• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERIMAAN KONSUMEN TERHADAP MINYAK GORENG CURAH YANG DIFORTIFIKASI VITAMIN A HANDARU TRIMULYONO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERIMAAN KONSUMEN TERHADAP MINYAK GORENG CURAH YANG DIFORTIFIKASI VITAMIN A HANDARU TRIMULYONO"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

PENERIMAAN KONSUMEN

TERHADAP MINYAK GORENG CURAH

YANG DIFORTIFIKASI VITAMIN A

HANDARU TRIMULYONO

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

RINGKASAN

Handaru Trimulyono. Penerimaan konsumen terhadap minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A. Dibimbing oleh Drajat Martianto dan Sri Anna Marliyati.

Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji penerimaan konsumen terhadap minyak goreng curah yang difortifikasi dengan vitamin A. Tujuan khusus penelitian adalah (1) mengetahui penerimaan konsumen terhadap minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A dengan kondisi belum digunakan dan telah digunakan untuk menggoreng bahan makanan; (2) mengetahui penerimaan konsumen terhadap produk pangan yang diolah dengan menggunakan minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A; (3) mengkaji keluhan konsumen terhadap minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A dan tidak difortifikasi vitamin A.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Juni 2008. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang dilakukan atas kerjasama Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI) dengan Asian Development Bank (ADB). Penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu penelitian lapang dan penelitian laboratorium. Penelitian lapang dilakukan di Pulau Barrang Lompo - Makassar dan di Desa Babakan Darmaga - Bogor. Penelitian di laboratorium dilakukan di Laboratorium Penilaian Organoleptik dan Laboratorium Pengolahan Pangan, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Data hasil survei penerimaan konsumen diolah secara deskriptif menggunakan persentase modus. Data uji kesukaan dan penerimaan konsumen terhadap minyak goreng yang difortifikasi vitamin A diolah secara deskriptif menggunakan persentase kesukaan dan penerimaan responden serta skor modus masing-masing perlakuan. Uji statistik non parametrik Kruskal-Wallis digunakan untuk mengetahui perbedaan tingkat kesukaan responden terhadap sifat organoleptik minyak goreng curah. Data-data yang terkumpul dan telah diolah digunakan untuk membuktikan kekhawatiran-kekhawatiran mengenai perubahan sifat fisik minyak goreng curah jika difortifikasi dengan vitamin A.

Lebih dari separuh jumlah responden menyatakan bahwa warna dan aroma minyak goreng curah yang difortifikasi serta rasa makanan yang diolah adalah sama saja dibanding minyak goreng curah yang tidak difortifikasi. Secara keseluruhan, responden di Pulau Barrang Lompo menyatakan bahwa sifat organoleptik minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A tidak berbeda atau sama saja dengan minyak goreng curah yang tidak difortifikasi.

Lebih dari separuh responden (58,9%) menyatakan suka terhadap warna minyak goreng curah baik yang difortifikasi vitamin A maupun minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A. Kurang dari separuh jumlah responden (44,6%) menyatakan suka terhadap aroma minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A. Uji Kruskal-Wallis menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara kesukaan responden terhadap warna dan aroma kedua jenis minyak goreng yang diujikan (p=0,586). Skor modus tingkat kesukaan warna dan aroma minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A adalah 5 (suka) dengan persentase penerimaan sebesar 89,3 persen.

Lebih dari separuh jumlah responden (58,9%, 64,3% dan 69,6%) menyukai warna pisang goreng, tahu goreng, dan roti lasuna yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A. Uji Kruskal-Wallis menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada tingkat kesukaan

(3)

responden terhadap warna pisang goreng (p=0,194), tahu goreng (p=0,750), dan roti lasuna (p=0,121). Skor modus tingkat kesukaan warna produk gorengan yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang difortifkasi vitamin A adalah 5 (suka) untuk pisang goreng, tahu goreng, dan roti lasuna

Lebih dari separuh jumlah responden (57,1%) menyukai aroma tahu goreng yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A. Kurang dari separuh jumlah responden (48,2%) menyukai aroma pisang goreng dan roti lasuna yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A. Uji Kruskal-Wallis menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada tingkat kesukaan responden terhadap aroma pisang goreng (p=0,019), dan roti lasuna (p=0,050). Tidak ada perbedaan yang nyata pada tingkat kesukaan responden terhadap aroma tahu goreng (p=0,934). Skor modus tingkat kesukaan warna produk gorengan yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang difortifkasi vitamin A adalah 5 (suka) untuk ketiga jenis produk gorengan.

Kurang dari separuh jumlah responden (41,1%, 42,9%, dan 41,1%) menyatakan suka terhadap rasa pisang goreng, tahu goreng, dan roti lasuna yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A. Uji Kruskal-Wallis menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada tingkat kesukaan responden terhadap rasa pisang goreng (p=0,000). Tidak ada perbedaan yang nyata pada tingkat kesukaan responden terhadap aroma tahu goreng (p=0,629) dan roti lasuna (p=0,312). Skor modus tingkat kesukaan warna produk gorengan yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang difortifkasi vitamin A adalah 5 (suka) untuk ketiga jenis produk gorengan.

Uji Kruskal-Wallis menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata pada tingkat kesukaan responden terhadap warna dan aroma minyak goreng curah yang diuji pada satu kali penggunaan, serta terhadap warna minyak goreng curah yang diuji pada dua kali penggunaan (p>0,05). Terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat kesukaan rasa makanan yang diolah menggunakan minyak goreng curah yang diuji pada penggunaan pertama, kedua, dan ketiga, serta terhadap aroma minyak goreng curah yang diuji pada penggunaan pertama dan ketiga (p<0,05). Skor modus pada kesukaan warna dan aroma minyak goreng serta rasa makanan yang diolah dengan pengulangan pemakaian minyak goreng berkisar antara 3 (biasa) hingga 5 (suka).

Jumlah keluhan mengenai minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A lebih rendah dibanding jumlah keluhan mengenai minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A. Hal ini disebabkan pada saat pengujian minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A, responden lebih banyak menggoreng bahan pangan yang dapat merusak sifat fisik minyak goreng, misalnya minyak akan berbuih saat digunakan untuk menggoreng telur atau menjadi hitam saat menggoreng ikan yang berbumbu. Keluhan-keluhan mengenai minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A tergantung pada cara pemakaian dan kondisi penyimpanan minyak tersebut.

(4)

PENERIMAAN KONSUMEN TERHADAP

MINYAK GORENG CURAH

YANG DIFORTIFIKASI VITAMIN A

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

HANDARU TRIMULYONO

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : PENERIMAAN KONSUMEN TERHADAP MINYAK GORENG CURAH YANG DIFORTIFIKASI VITAMIN A Nama Mahasiswa : Handaru Trimulyono

NRP : A54104043

Disetujui, Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si. NIP. 131861464

Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si. NIP. 131841753

Diketahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP. 131124019

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 12 Februari 1986 dari pasangan Sardi Hardinata dan Dede Suryawati Masduki. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga orang bersaudara. Pada tahun 1990 penulis memulai pendidikan di TK Persit Kartika Chandra Kirana, Banjarsari. Pendidikan SD ditempuh pada tahun 1991 di SDN Buniseuri II dan SDN Handapherang II, kemudian dilanjutkan pada jenjang pendidikan SLTP di SLTP Negeri 1 Ciamis. Tahun 2003 penulis dinyatakan lulus dari SMA Negeri 1 Ciamis, kemudian melanjutkan jenjang pendidikan di Institut Pertanian Bogor pada program studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) tahun 2004.

Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif di beberapa kepanitiaan dan organisasi kemahasiswaan. Penulis merupakan salah satu staf pengurus Himpunan Mahasiswa Peminat Gizi Pertanian (HIMAGITA) periode kepengurusan tahun 2005 - 2006.

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan yang begitu berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini. Selama proses penelitian, penulis tak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak dan dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu dan Bapak serta segenap keluarga atas segala keikhlasan dan kasih yang begitu tulus serta motivasi tanpa batas yang diberikan pada penulis. 2. Dr. Ir. Drajat Martianto MSi dan Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi selaku dosen pembimbing atas segala ilmu, arahan dan masukan yang diberikan kepada penulis sejak awal penyusunan hingga selesainya karya ini. 3. Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI) dan Asian Development Bank (ADB)

atas izin dan kerjasama dalam penelitian ini.

4. Dr. Lilik Kustiyah Hartoyo selaku dosen pemandu seminar yang telah memberikan arahan dan saran terhadap karya ini.

5. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku dosen penguji karya ini.

6. Aini Aqsa Arafah yang telah bahu membahu dalam penelitian ini baik di Pulau Barrang Lompo maupun di Bogor.

7. Segenap warga dan staf di Pulau Barrang Lompo, Makassar dan di Darmaga, Bogor yang telah berperan dalam penelitian ini.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 Kegunaan ... 3 TINJAUAN PUSTAKA Minyak Goreng dan Penggunaannya di Masyarakat Indonesia ... 4

Minyak Kelapa Sawit ... 4

Sifat Fisiko Kimia Minyak Kelapa Sawit ... 5

Proses Penggorengan dan Dampaknya pada Kerusakan Minyak ... 6

Vitamin A dan Manfaatnya Bagi Kesehatan ... 8

Fortifikasi Vitamin A pada Minyak Goreng... 10

Daya Terima ... 12

Uji Penggunaan di Rumah (Home Use Test)... 13

METODE PENELITIAN Desain Penelitian ... 15

Tempat dan Waktu... 15

Alat dan Bahan ... 15

Metode ... 15

Pengolahan dan Analisis Data ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN Penerimaan Konsumen terhadap Minyak Goreng Curah ... 18

Uji Penerimaan Konsumen di Laboratorium ... 20

Uji Penggunaan di Rumah (Home Use Test)... 28

Keluhan-keluhan terhadap Minyak Goreng Curah ... 36

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 38

Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Nilai sifat fisiko-kimia minyak sawit ... 5 2. Angka kecukupan vitamin A rata-rata yang dianjurkan ... 8 3. Distribusi konsumen berdasarkan penilaian terhadap minyak goreng

curah yang difortifikasi vitamin A dibandingkan dengan minyak

goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A ... 19 4. Sebaran tingkat kesukaan responden terhadap warna minyak

goreng curah... 20 5. Sebaran tingkat kesukaan responden terhadap aroma minyak

goreng curah... 22 6. Sebaran tingkat kesukaan responden terhadap warna berbagai

jenis produk gorengan... 24 7. Sebaran tingkat kesukaan responden terhadap aroma berbagai

jenis produk gorengan... 26 8. Sebaran tingkat kesukaan responden terhadap rasa berbagai

jenis produk gorengan... 27 9. Persentase responden mengenai perbedaan pada minyak

goreng curah sebelum digunakan... 29 10. Persentase responden mengenai perbedaan pada minyak

goreng setelah digunakan... 30 11. Hasil uji kesukaan berupa skor modus dan persentase penerimaan

minyak goreng curah pemakaian pertama ... 32 12. Hasil uji kesukaan berupa skor modus dan persentase penerimaan

minyak goreng curah pemakaian kedua ... 33 13. Hasil uji kesukaan berupa skor modus dan persentase penerimaan

minyak goreng curah pemakaian ketiga... 35 14. Keluhan-keluhan mengenai minyak goreng curah ... 36 15. Frekuensi pembelian minyak goreng curah... 46 16. Distribusi konsumen berdasarkan ketertarikan membeli minyak goreng

curah jika terjadi kenaikan harga minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A ... 47

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Persentase penerimaan responden terhadap warna minyak

goreng curah... 21

2. Persentase penerimaan responden terhadap aroma minyak goreng curah... 23

3. Persentase penerimaan responden terhadap warna produk gorengan... 25

4. Persentase penerimaan responden terhadap aroma produk gorengan... 26

5. Persentase penerimaan responden terhadap rasa produk gorengan... 28

6. Skema teknis alat fortifikasi minyak goreng curah di Makassar ... 42

7. Alat fortifikasi minyak goreng curah di CV. Terong Makassar ... 42

8. Ilustrasi alat fortifikasi minyak goreng curah di laboratorium ... 44

9. Ketertarikan membeli minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A ... 46

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Perhitungan jumlah sampel yang diambil... 42 2. Proses fortifikasi minyak goreng curah dan data pendukung ... 43 3. Uji Kruskal-Wallis kesukaan panelis terhadap warna dan aroma

minyak goreng curah ... 48 4. Uji Kruskal-Wallis kesukaan panelis terhadap warna, aroma, dan

rasa pisang goreng ... 48 5. Uji Kruskal-Wallis kesukaan panelis terhadap warna, aroma, dan

rasa tahu goreng... 49 6. Uji Kruskal-Wallis kesukaan panelis terhadap warna, aroma, dan

rasa roti lasuna ... 49 7. Uji Kruskal-Wallis adanya perbedaan pada minyak goreng curah segar

yang dirasakan oleh responden ... 50 8. Uji Kruskal-Wallis adanya perbedaan pada minyak goreng curah

setelah digunakan yang dirasakan oleh responden... 50 9. Uji Kruskal-Wallis kesukaan panelis terhadap warna dan aroma minyak

goreng curah serta rasa makanan pada penggorengan pertama ... 51 10. Uji Kruskal-Wallis kesukaan panelis terhadap warna dan aroma minyak

goreng curah serta rasa makanan pada penggorengan kedua ... 51 11. Uji Kruskal-Wallis kesukaan panelis terhadap warna dan aroma minyak

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah Kekurangan Vitamin A (KVA) masih menjadi masalah gizi yang serius di dunia termasuk di Indonesia. Lima puluh persen anak balita di Indonesia memiliki kadar serum retinol kurang dari 20 µg/dl (Martianto, Komari, Soekirman, Soekatri, Heryatno, dan Mudjajanto 2005). Lebih dari 40 persen anak-anak di dunia menderita KVA (UNICEF dan MI 2004 dalam World Bank 2006). Menurut WHO (1991) dalam Almatsier (2002), diantara anak-anak prasekolah diperkirakan terdapat 6 - 7 juta kasus baru xerophthalmia terjadi di dunia setiap tahunnya. Sekitar 10 persen penderita xerophthalmia mengalami kerusakan kornea, dengan 60 persen di antaranya hanya mampu bertahan hidup kurang dari satu tahun.

Usaha-usaha untuk menanggulangi masalah KVA telah banyak dilakukan di antaranya dengan suplementasi serta fortifikasi vitamin A pada produk pangan. Menurut Soekirman (2003), beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh produk pangan yang difortifikasi, antara lain: (1) banyak dikonsumsi oleh masyarakat khususnya masyarakat miskin, (2) produsen yang memproduksi dan mengolah bahan pangan tersebut terbatas jumlahnya, dan (3) tersedianya teknologi fortifikasi untuk makanan yang dipilih. Hal yang perlu diperhatikan pada produk pangan setelah difortifikasi adalah tidak berubah rasa, warna dan konsistensinya serta tetap aman untuk dikonsumsi dan tidak membahayakan kesehatan.

Untoro (2002) menyatakan bahwa minyak goreng merupakan salah satu bahan pangan yang banyak digunakan masyarakat dan berpeluang untuk difortifikasi. Hasil survai yang dilakukan oleh Martianto dkk. (2005) menunjukkan bahwa sebesar 77,5 persen rumah tangga di Indonesia menggunakan minyak goreng curah untuk menggoreng dan rata-rata konsumsi minyak goreng di Indonesia adalah sebesar 23 gram perhari. Menurut Amang, Simatupang, dan Syafa’at (1996), diperkirakan total konsumsi minyak goreng pada tahun 2013 di Indonesia adalah sebesar 2.533 juta liter minyak goreng.

Terdapat dua jenis minyak goreng yang beredar dipasaran, yaitu minyak goreng yang dijual dengan merek (branded) dan tidak bermerek (curah). Konsumsi minyak goreng di dunia cenderung meningkat dari waktu ke waktu, khususnya di kalangan masyarakat ekonomi lemah (Sunaryo & Wibowo 2002). Proporsi minyak goreng curah yang diproduksi dan diedarkan di Indonesia

(13)

adalah sekitar 70-75 persen dari total produksi minyak goreng. Perbedaan harga yang cukup besar antara minyak goreng bermerek dan curah menjadi alasan utama mengapa minyak goreng curah lebih banyak dipilih untuk dikonsumsi (Martianto dkk. 2005). Selain itu, vitamin A dan provitamin A merupakan vitamin yang larut dalam lemak dan minyak. Beberapa pertimbangan tersebut menjadi dasar bagi pelaksanaan fortifikasi minyak goreng curah dengan vitamin A.

Program fortifikasi vitamin A pada minyak goreng telah dilakukan di beberapa tempat, salah satunya di Kota Makassar, Sulawesi Selatan dengan daerah distribusi utama adalah Pulau Barrang Lompo, Kecamatan Ujung Tanah. Program ini terlaksana berkat kerjasama Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI) dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) dengan bantuan dana dari Asian Development Bank (ADB).

Dugaan-dugaan adanya perubahan yang terjadi pada produk pangan yang telah difortifikasi masih menjadi sebuah kekhawatiran yang serius. Minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A harus dapat diterima dan dimanfaatkan oleh konsumen sesuai dengan tujuan penggunaannya. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian untuk melihat sejauh mana perubahan yang terjadi pada minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A serta bagaimana penerimaan konsumen terhadap minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A.

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji penerimaan konsumen terhadap minyak goreng curah yang difortifikasi dengan vitamin A. Tujuan Khusus

1. Mengetahui penerimaan konsumen terhadap minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A dengan kondisi belum digunakan dan telah digunakan untuk menggoreng bahan makanan.

2. Mengetahui penerimaan konsumen terhadap produk pangan yang diolah dengan menggunakan minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A. 3. Mengkaji keluhan konsumen terhadap minyak goreng curah yang

(14)

Kegunaan

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk memberikan jawaban secara objektif terhadap pertanyaan mengenai pengaruh fortifikasi vitamin A terhadap daya terima organoleptik minyak goreng yang difortifikasi. Informasi seperti ini sangat penting, baik bagi industri, masyarakat maupun pemerintah dalam pengembangan fortifikasi pangan.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Minyak Goreng dan Penggunaannya di Masyarakat Indonesia

Minyak goreng adalah bahan pangan non-esensial dan berfungsi sebagai bahan pangan komplemen. Minyak goreng digunakan secara luas di seluruh belahan dunia termasuk di Indonesia (Amang, Simatupang, & Syafa’at 1996), baik oleh rumah tangga maupun industri makanan. Fungsi minyak goreng sangat penting dalam menciptakan aroma, rasa, warna, daya simpan dan dalam beberapa hal juga untuk meningkatkan nilai gizi produk (Sumaryanto dan Pantetana 1996). Tidak semua minyak dapat digunakan untuk menggoreng. Minyak yang biasa digunakan untuk menggoreng adalah minyak yang berasal dari tumbuhan atau minyak nabati (Winarno 1999).

Minyak nabati adalah minyak yang dihasilkan dari ekstrak kandungan lemak dari tumbuh-tumbuhan. Minyak nabati tergolong sebagai minyak yang tidak akan mengeras jika dibiarkan di udara terbuka (non drying oil). Salah satu contoh minyak yang termasuk kedalam kelompok non drying oil adalah minyak kelapa sawit. Minyak nabati yang populer dikonsumsi manusia adalah hasil olahan jagung, kedelai, bunga matahari, kelapa, kelapa sawit, kacang tanah. Sumber bahan baku utama minyak goreng yang diproduksi di Indonesia adalah kelapa sawit dalam bentuk minyak sawit dan minyak inti sawit (Winarno 1999). Namun lebih dari 95 persen minyak goreng di Indonesia adalah minyak nabati yang berasal dari kelapa dan kelapa sawit (Sumaryanto dan Pantetana 1996).

Minyak Kelapa Sawit

Minyak sawit (palm oil) berbeda dengan minyak inti sawit (palm kernel

oil). Minyak sawit diperoleh dari daging buah kelapa sawit bagian mesokarp,

sedangkan minyak inti sawit diperoleh dari biji buah kelapa sawit. Minyak kelapa sawit diperoleh melalui proses ekstraksi secara rendering atau pengepresan dan proses pemurnian yang terdiri atas pengendapan dan pemisahan gum, netralisasi, pemucatan, dan deodorisasi. Secara umum minyak kelapa sawit mempunyai karakteristik warna kuning pucat sampai oranye tua, memiliki aroma yang sedap, dan stabil atau resisten terhadap ketengikan (Winarno 1999).

Melalui proses rafinasi, pemucatan dan penghilangan bau atau disingkat RBD (Refined, Bleached, Deodorized), minyak kelapa sawit dapat diubah menjadi produk yang bernilai lebih tinggi. Proses rafinasi dan fraksinasi menghasilkan minyak yang tidak berwarna, jernih dan bersih dari kotoran yang dikenal dengan RBD-oil. Kehilangan β-karoten yang terkandung dalam minyak

(16)

kelapa sawit banyak terjadi selama proses-proses tersebut berlangsung (Muchtadi 1996).

Menurut Olson (1990), minyak kelapa sawit yang tidak mengalami proses penjernihan dan bleaching memiliki warna merah karena mengandung karoten (α- dan β-karoten) dalam jumlah yang banyak. Kandungan karotenoid sebanyak 0,5 mg dalam setiap ml minyak kelapa sawit. Kebutuhan vitamin A pada anak usia pra-sekolah dapat dicukupi dari konsumsi 7 ml minyak kelapa sawit merah per hari. Menurut Martianto, Marliyati dan Komari (2007), walaupun memiliki kandungan karotenoid yang tinggi, minyak kelapa sawit merah tidak dapat diterima dalam banyak penggunaan karena warna merah yang kuat dan rasa yang sangat khas.

Mutu minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti air dan kotoran, asam lemak bebas, bilangan peroksida dan daya pemucatan. Faktor lain yang dapat mempengaruhi mutu minyak kelapa sawit, antara lain: titik cair, kandungan gliserida padat, refining loss, kejernihan (Ketaren 1986), dan kandungan logam berat seperti timbal (Pb) dan arsen (As) (Pantzaris 1999).

Sifat Fisiko Kimia Minyak Kelapa Sawit

Pada dasarnya lemak dan minyak adalah gugus gliserida asam lemak. Sejauh mana spektrum kegunaan minyak dan lemak bagi manusia sangat ditentukan oleh sifat-sifat teknisnya. Salah satu sifat terpenting dari asam lemak adalah tingkat kejenuhannya (degree of saturation) yang ditunjukkan oleh bilangan yodium (iodine number). Lemak atau minyak yang memiliki bilangan yodium tinggi berarti memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi pula dan umumnya berwujud cair pada suhu kamar. Jika bilangan yodium suatu minyak atau lemak adalah rendah, maka kandungan asam lemak jenuhnya tinggi dan cenderung padat atau setengah padat pada suhu kamar (Sumaryanto & Pantetana 1996).

Sifat fisiko kimia minyak kelapa sawit meliputi warna, flavor, kelarutan, titik didih, titik cair dan polymorphism, bobot jenis, indeks bias, kekeruhan, titik asap, titik nyala dan titik api.Warna minyak kelapa sawit ditentukan oleh adanya pigmen yang larut dalam minyak serta pigmen yang tersisa setelah mengalami proses pemucatan. Warna oranye pada minyak kelapa sawit disebabkan oleh pigmen karoten yang larut dalam minyak kelapa sawit. Senyawa β-ionone menentukan bau yang khas pada minyak kelapa sawit (Ketaren 1986). Sifat fisiko kimia minyak sawit seperti disajikan pada Tabel 1.

(17)

Tabel 1 Nilai sifat fisiko kimia minyak sawit

Karakteristik Minyak sawit

Densitas pada 50oC (kg/m3) 891,00 Berat jenis (40oC) 0,921 – 0,925 Bilangan Iod 44 – 58 Bilangan Penyabunan 195 – 205 Indeks reflaktif 1,453 – 1,458 Titik leleh (oC) 25 - 50

Bahan tak tersabunkan 0,2 – 0,8

Sumber : Formo et al (1979); Salunkhe et al (1992) dalam Winarno (1999)

Hampir semua jenis minyak yang sifatnya dapat dimakan (edible) adalah termasuk padat atau setengah padat (semisolid atau solid), tidak kering (non

drying) atau cairan setengah kering (semi drying fluid). Minyak yang bersifat

kering umumnya berfungsi sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam industri (Sumaryanto dan Pantetana 1996).

Proses Penggorengan dan Dampaknya pada Kerusakan Minyak Proses penggorengan adalah proses yang umum dan banyak dilakukan oleh industri pengolahan pangan, restoran, jasa boga, penjual makanan jajanan, dan rumah tangga (Winarno 1999). Fungsi minyak goreng dalam proses penggorengan adalah sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi termasuk vitamin A dan kalori (Ketaren 1986) dari minyak yang terserap ke dalam bahan pangan yang digoreng.

Penggunaan minyak atau lemak dalam menggoreng akan menimbulkan tekstur yang kenyal dan renyah. Selama proses penggorengan, minyak akan mengalami banyak reaksi kimia seperti hidrolisis, oksidasi, isomerasi dan polimerisasi. Reaksi-reaksi ini akan menghasilkan zat-zat yang tidak baik untuk kesehatan serta mempengaruhi mutu makanan yang digoreng baik dari segi cita rasa, penampakan maupun nilai gizinya (Winarno 1999).

Suhu minyak pada proses penggorengan normal berkisar antara 163 – 196oC, tergantung dari jenis makanan yang digoreng. Pemanasan minyak goreng dalam waktu lama dan dengan suhu yang tinggi akan menghasilkan senyawa polimer yang berbentuk padat dalam minyak (Ketaren 1986) dan meningkatkan jumlah asam lemak bebas dalam minyak (Andarwulan 1991). Minyak yang digunakan untuk menggoreng dalam waktu lama dan terus dipakai secara berulang akan menghasilkan senyawa trans pada asam lemak yang sering kali dikaitkan dengan berbagai gangguan kesehatan (Winarno 1999).

(18)

Minyak atau lemak digunakan sebagai medium memasak baik dalam penggorengan dengan minyak terbatas (pan frying atau shallow frying) maupun dalam minyak melimpah (deep frying). Penggorengan dengan minyak terbatas dilakukan misalnya pada saat menggoreng telur atau menumis sayuran dengan suhu berkisar 117 – 1700C. Penggorengan deep frying adalah penggorengan dimana bahan terendam seluruhnya dalam minyak. Perbandingan minyak dan bahan yang baik adalah 8:1, dengan harapan penggorengan dapat dilakukan selama lima kali berturut-turut tanpa harus mengganti, mengurangi maupun menambah jumlah minyak yang digunakan (Andarwulan 1991).

Menurut Winarno (1999), suhu minyak pada proses penggorengan deep

frying dianjurkan antara 177 – 201OC serta tergantung pada jenis makanan yang digoreng. Menurut Ketaren (1986), minyak dan lemak yang digunakan dalam proses ini tidak berbentuk emulsi dan memiliki titik asap (260OC) diatas suhu penggorengan sehingga asap tidak terbentuk selama proses penggorengan

deep frying. Suhu titik asap minyak goreng dapat bervariasi tergantung pada

jumlah asam lemak bebas dan menurun jika digunakan secara berulang-ulang. Minyak goreng terutama yang digunakan pada proses penggorengan

deep frying sering kali digunakan dalam waktu lama bahkan sampai beberapa

kali sehingga terjadi degradasi yang sangat intensif. Lemak yang terkandung dalam pangan yang digoreng pun ikut mengalami oksidasi, walaupun tidak terekspos dalam waktu lama dan hanya pada bagian permukaanya saja. Perubahan-perubahan yang terjadi karena proses oksidasi tergantung pada kandungan asam lemak tak jenuh ganda pada minyak (Pantzaris 1999). Selain proses oksidasi, kerusakan minyak juga disebabkan reaksi polimerisasi dan hidrolisis yang terjadi sewaktu proses penggorengan(Ketaren 1986).

Oksidasi minyak menyebabkan penurunan nilai gizi karena rusaknya zat gizi seperti karoten dan tokoferol serta asam lemak esensial. Penurunan cita rasa seperti timbulnya bau tengik yang ditimbulkan oleh senyawa aldehida, keton, hidrokarbon, alkohol, dan lakton yang terbentuk pada reaksi oksidasi. Juga beberapa senyawa aromatis yang dapat pula menimbulkan rasa getir. Minyak yang dipakai menggoreng secara berulang-ulang cenderung membentuk busa pada permukaan yang merupakan koloid dari bahan yang digoreng. Lemak rantai pendek lebih mudah membentuk busa (Ketaren 1986).

Menurut Ketaren (1986), proses oksidasi yang menyebabkan kerusakan minyak terdiri dari enam tahap, yaitu: (1) terbentuknya produk dekomposisi volatil

(19)

(VDP) akibat pemecahan rantai karbon asam lemak; (2) terjadinya proses hidrolisa dari trigliserida yang mengalami kenaikan jumlah asam lemak bebas dalam minyak; (3) oksidasi asam lemak berantai panjang; (4) degradasi ester oleh panas; (5) oksidasi asam lemak posisi α- dalam trigliserida; dan (6) otooksidasi keton dan aldehida menjadi asam karboksilat .

Jika minyak mengalami pemanasan yang berlebihan, maka molekul-molekul gilserol pada minyak akan mengalami kerusakan dan menimbulkan asap biru yang sangat menggangu lapisan selaput mata. Molekul-molekul gliserol tersebut menjadi kering (kehilangan gugus molekul air) sehingga terbentuk gugus aldehida tak jenuh yang disebut akrolein (Winarno 1999). Terbentuknya asap selama proses penggorengan menunjukkan bahwa lemak mengalami dekomposisi sehingga mengakibatkan bau dan rasa yang tidak enak (Ketaren 1986).

Vitamin A dan Manfaatnya Bagi Kesehatan

Vitamin A terdapat dalam bentuk alkohol (retinol), aldehida (retinal), asam (asam retinoat), dan ester (ester retinil). Umumnya vitamin A stabil terhadap panas, asam dan alkali, namun sangat mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi (suhu penggorengan, >120 oC) bersama udara, sinar dan lemak yang sudah tengik (Winarno 1991). Vitamin A sangat tidak stabil pada kondisi lingkungan dengan pH kurang dari 5,0. Proses degradasi vitamin A juga dipercepat oleh adanya paparan cahaya khususnya sinar ultraviolet (Olson 1990), dan mineral seperti tembaga dan besi (Sunaryo & Wibowo 2002). Vitamin A banyak terdapat pada susu, keju, mentega, es krim, telur, dan hati. Selain itu, vitamin A juga banyak terdapat pada ikan seperti ikan tuna dan sarden. Karotenoid sebagai provitamin A banyak terdapat pada minyak kelapa sawit merah (red palm oil), wortel dan sayuran berdaun hijau (Olson 1990).

Karoten yang banyak terdapat pada sayuran akan mengalami kerusakan yang lebih rendah pada proses penggorengan yang cepat dan bersuhu relatif rendah seperti pada proses menumis. Penggorengan secara deep frying mengakibatkan kerusakan terhadap karoten dua kali lebih besar jika dibandingkan dengan kerusakan karoten pada proses menumis (Pokornў 1999).

Bentuk aktif vitamin A hanya terdapat pada bahan pangan hewani dan sebagian kecil bakteri. Pigmen karoten yang merupakan provitamin A dapat diekstrak dari tumbuhan dalam bentuk α-, β-, atau γ- karoten. Berdasarkan

(20)

konversi vitamin A yang dihasilkan, β-karoten menjadi bentuk utama dan sangat penting sebagai provitamin A (Bender 2003). Karoten ini kemudian akan diubah menjadi vitamin A setelah proses penyerapan di organ pencernaan (Olson 1990). Angka kecukupan vitamin A biasanya dinyatakan dalam satuan retinol ekivalen (RE). Satu RE setara dengan 1 mikrogram retinol atau 6 mikrogram beta karoten atau 12 mikrogram β-karoten campuran (Muhilal, Jalal & Hardinsyah 1998). Vitamin A dalam bentuk aktif (retinol) dapat menimbulkan keracunan jika dikonsumsi dalam jumlah yang berlebihan. Berbeda dengan karoten, resiko keracunan lebih kecil dibanding vitamin A dalam bentuk aktif, dikarenakan dalam tubuh manusia karoten memiliki keterbatasan untuk diubah menjadi retinol (Bender 2003). Kecukupan vitamin A rata-rata yang dianjurkan per hari dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Angka kecukupan vitamin A rata-rata yang dianjurkan

Golongan Umur Angka Kecukupan (RE/org hari)

0 – 6 bulan 375 7 bulan – 3 tahun 400 4 – 6 tahun 450 7 – 9 tahun 500 Pria: 10 – 64 tahun 600 >64 tahun 600 Wanita: 10 – 18 tahun 600 19 – 64 tahun 500 >64 tahun 500 Wanita Hamil (+ 300) Wanita Menyusui: 0 – 6 bulan (+ 350) 7 – 12 bulan (+ 300)

Sumber: Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (2004)

Vitamin A berperan dalam proses diferensiasi sel penglihatan, spermatogenesis, perkembangan embrio, imunitas, mempengaruhi indera perasa, pendengaran, nafsu makan serta pertumbuhan (Bagriansky & Ranum 1998). Fungsi lain dari vitamin A yaitu (1) membantu memelihara penglihatan di dalam kondisi gelap dan mencegah rabun senja serta xerophthalmia; (2) berperan dalam pertumbuhan tulang dan perkembangan gigi; (3) koenzim dalam sintesis glikoprotein; (4) berfungsi seperti hormon steroid; (5) berperan dalam pembentukan tiroksin dan pencegahan goiter; (6) sintesis protein dan sintesis kortikosteron dari kolesterol, serta sintesis normal glikogen (Berdanier et al.

(21)

2002). Selain itu, β-karoten yang merupakan provitamin A juga memiliki aktivitas sebagai antioksidan (Hariyadi 2002).

Kekurangan vitamin A (KVA) pada manusia berdampak pada timbulnya kebutaan, dengan dampak yang lebih parah lagi adalah kerusakan kornea mata seperti xerophthalmia. Selain berdampak pada penglihatan, KVA juga menimbulkan kerusakan sistem kekebalan tubuh, kemandulan (infertility), gangguan pertumbuhan pada saat embriogenesis (Lintig 2005), kematian pada anak-anak, keratomalasia, anemia, penyakit saluran pada pernapasan, dan penyakit infeksi lainnya (Olson 1996).

Menurut Berdanier et al. (2002), tanda-tanda kurang vitamin A adalah sebagai berikut: (1) rabun senja, xerosis dan xerophthalmia; (2) pertumbuhan tulang terhenti, bentuk tulang yang tidak normal dan kelumpuhan; (3) kerusakan pada gigi; (4) kulit kasar, kering dan bersisik; (5) kelainan sistem reproduksi, termasuk pembuahan dan pertumbuhan embrio yang tidak normal, luka pada plasenta, serta kematian pada janin.

Kelebihan vitamin A hanya bisa terjadi bila mengkonsumsi vitamin A sebagai suplemen dalam takaran tinggi yang berlebihan, misalnya takaran 16000 RE untuk jangka waktu lama atau 40.000 – 55.000 RE perhari. Gejala yang timbul akibat kelebihan konsumsi vitamin A yaitu sakit kepala, rambut rontok, kulit mengering, hilangnya nafsu makan, sakit pada tulang, berhentinya menstruasi, dan hidrosefalus pada bayi (Almatsier 2002).

Menurut Pokorny (1999), beberapa jenis vitamin sangat sensitif terhadap pemanasan dengan suhu tinggi. Thiamin dan Riboflavin merupakan contoh vitamin yang mengalami kerusakan terutama pada proses penggorengan makanan, namun efek ini tidak banyak berpengaruh terhadap vitamin A.

Fortifikasi Vitamin A pada Minyak Goreng

Kekurangan zat gizi mikro dapat diatasi dengan berbagai pendekatan diantaranya fortifikasi, suplementasi, dan diversifikasi pangan (Sunaryo & Wibowo 2002). Fortifikasi adalah penambahan satu atau lebih zat gizi mikro tertentu ke dalam bahan pangan dengan tujuan utama adalah meningkatkan mutu gizi makanan. Fortifikasi pada makanan dapat bersifat sukarela maupun wajib. Secara sukarela, fortifikasi dilakukan oleh produsen untuk meningkatkan nilai tambah produknya, sedangkan fortifikasi wajib merupakan fortifikasi yang diharuskan dan terdapat dalam Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah dengan tujuan melindungi rakyat dari masalah kurang gizi. Target utama dari

(22)

fortifikasi wajib ini adalah masyarakat miskin yang umumnya menderita kekurangan zat gizi mikro seperti kekurangan yodium, zat besi dan vitamin A (Soekirman 2003).

Fortifikasi tidak bisa dilakukan pada semua jenis bahan pangan, tergantung pada tujuan fortifikasi dan zat gizi (fortifikan) yang dimaksud. Menurut Sunaryo dan Wibowo (2002), bahan pangan yang difortifikasi harus memenuhi kriteria tertentu. Pertama, bahan pangan yang difortifikasi harus dikonsumsi oleh semua atau sebagian besar populasi sasaran. Kedua, bahan pangan tersebut harus dikonsumsi secara rutin dalam jumlah yang tetap. Ketiga, rasa, penampakan, dan bau bahan pangan yang difortifikasi tidak boleh berubah.

Keempat, zat yang digunakan untuk fortifikasi (fortifikan) harus stabil pada kondisi yang ekstrim seperti pemasakan, pemrosesan, pengangkutan dan penyimpanan, serta harga bahan pangan hasil fortifikasi tidak naik secara berarti. Selain itu, Menurut Soekirman (2003), bahan pangan yang difortifikasi harus memenuhi syarat sebagai berikut: (1) produsen yang memproduksi dan mengolah bahan pangan tersebut terbatas jumlahnya; (2) tersedianya teknologi fortifikasi untuk bahan pangan yang dipilih; dan (3) bahan pangan tersebut tetap aman untuk dikonsumsi dan tidak membahayakan kesehatan.

Masalah kurang gizi yang terjadi di negara berkembang seperti kurang vitamin A (KVA) telah dicoba diatasi dengan pelaksanaan program fortifikasi. Namun tidak semua bahan pangan dapat difortifikasi dengan vitamin A. Bahan pangan yang telah dicoba difortifikasi dengan vitamin A di negara berkembang yaitu: vetsin atau Mono Sodium Glutamate (MSG), gula, gandum, beras dan serealia lainnya, teh, susu dan olahannya, margarin, minyak yang dapat dimakan termasuk minyak goreng, biskuit dan kraker (Sommer & West 1996) serta sereal,

peanut butter, dan garam (Lotfi et al. 1996).

Sekitar tahun 1980, Indonesia pernah melakukan percobaan fortifikasi vitamin A pada MSG. Namun adanya penentangan pemakaian MSG secara luas di masyarakat oleh kelompok masyarakat tertentu serta terjadinya perubahan warna pada produk menyebabkan percobaan ini tidak dilanjutkan. Penurunan prevalensi KVA pada anak dibawah usia sekolah dari 1,24% menjadi 0,32% dicapai melalui programfortifikasi vitamin A pada MSG dalam waktu enam bulan (Soekirman 2003).

Minyak nabati diproduksi secara terpusat dan dikonsumsi secara luas oleh masyarakat, sehingga dapat dipakai sebagai alternatif bahan pangan untuk

(23)

difortifikasi (Sunaryo & Wibowo 2002). Vitamin A merupakan kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak maupun pada pelarut lemak (Almatsier 2002). Selain itu, vitamin A dapat terdistribusi dengan mudah dan tercampur dengan baik ketika ditambahkan pada minyak atau lemak, sehingga minyak goreng menjadi salah satu bahan pangan yang potensial untuk difortifikasi dengan vitamin A (Soekirman 2003). Dosis fortifikasi vitamin A pada minyak goreng ditentukan dengan pertimbangan jumlah minyak yang diserap oleh bahan pangan yang digoreng serta kehilangan selama proses penanganan dan pengolahan. Dosis yang direkomendasikan adalah sekitar 25 IU/gram minyak goreng (Hariyadi 2002).

Daya Terima Penilaian Organoleptik

Organoleptik merupakan disiplin ilmu yang mengukur, menganalisis, dan interpretasi reaksi yang timbul ketika karakteristik bahan pangan diterima oleh indera penglihatan, penciuman, perasa (kecap), peraba, dan pendengaran (Stone & Sidel 2004). Respon inderawi terhadap benda-benda dapat terjadi dengan didahului proses penginderaan oleh alat-alat indera manusia.

Menurut Soekarto (1985), proses penginderaan yang terjadi pada tubuh manusia meliputi: (1) penerimaan rangsangan (stimulus) pada sel-sel peka khusus pada indera; (2) terjadinya reaksi biokimia dalam sel-sel peka khusus pada reseptor; (3) perubahan energi kimia menjadi energi listrik (impulse) pada sel saraf; (4) penghantaran energi listrik melalui urat saraf ke saraf pusat (otak); (5) interpretasi psikologis dalam saraf pusat untuk menghasilkan kesadaran; (6) sikap atau kesan psikologis.

Sistem penilaian organoleptik telah dapat dibakukan dan dijadikan alat penilaian di laboratorium, dunia usaha, perdagangan, dan lembaga pendidikan. Uji organoleptik terhadap suatu produk biasanya dilakukan di laboratorium penilaian organoleptik. Laboratorium penilaian organoleptik memiliki beberapa persyaratan, diantaranya: terisolasi, kedap suara, kedap bau, suhu kamar dan kelembaban kira-kira 65%, cukup cahaya, dapur penyiapan contoh terpisah namun tidak terlalu jauh dari ruang pencicipan (Soekarto 1985).

Pengujian organoleptik mempunyai berbagai macam cara. Cara-cara pengujian itu dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok. Cara pengujian yang paling populer adalah uji pembedaan (difference tests) dan uji pemilihan (preference tests). Kedua pengujian ini sering digunakan dalam penelitian,

(24)

analisis proses, dan penilaian hasil akhir. Selain itu dikenal juga kelompok pengujian skalar dan pengujian deskripsi, yang sering digunakan dalam pengawasan mutu (quality control). Uji sensorik lainnya, yaitu uji penerimaan konsumen (Soekarto 1985).

Uji Penerimaan

Uji penerimaan disebut juga acceptance test atau preference test. Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan seseorang menyenangi. Uji ini bersifat subjektif sehingga beberapa panelis yang ekstrim senang atau benci terhadap suatu komoditi, tidak lagi dapat digunakan untuk uji penerimaan. Uji penerimaan meliputi uji kesukaan atau hedonik dan uji mutu hedonik (Resurreccion 1998).

Uji kesukaan (hedonik) yaitu uji yang meminta panelis untuk menyatakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaan terhadap contoh yang diuji. Uji ini menggunakan tingkat-tingkat kesukaan yang disebut skala hedonik, misalnya amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka, netral, agak tidak suka, dan seterusnya (Soekarto 1985).

Uji Penggunaan di Rumah (Home Use Test)

Uji penggunaan di rumah atau Home Use Test (HUT) termasuk salah satu metode pengujian terhadap suatu produk. Sesuai namanya, uji penggunaan di rumah (HUT) dilakukan di rumah atau tempat tinggal partisipan atau responden. Pelaksanaan uji ini menciptakan kondisi natural, terbebas dari campur tangan pihak peneliti sehingga hasil yang didapat bisa sangat bervariasi. Uji ini digunakan untuk memperoleh data atribut produk, penerimaan dan kesukaan produk, serta daya guna produk pada kondisi penggunaan aktual. Karena suatu sampel produk makanan diuji pada kondisi penggunaan natural, sehingga informasi yang diperoleh bersifat unik dan mungkin tidak akan dapat diperoleh dari jenis uji lainnya (Resurreccion 1998).

Bagi pihak pengembang produk, uji ini menghasilkan informasi mengenai karakteristik sensorik sebuah produk pada tahap preparasi, penyajian, dan evaluasi atau penilaian dalam kondisi yang tidak terkontrol. Uji ini sangat berguna untuk melakukan penilaian tentang suatu produk yang sulit dilakukan di laboratorium (Resurreccion 1998).

Menurut Resurreccion (1998), kelebihan dari uji HUT ini adalah bahwa produk diuji dalam lingkungan rumah yang aktual dan dalam kondisi penggunaan yang normal. Informasi yang diperoleh dari uji ini akan lebih banyak karena

(25)

respon terhadap produk tidak hanya berasal dari responden seorang diri, akan tetapi juga berasal dari anggota keluarga lainnya yang turut menggunakan produk tersebut. Uji ini dapat pula digunakan pada tahap awal formulasi produk, dimana tidak hanya mengukur penerimaan terhadap produk tetapi juga mengukur daya guna dari produk itu sendiri. Sebagai tambahan, informasi pemasaran seperti produk kompetitif yang digunakan di rumah tangga dapat diperoleh dan menjadi informasi yang sangat penting dalam proses pemasaran produk.

Kelemahan dari uji HUT ini adalah waktu pelaksanaan yang dibutuhkan cukup lama termasuk didalamnya waktu untuk distribusi sampel kepada para partisipan, serta pengumpulan data dari para partisipan. Rentang waktu yang diperlukan setidaknya berkisar antara satu hingga empat minggu. Kecilnya tingkat pengontrolan dalam pelaksanaan uji ini menyebabkan sedikitnya hal yang bisa dilakukan untuk menjaga agar penggunaan produk sesuai dengan tujuan yang dimaksud. Hal ini menjadi penyebab terjadinya variasi respon yang diperoleh (Resurreccion 1998).

Menurut Resurreccion (1998), uji HUT yang dilakukan haruslah sederhana dan mudah dimengerti oleh reponden. Kueisoner yang digunakan pun harus jelas dan mudah dimengerti karena tidak adanya kesempatan untuk menjelaskan dan mengatur pengisian kuesioner kepada responden secara langsung. Sangat baik diterapkan pada hanya satu atau dua jenis sampel yang diuji. Semakin banyak sampel yang diujikan maka akan semakin rumit bagi responden untuk turut berpartisipasi dalam uji ini, sehingga tidak disarankan untuk melakukan uji ini pada banyak jenis produk sekaligus.

Kekurangan lain dari uji ini yaitu biaya yang dibutuhkan cukup besar, terutama jika jumlah sampel untuk uji HUT ini lebih besar dibandingkan dengan jumlah sampel yang disajikan kepada panelis di laboratorium atau pada jenis uji lainnya. Namun jika jumlah sampel untuk uji HUT lebih kecil dibanding jumlah sampel pada uji laboratorium atau uji lainnya, maka informasi yang diperoleh akan sangat terbatas (Resurreccion 1998). Jumlah responden pada uji ini berkisar antara 75 – 300 orang untuk setiap kota (Meilgaard, Carr & Civile 1999).

(26)

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Desain penelitian ini berupa penelitian survai dan penelitian eksperimental. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang dilakukan atas kerjasama KFI dengan ADB. Penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu penelitian lapang dan penelitian laboratorium. Penelitian lapang terdiri atas survei penerimaan konsumen terhadap minyak goreng curah yang difortifikasi Vitamin A dan uji penggunaan minyak goreng yang difortifikasi vitamin A di tingkat rumah tangga. Penelitian laboratorium dilakukan untuk menilai penerimaan konsumen terhadap sifat organoleptik minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A.

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Juni 2008. Penelitian lapang dilakukan di Pulau Barrang Lompo, Makassar dan di Desa Babakan, Darmaga Bogor. Penelitian laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Penilaian Organoleptik, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner uji organoleptik dan uji penggunaan di rumah, pengaduk (electric stirer), penggorengan, kompor, pisau, gelas, cawan, serta piring. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak goreng curah, vitamin A –palmitat 1.000.000 IU/g, serta pisang uli, pisang kepok, tahu, dan tepung terigu sebagai bahan pangan yang lazim diolah dengan cara digoreng.

Metode

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan yaitu Tahap I Survei penerimaan konsumen serta Tahap II Uji organoleptik dan dan uji penggunaan di rumah:

Tahap I Survei penerimaan konsumen

Survei penerimaan konsumen terhadap minyak goreng curah yang difortifkasi vitamin A dilakukan dengan wawancara dan pengamatan terhadap konsumen pada tingkat rumah tangga di Pulau Barrang Lompo Kabupaten Makassar. Jumlah responden yang diambil untuk survei penerimaan konsumen pada penelitian ini sebanyak 100 orang yang diperoleh melalui perhitungan seperti dibawah ini.

(27)

N

n

n

n

o o

1

1

+

=

; dengan

( )

2 2 2 d t x no

αβ

τ

α =

Keterangan: n = jumlah sampel minimum yang bisa diambil

no = jumlah sampel perhitungan awal N = jumlah sampel keseluruhan

= 1,96

d = nilai akurasi yang diharapkan

Hasil perhitungan dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 1. Data yang dikumpulkan merupakan data frekuensi dan jumlah pembelian minyak goreng curah, data penilaian konsumen terhadap fortifikasi vitamin A pada minyak goreng, dan data penerimaan konsumen terhadap minyak goreng yang difortifikasi vitamin A.

Tahap II.a Uji organoleptik di laboratorium

Jenis uji organoleptik yang digunakan yaitu uji kesukaan (hedonik). Sampel yang digunakan dalam uji organoleptik ini adalah minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A dan minyak goreng curah yang tidak difortifikasi, serta beberapa jenis bahan pangan yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A dan minyak goreng curah yang tidak difortifikasi. Karakeristik organoleptik yang dinilai adalah warna dan aroma dari minyak goreng curah dan makanan yang diolah, serta rasa dari makanan yang diolah menggunakan kedua jenis minyak goreng yang diuji.

Skala hedonik yang digunakan adalah (1) tidak suka, (2) kurang suka, (3) biasa, (4) agak suka, dan (5) suka. Penerimaan minyak goreng curah didapat dengan mengakumulasikan kesukaan responden terhadap minyak goreng curah. Pernyataan (3) biasa, (4) agak suka, dan (5) suka yang diberikan oleh responden menunjukkan bahwa produk yang diuji masih dapat diterima secara fisik dan cenderung sama dengan produk sejenis yang tersedia di pasaran. Responden pada uji ini adalah ibu rumah tangga yang berdomisili di Desa Babakan, Darmaga. Pelaksanaan pengujian dilakukan di Laboratorium Penilaian Organoleptik, Departemen Gizi Masyarakat. Jumlah responden pada uji kesukaan ini adalah sebanyak 28 orang.

Tahap II.b Uji penggunaan di rumah (Home Use Test)

Uji penggunaan di rumah (Home Use Test) dilakukan untuk menilai penerimaan konsumen terhadap minyak goreng yang dikonsumsi sesuai dengan tujuan penggunaan minyak goreng pada umumnya. Jenis uji yang dilakukan

( )αβ α

2

(28)

pada uji ini yaitu uji kesukaan terhadap warna dan aroma minyak goreng curah serta rasa makanan yang diolah menggunakan minyak goreng curah yang diujikan. Pemakaian kedua jenis minyak goreng curah yang diuji diserahkan sepenuhnya kepada responden. Jenis dan jumlah bahan makanan yang digoreng tidak dibatasi. Selain itu responden juga diminta untuk menilai perbedaan warna dan aroma dari minyak goreng curah yang diujikan dengan minyak goreng curah yang biasa dipakai oleh responden.

Uji ini dilakukan di rumah masing-masing responden selama tujuh hari dan dilanjutkan dengan pengisian lembar penilaian untuk produk pertama yaitu minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A. Uji penggunaan di rumah terhadap produk kedua yaitu minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A dilakukan setelah uji pada produk pertama selesai. Responden pada uji ini adalah ibu rumah tangga yang berdomisili di Desa Babakan, Darmaga. Jumlah responden pada uji kesukaan ini adalah sebanyak 28 orang.

Pengolahan dan Analisis Data

Data hasil survei penerimaan konsumen diolah secara deskriptif menggunakan persentase modus. Data yang diperoleh dari hasil uji kesukaan dan penerimaan konsumen terhadap minyak goreng yang difortifikasi vitamin A diolah secara deskriptif menggunakan persentase kesukaan dan penerimaan responden serta skor modus masing-masing perlakuan. Uji statistik non parametrik Kruskal-Wallis digunakan untuk mengetahui perbedaan tingkat kesukaan responden terhadap sifat organoeptik minyak goreng curah. Data-data yang terkumpul dan telah diolah digunakan untuk membuktikan kekhawatiran-kekhawatiran mengenai perubahan sifat fisik minyak goreng curah jika difortifikasi dengan vitamin A.

(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penerimaan Konsumen terhadap Minyak Goreng Curah

Minyak goreng curah yang telah difortifikasi dengan vitamin A diuji secara organoleptik oleh konsumen minyak goreng di Pulau Barrang Lompo dan di Desa Babakan Darmaga, Bogor. Konsentrasi vitamin A pada minyak goreng curah yang telah difortifikasi adalah sebesar 20 ppm (proses fortifikasi dapat dilihat di Lampiran 2).

Menurut Amang, Simatupang, dan Syafa’at (1996), minyak goreng merupakan bahan pangan non-esensial dan berfungsi sebagai bahan pelengkap atau komplemen serta digunakan secara luas di seluruh belahan dunia termasuk di Indonesia. Menurut Sumaryanto dan Pantetana (1996) minyak goreng menciptakan aroma, rasa, warna, daya simpan serta dalam beberapa hal meningkatkan nilai gizi sutau produk ketika diolah menggunakan minyak goreng sebagai bahan penolong.

Konsumen minyak goreng curah di Pulau Barrang Lompo diminta memberikan penilaian terhadap minyak goreng curah yang beredar pada selang waktu Februari 2008 hingga saat wawancara dilakukan (April 2008) dengan minyak goreng curah yang beredar hingga sebelum Februari 2008. Hal ini dimaksudkan agar konsumen lebih mudah untuk mengingat perbedaan yang dirasakan dan dengan pertimbangan bahwa minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A mulai beredar di Pulau Barrang Lompo sejak Februari 2008. Warna

Data distribusi konsumen berdasarkan penilaian terhadap minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A dibandingkan dengan minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Distribusi konsumen berdasarkan penilaian terhadap minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A dibandingkan dengan minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A

Distribusi konsumen (%) Penilaian

Warna Aroma Rasa makanan Keseluruhan

Jauh lebih buruk 0,0 0,0 0,0 0,0

Lebih buruk 5,0 3,0 4,0 7,0

Sama saja 53,0 73,0 65,0 58,0

Lebih baik 38,0 22,0 30,0 33,0

Jauh lebih baik 4,0 1,0 1,0 1,0

Tidak tahu 0,0 1,0 0,0 1,0

(30)

Lebih dari separuh jumlah responden (53,0%) menilai warna minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A (beredar sejak Februari 2008) sama saja dengan minyak goreng curah yang tidak difortifikasi (lihat Tabel 3). Hal ini disebabkan karena viatmin A yang ditambahkan memiliki warna kuning yang mirip dengan minyak goreng curah sehingga tidak terjadi perubahan warna yang nyata setelah minyak goreng curah difortifikasi dengan vitamin A (Almatsier 2002). Sebanyak 38,0 persen responden menilai warna minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A lebih baik dibanding warna minyak goreng curah yang tidak difortifikasi. Hal ini membuktikan bahwa tidak terdapat perubahan yang nyata pada warna minyak goreng curah setelah difortifikasi dengan vitamin A ketika telah beredar di masyarakat Pulau Barrang Lompo.

Aroma

Penilaian terhadap aroma minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A memperlihatkan hasil yang cukup baik (lihat Tabel 3). Sebanyak 73,0 persen dari jumlah responden menyatakan aroma minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A sama saja dengan aroma minyak goreng curah yang tidak difortifikasi. Sebanyak 22,0 persen responden menilai aroma minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A lebih baik dibanding aroma minyak goreng curah yang tidak difortifikasi. Hanya tiga persen dari jumlah responden yang menyatakan aroma minyak goreng curah yang beredar sejak Februari 2008 lebih buruk jika dibandingkan aroma minyak goreng curah yang beredar sebelumnya. Penurunan mutu minyak goreng seperti timbulnya bau tengik yang diakibatkan oleh terjadinya reaksi oksidasi lemak dan dapat pula menimbulkan rasa getir (Ketaren 1986), bukan karena pengaruh dari fortifikasi vitamin A pada minyak goreng curah.

Rasa makanan

Berdasarkan Tabel 3, lebih dari separuh jumlah responden (65,0%) menyatakan bahwa rasa makanan yang diolah menggunakan minyak goreng yang difortifikasi sama saja dengan rasa makanan yang diolah menggunakan minyak goreng curah yang tidak difortifikasi. Sebanyak 30,0 persen dari jumlah responden menyatakan bahwa rasa makanan yang diolah menggunakan minyak goreng yang difortifikasi lebih bak dibanding rasa makanan yang diolah menggunakan minyak goreng yang tidak difortifikasi.

Lebih dari separuh jumlah responden (58,0%) menyatakan bahwa warna dan aroma minyak goreng curah yang difortifikasi serta rasa makanan yang

(31)

diolah sama saja dibanding minyak goreng curah yang tidak difortifikasi, bahkan 33,0 persen responden menyatakan lebih baik. Secara keseluruhan, responden di Pulau Barrang Lompo menyatakan bahwa sifat organoleptik minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A tidak berbeda atau sama saja dengan minyak goreng curah yang tidak difortifikasi.

Uji Penerimaan Konsumen di Laboratorium Uji Kesukaan Minyak Goreng Curah

Uji kesukaan (hedonik) dilakukan terhadap minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A dan yang tidak difortifikasi vitamin A. Skala hedonik yang digunakan adalah (1) tidak suka, (2) kurang suka, (3) biasa, (4) agak suka, dan (5) suka. Penerimaan minyak goreng curah didapat dengan mengakumulasikan kesukaan responden terhadap minyak goreng curah. Pernyataan (3) biasa, (4) agak suka, dan (5) suka yang diberikan oleh responden menunjukkan bahwa produk yang diuji masih dapat diterima secara fisik dan cenderung sama dengan produk sejenis yang tersedia di pasaran.

Pelaksanaan uji kesukaan terhadap minyak goreng curah bertempat di Laboratorium Penilaian Organoleptik, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Responden diminta untuk memberi penilaian terhadap warna dan aroma minyak goreng curah yang diujikan. Uji kesukaan minyak goreng curah dilakukan dengan dua parameter yaitu warna dan aroma.

Warna

Warna pada suatu produk menjadi kesan awal terciptanya penilaian terhadap suatu produk. Oleh sebab itu, warna merupakan parameter yang penting bagi penampakan produk secara keseluruhan. Sebaran tingkat kesukaan responden terhadap warna minyak goreng curah yang difortifikasi dan tidak difortifikasi vitamin A disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran tingkat kesukaan responden terhadap warna minyak goreng curah

Persentase Kesukaan Warna Tingkat Kesukaan

Warna Minyak Fortifikasi (%) Minyak Non Fortifikasi (%)

Tidak suka 1,8 0,0 Kurang suka 8,9 1,8 Biasa 17,9 17,9 Agak suka 12,5 21,4 Suka 58,9 58,9 Total 100,0 100,0

(32)

Tabel 4 menunjukkan bahwa lebih dari separuh jumlah responden (58,9%) menyatakan suka terhadap warna minyak goreng curah baik yang difortifikasi vitamin A maupun minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A. Terdapat satu orang responden yang menyatakan tidak suka terhadap warna minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A, serta satu orang responden menyatakan kurang suka terhadap warna minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A. Uji Kruskal-Wallis menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara kesukaan responden terhadap warna minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A dan minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A (p=0,586, Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan yang nyata pada warna minyak goreng curah jika difortifikasi dengan vitamin A.

Perbedaan tingkat kesukaan panelis terhadap warna minyak goreng curah tidak berarti bahwa warna minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A tidak dapat diterima oleh konsumen. Persentase penerimaan responden terhadap warna minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A dan tidak difortifikasi vitamin A disajikan pada Gambar 1.

89,3 98,2 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0

jenis minyak goreng curah

fortifikasi non fortifikasi

Gambar 1 Persentase penerimaan responden terhadap warna minyak goreng curah

Gambar 1 menunjukkan bahwa persentase penerimaan responden terhadap warna minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A lebih besar dibanding persentase penerimaan responden terhadap warna minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A. Skor modus tingkat kesukaan warna minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A adalah 5 (suka) dengan persentase penerimaan sebesar 89,3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa warna minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A dapat diterima oleh konsumen.

Aroma

Aroma merupakan salah satu faktor yang menentukan mutu suatu produk. Aroma minyak kelapa sawit atau minyak goreng curah timbul dari

(33)

senyawa yang terkandung dalam minyak tersebut, serta reaksi kimia seperti reaksi oksidasi lemak yang dapat menimbulkan aroma tengik pada minyak sehingga menurunkan mutu minyak goreng (Ketaren 1986). Hasil uji kesukaan terhadap aroma minyak goreng curah disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran tingkat kesukaan responden terhadap aroma minyak goreng curah

Persentase Kesukaan Aroma Tingkat Kesukaan

Aroma Minyak Fortifikasi (%) Minyak Non Fortifikasi (%)

Tidak suka 1,8 0,0 Kurang suka 8,9 7,2 Biasa 32,2 33,9 Agak suka 12,5 8,9 Suka 44,6 50,0 Total 100,0 100,0

Persentase tingkat kesukaan responden terhadap aroma kedua jenis minyak goreng curah tidak berbeda jauh untuk masing-masing skala kesukaan (lihat Tabel 5). Hampir separuh dari total jumlah responden (44,6%) menyatakan suka terhadap aroma minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A dan separuh dari jumlah total responden (50,0%) menyatakan suka terhadap aroma minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A. Proporsi responden pada tingkat kesukaan agak suka, biasa, kurang suka, dan tidak suka tidak berbeda jauh diantara kedua jenis minyak yang diuji.

Uji Kruskal-Wallis menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara kesukaan terhadap aroma minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A dan minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A (p=0,586, Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan yang nyata pada aroma minyak goreng curah setelah difortifikasi dengan vitamin A. Aroma yang khas pada minyak kelapa sawit ataupun minyak goreng curah disebabkan oleh senyawa β -ionone yang terkandung didalamnya (Ketaren 1986).

Kesukaan terhadap aroma minyak goreng curah sangat menentukan tingkat penerimaan terhadap aroma minyak goreng tersebut. Persentase penerimaan aroma minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A dan tidak difortifikasi vitamin A dapat dilihat pada Gambar 2.

(34)

89,3 92,9 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0

jenis minyak goreng curah

fortifikasi non fortifikasi

Gambar 2 Persentase penerimaan responden terhadap aroma minyak goreng curah

Sebagian besar responden (89,3%) dapat menerima aroma yang timbul dari minyak goreng curah yang dfortifikasi vitamin A (lihat Gambar 2), dengan skor modus 5 (suka). Persentase penerimaan responden terhadap aroma minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A tidak berbeda jauh dibandingkan persentase penerimaan responden terhadap aroma minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A. Hal ini menunjukkan bahwa aroma minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A dapat diterima oleh konsumen.

Uji Kesukaan Produk Gorengan

Uji kesukaan terhadap produk gorengan dilakukan dengan menilai kesukaan terhadap warna, aroma, dan rasa dari tiga jenis gorengan yang mudah dijumpai di masyarakat. Ketiga jenis produk gorengan tersebut yaitu pisang goreng, tahu goreng, dan roti lasuna atau bakwan, kesemuanya merupakan hasil penggorengan pertama dari setiap minyak yang digunakan untuk menggoreng. Skala hedonik dan perhitungan persentase penerimaan responden yang digunakan pada uji ini sama dengan yang digunakan pada uji kesukaan terhadap minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A.

Warna

Proses penggorengan menyebabkan perubahan penampakan pada makanan yang diolah. Perubahan penampakan ini dapat berupa perubahan bentuk, tekstur dan kekenyalan, ataupun warna pada makanan (Winarno 1999). Sebaran tingkat kesukaan responden terhadap warna berbagai jenis produk gorengan disajikan pada Tabel 6.

(35)

Tabel 6 Sebaran tingkat kesukaan responden terhadap warna berbagai jenis produk gorengan

Jenis Produk Gorengan (%) Tingkat Kesukaan Warna PGF PGN TGF TGN RLF RLN Tidak suka 0,0 0,0 7,1 5,4 1,8 3,6 Kurang suka 3,6 7,1 8,9 1,8 3,6 3,6 Biasa 25,0 10,7 12,5 12,5 16,1 7,1 Agak suka 12,5 7,1 7,1 14,3 8,9 1,8 Suka 58,9 75,0 64,3 66,1 69,6 83,9 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

Keterangan: PGF = pisang goreng, digoreng menggunakan minyak goreng curah fortifikasi PGN = pisang goreng, digoreng menggunakan minyak goreng curah non fortifikasi TGF = tahu goreng, digoreng menggunakan minyak goreng curah fortifikasi TGN = tahu goreng, digoreng menggunakan minyak goreng curah non fortifikasi RLF = roti lasuna, digoreng menggunakan minyak goreng curah fortifikasi RLN = roti lasuna, digoreng menggunakan minyak goreng curah non fortifikasi Berdasarkan Tabel 6, tiga perempat dari jumlah responden (75,0%) menyukai warna pisang goreng yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A. Jumlah responden yang menyatakan suka terhadap warna tahu yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A (64,3%) sebanding dengan jumlah respnden yang menyatakan suka terhadap warna tahu yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A (66,1%). Sebagian besar responden (83,9%) menyukai warna roti lasuna yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A dibanding roti lasuna yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A (69,6%). Uji Kruskal-Wallis menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada tingkat kesukaan responden terhadap warna pisang goreng (p=0,194, Lampiran 4), warna tahu goreng (p=0,750, Lampiran 5), dan warna roti lasuna (p=0,121, Lampiran 6) yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A dengan yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A.

Persentase penerimaan warna produk gorengan didasarkan pada jumlah responden yang memberi pernyataan suka (5), agak suka (4), dan biasa (3). Persentase penerimaan responden terhadap warna produk gorengan disajikan pada Gambar 3.

(36)

96,4 92,9 85,7 92,9 94,6 92,9 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0

Fortifikasi Non Fortifikasi

Pisang Goreng Tahu Goreng Roti Lasuna

Gambar 3 Persentase penerimaan responden terhadap warna produk gorengan

Gambar 3 memperlihatkan bahwa persentase penerimaan terhadap warna pisang goreng dan roti lasuna yang digoreng dengan menggunakan minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A lebih tinggi dibanding persentase penerimaan terhadap warna pisang goreng dan roti lasuna yang digoreng menggunakan minyak minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A. Persentase penerimaan terhadap warna tahu goreng yang digoreng dengan menggunakan minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A lebih rendah dibanding persentase penerimaan terhadap warna tahu goreng yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A.

Skor modus tingkat kesukaan terhadap warna produk gorengan yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A adalah 5 (suka) untuk pisang goreng, tahu goreng, dan roti lasuna. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen dapat menerima warna produk gorengan yang diolah menggunakan minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A.

Aroma

Produk gorengan yang diuji memiliki aroma yang khas untuk setiap jenis produk gorengan. Cita rasa yang timbul dari makanan yang digoreng merupakan hasil reaksi kimia yang terjadi saat penggorengan (Winarno 1999). Lebih dari separuh (69,6% dan 67,9%) jumlah responden menyukai aroma pisang goreng dan roti lasuna yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang tidak difortifikasi vitamin A. Lebih dari separuh jumlah responden (57,1%) menyatakan suka terhadap aroma tahu yang digoreng menggunakan minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A (lihat Tabel 7).

Gambar

Tabel 1 Nilai sifat fisiko kimia minyak sawit
Gambar 3  Persentase penerimaan responden terhadap warna produk gorengan  Gambar  3  memperlihatkan  bahwa  persentase  penerimaan  terhadap  warna  pisang  goreng  dan  roti  lasuna  yang  digoreng  dengan  menggunakan  minyak goreng curah yang difortifik
Tabel  7    Sebaran  tingkat  kesukaan  responden  terhadap  aroma  berbagai  jenis  produk gorengan
Gambar 5  Persentase penerimaan responden terhadap rasa produk gorengan  Gambar  5  memperlihatkan  bahwa  persentase  penerimaan  responden  terhadap  rasa  ketiga  jenis  produk  gorengan  yang  digoreng  dengan  menggunakan  minyak  goreng  curah  yang
+3

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 7 Nilai k dan umur simpan minyak goreng sawit curah bilangan peroksida 0,00; 3,99; 8,99 meq O2 aktif/kg minyak dengan fortifikasi vitamin A pada kondisi gelap dan

Berdasarkan Uji Friedman, tidak terdapat perbedaan pada tingkat kesukaan subjek rumah tangga dan jasa boga terhadap produk gorengan dari minyak goreng curah

Hasil pengukuran bilangan peroksida yang dihubungkan dengan frekuensi penggorengan adalah bilangan peroksida pada minyak goreng fortifikasi vitamin A akan meningkat

Penelitian menunjukkan adanya hubungan yang erat antara asupan makanan ibu menyusui dengan kandungan vitamin A pada ASI Dengan demikian, minyak goreng yang difortifikasi

Penelitian ini secara umum untuk mengkaji retensi β-karoten pada minyak goreng curah yang difortifikasi RPO. Tujuan khususnya adalah: 1) Mengetahui karakteristik

Berdasarkan model kenaikan asam lemak bebas minyak goreng sawit curah pada masing-masing penyimpanan dapat dilihat bahwa pembentukan minyak goreng sawit curah

Hasil pengukuran bilangan peroksida yang dihubungkan dengan frekuensi penggorengan adalah bilangan peroksida pada minyak goreng fortifikasi vitamin A akan meningkat

Berdasarkan Uji Friedman, tidak terdapat perbedaan pada tingkat kesukaan subjek rumah tangga dan jasa boga terhadap produk gorengan dari minyak goreng curah