• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kesejahteraan Psikologis

individu mampu mengelola lingkungannya, menerima keadaan diri, dapat

mengambil keputusan sendiri, memiliki tujuan hidup ke depan, mampu untuk

menumbuhkan kepribadian lebih baik lagi, serta menjalin hubungan yang positif

kepada orang lain.

Hasil wawancara dengan salah satu istri yang merupakan korban

kekekerasan dalam rumah tangga (NK) mengatakan bahwa NK merasa tidak siap

jika harus bertemu dengan orang yang telah menyakitinya. NK akan mengalami

sakit kepala tiba-tiba jika bertemu dengan orang yang telah menyakitinya. Hal ini

mengakibatkan hubungan interpersonal NK menjadi tidak baik dengan orang yang

telah menyakitinya. Padahal menjalin hubungan yang positif dengan orang lain

merupakan salah satu aspek yang membuat seseorang memiliki kesejahteraan

psikologis (Ryff & Keyes, 1995). Oleh karena itu perlu adanya kesejahteraan

psikologis bagi para perempuan untuk dapat mensejahterakan diri mereka dalam

kehidupan sehari-hari.

Tidak hanya permasalahan terkait hubungan dengan orang lain saja, NK

sempat merasa bahwa apapun yang NK lakukan selama ini kepada suaminya,

seperti menasehati, menjelaskan persoalan dengan baik-baik tidak membuat

rumah tangga mereka menjadi keluarga yang sehat. Justru apa yang telah NK

lakukan menyulut amarah suaminya, sehingga NK biasanya memilih untuk diam.

NK merasa apa yang NK lakukan adalah tindakan yang sia-sia. Selain itu, NK

pernah merasa bahwa Tuhan tidak adil dengan memberikan NK cobaan seperti

NK mengatakan bahwa selama ini NK yang lebih banyak menafkahi

keluarganya dibandingkan suami. Hal ini menunjukkan indikasi rendahnya

penerimaan diri pada NK, karena Ryff (1989) menungkapkan bahwa individu

yang memiliki penerimaan diri yang baik akan mampu untuk menerima situasi

dan kondisi yang dialami dalam kehidupannya. NK sempat merasa malu dengan

tetannga di sekitar rumah mereka yang sering melihat NK bertengkar dengan

suami. Sampai pada akhirnya NK terbiasa dan membiarkan suaminya menjadi

bahan olokkan di lingkungan rumah mereka. Ryff (1989) menjelaskan bahwa

ketika seorang individu memiliki kesejahteraan psikologis maka individu tersebut

dapat beradaptasi secara baik dengan lingkungan yang ada di sekelilingnya.

Kondisi yang dialami oleh NK merupakan indikasi tidak terpenuhinya

kesejahteraan psikologis bagi kehidupannya. Kesejahteraan psikologis merupakan

kondisi di mana individu secara maksimal merasa puas dengan hidupnya,

memiliki kondisi emosional yang baik, mampu melalui pengalaman-pengalaman

buruk yang membuat perasaan menjadi tidak nyaman, memiliki hubungan yang

baik dengan orang lain, mampu menentukan keputusannya sendiri tanpa

bergantung dengan orang lain, mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki

tujuan hidup yang jelas, dan mampu mengembangkan dirinya sendiri (Ryff,

1989).

Ham-Rowbotton, Gordon, Javris, dan Novaco (2005) menemukan bahwa

korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami kebingungan dalam

menentukan kehidupan mereka sehingga memiliki kepuasan hidup yang rendah.

mengalami depresi dimana permasalahan tersebut membuat kesejahteraan

psikologis mereka tidak terpenuhi. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian yang

dilakukan oleh Karakurt, Smith, dan Whiting (2015) juga menemukan bahwa

perempuan yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangannnya

menunjukkan gejala depresi, tidak memperdulikan kondisi mereka sendiri,

bingung menghadapi situasi, marah, takut dengan hubungan dengan orang lain di

masa depan, sulit menjalin komunikasi dengan orang lain dan merasa tidak

memiliki teman untuk diajak berbicara. Hal ini juga menunjukkan adanya

kecenderungan kesejahteraan psikologis yang rendah pada diri mereka (Karakurt,

Smith & Whiting, 2015)

Oleh karena itu kesejahteraan psikologis tersebut merupakan hal penting

bagi individu. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bradburn (1969) bahwa

individu yang memiliki kesejahteraan psikologis mampu merasakan kebahagiaan

dalam hidupnya. Kesejahteraan psikologis yang ada pada diri individu dapat

menjadikan individu lebih merasakan hal positif ketimbang hal negatif dalam

memaknai kejadian dalam kehidupan mereka (Bradburn, 1969). Ryff dan Keyes

(1995) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kesejahteraan psikologis

mampu untuk menerima kodisi dirinya sepenuhnya. Hal ini bertolak belakang

dengan kondisi psikologis yang dialami oleh para korban kekrasan dalam rumah

tangga.

Kompasiana.com (2015) menuliskan bahwa kerugian yang didapatkan

oleh korban kekerasan dalam rumah tangga ada yang material dan immaterial.

psikis atau mental. Hal ini berkaitan dengan kondisi kejiwaan korban. Jika korban

tidak dapat segera melupakan perbuatan pidana yang menimpanya, akan

menyebabkan tekanan psikis, di mana untuk menyembuhkannya dibutuhkan

waktu yang cukup lama. Kesejahteraan psikologis seseorang dapat dipengaruhi

oleh usia dan juga kebutuhan hidup seseorang (Ryiff & Keyes, 1995). Tidak

hanya itu saja, keyakinan atau religiusitas seseorang juga mampu untuk

mempengaruhi kesejahteraan psikologis seorang individu dalam kehidupannya

(Akhtar, Dolan & Barlow, 2016). Akhtar, Dolan, dan Barlow (2016) juga

menyebutkan bahwa pemaafan dapat dijadikan dukungan dalam religiusitas dan

juga spiritualitas seseorang untuk mendapatkan kesejahteraan psikologis dalam

diri individu tersebut.

Enright (2003) mengatakan bahwa pemaafan merupakan proses individu

untuk tidak melakukan balas dendam kepada pelaku yang telah menyakitinya,

serta dapat kembali menerima dan berhubungan baik dengan orang yang telah

meyakiti individu itu. Nashori (2012) mengungkapkan bahwa pemaafan

merupakan kesediaan seseorang untuk dapat menumbuhkembangkan pikiran,

perasaan dan menjalin hubungan dengan orang lain secara positf dari perasaan

tidak menyenangkan ketika memiliki permasalahan dalam hubungan interpersonal

dengan orang lain.

Islam juga mengajarkan setiap orang untuk memaafkan kesalahan orang

lain. Hal tersebut sesuai firman Allah sebagai berikut: “Dan balasan suatu

baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Asy-Syura: 40)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa seseorang yang mampu untuk

memaafkan, maka Allah yang akan memberikan tanggungan terhadap pahala yang

diperolehnya. Allah saja mampu untuk mengampuni kesalahan hambanya, maka

sudah sepatutnya sebagai sesama manusia yang kedudukannya sama di mata

Allah mampu untuk saling memaafkan satu sama lain. Hal ini seperti yang

tercantum dalam ayat berikut: “Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi

serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (At-Taghabun: 14)

Salah satu cara mengembangkan potensi seseorang untuk mengahsilkan

kesehatan mental termasuk kesejahteraan psikologis adalah dengan cara

melakukan terapi pemaafan. Akhtar dan Barlow (2016) menemukan bahwa terapi

pemaafan efektif untuk menurunkan tingkat depresi, kemarahan dan kebencian,

stres dan distress, serta menumbuhkan perasaan positif. Terapi pemaafan juga

mampu untuk mengembangkan trait dan state pemaafan pada individu (Akhtar &

Barlow, 2016). Fredman dan Enright (2017) juga menungkapkan bahwa terapi

pemaafan mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis pada perempuan yang

mengalami tindak kekerasan.

Reed dan Enright (2006) menemukan bahwa perempuan korban kekerasan

emosional yang melakukan terapi pemaafan lebih mampu untuk mengelola

lingkungannya dibandingkan dengan mereka yang masih menyimpan kemarahan

seseorang membuat tekanan darah menjadi normal, memiliki kemampuan

mengelola kemaran yang lebih baik, hubungan yang lebih sehat, meningkatkan

kesehatan jiwa dan raga, dan penurunan stres (Gani, 2015). Enright dan

Fitzgibbons dalam Sutton (2017) menjelaskan bahwa terapi pemaafan dapat

mengelola kemarahan pada individu dan menumbuhkan harapan untuk kehidupan.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Akhtar, Dolan, dan Barlow (2016)

menemukan bahwa adanya pemaafan pada diri seseorang mampu menghasilkan

kesejahteraan mental. Ketika individu mampu meamaaafkan maka individu

tersebut akan mau untuk menerima orang lain yang pernah menyakitinya. Selain

itu, individu yang menerapkan pemaafan dalam kehidupan sehari-hari mampu

untuk mengontrol emosi negatif dalam dirinya dan merubahnya menjadi perasaan

yang lebih positif. Hal ini akan membuat individu merasa lebih tenang jika

mengalami permasalahan konflik dengan orang lain dan membuat kecemasan

individu itu berkurang.

Adanya pemaafan dalam diri seseorang, diharapkan mampu untuk dapat

memberikan dukungan terhadap peningkatan kesejahteraan psikologis seseorang

terutama bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini seperti penelitian

yang dilakukan oleh Karremans, Van Lange, Klewer, dan Ouwerkerk (2003)

menjelaskan bahwa ketika individu mampu untuk memaafkan, maka akan mampu

untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis individidu itu sendiri.

Berdasarkan penjelasan yang telah peneliti sampaikan, maka dari itu

peneliti ingin mengetahui pengaruh terapi pemaafan terhadap kesejahteraan

B. Perumusan Masalah

Apakah terapi pemaafan dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis pada

istri yang menjadi korban kekerasan rumah tangga?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana efektivitas terapi

pemaafan terhadap peningkatan kesejahteraan psikologis pada istri yang menjadi

korban kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian ini diharapkan memberikan

manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi secara empiris

dan aktual sehingga dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan terutama

yang berkaitan dengan psikologi klinis dan psikologi positif, khususnya

tentang kesejahteraan psikologis pada korban kekerasan rumah tangga.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada

keluarga dan korban kekerasan rumah tangga sebagai referensi terkait proses

pemaafan para korban agar dapat kembali bangkit dari kondisi psikologis

D. Keaslian Penelitian

Penelusuran yang telah dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa belum

ada penelitian yang secara spesifik sama terkait terapi pemaafan untuk

meningkatkan kesejahteraan psikologis pada istri korban kekerasan rumah tangga.

Salah satu penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Akhtar dan

Barlow (2016) berjudul “Forgiveness Therapy for the Promotion of Mental

Well-Being: A Systematic Review and Meta-Analysis”. Penelitian Akhtar dan Barlow

(2016) memberikan penjelasan terkait terapi pemaafaan untuk dapat

meningkatkan kesejahteraan mental yang dilakukan dengan konsep metanalisis

dan telaah sistematis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa berdasarkan

beberapa penelitian menggunakan terapi untuk dapat memperbaiki kondisi mental

seseorang.

Akhtar, Dolan, dan Barlow (2016) juga menuliskan penelitian yang

berjudul “Understanding the Relationship Between State Forgiveness and

Psychological Wellbeing: A Qualitative Study”. Penelitian tersebut dilakukan

dengan pendekatan kualitatif, dimana ada 12 subjek yang dijadikan sebagai

responden. Penelitian ini menelaah lebih dalam terkait kehidupan yang dijalani

para subjek ketika bersama dengan pasangannya masing-masing.

Penelitian yang dilakukan oleh Tyas (2013) dengan judul “Terapi

Pemaafan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Subjektif Istri yang Berkonflik

dengan Suami” menemukan adanya pemaafan yang dilakukan oleh subjek dapat

meingkatkan kesejahteraan subjektif subjek yang berkonflik dengan suami.

Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Wanita Bercerai”. Penelitian ini

menemukan bahwa ada peningkatan kesejahteraan psikologis pada wanita

bercerai yang telah diberikan pelatihan pemaafan.

Radatussalamah dan Susanti (2014) melakukan penelitian yang berjudul

“Pemaafan dan Psychological Wll-Being pada Narapidana Wanita”. Penelitian ini

menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara pemaafan dan psychological

well-being pada narapidana wanita. Penelitian ini menggunakan konstruk teori

dan alat ukur psychological well-being dari Ryff (1989). Pada konstruk teori

pemaafan dan alat ukur pemaafannya, Radatussalamah dan Susanti (2014)

menggunakan dimensi dan skala dari Heartland Forgiveness Scale (HFS) oleh

Thompson. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan ini dengan penelitian

sebelumnya, yaitu:

1. Keaslian Topik

Akhtar dan Barlow (2016) pernah melakukan penelitian dengan topik

terapi pemaafan untuk menunjukkan kesejahteran mental dengan meta analisis

dan ringkasan sistematis. Penelitian yang dilakukan Pebriatati (2011)

menempatkan kesejahteraan psikologis sebagai variabel tergantung, hal ini

sama dengan penelitian yang peneliti lakukan. Hal ini sama seperti penelitian

yang dilakukan Tyas (2013) dengan judul “Terapi Pemaafan untuk

Meningkatkan Kesejahteraan Subjektif Istri yang Berkonflik dengan Suami”.

Hanya saja, kedua penelitian ini menggunakan terapi pemaafan sebagai

variabel bebas. Tidak hanya itu saja, Akhtar, Durlan dan Barlow (2016) juga

psikologis. Namun, Akhtar, Dolan dan Barlow bukan menggunakan topik

pemaafan sebagai terapi melainkan sebuah penelitian kualitatif untuk

memahami hubungan antara penerapan pemaafan dan kesejahteraan psikologis.

2. Keaslian Teori

Pada penelitian ini menggunakan teori dari Ryff (1998) yang sama dengan

penelitian yang dilakukan Akhtar, Dolan, dan Barlow (2016) ; Dolan dan

Barlow (2016) dan Pebriatati (2011) sebagai konstruk teori kesejahteraan

psikologis. Perbedaan konstruk teori lainnya, yaitu Pebriatati (2011)

menggunakan konstruk teori dari Enright (2002) sedangkan peneliti

menggunakan konstruk teori dari Nashori (2012). Selain itu juga berbeda

dengan penelitian yang dilakukan oleh Tyas (2013) menggunakan kunstruk

teori pemaafan dari Pollard, dkk (1998).

3. Keaslian Alat Ukur

Keaslian peneliti akan menggunakan tiga alat ukur yang merupakan

adaptasi dari alat ukur sebelumnya. Untuk mengukur kesejahteraan psikologis,

peneliti menggunakan alat ukur kesejahteraan psikologis yang dibuat oleh

Pebriatati (2012) mengadaptasi dari Psychological well being Scale oleh Ryff

(1989). Sedangkan untuk mengukur pemaafan menggunakan skala pemaafan

oleh Nashori (2012). Hal ini berbeda dengan penelitian Tyas (2013) yang

menggunakan alat ukur Family forgiveness scale dari Pollard, dkk (1998).

Subjek pada penelitian ini adalah para istri yang mengalami kekerasan

dalam rumah tangga. Sehingga berbeda dengan penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Pebriarti (2011), yaitu menggunakan subjek istri yang bercerai.

Pada penelitian yang di lakukan oleh Dolan dan Barlow (2016) menggunakan

subjek yang berusia dari 25 hingga 50 tahun yang berbeda agama. Selain itu,

penelitian yang dilakukan oleh Tyas (2013) menggunakan subjek istri yang

mengalami konflik dengan suami.

5. Keaslian Intervensi

Intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan Terapi

Pemaafan seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Tyas (2013) dan juga

Dolan dan Barlow (2016). Namun intervensi dalam penelitian ini berbeda

dengan penelitian yang dilakukan oleh Pebriarti (2011) sebelumnya yang

menggunakan pelatihan pemaafan untuk meningkatkan kesejahteraan

14

A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis

Kesejahteraan psikologis merupakan capaian penuh dari potensi psikologis

individu dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan

kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi

yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu

beradaptasi dengan baik, dan terus bertumbuh secara personal (Ryff, 1989).

Selain itu, Corsini (2003) menjabarkan bahwa kesejahteraan psikologis

merupakan kondisi dalam diri individu yang didukung oleh keadaan subjektif

yang positif, kebahagiaan yang dirasakan, self-esteem, dan kepuasan dalam

kehidupan individu tersebut.

Cardak (2013) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan

suatu konstruksi individu berdasarkan konsep pengembangan dirinya agar

mendapat kebahagiaan. Menurut Ozen (2005), kesejahteraan psikologis

individu tergantung pada fungsi positif dalam aspek-aspek tertentu di

kehidupannya. Individu yang memiliki kesejehateraan psikologis akan

mampu menata kehidupaanya pada hal-hal yang positf dan berusaha semakin

memperbaiki diri dari sebelumnya.

Menurut Ramos (2007), kesejahteraan psikologis adalah kondisi individu

baik antar individu lain dan juga dalam kelompok. Raz (2004) menambahkan

kesejahteraan psikologis adalah keadaaan dimana individu mampu

menemukan makna kehidupannya dengan cara menjalankan kegiatan sepenuh

hati dan sukses dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

Berdasarkan beberapa pengertian kesejahteraan psikologis yang telah

disebutkan oleh beberapa ahli sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa

kesejahteraan psikologis merupakan suatu kondisi di mana individu tidak

hanya merasakan kebahagiaan dalam dirinya tetapi juga mampu untuk

berhubungan baik dengan orang, mengaktualisasikan dirinya dengan baik,

mengatasi permasalahan kehidupannya dengan tepat, serta memiliki makna

dan tujuan hidup yang baik.

2. Aspek Kesejahteraan Psikologis

Ryff (1995) mengemukakan enam dimensi kesejahteraan psikologis pada

diri individu, yaitu:

1) Autonomy (Kemandirian)

Pada dimensi ini menjelaskan tentang kemandirian, kemampuan

untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah

laku. Individu yang mampu menolak tekanan sosial untuk berfikir dan

bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri

sendiri dengan standar personal, hal ini menandakan bahwa ia baik dalam

2) Environmental mastery (Penguasaan Lingkungan)

Hal yang dimaksud dalam dimensi ini adalah seseorang yang

mampu memanipulasi keadaan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan

nilai-nilai pribadi yang dianutnya dan mampu untuk mengembangkan diri

secara kreatif melalui aktifitas fisik mapupun mental. Individu dengan

kesejahteraan psikologis yang baik memiliki kemampuan untuk memilih

dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya.

Dengan kata lain, ia memiliki kemampuan dalam menghadapi

kejadian-kejadian diluar dirinya (lingkungan eksternal).

3) Personal growth (Pengembangan Diri)

Pengembangan potensi dalam diri adalah adanya kebutuhan untuk

mengaktualisasi diri, misalnya keterbukaan terhadap pengalaman.

Seseorang yang memiliki pertumbuhan potensi diri yang baik memiliki

perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sebagai sesuatu yang

bertumbuh, menyadari potensi dalam diri, dan mampu melihat

peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu.

4) Positive relation (Hubungan Positif dengan Orang Lain)

Hubungan yang positif dengan orang lain menekankan adanya

kemampuan yang merupakan salah satu komponen kesehatan mental

yaitu kemampuan untuk mencintai orang lain. Dalam dimensi ini,

individu yang dikatakan tinggi atau baik ditandai dengan adanya

hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain,

Sementara itu, individu yang dikatakan rendah atau kurang baik dalam

dimensi ini ditandai dengan memiliki sedikit hubungan dengan orang lain,

sulit bersikap hangat dan enggan memiliki ikatan dengan orang lain.

5) Purpose in life (Tujuan Hidup)

Individu yang memiliki makna dan tujuan dalam hidup, maka akan

memiliki perasaan bahwa kehidupan baik saat ini maupun masa lalu

mempunyai makna, memiliki kepercayaan untuk mencapai tujuan hidup,

dan memiliki target terhadap apa yang ingin dicapai dalam hidup.

6) Self-acceptance (Penerimaan Diri)

Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai

dengan sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima

berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik yang positif maupun negatif,

dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian pula

sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang

baik dan memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa

kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan memiliki pengharapan untuk

menjadi pribadi yang bukan dirinya, dengan kata lain tidak menjadi

dirinya saat ini.

Selain itu, Bradburn (1969) mengungkapkan bahwa terdapat dua

dimensi yang ada di dalam struktur kesejahteraan psikologis, yaitu afek

positif dan afek negatif. Individu yang merasa lebih banyak memiliki

perasaan yang positif dalam kehidupannya dan merasa lebih sedikit untuk

dirinya memiliki kebahagiaan dalam dirinya. Hal tersebut yang menjadi

kesejahteraan psikologis dalam diri individu itu. Sedangkan ketika

individu memiliki perasaan yang rendah terhadap hal-hal yang positif dan

tinggi untuk merasakan perasaan negatif, bukan berarti individu tersebut

tidak bahagia, namun individu tersebut hanya belum bahagia. Dengan

demikian, individu itu belum sepenuhnya memiliki kesejahteraan

psikologis dalam dirinya.

Berdasarkan aspek-aspek kesejahteraan psikologis yang telah

dijelaskan, peneliti mengacu kepada aspek-aspek kesejahteraan psikoligis

yang disampaikan oleh Ryff (1995), yaitu kemandirian, penguasaan

lingkungan, pengembangan diri, hubungan positif dengan orang lain,

tujuan hidup, dan penerimaan diri.

3. Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan

psikologis seseorang, yaitu:

1) Dukungan Sosial

Dukungan sosial merupakan gambaran dari perilaku mendukung

yang diberikan seseorang individu kepada individu lain dimana individu

tersebut memiliki keterikatan dan cukup bermakna dalam hidupnya.

Dukungan sosial dari orang-orang yang bermakna dalam kehidupan

seseorang dapat memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan individu

2) Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi mempengaruhi kesejahteraaan psikologis

seseorang. Seperti besarnya pendapatan keluarga, tingkat pendidikan,

keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi dan status sosial di masyarakat

(Pinquart & Sorenson, 2000).

3) Jaringan sosial

Kesejahteraan psikologis tiap individu dapat berkaitan dengan

aktivitas sosial yang diikuti oleh individu seperti aktif dalam

pertemuan-pertemuan atau organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas yang dilakukan,

dan dengan siapa kontak sosial dilakukan (Pinquart & Sorenson, 2000).

Jaringan sosial yang baik dan menjaga kualitas hubungan sosial dengan

lingkungan akan mengurangi munculnya konflik dan meningkatkan

kesejahteraan psikologis dalam hidup (Wang & Kanungo, 2004).

4) Religiusitas

Religiusitas berkaitan dengan tendensi setiap individu kepada

Tuhannya. Cara berpikir, sikap dan kebiasaaan yang dijalani oleh setiap

individu juga akan dipengaruhi oleh religiusitas pada individu tersebut.

Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai

kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih

bermakna sehingga mampu untuk meningkatkan kesejahteraan bagi

5) Kepribadian

Kepribadian tiap individu membentuk karakter setiap individu

menjadi berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, cara tiap individu

mengelola perasaan dan mengungkapkan perasaan mereka untuk kepuasan

atau kebahagaiaan jelas berbeda. Hal ini yang membuat kesejahteraan tiap

orang juga memilki perbedaan satu dan lainnya (Bradburn,1969).

6) Pemaafan

Pemaafan dapat memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan

psikologis individu. Ketika individu mampu memaafkan orang lain maka

indivdu itu akan menerima orang yang pernah menyakitinya. Hal tersebut

dapat memperbuat hubungan individu dengan orang lain menjadi lebih

baik. Individu yang mampu untuk menjalin hubungan yang baik dengan

orang lain menjadi salah satu faktor untuk dapat meningkatan

kesejahteraan psikologis individu tersebut (Dolan & Barlow, 2016).

Berdasarkan dari faktor-faktor yang ada dapat disimpulkan bahwa terdapat

6 faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yaitu, dukungan sosial,

Dokumen terkait