• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dimana tanpa penyakit multisistemik lainnya (Arthur C, 2010). Manifestasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. dimana tanpa penyakit multisistemik lainnya (Arthur C, 2010). Manifestasi"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Glomerulopati Primer

Glomerulopati primer yaitu kerusakan glomerulus akibat penyakit dasar yang berasal dari ginjal, yang mempengaruhi fungsi struktur glomerulus, dimana tanpa penyakit multisistemik lainnya (Arthur C, 2010). Manifestasi klinis dari glomerulopati primer meliputi glomerulonephritis akut, rapidly progressive glomerulonephritis, glomerulonephritis kronis, sindrom nefrotik, dan hematuria atau proteinuria asimptomatik. Manifestasi klinis yang nampak berupa suatu kumpulan gejala sesuai dengan kerusakan glomerulus yang terjadi ( Arthur, 2010 ; Floege, 2010).

Setiap sindrom memiliki dampak terhadap struktur dan fungsi glomerulus. Glomerulonephritis akut memiliki manifestasi keadaan akut berupa proteinuria, hematuria, edema, dan hipertensi. rapidly progressive glomerulonephritis ditandai dengan nefritis dan insufisiensi renal yang progresif. Glomerulonefritis kronis ditandai proteinuria dan hematuria dengan gagal ginjal yang progresif. Sindrom nefrotik terdiri dari proteinuria massif (> 3,5g/d), hipoalbumin dengan edema, lipiduria, hiperlipidemia ( Arthur, 2010 ; Floege, 2010)

Berdasarkan IRR kriteria diagnosis untuk glomerulopati primer ditandai dengan tubuh sembab atau riwayat, hipertensi, bendungan sirkulasi, proteinuria, hematuria mikroskopik atau makroskopik dengan silinder eritrosit, tanpa disertai penyakit sistemik atau penyakit ginjal. (Pernefri, 2011)

(2)

2.2 Nefropati Diabetika

Pada penderita diabetes, sekitar 40% mengalami keterlibatan ginjal dalam perjalanan penyakitnya. Patogenesis penyakit ginjal diabetik yaitu dimana gula darah yang berlebih memasuki sel glomerulus melalui fasilitasi glukose transporter (GLUT), terutama GLUT1, yang mengakibatkan aktivasi beebrapa mekanisme seperti aktivasi jalur poliol, protein kinase C, jalur heksamin, dan penumpukan AGEs (Advance Glycation Product) ( Lubis, 2009).

Diagnosis penyakit ginjal diabetik dimulai dari dikenalinya mikroalbuminuria pada pasien diabetes. Bila jumlah protein atau albumin di dalam urin masih sangat rendah akan sulit di deteksi dengan pemeriksaan metode biasa, akan tetapi apabila albumin sudah >30mg/24jam atapun >20ug/menit dapat disebut mirkoalbuminuria sebagai tanda dari nefropati diabetik. Derajat albuminuria atau proteinuria dapat juga ditentukan dengan ratio terhadap kreatinin dalam urin sewaktu yang disebut dengan albumin Creatinin Ratio (ACR) ( Lubis, 2009). Secara tradisional penyakit ginjal diabetik dibagi menjadi 5 tahap, yaitu tahap I dimana laju filtrasi glomerulus meningkat sampai 40% diatas normal disertai dengan pembesaran ukuran ginjal, albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversibel dan berlangsung 0-5 tahun sejak terdiagnosis diabetes ( Lubis, 2009).

Kriteria diagnosis nefropati diabetika ditandai dengan riwayat diabetes melitus sekurangnya 10 tahun, ditemukan albuminuria baik mikroskopik atau makroskopik disertai penurunan LFG, tanda diabetika nefropati melalui biopsi

(3)

bila tersedia, terdapat kerusakan target orga seperti retinopati diabetik ( Watnick, 2011).

Berdasarkan kriteria IRR, diagnosis nefropati diabetika ditandai dengan adanya riwayat diabetes mellitus, proteinuria, funduskopi terdapat mikroaneurisma kapiler, serta tanpa ada bukti penyakit ginjal lain sebelumnya. (Pernefri, 2011)

2.3 Nefritis Lupus

Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien Systemic Lupus Erythematous (SLE). Lebih dari 70% dari pasien SLE mengalami keterlibatan ginjal sepanjang perjalanan penyakitnya. Lupus nefritis memerlukan perhatian khusus agar tidak terjadi perburukan fungsi ginjal yang akan berakhir dengan transplantasi atau cuci darah. Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontraindiksi, maka seyogyanya biposi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis, evaluasi aktivitas penyakit, klasifikasi kelainan histopatologik ginjal, dan menentukan prognosis yang tepat. Klasifikasi kriteria WHO untuk lupus nefritis dinilai berdasarkan pola histipatologi dan lokasi dari imuno kompleks, sementara klasifikasi ISN/RPS juga membagi menjadi lesi fokal, difus, aktif, tidak aktif,dan kronis (Anonim, 2011).

Bila fasilitas biopsi tidak dapat dilakukan oleh karena berbagai hal, maka klasifikasi lupus nefritis dapat dilakukan berdasarkan penilaian panduan WHO. Pemeriksaan patologi memperlihatkan hubungan antara respon klinis dan hasil akhir. Pemeriksaan lupus nefritis penting dilakukan karena gelaja sering tidak

(4)

diketahui oleh pasien, misalnya terdapat hematuria, proteinuria atau hipertensi. (Anonim, 2011)

Berdasarkan kriteria IRR, diagnosis nefropati lupus yaitu terdapat klinis SLE, proteinuria persisten, hematuria, kelainan sedimen aktif, kenaikan titer ANA atau dsDNA. ( Pernefri, 2011)

2.4 Penyakit Ginjal Hipertensi

Penyakit ginjal dapat menyebabkan naiknya tekanan darah dan sebaliknya hipertensi dalam jangka waktu lama dapat menggangu ginjal. Sulit membedakan kedua keadaan ini terutama pada penyakit ginjal yang terjadi menahun. Apakah hipertensi yang menyebabkan penyakit ginjal atau penyakit ginjal menyebabkan hipertensi dan untuk mengetahui kedua keadaan ini diperlukan adanya catatan medik yang teratur dala jangka panjang (Tessy, 2009).

Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya menderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah dalam jangka waktu lama makin berat komplikasi yang dapat ditimbulkan.

Berdasarkan kriteria IRR, rdiagnosis penyakit ginjal hipertensi ditandai dengan adanya riwayat hipertensi, proteinuria, hematuria mikroskopik, serta adanya kerusakan target organ seperti LVH, HHD, retinopati hipertensi ( Pernefri, 2011)

(5)

2.5 Ginjal Polikistik

Penyakit ginjal polikistik (PGP) merupakan suatu kelainan yang mempunyai karakteristik berupa pertumbuhan banyak kista pada ginjal. Ketika terbentuk kista pada ginjal, kista yang terisi cairan ini akan mengalami pembesaran progresif menghasilkan pembesaran masif ginjal dan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal bahkan seringkali menyebabkan gagal ginjal. Kista tersebut akan bertambah besar baik jumlah maupun ukurannya, sehingga merusak jaringan ginjal yang normal. Walaupun demikian, mungkin fungsi ginjal dapat tetap bertahan normal dalam beberapa tahun, namun ketika ukuran ginjal melebihi 1.500 m3 (dimana ukuran normal ginjal sebesar 250-400 m3), maka akan terjadi penurunan fungsi secara drastis. Sampai pada akhirnya, pasien akan memerlukan terapi penggantian ginjal (renal replacement therapy), dialisis atau transplantasi (Patricia, 2004).

Individu yang terkena seringkali tidak menampakkan gejala hingga dekade keempat atau kelima. Gejala dan tanda yang muncul adalah ketidaknyamanan perut, nyeri kronik panggul atau punggung, gross hematuria, infeksi saluran kemih, urolithiasis, hipertensi insidental, massa abdomen, peningkatan kreatinin serum, atau kista ginjal pada studi pencitraan. Diagnosis ditegakkan sebelum onset gejala, saat anggota keluarga yang asimptomatik menjalani skrining. Individu dengan penyakit ginjal polikistik autosomal dominan cenderung memiliki onset dan pertumbuhan yang lebih lambat. Hipertensi umumnya sering ditemukan dan seringkali mendahului disfungsi renal, yang dimediasi oleh peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin. Terdapat proteinuria ringan, dan gangguan kemampuan mengkonsentrasikan

(6)

urine yang bermanifestasi sebagai poliuria dan nokturia. Komplikasi kardiovaskular dilaporkan sebagai penyebab umum kematian pada pasien PGPAD. Faktor risiko penyakit ginjal progresif meliputi usia muda saat diagnosis, ras kulit hitam, jenis kelamin laki-laki, adanya mutasi polycystin-1, dan hipertensi. Terdapat hubungan dekat antara tingkat pembesaran ginjal dan tingkat penurunan fungsi ginjal. Beberapa hal yang mengaburkan diagnosis adalah adanya nyeri panggul dan perut persisten dan rasa kenyang yang cepat dan gejala refluks gastroesofageal umumnya berkenaan dengan efek pembesaran ginjal. Ruptur kista atau perdarahan kista dapat memunculkan nyeri akut panggul atau tanda dan gejala peritonitis lokal. Hematuria dapat terjadi pada pasien yang disebabkan oleh ruptur kista ke dalam duktus kolektivus atau dari batu ginjal asam urat atau kalsium oksalat. Nefrolitiasis terjadi pada 20% pasien. Infeksi saluran kemih, termasuk pielonefritis akut, terjadi dengan meningkatnya frekuensi PGPAD. Infeksi kista hati atau ginjal merupakan sebuah komplikasi infeksi serius. Hal ini umumnya disebabkan oleh bakteri gram negatif dan menimbulkan gejala nyeri, demam, dan menggigil kedinginan. Kultur darah seringkali positif, tetapi kultur urine dapat memberikan hasil negatif karena kista ginjal yang terinfeksi tidak berhubungan secara langsung dengan duktus kolektivus. Membedakan antara infeksi dan perdarahan kista seringkali merupakan sebuah tantangan, dan diagnosis bersandar utamanya pada penemuan klinis dan bakteriologi. Studi radiologi dan pencitraan umumnya tidak terlalu membantu ( Qian Qi, 2009 ; Deltas, 2010).

Pasien dengan PGPAD memiliki risiko empat kali lipat terkena perdarahan subarachnoid atau serebral yang disebabkan oleh ruptur aneurisma

(7)

intrakranial dibandingkan dengan populasi umum. Aneurisma sakular sirkulasi serebral anterior dapat dideteksi pada 10% pasien PGPAD asimptomatik dengan menggunakan Skrining Magnetic Resonance Angiogram, tetapi sebagian besar berukuran kecil dan memiliki risiko kecil untuk ruptur spontan. Umumnya, perdarahan cenderung terjadi sebelum usia 50 tahun pada pasien dengan riwayat keluarga perdarahan intrakranial, bertahan hidup setelah terjadi perdarahan sebelumnya, dan memiliki aneurisma kebih dari 10 mm, dan memiliki hipertensi yang tidak terkontrol. Abnormalitas katup jantung terjadi pada 25% pasien, umumnya adalah prolaps katup mitral, insufisiensi aorta dan regurgutasi aorta. Meskipun kebanyakan lesi katup asimptomatik, beberapa bergejala dan membutuhkan penggantian katup. Insiden kista hati meningkat dengan cepat lebih dari 40% pada pasien berumur lebih dari 60 tahun. Kebanyakan pasien tidak bergejala dengan fungsi hati normal, tetapi kista hati dapat berdarah, menjadi terinfeksi, ruptur dan menyebabkan nyeri. Meskipun frekuensi kista hati seimbang di antara jenis kelamin, wanita nampaknya cenderung memiki kista yang besar. Di samping kista hati, kista ekstrarenal juga dapat ditemukan sebanyak 25% di pankreas dan dapat pula ditemukan di ovarium dan pleksus koroideus. Divertikel kolon umumnya ditemukan, dengan insiden tinggi perforasi pada pasien dengan PGPAD. Dinding perut dan hernia inguinalis juga terjadi dengan frekuensi lebih tinggi dibandingkan populasi umum (Deltas, 2010).

Sensitivitas USG ginjal dalam mendeteksi PGPAD adalah 100% untuk individu berusia lebih dari 30 tahun dengan riwayat keluarga positif. Kriteria diagnosis membutuhkan dua atau lebih kista pada satu ginjal dan setidaknya

(8)

satu kista pada ginjal kontralateral pada individu muda, tetapi empat atau lebih pada individu berusia lebih dari 60 tahun karena peningkatan frekuensi kista jinak sederhana. Seringkali, diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat keluarga positif dan studi pencitraan memperlihatkan ginjal yang besar dengan kista bilateral multipel dan kemungkinan adanya kista hati. Sebelum usia 30 tahun, CT scan atau MRI lebih sensitif dalam mendeteksi PGPAD yang belum bergejala karena sensitivitas ultrasound menurun hingga 95% untuk PGPAD tipe 1 dan <70% untuk PGPAD tipe 2. Analisa genetik dan skrining mutasi untuk PGPAD tipe 1 dan tipe 2 dapat digunakan pada kasus di mana dengan pemeriksaan di atas hasilnya masih samar-samar, khususnya jika dewasa muda dari keluarga yang terkena PGPAD dipertimbangkan sebagai donor ginjal potensial. Skrining aneurisma intrakranial asimptomatik direkomendasikan dilakukan terbatas pada pasien dengan riwayat pribadi atau keluarga dengan perdarahan intrakranial dan mereka dengan pekerjaan yang berisiko tinggi. Intervensi sebaiknya dibatasi dilakukan hanya pada aneurisma yang berukuran lebih dari 10 mm. (Kanwar, 2010).

Kriteria diagnosis ginjal polikistik berdasarkan IRR ditandai yaitu adanya pembesaran ginjal pada perabaan dengan salah satu atau semua gejala berupa proteinuria, hematuria, ISK berulang, peningkatan tekanan darah, nyeri pinggang. (pernefri, 2011)

2.6 Nefropati Asam Urat

Nefropati asam urat adalah penyakit ginjal yang disebabkan oleh asam urat atau penumpukan kristal urat. Nefropati asam urat adalah suatu keadaan asam urat atau kristal urat terdeposit pada parenkim ginjal dan lumen tubulus secara

(9)

independen dan menyebabkan cedera langsung pada ginjal selama suatu periode waktu sehingga menyebabkan gagal ginjal. Penyakit ginjal ini diinduksi oleh penumpukan monosodium urat pada interstitial medulla yang menyebabkan respon inflamasi kronik serupa dengan yang terjadi pada pembentukan mikrotofus pada bagian tubuh lain, yang berpotensi menyebabkan fibrosis interstitial dan gagal ginjal kronik.( Rajesh, 2008)

Nefropati urat pada masa lalu sering ditemukan pada pasien dengan tophus gout, namun saat ini sudah jarang ditemukan. Demikian pasien dengan penyakit ginjal kronik dengan sedimen urine serta hiperurisemia yang tak sesuai dengan derajat gangguan ginjalnya memenuhi kriteria nefropati urat. Studi pada hewan menunjukkan bahwa pada penyakit ginjakl kronik terjadi hiperuricemia melalui dua mekanisme yang mengkompensasi penurunan efisiensi ekskresi ginjal yaitu peningkatan ekskresi asam urat usus dan penurunan produksi karena penurunan aktivitas xanthine oksidase. Peningkatan kadar urat plasma yang tidak sesuai dengan derajat gangguan ginjal didefiniskan sebagai berikut, kadar urat plasma > 9 mg/dL (535 umol/L) jika kadar kreatinin plasma < 1,5 mg/dL (132 umol/L), kadar urat plasma > 10 mg/dL (595umol/L) jika kadar kreatinin plasma 1,5 -2,0 mg/dL (132- 176 umol/L), kadar urat plasma >12 mg/dL (714 umol/L dengan gagal ginjal yang berat ( Rajesh, 2008).

Diagnosis nefropati asam urat berdasarkan kriteria IRR ditandai dengan adanya riwayat artritis gout yang berulang, ISK berulang, kadar asam urat > 13 mg% pada laki-laki dan >10mg% pada wanita, terdapat proteinuria dengan atau tanpa hematuria (Pernefri, 2011).

(10)

2.7 Nefropati Obstruktif

Berdasarkan kriteria IRR, diagnosis nefropati obstruktif ditandai dengan adanya riwayat batu pada saluran kemih, hipertropi prostat benigna, vesicourethral reflux, Ca vesicaurinaria, Ca prostat, ISK berulang, hipertensi, hidronefrosis (Pernefri, 2011)

ISK rekuren merupakan ISK yang terjadi berulang. ISK rekuren dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu reinfeksi dan relapsing infection. Re-infeksi terjadi pada interval > 6 minggu dengan mikroorganisme yang berbeda. Relapsing infection yaitu kejadian infeksi berulang dengan mikroorganisme yang sama, yang disebabkan sumber infeksi sebelumnya tidak mendapat terapi yang adekuat. ( Sukandar, 2014)

Hipertropi prostat benigna (HPB) merupakan penyakit laki-laki usia lanjut. HPB adalah kelainan histologis yang ditandai dengan proliferasi sel prostat. Definisi lainnya menyebutkan bahwa pembesaran / pertumbuhan kelenjar prostat yang menyebabkan sumbatan pada uretra dan menyebabkan terjadinya gejala pada traktus urinarius bawah , infeksi saluran kencing, dan hematuria ( Chasani, 2014)

2.8 Pielonefritis Kronis

Berdasarkan kriteria IRR, diagnosis pielonefritis kronis (PNK) terdiri dari proteinuria asimptomatik dengan atau tanpa hematuria, ISK berulang, hipertensi, dan pada USG didapatkan kedua ginjal mengisut (pernefri, 2011).

2.9 Proteinuria

Proteinuria adalah adanya protein di dalam urine manusia yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150mg/24jam. Dalam keadaan normal, protein

(11)

dalam urine sampai sejumlah tertentu masih dianggap fungsional. Proteinuria dianggap patologis bila kadarnya diatas 200 mg/hari pada beberapa kali waktu pemeriksaan yang berbeda. Proteinuria persisten apabila protein ditemukan secara menetap dalam waktu 3 bulan atau lebih. Proteinuria masif apabila ditemukan protein urine lebih dari 3500 mg/hari (Giovanni 2010).

2.10 Hematuria

Hematuria adalah keadaan abnormal dengan ditemukannya sel darah merah dalam urine. Ada dua macam hematuria yaitu hematuria mikroskopis dan hematuria makroskopis atau gross hematuria. Hematuria makroskopis dapat terjadi bila sedikitnya 1cc darah per liter urine sedangkan hematuria mikroskopis sering ditemukan pada pemeriksaan urinalisis pada pasien dengan berbagai keluhan. Dikatakan hematuria bila pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan sel darah merah 3 atau lebih per lapang pandang besar urine yang disentrifugasi, dari evaluasi sedimen urine dua dari tiga contoh urine yang diperiksa.

Berdasarkan lokasi yang mengalami kelainan atau trauma, ditemukan glomerulus dan ekstraglomerulus untuk memisahkan bidang nefrourologi. Darah yang berasal dari nefron disebut hematuria glomerulus. Dalam keadaan normal, sel darah merah jarang ditemukan pada urin. Adanya eritrosit pada urin dapat terjadi pada kelainan herediter atau perubahan struktur glomerulus dan integritas kapiler yang abnormal. Eritrosit bila berkaitan dengan protein Taam-Horsfall akan membentuk silinder eritrosit, ini merupakan petunjuk adanya penyakit atau kelaianan glomerulus dengan petanda penyakit ginjal

(12)

kronik. Pada penyakit nefron atau glomerulus biasanya hanya ditemukan sel darah merah saja tanpa silinder. Adanya proteinuria merupakan tanda adanya lesi nefron atau glomerulus. Hematuria mikroskopik bila ditemukan eritrosit 3 atau lebih per lapang pandang besar.

2.11 Edema

Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel sel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh, keadaan ini sering dijumpai akibat ketidakseimbangan faktor yang mengontrol perpindahan cairan tubuh antara lain gangguan hemodinamik sistem kapiler yang menyebabkan retensi natrium dan air, penyakit ginjal serta berpindahnya air dari intravaskuler ke interstitium. Volume cairan interstitial dipertahankan oleh hukum starling, dimana kecepatan dan arah perpindahan cairan dan zat terlarut termasuk protein antara kapiler dan jaringan sangat dipengaruhi oleh perbedaan tekanan hidrostatik dan osmotik masing-masing kompartemen.

Edema terjadi pada kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan hdrostatik kapiler, peningkatan permiabilitas kapiler atau peningkatan tekanan osmotik intertisial, atau penurunan tekanan osmotik plasma yang mempunyai peran sentral dalam mempertahankan homeostasis tubuh dengan kontrol volume cairan ekstraseluler melalui pengaturan ekskresi natrium dan air. 2.12 Reliabilitas dan Validitas

Alat ukur atau instumen yang baik harus mengukur dengan benar (valid) dan konsisiten (andal, reliabel). Terdapat dua aspek reliabilitas alat ukur, yaitu konsisten internal dan stabilitas. Reabilitas maupun validitas merupakan ukuran kredibilitas pengukuran. Alat ukur yang reliabel belum tentu valid, tetapi alat

(13)

ukur yang valid harus reliabel ( Bhisma, 2011). Reliabel merupakan kondisi yang diperlukan tetapi tidak mencukupi untuk validitas pengukuran. Instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama akan menghasilkan data yang sama. Dengan menggunakan instumen yang valid dan reliabel dalam pengumpulan data, maka diharapkan hasil penelitian akan menjadi valid dan reliable ( Sugiyono, 2015). Reliabel dibagi menjadi beberapa aspek yaitu stabilitas, ekuivalen, internal konsistensi.

Pengujian reliabilitas dengan internal konsistensi dilakukan dengan cara mencobakan instrumen sekali saja, kemudian data diperoleh dianalisis dengan teknik tertentu. Pengujian reliabilitas instumen dapat dilakukan dengan teknik belah dua dari spearman brown (Split half) ( Sugiyono, 2015) .

Valid berarti instumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data itu valid. Instrumen yang valid harus mempunyai validitas internal dan eksterna ( Sugiyono, 2015).

Referensi

Dokumen terkait

Koleksi Perpustakaan Universitas Terbuka... Koleksi Perpustakaan

Dari grafik IV.5 dapat dilihat bahwa pertumbuhan tanaman padi pada perbandingan variabel Pseudomonas fluorecense &amp; Azotobacter choroococum 2:1 memiliki

Hubungan kerabat suku, yaitu hubungan antara seseorang dengan orang lain dalam lingkungan masyarakat adat yang terikat oleh keturunan matrilineal8. Suku adalah suatu

|jejakseribupena.com, Soal dan Solusi Simak UI Matematika IPA, 2011

Faktor risiko utama penyakit jantung koroner adalah dislipidemia, karena kadar kolesterol total dan kolesterol LDL yang tinggi serta kadar kolesterol HDL yang

Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P&lt;0,05); P-0=ransum diberikan ad libitum; P-1=ransum dengan pembatasan konsumsi energi 1,50 x

Serangan hama dan penyakit tersebut dapat teratasi dengan cepat apabila petani mampu mengidentifikasi jenis hama dan penyakit yang menyerangnya secara cepat dan tepat

Program Studi : Manajemen Keuangan dan Perbankan Judul : Prosedur Pelaksanaan TabunganKu iB..