• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERAPI PEMAAFAN UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA ISTRI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TERAPI PEMAAFAN UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA ISTRI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TESIS"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Diajukan Kepada Program Studi Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia

Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Master Psikologi

Oleh:

Asih Prihantini, S.Psi 15915036

PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA

(2)

i

TESIS

Diajukan Kepada Program Studi Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia

Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Master Psikologi

Oleh:

Asih Prihantini, S.Psi 15915036

PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA

(3)

Yang dipsrcifipM &n dissswl oleh

AsihPrihantini, S.Psi 1591s036

Telah dipertahankan di depan Sidang Dewan Peguji Pada tanggal 15 Febnrari 2018

rargsar

l5FFR20lB

)'Sr*PffiF*ro';

I

(4)

No. Mahasiswa Judul Tesis

: 1595036

: Terapi Pemaafan untuk Meningktakan Kesejahteraan Psikologis pada

Istri Korban

Kekerasan dalam Rumah Tangga

Melalui surat ini saya menyatakaflbahwa :

l.

Selama melakukan peneltian dan pembuatan laporan penelitian tesis saya tidak melakukan tindakan pelanggaran etika akadernik dalam bentuk

apapun, seperti penjiplakan, pembuatan tesis oleh orang lain, atau pelanggaran lain yangbertentangan dengan etika akademik yang drjunjung tinggi Universitas Islam Indonesia. Karena

itu,

tesis yang saya buat merupaan karya ilmiah saya sebagai penulis, bukan karya jiplakan atau karya orang lain.

2.

Apabila dalam ujian tesis saya terbukti melanggar etika akademik, maka

saya siap menerima sanksi sebagaimana aturan yang berlaku di

Universitas Islam Indonesia.

3.

Apabila dikemudian hari, setelah saya lulus dari Fakultas Psikologi dan

Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia ditemukan bukti secara meyakinkan bahwa tesis ini adalah karya jiplakan atau karya orang lain,

maka saya bersedia menerima sanksi aademik yang ditetapkan Universitas

Islam Indonesia.

Yogyakarta, 15 Februari 2018

Tim Penguji

Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., Psikolog Rumiani, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Dr. Sukarti

Dr. Ahmad Rusdi, MA.SI 1. 2. a J. 4. 111 Tanda Tangan

(5)

iv

Ketika orang lain telah tertidur semua atau bahkan tidak ada lagi orang yang bisa

membantumu, yakinlah bahwa Allah senantiasa membantumu bersama para

malaikatnya kapan dan dimana saja kamu berada.

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang

mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”

(QS. Ar-Rahman [55]: 26-27)

Orang-orang yang sukses bukan berarti mereka tidak pernah bersusah payah.

Kesuksessan mereka berawal dari usaha susah payah, dan berusaha sedikit lebih

(6)

v

Segala puji dan syukur pada Zat yang Maha Agung, Allah Subhanahu wa Ta’ala, atas segala rahmat dan hidayah, nikmat dan hikmah kehidupan yang dianugerahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan karya sederhana ini.

Sholawat serta salam kepada Rasulullah Salallahu ‘alaihi wa salam, keluarga, sahabat, serta pengikutnya.

Karya tulis sederhana ini penulis persembahkan kepada:

Bapak Suhairi Syamsuddin dan Ibu Sadarti Estiningsih

Atas segala kasih sayang, cinta, kesabaran dan segenap pengorbanan Bapak dan Ibu yang telah merawat, menjaga dan melindungi, serta membesarkan penulis

hingga menjadi sosok yang seperti saat ini.

Abang Yoga Perdana dan Mba Ajeng Herjanti

Atas segala perhatian dan dukungan yang telah diajarkan kepada penulis untuk menjadi sosok yang tegar menghadapi setiap apapun yang terjadi dalam

(7)

vi

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillahi Rabbil’alamin. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas

segala rahmat dan karunia-Nya, yang telah memberikan kekuatan, ketabahan,

kesabaran, serta kemudahan sehingga peneliti dapat menyelesaikan karya

sederhana berupa tesis ini.

Penulis menyadari bahwa selama menjalani proses penyusunan tesis ini,

banyak pihak yang telah memberikan bantuan berupa bimbingan, dorongan,

motivasi, masukan dan doa yang diperlukan peneliti mulai dari persiapan hingga

tersusunnya tesis ini. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terimakasih tak

terhingga kepada:

1. Bapak Dr.rer.nat. Arif Fahmi, S.Psi., MA., Psikolog selaku Dekan Fakultas

Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia atas

kepemimpinan dan bimbinganya bagi seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi

dan Ilmu Sosial Budaya.

2. Bapak Dr. H. Fuad Nashori, M.Si, Psikolog selaku Ketua Program Studi

Magister Profesi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya

sekaligus pembimbing utama peneliti yang senantiasa memberikan dukungan

dan bimbingan dengan penuh semangat.

3. Ibu Rumiani, S.Psi., MA, Psikolog selaku pembimbing kedua peneliti yang

(8)

vii

Ibu Dr. Sukarti selaku Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan

evaluasi terhadap penelitian ini.

5. Seluruh dosen Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial

Budaya Universitas Islam Indonesia yang telah senantiasa mengajarkan dan

mebagi ilmunya kepada penulis selama menempuh pendidikan di bangku

kuliah.

6. Pihak UPT P2TP2A Kabupaten Sleman beserta para subjek penelitian yang

menjadi bagian terpenting dalam proses berjalannya penelitian ini.

7. Bapak Suhairi Syamsuddin dan Ibu Sadarti Estiningsih selaku orangtua yang

selalu memberikan semangat luar biasa kepada penulis untuk terus berusaha

mendapatkan pendidikan yang terbaik dan mampu untuk menyelesaikan tugas

praktek profesi ini.

8. Abang Yoga Perdana dan Mba Ajeng Herjanti sebagai kakak yang selalu

mendukung peneliti untuk terus menjadi orang yang lebih baik dan memberi

motivasi.

9. M. Adhitya Nugraha yang juga selalu memberikan hiburan dan semangat

untuk segera menyelesaikan peneltian ini.

10. Kepada teman-teman satu bimbingan, yaitu Mbak Asiska, Tri, Mbak Anti dan

juga Mei atas perjuangan kita bersama hingga akhirnya menyelesaikan

(9)

viii

12. Teman-teman yang ada di Magister Psikologi Profesi yang telah berjuang

bersama-sama untuk mendapatkan ilmu yang lebih baik lagi dari sebelumnya.

Semoga Allah senantiasa melimpahkan karunia dan nikmat-Nya kepada

semua pihak atas segala sesuatunya yang telah diberikan peneliti. Peneliti

berharap semoga karya ini bisa memberikan dan menjadi manfaat bagi siapa saja

yang membacanya.

Amiin Ya Rabbal ‘Alamin

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Yogyakarta, 15 Februari 2018 Peneliti

(10)

ix

HALAMAN PERNYATAAN ...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ...iv

HALAMAN MOTTO ...v

KATA PENGANTAR ...vi

DAFTAR ISI ...ix

DAFTAR TABEL ...xii

DAFTAR GAMBAR ...xiii

ABSTRACT ...xiv

INTISARI ...xv

BAB I. PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang ...1

B. Perumusan Masalah ...9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...9

D. Keaslian Penelitian ...10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...14

A. Kesejahteraan Psikologis ...14

1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis ...14

2. Aspek-Aspek Kesejahteraan Psikologis ...15

3. Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis ...18

B. Terapi Pemaafan ...20

1. Pengertian Terapi Pemaafan ...20

2. Aspek-aspek Pemaafan ...23

3. Tahapan Terapi Pemaafan ...24

C. Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ...26

1. Pengertian Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga ...26

2. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ...28

(11)

x

1. Kesejahteraan Psikologis ...40

2. Terapi Pemaafan ...40

C. Subjek Penelitian ...41

D. Rancangan Penelitian ...41

E. Metode Pengumpulan Data ...43

F. Prosedur Pemberian Perlakuan ...45

1. Penyusunan Modul Intervensi ...45

2. Seleksi Fasilitator dan Asisten Fasilitator ...48

3. Materi yang Dibutuhkan untuk Intervensi ...49

G. Metode Analisis Data ...49

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...50

A. Orientasi Kancah dan Persiapan Penelitian ...50

1. Orientasi Kancah ...50

2. Persiapan Penelitian ...52

a. Persiapan Administrasi Penelitian ...52

b. Persiapan Alat Ukur Peneltian ...52

c. Validitas dan Relabilitas ...53

d. Persiapan Modul Penelitian ...54

e. Seleksi Fasilitator dan Observer Penelitian ...57

f. Penentuan Subjek Penelitian ...58

B. Laporan Pelaksanaan Penelitian ...58

1. Building Rapport ...58

2. Pelaksanaan Prates ...59

3. Pelaksanaan Terapi Pemaafan ...60

4. Pelaksanaan Pascates 1 ...71

5. Pelaksanaan Pascates 2 ...72

(12)

xi

2. Hasil Analisis Kualitatif ...80

a. Subjek 1 (SR) ...80 b. Subjek 2 (RH) ...83 c. Subjek 3 (AW) ...86 d. Subjek 4 (DS) ...88 e. Subjek 5 (NY) ...90 D. Pembahasan ...93 E. Evaluasi Penelitian ...101 BAB V. PENUTUP ...103 A. Kesimpulan ...103 B. Saran ...104 DAFTAR PUSTAKA ...10 LAMPIRAN ...109

(13)

xii

Tabel 2. Blueprint Skala Kesejahteraan Psikologis ... 45

Tabel 3. Blueprint Skala Pemaafan ... 45

Tabel 4. Rancangan Terapi Pemaafan ... 46

Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 52

Tabel 6. Blueprint Skala Kesejahteraan Psikologis ... 53

Tabel 7. Blueprint Skala Pemaafan ... 54

Tabel 8. Pelaksanaan Terapi Pemaafan ... 54

Tabel 9. Deskripsi kategori subjek penelitian berdasarkan hasil prates skala kesejahtraan psikologis ... 59

Tabel 10. Deskripsi kategori subjek penelitian berdasarkan hasil pascates 1 skala kesejahtraan psikologis ... 71

Tabel 11. Deskripsi kategori subjek penelitian berdasarkan hasil pascates 2 skala kesejahtraan psikologis ... 72

Tabel 12. Deskripsi statistik perbandingan prates-pascates 1-pascates 2 antara kelompok eksperimen dan kontrol terhadap skor kesejahteraan psikologis ... 73

Tabel 13. Deskripsi statistik perbandingan prates-pascates 1-pascates 2 antara kelompok eksperimen dan kontrol terhadap skor pemaafan ... 73

Tabel 14. Gain score kesejahteraan psikologis kelompok eksperimen dan kontrol pada saat prates-pascates 1-pascates 2 ... Tabel 15. Gain score pemaafan kelompok eksperimen dan kontrol pada saat prates-pascates 1-pascates 2 ... 70

(14)

xiii

Gambar 2. Histogram Tingkat Pemaafan ... 75

Gambar 3. Grafik Subjek 1 ... 83

Gambar 4. Grafik Subjek 2 ... 86

Gambar 5. Grafik Subjek 3 ... 88

Gambar 6. Grafik subjek 4 ... 91

(15)

xiv

Dr. H. Fuad Nashori, M.Si., Psikolog Rumiani, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Magister Psikologi Profesi Universitas Islam Indonesia

asihprihantini@gmail.com

ABSTRACT

The purpose of the study was to determine the effectivity of forgiveness therapy to psychological well-being levels of wives as domestic violence victims. Subjects in this study were wives aged 25-45 years and they were victims of domestic violence who had average or low psychological well-being. The scale used in this research was psychological well-being scale by Pebriatati (2011) that adapted from Ryff”s Psychlogical Well-being Scale. The data analyzed by Mann Whitney. The results of the measurement before intervention was obtained value Z=-1.257and p= 0.209 (p > 0.05). While on 1th post test obtained value Z= -2.611 and p = 0.009 (p<0.01). Then on 2nd post test obtained value Z= - 2.619 and p = 0.009 (p<0.01). The result of the hypothesis show that there was significant level differences in psychological well-being between the experimental and cotrol goup.

Keyword: Forgiveness therapy, Psychological well-being, Wives as domestic violence victims.

(16)

xv Asih Prihantini

Dr. H. Fuad Nashori, M.Si., Psikolog Rumiani, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Magister Psikologi Profesi Universitas Islam Indonesia

asihprihantini@gmail.com

Intisari

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh terapi pemafan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis para istri korban kekerasan dalam rumah tangga. Subjek dalam peneltian ini merupakan istri yang berusia 25-45 tahun dan mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang memiliki tingkt kesejahteraan psikologis sedang hingga rendah. skaladalam penelitian ini menggunakan skala kesejahteraan psikologis Pebriatati (2011) yang diadaptasi dari skala kesejateraan psikologi Ryff. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji Mann Whitney. Hasil pengukuran yang dilakukan sebelum intervensi menunjukkan nilai Z=-1.257 dan p=0.209 (p > 0.05). Sedangkan pada saat pascates 1 menunjukkan nilai Z=-2.611 dan p = 0.009 (p<0.01). Kemudian pada pascates 2 menunjukkan nilai Z=-2.619 dan p = 0.009 (p<0.01). Hasil uji hipotosis menunjukkan ada perbedaan yang signifikan pada tingkat kesejahteraan psikologis antara kelompok eksperimen dan kontrol.

(17)

1

A. Latar Belakang

Berdasarkan undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Pengertian KDRT (Kekerasan dalam

Rumah Tangga) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan

yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara seksual, fisik,

psikologi atau penelantaran rumah tangga termasuk juga hal-hal yang

mengakibatkan pada ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya

kemampuan untuk bertidak, rasa tidak percaya atau penderitaan psikis berat pada

seseorang. Menurut Komnas Perempuan (2014), pada tahun 2013 terdapat 11.719

kasus kekerasan dalam relasi yang dialami oleh perempuan. Berdasarkan kasus

tersebut terdapat 7.548 kasus diantaranya merupakan kasus kekerasan terhadap

istri yang berada diperingkat pertama.

Pada Catatan Akhir Tahun 2014, terdapat 293.220 kasus kekerasan

terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2014. Sebanyak 68 persen dari

kasus tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan mayoritas

korban ibu rumah tangga dan pelajar (Kompas.com, 2015). Selain itu, CNN

Indonesia (2016) juga melaporkan bahwa Komnas Perempuan mencatat pada

tahun 2015 kekerasan pada perempuan mengalami peningkatan dibandingkan

(18)

Tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan yang mengalami

kekerasan rumah tangga akan mempengaruhi kesehatan korban. Tidak hanya

kesehatan secara fisik saja tapi juga secara psikis. Berdasarkan hasil data laporan

kekerasan yang didapatkan di FPK2PA Kabupaten Sleman tahun 2016

menunjukkan bahwa dari 499 kasus yang masuk, 178 diantaranya melaporkan

mengalami kekekerasan secara psikis, 145 mengalami kekerasan secara fisik.

Pada data lainnya ditemukan berdasarkan 499 kasus yang melapor, 409

diantaranya adalah perempuan. Selain itu, laporan terbanyak adalah usia 25-40

tahun, diikuti dibawahnya pada usia 18-24 tahun dan 41-50 tahun.

Berdasarkan keterangan yang didapatkan dari P2TP2A Kabupaten Sleman,

menjelaskan bahwa penanganan yang pernah diberikan kepada para perempuan

korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya berupa pendampingan konseling

dan juga pendampingan secara hukum. Penangan yang pernah di lakukan kepada

perempuan korban KDRT berupa pelatihan pemaafan untuk menurunkan tingkat

stres, dan pelatihan komunikasi efektif untuk meningkatkan kemampuan

komunikasi interpersonal. Pelatihan tersebut berhasil dilakukan dan hasilnya juga

memuaskan bagi para korban, meskipun demikian masih ada beberapa korban

lainnya yang belum mendapatkan penangan tersebut karena laporan pengaduan

korban yang juga selalu ada sampai saat ini.

Para perempuan korban kekerasan ini juga butuh penanganan lain secara

spesifik karena permasalahan yang mereka hadapi tidak hanya terkait stress saja.

Sitala (2014) menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan dalam

(19)

mengungkapkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan kondisi dimana

individu mampu mengelola lingkungannya, menerima keadaan diri, dapat

mengambil keputusan sendiri, memiliki tujuan hidup ke depan, mampu untuk

menumbuhkan kepribadian lebih baik lagi, serta menjalin hubungan yang positif

kepada orang lain.

Hasil wawancara dengan salah satu istri yang merupakan korban

kekekerasan dalam rumah tangga (NK) mengatakan bahwa NK merasa tidak siap

jika harus bertemu dengan orang yang telah menyakitinya. NK akan mengalami

sakit kepala tiba-tiba jika bertemu dengan orang yang telah menyakitinya. Hal ini

mengakibatkan hubungan interpersonal NK menjadi tidak baik dengan orang yang

telah menyakitinya. Padahal menjalin hubungan yang positif dengan orang lain

merupakan salah satu aspek yang membuat seseorang memiliki kesejahteraan

psikologis (Ryff & Keyes, 1995). Oleh karena itu perlu adanya kesejahteraan

psikologis bagi para perempuan untuk dapat mensejahterakan diri mereka dalam

kehidupan sehari-hari.

Tidak hanya permasalahan terkait hubungan dengan orang lain saja, NK

sempat merasa bahwa apapun yang NK lakukan selama ini kepada suaminya,

seperti menasehati, menjelaskan persoalan dengan baik-baik tidak membuat

rumah tangga mereka menjadi keluarga yang sehat. Justru apa yang telah NK

lakukan menyulut amarah suaminya, sehingga NK biasanya memilih untuk diam.

NK merasa apa yang NK lakukan adalah tindakan yang sia-sia. Selain itu, NK

pernah merasa bahwa Tuhan tidak adil dengan memberikan NK cobaan seperti

(20)

NK mengatakan bahwa selama ini NK yang lebih banyak menafkahi

keluarganya dibandingkan suami. Hal ini menunjukkan indikasi rendahnya

penerimaan diri pada NK, karena Ryff (1989) menungkapkan bahwa individu

yang memiliki penerimaan diri yang baik akan mampu untuk menerima situasi

dan kondisi yang dialami dalam kehidupannya. NK sempat merasa malu dengan

tetannga di sekitar rumah mereka yang sering melihat NK bertengkar dengan

suami. Sampai pada akhirnya NK terbiasa dan membiarkan suaminya menjadi

bahan olokkan di lingkungan rumah mereka. Ryff (1989) menjelaskan bahwa

ketika seorang individu memiliki kesejahteraan psikologis maka individu tersebut

dapat beradaptasi secara baik dengan lingkungan yang ada di sekelilingnya.

Kondisi yang dialami oleh NK merupakan indikasi tidak terpenuhinya

kesejahteraan psikologis bagi kehidupannya. Kesejahteraan psikologis merupakan

kondisi di mana individu secara maksimal merasa puas dengan hidupnya,

memiliki kondisi emosional yang baik, mampu melalui pengalaman-pengalaman

buruk yang membuat perasaan menjadi tidak nyaman, memiliki hubungan yang

baik dengan orang lain, mampu menentukan keputusannya sendiri tanpa

bergantung dengan orang lain, mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki

tujuan hidup yang jelas, dan mampu mengembangkan dirinya sendiri (Ryff,

1989).

Ham-Rowbotton, Gordon, Javris, dan Novaco (2005) menemukan bahwa

korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami kebingungan dalam

menentukan kehidupan mereka sehingga memiliki kepuasan hidup yang rendah.

(21)

mengalami depresi dimana permasalahan tersebut membuat kesejahteraan

psikologis mereka tidak terpenuhi. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian yang

dilakukan oleh Karakurt, Smith, dan Whiting (2015) juga menemukan bahwa

perempuan yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangannnya

menunjukkan gejala depresi, tidak memperdulikan kondisi mereka sendiri,

bingung menghadapi situasi, marah, takut dengan hubungan dengan orang lain di

masa depan, sulit menjalin komunikasi dengan orang lain dan merasa tidak

memiliki teman untuk diajak berbicara. Hal ini juga menunjukkan adanya

kecenderungan kesejahteraan psikologis yang rendah pada diri mereka (Karakurt,

Smith & Whiting, 2015)

Oleh karena itu kesejahteraan psikologis tersebut merupakan hal penting

bagi individu. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bradburn (1969) bahwa

individu yang memiliki kesejahteraan psikologis mampu merasakan kebahagiaan

dalam hidupnya. Kesejahteraan psikologis yang ada pada diri individu dapat

menjadikan individu lebih merasakan hal positif ketimbang hal negatif dalam

memaknai kejadian dalam kehidupan mereka (Bradburn, 1969). Ryff dan Keyes

(1995) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kesejahteraan psikologis

mampu untuk menerima kodisi dirinya sepenuhnya. Hal ini bertolak belakang

dengan kondisi psikologis yang dialami oleh para korban kekrasan dalam rumah

tangga.

Kompasiana.com (2015) menuliskan bahwa kerugian yang didapatkan

oleh korban kekerasan dalam rumah tangga ada yang material dan immaterial.

(22)

psikis atau mental. Hal ini berkaitan dengan kondisi kejiwaan korban. Jika korban

tidak dapat segera melupakan perbuatan pidana yang menimpanya, akan

menyebabkan tekanan psikis, di mana untuk menyembuhkannya dibutuhkan

waktu yang cukup lama. Kesejahteraan psikologis seseorang dapat dipengaruhi

oleh usia dan juga kebutuhan hidup seseorang (Ryiff & Keyes, 1995). Tidak

hanya itu saja, keyakinan atau religiusitas seseorang juga mampu untuk

mempengaruhi kesejahteraan psikologis seorang individu dalam kehidupannya

(Akhtar, Dolan & Barlow, 2016). Akhtar, Dolan, dan Barlow (2016) juga

menyebutkan bahwa pemaafan dapat dijadikan dukungan dalam religiusitas dan

juga spiritualitas seseorang untuk mendapatkan kesejahteraan psikologis dalam

diri individu tersebut.

Enright (2003) mengatakan bahwa pemaafan merupakan proses individu

untuk tidak melakukan balas dendam kepada pelaku yang telah menyakitinya,

serta dapat kembali menerima dan berhubungan baik dengan orang yang telah

meyakiti individu itu. Nashori (2012) mengungkapkan bahwa pemaafan

merupakan kesediaan seseorang untuk dapat menumbuhkembangkan pikiran,

perasaan dan menjalin hubungan dengan orang lain secara positf dari perasaan

tidak menyenangkan ketika memiliki permasalahan dalam hubungan interpersonal

dengan orang lain.

Islam juga mengajarkan setiap orang untuk memaafkan kesalahan orang

lain. Hal tersebut sesuai firman Allah sebagai berikut: “Dan balasan suatu

(23)

baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Asy-Syura: 40)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa seseorang yang mampu untuk

memaafkan, maka Allah yang akan memberikan tanggungan terhadap pahala yang

diperolehnya. Allah saja mampu untuk mengampuni kesalahan hambanya, maka

sudah sepatutnya sebagai sesama manusia yang kedudukannya sama di mata

Allah mampu untuk saling memaafkan satu sama lain. Hal ini seperti yang

tercantum dalam ayat berikut: “Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi

serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (At-Taghabun: 14)

Salah satu cara mengembangkan potensi seseorang untuk mengahsilkan

kesehatan mental termasuk kesejahteraan psikologis adalah dengan cara

melakukan terapi pemaafan. Akhtar dan Barlow (2016) menemukan bahwa terapi

pemaafan efektif untuk menurunkan tingkat depresi, kemarahan dan kebencian,

stres dan distress, serta menumbuhkan perasaan positif. Terapi pemaafan juga

mampu untuk mengembangkan trait dan state pemaafan pada individu (Akhtar &

Barlow, 2016). Fredman dan Enright (2017) juga menungkapkan bahwa terapi

pemaafan mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis pada perempuan yang

mengalami tindak kekerasan.

Reed dan Enright (2006) menemukan bahwa perempuan korban kekerasan

emosional yang melakukan terapi pemaafan lebih mampu untuk mengelola

lingkungannya dibandingkan dengan mereka yang masih menyimpan kemarahan

(24)

seseorang membuat tekanan darah menjadi normal, memiliki kemampuan

mengelola kemaran yang lebih baik, hubungan yang lebih sehat, meningkatkan

kesehatan jiwa dan raga, dan penurunan stres (Gani, 2015). Enright dan

Fitzgibbons dalam Sutton (2017) menjelaskan bahwa terapi pemaafan dapat

mengelola kemarahan pada individu dan menumbuhkan harapan untuk kehidupan.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Akhtar, Dolan, dan Barlow (2016)

menemukan bahwa adanya pemaafan pada diri seseorang mampu menghasilkan

kesejahteraan mental. Ketika individu mampu meamaaafkan maka individu

tersebut akan mau untuk menerima orang lain yang pernah menyakitinya. Selain

itu, individu yang menerapkan pemaafan dalam kehidupan sehari-hari mampu

untuk mengontrol emosi negatif dalam dirinya dan merubahnya menjadi perasaan

yang lebih positif. Hal ini akan membuat individu merasa lebih tenang jika

mengalami permasalahan konflik dengan orang lain dan membuat kecemasan

individu itu berkurang.

Adanya pemaafan dalam diri seseorang, diharapkan mampu untuk dapat

memberikan dukungan terhadap peningkatan kesejahteraan psikologis seseorang

terutama bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini seperti penelitian

yang dilakukan oleh Karremans, Van Lange, Klewer, dan Ouwerkerk (2003)

menjelaskan bahwa ketika individu mampu untuk memaafkan, maka akan mampu

untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis individidu itu sendiri.

Berdasarkan penjelasan yang telah peneliti sampaikan, maka dari itu

peneliti ingin mengetahui pengaruh terapi pemaafan terhadap kesejahteraan

(25)

B. Perumusan Masalah

Apakah terapi pemaafan dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis pada

istri yang menjadi korban kekerasan rumah tangga?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana efektivitas terapi

pemaafan terhadap peningkatan kesejahteraan psikologis pada istri yang menjadi

korban kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian ini diharapkan memberikan

manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi secara empiris

dan aktual sehingga dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan terutama

yang berkaitan dengan psikologi klinis dan psikologi positif, khususnya

tentang kesejahteraan psikologis pada korban kekerasan rumah tangga.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada

keluarga dan korban kekerasan rumah tangga sebagai referensi terkait proses

pemaafan para korban agar dapat kembali bangkit dari kondisi psikologis

(26)

D. Keaslian Penelitian

Penelusuran yang telah dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa belum

ada penelitian yang secara spesifik sama terkait terapi pemaafan untuk

meningkatkan kesejahteraan psikologis pada istri korban kekerasan rumah tangga.

Salah satu penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Akhtar dan

Barlow (2016) berjudul “Forgiveness Therapy for the Promotion of Mental

Well-Being: A Systematic Review and Meta-Analysis”. Penelitian Akhtar dan Barlow

(2016) memberikan penjelasan terkait terapi pemaafaan untuk dapat

meningkatkan kesejahteraan mental yang dilakukan dengan konsep metanalisis

dan telaah sistematis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa berdasarkan

beberapa penelitian menggunakan terapi untuk dapat memperbaiki kondisi mental

seseorang.

Akhtar, Dolan, dan Barlow (2016) juga menuliskan penelitian yang

berjudul “Understanding the Relationship Between State Forgiveness and

Psychological Wellbeing: A Qualitative Study”. Penelitian tersebut dilakukan

dengan pendekatan kualitatif, dimana ada 12 subjek yang dijadikan sebagai

responden. Penelitian ini menelaah lebih dalam terkait kehidupan yang dijalani

para subjek ketika bersama dengan pasangannya masing-masing.

Penelitian yang dilakukan oleh Tyas (2013) dengan judul “Terapi

Pemaafan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Subjektif Istri yang Berkonflik

dengan Suami” menemukan adanya pemaafan yang dilakukan oleh subjek dapat

meingkatkan kesejahteraan subjektif subjek yang berkonflik dengan suami.

(27)

Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Wanita Bercerai”. Penelitian ini

menemukan bahwa ada peningkatan kesejahteraan psikologis pada wanita

bercerai yang telah diberikan pelatihan pemaafan.

Radatussalamah dan Susanti (2014) melakukan penelitian yang berjudul

“Pemaafan dan Psychological Wll-Being pada Narapidana Wanita”. Penelitian ini

menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara pemaafan dan psychological

well-being pada narapidana wanita. Penelitian ini menggunakan konstruk teori

dan alat ukur psychological well-being dari Ryff (1989). Pada konstruk teori

pemaafan dan alat ukur pemaafannya, Radatussalamah dan Susanti (2014)

menggunakan dimensi dan skala dari Heartland Forgiveness Scale (HFS) oleh

Thompson. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan ini dengan penelitian

sebelumnya, yaitu:

1. Keaslian Topik

Akhtar dan Barlow (2016) pernah melakukan penelitian dengan topik

terapi pemaafan untuk menunjukkan kesejahteran mental dengan meta analisis

dan ringkasan sistematis. Penelitian yang dilakukan Pebriatati (2011)

menempatkan kesejahteraan psikologis sebagai variabel tergantung, hal ini

sama dengan penelitian yang peneliti lakukan. Hal ini sama seperti penelitian

yang dilakukan Tyas (2013) dengan judul “Terapi Pemaafan untuk

Meningkatkan Kesejahteraan Subjektif Istri yang Berkonflik dengan Suami”.

Hanya saja, kedua penelitian ini menggunakan terapi pemaafan sebagai

variabel bebas. Tidak hanya itu saja, Akhtar, Durlan dan Barlow (2016) juga

(28)

psikologis. Namun, Akhtar, Dolan dan Barlow bukan menggunakan topik

pemaafan sebagai terapi melainkan sebuah penelitian kualitatif untuk

memahami hubungan antara penerapan pemaafan dan kesejahteraan psikologis.

2. Keaslian Teori

Pada penelitian ini menggunakan teori dari Ryff (1998) yang sama dengan

penelitian yang dilakukan Akhtar, Dolan, dan Barlow (2016) ; Dolan dan

Barlow (2016) dan Pebriatati (2011) sebagai konstruk teori kesejahteraan

psikologis. Perbedaan konstruk teori lainnya, yaitu Pebriatati (2011)

menggunakan konstruk teori dari Enright (2002) sedangkan peneliti

menggunakan konstruk teori dari Nashori (2012). Selain itu juga berbeda

dengan penelitian yang dilakukan oleh Tyas (2013) menggunakan kunstruk

teori pemaafan dari Pollard, dkk (1998).

3. Keaslian Alat Ukur

Keaslian peneliti akan menggunakan tiga alat ukur yang merupakan

adaptasi dari alat ukur sebelumnya. Untuk mengukur kesejahteraan psikologis,

peneliti menggunakan alat ukur kesejahteraan psikologis yang dibuat oleh

Pebriatati (2012) mengadaptasi dari Psychological well being Scale oleh Ryff

(1989). Sedangkan untuk mengukur pemaafan menggunakan skala pemaafan

oleh Nashori (2012). Hal ini berbeda dengan penelitian Tyas (2013) yang

menggunakan alat ukur Family forgiveness scale dari Pollard, dkk (1998).

(29)

Subjek pada penelitian ini adalah para istri yang mengalami kekerasan

dalam rumah tangga. Sehingga berbeda dengan penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Pebriarti (2011), yaitu menggunakan subjek istri yang bercerai.

Pada penelitian yang di lakukan oleh Dolan dan Barlow (2016) menggunakan

subjek yang berusia dari 25 hingga 50 tahun yang berbeda agama. Selain itu,

penelitian yang dilakukan oleh Tyas (2013) menggunakan subjek istri yang

mengalami konflik dengan suami.

5. Keaslian Intervensi

Intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan Terapi

Pemaafan seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Tyas (2013) dan juga

Dolan dan Barlow (2016). Namun intervensi dalam penelitian ini berbeda

dengan penelitian yang dilakukan oleh Pebriarti (2011) sebelumnya yang

menggunakan pelatihan pemaafan untuk meningkatkan kesejahteraan

(30)

14

A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis

Kesejahteraan psikologis merupakan capaian penuh dari potensi psikologis

individu dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan

kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi

yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu

beradaptasi dengan baik, dan terus bertumbuh secara personal (Ryff, 1989).

Selain itu, Corsini (2003) menjabarkan bahwa kesejahteraan psikologis

merupakan kondisi dalam diri individu yang didukung oleh keadaan subjektif

yang positif, kebahagiaan yang dirasakan, self-esteem, dan kepuasan dalam

kehidupan individu tersebut.

Cardak (2013) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan

suatu konstruksi individu berdasarkan konsep pengembangan dirinya agar

mendapat kebahagiaan. Menurut Ozen (2005), kesejahteraan psikologis

individu tergantung pada fungsi positif dalam aspek-aspek tertentu di

kehidupannya. Individu yang memiliki kesejehateraan psikologis akan

mampu menata kehidupaanya pada hal-hal yang positf dan berusaha semakin

memperbaiki diri dari sebelumnya.

Menurut Ramos (2007), kesejahteraan psikologis adalah kondisi individu

(31)

baik antar individu lain dan juga dalam kelompok. Raz (2004) menambahkan

kesejahteraan psikologis adalah keadaaan dimana individu mampu

menemukan makna kehidupannya dengan cara menjalankan kegiatan sepenuh

hati dan sukses dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

Berdasarkan beberapa pengertian kesejahteraan psikologis yang telah

disebutkan oleh beberapa ahli sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa

kesejahteraan psikologis merupakan suatu kondisi di mana individu tidak

hanya merasakan kebahagiaan dalam dirinya tetapi juga mampu untuk

berhubungan baik dengan orang, mengaktualisasikan dirinya dengan baik,

mengatasi permasalahan kehidupannya dengan tepat, serta memiliki makna

dan tujuan hidup yang baik.

2. Aspek Kesejahteraan Psikologis

Ryff (1995) mengemukakan enam dimensi kesejahteraan psikologis pada

diri individu, yaitu:

1) Autonomy (Kemandirian)

Pada dimensi ini menjelaskan tentang kemandirian, kemampuan

untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah

laku. Individu yang mampu menolak tekanan sosial untuk berfikir dan

bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri

sendiri dengan standar personal, hal ini menandakan bahwa ia baik dalam

(32)

2) Environmental mastery (Penguasaan Lingkungan)

Hal yang dimaksud dalam dimensi ini adalah seseorang yang

mampu memanipulasi keadaan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan

nilai-nilai pribadi yang dianutnya dan mampu untuk mengembangkan diri

secara kreatif melalui aktifitas fisik mapupun mental. Individu dengan

kesejahteraan psikologis yang baik memiliki kemampuan untuk memilih

dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya.

Dengan kata lain, ia memiliki kemampuan dalam menghadapi

kejadian-kejadian diluar dirinya (lingkungan eksternal).

3) Personal growth (Pengembangan Diri)

Pengembangan potensi dalam diri adalah adanya kebutuhan untuk

mengaktualisasi diri, misalnya keterbukaan terhadap pengalaman.

Seseorang yang memiliki pertumbuhan potensi diri yang baik memiliki

perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sebagai sesuatu yang

bertumbuh, menyadari potensi dalam diri, dan mampu melihat

peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu.

4) Positive relation (Hubungan Positif dengan Orang Lain)

Hubungan yang positif dengan orang lain menekankan adanya

kemampuan yang merupakan salah satu komponen kesehatan mental

yaitu kemampuan untuk mencintai orang lain. Dalam dimensi ini,

individu yang dikatakan tinggi atau baik ditandai dengan adanya

hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain,

(33)

Sementara itu, individu yang dikatakan rendah atau kurang baik dalam

dimensi ini ditandai dengan memiliki sedikit hubungan dengan orang lain,

sulit bersikap hangat dan enggan memiliki ikatan dengan orang lain.

5) Purpose in life (Tujuan Hidup)

Individu yang memiliki makna dan tujuan dalam hidup, maka akan

memiliki perasaan bahwa kehidupan baik saat ini maupun masa lalu

mempunyai makna, memiliki kepercayaan untuk mencapai tujuan hidup,

dan memiliki target terhadap apa yang ingin dicapai dalam hidup.

6) Self-acceptance (Penerimaan Diri)

Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai

dengan sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima

berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik yang positif maupun negatif,

dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian pula

sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang

baik dan memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa

kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan memiliki pengharapan untuk

menjadi pribadi yang bukan dirinya, dengan kata lain tidak menjadi

dirinya saat ini.

Selain itu, Bradburn (1969) mengungkapkan bahwa terdapat dua

dimensi yang ada di dalam struktur kesejahteraan psikologis, yaitu afek

positif dan afek negatif. Individu yang merasa lebih banyak memiliki

perasaan yang positif dalam kehidupannya dan merasa lebih sedikit untuk

(34)

dirinya memiliki kebahagiaan dalam dirinya. Hal tersebut yang menjadi

kesejahteraan psikologis dalam diri individu itu. Sedangkan ketika

individu memiliki perasaan yang rendah terhadap hal-hal yang positif dan

tinggi untuk merasakan perasaan negatif, bukan berarti individu tersebut

tidak bahagia, namun individu tersebut hanya belum bahagia. Dengan

demikian, individu itu belum sepenuhnya memiliki kesejahteraan

psikologis dalam dirinya.

Berdasarkan aspek-aspek kesejahteraan psikologis yang telah

dijelaskan, peneliti mengacu kepada aspek-aspek kesejahteraan psikoligis

yang disampaikan oleh Ryff (1995), yaitu kemandirian, penguasaan

lingkungan, pengembangan diri, hubungan positif dengan orang lain,

tujuan hidup, dan penerimaan diri.

3. Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan

psikologis seseorang, yaitu:

1) Dukungan Sosial

Dukungan sosial merupakan gambaran dari perilaku mendukung

yang diberikan seseorang individu kepada individu lain dimana individu

tersebut memiliki keterikatan dan cukup bermakna dalam hidupnya.

Dukungan sosial dari orang-orang yang bermakna dalam kehidupan

seseorang dapat memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan individu

(35)

2) Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi mempengaruhi kesejahteraaan psikologis

seseorang. Seperti besarnya pendapatan keluarga, tingkat pendidikan,

keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi dan status sosial di masyarakat

(Pinquart & Sorenson, 2000).

3) Jaringan sosial

Kesejahteraan psikologis tiap individu dapat berkaitan dengan

aktivitas sosial yang diikuti oleh individu seperti aktif dalam

pertemuan-pertemuan atau organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas yang dilakukan,

dan dengan siapa kontak sosial dilakukan (Pinquart & Sorenson, 2000).

Jaringan sosial yang baik dan menjaga kualitas hubungan sosial dengan

lingkungan akan mengurangi munculnya konflik dan meningkatkan

kesejahteraan psikologis dalam hidup (Wang & Kanungo, 2004).

4) Religiusitas

Religiusitas berkaitan dengan tendensi setiap individu kepada

Tuhannya. Cara berpikir, sikap dan kebiasaaan yang dijalani oleh setiap

individu juga akan dipengaruhi oleh religiusitas pada individu tersebut.

Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai

kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih

bermakna sehingga mampu untuk meningkatkan kesejahteraan bagi

(36)

5) Kepribadian

Kepribadian tiap individu membentuk karakter setiap individu

menjadi berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, cara tiap individu

mengelola perasaan dan mengungkapkan perasaan mereka untuk kepuasan

atau kebahagaiaan jelas berbeda. Hal ini yang membuat kesejahteraan tiap

orang juga memilki perbedaan satu dan lainnya (Bradburn,1969).

6) Pemaafan

Pemaafan dapat memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan

psikologis individu. Ketika individu mampu memaafkan orang lain maka

indivdu itu akan menerima orang yang pernah menyakitinya. Hal tersebut

dapat memperbuat hubungan individu dengan orang lain menjadi lebih

baik. Individu yang mampu untuk menjalin hubungan yang baik dengan

orang lain menjadi salah satu faktor untuk dapat meningkatan

kesejahteraan psikologis individu tersebut (Dolan & Barlow, 2016).

Berdasarkan dari faktor-faktor yang ada dapat disimpulkan bahwa terdapat

6 faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yaitu, dukungan sosial,

status sosial ekonomi, jaringan sosial, religiusitas, kepribadian dan juga

pemaafan.

B. Terapi Pemaafan 1. Pengertian Terapi Pemaafan

Nashori (2012) mengungkapkan bahwa pemaafan merupakan kesediaan

(37)

hubungan dengan orang lain secara positif dari perasaan tidak menyenangkan

ketika memiliki permasalahan dalam hubungan interpersonal dengan orang

lain. Individu yang memiliki pemaafan akan mampu untuk merubah emosi

negatif menjadi positif. Individu yang memiliki pemaafan juga dapat

mengubah pikiran negatif yang dimilikinya menjadi pikiran yang lebih baik

serta individu itu juga dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain

meskipun orang tersebut telah menyakitinya.

Pemaafan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata

maaf yang berarti pembebasan individu dari hukuman seperti tuntutan, denda,

dan sebagainya karena suatu kesalahan. Selain itu kata maaf juga sebagai

ungkapan permintaan ampun atau penyesalan serta ungkapan permintaan izin

untuk melakukan sesuatu. Sedangkan pemaafan sendiri merupakan sebuah

proses, cara perbuatan untuk memaakan dan pengampunan.

Sementara menurut Shihab (Nashori, dkk., 2015), definisi Al-‘afw

(pemaafan) pada mulanya memiliki arti berlebihan, kemudian berkembang

menjadi keterhapusan. Shihab (Nashori, dkk., 2015) menyimpulkan bahwa

pemaafan merupakan menghapus luka atau bekas-bekas luka dalam hati.

Dalam hukum Islam, afwun (pemaafan) lebih ditutamakan daripada

pelaksanaan kisas berdasarkan dalil dari Alquran dan sunah Nabi SAW. Dalil

dari Alquran adalah, "...Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari

saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi

(38)

maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat..." (QS. Al-Baqarah: 178).

Enright (2003) mengatakan bahwa pemaafan merupakan proses individu

untuk tidak melakukan balas dendam kepada pelaku yang telah menyakitinya,

serta dapat kembali menerima dan berhubungan baik dengan orang yang telah

meyakiti individu itu. Jampolsky (2001) pemaafan adalah merasakan

penghayatan tentang apa yang dialami orang lain, merasakan kelembutan,

kerentanan, dan kepedulian, dan semuanya itu selalu ada di dalam hati kita,

tak peduli bagaimana keadaan dunia yang ada. McCullough (2000)

menjabarkan bahwa pemaafan sendiri merupakan perubahan perilaku dengan

menurunkan motivasi untuk membalas dendam, menjauhkan diri atau

menghindar dari perilaku kekerasan dan meningkatkan motivasi ataupun

keinginan untuk berdamai dengan pelaku.

McCullough, Worthington, dan Rachal (1997) mendefinisikan pemafaan

sebagai bentuk perubahan motivasional pada individu. Hal ini ditandai

dengan menurunnya motivasi untuk balas dendam dan motivasi untuk

menghindari orang yang telah menyakiti. Selain itu, individu cenderung

mencegah seseorang memberikan respon yang kurang baik dalam interaksi

sosial serta mendorong seseorang untuk menunjukan perilaku yang baik dan

tepat terhadap orang yang telah menyakitinya.

Fincham (2000) menyebutkan bahwa pemaafan merupakan sikap paling

ideal dalam menyelesaikan konflik. Pemaafan sebagai cara untuk dapat

(39)

orang yang telah menyakiti. Pemaafan dapat menyembuhkan perasaan terluka

dan mengurangi kesedihan. Tindakan pemaafaan juga memotong siklus

kekerasan, di mana individu tidak menghilangkan rasa dendam dan tidak

membalas kekerasan yang sama seperti yang di terima olehnya.

Berdasarkan pengertian pemaafan yang dijelaskan oleh beberapa ahli

dapat disimpulkan bahwa pemaafan merupakan kesediaan seseorang untuk

dapat menerima orang lain yang telah menyakitinya tanpa ada rasa balas

dendam melainkan perubahan dalam diri untuk dapat merasa empati dengan

kelemutan dan kepedulian kepada orang yang telah menyatiki, serta dapat

menjalin hubungan yang lebih baik dengan oranglain.

2. Aspek-aspek Pemaafan

Nashori (2012) mengungkapkan tiga aspek pemaafan, yaitu:

a. Dimensi Emosi Pemaafan

Dimensi emosi pemaafan berkaitan dengan perasaan orang-orang

yang menjadi korban terhadap orang-orang yang menjadi pelaku. Emosi

yang ada pada individu yang memiliki pemaafan dapat meninggalkan

perasaan marah, sakit hati, dan benci. Individu juga tetap mampu

mengontrol emosi saat diperlakukan tidak menyenangkan oleh orang lain.

Individu yang memiliki pemaafan juga merasa iba dan kasih sayang

terhadap pelaku, serta merasa nyaman ketika berinteraksi dengan pelaku.

b. Dimensi Kognisi Pemaafan

Dimensi kognisi pemaafan berkaitan pemikiran seseorang atas

(40)

pada individu akan memiliki penjelasan nalar terhadap sikap orang lain

yang menyakiti mereka. Inidividu tersebut juga meninggalkan penilaian

negatif terhadap orang lain ketika hubungannya dengan orang lain tidak

sebagaimana diharapkan. Mereka juga memiliki pandangan yang

berimbang terhadap pelaku.

c. Dimensi Interpersonal Pemaafan

Dimensi interpersonal pemaafan berkaitan dengan dorongan dan

perilaku antar pribadi seseorang untuk memberi pemaafan terhadap orang

lain. Pada dimensi ini menjelaskan bahwa individu yang memiliki

pemafaan akan meninggalkan dan menghindari diri dari perilaku atau

perkataan yang menyakitkan terhadap pelaku yang menyakitinya. Selain

itu invidu juga meninggalkan keinginan balas dendam. Namun individu

yang memilki pemaafan tidak menghindar untuk bertemu atau berinteraksi

dengan pelaku, justru individu tersebut mengupayakan untuk dapat

bermusyawarah dengan pelaku agar memperbaiki interaksi yang terjadi

anatara mereka.

Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan, oleh karena itu dapat

disimpulkan bahwa aspek-aspek dalam pemaafan mencakup dimensi emosi,

dimensi kognisi dan dimensi interpersonal.

3. Tahapan Terapi Pemaafan

Enright (2003) mengembangkan suatu model proses dari pemaafan.

Model tersebut meliputi aspek kognitif, afektif, dan perilaku yang terjadi

(41)

a. Fase membuka kembali (uncovering phase)

Pemaafan melibatkan rasa disakiti secara tidak adil pada individu yang

dipenuhi dengan pengalaman emosi negatif dan rasa sakit yang

diasosiasikan dengan luka. Emosi negatif (unforgiveness) harus

dikonfrontasikan dan secara mendalam dipahami sebelum proses

penyembuhan dimulai. Pada fase ini, individu mampu untuk

mengungkapkan emosi negatif yang dirasakan. Individu juga mampu

untuk mengidentifikasikan emosi tersebut.

b. Fase memutuskan (decision phase)

Pada fase ini individu menyadari bahwa memfokuskan diri secara terus

menerus pada luka dan pelaku hanya dapat menghasilkan penderitaan yang

berlanjut. Kemungkinan memaafkan dilakukan sebagai strategi untuk

penyembuhan dan individu membuat komitmen untuk memaafkan pelaku.

Berdasarkan komitmen ini, kerja pemaafan diawali dan pada fase ini

pikiran, perasaan dan perhatian untuk membalas dendam terhadap pelaku

dilepaskan.

c. Fase bekerja (work phase)

Fase ini merupakan fase di mana individu mulai melakukan pemaafan.

Tahapan ini melibatkan perubahan persepsi terhadap pelaku dengan

menempatkan kejadian dalam konteks kehidupan pelaku, suatu usaha yang

bukan atas alasan tanggung jawab pelaku tapi lebih kepada menerima

(42)

kesalahan. Orang yang disakiti akan memilih untuk menawarkan beberapa

bentuk perbuatan baik terhadap pelaku yang telah menyakiti.

d. Fase pendalaman (deepening phase)

Memaafkan individu menjadikan seseorang sadar akan keuntungan

emosional positif yang akan diterimanya dari proses pemaafan. Secara

umum, individu menemukan makna dalam penyembuhan yang dialaminya

sehingga pada fase terakhir ini individu mengalami perasaaan yang lapang

sebagai salah satu sikap terhadap emosi yang muncul dan memberikan

kemurahan hati pada orang lain, serta orang yang telah disembuhkan.

Berdasarkan tahapan pemaafan yang telah disampaikan oleh Enright

(2003) dapat disimpulkan bahwa ada 4 tahapan pemaafan yaitu, fase

membuka kembali, memutuskan, melakukan, dan pendalaman.

C. Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga 1. Pengertian Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga

Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (3)

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Korban

adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian

ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Kemudian, menurut

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) tentang

(43)

berbunyi “Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau

ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (5) tentang

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menjelaskan pengertian korban dalam

Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi “Korban adalah orang perseorangan atau

kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental ataupun

emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan,

atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari

pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah juga

ahli warisnya”. Berdasarkan undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), pengertian

KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) adalah setiap perbuatan

terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara seksual, fisik, psikologi atau

penelantaran rumah tangga termasuk juga hal-hal yang mengakibatkan

pada ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk

bertidak, rasa tidak percaya atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan perilaku yang

menggambarkan adanya ketidakseimbangan peran karena salah satu peran

dari seseorang untuk mempertahankan otoritas dalam rumah tangga

dengan keingian mendominasi perannya (Shinta & Bramanti, 2007).

Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya berhubungan dengan

(44)

menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-hak kebebasannya setara

dengan laki-laki. Tindak kekerasan ini dapat berupa kekerasan domestik

dan kejahatan degan dalih kehormatan yang muncul akibat posisi

perempuan sebagai pihak yang menjadi tanggungan dan mendapat

perlindungan dari seseorang pelindung laki-laki, pertama ayahnya

kemudian suaminya (Relawati, 2011).

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa korban

kekerasan dalam rumah tangga merupakan seseorang yang berada dalam

lingkup rumah tangga mengalami tindakan yang mengakibatkan seseorang

merasa tersakiti secara fisik, psikis maupun ekonomi karena mendapatkan

perilaku yang tidak menyenangkan dari seseorang yang melakukan

kekerasan secara fisik maupun psikis untuk menunjukkan otoritasnya

dalam rumah tangga.

2. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Ada 4 bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang tertulis pada

pasal 6-9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga (Shinta & Bramanti,2007), antara lain:

a. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan rasa

sakit, jatuh sakit atau luka berat. Adapun klasifikasi lain dari kekerasan

fisik yaitu:

1.) Kekerasan fisik berat, seperti cedera berat, tidak mampu

(45)

korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang

menimbulkan bahaya mati, kehilangan salah satu panca indera,

mendapat cacat, menderita sakit lumpuh, terganggunya daya pikir

selama 4 minggu lebih, gugurnya atau matinya kandungan seorang

perempuan, kematian korban,

2.) Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak,

mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan cedera

ringan, rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori

berat, serta melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat

dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat.

b. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis adalah sebagai perbuatan yang mengakibatkan

ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk

bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada

seseorang. Adapun klasifikasi lain dari kekerasan Psikis yaitu;

1.) Kekerasan psikis berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi,

eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam

bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau

ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan

dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang

masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat

berupa salah satu atau beberapa hal, seperti gangguan tidur atau

(46)

yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun,

gangguan stres, gangguan fungsi tubuh berat (misalnya tiba-tiba

lumpuh atau buta tanpa indikasi medis) pasca trauma, depresi,

gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas

seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya berat atau

destruksi diri hinga bunuh diri

2.) Kekerasan psikis ringan, berupa tindakan pengendalian,

manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan

penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi

sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina,

penguntitan, ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis, yang

masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan,

berupa salah satu atau beberapa hal, seperti ketakutan dan perasaan

terteror, rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya

kemampuan untuk bertindak, gangguan tidur atau gangguan makan

atau disfungsi seksual, gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya,

sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis), dan

fobia.

c. Kekerasan Seksual atau Depresi Temporer

Kekerasan seksual yaitu:

1.) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang

(47)

2.) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam

lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan

komersial dan/atau tujuan tertentu.

Adapun klasifikasi lain dari Kekerasan Seksual yaitu;

1.) Kekerasan seksual berat, berupa:

a.) Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba,

menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul

serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik,

terteror, terhina dan merasa dikendalikan.

b.) Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau

pada saat korban tidak menghendaki.

c.) Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,

merendahkan dan atau menyakitkan.

d.) Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan

pelacuran dan atau tujuan tertentu.

e.) Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan

posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.

f.) Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa

bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.

2.) Kekerasan seksual ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal

seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan

dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh

(48)

tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina

korban.

3.) Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke

dalam jenis kekerasan seksual berat.

d. Kekerasan Ekonomi

Kekerasan ekonomi mencakup penelantaran dalam rumah tangga

dan juga mengakomodasi pelarangan bekerja yang menyebabkan

ketergantungan ekonomi. Kekerasan ekonomi meliputi:

a.) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah

tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau

karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,

perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

b.) Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan

ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau

melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah

sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Adapun klasifikasi lain dari kekerasan ekonomi yaitu;

a.) Kekerasan ekonomi berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi

dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa memaksa korban

bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran, melarang

korban bekerja tetapi menelantarkannya, mengambil tanpa

sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau

(49)

b.) Kekerasan ekonomi ringan, berupa melakukan upaya-upaya

sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya

secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya

D. Terapi Pemaafan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis

Wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga merasa lebih

tersinggung ketika ada orang lain yang ingin dekat atau bertanya tentang

keadaan keluarganya (Umaythia, 2015). Berdasarkan hasil wawancara yang

dilakukan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga, beberapa diantara

mereka juga mengatakan bahwa sering merasa tidak percaya diri ketika

bertemu dengan orang lain. Apa lagi ketika para wanita yang mengalami

korban kekerasan dalam rumah tangga ini harus bertemu dengan teman-teman

atau orang lain yang sedang berkumpul dan membicarakan hal-hal tentang

keadaan keluarganya. Hal ini karena mereka merasa tidak nyaman dengan

kondisi yang dialami saat ini.

Umaythia (2015) menemukan bahwa wanita yang mengalami kekerasan

dalam rumah tangga juga mengatakan mereka merasa sakit hati atas

perlakukan yang diberikan oleh pelaku kepada dirinya. Terkadang mereka

hanya menahan amarah yang sebenarnya ingin mereka ungkapkan kepada

pelaku. Namun para korban tersebut merasa takut atau malah menjadi

omongan orang lain jika si pelaku adalah suami korban. Oleh karena itu,

hubungan mereka dengan suami tidak terjalin dengan baik.

Terkadang hubungan yang tidak baik juga ditunjukkan oleh korban kepada

(50)

korban menjadi merasa sulit dalam menggambil keputusannnya sendiri.

Korban juga memiliki interaksi yang kurang baik dengan pelaku maupun

orang yang tidak menyakitinya namun berhubungan dekat dengan pelaku. Hal

ini merupakan salah satu yang mengindikasikan bahwa korban memiliki

kesejahtetaan psikologis yang rendah. Seperti yang diungkapkan oleh Ryff

(1995) bahwa kesejahteraan psikologis yang rendah ditunjukkan adanya sikap

inidividu yang tidak dapat mengambil keputusan sendiri, kurang mampu untuk

mengaktualisasikan dirinya, tidak memiliki makna dan tujuan hidup yang

tepat.

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan

psikologis individu. Chime (2015) menemukan bahwa religiusitas individu

memiliki pengaruh terhadap kesejahteraan psikologis mereka. Ketika individu

menyerahkan segala keputusan mereka kepada Tuhan, maka hal tersebut akan

memberikan tendensi terhadap kesejahteran psikologis (Chime, 2015). Dolan

dan Barlow (2016) menjelaskan bahwa pemaafan juga mampu untuk

meningkatkan kesejahteraan psikologis individu.

Islam juga mengajarkan individu untuk memaafkan satu sama lain, yaitu

Allah bersabda: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.

Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Asy-Syura: 40)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa ketika individu mampu memaafkan

(51)

menyukai umatnya yang melakukan kebaikan dengan tidak berbuat zalim.

Meskipun Allah menjelaskan balasan atas suatu kejahatan adalah kejahatan

yang serupa, namun ketika individu mampu untuk memaafkan kejahatan

tersebut maka sebuah kemulian dan pahala kebaikan baginya.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan

psikologis adalah melalui terapi pemaafan (Enright, 2003). Terapi pemaafan

tidak hanya sekedar terapi melain juga melatih kemampuan individu untuk

dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Hal ini karena dalam terapi

pemaafan, individu diarahkan untuk dapat mengidentifikasi perasaan yang

mereka rasakan dan mencari coping yang tepat dalam sebuah situasi,

menumbuhkan empati dalam melakukan pemaafan, serta dapat memahami

setiap situasi yang dialami hingga dapat membuat rencana ke depan

(Macaskill, 2005). Terapi pemaafan juga digunakan sebagai terapi untuk dapat

memulihkan kondisi kesehatan mental individu (Wade, 2010). Terapi

pemaafan mampu meningkatkan pemaafan individu dan mendukung dalam

memperbaiki kondisi kesehatan mental seperti kesejahteraan psikologis

individu (Freedman & Enright, 2017).

Enright (2003) menuliskan bahwa terapi pemaafan memiliki empat

tahapan agar seseorang mampu untuk memaafkan, diantaranya adalah

membuka kembali, memutuskan untuk memaafkan, melakukan pemaafan dan

mendalami pemaafan yang telah dilakukan. Jika para perempuan korban

kekerasan dalam rumah tangga melalaui tahapan pemaafan tersebut maka akan

(52)

memiliki tiga dimensi, yaitu emosi, pikiran dan perilaku (Nashori, 2012).

Orang yang memiliki pemaafan akan memiliki kesehatan mental yang lebih

baik karena mereka mampu untuk bersikap lebih positif menghadapi sebuah

permasalahan (Freedman & Enright, 2017).

Oleh kerena itu perlu adanya pemaafan untuk dapat meningkatkan

kesejahteraan psikologis korban kekerasan dalam rumah tangga. Enright

(2003) menjelaskan bahwa pemaafan merupakan proses individu untuk tidak

melakukan balas dendam kepada pelaku yang telah menyakitinya, serta dapat

kembali menerima dan berhubungan baik dengan orang yang telah meyakiti

individu itu. Seseorang yang memiliki pemaafan pada dirinya dapat

mengontrol perasaan negatif yang muncul menjadi perasaan yang lebih positif

terhadap orang lain ataupun orang yang pernah menyakitinya (Dolan &

Barlow, 2016).

Adanya pemaafan dalam diri korban membuat korban dapat menetukan

tujuan hidup yang perlu ia lakukan. Korban mampu untuk menjalin hubungan

baik dengan pelaku karena korban perlahan-lahan belajar untuk tidak

membenci pelaku. Selain itu, korban juga bisa melakukan musyawarah kepada

pelaku untuk dapat menentukan keputusan yang diambil atas sikap atau

perlakuan yang telah dialami korban.

Orang yang memaafkan juga mampu untuk mengidentifikasi dorongan

negatif atau kekecewaannya pada diri sendiri ataupun orang lain dan

menggantinya dengan hal yang dapat membuatnya kembali nyaman (Akhtar,

(53)

dalam mengembangkan diri, menjalin hubungan hubungan yang baik dengan

orang lain, serta memiliki tujuan hidup untuk melanjutkan kehidupannya di

masa yang datang. Ketika seseorang telah mampu untuk berperan lebih baik

dalam kehidupannya, maka akan membuat kesejahteraan psikologis individu

menjadi lebih meningkat.

Enright dan Reed (2006), juga menemukan bahwa perempuan yang

melakukan pemaafan setelah mendapatkan kekerasan emosional dari

pasangannya mampu untuk beradaptasi dengan lingkungannya lebih baik

dibandingkan mereka yang masih memiliki perasaan benci dan rasa ingin

balas dendam kepada pasangannya. Ketika seseorang mampu untuk mengelola

lingkungannya dengan baik maka hal tersebut menjadi salah satu pondasi

baginya untuk memiliki kesejahteraan psikologis (Ryff, 1995). Oleh karena

itu, terapi pemaafan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis

(54)

Keterangan :

: mengalami : diberi perlakukan

: memiliki : menghasilkan

Kesejahteraan Psikologis Rendah

- Sulit menerima kondisi yang dirasakan

- Merasa tidak memiliki banyak teman untuk bercerita - Bingung dalam mengambil keputusan dan tujuan hidup

kedepan

- Merasa malu dan sulit menjalin relasi yang positif dengan orang lain

Tahapan pemaafan :

- Fase membuka kembali - Fase memutuskan - Fase bekerja - Fase pendalaman

Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Terapi Pemaafan

Manfaat Pemaafan :

- Mampu mengendalikan dan mengontrol emosi

- Menjalin hubungan yang lebih sehat dengan orang lain

- Mampu mengidentifikasi antara perasaan dan perbuatan yang akan dilakukan

- Dapat meningkatkan kesehatan mental individu

(55)

E. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap pertanyaan penelitian,

sehingga hipotesis dalam penelitian ini adalah terapi pemaafan mampu

meningkatkan kesejahteraan psikologis istri korban kekerasan dalam rumah

tangga (KDRT). Kelompok istri korban KDRT yang memperoleh intervensi terapi

pemaafan akan memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi

dibandingkan istri korban KDRT yang tidak mendapatkan intervensi terapi

(56)

40

A. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Varibel Tergantung : Kesejahteraan Psikologis

2. Variabel Bebas : Terapi Pemaafan

B. Definisi operasional

1. Kesejahteraan psikologis

Kesejahteraan psikologis merupakan kondisi psikologis individu untuk

mampu dalam mengembangkan dirinya, kemandirian, memiliki tujuan hidup,

menjalin hubungan baik dengan orang lain, penerimaan diri dan miliki tujuan

hidup (Ryff, 1989). Kesejahteraan psikologis dapat diketahui melalui skor yang

diperoleh dari skala kesejahteraan psikologis yang dibuat oleh Pebriatati (2011)

berdasarkan Psychological Well-being Scale (Ryff, 1995). Skala kesejahteraan

psikologis terdiri dari 29 butir aitem yang bertujuan untuk mengungkap tingkat

kesejahteraan psikologis yang dimiliki subjek. Semakin tinggi skor yang diperoleh

semakin tinggi kesejahteraan psikologis, semakin rendah skor yang diperoleh

semakin rendah kesejahteraan psikologis yang dimiliki oleh subjek.

2. Terapi pemaafan

Terapi pemaafaan merupakan penanganan yang diberikan kepada subjek

dengan memberikan pendampingan berkelompok. Subjek yang digunakan dalam

Gambar

Tabel 5. Gambaran Subjek  Penelitian Berdasarkan Usia  No.  Usia  (Tahun)  Kelompok Eksperimen  Kontrol  1
Gambar 2  Histogram Tingkat Pemaafan
Gambar 3  020406080100120140 Prates  Pascates 1 Pascates2 Pemaafan KesejahteraanPsikologis b
Gambar 4  020406080100120140 Prates  Pascates 1 Pascates2 Pemaafan KesejahteraanPsikologis c
+3

Referensi

Dokumen terkait

Selain perasaan takut, istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga juga memiliki suatu perasaan marah terhadap suaminya (Kirkwood, 1993: 58). Ketika istri

FK +++ subjek berasal dari keluarga yang tidak matang secara psikologis. Beberapa masalah terjadi di dalam keluarga subjek yang menyebabkan kakak subjek melakukan

UPAYA PPT PROVINSI JAWA TIMUR DALAM MENANGANI ISTRI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.. Gambaran Umum Pusat Pelayanan Terpadu (PPT)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, bentuk bimbingan islami terhadap istri korban kekerasan dalam rumah tangga,

Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak

Risa Juliadilla, 111314153012, Terapi Asertif Untuk Menurunkan Tingkat Kecemasan Pada Korban Kekerasan Fisik dan Psikis Dalam Rumah Tangga,. Tesis , Fakultas

23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan ke dalam 4 (empat) macam: 1) Kekerasan Fisik, Kekerasan fisik adalah perbuatan

Untuk membantu mengatasi siswa yang mengalami trauma akibat korban kekerasan dalam rumah tangga di SMK Putra Mahkota Kayen melalui teknik relaksasi sehingga