• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab I PENDAHULUAN. dan telah membentuk pasukan secara militer di garis perbatasan dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab I PENDAHULUAN. dan telah membentuk pasukan secara militer di garis perbatasan dengan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Fretilin yang secara de facto menguasai seluruh wilayah Timor Leste dan telah membentuk pasukan secara militer di garis perbatasan dengan Republik Indonesia. melihat adanya keenganan pemerintah Lemos Pires untuk kembali ke Dili guna melanjutkan proses dekolonisasi dan berhadapan dengan kemungkinan intervensi Indonesia terhadap Timor Leste. Karena adanya kevakuman kekuasaan tersebut, Fretilin memutuskan memproklamasikan kemerdekaan secara unilateral pada 28 November 1975. Timor-Timur sempat merdeka Sembilan hari sebelum bergabung dengan Indonesia secara resmi pada tanggal 7 Desember 19751. Sehari setelah deklarasi kemerdekaan Timor Leste secara sepihak oleh Fretilin, keempat partai politik Timor Leste lainnya UdT, APodeti, Kota, dan Trabalhista mengeluarkan “Proklamasi Integrasi” mereka untuk mengimbangi langkah Fretilin. Proklamasi tersebut menuduh Fretilin menghambat solusi damai atas konflik dan hak rakyat Timor Portugis atas penentuan nasib sendiri. Kemudian proklamasi itu menyatakan bahwa “seluruh bekas koloni Timor Portugis” akan bergabung dengan Indonesia, dan menggambarkan hal ini sebagai pengungkapan paling tegas dari perasaan

1

Amaral. X. 1975, Naskah Proklamasi Kemerdekaan RDTL, 28 November 1975, dalam bukunya Avelino. M. Coelho (shalar Kosi FF.) Dua Kali Merdeka Esei Sejarah Politik Kemerdekaan Timor

(2)

rakyat Timor Portugis. Keempat partai tersebut memiliki konsep tersendiri yakni ingin membawa Timor Portugis ke dalam pangkuan Negara kesatuan Republik Indonesia yang pada akhirnya terealisasi dan diterima sebagai propinsi ke -27 dengan ketetapan TAP MPR VI/MPR/19762. Meskipun sebagian masyarakat Timor-Timur masih melakukan perlawanan dan peristiwa tersebut dibuktikan dengan adanya Acontecsimento 12 de Novembro 1991 atau para pejabat Indonesia menyebutnya sebagai insiden santa Cruz3.

Reformasi pada tahun 1998 di Indonesia membawa peluang bagi para Pejuang rakyat Timor Timur yang ingin merdeka. Presiden B.J. Habibie pada tanggal 27 Januari 19994 menawarkan dua opsi ke rakyat Timor Timor dalam hal ini menerima otonomi seluas-luasnya atau memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tanggal 5 Mei 1999 berlangsung pertemuan segitiga yang dihadiri antara Indonesia, Portugal, dan PBB di New York untuk membahas opsi yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia ke rakyat Timor Timur. Hasil pertemuan antara lain disepakati selama proses referendum seluruh keamanan menjadi tanggung jawab POLRI5. Menindaklanjuti kesepakatan 5 Mei 1999, sekjen PBB, Kofi Annan langsung membentuk sebuah misi politik untuk penangganan administrasi yang dinamai

2

Ibid hlm 06

3

Joseph Nevins, Pembantaian Timor Timur Horor Masyarakat Internasional, Glang express, Yogyakarta, 2008, hlm. 42

4

Chega ! livru 3 Direito ba autodeterminasaun, 2010, hlm. 22

5

Kumpulan Laporan Penyelidikan Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Di Timor Leste 1999,

(3)

United Nations Mission For East Timor (UNAMET) dengan pimpinannya Ian Martin6 yang diberikan mandat mengatur segala keperluan administratif untuk penyelenggaraan referendum pada tanggal 30 Agustus 1999. Namun, masalah keamanan disepakati tetap berada di tangan dan kendali pemerintah Indonesia.

Pada 30 Agustus 1999, dalam sebuah referendum, yang diadakan PBB dan diikuti sekitar 450.000 penduduk Timor-Timur (98.6 persen penduduk yang terdaftar), yang kemudian pada tanggal 4 September 1999, pasca pengumuman hasil referendum yang dimenangi secara mutlak oleh kelompok pro kemerdekaan (sebesar 78,5 persen), terjadi kerusuhan dihampir seluruh wilayah Timor Timur, terutama di Dili. Dari kerusuhan ini menimbulkan korban penduduk sipil yang jumlahnya 85 orang, dan dari jumlah ini yang meninggal 83 orang7. Dari peristiwa ini menggambarkan keprihatinan yang mendalam baik dari aspek kemanusiaan dan hukum humaniter, Konvensi Jenewa IV 1949 tentang Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil menegaskan perlindungan terhadap penduduk sipil pada saat konflik bersenjata terjadi. Namun apa yang ditegaskan dalam konvensi ini tidak diimplementasikan pada saat konflik pasca jajak pendapat di Timor-Timur (penduduk sipil tidak dilindungi) berdasarkan uraian di atas maka saya tertarik untuk mengambil judul “Perlindungan Hukum Terhadap Penduduk Sipil Pasca Jajak

6

Kiki Syahnakri, Timor Timur The Untold Story, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2013. Hlm 135

7

http://www.kibata.com/serui sejarah/30 Agustus 1999 Referendum Rakyat Timor Timur.html#ixzz2JiTyvVZF. di akses pada 1 feb 2013

(4)

Pendapat Di Timor-Timur Tahun 1999”.Untuk meminimalisir jatuhnya lebih banyak korban dari warga sipil pemerintah Indonesia mengungsikan mereka ke luar dari kota Dili ke beberapa daerah di NTT. Berkaitan dengan hal itu, pada tanggal 15 September 1999 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1264. Resolusi ini mengutuk tindakan kekerasan pasca jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999. Dan mendesak pemerintah Indonesia agar mengadili mereka yang bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan pasca jajak pendapat tersebut8.

Tabel

Jumlah korban pasca jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999

Kasus Jumlah korban

Penyerangan Diosis dili pada tanggal 5 september 1999 26 orang meninggal dunia Penyerangan rumah Uskup Belo pada tanggal 6

september

2 orang meninggal dunia

Pada tanggal 8 september pembunuhan terhadap penduduk sipil yang mengungsi di Polres Mailana

3 orang meninggal dunia

Pada tanggal 4 september terjadi penyerangan oleh milisi laksaur dan aparat TNI di kampung Debos

1 orang meninggal dunia

8

Sumaryo Suryokusumo, Pengadilan Ad Hoc Bagi Pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) di Tim-Tim, Suara Pembaruan. [Jakarta]. 7 Maret 2002, dalam Soedjono Dirdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi

(5)

Pada tanggal 6 september penyerangan terhadap penduduk sipil yang mengungsi di kompleks Gereja suai

50 orang meninggal dunia

Pada tanggal 21 september pembunuhan wartawan belanda

1 orang meninggal dunia

Pada tanggal 16 september terjadi pemerkosaan dalam tempat penguasaan milisi Ainaro

2 orang

Jumlah 85 korban

Sumber : www.scribd.com/doc/.../KASUS-TIMOR-TIMUR, di akses pada 20 januari 2013.

1.2. Perumusan masalah

Dari fakta-fakta yang digambarkan dalam penulisan ini, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

a. Apakah penduduk sipil dilindungi pada saat konflik bersenjata pasca jajak pendapat di Timor-Timur ?

b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap penduduk sipil pasca jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999 ?

(6)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang masalah maka tujuan penulisan proposal penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui perlindungan penduduk sipil pasca jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999

2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan yang terjadi terhadap penduduk sipil di Timor Timur pasca jajak pendapat tahun 1999.

1.4. Manfaat penelitian

Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus pada proposal penelitian penulis mengharapkan agar dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis diharapkan dapat menambah informasi atau wawasan yang lebih konkret bagi penegakkan hukum terhadap kejahatan kemanusiaan pasca jajak pendapat 30 September tahun 1999.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian nanti dapat diharapkan agar dapat memberikan informasi pemikiran dan pertimbangan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat tahun 1999.

(7)

1.5. Kerangka Pemikiran

Untuk memberikan batasan-batasan yang jelas pada konsep-konsep yang masih bersifat abstrak dari variable-variabel pokok permasalahan penelitian ini maka penulis coba untuk mengembangkannya oleh kerangka pemikiran sebagai berikut :

1.5.1. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukun dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum., yaitu konsep di mana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian9.

Menurut phillipus Hadjon, perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni:

 Perlindungan Hukum Preventif, yakni bentuk perlindungan hukum di mana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif;

9

http://www.edukasiana.net/2011/02/pengertian-perlindungan-hukum.html#sthash.wYKvDJXY.dpuf diakses pada 20 agustus 2013

(8)

 Perlindungan Hukum Represif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana lebih ditujukan dalam penyelesian sengketa10.

Selanjutnya dalam Pasal 27–34 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 mengatur tentang perlindungan yang harus diberikan kepada penduduk sipil yang tidak ikut serta dalam suatu permusuhan. Perlindungan tersebut meliputi : Penghormatan atas diri pribadi, hak-hak kekeluargaan, keyakinan dan praktek keagamaan, serta adat dan kebiasaan mereka, Hak untuk berhubungan dengan Negara Pelindung, ICRC dan Palang Merah Nasional, Larangan untuk melakukan paksaan jasmani dan rohani untuk memperoleh keterangan, Larangan untuk melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan yang berlebihan, Larangan untuk menjatuhkan hukuman secara kolektif, larangan untuk melakukan intimidasi, terror dan perampokan, juga larangan untuk melakukan reprisal terhadap penduduk sipil; Larangan untuk menjadikan sandera. Selain penduduk sipil secara umum yang harus mendapatkan perlindungan, terdapat beberapa kategori yang juga perlu mendapatkan perlindungan, yaitu: orang asing di wilayah pendudukan, orang yang tinggal di wilayah pendudukan dan interniran sipil. Perlindungan khusus diberikan kepada penduduk sipil yang melakukan tugas-tugas sosial untuk membantu orang-orang yang terluka dan penduduk sipil lainnya pada waktu sengketa bersenjata. Mereka adalah anggota

10

(9)

Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota Perhimpunan Penolong Sukarela lainnya termasuk juga anggota Pertahanan Sipil11.

1.5.2. Pengertian Hak Asasi Manusia

Pengertian hak asasi manusia Menurut Krzysztof Drzewicki dalam bukunya Ifdhal kasim, hak ekonomi sosial dan budaya, bahwa hak asasi manusia adalah hak yang paling fundamental yang dimiliki oleh setiap manusia sejak manusia itu ada12.

Dalam Duham (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) mengatur mengenai hak asasi manusia yaitu :

Pasal 2

Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain13.

Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.

11

Pasal 27-34 konvensi genewa IV 1949

12

Krzysztof Drzewicki dalam bukunya ifdhal kasim hak ekonomi sosial dan budaya, Jakarta, T.T, 2001 hlm 201

13

(10)

Pasal 3 Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu14.

Pasal 5 Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina15.

Pasal 6 Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada16.

Pasal 14

(1) Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan suaka di negeri lain untuk melindungi diri dari pengejaran17.

(2) Hak ini tidak berlaku untuk kasus pengejaran yang benar-benar timbul karena kejahatan-kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik, atau karena perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Selanjutnya Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, menyebutkan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,

14 Ibid pasal 3 15 Ibid pasal 5 16 Ibid pasal 6 17 Ibid pasal 14

(11)

hukum, pemerintah, dan setiap manusia demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat kemanusiaannya18.

Sedangkan Pasal 1 butir ke-6 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan Pelanggaran HAM adalah : “Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikwatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”

Pengertian pelanggaran HAM dalam Pasal 1 butir ke-6 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM tersebut, maka untuk dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran HAM bila :

a. Adanya unsur perbuatan yang dilakukan oleh perseorangan atau kelompok termasuk aparat negara;

b. Perbuatan tersebut dilakukan baik dengan cara disengaja maupun tidak disengaja ataupun karena kelalaian yang secara melawan hukum;

18

(12)

c. Perbuatan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU No. 39 tahun 2000 tentang HAM;

d. Korban pelanggaran HAM, baik perseorangan maupun kelompok orang tidak mendapatkan, atau dikwatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Pengertian pelanggaran HAM berat terdapat dalam penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yang pada dasarnya menyatakan : “Pelanggaran HAM berat adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, deskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic descrimination)19.

Selanjutnya pada Pasal 7 UU No. 26 tahun 2000 tentang HAM juga telah menyebutkan bahwa pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan20.

Pelanggaran HAM berat dalam Statuta Roma 1998 terdiri dari : kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, serta kejahatan agresi21.

19

Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM

20

Pasal 7 UU No. 26 tahun 2000 tentang HAM

(13)

UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hasil adopsi Statuta Roma 1998 menyebutkan bahwa pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida. Dengan demikian UU No. 26 tahun 2000 memiliki kesamaan dengan Statuta ICTR 1994 yang hanya mengklasifikasikan genocide dan crimes against humanity sebagai pelanggaran HAM berat22.

5.1.2. Pengertian Korban

Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat termasuk korban atau ahli warisnya23. Dan hal ini juga diatur dalam protocol tambahan 1977 yaitu :

Protocol tambahan I :

a. Melarang serangan yang reprasial dan membabi buta terhadap penduduk sipil dan orang-orang sipil, objek-objek yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan penduduk sipil, benda-benda budaya dan tempat-tempat religius, bangunan dan instalasi berbahaya, dan lingkungan alam;

22

UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM

23

(14)

b. Memperluas perlindungan yang sebelumnya telah diatur dalam Konvensi Jenewa kepada semua personil medis, unit-unit dan alat transportasi medis, baik yang berasal dari organisasi sipil maupun militer;

c. Menentukan kewajiban bagi pihak Peserta Agung utuk mencari orang-orang yang hilang (Missing Persons);

d. Menegaskan ketentuan-ketentuan mengenai suplai bantuan (relief suplies) yang ditujukan kepada penduduk sipil;

e. Memberikan perlindungan terhadap kegiatan organisasi pertahanan sipil;

f. Mengkhususkan adanya tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh negara- negara untuk memfasilitasi implementasi hukum humaniter internasional.

Protocol tambahan II :

a. Mengatur jaminan-jaminan fundamental bagi semua orang, apakah mereka terlibat ataukah tidak terlibat lagi dalam suatu pertempuran;

b. Menentukan hak-hak bagi orang-orang yang kebebasannya dibatasi dalam menerima peradilan yang adil;

c. Memberikan perlindungan penduduk sipil dan objek-objek perlindungan;

(15)

e. Menentukan bahwa orang-orang yang terluka harus dilindungi dan dirawat, para personil kesehatan beserta alat-alat transportasi mereka harus dilindungi dan dihormati24.

5.1.3. Pergertian penduduk sipil

Penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut dalam pertikaian bersenjata. Hukum Humaniter Internasional (HHI) diciptakan khusus untuk melindungi dan memelihara hak asasi korban dan non kombatan dalam konflik bersenjata25.

Pada dasarnya, orang yang terutama terlibat dalam suatu konflik bersenjata adalah kombatan. Di samping itu terdapat orang yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata, sehingga dibutuhkan suatu perlindungan bagi keselamatannya.Orang- orang yang dijamin perlindungan dalam konflik bersenjata adalah orang-orang yang tidak ikut aktif dalam konflik tersebut, termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata karena luka, sakit dan sebab lainnya26.

Orang-orang dalam hal ini adalah berbeda dengan yang di atas, meskipun orang-orang ini tidak terlibat dalam konflik, tetapi mereka berada di daerah konflik. Oleh karena itu “orang yang dilindungi” yang dimaksudkan dalam hal ini adalah

24

http://jamilkusuka.wordpress.com/tag/protokol-tambahan-i/ di akses pada 15 januari 2013

25

Asep Darmawan, Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Komandan Dalam Hukum Humaniter, Kumpulan Tulisan, Jakarta: Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM, Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2005 hlm. 51.

26

Rizanizarli, “Hukum Humaniter Internasional dan Hubungannya Dengan Hak Asasi Manusia”, Jurnal Ilmu Hukum Kanun Vol. XI No. 29 Agustus 2001, Fakultas Hukum Unsyiah

(16)

penduduk sipil. Konflik bersenjata menimbulkan akibat fatal yang tidak diinginkan oleh setiap umat manusia. Di sini dapat dipahami bahwa tidak ada suatu perang yang tidak meninggalkan korban jiwa atau kerugian material. Oleh karena itu, hukum humaniter bertujuan, pertama, melindungi fisik dan mental, baik pihak kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu; kedua, menjamin hak-hak asasi tertentu dari orang yang jatuh ke tangan musuh; ketiga, memungkinkan di kembalikannya perdamaian; dan keempat, membatasi kekuasaan pihak yang berperang27.

Perlindungan terhadap penduduk sipil yang diatur dalam Konvensi Jenewa IV adalah tidak sama dengan “orang yang dilindungi” yang diatur dalam Konvensi Jenewa I, II, dan III yang perlindungannya ditujukan kepada kombatan atau orang yang ikut serta dalam permusuhan, sedangkan perlindungan terhadap penduduk sipil, ditujukan bagi orang-orang yang tidak ikut serta dalam permusuhan (Pasal 27 Konvensi Jenewa IV 1949).

Dalam kaitan ini, pihak-pihak yang bertikai dilarang melakukan tindakan- tindakan sebagai berikut : Pertama, memaksa baik jasmani ataupun rohani untuk memperoleh keterangan; kedua, menimbulkan penderitaan jasmani; ketiga, menjatuhkan hukuman kolektif, keempat, mengadakan intimidasi, terorisme dan

27

Teguh Sulista, “Pengaturan Perang dan Konflik Bersenjata Dalam Hukum Humaniter

Internasional”, Jurnal Hukum Internasional Vol. 4 No, Fakultas Hukum UNPAD Bandung, 3 april 2007 hlm. 535.

(17)

perampokan; kelima, tindakan pembalasan terhadap penduduk sipil; dan keenam, menangkap orang – orang untuk di tahan sebagai sandera28.

Dalam Pasal 1 Konvensi genewa 1949 mengatur tentang pencegahan dan hukuman terhadap kejahatan pemusnahan suatu bangsa dengan sengaja. Tahun 1948, menegaskan bahwa pemusnahan suatu bangsa dengan sengaja, baik yang dilakukan pada waktu damai maupun perang, merupakan kejahatan menurut hukum internasional29. Pasal 4 Konvensi secara tegas menyatakan bahwa orang-orang yang melakukan pemusnahan suatu bangsa dengan sengaja atau sesuatu perbuatan lain harus dihukum apakah mereka penguasa yang bertanggung jawab secara konstitusional, pejabat, maupun perorangan. Ketentuan hukum ini dengan jelas dan tegas tidak membiarkan adanya kekebalan hukum dalam pelanggaran HAM30. Pasal 49 melarang pemindahan paksa baik secara individu ataupun secara massal demikian pula deportasi penduduk sipil ke wilayah negara lain apapun alasannya. Namun, bukan berarti melarang adanya pengungsian kedaerah lain di dalam batas-batas wilayah negara yang diduduki apabila ada kepentingan keamanan dan kepentingan militer yang mendesak31.

28

Pasal 25 konvensi jenewa IV 1949

29

Ian Brownlie, diterjemahkan oleh Beriansyah, 1999, Kompilasi Dokumen-dokumen Pokok HAM,

Jakarta: UI. Di akses pada 15 januari 2013

30

Pasal 4 Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman terhadap Kejahatan Pemusnahan suatu Bangsa dengan Sengaja tahun 1948

31

Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Korban Perang, Bina Cipta, Bandung,1968, hlm 86

(18)

Pasal 24 konvensi mewajibkan pihak dalam pertikaian untuk mengambil tindakan yang perlu untuk menjamin bahwa anak-anak dibawah lima belas tahun, yatim piatu, atau yang terpisah dari keluarga sebagai akibat perang tidak terlantar. Pihak dalam pertikaian harus harus memberi bantuan pada pemeliharaan jasmani, intelektual dan agama. Konvensi memberikan perlindungan istimewa kepada penduduk sipil yang luka dan sakit, demikian pula orang-orang yang berbadan lemah dan wanita hamil32.

Dalam Konvensi Jenewa IV 1949 menegaskan bahwa kombatan maupun non-kombatan (penduduk sipil) Yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Palang Merah Internasional, dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam sengketa33. Sedangkan hukum humaniter bertujuan memberikan perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang menderita atau yang menjadi korban perang, baik mereka yang secara aktif turut dalam permusuhan (kombatan) maupun yang tidak turut serta dalam permusuhan (non-kombatan/penduduk sipil)34.

Menurut M. Gaussyah, bahwa untuk mewujudkan cita-cita melindungi segenap bangsa dari seluruh warga Negara, maka harus diadakan lembaga atau alat yang bertugas melindungi penduduk sipil, yaitu alat Negara atau lembaga kepolisian

32

Pasal 24 konvensi tentang perlindungan anak

33

Konvensi Jenewa IV 1949 pasal 3

(19)

sebagai penegak hukum yang bertanggung jawab penuh bagi keamanan35. Penduduk sipil membutuhkan perlindungan yang lebih positif dan netralisasi dari perbuatan permusuhan belaka, yang hanya menghindarkan mereka dari serangan langsung pihak yang bertikai. Oleh karena itu, orang sipil dibedakan secara tegas dengan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam konflik yaitu kombatan dari pihak yang bertikai. Di samping itu, penduduk sipil harus bersikap netral atau tidak boleh ikut serta dalam konflik bersenjata dan karena itu mereka berhak mendapat perlindungan walaupun dalam kenyataannya sering dijumpai penduduk sipil yang dilibatkan36.

Selanjutnya dalam konvensi Jenewa IV 1949 menentukan bahwa orang-orang yang dilindungi oleh konvensi ini adalah mereka yang dalam suatu peristiwa pendudukan, pada suatu saat tertentu dan dengan cara bagaimanapun juga ada dalam tangan suatu pihak dalam sengketa atau pendudukan yang bukan Negara mereka dan untuk itu mereka diperlukan perlindungan. Pemerintah atau Negara wajib melakukan penegakan hukum secara maksimal guna melindungi orang-orang yang menjadi korban dari pelanggaran hukum humaniter. Dalam rangka melindungi hak-hak asasi orang-orang dalam berbagai situasi, instrument yuridis menjadi suatu hal yang

35

M. Gaussyah “Makna Dan Implikasi Kedudukan Polisi Sebagai Alat Negara Dalam Kerangka Penegakan Hukum Dan Ketertiban Dalam Masyarakat”, jurnal ilmu hukum kanun vol. XIIII no. 35, Fakultas Hukum Unsyiah Aceh, april 2003 Hlm 63

36

(20)

diperlukan agar dapat memberikan kepastian hukum dalam melaksanakan perlindungan hak-hak setiap orang37.

Adapun bentuk perlindungan terhadap penduduk sipil dalam hukum humaniter. Menurut Mohammed Bedjaoui, hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, tetapi ditujukan untuk memanusiawikan perang.

Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai

kepustakaan, antara lain sebagai berikut:

1.Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (Unnecessary Suffering).

2.Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.

3.Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini yang terpenting adalah asas perikemanusiaan38.

Perlindungan terhadap penduduk sipil ini diatur secara rinci dalam Konvensi Jenewa IV (Geneva Convention), yang dikenal dengan perlindungan umum karena

37

M. Ya’cup A. Kadir “Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional dan Nasional”, jurnal ilmu

hukum kanun vol. Xix no. 48, Fakultas Hukum Unsyiah Aceh, Desember 2009 hlm 486

38

Frederic de Mullinen, Handbook on the Law of the War for Armed Forces, ICRC, Geneva., yang menyatakan bahwa : “Hukum Perang bertujuan untuk membatasi dan menghapuskan sejauh mungkin kekejaman perang. Oleh karena itu diperlukan suatu hukum yang dapat menyeimbangkan antara

(21)

mengatur perlindungan terhadap penduduk sipil secara menyeluruh (General Principle), dan dalam Protokol Tambahan 1977 khususnya dalam bagian IV. Dalam bagian ini diatur perlindungan umum (General Protection), bantuan terhadap penduduk sipil (Relief In Favour Of The Civilian Population), dan perlakuan terhadap penduduk sipil yang berada dalam kekuasaan pihak yang bersengketa (Treatment Of Persons In The Power Of A Party To A Conflict).

Prinsip Pembeda (Distinction Principle) merupakan suatu prinsip dalam Hukum Humaniter yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam dua golongan besar, yakni kombatan (Combatant) dan penduduk sipil (Civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam pertempuran, sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak berhak untuk turut serta dalam suatu pertempuran.Menurut Jean Pictet, prinsip pembedaan berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione personae yang menyatakan bahwa penduduk sipil dan orang-orang sipil harus mendapatkan perlindungan umum bahaya yang ditimbulkan akibat operasi militer. Penjabaran dari asas tersebut adalah harus diterapkannya hal-hal seperti di bawah ini :

 Pihak-pihak yang bersengketa, setiap saat, harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objek-

(22)

 Penduduk dan orang-orang sipil tidak boleh dijadikan objek serangan,

 Dilarang melakukan tindakan atau ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil,

 Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil, atau setidak- tidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil mungkin,

 Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan bertempur melawan musuh39.

Sebagai bagian dari penduduk sipil, anak-anak yang tidak turut serta dalam suatu permusuhan mendapatkan perlindungan umum tanpa perbedaan yang merugikan apapun yang didasarkan atas suku, kewarganegaraan, agama atau pendapat politik, dan dimaksudkan untuk meringankan penderitaan yang disebabkan oleh perang. Selain penduduk sipil secara umum yang harus mendapatkan perlindungan, terdapat beberapa kategori yang juga perlu mendapatkan perlindungan, yaitu orang asing, termasuk juga anak-anak di wilayah pendudukan. Selain orang asing maka kategori penduduk sipil yang lain adalah mereka yang tinggal di wilayah pendudukan. Kategori terakhir adalah mereka yang termasuk dalam interniran sipil.

39

Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali Press, Jakarta, 1984, hal. 63, Lihat pula Jean Pictet, Development and Principles of International Humanitarian Law, Martinus Nijhoff Publisher-Henry

(23)

Dari berbagai ketentuan tersebut diketahui bahwa tidak ada keseragaman dalam pengertian anak, khususnya mengenai batas minimum mereka yang dikategorikan sebagai anak. sebagai acuannya adalah Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Mengenai perlindungan, sebagian besar mengatur perlindungan anak dalam situasi yang normal. Perlindungan anak dalam konflik bersenjata hanya kita jumpai dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, itupun hanya beberapa pasal saja. Pasal 1 ayat (2) mengatakan bahwa : “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”40.

5.1.4. Pengertian Kejahatan

Kejahatan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap kelompok lain dalam pelanggaran hak asasi manusia. Menurut George Robinson menunjukkan bahwa kejahatan yang dilakukan di Timor-Timor pada tahun 1999 mencakup pembunuhan di luar hukum, penyiksaan dan penganiayaan dan kekerasan seksual pemindahan penduduk secara paksa dan penghancuran harta benda, tindakan ini melanggar hak fundamental yang diakui hukum internasional

40

(24)

termasuk hak untuk hidup, hak atas keamanan pribadi, hak atas integritas fisik, kebebasan berpikir, kebebasan berkumpul , dan hak untuk memiliki harta benda41.

Selain itu juga dewan keamanan PBB mengadakan sidang darurat terkait kekerasan yang dilakukan oleh para milisi pro integrasi, dewan keamanan juga menuntut aparat keamanan mengadili para pelaku kejahatan42.

Pengertian kejahatan menurut Husein (2003) adalah

“suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dari sudut pandang yuridis, perilaku disebut kejahatan jika perilaku itu melanggar peraturan atau undang-undang pidana dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan serta dijatuhi hukuman. Pengertian kejahatan itu sendiri dapat menjadi relatif tergantung pada nilai-nilai dan skala sosial. Diantara para ahli bahkan belum ada kesepakatan mengenai pengertian kejahatan itu sendiri”. Lebih lanjut Husein menuliskan mengenai kejahatan menurut beberapa ahli:

a. J.M. Bemmelem memandang kejahatan sebagai tindakan anti sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat. Sehingga masyarakat menjadi gelisah dan untuk menentramkannya, negara harus menjatuhkan hukuman pada penjahat.

b. Paul Moedikto Moeliono, Kejahatan adalah perbuatan pelanggaran norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan oleh masyarakat sebagai perbuatan merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan dan negara harus segera bertindak.

c. J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro mengutarakan bahwa kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif) yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.

41

George Robinson, Timor – Timur tahun 1999 kejahatan terhadap umat manusia, diterbitkan oleh perkumpulan hak dan elsam dili dan Jakarta, 2003, hlm 197

42

(25)

Berikut ini adalah pengertian kejahatan menurut penggunaannya (Husein, 2003): a) Pengertian praktis: Berbagai norma yang ada di masyarakat seperti norma agama, kebiasaan, kesusilaan dan norma adat dijadikan acuan untuk mendefinisikan perbuatan jahat. Yaitu perbuatan melanggar norma-norma tersebut yang menyebabkan timbulnya reaksi berupa hukuman, cemoohan atau pengucilan. Norma menjadi garis dalam membedakan perbuatan terpuji dan tercela/jahat.

b) Pengertian secara religius: Perbuatan jahat identik dengan dosa. Setiap perbuatan dosa diancam dengan api neraka.

c) Pengertian dalam arti yuridis: Kejahatan dalam hukum pidana di Indonesia tertera dalam KUHP. Kejahatan peristiwa-peristiwa yang berlawanan atau bertentangan dengan asas-asas hukum yang hidup dalam keyakinan manusia dan terlepas dari undang-undang. Contohnya adalah pembunuhan dan pencurian. Walaupun perbuatan itu (misalnya) belum diatur dalam suatu undang-undang, tapi perbuatan itu sangat bertentangan dengan hati nurani manusia, sehingga dianggap sebagai suatu kejahatan43.

5.1.5. Pengertian Pertanggung-jawaban Negara

Kewajiban dan tanggung jawab negara, dalam hal ini Pemerintah terhadap pelaksanaan dan penegakkan HAM, mengingat perlindungan hak asasi manusia adalah menjadi kewajiban dan tanggung jawab negara yang dilakukan oleh Pemerintah, hal tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Dalam Undang-Undang tersebut negara wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia44.

43

Husein, S. (2003). Kejahatan Dalam Masyarakat dan Upaya Penanggulangannya. USU Digital Library, diakses pada 20 januari 2013

44

http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=155&Itemid=155 di akses pada 20 juni 2013

(26)

Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 mengatur tentang perlindungan dalam konflik bersenjata non internasional. Pasal 3 menentukan bahwa pihak-pihak yang bertikai dalam wilayah suatu Negara, maka Negara berkewajiban untuk melindungi orang- orang yang tidak turut secara aktif dalam pertikaian, termasuk anggota angkatan bersenjata/kombatan yang telah meletakkan senjatanya tidak lagi turut serta karena sakit, luka-luka, ditahan dan sebab lainnya untuk diperlakukan secara manusiawi atau mereka dilarang melakukan tindakan kekerasan terhadap jiwa dan raga atau menghukum tanpa diadili secara sah.

Tindakan kekerasan atau perlakuan buruk negara terhadap warga negaranya merupakan ancaman bagi negara lain dan karenanya perbuatan itu dapat diuji oleh masyarakat internasional. Sistem perlindungan hak asasi manusia terutama bersumber pada perjanjian internasional45.

Selanjutnya Ketentuan Pasal 4 Konvensi Jenewa 1949 menentukan orang- orang yang dilindungi oleh Konvensi adalah mereka yang dalam suatu peristiwa pendudukan, pada suatu saat tertentu dan dengan cara bagaimanapun juga ada dalam tangan suatu pihak dalam sengketa atau kekuasaan pendudukan yang bukan negara mereka. Orang sipil dapat jatuh dibawah kekuasaan negara pendudukan dan untuk itu diperlukan perlindungan Pemerintah atau negara wajib melakukan penegakan hukum

45

Antonio Pradjasto “Konvensi Genosida Melindungi Hak Asasi Manusia Memerangi Impunitas”, Jurnal Hukum Jentera Vol. II No. 1, Pshk Jakarta , februari 2004 hlm. 65

(27)

secara maksimal guna melindungi orang-orang menjadi korban dari pelanggaran hukum humaniter46.

1.6. Metode penelitian

1. Tipe Pendekatan

Sehubungan dengan metode pendekatan yang digunakan yakni yuridis normatif,

2. Metode pendekatan

pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statuta- approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan perbandingan (Comparative approach)

3. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis. Artinya penelitian ini diharapkan mampu menggambarkan secara rinci dan sistematis. Analitis karena data yang diperoleh akan dianalisis untuk pemecahan terhadap permasalahan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

46

Sophia Listriani, “Tanggung Jawab Komandan Atas Pelanggaran Hukum Humaniter Dalam Suatu

Sengketa Bersenjata Non Internasional”, Jurnal Ilmiah Mondial Ilmu-Ilmu Sosial dan Kemasyarakatan

(28)

4. Teknik pengumpulan data

Penelitian ini memusatkan perhatian pada data primer dan sekunder, oleh karena itu bahan-bahan tersebut dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan dan diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif.

Sumber dan jenis data yang akan diperoleh penulis adalah:

a. Bahan hukum primer yakni konvensi-konvensi yang mengatur mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil serta bahan hukum asing sebagai pembanding bahan hukum yang ada dianalisis untuk melihat pola kecenderungan pengaturan perlindungan hukum.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal, dan pendapat para sarjana.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang diperoleh dari kamus hukum dan ensiklopedia

5. Teknik Pengolahan Data

Cara pengolahan datanya adalah penulis menyimpulkan beberapa kasus kejahatan terhadap kemanusiaan untuk dijadikan bahan penelitian.

(29)

6. Teknik Analisis data

Metode analisa data yang akan digunakan adalah analisa normatif, yaitu dengan memperhatikan fakta-fakta yang ada dalam praktek lapangan yang kemudian dibandingkan dengan uraian yang didapat dari studi kepustakaan. Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul, metode analisa data yang digunakan adalah Normatif Kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif maksudnya analisa data yang bertitik tolak pada informasi-informasi yang didapat dari responden untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

(30)

Referensi

Dokumen terkait

 Semua kriteria pelayanan MIS memerlukan perbaikan dengan menghasilkan nilai di bawah 0 atau belum baik, serta secara keseluruhan pelayanan MIS menghasilkan

Layanan informasi dalam penelitian bermaksud untuk memberikan pengetahuan bagi siswa mengenai pemahaman tentang seks bebas melalui layanan informasi dengan media film pada

Para peneliti bidang psikologi khususnya psikologi pendidikan kini telah semakin sadar betapa dalam dan rumitnya proses berfikir siswa ketika ia belajar, sehingga

[r]

Pada level mikro yaitu terjadi komunikasi interpersonal yang merupakan komunikasi personal antara satu akun Twitter ke akun lain dengan menggunakan tanda ³@´

Keterampilan serta kemampuan berpikir yang didapat ketika seseorang memecahkan masalah diyakini dapat mentransfer atau digunakan untuk menghadapi masalah didalam

Berdasarkan hasil tindakan pada siklus I menunjukkan bahwa hasil belajar yang didapat belum mencapai indikator yang ditentukan untuk hasil belajar (≥50% dari

Jumlah perusahaan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Untuk mempertahankan perusahaan Sumber Daya Manusia dalam sebuah perusahaan menjadi perhatian yang sangat