• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumijati. Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sumijati. Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Sains Tanah – Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(2)2009 91 STUDI TENTANG Aspergilus flavus DAN AFLATOKSIN PADA TAHAP BUDIDAYA KACANG TANAH

DARI BEBERAPA LOKASI LAHAN KERING DI KABUPATEN KARANGANYAR

The Study of Aspergilus flavus and Aflatoxin in Peanut Culture on Selected Dry-Land Fields at Karanganyar District

Sumijati

Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126 ABSTRACT

The study was aimed at: 1) Obtaining the data of Aspergilus flavus and Aflatoxin existence in soiland peanut pod of selected dry-land fields at Karanganyar district; 2) Observing the correlation between soil characteristics and the existence of Aspergilus flavus and Aflatoxin.

This research was a comparative descriptive experiment, which was conducted from May to November, 2008. The method was by surveying five sub-districts of dry-land fields included: 1) Tasikmadu; 2) Karanganyar; 3) Mojogedang; 4) Jumantono, and 5) Jaten. The observation parameters were consisted of main variables (A. flavus in soil, A. flavus in peanut pod and aflatoxin in peanut pod) and sub-main variables (pH, organic C, total N, soil moisture content and peanut pod’s moisture content). The mean test was then employed to process the obtained data after the laboratory analysis, followed with correlation test to determine the interaction between main and sub-main variables.

The results showed that all the selected locations were infected with A. flavus, with the highest population in soil was in the Jaten sub-district (143 cfu.g-1 soil) and the highest population in peanut pod was in the Jumantono sub-district (50.67 cfu.g-1 pod). None of the peanut pods were infected with aflatoxin. Total N, carbon C, pH and soil moisture influenced the existence of A. flavus in soil and peanut pod.

Keywords: Aflatoxin, Aspergilus flavus, peanut PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kacang tanah merupakan salah satu komoditas palawija terpenting yang banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia, terutama di lahan kering dan/atau sawah irigasi pada saat musim kemarau, setelah budidaya padi. Lahan kering memiliki kendana ketersediaan air rendah, kelengasan tanah nisbi rendah dan kandungan bahan organik tanah yang rendah. Kondisi semacam sangat membatasi untuk tumbuh dan berkembangnya tanaman dengan baik, sehingga keragaan tanaman kacang yang dibudidayakan pada lahan kering dikhawatirkan lebih peka terhadap serangan kapang patogenik, seperti A. flavus.

Aflatoksin memiliki sifat karsmogenik bagi manusia maupun hewan, dan pada akhir-akhir ini menjadi isu sentral bagi

keamanan pangan pada dunia industri kacang tanah (Wright, 2001). Di Amerika Serikat cemaran aflatoksin pada produk biji-bijjian, terutama kacang tanah, jagung, biji kapas, dan ‘mustard’ telah menjadi salah satu kriteria apakah produk tersebut layak dikonsumsi dan dijual atau tidak, baik sebagai bahan makanan ataupun sebagai pakan ternak (Anonim, 2001). Di Indonesia, cemaran aflatoksin belum secara spesifik disebutkan sebagai salah satu kriteria dalam keamanan pangan, namun baru disebutkan tentang batas cemaran untuk kacang secara umum, yakni sebanyak 104 cfu/gr kacang olahannya (Dirjen POM, 1989).

A. flavus dapat menyerang kacang tanah dan menghasilkan aflatoksin sejak tahap pembudidayaannya di lahan sampai dengan penanganan pasca panennya. Aflatoksin memiliki sifat karsinogenik bagi manusia

(2)

maupun hewan dan ada akhir-akhir ini menjadi isu sentral bagi keamanan pangan pada dunia industri kacang tanah. Pada hal kacang tanah banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia, terutama padi lahan kering.

Lahan kering memiliki kendala ketersediaan air rendah, kelengasan tanah nisbi rendah, dan kandungan bahan organik tanah yg rendah. Kondisi semacam sangat membatasi tanaman untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga keragaan tanaman kacang yang dibudidayakan pada lahan kering dikhawatirkan lebih peka terhadap serangan kapang patogenik, seperti A. flavus.

Sementara itu telah ada penelitian di negara lain yang menunjukkan bahwa bila tanaman kacang tanah mengalami stres air atau kekeringan dan suhu tanahnya berkisar antara 25O

C sampai dengan 31O

C selama 20 sampai 30 hari sebelum panen, maka kemungkinan produksi aflaktoksinnya nisbi tinggi.

Kondisi tersebut sangat mirip dengan keaaan lahan kering di Indonesia, dimana ketersediaan air menjadi faktor pembatas dan suhu tanahnya juga nisbi mirip. Selain itu juga telah ada pernyataan bahwa produk kacang-kacang dari Indonesia serta hasil olahannya banyak dicemari oleh aflatoksin.

A. flavus yang telah menginfeksi kacang tanah sejak saat di lahan, kemungkinan masih akan tetap terus tumbuh setelah penanganan pascapanennya.

Oleh karena itu, permasalahan yang hendak diuji dalam penelitian ini adalah produk kacang tanah Indonesia terutama tanaman yang ditanam pada lahan kering mengalami pencemaran A. flavus dan aflatoksin? Penelitian ini difokuskan pada studi A. flavus dan aflatoksin pada tanah budidaya kacang tanah di lahan. Diharapkan bantuan anggaran tahun berikutnya dapat

digunakan untuk penelitian pada tahap paca panennya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang keberadaan A. flavus pada tanah dan polong kacang tanah yang dihasilkan dari beberapa lahan kering di Kabupaten Karanganyar, mempelajari tentang kemungkinan keberadaan aflatoksin pada polong kacang tanah pada saat panen, dan mempelajari tentang ada tidaknya hubungan sifat-sifat tanah terhadap keberadaan A. flavus dan cemaran aflatoksin. BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang tanah yang baru dipanen, tanah yang ditanami kacang tanah, Media DG 18, khemikalia untuk analisa C, N, A. flavus dan Aflatoksin.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven, petridish, erlenmeyer, beker glass, alat sterilisasi, alat penimbang, dan khromatografi.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif komparatif yang dilakukan dengan metode survey. Untuk membandingkan keadaan A. flavus dan aflatoksin dari masing-masing lokasi, setelah diperoleh data dari hasil analisis laboratorium dilakukan uji Mean. Untuk mengetahui keeratan hubungan antara variabel pendukung (pH tanah, C, N, kelembaban tanah, dan kadar air polong), dengan A. flavus dan aflaktoksin dilakukan uji korelasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil rerata pertumbuhan populasi A. flavus dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

(3)

Sains Tanah – Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(2)2009 93 Pengamatan Aspergilus flavus pada

tanah dilakukan dengan menggunakan media DG. 18 tanpa pengenceran warna hijau kekuningan pada media tersebut menunjukkan adanya koloni A. flavus.

Gambar 1 menunjukkan bahwa pada lokasi 5 yaitu Kecamatan Jaten populasi A. flavus paling tinggi yaitu 143,00 cfu/g sedangkan populasi terendah terdapat di lokasi 2 yaitu di Kecamatan Karanganyar.

Sedangkan populasi A. flavus pada polong kacang tanah dapat dilihat pada

Gambar 2. Populasi tertinggi pada lokasi 4 yaitu Kecamatan Jumantono sebesar 50,67 cfu/g dan populasi terendahnya pada lokasi 1 di Kecamatan Tasikmadu sebesar 38,67 cfu/g. Ternyata bahwa kacang tanah di semua lokasi walaupun terkontaminasi A. flavus tetapi fungi tersebut tidak menghasilkan aflatoksin, ini bisa dilihat pada Tabel 1.

Hubungan antara kadar air, C organik, N total, pH, H2O, kadar lengas tanah terhadap

pertumbuhan A. flavus dalam tanah dapat dilihat pada Gambar 3, 4, 5, 6 dan 7.

114,00 43,33 79,33 129,00 143,00 0 20 40 60 80 100 120 140 160

Kec. Tasikmadu Kec. Karanganyar

Kec.Mojogedang Kec. Jumantono Kec. Jaten

Lokasi A . F la v u s p a d a T a n a h

Gambar 1. Diagram Populasi A. flavus pada Tanah

38,67 40,67 42,00 50,67 43,00 0 10 20 30 40 50 60

Kec. Tasikmadu Kec. Karanganyar

Kec.Mojogedang Kec. Jumantono Kec. Jaten

Lokasi A . F la v u s p a d a T a n a h

(4)

Tabel 1. Analisis Kadar Air, Organik, N total, PH (H2O), Kadar Lengas Tanah, A. flavus pada Tanah

dan Polong serta Aflatoxin pada Polong Kacang Tanah Lokasi Kadar air polong (%) C organik tanah (%) N Total tanah (%) pH (H2O) Kadar lengas tanah (%) A flavus tanah (cfu/g tanah) A flavus polong (cfu/g tanah) Aflatoxin polong (kualitatif) Kec. Tasikmadu Kec. Karanganyar Kec. Mojogedang Kec. Jumantono Kec. Jaten 8,56 8,45 7,81 7,98 7,97 1,25 0,98 1,43 1,58 0,41 0,09 0,14 0,16 0,09 6,40 7,38 5,82 6,00 6,04 8,11 8,11 5,02 8,40 12,00 7,21 114,00 43,33 79,33 129,00 143,00 38,67 40,67 42,00 50,67 43,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Gambar 3. Grafik hubungan antara kadar air polong dengan A. flavus pada tanah

Gambar 4. Grafik hubungan antara C organik tanah dengan A. flavus pada tanah

(5)

Sains Tanah – Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(2)2009 95 Gambar 6. Grafik hubungan antara pH H2O tanah dengan A. flavus pada tanah

Gambar 7. Grafik hubungan kadar lengas tanah dengan A. flavus pada tanah

Gambar 8. Grafik hubungan antara kadar air polong dengan A. flavus pada polong kacang tanah

(6)

Gambar 9. Grafik hubungan antara C organik tanag dengan A. flavus pada polong kacang tanah

Gambar 10. Grafik hubungan antara N total tanah dengan A. flavus pada polong kacang tanah

Gambar 11. Grafik hubungan antara pH H2O tanah dengan A. flavus pada polong kacang tanah

Kadar Lengas K a d a r L e n g a s ( % )

Gambar 12. Grafik hubungan antara kadar lengas tanah dengan A. flavus pada polong kacang tanah

(7)

Sains Tanah – Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(2)2009 97 Pada Gambar 6 terlihat bahwa dengan

naiknya pH H2O maka populasi A. flavus

dalam tanah berkurang/menurun, ini disebabkan oleh karena fungsi hanya dapat tumbuh dengan baik pada pH asam.

Demikian juga bila dilihat pada Gambar 7 kadar lengas naik maka akan menaikkan kadar air di dalam tanah tersebut sehingga populasi A. Flavus juga akan naik karena fungi dapat tumbuh dengan baik pada suasana lembab

Pada Gambar 8 terlihat bahwa dengan adanya kenaikan kadar air polong, populasi A. flavus akan berkurang sedangkan fungi dapat tumbuh dengan baik pada suasana yang lembab yaitu pada kadar air yang tinggi. Hal ini disebabkan karena pada saat kadir air polong dianalisa tepat berada pada temperatur optimum pertumbuhan fungi sehingga populasi A. flavus makin rendah.

Demikian juga pada Gambar 10, terlihat bahwa kadar N total dalam tanah naik maka populasi A. flavus juga mengalami kenaikan, karena penambahan Nitrogen anorganik memainkan peranan penting dalam pertumbuhan fungi termasuk A. flavus, Nitrogen anorganik dapat mempengaruhi proses perkecambahan spora. Jadi ini dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam usaha tani kacang tanah dalam menggunakan pupuk Nitrogen baik organik maupun anorganik.

Bila dilihat Gambar 12 menunjukkan bahwa kadar lengas naik, maka populasi A. Flavus juga mengalami kenaikan, ini disebabkan karena dengan naiknya kadar lengas maka air yang diserap oleh tanah makin tinggi, sedangkan fungi dapat tumbuh dengan baik pada suasana lembab.

KESIMPULAN

Lahan kering di Kabupaten Karanganyar yang ditanami kacang tanah telah terinfeksi A. flavus, populasi tertinggi di Kecamatan Jaten yaitu 140,00 cfu/g, sedangkan populasi A. flavus pada polong kacang tanah tertinggi

di Kecamatan Jumantono yaitu sebesar 50,67 cfu/g polong kacang tanah.

Polong kacang tanah di daerah Kabupaten Karangnyar tidak tercemar aflatoksin.

Kadar N, C, pH, kadar lengas dan kadar air mempengaruhi keberadaan A. flavus tanah dan polong kacang tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, S., Handayani dan Dewi, W. S. 2001. Pengaruh Varietas dan Jenis Sumber Pupuk N Terhadap Serangan A. Flavus pada Kacang Tanah (Arachis hypognea (L) Merr). Fakultas Pertanian UNS Surakarta.

Anonim. 2001. Aflatoxin. The U.S. House Committee on Agriculture Glossary. http://agriculture.house.gou/glossary.afl atoxin.html. diambil pada tanggal 11-02-2001.

Bilgrami, K.S. and Choudhary, A.K. 1998. Mytoxin in Preharvest Contamination of Agricultural Crops. In Sinha K.K. and Bhatnagar, D (Eds). Mycotoxin Biosairs 6(2): 25-28.

Dirjen POM. 1989. SK Dirjen POM No. 03726/B/SK/VII/89 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Makanan.

Handayani. 1996. Kualitas Hasil Kacang Tanah Akibat Perbedaan Keraatan Tanam dan Penggunaan Pestisida Melalui Benih. Penelitian Kelompok Dalam Bidang Pertanian. Fakultas Pertanian UNS. Jumtono. 1980. Praktikum Mikrobiologi

Umum Untuk Perguruan Tinggi. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Lance, B. and Seglar B. 2001. Managing Afatoxin in Corn. Nutrition Insights 1(1). Nord, W.P. 2001. Animal Testing Procedures

in Assesing the Efficacy of Ammioniation of Commodities. A. Perspective on Aflatoxin in Fleld Corps. Part 5 of 5. http/www.inform.umd.edu/EdRes/Topic /Ag…

(8)

FLACTOXIN_IN_FIELD_CORPS_PART_5_O F_5.html. Diambil pada tanggal 11-02-2001

Park, D.L and Lee, L.S. 2001. New Perspective on Ammonia Treatment for D Contamination of Aflatoxin. A Perspective on Aflatoxin in Field Crops,

Part 5 of 5.

http/www.inform.umd.edu/EdRes/Topic /Ag…

FLACTOXIN_IN_FIELD_CORPS_PART_5_O F_5.html. Diambil pada tanggal 11-02-2001

Pitt, J.I. and B.F. Miscambel. 1995. Water Relation of A.Flavus and Closely Related Species J of Food Pretectio. 55. pp 86-90. Pons, W.A. and LA. Goldbalt. 1969. Physico Chemical of Aflatoxin. In Goldballt LA (Ed). Aflatoxin. Scientific Background Control and Implication. Academic Press New York and London.

Sudadi, Setyoprini, E. dan Dewi, W.S. 2000. Kajian Potensi Beberapa Jenis Tanah dan Bahan Organik untuk Mendorong Invasi A. Flavus pada Kacang Tanah. Fak. Pertanian UNS. Surakarta.

Wright. G. C. 2001. Alievation Of Drought Stress and Aflatoxin Incidence in Peanut Using Shrot Maturing Varieties. http://life_esu_edition_agronomy_pape rs_215/215.hmtl diambil tanggal 12-02-2001.

Gambar

Gambar  2.  Populasi  tertinggi  pada  lokasi  4  yaitu  Kecamatan  Jumantono  sebesar  50,67  cfu/g dan populasi terendahnya pada lokasi 1  di Kecamatan Tasikmadu sebesar 38,67 cfu/g
Gambar 3.   Grafik hubungan antara kadar air polong dengan A. flavus pada tanah
Gambar 7.   Grafik hubungan kadar lengas tanah dengan A. flavus pada tanah
Gambar 9.   Grafik hubungan antara C organik tanag dengan A. flavus pada polong kacang tanah

Referensi

Dokumen terkait

Penentuan kapasitas panas sam pel Pb menggunakan metode step maupun metode kontinius telah diperoleh hasH' bahwa kedua metode tersebut mempunyai presisi dan akurasi yang tinggi

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan menggunakan model pembelajaran Children Learning In Science (CLIS),

Pengetahuan kewirausahaan berpengaruh terhadap kesiapan berwirausaha secara tidak langsung melalui self-efficacy secara positif dan signifikan sebesar 55,53%, artinya

Satuan pendidikan pada semua jenis dan jenjang pendidikan menyelenggarakan program pendidikan dengan menggunakan sistem paket atau sistem kredit semester. Kedua

Ikan bandeng ini dapat tertangkap kembali oleh nelayan setempat pada bulan September 2008 sampai Pebuari 2009 dan juga secara tidak langsung mampu memperbaiki kualitas perairan

a) Aktif bertanya seperti bertanya dengan guru atau teman lainnya tentang materi yang di ajarkan mengalami peningkatan yaitu dari prosentase base line 10,0% ( 3 peserta

Peningkatan nilai sikap siswa kelas eksperimen menunjukan bahwa pembelajaran dengan menggunakan media animasi berbasis representasi kimia menghasilkan sikap siswa kelas

a) Independensi Praktis, yakni independensi yang nyata atau faktual yang diperoleh dan dipertahankan oleh auditor dalam seluruh rangkaian kegiatan audit, mulai dari tahap