascates menunjukkan bahwa ada perbedaan skor pemaafan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dalam pasca tes. Hal ini dibuktikan dengan perolehan nilai Z = -2.619 dengan p = 0.009 (p<0.01) pada saat pascates 1. Selanjutnya, pada saat pascates 2 mendapat perolehan nilai Z = -2.619 dengan p = 0.009 (p<0.01). Nilai tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan skor pemaafan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen saat pascates 2.

(10)

9 Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas terapi pemaafan terhadap peningkatan kesejahteraan psikologis pada perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa terapi pemaafan efektif meningkatkan kesejahteraan psikologis perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Kesejahteraan psikologis merupakan sebuah kondisi di mana seseorang mampu untuk berperan dan menjalankaan perilaku positif dalam kehidupannya untuk membuat individu merasa lebih sejahtera. Ryff (1998) berpendapat bahwa individu yang memiliki kesejahtearaan psikologis mampu untuk dapat menerima kondisi yang terjadi, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu beradaptasi dengan baik, dan terus bertumbuh secara personal. Siltala (2014) menemukan bahwa individu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga memiliki kesejahteraan psikologis yang rendah. Para korban cenderung merasa tidak bisa menerima kondisi yang sedang mereka rasakan.

Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa para subjek yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga memiliki kesejahteraan psikologis yang rendah seperti yang ditunjukkan dari hasil prates pada kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen. Karakurt, Smith, dan Whiting (2014) menemukan bahwa perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga memiliki dampak negatif terhadap kesejahteraan psikologis.

Salah satu yang dapat berikan kepada para subjek yang merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah dengan terapi pemaafan. Reed dan Enright (2006) menemukan bahwa terapi pemaafan mampu meningkatkan kesehatan mental perempuan yang mengalami kekerasan secara emosional. Meek dan McMinn (1997) mengungkapkan bahwa pemaafan bukan hanya sekedar tehnik terapi saja melainkan juga salah satu cara yang mampu memberikan efek positif untuk dapat mengembangkan diri individu secara personal dan dapat memulihkan perasaan negatif yang dimiliki oleh inidividu.

(11)

10

Berdasarkan hasil dari penelitian ini diketahui bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian dapat diterima. Hasil dari analisis kuanititatif yang dilakukan menunjukkan bahwa terapi pemaafan efektif meningkatkan kesejahteraan psikologis pada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji hipotesis yaitu diperolehnya nilai Z = -2.611 dan p = 0.009 (p<0.01). Hasil ini juga disertai dengan perbedaan tingkat pemaafan antara kelompok kontrol dan eksperimen, yaitu Z = -2.619 dan p = 0.009 (p<0.01). Setelah diberikan perlakuan berupa terapi pemaafan, subjek dari kelompok eksperimen mengalami peningkatan dalam kesejahteraan psikologis yang dimilikinya. Sedangkan kelompok kontrol tidak mengalami peningkatan dalam kesejahteraan psikologis yang dimilikinya. Terapi pemaafan memberikan pengaruh terahadap kesejahteraan psikologis dan pemaafan dengan effect size sebesar 75% dan 76%.

Hasil penelitian ini juga menunjukan persamaan hasil peneltian seperti yang dilakukan oleh Freedman dan Enright (2017). Penelitian tersebut menemukan bahwa terapi pemaafan secara signifikan efektif untuk memulihkan kondisi kesehatan mental seseorang yang mengalami kekerasan disertai dengan meningkatnya pemaafan seseorang untuk memafkan orang yang telah melakukan kekerasan. Sejalan dengan penelitian tersebut, Lamb (2005) mengatakan bahwa terapi pemaafan dapat memperbaiki kesehatan mental individu yang menjadi korban kekerasan karena melalui pemaafan individu dapat menerima kondisi dan berempati terhadap orang yang yang telah menyakiti. Individu yang menjadi korban kekerasan biasanya membutuhkan waktu untuk melakukan proses pemaafan hingga akhirnya individu tersebut mampu sepenuhnya menerima dan berempati kepada orang yang telah menyakitinya.

Wang dan Kanungo (2004) menjelaskan bahwa individu yang memiliki relasi sosial yang banyak memiliki kesejahteraan psikologis lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang memiliki sedikit relasi. Pada perolehan hasil skor yang dilakukan pada saat pascates 2 menunjukkan bahwa subjek RH dan DS memiliki skor yang tidak jauh berbeda dan paling tinggi dibandingkan dengan subjek lainnya. Hal ini dikarenakan DS dan RH memiliki relasi yang banyak

(12)

11

terhadap lingkungan disekitarnya. RH mengatakan bahwa RH memiliki banyak relasi dan teman di lingkungan tempat RH berjualan. Begitupun dengan DS yang memiliki relasi sosial yang lebih banyak.

Berdasarkan hasil pascates 2 juga diketahui ada perbedaan tingkat kesejahteraan psikologis antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan nilai Z = -2.619 dan p = 0.009 (p<0.01). Hasil tersebut juga bersamaan dengan adanya perbedaan peningkatan skor pemaafan pada kelompok kontrol dan eksperimen, yaitu dengan nilai Z = -2.619 dan p = 0.009 (p<0.01). Dengan demikian penelitian ini juga menemukan hasil yang sama seperti peneltian yang telah dilakukan oleh Lamb (2005) di mana individu yang mengalami kekerasan akan terus mengalami peningkatan dalam jangka waktu tertentu untuk melakukan pemaafan sepenuhnya.

Subjek SR dan NY yang tergabung dalam kelompok eksperimen mengungkapkan bahwa dirinya menjadi lebih mampu bersikap ketika SR harus berhadapan dengan suaminya. Sebelumnya SR merasa jengkel dan cenderung tidak dapat mengontrol emosi ketika berbicara dengan suaminya. Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Reed dan Enright (2006) yang mengatakan bahwa terapi pemaafan mampu untuk meningkatkan kemampuan seseorang yang mengalami kekerasan emosional untuk dapat lebih percaya diri, meningkatkan pemaafan, mampu beradaptasi dengan baik, serta mampu menemukan hikmah dari kejadian yang dialami.

Pernyataan yang disampaikan juga sesuai dengan hasil temuan lainnya dalam peneltian ini. Subjek penelitian dari kelompok eksperimen merasakan adanya perubahan kondisi yang lebih baik antara sebelum mengikuti pelaksanaan kegiatan terapi pemaafan dan setelah mengikuti pelaksanaan kegiatan terapi pemaafan. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran pemaafan yang dimiliki oleh subjek pada kelompok eksperimen, yaitu ada perbedaan tingkat pemaafan yang signifikan antara sebelum dan sesudah pelaksanaan terapi.

Selain itu, Dorlan dan Barlow (2016) menyebutkan bahwa pemaafan merupakan salah faktor kuat yang dalam memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan individu. Individu yang mampu menerapkan pemaafan untuk

(13)

12

mengatasi permasalahan yang dihadapinya akan dapat menyesuaikan diri dengan peristiwa yang terjadi padanya. Individu juga mampu untuk mengontrol diri menjadi individu yang lebih positif untuk mencapai kesejahteraan psikologis.

Subjek yang menerapkan pemaafan dalam kegaitan sehari-sehari mereka juga merasakan kondisi yang lebih baik. AW mengatakan bahwa saat AW mulai untuk mendoakan orang yang telah menyakitinya, AW merasa kondisinya lebih lega dan lebih dapat menerima kondisi yang sedang AW rasakan. Setelah melalakukan terapi pemaafan AW, DS, SR mengatakan bahwa mereka tidak merasakan kesepian lagi. Para subjek merasa bahwa tidak hanya mereka saja yang mengalami permasalahan dalam rumah tangga.

Perasaan yang dirasakan oleh para subjek sejalan dengan pendapat yang dikemukakn oleh Hafeez dan Rafique (2013), yaitu ada bukti empiris mengenai religiusitas sangat berkaitan dengan kesejahteraan psikologis. Artinya religiusitas menjadi salah satu prediktor dalam kesejahteraan psikologis. Penelitian lain yang dilakukan oleh Kashab, Kashab, Mohammmadi, Zarabipur dan Malekpour (2015) menunjukkan bahwa religiusitas merupakan salah satu faktor dan memiliki kontrobusi yang signifikan dalam menentukan kesehatan mental dan juga kesejahteraan psikologis yang dimiliki oleh seseorang.

Temuan lainnya yang didapatkan dalam penelitian ini adalah subjek dengan usia yang lebih matang memiliki tingkat pemaafan dan kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dibandingan subjek dengan usia lebih muda meskipun tidak signfikan. Relasi dengan orang memiliki pengaruh yang lebih kuat untuk dapat menerima pemaafan dan merasakan kesejahteraan psikologis dibandingkan dengan faktor usia. hal ini ditunjukkan pa saat pascates 1, subjek dengan usia lebih matang memiliki pemaafan dan kesejahteraan psikologis yang cukup tinggi.

Namun pada sat pascates 2, subjek dengan usia yang lebih muda juga memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang hampir sama tinggi. Creed dan Watson (2003) juga menjelaskan bahwa faktor usia memiliki pengaruh yang lebih rendah dibandingkan dengan faktor relasi sosial terhadap kesejahteraan psikologis individu.

(14)

13

Individu yang memiliki tingkat pemaafan yang tinggi akan mampu mengontrol emosi mereka ketika berhadapan dengan sebuah permasalahan ataupun dengan orang yang telah menyakiti (Nashori, 2012). Individu dengan pemaafan yang tinggi akan mampu menahan amarah ketika berhdapan dengan orang yang telah menyakiti (Enright, 2003). Penelitian ini menemukan bahwa subjek yang dapat mengontrol amarahnyadan mampu menentukan sikap yang positif kepada orang yang telah menyakitinya juga mimiliki kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapatkan melaui analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa terapi pemaafan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pada perempuan korban kkerasan dalam rumah tanggga. Hal ini deperoleh dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi pemaafan secara efektif dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis.

Saran

Penelitian ini telah dilakukan dengan semaksimal dan sebaik mungkin, namun masih terdapat kelemahan dan keterbatasan. Oleh karena itu, saran yang dapat peneliti berikan bagi subjek penelitian, yaitu pertama para subjek sebaiknya tetap menjalin hubungan silaturahmi yang baik kepada orang yang telah menyakiti sebagai bentuk dari sikap memaafkan. Kedua, subjek penelitian segera melaporkan pengaduan saat terjadi kekerasan kembali kepada pihak yang dapat membantu menengahi, seperti RT/RW, UPT P2TP2A atau LSM yang menangani kasus terhadap perlindungan perempuan dan anak. Ketiga, para subjek sebaiknya tidak menunjukkan sikap marah, benci, dan kecewa di depan anak-anak. Hal ini seperti tetap menceritakan kebaikan yang pernah dilakukan oleh orang yang telah menyakiti agar anak-anak tidak menamkan kebencian kepada orang lain.

Saran yang diberikan bagi peneliti selanjutnya, yaitu dapat menambahkan informasi terkait sikap apa yang harus dilakukan oleh para orangtua yang mengalami KDRT. Selain itu, peneliti selanjutnya harus menyesuaikan modul

(15)

14

yang digunakan dengan kondisi para subjek. Selanjutnya, peneliti dapat menyesuaikan waktu dalam proses terapi yang disepakati bersama dengan para subjek dan juga fasilitator.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Akhtar, S. dan Barlow, J. (2016). Forgiveness therapy for the promotion of mental well-being: A systematic review and meta-analysis. Trauma,Violence, & Abuse, 1-17.

Akhtar, S., Dolan, A., dan Barlow, J. (2016). Understanding the relationship between state forgiveness and psychological wellbeing: A qualitative study. J Relig Health,DOI 10.1007/s10943-016-0188-9.

Azwar, S. (2007). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Bradburn N.M.(1969). The structure of psychological well-being. Chicago: Aldine

Cardak, M. (2013). Psychological well-being & interest addiction among university student. Journal of educational Technology, 12 (3), 1-8.

Corsini, R. (2002).The dictionary of psychology. Brunner-Routledge:New York.

Enright, R. D. (2001). Forgiveness is A Choice: A step-by-step Process for Resolving Anger and Restoring Hope. Washington,DC: American Psyhological Association.

Freedman, S., & Enright, R.D. (2017). The use forgiveness therapy with female survivors of abuse. J Women’s Health Care, 6:369.

Gani, A.H. (2015). Foriveness therapy. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Hafeez, A., & Rafique, R. Spirituality and religiousity as predictors of psychological well-being in residents of old homes. The Dialogue, 8 (3), 286-301.

Ham-Rowbottom, K.A., Gordon, E.E., Jarvis, K.L., & Novaco, R.W. (2005). Life constraints and psychological well-being of domestic violence shelter graduates. Journal of Family Violence, 20 (2), 109-121.

Ismail, Z., & Desmukh, S. Religiosity and psychological well-being. Internaional Journal of Bussines and Social Science, 3 (11), 20-28.

Jampolsky, G.G., (2001). Rela Memaafkan: Obat paling ampuh. Jakarta: Penerbit Erlangga

Karakurt, G., Smith, D., & Whiting, J. (2014). Impact of intimate partner violence on women’s mental health. J Fam Violence, 29 (7), 693-702.

(17)

Karremans, J. C., Van Lange, P. A. M., Klewer, E. S., dan Ouwerkerk, J. W. (2003). When forgiving enhances psychological well-being: The role of interpersonal commitment. Journal of personality and social psychology, 84 (5), 1011-1026.

Kompasiana.com. (2015). Kondisi psikologis korban pasca mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga. Diperoleh dari:

http://www.kompasiana.com/rusmisasuke/kondisi-psikologis-korban-pasca- mengalami-tindak-kekerasan-dalam-rumah-tangga_551fe7a4813311b77f9dfc9a

Kumcagiz, H., & Gunduz, Y. (2016). Relatonship between psychological well-being and smartphone addiction of university sudents. Interntional journal of higher education, 5 (4), 144-156.

Lamb, S. (2005). Forgiveness therapy: The context and conflict. Journal of Theoretical and Philosophical Psy., 25, 61-80.

Macaskill, A. (2005). The treatmen of forgiveness in counselling and therapy . Counselling Psychology Review, 20 (1), 26-33.

McCullough, M.E. (2000). Forgiveness as human strenght: Theory, measurement, and links to well-being. Journal of Social and Clinical Psychology, 19 (1), 43-45

McCullough, M.E., Worthington, E.L.Jr., & Rachal, K.C. (1997). Interpersonal Forgiving in Close Relationships. Journal of Personalinty and sosial Psychology, 73 ( 2), 321-336.

Nashori, F. (2012). Pemaafan pada etnis Jawa: Pengaruh religiositas dan keterikatan interpersonal terhadap pemaafan melalui perantara sifat kebersetujuan dan neurotisme (Studi pada warga Yogyakarta). Disertasi. Bandung: Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran.

Nashori, F. (2015). Pemaafan pada etnis Minangkabau : Pengaruh religiositas melalui sifat kebaikan hati dan neurotisme terhadap pemaafan. Laporan Penelitian fundamental. Yogyakarta: UII

Neuman, W.L. (2006). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach, 6th ed. Boston: Allyn and Bacon

Orcutt, H. K. (2006). The prospective relationship of interpersonal forgiveness and psychological distress symptoms among college woman. Journal of Counseling Psychologi, 53 (3), 350-361.

(18)

Pebriartati, S. (2011). Pelatihan pemaafan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis wanita bercerai. (Thesis tidak diterbitkan).Yogyakarta: Universitas Gajah Mada

Pinquart, M & Sorenson, S. (2000). Influences of socioeconomic status, social network and competence on subjective well-being in later life : A meta Analisysis. Journal Psychology and Aging, 15(2), 187–224.

Ramos, R.L. (2007). In the eye of the beholder: Implicit theories of happiness among Filipino adolescents. Philippine Journal of Counseling Psychology, 9 (1), 96- 127

Raz,J. (2004).The role of well-being. Philoshophical Perspective. 18. Ethic

Reed, G. L., & Enright, R. D. (2006). the effect of forgiveness therapy on depression, anxiety, posttraumatic stress for woman after spousal emotional abuse. Journal of consulting and clinical psychology, 74 (5), 920-929.

Ryff, C. D. (1995). Psychological well-being in adult life. Current Directions in Psycological Science, 4 (4), 99-104.

Ryff, C. D. dan Keyes, C. L. M. (1995). The structure of psychological will-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69 (4), 719-727.

Ryff, C.D. (1989). Happiness is everything, or is it? Exploration on the meaning of psychological well-being. Journal of personality and social Psychological,57, 1060-1081.

Siltala, H. (2014). The adverse effect of domestic violence on psycholoical well-being. Pro gradu –tutkielma, 34 (3), 1-34.

Sutton, G. W. (2017). Review of the book forgiveness therapy: an empirical guide for rresolving ange and restoring hope by Robert D. Enright and Richard P. Fitzgibbons. Journal of Psychology and Christianity, 35, 368-370.

Tyas, M. P. (2013). Terapi pemaafan untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif istri yang berkonflik dengan suami. Thesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Umaythia, Z. (2015). Kesejahteraan psikologis perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Skripsi tidak diterbitkan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Wade, N. G. (2010). Special issue on forgiveness in therapy : Introduction to special issue on forgiveness in therapy. Journal of Mental Health Counseling, 32 (1), 1-4.

(19)

Wang, X & Kanungo, R.N. (2004). Nationality, social network and psychological well-being: expatriates in China. International journal of human resource management. Routledge. 15(4), 775-793.

Referensi

Dokumen terkait

DAMPAK PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) PADA MASA KEHAMILAN.. DI KOTA KISARAN

kesejahteraan rumah tangga miskin yang mempunyai pendapatan yang rendah akan.. mengalami kesejahteraan yang rendah pula, sedangkan pada

FK +++ subjek berasal dari keluarga yang tidak matang secara psikologis. Beberapa masalah terjadi di dalam keluarga subjek yang menyebabkan kakak subjek melakukan

Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa

Suami yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga berhak mendapat perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial

Dari data yang diperoleh dari Kepolisian Resort Batanghari jumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tahun 2020 berjumlah 5 dan pada tahun 2021 mengalami

Suami yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga berhak mendapat perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial

PERANAN ISTRI PETANI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA..