BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
B. Terapi Pemaafan
Nashori (2012) mengungkapkan bahwa pemaafan merupakan kesediaan
hubungan dengan orang lain secara positif dari perasaan tidak menyenangkan
ketika memiliki permasalahan dalam hubungan interpersonal dengan orang
lain. Individu yang memiliki pemaafan akan mampu untuk merubah emosi
negatif menjadi positif. Individu yang memiliki pemaafan juga dapat
mengubah pikiran negatif yang dimilikinya menjadi pikiran yang lebih baik
serta individu itu juga dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain
meskipun orang tersebut telah menyakitinya.
Pemaafan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata
maaf yang berarti pembebasan individu dari hukuman seperti tuntutan, denda,
dan sebagainya karena suatu kesalahan. Selain itu kata maaf juga sebagai
ungkapan permintaan ampun atau penyesalan serta ungkapan permintaan izin
untuk melakukan sesuatu. Sedangkan pemaafan sendiri merupakan sebuah
proses, cara perbuatan untuk memaakan dan pengampunan.
Sementara menurut Shihab (Nashori, dkk., 2015), definisi Al-‘afw
(pemaafan) pada mulanya memiliki arti berlebihan, kemudian berkembang
menjadi keterhapusan. Shihab (Nashori, dkk., 2015) menyimpulkan bahwa
pemaafan merupakan menghapus luka atau bekas-bekas luka dalam hati.
Dalam hukum Islam, afwun (pemaafan) lebih ditutamakan daripada
pelaksanaan kisas berdasarkan dalil dari Alquran dan sunah Nabi SAW. Dalil
dari Alquran adalah, "...Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat..." (QS. Al-Baqarah: 178).
Enright (2003) mengatakan bahwa pemaafan merupakan proses individu
untuk tidak melakukan balas dendam kepada pelaku yang telah menyakitinya,
serta dapat kembali menerima dan berhubungan baik dengan orang yang telah
meyakiti individu itu. Jampolsky (2001) pemaafan adalah merasakan
penghayatan tentang apa yang dialami orang lain, merasakan kelembutan,
kerentanan, dan kepedulian, dan semuanya itu selalu ada di dalam hati kita,
tak peduli bagaimana keadaan dunia yang ada. McCullough (2000)
menjabarkan bahwa pemaafan sendiri merupakan perubahan perilaku dengan
menurunkan motivasi untuk membalas dendam, menjauhkan diri atau
menghindar dari perilaku kekerasan dan meningkatkan motivasi ataupun
keinginan untuk berdamai dengan pelaku.
McCullough, Worthington, dan Rachal (1997) mendefinisikan pemafaan
sebagai bentuk perubahan motivasional pada individu. Hal ini ditandai
dengan menurunnya motivasi untuk balas dendam dan motivasi untuk
menghindari orang yang telah menyakiti. Selain itu, individu cenderung
mencegah seseorang memberikan respon yang kurang baik dalam interaksi
sosial serta mendorong seseorang untuk menunjukan perilaku yang baik dan
tepat terhadap orang yang telah menyakitinya.
Fincham (2000) menyebutkan bahwa pemaafan merupakan sikap paling
ideal dalam menyelesaikan konflik. Pemaafan sebagai cara untuk dapat
orang yang telah menyakiti. Pemaafan dapat menyembuhkan perasaan terluka
dan mengurangi kesedihan. Tindakan pemaafaan juga memotong siklus
kekerasan, di mana individu tidak menghilangkan rasa dendam dan tidak
membalas kekerasan yang sama seperti yang di terima olehnya.
Berdasarkan pengertian pemaafan yang dijelaskan oleh beberapa ahli
dapat disimpulkan bahwa pemaafan merupakan kesediaan seseorang untuk
dapat menerima orang lain yang telah menyakitinya tanpa ada rasa balas
dendam melainkan perubahan dalam diri untuk dapat merasa empati dengan
kelemutan dan kepedulian kepada orang yang telah menyatiki, serta dapat
menjalin hubungan yang lebih baik dengan oranglain.
2. Aspek-aspek Pemaafan
Nashori (2012) mengungkapkan tiga aspek pemaafan, yaitu:
a. Dimensi Emosi Pemaafan
Dimensi emosi pemaafan berkaitan dengan perasaan orang-orang
yang menjadi korban terhadap orang-orang yang menjadi pelaku. Emosi
yang ada pada individu yang memiliki pemaafan dapat meninggalkan
perasaan marah, sakit hati, dan benci. Individu juga tetap mampu
mengontrol emosi saat diperlakukan tidak menyenangkan oleh orang lain.
Individu yang memiliki pemaafan juga merasa iba dan kasih sayang
terhadap pelaku, serta merasa nyaman ketika berinteraksi dengan pelaku.
b. Dimensi Kognisi Pemaafan
Dimensi kognisi pemaafan berkaitan pemikiran seseorang atas
pada individu akan memiliki penjelasan nalar terhadap sikap orang lain
yang menyakiti mereka. Inidividu tersebut juga meninggalkan penilaian
negatif terhadap orang lain ketika hubungannya dengan orang lain tidak
sebagaimana diharapkan. Mereka juga memiliki pandangan yang
berimbang terhadap pelaku.
c. Dimensi Interpersonal Pemaafan
Dimensi interpersonal pemaafan berkaitan dengan dorongan dan
perilaku antar pribadi seseorang untuk memberi pemaafan terhadap orang
lain. Pada dimensi ini menjelaskan bahwa individu yang memiliki
pemafaan akan meninggalkan dan menghindari diri dari perilaku atau
perkataan yang menyakitkan terhadap pelaku yang menyakitinya. Selain
itu invidu juga meninggalkan keinginan balas dendam. Namun individu
yang memilki pemaafan tidak menghindar untuk bertemu atau berinteraksi
dengan pelaku, justru individu tersebut mengupayakan untuk dapat
bermusyawarah dengan pelaku agar memperbaiki interaksi yang terjadi
anatara mereka.
Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan, oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa aspek-aspek dalam pemaafan mencakup dimensi emosi,
dimensi kognisi dan dimensi interpersonal.
3. Tahapan Terapi Pemaafan
Enright (2003) mengembangkan suatu model proses dari pemaafan.
Model tersebut meliputi aspek kognitif, afektif, dan perilaku yang terjadi
a. Fase membuka kembali (uncovering phase)
Pemaafan melibatkan rasa disakiti secara tidak adil pada individu yang
dipenuhi dengan pengalaman emosi negatif dan rasa sakit yang
diasosiasikan dengan luka. Emosi negatif (unforgiveness) harus
dikonfrontasikan dan secara mendalam dipahami sebelum proses
penyembuhan dimulai. Pada fase ini, individu mampu untuk
mengungkapkan emosi negatif yang dirasakan. Individu juga mampu
untuk mengidentifikasikan emosi tersebut.
b. Fase memutuskan (decision phase)
Pada fase ini individu menyadari bahwa memfokuskan diri secara terus
menerus pada luka dan pelaku hanya dapat menghasilkan penderitaan yang
berlanjut. Kemungkinan memaafkan dilakukan sebagai strategi untuk
penyembuhan dan individu membuat komitmen untuk memaafkan pelaku.
Berdasarkan komitmen ini, kerja pemaafan diawali dan pada fase ini
pikiran, perasaan dan perhatian untuk membalas dendam terhadap pelaku
dilepaskan.
c. Fase bekerja (work phase)
Fase ini merupakan fase di mana individu mulai melakukan pemaafan.
Tahapan ini melibatkan perubahan persepsi terhadap pelaku dengan
menempatkan kejadian dalam konteks kehidupan pelaku, suatu usaha yang
bukan atas alasan tanggung jawab pelaku tapi lebih kepada menerima
kesalahan. Orang yang disakiti akan memilih untuk menawarkan beberapa
bentuk perbuatan baik terhadap pelaku yang telah menyakiti.
d. Fase pendalaman (deepening phase)
Memaafkan individu menjadikan seseorang sadar akan keuntungan
emosional positif yang akan diterimanya dari proses pemaafan. Secara
umum, individu menemukan makna dalam penyembuhan yang dialaminya
sehingga pada fase terakhir ini individu mengalami perasaaan yang lapang
sebagai salah satu sikap terhadap emosi yang muncul dan memberikan
kemurahan hati pada orang lain, serta orang yang telah disembuhkan.
Berdasarkan tahapan pemaafan yang telah disampaikan oleh Enright
(2003) dapat disimpulkan bahwa ada 4 tahapan pemaafan yaitu, fase
membuka kembali, memutuskan, melakukan, dan pendalaman.
C. Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga