TESIS
Diajukan Kepada Program Studi Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia
Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Master Psikologi
Oleh:
Asih Prihantini, S.Psi 15915036
PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
i
TESIS
Diajukan Kepada Program Studi Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia
Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Master Psikologi
Oleh:
Asih Prihantini, S.Psi 15915036
PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
Yang dipsrcifipM &n dissswl oleh
AsihPrihantini, S.Psi 1591s036
Telah dipertahankan di depan Sidang Dewan Peguji Pada tanggal 15 Febnrari 2018
rargsar
l5FFR20lB
)'Sr*PffiF*ro';
I
No. Mahasiswa Judul Tesis
: 1595036
: Terapi Pemaafan untuk Meningktakan Kesejahteraan Psikologis pada
Istri Korban
Kekerasan dalam Rumah TanggaMelalui surat ini saya menyatakaflbahwa :
l.
Selama melakukan peneltian dan pembuatan laporan penelitian tesis saya tidak melakukan tindakan pelanggaran etika akadernik dalam bentukapapun, seperti penjiplakan, pembuatan tesis oleh orang lain, atau pelanggaran lain yangbertentangan dengan etika akademik yang drjunjung tinggi Universitas Islam Indonesia. Karena
itu,
tesis yang saya buat merupaan karya ilmiah saya sebagai penulis, bukan karya jiplakan atau karya orang lain.2.
Apabila dalam ujian tesis saya terbukti melanggar etika akademik, makasaya siap menerima sanksi sebagaimana aturan yang berlaku di
Universitas Islam Indonesia.
3.
Apabila dikemudian hari, setelah saya lulus dari Fakultas Psikologi danIlmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia ditemukan bukti secara meyakinkan bahwa tesis ini adalah karya jiplakan atau karya orang lain,
maka saya bersedia menerima sanksi aademik yang ditetapkan Universitas
Islam Indonesia.
Yogyakarta, 15 Februari 2018
Tim Penguji
Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., Psikolog Rumiani, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Dr. Sukarti
Dr. Ahmad Rusdi, MA.SI 1. 2. a J. 4. 111 Tanda Tangan
iv
Ketika orang lain telah tertidur semua atau bahkan tidak ada lagi orang yang bisa
membantumu, yakinlah bahwa Allah senantiasa membantumu bersama para
malaikatnya kapan dan dimana saja kamu berada.
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”
(QS. Ar-Rahman [55]: 26-27)
Orang-orang yang sukses bukan berarti mereka tidak pernah bersusah payah.
Kesuksessan mereka berawal dari usaha susah payah, dan berusaha sedikit lebih
v
Segala puji dan syukur pada Zat yang Maha Agung, Allah Subhanahu wa Ta’ala, atas segala rahmat dan hidayah, nikmat dan hikmah kehidupan yang dianugerahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan karya sederhana ini.
Sholawat serta salam kepada Rasulullah Salallahu ‘alaihi wa salam, keluarga, sahabat, serta pengikutnya.
Karya tulis sederhana ini penulis persembahkan kepada:
Bapak Suhairi Syamsuddin dan Ibu Sadarti Estiningsih
Atas segala kasih sayang, cinta, kesabaran dan segenap pengorbanan Bapak dan Ibu yang telah merawat, menjaga dan melindungi, serta membesarkan penulis
hingga menjadi sosok yang seperti saat ini.
Abang Yoga Perdana dan Mba Ajeng Herjanti
Atas segala perhatian dan dukungan yang telah diajarkan kepada penulis untuk menjadi sosok yang tegar menghadapi setiap apapun yang terjadi dalam
vi
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillahi Rabbil’alamin. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas
segala rahmat dan karunia-Nya, yang telah memberikan kekuatan, ketabahan,
kesabaran, serta kemudahan sehingga peneliti dapat menyelesaikan karya
sederhana berupa tesis ini.
Penulis menyadari bahwa selama menjalani proses penyusunan tesis ini,
banyak pihak yang telah memberikan bantuan berupa bimbingan, dorongan,
motivasi, masukan dan doa yang diperlukan peneliti mulai dari persiapan hingga
tersusunnya tesis ini. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terimakasih tak
terhingga kepada:
1. Bapak Dr.rer.nat. Arif Fahmi, S.Psi., MA., Psikolog selaku Dekan Fakultas
Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia atas
kepemimpinan dan bimbinganya bagi seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi
dan Ilmu Sosial Budaya.
2. Bapak Dr. H. Fuad Nashori, M.Si, Psikolog selaku Ketua Program Studi
Magister Profesi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya
sekaligus pembimbing utama peneliti yang senantiasa memberikan dukungan
dan bimbingan dengan penuh semangat.
3. Ibu Rumiani, S.Psi., MA, Psikolog selaku pembimbing kedua peneliti yang
vii
Ibu Dr. Sukarti selaku Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan
evaluasi terhadap penelitian ini.
5. Seluruh dosen Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial
Budaya Universitas Islam Indonesia yang telah senantiasa mengajarkan dan
mebagi ilmunya kepada penulis selama menempuh pendidikan di bangku
kuliah.
6. Pihak UPT P2TP2A Kabupaten Sleman beserta para subjek penelitian yang
menjadi bagian terpenting dalam proses berjalannya penelitian ini.
7. Bapak Suhairi Syamsuddin dan Ibu Sadarti Estiningsih selaku orangtua yang
selalu memberikan semangat luar biasa kepada penulis untuk terus berusaha
mendapatkan pendidikan yang terbaik dan mampu untuk menyelesaikan tugas
praktek profesi ini.
8. Abang Yoga Perdana dan Mba Ajeng Herjanti sebagai kakak yang selalu
mendukung peneliti untuk terus menjadi orang yang lebih baik dan memberi
motivasi.
9. M. Adhitya Nugraha yang juga selalu memberikan hiburan dan semangat
untuk segera menyelesaikan peneltian ini.
10. Kepada teman-teman satu bimbingan, yaitu Mbak Asiska, Tri, Mbak Anti dan
juga Mei atas perjuangan kita bersama hingga akhirnya menyelesaikan
viii
12. Teman-teman yang ada di Magister Psikologi Profesi yang telah berjuang
bersama-sama untuk mendapatkan ilmu yang lebih baik lagi dari sebelumnya.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan karunia dan nikmat-Nya kepada
semua pihak atas segala sesuatunya yang telah diberikan peneliti. Peneliti
berharap semoga karya ini bisa memberikan dan menjadi manfaat bagi siapa saja
yang membacanya.
Amiin Ya Rabbal ‘Alamin
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Yogyakarta, 15 Februari 2018 Peneliti
ix
HALAMAN PERNYATAAN ...iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...iv
HALAMAN MOTTO ...v
KATA PENGANTAR ...vi
DAFTAR ISI ...ix
DAFTAR TABEL ...xii
DAFTAR GAMBAR ...xiii
ABSTRACT ...xiv
INTISARI ...xv
BAB I. PENDAHULUAN ...1
A. Latar Belakang ...1
B. Perumusan Masalah ...9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...9
D. Keaslian Penelitian ...10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...14
A. Kesejahteraan Psikologis ...14
1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis ...14
2. Aspek-Aspek Kesejahteraan Psikologis ...15
3. Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis ...18
B. Terapi Pemaafan ...20
1. Pengertian Terapi Pemaafan ...20
2. Aspek-aspek Pemaafan ...23
3. Tahapan Terapi Pemaafan ...24
C. Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ...26
1. Pengertian Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga ...26
2. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ...28
x
1. Kesejahteraan Psikologis ...40
2. Terapi Pemaafan ...40
C. Subjek Penelitian ...41
D. Rancangan Penelitian ...41
E. Metode Pengumpulan Data ...43
F. Prosedur Pemberian Perlakuan ...45
1. Penyusunan Modul Intervensi ...45
2. Seleksi Fasilitator dan Asisten Fasilitator ...48
3. Materi yang Dibutuhkan untuk Intervensi ...49
G. Metode Analisis Data ...49
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...50
A. Orientasi Kancah dan Persiapan Penelitian ...50
1. Orientasi Kancah ...50
2. Persiapan Penelitian ...52
a. Persiapan Administrasi Penelitian ...52
b. Persiapan Alat Ukur Peneltian ...52
c. Validitas dan Relabilitas ...53
d. Persiapan Modul Penelitian ...54
e. Seleksi Fasilitator dan Observer Penelitian ...57
f. Penentuan Subjek Penelitian ...58
B. Laporan Pelaksanaan Penelitian ...58
1. Building Rapport ...58
2. Pelaksanaan Prates ...59
3. Pelaksanaan Terapi Pemaafan ...60
4. Pelaksanaan Pascates 1 ...71
5. Pelaksanaan Pascates 2 ...72
xi
2. Hasil Analisis Kualitatif ...80
a. Subjek 1 (SR) ...80 b. Subjek 2 (RH) ...83 c. Subjek 3 (AW) ...86 d. Subjek 4 (DS) ...88 e. Subjek 5 (NY) ...90 D. Pembahasan ...93 E. Evaluasi Penelitian ...101 BAB V. PENUTUP ...103 A. Kesimpulan ...103 B. Saran ...104 DAFTAR PUSTAKA ...10 LAMPIRAN ...109
xii
Tabel 2. Blueprint Skala Kesejahteraan Psikologis ... 45
Tabel 3. Blueprint Skala Pemaafan ... 45
Tabel 4. Rancangan Terapi Pemaafan ... 46
Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 52
Tabel 6. Blueprint Skala Kesejahteraan Psikologis ... 53
Tabel 7. Blueprint Skala Pemaafan ... 54
Tabel 8. Pelaksanaan Terapi Pemaafan ... 54
Tabel 9. Deskripsi kategori subjek penelitian berdasarkan hasil prates skala kesejahtraan psikologis ... 59
Tabel 10. Deskripsi kategori subjek penelitian berdasarkan hasil pascates 1 skala kesejahtraan psikologis ... 71
Tabel 11. Deskripsi kategori subjek penelitian berdasarkan hasil pascates 2 skala kesejahtraan psikologis ... 72
Tabel 12. Deskripsi statistik perbandingan prates-pascates 1-pascates 2 antara kelompok eksperimen dan kontrol terhadap skor kesejahteraan psikologis ... 73
Tabel 13. Deskripsi statistik perbandingan prates-pascates 1-pascates 2 antara kelompok eksperimen dan kontrol terhadap skor pemaafan ... 73
Tabel 14. Gain score kesejahteraan psikologis kelompok eksperimen dan kontrol pada saat prates-pascates 1-pascates 2 ... Tabel 15. Gain score pemaafan kelompok eksperimen dan kontrol pada saat prates-pascates 1-pascates 2 ... 70
xiii
Gambar 2. Histogram Tingkat Pemaafan ... 75
Gambar 3. Grafik Subjek 1 ... 83
Gambar 4. Grafik Subjek 2 ... 86
Gambar 5. Grafik Subjek 3 ... 88
Gambar 6. Grafik subjek 4 ... 91
xiv
Dr. H. Fuad Nashori, M.Si., Psikolog Rumiani, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Magister Psikologi Profesi Universitas Islam Indonesia
asihprihantini@gmail.com
ABSTRACT
The purpose of the study was to determine the effectivity of forgiveness therapy to psychological well-being levels of wives as domestic violence victims. Subjects in this study were wives aged 25-45 years and they were victims of domestic violence who had average or low psychological well-being. The scale used in this research was psychological well-being scale by Pebriatati (2011) that adapted from Ryff”s Psychlogical Well-being Scale. The data analyzed by Mann Whitney. The results of the measurement before intervention was obtained value Z=-1.257and p= 0.209 (p > 0.05). While on 1th post test obtained value Z= -2.611 and p = 0.009 (p<0.01). Then on 2nd post test obtained value Z= - 2.619 and p = 0.009 (p<0.01). The result of the hypothesis show that there was significant level differences in psychological well-being between the experimental and cotrol goup.
Keyword: Forgiveness therapy, Psychological well-being, Wives as domestic violence victims.
xv Asih Prihantini
Dr. H. Fuad Nashori, M.Si., Psikolog Rumiani, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Magister Psikologi Profesi Universitas Islam Indonesia
asihprihantini@gmail.com
Intisari
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh terapi pemafan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis para istri korban kekerasan dalam rumah tangga. Subjek dalam peneltian ini merupakan istri yang berusia 25-45 tahun dan mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang memiliki tingkt kesejahteraan psikologis sedang hingga rendah. skaladalam penelitian ini menggunakan skala kesejahteraan psikologis Pebriatati (2011) yang diadaptasi dari skala kesejateraan psikologi Ryff. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji Mann Whitney. Hasil pengukuran yang dilakukan sebelum intervensi menunjukkan nilai Z=-1.257 dan p=0.209 (p > 0.05). Sedangkan pada saat pascates 1 menunjukkan nilai Z=-2.611 dan p = 0.009 (p<0.01). Kemudian pada pascates 2 menunjukkan nilai Z=-2.619 dan p = 0.009 (p<0.01). Hasil uji hipotosis menunjukkan ada perbedaan yang signifikan pada tingkat kesejahteraan psikologis antara kelompok eksperimen dan kontrol.
1
A. Latar Belakang
Berdasarkan undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Pengertian KDRT (Kekerasan dalam
Rumah Tangga) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara seksual, fisik,
psikologi atau penelantaran rumah tangga termasuk juga hal-hal yang
mengakibatkan pada ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertidak, rasa tidak percaya atau penderitaan psikis berat pada
seseorang. Menurut Komnas Perempuan (2014), pada tahun 2013 terdapat 11.719
kasus kekerasan dalam relasi yang dialami oleh perempuan. Berdasarkan kasus
tersebut terdapat 7.548 kasus diantaranya merupakan kasus kekerasan terhadap
istri yang berada diperingkat pertama.
Pada Catatan Akhir Tahun 2014, terdapat 293.220 kasus kekerasan
terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2014. Sebanyak 68 persen dari
kasus tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan mayoritas
korban ibu rumah tangga dan pelajar (Kompas.com, 2015). Selain itu, CNN
Indonesia (2016) juga melaporkan bahwa Komnas Perempuan mencatat pada
tahun 2015 kekerasan pada perempuan mengalami peningkatan dibandingkan
Tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan yang mengalami
kekerasan rumah tangga akan mempengaruhi kesehatan korban. Tidak hanya
kesehatan secara fisik saja tapi juga secara psikis. Berdasarkan hasil data laporan
kekerasan yang didapatkan di FPK2PA Kabupaten Sleman tahun 2016
menunjukkan bahwa dari 499 kasus yang masuk, 178 diantaranya melaporkan
mengalami kekekerasan secara psikis, 145 mengalami kekerasan secara fisik.
Pada data lainnya ditemukan berdasarkan 499 kasus yang melapor, 409
diantaranya adalah perempuan. Selain itu, laporan terbanyak adalah usia 25-40
tahun, diikuti dibawahnya pada usia 18-24 tahun dan 41-50 tahun.
Berdasarkan keterangan yang didapatkan dari P2TP2A Kabupaten Sleman,
menjelaskan bahwa penanganan yang pernah diberikan kepada para perempuan
korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya berupa pendampingan konseling
dan juga pendampingan secara hukum. Penangan yang pernah di lakukan kepada
perempuan korban KDRT berupa pelatihan pemaafan untuk menurunkan tingkat
stres, dan pelatihan komunikasi efektif untuk meningkatkan kemampuan
komunikasi interpersonal. Pelatihan tersebut berhasil dilakukan dan hasilnya juga
memuaskan bagi para korban, meskipun demikian masih ada beberapa korban
lainnya yang belum mendapatkan penangan tersebut karena laporan pengaduan
korban yang juga selalu ada sampai saat ini.
Para perempuan korban kekerasan ini juga butuh penanganan lain secara
spesifik karena permasalahan yang mereka hadapi tidak hanya terkait stress saja.
Sitala (2014) menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan dalam
mengungkapkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan kondisi dimana
individu mampu mengelola lingkungannya, menerima keadaan diri, dapat
mengambil keputusan sendiri, memiliki tujuan hidup ke depan, mampu untuk
menumbuhkan kepribadian lebih baik lagi, serta menjalin hubungan yang positif
kepada orang lain.
Hasil wawancara dengan salah satu istri yang merupakan korban
kekekerasan dalam rumah tangga (NK) mengatakan bahwa NK merasa tidak siap
jika harus bertemu dengan orang yang telah menyakitinya. NK akan mengalami
sakit kepala tiba-tiba jika bertemu dengan orang yang telah menyakitinya. Hal ini
mengakibatkan hubungan interpersonal NK menjadi tidak baik dengan orang yang
telah menyakitinya. Padahal menjalin hubungan yang positif dengan orang lain
merupakan salah satu aspek yang membuat seseorang memiliki kesejahteraan
psikologis (Ryff & Keyes, 1995). Oleh karena itu perlu adanya kesejahteraan
psikologis bagi para perempuan untuk dapat mensejahterakan diri mereka dalam
kehidupan sehari-hari.
Tidak hanya permasalahan terkait hubungan dengan orang lain saja, NK
sempat merasa bahwa apapun yang NK lakukan selama ini kepada suaminya,
seperti menasehati, menjelaskan persoalan dengan baik-baik tidak membuat
rumah tangga mereka menjadi keluarga yang sehat. Justru apa yang telah NK
lakukan menyulut amarah suaminya, sehingga NK biasanya memilih untuk diam.
NK merasa apa yang NK lakukan adalah tindakan yang sia-sia. Selain itu, NK
pernah merasa bahwa Tuhan tidak adil dengan memberikan NK cobaan seperti
NK mengatakan bahwa selama ini NK yang lebih banyak menafkahi
keluarganya dibandingkan suami. Hal ini menunjukkan indikasi rendahnya
penerimaan diri pada NK, karena Ryff (1989) menungkapkan bahwa individu
yang memiliki penerimaan diri yang baik akan mampu untuk menerima situasi
dan kondisi yang dialami dalam kehidupannya. NK sempat merasa malu dengan
tetannga di sekitar rumah mereka yang sering melihat NK bertengkar dengan
suami. Sampai pada akhirnya NK terbiasa dan membiarkan suaminya menjadi
bahan olokkan di lingkungan rumah mereka. Ryff (1989) menjelaskan bahwa
ketika seorang individu memiliki kesejahteraan psikologis maka individu tersebut
dapat beradaptasi secara baik dengan lingkungan yang ada di sekelilingnya.
Kondisi yang dialami oleh NK merupakan indikasi tidak terpenuhinya
kesejahteraan psikologis bagi kehidupannya. Kesejahteraan psikologis merupakan
kondisi di mana individu secara maksimal merasa puas dengan hidupnya,
memiliki kondisi emosional yang baik, mampu melalui pengalaman-pengalaman
buruk yang membuat perasaan menjadi tidak nyaman, memiliki hubungan yang
baik dengan orang lain, mampu menentukan keputusannya sendiri tanpa
bergantung dengan orang lain, mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki
tujuan hidup yang jelas, dan mampu mengembangkan dirinya sendiri (Ryff,
1989).
Ham-Rowbotton, Gordon, Javris, dan Novaco (2005) menemukan bahwa
korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami kebingungan dalam
menentukan kehidupan mereka sehingga memiliki kepuasan hidup yang rendah.
mengalami depresi dimana permasalahan tersebut membuat kesejahteraan
psikologis mereka tidak terpenuhi. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian yang
dilakukan oleh Karakurt, Smith, dan Whiting (2015) juga menemukan bahwa
perempuan yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangannnya
menunjukkan gejala depresi, tidak memperdulikan kondisi mereka sendiri,
bingung menghadapi situasi, marah, takut dengan hubungan dengan orang lain di
masa depan, sulit menjalin komunikasi dengan orang lain dan merasa tidak
memiliki teman untuk diajak berbicara. Hal ini juga menunjukkan adanya
kecenderungan kesejahteraan psikologis yang rendah pada diri mereka (Karakurt,
Smith & Whiting, 2015)
Oleh karena itu kesejahteraan psikologis tersebut merupakan hal penting
bagi individu. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bradburn (1969) bahwa
individu yang memiliki kesejahteraan psikologis mampu merasakan kebahagiaan
dalam hidupnya. Kesejahteraan psikologis yang ada pada diri individu dapat
menjadikan individu lebih merasakan hal positif ketimbang hal negatif dalam
memaknai kejadian dalam kehidupan mereka (Bradburn, 1969). Ryff dan Keyes
(1995) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kesejahteraan psikologis
mampu untuk menerima kodisi dirinya sepenuhnya. Hal ini bertolak belakang
dengan kondisi psikologis yang dialami oleh para korban kekrasan dalam rumah
tangga.
Kompasiana.com (2015) menuliskan bahwa kerugian yang didapatkan
oleh korban kekerasan dalam rumah tangga ada yang material dan immaterial.
psikis atau mental. Hal ini berkaitan dengan kondisi kejiwaan korban. Jika korban
tidak dapat segera melupakan perbuatan pidana yang menimpanya, akan
menyebabkan tekanan psikis, di mana untuk menyembuhkannya dibutuhkan
waktu yang cukup lama. Kesejahteraan psikologis seseorang dapat dipengaruhi
oleh usia dan juga kebutuhan hidup seseorang (Ryiff & Keyes, 1995). Tidak
hanya itu saja, keyakinan atau religiusitas seseorang juga mampu untuk
mempengaruhi kesejahteraan psikologis seorang individu dalam kehidupannya
(Akhtar, Dolan & Barlow, 2016). Akhtar, Dolan, dan Barlow (2016) juga
menyebutkan bahwa pemaafan dapat dijadikan dukungan dalam religiusitas dan
juga spiritualitas seseorang untuk mendapatkan kesejahteraan psikologis dalam
diri individu tersebut.
Enright (2003) mengatakan bahwa pemaafan merupakan proses individu
untuk tidak melakukan balas dendam kepada pelaku yang telah menyakitinya,
serta dapat kembali menerima dan berhubungan baik dengan orang yang telah
meyakiti individu itu. Nashori (2012) mengungkapkan bahwa pemaafan
merupakan kesediaan seseorang untuk dapat menumbuhkembangkan pikiran,
perasaan dan menjalin hubungan dengan orang lain secara positf dari perasaan
tidak menyenangkan ketika memiliki permasalahan dalam hubungan interpersonal
dengan orang lain.
Islam juga mengajarkan setiap orang untuk memaafkan kesalahan orang
lain. Hal tersebut sesuai firman Allah sebagai berikut: “Dan balasan suatu
baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Asy-Syura: 40)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa seseorang yang mampu untuk
memaafkan, maka Allah yang akan memberikan tanggungan terhadap pahala yang
diperolehnya. Allah saja mampu untuk mengampuni kesalahan hambanya, maka
sudah sepatutnya sebagai sesama manusia yang kedudukannya sama di mata
Allah mampu untuk saling memaafkan satu sama lain. Hal ini seperti yang
tercantum dalam ayat berikut: “Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi
serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (At-Taghabun: 14)
Salah satu cara mengembangkan potensi seseorang untuk mengahsilkan
kesehatan mental termasuk kesejahteraan psikologis adalah dengan cara
melakukan terapi pemaafan. Akhtar dan Barlow (2016) menemukan bahwa terapi
pemaafan efektif untuk menurunkan tingkat depresi, kemarahan dan kebencian,
stres dan distress, serta menumbuhkan perasaan positif. Terapi pemaafan juga
mampu untuk mengembangkan trait dan state pemaafan pada individu (Akhtar &
Barlow, 2016). Fredman dan Enright (2017) juga menungkapkan bahwa terapi
pemaafan mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis pada perempuan yang
mengalami tindak kekerasan.
Reed dan Enright (2006) menemukan bahwa perempuan korban kekerasan
emosional yang melakukan terapi pemaafan lebih mampu untuk mengelola
lingkungannya dibandingkan dengan mereka yang masih menyimpan kemarahan
seseorang membuat tekanan darah menjadi normal, memiliki kemampuan
mengelola kemaran yang lebih baik, hubungan yang lebih sehat, meningkatkan
kesehatan jiwa dan raga, dan penurunan stres (Gani, 2015). Enright dan
Fitzgibbons dalam Sutton (2017) menjelaskan bahwa terapi pemaafan dapat
mengelola kemarahan pada individu dan menumbuhkan harapan untuk kehidupan.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Akhtar, Dolan, dan Barlow (2016)
menemukan bahwa adanya pemaafan pada diri seseorang mampu menghasilkan
kesejahteraan mental. Ketika individu mampu meamaaafkan maka individu
tersebut akan mau untuk menerima orang lain yang pernah menyakitinya. Selain
itu, individu yang menerapkan pemaafan dalam kehidupan sehari-hari mampu
untuk mengontrol emosi negatif dalam dirinya dan merubahnya menjadi perasaan
yang lebih positif. Hal ini akan membuat individu merasa lebih tenang jika
mengalami permasalahan konflik dengan orang lain dan membuat kecemasan
individu itu berkurang.
Adanya pemaafan dalam diri seseorang, diharapkan mampu untuk dapat
memberikan dukungan terhadap peningkatan kesejahteraan psikologis seseorang
terutama bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini seperti penelitian
yang dilakukan oleh Karremans, Van Lange, Klewer, dan Ouwerkerk (2003)
menjelaskan bahwa ketika individu mampu untuk memaafkan, maka akan mampu
untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis individidu itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan yang telah peneliti sampaikan, maka dari itu
peneliti ingin mengetahui pengaruh terapi pemaafan terhadap kesejahteraan
B. Perumusan Masalah
Apakah terapi pemaafan dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis pada
istri yang menjadi korban kekerasan rumah tangga?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana efektivitas terapi
pemaafan terhadap peningkatan kesejahteraan psikologis pada istri yang menjadi
korban kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian ini diharapkan memberikan
manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi secara empiris
dan aktual sehingga dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan terutama
yang berkaitan dengan psikologi klinis dan psikologi positif, khususnya
tentang kesejahteraan psikologis pada korban kekerasan rumah tangga.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
keluarga dan korban kekerasan rumah tangga sebagai referensi terkait proses
pemaafan para korban agar dapat kembali bangkit dari kondisi psikologis
D. Keaslian Penelitian
Penelusuran yang telah dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa belum
ada penelitian yang secara spesifik sama terkait terapi pemaafan untuk
meningkatkan kesejahteraan psikologis pada istri korban kekerasan rumah tangga.
Salah satu penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Akhtar dan
Barlow (2016) berjudul “Forgiveness Therapy for the Promotion of Mental
Well-Being: A Systematic Review and Meta-Analysis”. Penelitian Akhtar dan Barlow
(2016) memberikan penjelasan terkait terapi pemaafaan untuk dapat
meningkatkan kesejahteraan mental yang dilakukan dengan konsep metanalisis
dan telaah sistematis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa berdasarkan
beberapa penelitian menggunakan terapi untuk dapat memperbaiki kondisi mental
seseorang.
Akhtar, Dolan, dan Barlow (2016) juga menuliskan penelitian yang
berjudul “Understanding the Relationship Between State Forgiveness and
Psychological Wellbeing: A Qualitative Study”. Penelitian tersebut dilakukan
dengan pendekatan kualitatif, dimana ada 12 subjek yang dijadikan sebagai
responden. Penelitian ini menelaah lebih dalam terkait kehidupan yang dijalani
para subjek ketika bersama dengan pasangannya masing-masing.
Penelitian yang dilakukan oleh Tyas (2013) dengan judul “Terapi
Pemaafan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Subjektif Istri yang Berkonflik
dengan Suami” menemukan adanya pemaafan yang dilakukan oleh subjek dapat
meingkatkan kesejahteraan subjektif subjek yang berkonflik dengan suami.
Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Wanita Bercerai”. Penelitian ini
menemukan bahwa ada peningkatan kesejahteraan psikologis pada wanita
bercerai yang telah diberikan pelatihan pemaafan.
Radatussalamah dan Susanti (2014) melakukan penelitian yang berjudul
“Pemaafan dan Psychological Wll-Being pada Narapidana Wanita”. Penelitian ini
menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara pemaafan dan psychological
well-being pada narapidana wanita. Penelitian ini menggunakan konstruk teori
dan alat ukur psychological well-being dari Ryff (1989). Pada konstruk teori
pemaafan dan alat ukur pemaafannya, Radatussalamah dan Susanti (2014)
menggunakan dimensi dan skala dari Heartland Forgiveness Scale (HFS) oleh
Thompson. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan ini dengan penelitian
sebelumnya, yaitu:
1. Keaslian Topik
Akhtar dan Barlow (2016) pernah melakukan penelitian dengan topik
terapi pemaafan untuk menunjukkan kesejahteran mental dengan meta analisis
dan ringkasan sistematis. Penelitian yang dilakukan Pebriatati (2011)
menempatkan kesejahteraan psikologis sebagai variabel tergantung, hal ini
sama dengan penelitian yang peneliti lakukan. Hal ini sama seperti penelitian
yang dilakukan Tyas (2013) dengan judul “Terapi Pemaafan untuk
Meningkatkan Kesejahteraan Subjektif Istri yang Berkonflik dengan Suami”.
Hanya saja, kedua penelitian ini menggunakan terapi pemaafan sebagai
variabel bebas. Tidak hanya itu saja, Akhtar, Durlan dan Barlow (2016) juga
psikologis. Namun, Akhtar, Dolan dan Barlow bukan menggunakan topik
pemaafan sebagai terapi melainkan sebuah penelitian kualitatif untuk
memahami hubungan antara penerapan pemaafan dan kesejahteraan psikologis.
2. Keaslian Teori
Pada penelitian ini menggunakan teori dari Ryff (1998) yang sama dengan
penelitian yang dilakukan Akhtar, Dolan, dan Barlow (2016) ; Dolan dan
Barlow (2016) dan Pebriatati (2011) sebagai konstruk teori kesejahteraan
psikologis. Perbedaan konstruk teori lainnya, yaitu Pebriatati (2011)
menggunakan konstruk teori dari Enright (2002) sedangkan peneliti
menggunakan konstruk teori dari Nashori (2012). Selain itu juga berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Tyas (2013) menggunakan kunstruk
teori pemaafan dari Pollard, dkk (1998).
3. Keaslian Alat Ukur
Keaslian peneliti akan menggunakan tiga alat ukur yang merupakan
adaptasi dari alat ukur sebelumnya. Untuk mengukur kesejahteraan psikologis,
peneliti menggunakan alat ukur kesejahteraan psikologis yang dibuat oleh
Pebriatati (2012) mengadaptasi dari Psychological well being Scale oleh Ryff
(1989). Sedangkan untuk mengukur pemaafan menggunakan skala pemaafan
oleh Nashori (2012). Hal ini berbeda dengan penelitian Tyas (2013) yang
menggunakan alat ukur Family forgiveness scale dari Pollard, dkk (1998).
Subjek pada penelitian ini adalah para istri yang mengalami kekerasan
dalam rumah tangga. Sehingga berbeda dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Pebriarti (2011), yaitu menggunakan subjek istri yang bercerai.
Pada penelitian yang di lakukan oleh Dolan dan Barlow (2016) menggunakan
subjek yang berusia dari 25 hingga 50 tahun yang berbeda agama. Selain itu,
penelitian yang dilakukan oleh Tyas (2013) menggunakan subjek istri yang
mengalami konflik dengan suami.
5. Keaslian Intervensi
Intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan Terapi
Pemaafan seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Tyas (2013) dan juga
Dolan dan Barlow (2016). Namun intervensi dalam penelitian ini berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Pebriarti (2011) sebelumnya yang
menggunakan pelatihan pemaafan untuk meningkatkan kesejahteraan
14
A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis
Kesejahteraan psikologis merupakan capaian penuh dari potensi psikologis
individu dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan
kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi
yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu
beradaptasi dengan baik, dan terus bertumbuh secara personal (Ryff, 1989).
Selain itu, Corsini (2003) menjabarkan bahwa kesejahteraan psikologis
merupakan kondisi dalam diri individu yang didukung oleh keadaan subjektif
yang positif, kebahagiaan yang dirasakan, self-esteem, dan kepuasan dalam
kehidupan individu tersebut.
Cardak (2013) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan
suatu konstruksi individu berdasarkan konsep pengembangan dirinya agar
mendapat kebahagiaan. Menurut Ozen (2005), kesejahteraan psikologis
individu tergantung pada fungsi positif dalam aspek-aspek tertentu di
kehidupannya. Individu yang memiliki kesejehateraan psikologis akan
mampu menata kehidupaanya pada hal-hal yang positf dan berusaha semakin
memperbaiki diri dari sebelumnya.
Menurut Ramos (2007), kesejahteraan psikologis adalah kondisi individu
baik antar individu lain dan juga dalam kelompok. Raz (2004) menambahkan
kesejahteraan psikologis adalah keadaaan dimana individu mampu
menemukan makna kehidupannya dengan cara menjalankan kegiatan sepenuh
hati dan sukses dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
Berdasarkan beberapa pengertian kesejahteraan psikologis yang telah
disebutkan oleh beberapa ahli sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa
kesejahteraan psikologis merupakan suatu kondisi di mana individu tidak
hanya merasakan kebahagiaan dalam dirinya tetapi juga mampu untuk
berhubungan baik dengan orang, mengaktualisasikan dirinya dengan baik,
mengatasi permasalahan kehidupannya dengan tepat, serta memiliki makna
dan tujuan hidup yang baik.
2. Aspek Kesejahteraan Psikologis
Ryff (1995) mengemukakan enam dimensi kesejahteraan psikologis pada
diri individu, yaitu:
1) Autonomy (Kemandirian)
Pada dimensi ini menjelaskan tentang kemandirian, kemampuan
untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah
laku. Individu yang mampu menolak tekanan sosial untuk berfikir dan
bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri
sendiri dengan standar personal, hal ini menandakan bahwa ia baik dalam
2) Environmental mastery (Penguasaan Lingkungan)
Hal yang dimaksud dalam dimensi ini adalah seseorang yang
mampu memanipulasi keadaan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan
nilai-nilai pribadi yang dianutnya dan mampu untuk mengembangkan diri
secara kreatif melalui aktifitas fisik mapupun mental. Individu dengan
kesejahteraan psikologis yang baik memiliki kemampuan untuk memilih
dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya.
Dengan kata lain, ia memiliki kemampuan dalam menghadapi
kejadian-kejadian diluar dirinya (lingkungan eksternal).
3) Personal growth (Pengembangan Diri)
Pengembangan potensi dalam diri adalah adanya kebutuhan untuk
mengaktualisasi diri, misalnya keterbukaan terhadap pengalaman.
Seseorang yang memiliki pertumbuhan potensi diri yang baik memiliki
perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sebagai sesuatu yang
bertumbuh, menyadari potensi dalam diri, dan mampu melihat
peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu.
4) Positive relation (Hubungan Positif dengan Orang Lain)
Hubungan yang positif dengan orang lain menekankan adanya
kemampuan yang merupakan salah satu komponen kesehatan mental
yaitu kemampuan untuk mencintai orang lain. Dalam dimensi ini,
individu yang dikatakan tinggi atau baik ditandai dengan adanya
hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain,
Sementara itu, individu yang dikatakan rendah atau kurang baik dalam
dimensi ini ditandai dengan memiliki sedikit hubungan dengan orang lain,
sulit bersikap hangat dan enggan memiliki ikatan dengan orang lain.
5) Purpose in life (Tujuan Hidup)
Individu yang memiliki makna dan tujuan dalam hidup, maka akan
memiliki perasaan bahwa kehidupan baik saat ini maupun masa lalu
mempunyai makna, memiliki kepercayaan untuk mencapai tujuan hidup,
dan memiliki target terhadap apa yang ingin dicapai dalam hidup.
6) Self-acceptance (Penerimaan Diri)
Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai
dengan sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima
berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik yang positif maupun negatif,
dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian pula
sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang
baik dan memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa
kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan memiliki pengharapan untuk
menjadi pribadi yang bukan dirinya, dengan kata lain tidak menjadi
dirinya saat ini.
Selain itu, Bradburn (1969) mengungkapkan bahwa terdapat dua
dimensi yang ada di dalam struktur kesejahteraan psikologis, yaitu afek
positif dan afek negatif. Individu yang merasa lebih banyak memiliki
perasaan yang positif dalam kehidupannya dan merasa lebih sedikit untuk
dirinya memiliki kebahagiaan dalam dirinya. Hal tersebut yang menjadi
kesejahteraan psikologis dalam diri individu itu. Sedangkan ketika
individu memiliki perasaan yang rendah terhadap hal-hal yang positif dan
tinggi untuk merasakan perasaan negatif, bukan berarti individu tersebut
tidak bahagia, namun individu tersebut hanya belum bahagia. Dengan
demikian, individu itu belum sepenuhnya memiliki kesejahteraan
psikologis dalam dirinya.
Berdasarkan aspek-aspek kesejahteraan psikologis yang telah
dijelaskan, peneliti mengacu kepada aspek-aspek kesejahteraan psikoligis
yang disampaikan oleh Ryff (1995), yaitu kemandirian, penguasaan
lingkungan, pengembangan diri, hubungan positif dengan orang lain,
tujuan hidup, dan penerimaan diri.
3. Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis
Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan
psikologis seseorang, yaitu:
1) Dukungan Sosial
Dukungan sosial merupakan gambaran dari perilaku mendukung
yang diberikan seseorang individu kepada individu lain dimana individu
tersebut memiliki keterikatan dan cukup bermakna dalam hidupnya.
Dukungan sosial dari orang-orang yang bermakna dalam kehidupan
seseorang dapat memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan individu
2) Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi mempengaruhi kesejahteraaan psikologis
seseorang. Seperti besarnya pendapatan keluarga, tingkat pendidikan,
keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi dan status sosial di masyarakat
(Pinquart & Sorenson, 2000).
3) Jaringan sosial
Kesejahteraan psikologis tiap individu dapat berkaitan dengan
aktivitas sosial yang diikuti oleh individu seperti aktif dalam
pertemuan-pertemuan atau organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas yang dilakukan,
dan dengan siapa kontak sosial dilakukan (Pinquart & Sorenson, 2000).
Jaringan sosial yang baik dan menjaga kualitas hubungan sosial dengan
lingkungan akan mengurangi munculnya konflik dan meningkatkan
kesejahteraan psikologis dalam hidup (Wang & Kanungo, 2004).
4) Religiusitas
Religiusitas berkaitan dengan tendensi setiap individu kepada
Tuhannya. Cara berpikir, sikap dan kebiasaaan yang dijalani oleh setiap
individu juga akan dipengaruhi oleh religiusitas pada individu tersebut.
Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai
kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih
bermakna sehingga mampu untuk meningkatkan kesejahteraan bagi
5) Kepribadian
Kepribadian tiap individu membentuk karakter setiap individu
menjadi berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, cara tiap individu
mengelola perasaan dan mengungkapkan perasaan mereka untuk kepuasan
atau kebahagaiaan jelas berbeda. Hal ini yang membuat kesejahteraan tiap
orang juga memilki perbedaan satu dan lainnya (Bradburn,1969).
6) Pemaafan
Pemaafan dapat memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan
psikologis individu. Ketika individu mampu memaafkan orang lain maka
indivdu itu akan menerima orang yang pernah menyakitinya. Hal tersebut
dapat memperbuat hubungan individu dengan orang lain menjadi lebih
baik. Individu yang mampu untuk menjalin hubungan yang baik dengan
orang lain menjadi salah satu faktor untuk dapat meningkatan
kesejahteraan psikologis individu tersebut (Dolan & Barlow, 2016).
Berdasarkan dari faktor-faktor yang ada dapat disimpulkan bahwa terdapat
6 faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yaitu, dukungan sosial,
status sosial ekonomi, jaringan sosial, religiusitas, kepribadian dan juga
pemaafan.
B. Terapi Pemaafan 1. Pengertian Terapi Pemaafan
Nashori (2012) mengungkapkan bahwa pemaafan merupakan kesediaan
hubungan dengan orang lain secara positif dari perasaan tidak menyenangkan
ketika memiliki permasalahan dalam hubungan interpersonal dengan orang
lain. Individu yang memiliki pemaafan akan mampu untuk merubah emosi
negatif menjadi positif. Individu yang memiliki pemaafan juga dapat
mengubah pikiran negatif yang dimilikinya menjadi pikiran yang lebih baik
serta individu itu juga dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain
meskipun orang tersebut telah menyakitinya.
Pemaafan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata
maaf yang berarti pembebasan individu dari hukuman seperti tuntutan, denda,
dan sebagainya karena suatu kesalahan. Selain itu kata maaf juga sebagai
ungkapan permintaan ampun atau penyesalan serta ungkapan permintaan izin
untuk melakukan sesuatu. Sedangkan pemaafan sendiri merupakan sebuah
proses, cara perbuatan untuk memaakan dan pengampunan.
Sementara menurut Shihab (Nashori, dkk., 2015), definisi Al-‘afw
(pemaafan) pada mulanya memiliki arti berlebihan, kemudian berkembang
menjadi keterhapusan. Shihab (Nashori, dkk., 2015) menyimpulkan bahwa
pemaafan merupakan menghapus luka atau bekas-bekas luka dalam hati.
Dalam hukum Islam, afwun (pemaafan) lebih ditutamakan daripada
pelaksanaan kisas berdasarkan dalil dari Alquran dan sunah Nabi SAW. Dalil
dari Alquran adalah, "...Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat..." (QS. Al-Baqarah: 178).
Enright (2003) mengatakan bahwa pemaafan merupakan proses individu
untuk tidak melakukan balas dendam kepada pelaku yang telah menyakitinya,
serta dapat kembali menerima dan berhubungan baik dengan orang yang telah
meyakiti individu itu. Jampolsky (2001) pemaafan adalah merasakan
penghayatan tentang apa yang dialami orang lain, merasakan kelembutan,
kerentanan, dan kepedulian, dan semuanya itu selalu ada di dalam hati kita,
tak peduli bagaimana keadaan dunia yang ada. McCullough (2000)
menjabarkan bahwa pemaafan sendiri merupakan perubahan perilaku dengan
menurunkan motivasi untuk membalas dendam, menjauhkan diri atau
menghindar dari perilaku kekerasan dan meningkatkan motivasi ataupun
keinginan untuk berdamai dengan pelaku.
McCullough, Worthington, dan Rachal (1997) mendefinisikan pemafaan
sebagai bentuk perubahan motivasional pada individu. Hal ini ditandai
dengan menurunnya motivasi untuk balas dendam dan motivasi untuk
menghindari orang yang telah menyakiti. Selain itu, individu cenderung
mencegah seseorang memberikan respon yang kurang baik dalam interaksi
sosial serta mendorong seseorang untuk menunjukan perilaku yang baik dan
tepat terhadap orang yang telah menyakitinya.
Fincham (2000) menyebutkan bahwa pemaafan merupakan sikap paling
ideal dalam menyelesaikan konflik. Pemaafan sebagai cara untuk dapat
orang yang telah menyakiti. Pemaafan dapat menyembuhkan perasaan terluka
dan mengurangi kesedihan. Tindakan pemaafaan juga memotong siklus
kekerasan, di mana individu tidak menghilangkan rasa dendam dan tidak
membalas kekerasan yang sama seperti yang di terima olehnya.
Berdasarkan pengertian pemaafan yang dijelaskan oleh beberapa ahli
dapat disimpulkan bahwa pemaafan merupakan kesediaan seseorang untuk
dapat menerima orang lain yang telah menyakitinya tanpa ada rasa balas
dendam melainkan perubahan dalam diri untuk dapat merasa empati dengan
kelemutan dan kepedulian kepada orang yang telah menyatiki, serta dapat
menjalin hubungan yang lebih baik dengan oranglain.
2. Aspek-aspek Pemaafan
Nashori (2012) mengungkapkan tiga aspek pemaafan, yaitu:
a. Dimensi Emosi Pemaafan
Dimensi emosi pemaafan berkaitan dengan perasaan orang-orang
yang menjadi korban terhadap orang-orang yang menjadi pelaku. Emosi
yang ada pada individu yang memiliki pemaafan dapat meninggalkan
perasaan marah, sakit hati, dan benci. Individu juga tetap mampu
mengontrol emosi saat diperlakukan tidak menyenangkan oleh orang lain.
Individu yang memiliki pemaafan juga merasa iba dan kasih sayang
terhadap pelaku, serta merasa nyaman ketika berinteraksi dengan pelaku.
b. Dimensi Kognisi Pemaafan
Dimensi kognisi pemaafan berkaitan pemikiran seseorang atas
pada individu akan memiliki penjelasan nalar terhadap sikap orang lain
yang menyakiti mereka. Inidividu tersebut juga meninggalkan penilaian
negatif terhadap orang lain ketika hubungannya dengan orang lain tidak
sebagaimana diharapkan. Mereka juga memiliki pandangan yang
berimbang terhadap pelaku.
c. Dimensi Interpersonal Pemaafan
Dimensi interpersonal pemaafan berkaitan dengan dorongan dan
perilaku antar pribadi seseorang untuk memberi pemaafan terhadap orang
lain. Pada dimensi ini menjelaskan bahwa individu yang memiliki
pemafaan akan meninggalkan dan menghindari diri dari perilaku atau
perkataan yang menyakitkan terhadap pelaku yang menyakitinya. Selain
itu invidu juga meninggalkan keinginan balas dendam. Namun individu
yang memilki pemaafan tidak menghindar untuk bertemu atau berinteraksi
dengan pelaku, justru individu tersebut mengupayakan untuk dapat
bermusyawarah dengan pelaku agar memperbaiki interaksi yang terjadi
anatara mereka.
Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan, oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa aspek-aspek dalam pemaafan mencakup dimensi emosi,
dimensi kognisi dan dimensi interpersonal.
3. Tahapan Terapi Pemaafan
Enright (2003) mengembangkan suatu model proses dari pemaafan.
Model tersebut meliputi aspek kognitif, afektif, dan perilaku yang terjadi
a. Fase membuka kembali (uncovering phase)
Pemaafan melibatkan rasa disakiti secara tidak adil pada individu yang
dipenuhi dengan pengalaman emosi negatif dan rasa sakit yang
diasosiasikan dengan luka. Emosi negatif (unforgiveness) harus
dikonfrontasikan dan secara mendalam dipahami sebelum proses
penyembuhan dimulai. Pada fase ini, individu mampu untuk
mengungkapkan emosi negatif yang dirasakan. Individu juga mampu
untuk mengidentifikasikan emosi tersebut.
b. Fase memutuskan (decision phase)
Pada fase ini individu menyadari bahwa memfokuskan diri secara terus
menerus pada luka dan pelaku hanya dapat menghasilkan penderitaan yang
berlanjut. Kemungkinan memaafkan dilakukan sebagai strategi untuk
penyembuhan dan individu membuat komitmen untuk memaafkan pelaku.
Berdasarkan komitmen ini, kerja pemaafan diawali dan pada fase ini
pikiran, perasaan dan perhatian untuk membalas dendam terhadap pelaku
dilepaskan.
c. Fase bekerja (work phase)
Fase ini merupakan fase di mana individu mulai melakukan pemaafan.
Tahapan ini melibatkan perubahan persepsi terhadap pelaku dengan
menempatkan kejadian dalam konteks kehidupan pelaku, suatu usaha yang
bukan atas alasan tanggung jawab pelaku tapi lebih kepada menerima
kesalahan. Orang yang disakiti akan memilih untuk menawarkan beberapa
bentuk perbuatan baik terhadap pelaku yang telah menyakiti.
d. Fase pendalaman (deepening phase)
Memaafkan individu menjadikan seseorang sadar akan keuntungan
emosional positif yang akan diterimanya dari proses pemaafan. Secara
umum, individu menemukan makna dalam penyembuhan yang dialaminya
sehingga pada fase terakhir ini individu mengalami perasaaan yang lapang
sebagai salah satu sikap terhadap emosi yang muncul dan memberikan
kemurahan hati pada orang lain, serta orang yang telah disembuhkan.
Berdasarkan tahapan pemaafan yang telah disampaikan oleh Enright
(2003) dapat disimpulkan bahwa ada 4 tahapan pemaafan yaitu, fase
membuka kembali, memutuskan, melakukan, dan pendalaman.
C. Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga 1. Pengertian Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (3)
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Korban
adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Kemudian, menurut
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) tentang
berbunyi “Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau
ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (5) tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menjelaskan pengertian korban dalam
Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi “Korban adalah orang perseorangan atau
kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental ataupun
emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan,
atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah juga
ahli warisnya”. Berdasarkan undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), pengertian
KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara seksual, fisik, psikologi atau
penelantaran rumah tangga termasuk juga hal-hal yang mengakibatkan
pada ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertidak, rasa tidak percaya atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan perilaku yang
menggambarkan adanya ketidakseimbangan peran karena salah satu peran
dari seseorang untuk mempertahankan otoritas dalam rumah tangga
dengan keingian mendominasi perannya (Shinta & Bramanti, 2007).
Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya berhubungan dengan
menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-hak kebebasannya setara
dengan laki-laki. Tindak kekerasan ini dapat berupa kekerasan domestik
dan kejahatan degan dalih kehormatan yang muncul akibat posisi
perempuan sebagai pihak yang menjadi tanggungan dan mendapat
perlindungan dari seseorang pelindung laki-laki, pertama ayahnya
kemudian suaminya (Relawati, 2011).
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa korban
kekerasan dalam rumah tangga merupakan seseorang yang berada dalam
lingkup rumah tangga mengalami tindakan yang mengakibatkan seseorang
merasa tersakiti secara fisik, psikis maupun ekonomi karena mendapatkan
perilaku yang tidak menyenangkan dari seseorang yang melakukan
kekerasan secara fisik maupun psikis untuk menunjukkan otoritasnya
dalam rumah tangga.
2. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Ada 4 bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang tertulis pada
pasal 6-9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (Shinta & Bramanti,2007), antara lain:
a. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit atau luka berat. Adapun klasifikasi lain dari kekerasan
fisik yaitu:
1.) Kekerasan fisik berat, seperti cedera berat, tidak mampu
korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang
menimbulkan bahaya mati, kehilangan salah satu panca indera,
mendapat cacat, menderita sakit lumpuh, terganggunya daya pikir
selama 4 minggu lebih, gugurnya atau matinya kandungan seorang
perempuan, kematian korban,
2.) Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak,
mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan cedera
ringan, rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori
berat, serta melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat
dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat.
b. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah sebagai perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang. Adapun klasifikasi lain dari kekerasan Psikis yaitu;
1.) Kekerasan psikis berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi,
eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam
bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau
ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan
dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang
masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat
berupa salah satu atau beberapa hal, seperti gangguan tidur atau
yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun,
gangguan stres, gangguan fungsi tubuh berat (misalnya tiba-tiba
lumpuh atau buta tanpa indikasi medis) pasca trauma, depresi,
gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas
seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya berat atau
destruksi diri hinga bunuh diri
2.) Kekerasan psikis ringan, berupa tindakan pengendalian,
manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan
penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi
sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina,
penguntitan, ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis, yang
masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan,
berupa salah satu atau beberapa hal, seperti ketakutan dan perasaan
terteror, rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, gangguan tidur atau gangguan makan
atau disfungsi seksual, gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya,
sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis), dan
fobia.
c. Kekerasan Seksual atau Depresi Temporer
Kekerasan seksual yaitu:
1.) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
2.) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu.
Adapun klasifikasi lain dari Kekerasan Seksual yaitu;
1.) Kekerasan seksual berat, berupa:
a.) Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba,
menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul
serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik,
terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
b.) Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau
pada saat korban tidak menghendaki.
c.) Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,
merendahkan dan atau menyakitkan.
d.) Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
pelacuran dan atau tujuan tertentu.
e.) Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan
posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
f.) Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa
bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
2.) Kekerasan seksual ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal
seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan
dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh
tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina
korban.
3.) Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke
dalam jenis kekerasan seksual berat.
d. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi mencakup penelantaran dalam rumah tangga
dan juga mengakomodasi pelarangan bekerja yang menyebabkan
ketergantungan ekonomi. Kekerasan ekonomi meliputi:
a.) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
b.) Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah
sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Adapun klasifikasi lain dari kekerasan ekonomi yaitu;
a.) Kekerasan ekonomi berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi
dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa memaksa korban
bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran, melarang
korban bekerja tetapi menelantarkannya, mengambil tanpa
sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau
b.) Kekerasan ekonomi ringan, berupa melakukan upaya-upaya
sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya
secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya
D. Terapi Pemaafan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis
Wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga merasa lebih
tersinggung ketika ada orang lain yang ingin dekat atau bertanya tentang
keadaan keluarganya (Umaythia, 2015). Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga, beberapa diantara
mereka juga mengatakan bahwa sering merasa tidak percaya diri ketika
bertemu dengan orang lain. Apa lagi ketika para wanita yang mengalami
korban kekerasan dalam rumah tangga ini harus bertemu dengan teman-teman
atau orang lain yang sedang berkumpul dan membicarakan hal-hal tentang
keadaan keluarganya. Hal ini karena mereka merasa tidak nyaman dengan
kondisi yang dialami saat ini.
Umaythia (2015) menemukan bahwa wanita yang mengalami kekerasan
dalam rumah tangga juga mengatakan mereka merasa sakit hati atas
perlakukan yang diberikan oleh pelaku kepada dirinya. Terkadang mereka
hanya menahan amarah yang sebenarnya ingin mereka ungkapkan kepada
pelaku. Namun para korban tersebut merasa takut atau malah menjadi
omongan orang lain jika si pelaku adalah suami korban. Oleh karena itu,
hubungan mereka dengan suami tidak terjalin dengan baik.
Terkadang hubungan yang tidak baik juga ditunjukkan oleh korban kepada
korban menjadi merasa sulit dalam menggambil keputusannnya sendiri.
Korban juga memiliki interaksi yang kurang baik dengan pelaku maupun
orang yang tidak menyakitinya namun berhubungan dekat dengan pelaku. Hal
ini merupakan salah satu yang mengindikasikan bahwa korban memiliki
kesejahtetaan psikologis yang rendah. Seperti yang diungkapkan oleh Ryff
(1995) bahwa kesejahteraan psikologis yang rendah ditunjukkan adanya sikap
inidividu yang tidak dapat mengambil keputusan sendiri, kurang mampu untuk
mengaktualisasikan dirinya, tidak memiliki makna dan tujuan hidup yang
tepat.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan
psikologis individu. Chime (2015) menemukan bahwa religiusitas individu
memiliki pengaruh terhadap kesejahteraan psikologis mereka. Ketika individu
menyerahkan segala keputusan mereka kepada Tuhan, maka hal tersebut akan
memberikan tendensi terhadap kesejahteran psikologis (Chime, 2015). Dolan
dan Barlow (2016) menjelaskan bahwa pemaafan juga mampu untuk
meningkatkan kesejahteraan psikologis individu.
Islam juga mengajarkan individu untuk memaafkan satu sama lain, yaitu
Allah bersabda: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.
Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Asy-Syura: 40)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa ketika individu mampu memaafkan
menyukai umatnya yang melakukan kebaikan dengan tidak berbuat zalim.
Meskipun Allah menjelaskan balasan atas suatu kejahatan adalah kejahatan
yang serupa, namun ketika individu mampu untuk memaafkan kejahatan
tersebut maka sebuah kemulian dan pahala kebaikan baginya.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan
psikologis adalah melalui terapi pemaafan (Enright, 2003). Terapi pemaafan
tidak hanya sekedar terapi melain juga melatih kemampuan individu untuk
dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Hal ini karena dalam terapi
pemaafan, individu diarahkan untuk dapat mengidentifikasi perasaan yang
mereka rasakan dan mencari coping yang tepat dalam sebuah situasi,
menumbuhkan empati dalam melakukan pemaafan, serta dapat memahami
setiap situasi yang dialami hingga dapat membuat rencana ke depan
(Macaskill, 2005). Terapi pemaafan juga digunakan sebagai terapi untuk dapat
memulihkan kondisi kesehatan mental individu (Wade, 2010). Terapi
pemaafan mampu meningkatkan pemaafan individu dan mendukung dalam
memperbaiki kondisi kesehatan mental seperti kesejahteraan psikologis
individu (Freedman & Enright, 2017).
Enright (2003) menuliskan bahwa terapi pemaafan memiliki empat
tahapan agar seseorang mampu untuk memaafkan, diantaranya adalah
membuka kembali, memutuskan untuk memaafkan, melakukan pemaafan dan
mendalami pemaafan yang telah dilakukan. Jika para perempuan korban
kekerasan dalam rumah tangga melalaui tahapan pemaafan tersebut maka akan
memiliki tiga dimensi, yaitu emosi, pikiran dan perilaku (Nashori, 2012).
Orang yang memiliki pemaafan akan memiliki kesehatan mental yang lebih
baik karena mereka mampu untuk bersikap lebih positif menghadapi sebuah
permasalahan (Freedman & Enright, 2017).
Oleh kerena itu perlu adanya pemaafan untuk dapat meningkatkan
kesejahteraan psikologis korban kekerasan dalam rumah tangga. Enright
(2003) menjelaskan bahwa pemaafan merupakan proses individu untuk tidak
melakukan balas dendam kepada pelaku yang telah menyakitinya, serta dapat
kembali menerima dan berhubungan baik dengan orang yang telah meyakiti
individu itu. Seseorang yang memiliki pemaafan pada dirinya dapat
mengontrol perasaan negatif yang muncul menjadi perasaan yang lebih positif
terhadap orang lain ataupun orang yang pernah menyakitinya (Dolan &
Barlow, 2016).
Adanya pemaafan dalam diri korban membuat korban dapat menetukan
tujuan hidup yang perlu ia lakukan. Korban mampu untuk menjalin hubungan
baik dengan pelaku karena korban perlahan-lahan belajar untuk tidak
membenci pelaku. Selain itu, korban juga bisa melakukan musyawarah kepada
pelaku untuk dapat menentukan keputusan yang diambil atas sikap atau
perlakuan yang telah dialami korban.
Orang yang memaafkan juga mampu untuk mengidentifikasi dorongan
negatif atau kekecewaannya pada diri sendiri ataupun orang lain dan
menggantinya dengan hal yang dapat membuatnya kembali nyaman (Akhtar,
dalam mengembangkan diri, menjalin hubungan hubungan yang baik dengan
orang lain, serta memiliki tujuan hidup untuk melanjutkan kehidupannya di
masa yang datang. Ketika seseorang telah mampu untuk berperan lebih baik
dalam kehidupannya, maka akan membuat kesejahteraan psikologis individu
menjadi lebih meningkat.
Enright dan Reed (2006), juga menemukan bahwa perempuan yang
melakukan pemaafan setelah mendapatkan kekerasan emosional dari
pasangannya mampu untuk beradaptasi dengan lingkungannya lebih baik
dibandingkan mereka yang masih memiliki perasaan benci dan rasa ingin
balas dendam kepada pasangannya. Ketika seseorang mampu untuk mengelola
lingkungannya dengan baik maka hal tersebut menjadi salah satu pondasi
baginya untuk memiliki kesejahteraan psikologis (Ryff, 1995). Oleh karena
itu, terapi pemaafan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis
Keterangan :
: mengalami : diberi perlakukan
: memiliki : menghasilkan
Kesejahteraan Psikologis Rendah
- Sulit menerima kondisi yang dirasakan
- Merasa tidak memiliki banyak teman untuk bercerita - Bingung dalam mengambil keputusan dan tujuan hidup
kedepan
- Merasa malu dan sulit menjalin relasi yang positif dengan orang lain
Tahapan pemaafan :
- Fase membuka kembali - Fase memutuskan - Fase bekerja - Fase pendalaman
Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Terapi Pemaafan
Manfaat Pemaafan :
- Mampu mengendalikan dan mengontrol emosi
- Menjalin hubungan yang lebih sehat dengan orang lain
- Mampu mengidentifikasi antara perasaan dan perbuatan yang akan dilakukan
- Dapat meningkatkan kesehatan mental individu
E. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap pertanyaan penelitian,
sehingga hipotesis dalam penelitian ini adalah terapi pemaafan mampu
meningkatkan kesejahteraan psikologis istri korban kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT). Kelompok istri korban KDRT yang memperoleh intervensi terapi
pemaafan akan memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi
dibandingkan istri korban KDRT yang tidak mendapatkan intervensi terapi
40
A. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Varibel Tergantung : Kesejahteraan Psikologis
2. Variabel Bebas : Terapi Pemaafan
B. Definisi operasional
1. Kesejahteraan psikologis
Kesejahteraan psikologis merupakan kondisi psikologis individu untuk
mampu dalam mengembangkan dirinya, kemandirian, memiliki tujuan hidup,
menjalin hubungan baik dengan orang lain, penerimaan diri dan miliki tujuan
hidup (Ryff, 1989). Kesejahteraan psikologis dapat diketahui melalui skor yang
diperoleh dari skala kesejahteraan psikologis yang dibuat oleh Pebriatati (2011)
berdasarkan Psychological Well-being Scale (Ryff, 1995). Skala kesejahteraan
psikologis terdiri dari 29 butir aitem yang bertujuan untuk mengungkap tingkat
kesejahteraan psikologis yang dimiliki subjek. Semakin tinggi skor yang diperoleh
semakin tinggi kesejahteraan psikologis, semakin rendah skor yang diperoleh
semakin rendah kesejahteraan psikologis yang dimiliki oleh subjek.
2. Terapi pemaafan
Terapi pemaafaan merupakan penanganan yang diberikan kepada subjek
dengan memberikan pendampingan berkelompok. Subjek yang digunakan dalam